Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lanjut usia merupakan seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas (Info

datin Kemenkes RI, 2016).Dengan semakin bertambahnya usia maka lansia akan

mengalami penurunan fungsi organ tubuh akibat dari kurangnya jumlah dan kema

mpuan sel tubuh sehingga kemampuan jaringan tubuh untuk mempertahankan fu

ngsi secara normal menghilang dan tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan

memperbaiki kerusakan yang diderita (Fatmah,2010).

Salah satu gangguan fungsional tubuh yang sering muncul pada lansia ialah

Inkontinensia urin atau penurunan ketahanan berkemih. Inkontinensia urin dapat

dicegah dan diatasi dengan beberapa cara, namun angka kejadian inkontinensia

urin pada lansia di Panti Werdha Pangesti Lawang Malang masih cukup tinggi.

Inkontinensia urin yang dialami lansia disebabkan penurunan efisiensi sistem

tubuh dan organ-organ tubuh seiring bertambahnya usia (Wilson dkk, 2017).

Menurut WHO,(2017) Prevalensi inkontinensia urin secara global yang

dilaporkan dalam studi berbasis populasi berkisar antara 9,9% hingga 36,1% (2-

4), dan dua kali lebih tinggi pada wanita yang lebih tua dibandingkan pada pria

yang lebih tua. Prevalensi inkontinensia urin di Indonesia berkisar antara 5,8%

(Juananda dan Febriantara, 2017).Inkontinensia urin di Provinsi Jawa Timur pada

tahun 2017 tercatat sebesar 14,21% (Dinkes Jatim, 2018), sedangkan di

Kabupaten Malang lansia mengalami lepas BAB/BAK (inkontensia) sebanyak

4,5% dari total penduduk lansia (Dinkes Kab Malang, 2018).

1
2

Inkontinensia urin terjadi pada usia lanjut wanita maupun pria, namun

prevalensi inkontinensia urin lebih tinggi terjadi pada wanita dan meningkat

dengan bertambahnya usia.Hal ini dikarenakan dengan bertambahnya usia maka

lansia akan mengalami risiko melemahnya kekuatan otot dasar panggul yang

berfungsi untuk menjaga stabilitas organ panggul secara aktif, mengendorkan

organ genital, serta mengendalikan, mengontrol defekasi dan kemih (Karjoyo,

2017).Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak

yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah

terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat

menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera

ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin(Collein,

2012). Komplikasi lain yang terjadi jika tidak ditangani maka dapat terjadi infeksi

saluran kemih, infeksi kulit daerah kemaluan, gangguan tidur, dekubitus, dan

gejala ruam. Selain itu, masalah psikososial seperti dijauhi orang lain karena

berbau pesing, minder, tidak percaya diri, mudah marah juga sering terjadi dan hal

ini berakibat pada depresi dan isolasi sosial (Karjoyo, 2017).

Tingginya angka kejadian inkotinensia urin menyebabkan perlu adanya

penanganan yang sesuai. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dampak negatif

yang akan timbul (Karjoyo, 2017). Penanganan inkontinensia urine dapat

dilakukan dengan farmakologi (medis) maupun non farmakologi. Penanganan

inkontinensia urin dengan terapi non farmakoligis dapat dilakukan dengan

teknik/latihan perilaku mengontrol kandung kemih dan otot-otot sfingter dengan

latihan otot dasar panggul (senam kegel) (Darmojo, 2011). Senam kegel (latihan

otot dasar panggul) yang dikemukan oleh Arnold Kegel, melaporkan


3

perbaikan/kesembuhan sampai 84% dengan latihan otot dasar panggul untuk

wanita dan pria dengan berbagai macam tipe inkontinensia. Setelah 1-2 minggu

melakukan latihan ini dengan teratur akan terasa berkurangnya kebocoran urine.

Semua latihan diatas akan memberikan kontrol yang baik terhadap kandung

kemih, walaupun memakan waktu dan kesabaran tetapi hasilnya cukup

memuaskan (Darmojo, 2011). Senam kegel memiliki kelebihan yaitu mudah

dilakukan dan tidak akan menimbulkan cidera, seperti pada ibu post partum dapat

dilakukan segera setelah melahirkan, selain itu senam kegel lebih tepat dilakukan

untuk mengatasi inkontinensia urine karena senam kegel dapat menggerakkan

organ-organ dalam panggul yaitu rahim, kantong kemih, dan usus sehingga

mempercepat proses pengutatan otot panggul (Kurniati dkk, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Septiastri (2012) membuktikan bahwa

latihan kegel efektif terhadap penurunan gejala inkontinensia urin pada lansia.

Sulistyaningsih (2015) dalam penelitiannya membuktikan bahwa latihan otot

dasar panggul dapat memperbaiki kemampuan berkemih dengan resiko yang lebih

kecil. Penelitian Karjoyo dkk (2017), membuktikan bahwa ada pengaruh senam

kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lanjut usia di Wilayah Kerja

Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan.Novera (2017) dalam penelitiannya

membuktikan bahwa terdapat pengaruh senam kegel terhadap Frekuensi BAK

pada Lansia dengan inkontinensia urine di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan

Aluih Sicincin Tahun 2015.Penelitian lain yang dilakukan oleh Wahyudi (2017)

membuktikan bahwa ada pengaruh latihan senam kegel terhadap frekeunsi

berkemih pada lanjut usia Panti Wredha Darma Bakti Pajang Surakarta.
4

Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan April 2019,

dengan mewawancarai 10 orang lansia diPanti Werdha Pangesti Lawang Malang

ditemukan bahwa terdapat 8 orang lansia yang mengalami inkontinensia urine, 5

diantaranya menganggap inkontinensia urine adalah proses penuaan, dan merasa

malu untuk berkonsultasi ke petugas kesehatan yang ada di panti, dan 3 lansia

diantaranya merasa bahwa kejadian inkontinensia urine merupakan hal serius

yang harus segera ditangani akan tetapi tidak bisa dilakukan secara mandiri. Hasil

studi pendahuluan juga diketahui bahwa lansia yang mengalami inkontinensia

urin melakukan buang air kecil lebih dari 8 kali dalam 24 jam,dan buang air kecil

dicelana sebelum sampai ke toilet karena mereka tidak dapat menahan rasa ingin

kencing, selain itu juga lansia mengatakan tidak mengetahui cara mengobati

inkontinensia sehingga lansia hanya mengontrol urine dengan tidak banyak

mengkonsumsi minuman yang menyebabkan lansia harus sering-sering ke kamar

kecil.Berdasarkan latar belakang diatas dan fenomena yang terjadi, maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “pengaruh senam kegel terhadap

inkontinensia urin pada lansia di Panti Werdha Pangesti Lawang Malang”.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh senam kegel terhadap inkontinensia urin pada lansia

di Panti Werdha Pangesti Lawang Malang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh senam kegel terhadap inkontinensia urin pada lansia

di PantiWerdha Pangesti Lawang Malang.

1.3.2 Tujuan Khusus


5

1. Mengidentifikasi inkontinensia urin sebelum senam kegel pada lansia di Panti

Werdha Pangesti Lawang Malang.

2. Mengidentifikasi inkontinensia urin sesudah senam kegel pada lansia di Panti

Werdha Pangesti Lawang Malang.

3. Menganalisis pengaruh senam kegel terhadap inkontinensia urin pada lansia di

Panti Werdha Pangesti Lawang Malang.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu manfaat teoritis

dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Pelayan Kesehatan

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi

atau masukan bagi perkembangan ilmu keperawatan dan menambah kajian

ilmu kesehatan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat terutama

kepada petugas di Panti Wherda Pangesti Lawang dalam memberikan asuhan

keperawatan kepada lansia

2. Pendidikan

Pihak pendidikan dapat memberikan pengetahuan tambahan kepada

mahasiswa tentang terapi non farmakologi kepada lansia dalam

mengurangi inkontensia urin

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Lansia

Memberikan informasi kepada lansia tentang inkontensia urin dapat

dilakukan dengan terapi non farmakologi.


6

2. Peneliti

Sarana pengembangan kemampuan dalam bidang penelitian dan

penerapan yang didapatkan selama di bangku kuliah serta menambah

pengetahuan tentang dampak pemberian terapi farmakologi berupa senam

kegel terhadap inkontinensia urin.

3. Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah dalam perkembangan

ilmu pengetahuan dan dapat digunakan untuk penelitian berikutnya.

1.5 Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Penelitian Sebelumnya

Peneliti
No Judul Jurnal, Vol./No. Metpen Hasil
(Tahun)
1. Latihan kegel Septiastri Naskah Publikasi, Penelitian ini Latihan kegel
dengan (2012) Fakultas Keperawatan, menggunakan efektif
penurunan UniversitasSumateraUtara. metode terhadap
gejala quasi eksperimen penurunan
inkontinensia yang dilakukan gejala
urin pada dengan inkontinensia
lansia membagi responden urin pada
menjadi dua lansia
kelompok yaitu
kelompok perlakuan
dankelompok
kontrol.
2. Latihan otot Sulistyaningsih Jurnal Keperawatan dan (Metode penelitian Latihan otot
dasar panggul (2015 Pemikiran Ilmiah. Vol. 1, tidak ditampilkan di dasar
efektifuntuk No.3, 1-7 artikel) panggul
mengatasi dapat
inkontinensia memperbaiki
urin pada klien kemampuan
post operasi berkemih
prostatectomy. dengan
Nurscope resiko
yanglebih
kecil
3. Pengaruh Karjoyo dkk E-Journal Keperawatan Desainpenelitian Ada
senam kegel (2017) (eKp), Vol.5, No.1 yang diguanakan pengaruh
terhadap adalah pra senam kegel
frekuensi eksperimental, terhadap
inkontinensia denganmenggunakan frekuensi
urine pada rancangan one group inkontinensia
lanjut usia di pre test post test urine pada
wilayah kerja lanjut usia di
Puskesmas Wilayah
7

