Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

“Acute Disseminated Encephalomyelitis/ADEM”

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Anak


di Ruang 7A RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Disusun oleh:
RAMLI FAWAIF
196410032

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2019
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN An. M
DENGAN DIAGNOSA MEDIS Acute Disseminated Encephalomyelitis/ADEM
DI RUANG 7A RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
DEPARTEMENKEPERAWATAN ANAK

Disusun Oleh:
RAMLI FAWAIF
196410032

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan ini telah disetujui untuk diajukan sebagai tinjauan teoritis kasus
kelolaan individu Stase Keperawatan Anak dengan kasus (Acute Disseminated
Encephalomyelitis/ADEM) di ruang 7A RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG untuk
memenuhi tugas individu Program Studi Profesi Ners STIKES ICME JOMBANG.
Disetujui

Hari :
Tanggal :
Mahasiswa

( )

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

( ) ( )

Kepala Ruangan

( )
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan ini telah disetujui untuk diajukan sebagai tinjauan teoritis kasus
kelolaan individu Stase Keperawatan Anak dengan kasus(Acute Disseminated
Encephalomyelitis/ADEM) di ruang 7A RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG untuk
memenuhi tugas individu Program Studi Profesi Ners STIKES ICME JOMBANG.
Disetujui

Hari :
Tanggal :
Mahasiswa

( )

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

( ) ( )

Kepala Ruangan

( )
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute Disseminated Encephalomyelitis/ADEM)

adalah penyakit monofasik yang pada masa kecilnya terdapat riwayat infeksi virus, imunisasi

virus, atau penyakit eksantem. Meskipun tidak terbatas pada infeksi virus, namun pada

umumnya penyakit ini muncul setelah penderita terinfeksi measles, varicella dan rubella.

Penyebabnya diduga karena reaksi silang antara alergi atau autoimun yang menyerang

myelin dengan protein virus. Gejalanya sama dengan episode tunggal multiple sklerosis (MS)

akut. Lesi yang terjadi dapat multiple dengan intensitas tinggi pada proton density weighted

images (PDWI)/ T2 weighted images (T2WI) (Gambar 7-14). Enam bulan sejak penyakit

tersebut dimulai, tidak tampak lesi baru dengan magnetic resonance (MR). ADEM dapat

menyebabkan batang otak atau medulla spinalis membesar yang sering tampak seperti

gambaran massa, biasanya sering terlihat pada serebrum. Sindroma klinik mielitis transversa

akut yang muncul antara lain cranial nerve palsy, acute cerebellar ataxia, atau neuritis optikus.

Lesi substansia nigra dapat juga diidentifikasi. Pada umumnya diagnosis dibuat berdasarkan

riwayat penyakit yang terjadi sebelumnya dan adanya limfositosis pada cairan serebrospinal

serta peningkatan protein. Kejadian mortalitas ADEM adalah sebesar 30% termasuk yang

mendapatkan terapi steroid. Meskipun jarang, spektrum akhir pada ADEM adalah

leukoensefalitis hemoragik dengan perdarahan white matter dan demielinasi.

B. Etiologi

Acute disseminated encephalomyelitis dapat terjadi setelah terjadi infeksi virus atau
bakteri sebelumnya atau setelah dilakukan vaksinasi. Kurang lebih 50–75% ADEM terjadi
setelah terjadi infeksi virus maupun bakteri sebelumnya. Angka kejadian ADEM setelah
diberikan imunisasi terjadi <5% dari total kejadian ADEM.6,7
 Postinfeksi
Dari berbagai penelitian didapatkan berbagai macam agen penyebab ADEM, baik
virus seperti campak, gondongan, rubela, varicella-zoster, herpes simplex, hepatitis A,
influenza, Ebstein-Barr virus, rotavirus dan enterovirus, maupun bakteri seperti
Mycoplasma pneumoniae, Borrelia burgdorferi, Chlamydia spp, Leptospira spp,
Ricketstsia spp, dan Streptococcus β-hemolyticus.5,6,8
Ketidakberhasilan untuk mengidentifikasi agen penyebab ADEM yang spesifik
mungkin disebabkan agen penyebab yang tidak umum ataupun karena agen penyebab
yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium standar.5
Acute disseminated encephalomyelitis paling sering ditemukan setelah infeksi campak.
Mortalitas dan sekuele neurologis dari ADEM setelah terinfeksi campak jauh lebih besar
dibandingkan dengan akibat infeksi lainnya.5,7
 Postimunisasi
Penyebab lain ADEM adalah yaitu setelah pemberian imunisasi yang disebut post
immunization encephalomyelitis, terjadi <5% dari total kejadian ADEM, dan terjadi
dalam rentang waktu 4 minggu pemberian imunisasi. Bentuk ini secara klinis sulit
dibedakan dengan jenis ADEM yang terjadi postinfeksi bakteri/virus, kecuali ADEM
yang terjadi setelah imunisasi sering melibatkan sistem saraf perifer dibandingkan dengan
ADEM yang terjadi setelah infeksi bakteri/virus.5,7,8
Post immunization encephalomyelitis umumnya berhubungan dengan vaksinasi
campak, gondongan, dan rubela (MMR), namun angka kejadiannya jauh lebih kecil
dibandingkan dengan ADEM yang disebabkan infeksi campak yang terjadi secara alami.
Post immunization encephalomyelitis juga dapat terjadi setelah imunisasi rabies, hepatitis
B, influenza, Japanese B encephalitis, difteria-pertusis-tetanus, polio, smallpox, dan cacar
air.Meskipun demikian, hingga kini hanya vaksin rabies yang telah terbukti secara
epidemiologis dan patologis berhubungan dengan ADEM.9,10
Berikut adalah beberapa etilogi penyebab ADEM dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Etilogi Penyebab ADEM