Tumpaan Kerja
Minahasa Puskesmas
Selatan Tumpaan
Minahasa
Selatan
4. Pengaruh Novera (2017) Jurnal Ipteks Terapan, Desian pada Terdapat
senam kegel Vol.11, No.3, 240-245 penelitian ini adalah pengaruh
terhadap quasy senam kegel
frekuensi bak eksperiment dengan terhadap
pada lansia rancangan one group Frekuensi
dengan pretest-postest BAK pada
inkotinensia Lansia
urine dengan
inkontinensia
urine di Panti
Sosial Tresna
Werdha
Sabai Nan
Aluih
Sicincin
Tahun 2015
5. Pengaruh Wahyudi Naskah Publikasi, Rancangan yang Ada
Latihan Senam (2017) Program Studi akan digunakan pengaruh
Kegel terhaap Keperawatan S1, Fakultas penelitian adalah latihan senam
Frekuensi Ilmu Kesehatan, quasi experiment kegel
Berkemih Universitas design terhadap
pada Lansia Muhammadiyah Surakarta dengan Pretest- frekeunsi
Posttest one group berkemih
design pada lanjut
usia Panti
Wredha
Darma Bakti
Pajang
Surakarta
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia (Lansia)

2.1.1 Pengertian Lansia

Lansia adalah bagian dari proses balik tumbuh kembang. Menurut Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, yang dimaksud

dengan lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Azizah,

2011). Pendapat lain menurut Mangoenprasodjo (2011), lanjut usia adalah

seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun ke atas karena adanya proses

penuaaan berakibat menimbulkan berbagai masalah kesejahteraaan di hari tua

kecuali bila umur tersebut atau proses menua terjadi lebih awal dilihat dari kondisi

fisik, mental, dan sosial. Masa lanjut usia merupakan tahapan paling akhir dalam

perjalanan hidup manusia.

2.1.2 Batasan Lansia

Batasan umur lansia berdasarkan World Health Organisation (Azizah,

2011), yaitu:

1. Usia pertengahan (Middle Age), antara 45-59 tahun;

2. Lanjut usia (Elderly), antara 60-74 tahun;

3. Lanjut usia tua (Old), antara 75-90 tahun;

4. Usia sangat tua (Very Old), diatas 90 tahun.

2.1.3 Proses Penuaan

Darmojo (2011) mengatakan, proses penuaan dan perubahan yang terjadi

pada usia lanjut yaitu:


9

1. Proses Penuaan

Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Menua

adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan untuk

memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya

sehingga tidak dapat bertahan terhadap kerusakan yang di derita. Menua

adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua

merupakan proses sepanjang hidup yang hanya di mulai dari satu waktu

tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menua merupakan proses

alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu

anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis, maupun

psikologis (Darmojo, 2011). Memasuki usia tua berarti mengalami

kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang di tandai dengan kulit

mengendur, rambut memutih gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,

penglihatan semakin memburuk, gerakan-gerakan lambat, dan postur tubuh

yang tidak proforsional (Nugroho, 2011).

2. Perubahan Fisiologis Akibat Penuaan

Perubahan pada suatu sistem fisiologis akan mempengaruhi dan

memberikan konsekuensi pada proses penuaan yaitu pada struktur dan fungsi

fisiologis (Mauk,2010).efek perubahan fisiologis secara umum adalah

penurunan mekanimse homeostatis dan penurunan respon immunologik.


10

Stanhope & Lancaster (2004). Perubahan fisik pada lansia yaitu:

a. Sistem Sensori

Lansia dengan kerusakan fungsi pendengaran dapat

memberikan respon yang tidak sesuai sehingga dapat

menimbulkan rasa malu dan gangguan komunikasi verbal

Watson (2003 dalam Stanley & Beare, 2007 ). Sedangkan

menurut Ebersol (2010) perubahan pada sistem pendengaran

terjadi penurunan pada membrane timpani ( atropi )

sehingga terjadi gangguan pendengaran Tulang-tulang

pendengaran mengalami kekakuan.(Stuart, 2009).

b. Sistem Muskulosekeletal

Perubahan normal sistem muskuloskeletal terkait usia pada

lansia, termasuk penurunan tinggi badan, redistribusi masa

otot dan lemak sub kutan, peningkatan porositas tulang,

atropi otot, pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan

dan kekakuan sendi-sendi, Perubahan pada otot, tulang dan

sendi mengakibatkan terjadinya perubahan

penampilan,kelemahan dan lambatnya pergerakan yang

menyertai penuaan (Stanley & Beare, 2007). Kekuatan

motorik lansia cenderung kaku sehingga menyebabkan

sesuatu yang dibawa dan dipegangnya akan menjadi tumpah

atau jatuh (Stuart, 2009).


11

c. Sistem Integumen

Menurut Watson (2003 dalam Stanley & Beare 2007)

penuaan terajadi perubahan khususnya perubahan yang

terlihat pada kulit seperti atropi, keriput dan kulit yang

kendur dan kulit mudah rusak. Perubahan yang terlihat

sangat bervariasi, tetapi pada prinsipnya terjadi karena

hubungan antara penuaan intrinsik atau secara alami dan

penuaan ektrinsik atau karena lingkungan. Sedangkan menurut

Stuart (2009) perubahan yang tampak pada kulit, dimana

kulit menjadi kehilangan kekenyalan dan elastisitasnya.Kulit

mulai mengeriput, biasanya kulit mengeriput pertama pada

mata dan mulut, sehingga berakibat wajah dengan ekspresi

sedih lebih jelas terlihat terutama pada wanita dan pada pria

akan terjadi kerontokam rambut dan akan menjadi kebotakan.

Pada lansia sirkulasi darah ke kulit mulai menurun sehingga

sel-sel mengakibatkan kulit menjadi kekurangan nutrisi

(Hayflick, 1996 dalam Meiner & Lueckenotte, 2006)

d. Sistem Kardiovaskuler

Penurunan yang terjadi di tandai dengan penurunan tingkat

aktivitas yang mengakibatkan penurunan tingkat aktivitas,

yang mengakibatkan penurunan kebutuhan darah yang

terorganisasi (Stanley & Beare, 2007).


12

kelemahan dan lambatnya pergerakan yang menyertai penuaan

(Stanley & Beare, 2007). Kekuatan motorik lansia

cenderung kaku sehingga menyebabkan sesuatu yang dibawa

dan dipegangnya akan menjadi tumpah atau jatuh (Stuart,

2009).

e. Sistem Pernafasan

Impliksi klinis menyebabkan kerentanan lansia untuk

mengalami kegagalan respirasi, kanker paru, emboli

pulmonal dan penyakit kronis seperti asma dan penyakit

obstruksi menahun Stanley & Beare (2007). Sedangkan

menurut Ebersol (2010) penambahan usia kemampuan

pegasdinding dada dan kekuatan otot pernafasan akan

menurun, sendi – sendi tulang iga akan menjadi kaku dan

akan mengakibatkan penurunan laju ekspirasi paksa satu

detik sebesar 0,2 liter / dekade serta berkurang kapasitas

vital.

f. Sistem Perkemihan

Pada lansia yang mengalami stress atau saat kebutuhan

fisiologik meningkat atau terserang penyakit, penuaan pada

saat sistem renal akan sangat mempengaruhi Stanley &

Beare (2007). Proses penuaan tidak langsung menyebabkam

masalah kontinensia, kondisi yang sering terjadi pada

lansia yang dikombinasikan dengan perubahan terkait usia

dapat memicu inkontinensia karena kehilangan irama di


13

urnal pada produksi urine dan penurunan filtrasi ginjal

Watson, (2003 dalam Stanley & Beare 2007). Sedangkan

menurut Stuart (2009) berkurangnya kemampuan ginjal untuk

mengeluarkan sisa metabolisme melalui urine serta

penurunan kontrol untuk berkemih sehingga terjadi kontinensia

urine pada lansia.Stuart, 2009).

g. Sistem Pencernaan

Hilangnya sokongan tulang turut berperan terhadap

kesulitan –kesulitan yang berkaitan dengan penyediaan

sokongan gigi yang adekuat dan stabil pada usia lebih lanjut

Stanley & Beare (2007). Perubahan fungsi gastrointestinal

meliputi perlambatan peristaltik dan sekresi, mengakibatkan

lansia mengalami intoleransi pada makanan tertentu dan

gangguan pengosongan lambung dan perubahan pada

gastrointestinal bawah dapat menyebabkan konstipasi, distensi

lambung dan intestinal atau diare Potter & Perry (2009).

h. Sistem Persyarafan

Perubahan sistem persyarafan menurut Stanley & Beare

(2007) terdapat beberapa efek penuaan pada sistem

persyarafan, banyak perubahan dapat diperlambat dengan

gaya hidup sehat. Sedangkan menurut Potter & Perry

(2009) lansia akan mengalami gangguan persarafan

terutama lansia akan mengalami keluhan seperti perubahan

kualitas dan kuantitas tidur. Lansia akan mengalami


14

kesulitan,kesulitan untuk tetap terjaga, kesulitan untuk

kembali tidur setelah terbangun di malam hari.

a. Perubahan sosial

1) Perubahan peran post powersyndrome,single woman,dansingle parent.

2) Ketika lansia lainnya meninggal maka muncul perasaan kapan akan

meninggal.

3) Terjadinya kepikunan yang dapat mengganggu dalam bersosialisasi.

Emosi mudah berubah,sering marah-marah danmudah tersinggung.

b. Perubahan Psikologi

Perubahan psikologis pada lansia meliputi shorttermmemory,frustasi,

kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian,

perubahan depresi dan kecemasan (Azizah, 2011).

2.2 Inkontinensia Urin

2.2.1 Pengertian Inkontinensia

Inkontinensia urine merupakan pengeluaran urin tanpa disadari, dalam

jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan

kesehatan atau sosial. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine involunter

(tidak disadari/mengompol) yang cukup menjadi masalah (Martono,2014).Inkonti

nensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak terkendali dalam waktu yang

tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang akan

menyebabkan masalah sosial dan higienis penderitanya. Akibat dari inkontinensia

yang cukup serius seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur,

problem psikososial seperti depresi, mudah marah dan terisolasi (Setiati dkk,

2014).
15

2.2.2 Pengaturan Diuresis Normal

Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara

fisiologik berlangsung di bawah kontrol dan koordinasi system saraf pusat dan

system saraf tepi di daerah sacrum. Saat periode pengisian kandung kemih,

tekanan didalamnya tetap rendah (di bawah 15 mmH20). Sensasi pertama ingin

berkemih biasanya timbul pada saat volume kandung kemih mencapai antara 150-

350 ml. Kapasitas kandung kemih normal bervariasi sekitar 300-600 ml.