Infeksi Imunisasi
Virus
Campak Campak
Gondongan Difteri, Pertusis, Tetanus
Haemophyllus influenzae A atau B Cacar air
Hepatitis A atau B Rabies
Herpes simplex virus Polio
Cacar air, rubela Hepatitis B
Epstein-Barr virus Influenza
Sitomegalovirus
HIV
Infeksi lainnya
Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia
Legionella
Campylobacter
Streptococcus
Sumber: Garg5
C. Klasifikasi

Terdapat 3 klasifikasi ADEM yaitu:


1. ADEM Monofasik
ADEM monofasik adalah suatu episode ADEM yang dapat berkembang selama satu
periode, yaitu maksimal 3 bulan. Gejala klinis yang mungkin terjadi selama penurunan
dosis steroid atau dalam sebulan setelah penghentian pengobatan steroid juga
diklasifikasikan sebagai suatu episode tunggal. Episode rekuren dan multifasik ADEM
harus terjadi lebih dari 3 bulan setelah gejala awal muncul dan lebih dari satu bulan
setelah penghentian pengobatan steroid.5,6,15
2. ADEM Rekuren
ADEM rekuren didefinisikan sebagai serangan yang terjadi setelah melewati satu periode
dengan gejala klinis yang sama seperti serangan awal penyakit. Temuan magnetic
resonance imaging (MRI) pun mirip seperti serangan awal dan tidak didapatkan lesi-lesi
baru, namun dapat ditemukan perluasan lesi-lesi yang ditemukan pada episode awal. 5,6,15
3. ADEM Multifasik
ADEM multifasik didefinisikan sebagai serangan yang terjadi pada tempat baru di sistem
saraf pusat yang berbeda dari serangan sebelumnya. Pada penderita ditemukan gejala
ensefalopati seperti pada serangan awal/sebelumnya, namun temuan klinis dan pencitraan
sistem saraf terdapat pada area yang berbeda dibandingkan dengan serangan awal. Pada
gambaran MRI ditemukan adanya lesi baru dan mungkin ditemukan perbaikan parsial
atau komplet lesi yang sebelumnya didapatkan pada episode pertama ADEM. 5,6,15

D. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis ADEM umumnya muncul 2 hari hingga 4 minggu setelah terpapar
antigen, yang didapat setelah infeksi virus/bakteri ataupun setelah mendapatkan
imunisasi. Gejala dimulai dengan fase prodromal berupa:
a. demam,
b. kelemahan badan,
c. sakit kepala,
d. mual, dan muntah
2. Gejala neurologis yang terjadi dapat bervariasi dari letargis hingga koma, gejala
neurologis fokal maupun multifokal, gejala neurologis yang terjadi ditentukan oleh lokasi
lesi pada sistem saraf pusat. Gejala tersebut dapat berupa hemiparesis, cranial nerve
palsies, dan paraparesis. Selain itu dapat terjadi meningismus, ataksia, gangguan cara
berjalan (gait), kejang, gangguan penglihatan, gangguan bicara, dan gagal napas akibat
lesi pada batang otak. Gejala multifokal adalah gangguan dapat terjadi pada otak, seperti
optic neuritis dan atau pada medula spinalis, seperti pada transverse myelitis.5,6,15
4. Gejala optic neuritis dapat berupa gangguan penglihatan dan nyeri saat menggerakkan
bola mata. Pada pemeriksaan funduskopi dapat terlihat inflamasi diskus optikus. Gejala
transverse myelitis dapat berupa paralisis flaccid kedua tungkai yang disertai gangguan
sensoris. Keterlibatan sistem pencernaan dan traktus urinarius dapat menyebabkan
konstipasi dan retensi urin. Gejala klinis ADEM yang berat biasanya berlangsung selama
2–4 minggu.5,15,16
E. Komplikasi
Berikut adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi
1. Masalah ingatan atau konsentrasi
2. Kehilangan pendengaran bisa parsial atau total
3. Kesulitan belajar, bersifat sementara atau permanen
4. Masalah koordinasi dan keseimbangan
5. Masalah dalam berbicara
6. Lumpuh otak atau cerebral pulsy, istilah umum untuk kondisi yang mempengaruhi gerakan
dan koordinasi tubuh.
F. Pemeriksaan Diagnostik
i. Pencitraan sistem saraf

Pencitraan sistem saraf(neuroimaging) sangat penting dalam menegakkan

diagnosis ADEM. Lesi demielinisasi dari ADEM paling jelas terlihat dengan

menggunakan MRI, jenis T2-weighted images dan fluid attenuated inversion (FLAIR).

Lesi demielinisasi ADEM biasanya tidak menunjukkan massa dan dapat tersebar di

substansia alba fosa posterior dan hemisfer serebral. Pada anak, keterlibatan serebelum

dan batang otak sering kali ditemukan.16

Gambaran khas MRI menunjukkan area-area berbecak-bercak (patchy) yang

tersebar luas, bilateral, dan asimetris yang homogen atau sedikit inhomogen berupa

peningkatan densitas pada lesi dibandingkan dengan area sekitarnya. Predominansi

kelainan terdapat di white matter, namun grey matter pun dapat ditemukan kelainan,

terutama pada deep gray nuclei di ganglia basalis, talamus, dan batang otak. Kadang juga

didapatkan gambaran lesi yang menyerupai tumor.16

Pada white matter, lebih sering ditemukan lesi pada area juxtacortical dan deep

white matter dibandingkan dengan area periventrikular. Lesi demielinisisasi pada ADEM

jarang melibatkan korpus kalosum, namun apabila didapatkan keterlibatan korpus

kalosum, hal ini menunjukkan lesi demielinisasi yang sangat luas. Pada ADEM sering
didapatkan lesi infratentorial, termasuk batang otak dan substansia alba serebeum. Bentuk

dan ukuran lesi bervariasi dari lesi yang bulat dan kecil, hingga lesi yang tidak berbentuk,

ireguler, dan besar.16,17

Untuk mendiagnosis ADEM diperlukan pemeriksaan MRI secara berkala pada

follow up dan tidak ditemukan lesi baru pada sistem saraf pusat setelah munculnya gejala

klinis awal.8,18 pada MRI tidak ditemukan gambaran lesi atau kerusakan pada substansia

alba yang terjadi sebelumnya. Perubahan gambaran MRI biasanya ditemukan pada awal

penyakit dan membaik seiring dengan fase penyembuhan penyakit, namun gambaran

abnormalitas sistem saraf pusat dapat tidak terlihat hingga satu bulan setelah munculnya

gejala klinis, sehingga gambaran klinis MRI yang normal pada beberapa hari pertama

setelah munculnya gejala tidak menyingkirkan diagnosis ADEM.8,15,18

Medula spinalis pada MRI dapat menunjukkan lesi intramedular dengan densitas

bervariasi yang menyertai abnormalitas MRI otak.8,15,18 Sedangkan lokasi potensial

terjadinya ADEM dapat dilihat pada Gambar 1, Gambaran MRI dan medula spinalis pada

anak yang menderita ADEM dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Lokasi
potensial pada lesi
penderita ADEM

Sumber: Marin&Callen16

Gambar 2. Gambaran MRI


otak dan medula spinalis
pada anak yang menderita
ADEM

Sumber: Lee8
ii. Analisis Cairan serebrospinal

Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal (liquor cerebrospinalis/LCS) dapat

ditemukan hasil yang normal, namun sering terdapat perubahan dari nilai normal.