Umumnya kandung kemih dapat menampung urin sampai lebh kurang 500 ml

tanpa terjadi kebocoran (Martono, 2014).

Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor dari kandung kemih

berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra. Secara sederhana dapat

digambarkan, saat proses berkemih dimulai, tekanan dari otot-otot detrusor

kandung kemih meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan

memancar keluar. Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung

kemih menurun. Sisa urin dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih

cenderung meningkat dan kontraksi otot-otot kandung kemih yang tidak teratur

maka sering terjadi. Kontraksi-kontraksi involunter ini ditemukan pada 40-75%

orang usia lanjut yng mengalami inkontinensia. Pada wanita, usia lanjut juga

berakibat menurunnya tahanan pada uretra dan muara kandung kemih. Ini

berkenaan dengan berkurangnya kadar estrogen dan melemahnya jaringan/otot-

otot panggul karena proses-proses melahirkan, apalagi bila disertai tindakan

berkenaan dengan persalinan tersebut (Martono, 2014).

2.2.3 Penyebab Inkontinensia Urin

Faktor-faktor penyebab inkontinensia urin (Martono, 2014), yaitu:


16

1. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel

2. Kelainan neurologik; stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dll

3. Lain-lainnya; hambatan mobilitas, situasi tempat berkemih yang tidak

memadai/jauh dsb.

2.2.4 Klasifikasi Inkontinensia Urin

Terdapat beberapa klasifikasi inkontinensia urin (Martono, 2014), yaitu:

1. Inkontinensia Fungsional

Biasanya berhubungan dengan ketidak mampuan seseorang dalam menahan

inkontinensia sehingga tidak dapat menjangkau toilet tepat waktunya.

Inkontinensia fungsional adalah involunter jalan keluar urine yang tidak dapat

diperkirakan pada klien yang system saraf dan system perkemihannya tidak

utuh. Inkontinensia ini terjadi karena perubahan lingkungan, deficit sensorik,

kognitif atau mobilitas. Jenis ini sering terjadi pada wanita.

2. Inkontinensia Overflow

Inkontinensia overflow yaitu kehilangan urine tanpa disengaja yang

biasanya dihubungkan dengan overdistensi kandung kemih (Ackley, 2008).

Penyebab umum dari inkontinensia ini adalah antara lain karena adanya

sumbatan akibat kelenjar prostat yang membesar atau adanya kistokel dan

penyempitan dari jalan keluar urin, gangguan kontraksi kandung kemih akibat

gangguan dari persarafan misalnya pada penyakit diabetes mellitus.

3. Inkontinensia Refleks

Inkontinensia refleks adalah keluarnya urine secara involunter terjadi

pada interval/jarak waktu tertentu yang dapat diprediksi bila isi kandung

kemih terpenuhi.Biasanya terjadi karena kondisi system saraf pusat yang


17

terganggu, dalam hal ini pengosongan kandung kemih dipengaruhi reflek

yang dirangsang oleh pengisian.Kemampuan rasa ingin berkemih dan

berhenti berkemih tidak ada.

4. Inkontinensia Stres

Inkontinensia tipe stress ini adalah terjadinya kebocoran/kehilangan air

seni karena meningkatnya tekanan didalam abdomen sehingga tidak terdapat

aktivitas kandung kemih. Inkontinensia ini biasanya disebabkan karena batuk,

tertawa, muntah atau mengangkat sesuatu saat kandung kemih penuh,

obesitas, uterus yang penuh pada trimester ketiga, jalan keluar pada kandung

kemih yang tidak kompeten, dan lemahnya otot pinggul.

5. Inkontinensia Total

Inkontinensia total yaitu kehilangan urine yang berkelanjutan dan tidak

dapat diprediksi.Inkontinensia total disebabkan karena adanya neuropati saraf

sensorik, trauma/penyakit pada saraf spinalis atau sfingter uretra, fistula yang

berada diantara kandung kemih dan vagina. Gejalanya antara lain urine tetap

mengalir pada waktu-waktu yang tidak dapat diperkirakan, nokturia, tidak

menyadari bahwa kandung kemihnya terisi atau inkontinensia.

6. Inkontinensia Urge

Kondisi seseorang individu yang mengalami dorongan/keluarnya urine

tanpa disadari yang terjadi segera setelah urgensi berkemih.Penyebabnya

karena daya tampung kandung kemih yang menurun, iritasi pada

reseptor peregang kandung kemih, konsumsi alkohol atau kafein, peningkatan

asupan cairan dan adanya infeksi.


18

2.2.5 Fisiologi dan Patofisiologi Berkemih

Proses berkemih normal dikendalikan oleh mekanisme volunter dan

involunter. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah

kontrol mekanisme volunter. Sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter

uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom. Ketika otot detrusor

berelaksasi maka akan terjadi proses pengisian kandung kemih sebaliknya jika

otot ini berkontraksi maka proses berkemih (pengosongan kandung kemih) akan

berlangsung. Kontraksi otot detrusor kandung kemih disebabkan oleh aktivitas

saraf parasimpatis, dimana aktivitas ini dapat terjadi karena dipicu oleh

asetilkoline (Martono, 2014).

Usia lanjut baik wanita maupun pria terjadi perubahan anatomis dan

fisiologis dari sistem urogenital bagian bawah. Perubahan tersebut berkaitan

dengan menurunnya kadar estrogen pada wanita dan hormon androgen pada pria.

Perubahan yang terjadi ini dapat berupa peningkatan fibrosis dan kandungan

kolagen pada dinding kandung kemih yang mengakibatkan fungsi kontraktil dari

kandung kemih tidak efektif lagi. Pada otot uretra terjadi perubahan vaskularisasi

pada lapisan submukosa, atrofi mukosa dan penipisan otot uretra. Keadaan

ini menyebabkan tekanan penutupan uretra berkurang. Otot dasar panggul juga

mengalami perubahan berupa melemahnya fungsi dan kekuatan otot. Secara

keseluruhan perubahan yang terjadi pada sistem urogenital bagian bawah akibat

proses menua merupakan faktor kontributor terjadinya Inkontinensia urin (Setiati

dkk, 2014).

2.2.6 Diagnosis Inkontinensia Urin

Diagnosisis inkontinensia urin bertujuan untuk (Setiati dkk, 2014) :


19

1. Menentukan kemungkinan Inkontinensia urin tersebut reversibel.

2. Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus.

3. Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku.

Menurut Setiati dkk (2014) diagnosis inkontinensia urin dilakukan lewat

observasi langsung serta mengajukan pertanyaan penapis. Pertanyaan penapis

diagnosis Inkontinensia urin ini berisi riwayat obstreti dan ginekologi, gejala dan

keluhan utama gangguan berkemih serta riwayat penyakit. Sandvix Severity Index

(SSI) dan The Three Incontinence Questions (3IQ) merupakan salah satu contoh

alat ukur yang berisi pertanyaan penapis diagnosis Inkontinensia urin.

Derajat/tingkatan inkontinensia urin dapat diketahui dengan menggunakan skala

SSI sedangkan tipe Inkontinensia urin dapat diketahui dengan menggunakan 3IQ.

Alat ukur 3IQ ini terdiri dari tiga pertanyaan dengan pilihan jawaban dimana dari

masing-masing pilihan jawaban tersebut merupakan petunjuk dari gejala

(symptom) tipe Inkontinensia urin yang terjadi. SSI terdiri dari dua pertanyaan

dimana hasil penilaian sehubungan dengan Inkontinensia urin yang terjadi

didapatkan dengan mengalikan skor jawaban pertanyaan pertama dengan skor

pertanyaan kedua.

Hasil pengelompokkannya adalah sebagai berikut:

1. Skor 1-2 : Slight incontinence

2. Skor 3-5 : moderate incontinence

3. Skor 6-8 :severe incontinence (Setiati dkk, 2014).

Dari pemeriksaan dengan menggunakan kuesioner diagnosis inkontinesia

urin idealnya kita sudah dapat menentukan jenis dan tingkat inkontinensia urin

yang terjadi. Sedangkan untuk mencapai tujuan diagnosis yang lebih


20

komprehensif pemeriksaan Inkontinensia urin dapat dilakukan lewat beberapa

aspek seperti : riwayat penyakit, pemeriksaan fisik terarah, urinalisis, volume

residu, urin pasca berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus (Setiati dkk,

2014).

Menurut Setiati dkk (2014) tahapan diagnostik inkontinensia urin meliputi:

1. Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang seksama. Hal-hal yang

perlu ditanyakan dalam anamnesis antara lain pola berkemih (voiding),

frekuensi dan volume urin, riwayat medis.

2. Pemeriksaan fisik meliputi perkembangan psikomotor, inspeksi daerah

genital dan punggung .

3. Pemeriksaan penunjang baik laboratorik maupun pencitraan, urinalisis,

biakan urin dan pemeriksaan kimia darah.

2.2.7 Pengelolaan Inkontinensia Urin

Pengelolaan inkontinensia urin akan cukup baik jika semua faktor yang

mempengaruhi diperhatikan dan tipe inkontinensianya dapat dikenali serta di

diagnosis penyebabnya. Menurut Martono (2014) pengelolaan inkontinensia pada

usia lanjut, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut:

4. Program rehabilitasi, antara lain; melatih respon kandung kemih agar baik

lagi, melatih perilaku berkemih, latihan otot-otot dasar panggul, modifikasi

tempat untuk berkemih.

5. Kateterisasi, baik secara berkala (intermiten) atau menetap (indwelling).

6. Obat-obatan, untuk relaksasi kandung kemih, estrogen.

7. Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan

patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dll.