Perubahan yang khas pada analisis LCS adalah peningkatan tekanan, lymphocytic

pleocytosis (maksimal 1.000/mm2, terkadang pada awal didahului peningkatan jumlah sel

polimorfonuklear), dan peningkatan kadar protein LCS. Selain itu, didapatkan peningkatan

kadar gama globulin dan igG, serta peningkatan kadar myelin basic protein. Kadar glukosa

LCS biasanya normal. Ikatan ologloklonal pada ADEM, dan lebih sering terdapat pada

sklerosis multipel (MS). Produksi dari ikatan ologlokonal igG intratekal menunjukkan

perbaikan kondisi klinis pasien.5,15

iii. Elektroensefalografi (EEG)

Abnormalitas EEG yang didapatkan pada ADEM adalah berupa perlambatan umum

yang tidak spesifik dan merupakan gambaran yang non spesifik yang dapat terjadi pada

semua jenis ensefalopati. Karena rendahnya sensitivitas dan spesifisitasnya, EEG tidak

rutin digunakan untuk mendiagosis ADEM. Pada penderita ADEM dengan gejala

psikiatrik, pemeriksaan EEG dapat membantu membuktikan lesi organik sebagai penyebab

gejala tersebut.3,5,15

iv. Biopsi otak

Secara histopatologi pada postmortem, ditemukan inflamasi perivenular dengan

area demieliniasi yang terbatas, namun pada beberapa kasus didapatkan area demielinisasi

yang lebih luas yang terjadi secara sekunder akibat gabungan berbagai lesi demielinisasi

perivenular.

G. Penatalaksanaan

Hingga kini belum ada standar terapi untuk tatalaksana ADEM. Semua tatalaksana ADEM
terutama berdasarkan pemikiran yang didapat dari pengalaman klinis, penelitian deskriptif,
atau laporan dari komunitas ahli. Terapi standar untuk ADEM hingga kini belum dikonfirmasi
menggunakan penelitian randomized control trials (RCT).16
 Suportif
Terapi suportif pada penderita ADEM meliputi proteksi jalan napas pada penderita dengan
gangguan kesadaran, ventilasi mekanik pada penderita dengan lesi di daerah servikal, obat
antikejang pada penderita yang mengalami kejang, ataupun koreksi gangguan
elektrolit.8,15,20
 Imunomodulasi
Metilprednisolon intravena (IV) merupakan obat pilihan pertama yang digunakan untuk
tatalaksana ADEM dengan angka keberhasilan mencapai 80%. Dosis metilprednisolon IV
adalah 10–30mg/kg/hari, maksimal 1 g/hari selama 3–5 hari. Penggunaan metilprednisolon
pada penderita ADEM dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
penggunaan deksametason. Pemberian kortikosteroid dilanjutkan secara per oral dan
dilakukan penurunan dosis secara gradual (tapering off) selama 6 minggu untuk mencegah
relaps.15,20
 Terapi pengganti plasma
Jika pemberian kortikosteroid IV tidak memberikan respons yang memuaskan, langkah
selanjutnya yaitu melakukan terapi penggantian plasma. Pemberian terapi penggantian
plasma sebanyak 4–6 kali menunjukkan perbaikan gejala klinis ADEM yang cukup
signifikan.5,8,15,20
 Immunoglobulin Intravena (IVIG)
Pilihan lain untuk tatalaksana ADEM adalah menggunakan IVIG 0,4 mg/kg/hari selama 5
hari, namun terapi menggunakan IVIG ini mahal. Perbaikan pada penderita ADEM yang
diterapi dengan IVIG terlihat dalam 2–3 hari. Dilaporkan pula keberhasilan terapi
kombinasi antara metilprednisolon IV dan IVIG, terutama pada penderita dengan gejala
yang berat dan atipikal. 5,8,15,20
 Terapi Lainnya
Pemberian siklofosfamid, azatiopirin, atau obat sitostatik lainnya dilaporkan berhasil
dalam tatalaksana ADEM yang berat pada orang dewasa, namun keberhasilan terapi
tersebut pada anak masih dipertanyakan.5,8,15,20
Terapi bedah dengan hemikraniektomi dekompresi dapat dilakukan untuk tindakan life
saving pada penderita dengan edema serebri yang mengancam jiwa yang tidak responsif
terhadap terapi konvensional. Ada pula anggapan mengenai efektivitas terapi
menggunakan interferon-β pada penderita ADEM multifasik. 5,15,21
H. Patofisiologi