21

8. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk

kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap

khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis

inkontinensia urine, sebaliknya satu tipe inkontinensia urine diatasi dengan

beberapa modalitas terapi secara bersama-sama.Spektrum modalitas terapi

meliputi: Terapi non farmakologis terapi suportif non- spesifik

(Edukasi,manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu) ; intervensi tingkah

laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih,

latihan kebiasaan); terapi medikamentosa; pemasangan kateter (Martono, 2014).

Menurut Martono (2014) intervensi behavioral antara lain bledder training,

habit training, prompted voiding dan latihan otot dasar panggul. tekhnik canggih

yang dapat melengkapi adalah stimulasi elektrik, biofeedback, dan neuromedulasi.

1. Bladder Training

Bladder training merupakan terapi yang bertujuan memperpanjang

interval berkemih yang normal dengan tekhnik distraksi atau tekhnik

relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam

sekali.tekhnik ini bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stress namun

diperlukan motivasi yang kuat dari pasien.

2. Latihan otot dasar panggul

Latihan otot dasar panggul efektif untuk inkontinensia urine tipe stres

atau campuran dan urgensi. Latihan ini dilakukan tiga kali sehari dengan 15

kontraksi dan menahan hingga 10 detik.Latihan dilakukan dengan membuat


22

kontraksi berulang-ulang otot dasar panggul sehingga dapat meningkatkan

kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna.

3. Habit training

Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih.Tehknik ini

sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional dan

membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien.

4. Prompted voiding

Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari klien mengenali

kondisi atau status kontinensia mereka serta dapat memberitahu petugas atau

pengasuhnya ketika ingin berkemih. Biasanya digunakan pada pasien

gangguan kognitif.

5. Terapi biofeedback

Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengontrol/menahan

kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihnya.

6. Stimulasi elektrik

Stimulasi elektrik dilakukan dengan menggunakan dasar kejutan

kontraksi otot pelvis dengan menggunakan alat bantu pada vagina atau

rectum.

7. Neuromedulasi

Terapi neuromedulasi dilakukan dengan menggunakan stimulasi saraf

sakral.Mekanisme dari tekhnik ini belum diketahui tetapi diduga karena

adanya kegiatan interneuron tulang belakang yang menghambat kegiatan

kandung kemih.
23

2.3 Senam Kegel

a) Pengertian Senam

Senam adalah latihan tubuh yang diciptakan dengan sengaja, disusun secara

sistematis, dan dilakukan secara sadar dengan tujuan membentuk dan

mengembangkan pribadi secara harmonis (Widianti dan Atikah, 2010). Manfaat

melakukan senam secara teratur dan benar dalam jangka waktu yang cukup antara

lain dapat memperlambat proses degenerasi karena perubahan usia, membentuk

berbagai sikap kejiwaan, dan memberikan rangsangan bagi saraf-saraf yang lemah

bagi lansia (Maryam dkk, 2012).

b) Pengertian Senam Kegel

Latihan Otot Dasar Panggul (ODP) dikembangkan pertama kali oleh Dr.

Arnold Kegel pada tahun 1940 dengan tujuan menguatkan otot dasar panggul dan

mengatasi stres inkontinensia urin. Latihan ini berupa latihan ODP secara

progresif pada otot Levatorani yang dapat dikontraksikan secara sadar yang

selanjutnya dikenal dengan Kegel Exercise (Rahajeng, 2010). Kegel Exercise atau

senam Kegel merupakan terapi non operatif yang paling sering dilakukan untuk

mengatasi stress inkontinensia karena membantu meningkatkan tonus dan

kekuatan otot pada uretra dan periuretra (Widianti dan Proverawati, 2010).

2.3.1 Manfaat Senam Kegel

Senam Kegel memiliki manfaat terkait dengan fungsi otot (pubococcygeu)

bagi pria danwanita (Widianti dan Proverawati, 2010), yaitu:

1. Bagi Pria
24

Latihan ini akan meningkatkan kemampuan mengontrol dan mengatas

ejaulasi dini, ereksi yang lebih kuat dan meningkatkan kepuasan seksual saat

orgasme. Selain itu multiple orgasme juga bisa dialami oleh pria sebagai hasil

dari latihan senam Kegel yang dilakukan secara teratur. Pada pria, senam ini

juga akan mengangkat testis dan mengencangkan otot kremaster sama seperti

mengencangkan sfingterani. Hal ini disebabkan karena otot PC dimulai dari

arah anus.

2. Bagi wanita

Keuntungan melakukan senam kegel adalah lebih mudah mencapai

orgasme dan orgasme yang dicapai lebih baik karena otot yang dilatih adalah

otot yang digunakan selama orgasme. Manfaat lain adalah vagina akan

semakin sensitive dan peka rangsang sehingga memudahkan peningkatan

kepuasan seksual, dan suami akan merasakan perubahan yang sangat besar

karena vagina mampu mencengkram penis lebih kuat. Memudahkan kelahiran

bayi tanpa banyak merobek jalan lahir dan bagi wanita yang baru melahirkan,

senam kegel dapat mempercepat pemulihan kondisi vagina setelah

melahirkan dan tentu saja dapat menguatkan otot rangka pada dasar panggul

sehingga pemperkuat fungsi sfingter eksternal kandung kemih, mencegah

prolaps uteri. Beberapa manfaat senam Kegel yaitu menguatkan otot panggul,

membantu mengendalikan keluarnya urin saat berhubungan intim, dapat

meningkatkan kepuasan saat berhubungan intim karena meningkatkan daya

cengkram vagina, meningkatkan kepekaan terhadap rangsangan seksual,

mencegah “ngompol kecil” yang timbul saat batuk atau tertawa, dan
25

melancarkan proses kelahiran tanpa harus merobek jalan lahir serta

mempercepat penyembuhan pasca persalinan.

2.3.2 Persyaratan Senam Kegel

Program pelatihan ini memiliki beberapa persyaratan yang perlu

diperhatikan(Widianti dan Proverawati, 2010), antara lain:

1. Intensitas latihan harus cukup tinggi sehingga menaikkan denyut jantung

sekitar 72-87% dari denyut nadi maksimal dan tidak boleh melebihi denyut

nadi maksimal (220-umur).

2. Frekuensi latihan setiap hari per minggu

3. Lama latihan minimal sekitar 30 menit sampai 60 menit.

2.3.3 Tahap-Tahap Senam Kegel

Tahap pelatihan senam Kegel dibagi menjadi tiga bagian latihan sesuai

dengan kemampuan klien dalam melakukan latihan. Pelatihan senam Kegel

dibedakan menjadi tiga yaitu pelatihan gerak cepat, pelatihan mengencangkan dan

pelatihan super Kegel (Widianti dan Proverawati, 2010).

1. Pelatihan Gerak Cepat

Pelatihan pertama adalah pelatihan gerak cepat, dilakukan dalam posisi

duduk, berdiri, berbaring, jongkok, atau posisi apa saja yang terbaik.

2. Pelatihan Mengencangkan

Setelah pelatihan gerak cepat, dilanjutkan dengan pelatihan senam Kegel

berikutnya.Saat mengencangkan ODP, tetap kencangkan kuat-kuat selama

satu hingga dua detik kemudian lepaskan dan ulangi masing-masing dengan

sepuluh hitungan.Tegangkan, tahan dan lepaskan otot tersebut.

3. Pelatihan Super Kegel


26

Tahap selanjutnya adalah super Kegel yang diberikan untuk orang-orangyang

telah menguasai senam Kegel.super Kegel dilakukan dengan mengencangkan

ODP sekencang-kencangnya sampai hitungan sepuluh kemudian lepaskan.

Lakukan berulang-ulang dengan sepuluh hitungan setidaknya sekali sehari

(Widianti dan Proverawati, 2010)

2.3.4 Petunjuk Senam Kegel

Senam Kegel dilakukan berdasarkan langkah-langkah yang dijelaskan

sebagai berikut :

1. Posisi berdiri tegak dengan posisi kaki lurus dan agak terbuka.

2. Fokuskan konsentrasi pada kontraksi otot daerah vagina, uretra dan rectum.

3. Kontraksikan ODP seperti saat menahan defekasi atau berkemih.

4. Rasakan kontraksi ODP, pastikan kontraksi sudah benar tanpa adanya

kontraksi otot abdominal, contohnya jangan menahan napas. Control

kontraksi otot abdominal dengan meletakkan tangan pada perut.

5. Pertahankan kontraksi sesuai kemampuan kurang lebih sepuluh detik.

6. Rileks dan rasakan ODP dalam keadaan rileks.

7. Kontraksikan ODP kembali, pastikan kontraksi otot sudah benar.

8. Rileks dan coba rasakan otot-otot berkontraksi dan rileks.

9. Sesekali percepat kontraksi, pastikan tidak ada kontraksi otot lain.

10. Lakukan kontraksi yang cepat beberapa kali. Pada tahap awal, lakukan tiga

kali pengulangan karena otot yang lemah mudah lelah.

11. Target latihan ini adalah sepuluh kali kontraksi lambat dan sepuluh kali

kontraksi cepat. Tiap kontraksi dipertahankan selama sepuluh hitungan.

Lakukan enam hingga delapan kali selama sehari atau setiap saat.
27

12. Senam Kegel dapat pula dilakukan secara sederhana dengan cara:

a. Saat berkemih coba untuk menahan aliran urin sampai beberapa kali.

b. Pada posisi apapun, coba lakukan kontraksi ODP. Pertahankan selama

tiga sampai lima detik jika sudah terbiasa latihan dapat ditingkatkan

menjadi sepuluh detik (Widianti dan Proverawati, 2010).

2.4 Pengaruh Seanam Kegel terhadap Inkonntinensia

Ketidakampuan inkotinensia dapat diperbaiki dengan melakukan berbagai

latihan yaitu dengan latihan otot dasar panggul (pelvic muscte exercise) atau

sering disebut dengan latihan Kegel (Maas et al, 2011). Latihan kegel sendiri

adalah latihan yang didesain oleh Arnold Kegel untuk memperkuat

pubococcygeus, otoseksual, uterus, dan rectum (Hafifah, 2010). Latihan dasar

panggul melibatkan kontraksi tulang otot pubokoksigeus, otot yang membentuk

struktur penyokong panggul dan mengililingi pintu panggul pada vagina, uretra,

dan rectum (Maas et al, 2011). Latihan kegel yang dilakukan pada lansia

mempunyai efektifitas untuk menguatkan otot-otot pubbococygeal yang

menyangga kandung kemih dan sfingter uretra serta meningkatkan kemampuan

untuk memulai dan menghentikan laju urin (Widianti dan Proverawati, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Septiastri dan Cholina (2012) membuktikan

bahwa latihan kegel efektif terhadap penurunan gejala inkontinensia urin pada

lansia. Sulistyaningsih (2015) dalam penelitiannya membuktikan bahwa latihan

otot dasar panggul dapat memperbaiki kemampuan berkemih dengan resiko

yanglebih kecil. Penelitian Karjoyo dkk (2017), membuktikan bahwa ada

pengaruh senam kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lanjut usia di

Wilayah Kerja Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan. Novera (2017) dalam


28

penelitiannya membuktikan bahwa terdapat pengaruh senam kegel terhadap

Frekuensi BAK pada Lansia dengan inkontinensia urine di Panti Sosial Tresna

Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2015. Penelitian lain yang dilakukan

oleh Wahyudi (2017) membuktikan bahwa ada pengaruh latihan senam kegel

terhadap frekeunsi berkemih pada lanjut usia Panti Wredha Darma Bakti Pajang

Surakarta.
29

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 KerangkaKonsep

Faktor-faktor penyebab Lansia


inkontinensia urin:
1. Kelainan urologik;
misalnya radang, Perubahan fisiologi
batu, tumor, 1. Sistem sensori
divertikel. 2. Sistem
2. Kelainan neurologik; muskuloskeletal
stroke, trauma pada 3. Sistem integumen
medulla spinalis, 4. Sistem
demensia dll. kardiovaskuler
3. Lain-lainnya; 5. Sistem perkemihan
hambatan mobilitas,
situasi tempat berke
mih yang tidak mem Inkontinensia urin
adai/jauh dsb.

Treatmen

- Farmakologi
- Nonfarmakologi
Senam kegel
Penguatan otot panggul

Menahan kontraksi
involunter otot detrusor
kandung kemihnya
Keterangan:
Diteliti Inkontinensia urin
berkurang
TidakDiteliti

Pengaruh

Gambar3.1: Kerangka Konsep Pengaruh Senam Kegel terhadap Inkontinensia Urin

pada Lansia di Panti Werdha Pangesti Lawang Malang


30

Berdasarkan Gambar 3.1, diketahui bahwa dalam penelitian ini tentang

pengaruh senam kegel terhadap inkontinensia urin pada lansia di Panti Werdha

Pangesti Lawang Malang. Lanjut usia (lansia) mengalami gangguan kelemahan,

salah satunya adalah inkontinensia urin. Inkontinensia ini bisa diatasi dengan

pengobatan non farmakologi seperti terapi, dan terapi yang dimaksud adalah

senam kegel. Senam kegel dapat memberikan efek penguatan pada otot panggul,

hal tersebut dapat menahan kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihnya,

sehingga dapat mengurangi inkontinensia urine.

3.2 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan

penelitian (Nursalam,2013).Berdasarkan tujuan dan rumusan masalah serta

teori-teori yang sudah dijelaskan maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1 : Ada pengaruh senam kegel terhadap inkontinensia urin pada lansia di

PantiWerdha Pangesti Lawang Malang


31

BAB IV

METODE PENENELITIAN

4.1 Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian pre-eksperimental dengan

design one group pre test and post test design, yaitu rancangan eksperimen

dengan cara sampel di amati sebelum dan setelah dilakukan treatment (perlakuan)

(Nursalam, 2013).Penelitian ini meneliti tentang pengaruh senam kegel terhadap

inkontinensia urin pada lansia di PantiWerdha Pangesti Lawang Malang.

4.2 Kerangka Kerja

Populasi: Semua lansia di PantiWerdha Pangesti Lawang Malang sebanyak 67 orang

Sampel: Lansia di PantiWerdha Pangesti Lawang Malang sebanyak 57 orang

Sampling: Simple random sampling

Mengukur Inkontinensia Urin dengan cara memberikan kuesioner


sebelum diberikan senam Kegel.

Memberikan senam kegel

Mengukur Inkontinensia Urin dengan cara memberikan kuesioner


sesudah diberikan senam Kegel.

Pengolahandata:Editing, coding,scoring dan tabulating

Analisa data: Marginal Homogeneity dengan α=0,05

Penyajian hasil dan penarikan kesimpulan


Gambar 4.1: Kerangka Kerja Pengaruh Senam Kegel terhadap Inkontinensia Urin
pada Lansia di PantiWerdha Pangesti Lawang Malang
32

4.3 Lokasi danWaktuPenelitian

Lokasi penelitian di Panti Werdha Pangesti Lawang Malang, dan penelitian

ini direncanakan akan dilakukan pada bulan agustus 2019.

4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

4.4.1 Populasi

Populasi penelitian adalah keseluruhan subjek penelitian atau objek yang

diteliti (Sugiyono, 2017). Populasi semual ansia di PantiWerdha Pangesti Lawang

Malang sebanyak 67 orang.

4.4.2 Sampel

Penentuan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus yang akan

digunakan adalah rumus analitik kategorik tidak berpasangan (Dahlan, 2013).

(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽) 2
𝜋
𝑛= 2
(𝑃1 − 𝑃2 )
2 22
(1,282 + 0,842) × 7
𝑛= 2
(0,5)
(2,124) 2 × 3,14
𝑛=
0,25
4,511376 × 3,14
𝑛=
0,25
14,1732064
𝑛=
0,25
𝑛 = 56,69

Keterangan:

𝑧 ∝ : Deviat baku alfa (1,282)

𝑍𝛽 : Deviat baku beta(0,842)

P1-P2 : Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna (0,5)

𝜋 : 22/7 (3,14)
33

Jadi besar sampel menurut rumus diatas adalah ± 57. Sampel dalam penelitian

ini yang digunakan sebanyak 57 lansia di Panti Werdha Pangesti Lawang

Malang.

4.4.3 Teknik sampling

Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi yang digunakan dalam

penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili seluruh

populasi yang ada (Hidayat, 2012). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian

ini adalah simple random sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara me

milih sampel secara acak dari total populasi (Nursalam, 2013). Kriteria dalam

penelitian ini meliputi:

1. Kriteri Inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek peneliti mewakili sampel

penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. Pertimbangan ilmiah harus

menjadi pedoman dalam menentukan kriteria inklusi (Hidayat, 2012).

a. Lansia yang tinggal di PantiWerdha Pangesti Lawang Malang.

b. Lansia yang mengalami inkontinensia urin jenis fungsional

c. Lansia yang bersedia menjadi responden

2. Kriteria Eklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat

mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian

(Hidayat, 2012).

a. Lansia yang melakukan pengobatan farmakologi.

b. Lansia yang membatalkan persetujuan dengan alasan tertentu.

c. Lansia yang drop out pada saat penelitian berlangsung


34

4.5 Variabel Penelitian

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu

kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain. Definisi lain

mengatakan bahwa Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat,

atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu

konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2012).

1. Variabel independent (variabel bebas)

Variabel independent atau variabel bebas adalah variabel resiko atau sebab

(Notoatmodjo, 2012).Variabel independent dalam penelitian ini adalah senam

kegel.

2. Variabel dependent (variabel terikat)

Variabel dependent atau tergantung adalah variabel yang dipengaruhi oleh

variabel independen atau variabel bebas (Notoatmodjo, 2012).Variabel

dependent dalam penelitian ini adalah inkontinensia urin.

4.6 Definisi Operasional

Definisi operasional mendefenisikan variabel secara operasional dan

berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan

observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena.

Definisi operasional dapat ditentukan parameter yang dijadikan ukuran dalam

penelitian (Hidayat, 2012).


35

Tabel 4.1Definisi Operasional Pengaruh Senam Kegel Terhadap Inkontinensia

Urin Pada Lansia di PantiWerdha Pangesti Lawanag Malang

Alat
Variabel Definisi Operasional Parameter Skala Skor
Ukur
Latihan tubuh yang Tahapan senam
diciptakan dengan kegel:
gerakan sederhana - Pelatihan
tujuan menguatkan otot gerak cepat
dasar panggul dan - Pelatihan
Independent: mengatasi inkontinensia super kegel
SOP - -
Senam kegel urin fungsional yang - Super kegel
dilakukan 10-15 kali
setiap hari dalam waktu
2 minggu dan dilakukan
minimal sekitar 30-60
menit.
Pertanyaan 1:
- Tidak
pernah = 0
- Tidak lebih
dari sekali
dalam
sebulan = 1
- Sekali atau
beberapa
kali dalam
sebulan = 2
K - Sekali atau
- Seberapa U beberapa
O
sering E kali dalam
Pengeluaran urin tanpa R
menahan S seminggu
Dependent: disadari, dalam jumlah D
air I =3
Inkontinensia banyak (>600 ml) I
kencing O - Setiap
urin dengan frekuensi >8 kali N
- Jumlah N hari/setiap
sehari A
air E malam = 4
L
kencing R
(SSI)
Pertanyaan 2:
- Sedikit = 1
- Banyak = 2

Kategori:
- Skor 1-2:
Slight
incontinen
ce
- Skor 3-5:
Moderate
36

incontinen
ce
- Skor 6-8:
Severe
incontinen
ce
(Brown et al,
2006)

4.7 InstrumenPenelitiandanProsedur Pengumpulan Data

4.7.1 InstrumenPenelitian

Instrumen adalah alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data

(Hidayat, 2012). Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner.

Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh

informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang

diketahui (Arikunto, 2010). Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan

Kuesioner Sandvix Severity Index (SSI) (Brown et al, 2006).

4.7.2 Prosedur pengumpulan data

Adapun prosedurpengumpulan data sebagaiberikut:

1. Peneliti mengurus surat permohonan surat jalan penelitian kepada pihak

kampus Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.

2. Peneliti melanjutkan surat jalan penelitian ke kantor Badan Kesatuan Bangsa

dan Politik (Bankesbangpol) Kabupaten Malang.