ADEM yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah, penyebaran
langsung. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang
fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui tromboflebilitis,
osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus paranasales. Mula-mula terjadi
peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses peradangan ini membentuk eksudat,
trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di
daerah yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak
disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk dinding yang
kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit
polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini memakan waktu kurang dari
2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau
ruang subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis.27 Meningoensefalitis yang
disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll.
masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus
melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang
lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi
dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus.
Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia
yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain
Universitas Sumatera utara ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic
spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan
saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus
dalam otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada
ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak,
peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia.27 Amuba ADEM diduga
melalui berbagai jalan masuk, oleh karena parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat
hidup bebas di alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi melalui saluran pernapasan pada
waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat.28 Infeksi yang disebabkan oleh
protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari penularan ibu-fetus. Mungkin juga manusia
mendapat toksoplasma karena makan daging yang tidak matang. Dalam tubuh manusia,
parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan saraf pusat.
Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul berbagai
manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan bagian tubuh lainnya.
Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus meninggal dalam
kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya mikrosefalus,
dll.
PATHWEY
Faktor predisposisi meliputi Virus Campak Gondongan
Haemophyllus influenzae A atau B Hepatitis A atau B
Herpes simplex virusCacar air, rubela Epstein-Barr virus
Sitomegalovirus HIV

Iritasi meningen dan batang otak

Mengenai CNS

insevalitis

Ke jaringan susu non saraf pusat Kesusakan susuna saraf pusat

Gangguan bicara Gangguan gerak Gangguan penglihatan

Hambatan komunikasi verbal Hambatan mobilitas fisik


ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN ACUT DISSEMINATED ENCHEPHALOMYELITIS

1. Pengkajian
a. Pengkajian kondisi/kesan umum
Kondisi umum Klien nampak sakit berat
b. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan berbicara padanya.
Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon pasien. Bila terjadi penurunan
kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.
c. Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
1) Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya.
2) Respon velbal (V) : klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.
3) Respon nyeri (P) : klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
4) Tidak berespon (U) : klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri ketika
dicubit dan ditepuk wajahnya.
d. Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah aktual dari kondisi life treatening (mengancam kehidupan). Pengkajian berpedoman pada
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal memugkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
2) Breathing dan ventilasi
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
4) Disability
5) Eksposur

1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal.


Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan servikal :
a) Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas
b) Distres pernafasan
c) Adanya kemungkinan fraktur cervical
Pada fase iktal, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga menghalangi jalan
napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya ditemukan
perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut
2) Breathing
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus, dan kulit
tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien mengalami apneu
3) Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam keadaan tidak
sadar.
4) Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari epilepsi
yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera tambahan
akibat kejang
e. Pengkajian sekunder
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual. Kapan klien mulai
serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi,
kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai
hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan
obat-obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami
gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak
berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan
dengan orang lain.
a) Riwayat kesehatan
b) Riwayat keluarga dengan kejang
c) Riwayat kejang demam
d) Tumor intrakranial
e) Trauma kepala terbuka, stroke
4) Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekwensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
5) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan,, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan tonus otot,
gerakan involunter/kontraksi otot
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal terjadi
inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang,
kerusakan jaringan lunak