3. Surat jawaban dari kantor Bankesbangpol Kabupaten Malang dilanjutkan ke

Panti Werdha Pangesti Lawang Malang.

4. Peneliti menginformasikan kepada direktur/kepala PantiWerdha Pangesti

Lawang Malang bahwa tentang maksud dan tujuan penelitian.

5. Peneliti memberikan lembar persetujuan dan lembar kuesioner (responden


37

hanya mengisi kuesioner pertama sebagai data pre test).

6. Setelah responden mengisi kuesioner pertama sebagai data pre test, peneliti

memberikan penjelasan dan instruksi senam kegel.

7. Setelah diberikan perlakuan senam kegel, selama 10-15 kali. peneliti akan

menjelaskan lagi pada responden bahwa senam kegel bisah dilakukan pada

saat kapan saja baik pada saat sedang duduk, berdiri, berbaring dll.sehingga

proses senam kegel dapat lebih efektif. Dan responden mengisi kuesioner

kedua lagi sebagai data post test.

8. Peneliti mengumpulkan data pre test dan post test dan diolah sesuai dengan

langkah-langkah uji hipotesis dimana diberi interpretasi data, dan diberikan

pembahasan sesuai hasil analisa data yang didapatkan peneliti.

4.8 Teknik Pengolahan Data

Data penelitian yang diperoleh berupa hasil jawaban kuesioner dari

responden lalu, diubah dalam bentuk skor nilai. Kemudian data yang diperoleh

diolah melalui program SPSS for windows. Pengolahan data dilakukan beberapa

tahap, yaitu :

1. Editing (Pengeditan data)

Meneliti kembali apakah jawaban yang diberikan responden sudah cukup

benar untuk diproses lebih lanjut, editing dilakukan pengumpulan data

dilapangan sehingga jika terjadi kesalahan maka upaya pembetulan dapat

segera dilakukan.

2. Coding (Pengkodean)

Pemberian atau pembuatan kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk

dalam kategori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk
38

angka atau huruf yang memberikan petunjuk atau identitas pada suatu

informasi atau data yang di analisis.Hal ini di maksudkan untuk

mempermudah dalam melakukan tabulasi dan analisa data.

3. Scoring

Scoring merupakan penentuan jumlah skor, dimana untuk variabel

inkontinensia urine pertanyaan 1, yaitu skor 0 jika jawaban Tidak pernah,

skor 1 jika Tidak lebih dari sekali dalam sebulan, skor 2 jika Sekali atau

beberapa kali dalam sebulan, skor 3 jika “Sekali atau beberapa kali dalam

seminggu skor 4 jika “Setiap hari/setiap malam”. Pertanyaan 2 diberi skor 1

jika jawaban “Sedikit”, dan skor 2 jika jawaban “Banyak”.

4. Tabulating

Pekerjaan menyusun tabel-tabel, mulai dari penyusunan tabel utama yang

berisisi seluruh data informasi yang berhasil di kumpulkan dengan daftar

pertanyaan sampai tabel khusus yang telah benar-benar ditentukan setelah

berbentuk tabel maka tabel tersebut siap dianalisa dan dinyatakan dalam

bentuk tulisan.

4.9 Analisis Data

4.9.1 Analisis Univariat

Penelitian analisis univariat adalah analisa yang dilakukan menganalisis tiap

variabel dari hasil penelitian (Notoadmodjo, 2012).Analisa univariat berfungsi

untuk meringkas kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga

kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna, peringkasan

tersebut dapat berupa ukuran tabel.Analisa univariat dilakukan masing-masing

variabel yang diteliti.


39

Analisis univariat untuk menjumlahkan data yang telah didapat dengan

menggunakan total skor kuesioner sebagai berikut:

- Skor 1-2: Slight incontinence

- Skor 3-5: Moderate incontinence

- Skor 6-8: Severe incontinence(Brown et al, 2006)

Berdasarkan hasil penelitian dan untuk mempermudah input data yang

diperoleh dan agar mudah dianalisis, maka untuk tafsiran datanya digunakan

pedoman penafsiran data dengan perincian (Arikunto, 2010) sebagai berikut.

Rumus persentasi:

∑F
%= x 100%
N

Keterangan:

F = Jumlah dari skor frekuensi yang diperoleh dari kuesioner

N = Jumlah keseluruhan skor frekuensi seharusnya

Hasil perhitungan dari rumus tersebut di atas dapat ditentukan penafsiran

(Arikunto, 2010) sebagai berikut:

0% : tidak satupun responden

1-26% : sebagian kecil responden

27-49% : hampir setengah responden

50% : setengahnya

51-75% : sebagianbesar

76-99% : hampir seluruhnya

100% : seluruhnya
40

Analisa Bivariat

Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Marginal Homogeneity

untuk data ordinal dengan penerapantingkat signifikan yang dipilih 5% (p value<

0,05), dengan interprestasi apabila p value< 0,05 maka H0 ditolak dan menerima

H1 yaitu ada pengaruh senam kegel terhadap inkontinensia urin pada lansia di

Panti Werdha Pangesti Lawang Malang. Tetapi apabila p value> 0,05 maka H0

diterima dan H1ditolak yaitu tidak ada pengaruh senam kegel terhadap

inkontinensia urin pada lansia di Panti Werdha Pangesti Lawang Malang.

4.10 Etika Penelitian

Menurut Nursalam (2013) secara umum prinsip etika dalam penelitian atau

pengumpulan data dapat di bedakan menjadi tiga bagian.

1. Prinsip Manfaat

a. Bebas dari penderitaan

Peneliti harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan kepada

subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus. Penelitian yang

dilakukan adalah berupa tindakan (eksperimen) maka responden dijamin

bahwa tidak akan mengalami efek yang merugikan.

b. Bebas dari eksploitasi

Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan yang

tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa partisipasinya

dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak akan

dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk

apapun. Data responden yang diperoleh tidak akan disebarluaskan untuk

kepentingan pribadi.
41

c. Resiko

Peneliti harus hati-hati dalam mempertimbangkan resiko dan keuntungan

yang akan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan. Berkaitan

dengan poin pertama sebelumnya bahwa apabila penelitian yang

dilakukan adalah berupa tindakan (eksperimen) maka responden dijamin

bahwa tidak akan mengalami efek yang merugikan.

2. Prinsip Menghargai Hak Asasi Manusia (Respect Human Dignity)

a. Hak untuk ikut atau tidak menjadi responden (right to self

determination), yang artinya responden berhak untuk bersedia atau

menolak untuk dijadikan sampel.

b. Hak untuk mendapat jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full

disclosure), artinya semua responden dalam penelitian ini memiliki hak

yang sama sehingga tidak mengistimewakan satu atau sebagian

responden dan mengabaikan yang lain.

c. Informed consent Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap

tentang tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk

bebas berpartisipasi atau menolak untuk menjadi responden. Pada

Informed consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh

hanya untuk pengembangan ilmu. Sebelum melakukan penelitian,

peneliti memberikan penjelasan kepada responden mengenai penelitian

tersebut dan hal-hal apa saja yang dibutuhkan serta memberikan jaminan

kepada responden bahwa data yang diperoleh hanya untuk kepentingan

penlitian.

3. Prinsip Keadilan (Right To Justice)


42

a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatmnt)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan sesudah

keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila

ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian. Artinya

setiap sampel baik yang bersedia menjadi sampel maupun yang tidak

bersedia tetap mendapatkan perlakuan yang adil, dalam hal ini tetap

melakukan komunikasi dengan sampel yang tidak bersedia mengambil

bagian dalam proses pengambilan data.

b. Hak dijaga kerahasiannya (right to privacy)

Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diminta harus

dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia.

Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden seperti untuk nama bisa

menggunakan inisial, selain itu mengingat penelitian ini berkaitan dengan

genetalia maka hasil jawaban responden juga dijaga kerahasiaannya.


43

DAFTAR

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.


Azizah. Lilik Ma’rifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Brown J.J., Bradley, C.S., Subak, L.L., Richter, H.E., Kraus, S.R. 2006. The
Sensitivity and Specificity of a Simple Test to Distinguish Between Urge
and Stress Urinary Incontinence. 144 : 715-23.
Collein, Irsanty. Pengalaman Lansia dalam Penanganan Inkontinensia Urine di
Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji. Jurnal Keperawatan Soedirman, Vol.7,
No.3. http://jks.fikes.unsoed.ac.id/index.php/jks/article/download/403/230.
Akses Tanggal 23 Mei 2019, Pk12:51.
Darmojo, B. 2011. Geriatrik (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut (edisi ke-4). Jakarta:
FKUI.
Dinkes Kab Malang. 2018. Profil Kesehatan Kabupaten Malang Tahun 2017.
Malang: Dinas Kesehatan Kabupaten Malang.
Dinkes Jatim. 2018. Profil Kesehatan Jawa Timur Tahun 2017. Surabaya: Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Hafifah. 2010. Lanjut Usia dan Perawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika.
Hidayat, Aziz Alimun. 2012. Metode Penelitian kebidanan dan Teknik Analisis
Data (Ed 1). Jakarta: Salemba Medika.
Infodatin Kemenkes RI 2016. Situasi Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Juananda, Desby., dan Febriantara, Dhany. 2017. Inkontinensia Urin pada Lanjut
Usia di Panti Werdha Provinsi Riau. Jurnal Kesehatan Melayu, Vol.1, No.1.
http://jkm.fk.unri.ac.id/index.php/jkm/article/view/21/17. Akses Tanggal 26
Juni 2019, Pk.14:45.
Karjoyo, Julianti Dewi., Pangemanan, Damayanti., dan Onibala, Franly. 2017.
Pengaruh Senam Kegel terhadap Frekuensi Inkontinensia Urine pada
Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan. E-
Journal Keperawatan (eKp), Vol.5, No.1.
https://media.neliti.com/media/publications/107046-ID-none.pdf. Akses
Tanggal 23 Mei 2019, Pk12:52.
Kemenkes RI. 2013. Buletin Lansia Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di
Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI.
44

Kurniati, Citra Hadi., Wulan, Intan Sari., dam Hikmawati, Isna. 2014. Analisis
Pengetahuan dan Tindakan Senam Kegel terhadap Penyembuhan Luka
Pereneum pada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Purwokerto Selatan.
Pharmacy, Vol.11, No.01.
jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/PHARMACY/article/view/846/786.
Akses Tanggal 23 Mei 2019, Pk13:01.
Maas, M. L., Buckwalter, K. C., Hardy, M. D., Tripp-Reimer, T., Titler, M. G., &
Specht, J. P. 2011. Asuhan Keperawatan Geriatrik, Diagnosis NANDA,
Kriteria Hasil NOC, Intervensi NIC. Jakarta: EGC.
Mangoenprasodjo, S.A. 2011. Mengisi Hari Tua dengan Bahagia. Jakarta:
Pradipta Publishing.
Martono, Hadi. 2014.Buku Ajar Boedhi Darmojo: Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut) Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Maryam, Raden Siti., Ekasari, M.F., Rosidawati., Jubaedi, A., Batubara, I. 2012.
Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Naftali, Ananda Ruth., Ranimpi, Yulius Yusak., Anwar, M.Aziz. 2017. Kesehatan
Spiritual dan Kesehatan Lansia dalam Menghadapi Kematian. Buletin
Psikologi, Vol.5, No.2.
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:llgl4r6Ud90J:https
://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/download/28992/pdf+&cd=1&hl
=en&ct=clnk&gl=ua&client=firefox-b-d. Akses Tanggal 26 Juni 2019,
Pk.13:06.
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Novera, Milya. 2017. Pengaruh Senam Kegel terhadap Frekuensi BAK pada
Lansia dengan Inkotinensia Urine. Jurnal Ipteks Terapan, Vol.11, No.3,
240-245. http://ejournal.kopertis10.or.id/index.php/jit/article/viewFile/589-
7878/pdf21. Online, Akses Tanggal 3 Mei 2019, Pk.10:48.
Nugroho, W. 2011. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: PT. ECG.
Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis
(Edisi 3). Jakarta: Salemba Medika.
Rahajeng. 2010. Efek Latihan Kege pada Kekuatan Otot Dasar Panggul Ibu
Pasca Persalinan. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol.26, No.2, 2010,
pp.120-123. http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/163. Online,
Akses Tanggal 3 Mei 2019, Pk.10:50.
Septiastri, Angellita Intan. 2012. Latihan Kegel dengan Penurunan Geala
Inkontinensia Urin pada Lansia. Naskah Publikasi, Fakultas Keperawatan,
Universitas Sumatera Utara.
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:7tGm48iTQFwJ:h
ttps://jurnal.usu.ac.id/index.php/jkk/article/download/100/89+&cd=1&hl=id
45

&ct=clnk&gl=id&client=firefox-b-d. Akses Tanggal 23 Mei 2019,


Pk.16:08.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Internal Publishing.
Sugiyono.2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Sulistyaningsih, Dwi Retno. 2015. Latihan Otot Dasar Panggul Efektifuntuk
MEngatasi Inkontinensia Urin pada Klien Post Operasi Prostatectomy.
Nurscope. Jurnal Keperawatan danPemikiran Ilmiah. Vol. 1, No.3, 1-7.
http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jnm/article/download/465/386. Akses
Tanggal 3 Mei 2019, Pk.10:55.
Wahyudi, Agus Setyo. 2017. Pengaruh Latihan Senam Kegel terhaap Frekuensi
Berkemih pada Lansia. Naskah Publikasi, Program Studi Keperawatan S1,
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/50141/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf. Online,
Akses Tanggal 3 Mei 2019, Pk.10:50.
WHO. 2017. Evidence Profile: Urinary Incontinence. World Health Organization.
https://www.who.int/ageing/health-systems/icope/evidence-centre/ICOPE-
evidence-profile-urinary-incont.pdf. Akses Tanggal 26 Juni 2019, Pk.13:07.
Widianti, Anggriyana Tri dan Proverawati, Atikah. 2010. Senam Kesehatan:
Aplikasi Senam Untuk Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Wilson, Anngeline Mediatrix. 2017. Hubungan Inkontinensia Urin dengan
Tingkat Depresi pada Lansia di Panti Werdha Bethania Lembean. E-
Journal Keperawatan, Vol.5, No.1.
https://media.neliti.com/media/publications/107408-ID-none.pdf. Akses
Tanggal 26 Juni 2019, Pk.13:05.
Yuliana, D. 2011. Pengaruh Senam Kegel Terhadap Perubahan Tipe
Inkontinensia Urine Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan
Aluih Sicincin. Retrieved from http://repository.unand.ac.id/18023/. Akses
Tanggal 3 Mei 2019, Pk.10:50.
46

Lampiran 1: Lembar Permohonan Menjadi Responden

PENJELASAN UNTUK MENGIKUTI PENELITIAN

1. Saya Minarti Wini Sangga, mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan


Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang, dengan ini meminta Anda
untuk berpartisipasi dengan sukarela dalam penelitian yang berjudul
“Pengaruh senam kegel terhadap inkontinensia urin pada lansia di
PantiWerdha Pangesti Lawang Malang”.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senam kegel terhadap
inkontinensia urin pada lansia di PantiWerdha Pangesti Lawang Malang.
3. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh senam kegel
terhadap inkontinensia urin pada lansia di PantiWerdha Pangesti Lawang
Malang.
4. Prosedur pengambilan data adalah dengan menggunakan lembarkuesioner.
Cara ini mungkin dapat mengakibatkan kerugian pada saudara/i dalam hal
waktu dan kerahasiaan, namun tidak perlu khawatir karena kerahasiaan
saudara/i akan dijamin oleh peneliti.
5. Seandainya Anda tidak menyutujui cara ini maka Anda berhak untuk
menolak atau mengundurkan diri sebagai sampel penelitian ini.
6. Nama atau jati diri Anda akan tetap dirahasiakan.

Peneliti
47

Lampiran 2: Lembar Kesediaan Menjadi Responden

PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


UNTUK BERPARTISIPASI DALAM PENELITIAN

Saya yang bertanda-tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

1. Saya telah mengerti apa yang tercantum dalam lembar persetujuan di atas dan

telah dijelaskan oleh peneliti.

2. Dengan ini saya menyatakan bahwa secara sukarela bersedia/tidak

keberatan*)

Untuk ikut serta menjadi salah satu subjek penelitian yang berjudul

“Pengaruh senam kegel terhadap Inkontinensia urin pada lansia di

PantiWerdha Pangesti Lawang Malang”.

*) Coret yang tidak perlu

Peneliti Malang, agustus 2019


yang Membuat
Pernyataan

(Minarti Wini Sangga)


NIM: 2015610071 (..................................)
48

Lampiran 3: Kisi-Kisi Lembar kuisioner

Judul: Pengaruh Senam Kegel terhadap Inkontinensia Urin pada Lansia di


PantiWerdha Pangesti Lawang Malang

No. Soal Jumlah


Variabel Parameter
soal
SOP
Tahapan senam kegel:
Independent: - Pelatihan gerak cepat - -
Senam kegel - Pelatihan mengencangkan
(X) - Pelatihan super kegel
- Super kegel
Jumlah 15
Kuesioner Sandvix Severity Index (SSI)
Independent: 1. Seberapa sering menahan air 1a-1e
kencing 7
Senam kegel
(Y) 2. Jumlah air kencing 2a-2b
Jumlah 7
49

Lampiran 4:Lembar Kuesioner

LEMBAR KUESIONER

Judul Penelitian: Pengaruh Senam Kegel terhadap Inkontinensia Urin pada


Lansia di PantiWerdha Pangesti Lawang Malang

A. Identitas Responden
Nama (boleh tidak diisi) : ……………………………………………..
Usia : .......... Tahun
Jenis kelamin : .......... Laki-laki/Perempuan
Pendidikan terakhir :....................
Pekerjaan terakhir :....................
B. KuesionerKuesioner Sandvix Severity Index (SSI)
1. Seberapa sering anda merasa tidak mampu menahan kencing ?
a. Tidak pernah
b. Tidak lebih dari sekali dalam sebulan
c. Sekali atau beberapa kali dalam sebulan
d. Sekali atau beberapa kali dalam seminggu
e. Setiap hari / setiap malam
2. Seberapa besar urin yang anda keluarkan setiap kali anda
kencing/berkemih?
a. Sedikit
b. Banyak
50

Lampiran 5 Uji Validitas dan Reabilitas

Journal List>BMJ>v.322b (7294); 2001 May 5>PMC31262

BMJ. 2001 May 5; PMCID: PMC31262


322(7294): 1096–1097. PMID: 11337439
doi: 10.1136/bmj.322.7294.10
96

Validity study of the severity index, a


simple measure of urinary
incontinence in women
Janet Hanley, research manager,aAnn Capewell, consultant physician in medicine
of the elderly,b and Suzanne Hagen, research adviser/statisticianc
Author informationArticle notesCopyright and License informationDisclaimer
This article has been cited by other articles in PMC.

Lack of a universally accepted, easily applied, outcome measure is one reason


why urinary incontinence in women is poorly evaluated and treated.1 The severity
index, developed by Sandvik et al, is short and simple enough for use in almost
any context.2 We evaluated the reliability, validity, and sensitivity to change of
the severity index in a wide range of women in Scotland.

Go to:

Methods and results


The severity index comprises the following two questions. How often do you
experience urine leakage (0=never, 1=less than once a month, 2=one or several
times a month, 3=one or several times a week, 4=every day and/or night)? How
much urine do you lose each time (1=drops or little, 2=more)? The total score is
the score for the first question multiplied by the score for the second question
(0=dry, 1-2=slight, 3-4=moderate, 6-8=severe). We added the category “dry” for
women whose urinary incontinence was cured. A version of the index splitting the
“severe” category into severe and very severe has recently been published.3
51

To investigate test-retest reliability, the revised index was administered to study


participants twice, three days apart. To assess validity, 48 hour urinary diaries and
measures of urine leakage over 48 hours (calculated by weighing of pads) were
collected. To test sensitivity to change, participants being treated for their urinary
incontinence completed the measures again 12 weeks after either surgery or first
attendance at a non-surgical continence clinic. Age, physical disability (Barthel
index),4 and cognitive disability (abbreviated mental test) were also recorded.5

Data were collected from women with stable incontinence not undergoing
treatment, identified via community nurses; women undergoing initial assessment
and non-surgical treatment at a continence clinic; and women awaiting surgical
treatment (colposuspension) for stress incontinence. Those included were
medically stable and either were cognitively intact (abbreviated mental test ⩾8) or
had a carer to help them.

Overall, 237 women were recruited (table). Community patients were


significantly older (F2,234=113.6, P<0.001), more cognitively impaired (Kruskal-
Wallis χ2=34.1, P<0.001), and more physically disabled (χ2=88.8, P<0.001) than
women in the two treatment groups. They also experienced greater urine leakage
(χ2=31.6, P<0.001) and more episodes of incontinence (χ2=26.8, P<0.001).

Most women (202; 88%) recorded the same severity index response category on
days 1 and 4 (κ=0.78, P<0.001). Test-retest reliability for each question was also
good (κ=0.69 for question 1 and 0.83 for question 2, P<0.001 for both).

Higher severity index categories were associated with increasing urine leakage
(r=0.36, P<0.001). Median urine leakage over 48 hours was 32 g for those in the
“slight” category, 29 g for “moderate,” and 143 g for “severe” (χ2=14.9, P<0.001;
mean ranks 41.8, 50.2, and 80.7 respectively). There was a similar association
between severity index category and number of episodes of incontinence (r=0.55,
P<0.001). The median number of episodes of urinary incontinence over 48 hours
was 0 for slight, 1 for moderate, and 6 for severe (χ2=67.3, P<0.001; mean ranks
52.4, 79.0, and 141.1). These significant associations suggest that the severity
index is measuring what it is intended to measure, the severity of the physical
condition.

Sixty per cent of women in the two treatment groups moved to a lower severity
index category after intervention. The surgery group had a significantly greater
improvement in severity index than the clinic group (Mann-Whitney U test 442.5,
P<0.001). Change in severity index category was significantly related to both
change in amount of urine leakage (χ2=8.4, P=0.015 ) and number of episodes of
incontinence (χ2=24.1, P<0.001). The severity index thus detected changes in
these measures of urinary incontinence associated with treatment.

Go to:

Comment
52

The severity index is a short, simple, valid, reliable, and sensitive measure of
urinary incontinence in women. It can therefore be recommended for routine use.

Table

Baseline characteristics, measures of incontinence, and number (percentage) in


each severity index category by patient group

Patient group

Continence
Community Surgical
clinic
Baseline
No 79 75 83
Characteristics:
Mean (SD) age (years) 76 (12) 50 (14) 50 (12)
Mean (SD) Barthel score
15.7 (3.2) 18.5 (1.1) 18.2 (0.9)
(maximum=20)
Mean (SD) abbreviated mental test
8.5 (1.5) 9.2 (0.8) 9.5 (0.9)
score (maximum=10)
Severity index category:
Slight 5 (6) 16 (21) 8 (10)
Moderate 16 (20) 33 (44) 18 (22)
Severe 58 (73) 26 (35) 57 (69)
Measures of incontinence:
Median (range) urine leakage (g) in 292 (5-  32 (2-
 41 (1-898)
48 hours 3257) 822)
Median (range) episodes of leakage
 6.5 (0-47)  1 (0-24)  4 (0-23)
in 48 hours
After treatment
No 0 60* 69*
Severity index category:
Dry 1 (2) 41 (59)
Slight 15 (25) 7 (10)
Moderate 27 (45) 17 (25)
Severe 17 (28) 4 (6)
Measures of incontinence:
Median (range) urine leakage (g) in
  0 (0-542)  0 (0-32)
48 hours
Median (range) episodes of leakage  0 (0-37)  0 (0-3)
53

Patient group

Continence
Community Surgical
clinic
in 48 hours
Open in a separate window
*
Eighty five of these women (29 from the continence clinic and 56 surgical
patients) reported in their urinary diaries that they were dry over 48 hours and
declined to wear pads. A weight of urine of zero was assumed, although this could
not be validated.
Go to:

Footnotes
Funding: Research grant from the Scottish Office Department of Health Chief
Scientist Office.

Competing interests: None declared.

Go to:

References
1. Elser DM, Fantl JA, McClish DK the Continence Program for Women
Research Group. Comparison of “subjective” and “objective” measures of
severity of urinary incontinence in women. Neurourol Urodyn. 1995;14:311–316.
[PubMed] [Google Scholar]
2. Sandvik H, Hunskaar S, Seim A, Hermstad R, Vanvik A, Bratt H. Validation of
a severity index in female urinary incontinence and its implementation in an
epidemiological survey. J Epidemiol Community Health. 1993;47:497–499.
[PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]
3. Sandvik H, Seim A, Vanvik A, Hunskaar S. A severity index for
epidemiological surveys of female urinary incontinence: comparison with 48 hour
pad-weighing tests. Neurourol Urodyn. 2000;19:137–145. [PubMed] [Google
Scholar]
4. Mahoney FI, Barthel DW. Functional evaluation: the Barthel index. Maryland
State Medical Journal. 1965;14:61–65. [PubMed] [Google Scholar]
5. Hodkinson HM. Evaluation of a mental test score for assessment of mental
impairment in the elderly. Age Ageing. 1972;1:233–238. [PubMed] [Google
Scholar]

Articles from The BMJ are provided here courtesy of BMJ Publishing Group

Sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC31262/
54

Lampiran 5:Standar Operasional Prosedur (SOP)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

PELAKSANAAN SENAM KEGEL


Lansia di
TANGGAL TERBIT:
Panti
DIBUAT OLEH MENGETAHUI
Werdha
Responden
Pangesti
Lawang
Malang
Minarti Wini Sangga ………………………………………….
Terapi non operatif yang paling sering dilakukan untuk mengatasi stress
Pengertian inkontinensia karena membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot pada
uretra dan periuretra
1. Menguatkan otot-otot yang mengontrol aliran urine (air seni)
2. Untuk mengatasi urgo incontinence/inkontinensia urgensi (keinginan
berkemih yang sangat kuat sehingga tidak dapat mencapai toilet tepat
Tujuan pada waktunya)
3. Lansia dapat mengontrol berkemih
4. Menghindari resiko jatuh pada lansia akibat air kencing (urine) yang
tercecer
Klien lansia yang mengalami permasalahan inkontinensia urin dalam
Indikasi
pengontrolan buang air kecil (BAK)
1. Berikan salam, perkenalkan diri anda.
2. Bina hubungan saling percaya
Persiapan
3. Jelaskan kepada lansia tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan
klien
4. Beri kesempatan pada lansia untuk bertanya
5. Atur posisi lansia sehingga merasakan aman dan nyaman
1. Pakaian olah raga atau pakaian yang longgar
2. Arloji
3. Matras/Karpet/kursi
Persiapan
4. Tape Recorder + lagu (pelengkap)
Alat
5. Peralatan eliminasi jika memungkinkan
6. Ruangan yang nyaman dan tenang

1. Beri salam, perkenalkan nama dan tanggung jawab perawat.


2. Panggil klien dengan nama kesukaan klien.
3. Jelaskan kepada klien tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
Taap
4. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya.
Pelaksanaan
5. Atur posisi klien sehingga merasakan aman dan nyaman.
Senam Kegel
6. Posisikan klien duduk tegak pada kursi dengan panggul dan lutut
tersokong dengan rileks (dapat pula dengan tidur terlentang di atas
matras/karpet dengan lutut di tekuk)
55

7. Badan sedikit membungkuk dengan lengan menyangga pada paha.


8. Konsentrasikan otot dasar panggul seperti menahan buang air besar dan
berkemih.
9. Rasakan kontraksi otot dasar panggung.
10. Pertahan kankontraksi sebatas kemampuan lansia (kurang lebih 10
detik).
11. Rileks, rasakan otot dasar panggul yang rileks selama kurang lebih detik.
12. Kontraksikan otot panggul kembali, pastikan otot panggul berkontraksi
dengan benar tanpa ada kontrkasi otot perut, (misal: jangan menahan
nafas) dengan meletakkan tangan pada perut lansia.
13. Rileks, rasakan kembali perbedaan saat berkontraksi dan rileks.
14. Sesekali kontraksi dipercepat dan pastikan tidak ada kontraksi otot yang
lain.
15. Lakukan kontraksi yang cepat beberapa kali. Pada latihan awal, lakukan
tiga kali pengulangan karena otot yang lemah akan mudah lelah.
16. Latih untuk mengkontraksikan otot dasar panggul dan
mempertahankannya sebelum dan selama aktivitas tertawa, batuk,
bersin, mengangkat benda, bangun dari kursi atau tempat tidur dan
jogging.
17. Target latihan ini adalah 10 kali kontraksi lambat dan 10 kali kontraksi
cepat. Tiap kontraksi dipertahankan 10 hitungan. Latihan dilakukan
selama 6-8 kali sehari atau setiap saat dapat melakukannya minimal
selama 2 minggu, sehingga akan didapatkan hasil yang optimal dari
program latihan.
18. Evaluasi respon klien.
19. Berikan reinforcement positif.
20. Lakukan kontrak untuk latihan atau exercise selanjutnya.
21. Akhiri pertemuan dengan cara yang baik
1. Lansia mampu mengontrol berkemih
Hasil
2. Lansia tidak beresiko jatuh akibat air kencing yang tercecer
1. Tekankan bahwa senam ini merupakan latihan otot dasar panggul secara
aktif.
Hal-Hal 2. Senam kegel dapat dilakukan pada saat lansia berkemih yaitu dengan
yang Perlu cara menghentikan aliran air seni sampai beberapa kali.
Diperhatikan 3. Senam kegel dapat dilakukan dalam posisi apapun, yaitu coba untuk
mengkontraksikan otot dasar panggul dengan merasakan peningkatan
kekuatan otot sambil menghitung 1-10 kemudian rileks kembali
Sumber: Utami, dkk (2013)

Anda mungkin juga menyukai