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi adalah:
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, peningkatan sekresi
mucus
b. Resiko tinggi injuri b.d perubahann kesadaran , kerusakan kognitif,selama kejang atau kerusakan
perlindungan diri.
c. Hambatan mobilitas fisik b.d kelemahan otot
d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses perjalanan penyakit berhubungan dengan kurangnya
informasi
3. Rencana Intervensi
Perencanaan
No. Dx Keperawatan Tujuan
Intervensi Rasional
1 Pola napas tidak Mempertahankan- a. Anjurkan klien untuk a. Menurunkan resiko
efektif pola pernapasan mengosongkan mulut dari aspirasi atau masuknya
berhubungan efektif dengan benda / zat tertentu / gigi benda asing ke faring
dengan kerusakan jalan napas paten palsu atau alat lainnya b. Meningkatkan aliran
neuromuskuler, jika fase aura terjadi dan (drainase) secret,
peningkatan untuk menghindari rahang mencegah lidah jatuh
sekresi mucus mengatup jika kejang sehingga menyumbat
terjadi tanpa ditandai jalan napas
gejala awal. c. Untuk memfasilitasi
b. Letakkan klien pada usaha bernapas
posisi miring, permukaan d. Mencegah tergigitnya
datar, miringkan kepala lidah dan memfasilitasi
selama serangan kejang saat melakukan
c. Tanggalkan pakaian penghisapan lender. Jalan
pada daerah leher, dada, napas buatan mungkin
dan abdomen diindikasikan setelah
d. Masukkan spatel lidah / meredanya aktivitas
jalan napas buatan atau kejang jika pasien
gulungan benda lunak tersebut tidak sadar dan
sesuai indikasi tidak dapat
e. Lakukan penghisapan mempertahankan posisi
sesuai indikasi lidah yang aman
f. Berikan tambahan e. Menurunkan resiko
oksigen / ventilasi manual aspirasi atau asfiksia
sesuai kebutuhan pada f. Dapat menurunkan
fase posiktal hipoksia serebral sebagai
g. Siapkan / bantu akobat dari sirkulasi yang
melakukan intubasi jika menurun atau oksigen
ada indikasi sekunder terhadap spasme
vaskuler selama serangan
kejang
g. Munculnya apneu yang
berkepanjangan pada fase
posiktal membutuhkan
dukungan ventilator
mekanik
2 Resiko tinggi Mengurangi a. Kaji karakteristik a. Untuk mengetahui
injuri b.d resiko injuri pada kejang seberapa besar tingkatan
perubahann pasien b. Jauhkan pasien dari kejang yang dialami
kesadaran , benda benda tajam / pasien sehingga
kerusakan membahayakan bagi pemberian intervensi
kognitif,selama pasien berjalan lebih baik
kejang atau c. Masukkan spatel lidah / b. Benda tajam dapat
kerusakan jalan napas buatan atau melukai dan mencederai
perlindungan diri. gulungan benda lunak fisik pasien
sesuai indikasi c. Dengan meletakkan
d. Kolaborasi dalam spatel lidah diantara
pemberian obat anti rahang atas dan rahang
kejang bawah, maka resiko
pasien menggigit lidahnya
tidak terjadi dan jalan
nafas pasien menjadi
lebih lancer
d. Obat anti kejang dapat
mengurangi derajat
kejang yang dialami
pasien, sehingga resiko
untuk cidera pun
berkurang
3 a. Hambatan Mengidentifikasi a. Diskusikan perasaan a. Reaksi yang ada
mobilitas perasaan dan pasien mengenai bervariasi diantara
fisik b.d metode untuk diagnostic, persepsi diri individu dan pengetahuan
kelemahan koping dengan terrhadap penanganan / pengalaman awal
otot persepsi negative yang dilakukannya. dengan keadaan
pada diri sendiri b. Anjurkan untuk penyakitnya akan
mengungkapkan / mempengaruhi
mengekspresikan penerimaan
perasaannya b. Adanya keluhan
c. Identifikasi/antisipasi merasa takut, marah dan
kemungkinan reaksi sangat memperhatikan
orang pada keadaan tentang implikasinya di
penyakitnya. Anjurkan masaa yang akan datang
klien untuk tidak dapat mempengaruhi
merahasiakan masalahnya pasien untuk menerima
d. Gali bersama pasien keadaanya
mengenai keberhasilan c. Memberikan
yang telah diperoleh atau kesempatan untuk
yang akan dicapai berespon pada proses
selanjutnya dan kekuatan pemecahan masalah dan
yang dimilikinya memberikan tindakan
e. Tentukan sikap / control terhadap situasi
kecakapan orang terdekat. yang dihadapi
Bantu menyadari d. Memfokuskan pada
perasaan tersebut adalah aspek yang positif dapat
normal, sedangkan membantu untuk
merasa bersalah dan menghilangkan perasaan
menyalahkan diri sendiri dari kegagalan atau
tidak ada gunanya kesadaran terhadap diri
f. Tekankan pentingnya sendiri dan membentuk
orang terdekat untuk tetap pasien mulai menerima
dalam keadaan tenang penangan terhadap
selama kejang penyakitnya
e. Pandangan negative
dari orang terdekat dapat
berpengaruh terhadap
perasaan kemampuan/
harga diri klien dan
mengurangi dukungan
yang diterima dari orang
terdekat tersebut yang
mempunyai resiko
membatasi penanganan
yang optimal
f. Ansietas dari pemberi
asuhan adalah menjalar
dan bila sampai pada
pasien dapat
meningkatkan persepsi
negative terhadap
keadaan lingkungan/diri
sendiri
4 Kurang pengetahuan a. Kaji tingkat pendidikan a. pendidikan merupakan
pengetahuan keluarga keluarga klien. salah satu faktor penentu
keluarga tentan meningkat, b. Kaji tingkat tingkat pengetahuan
proses perjalanan keluarga mengerti pengetahuan keluarga seseorang
penyakit dengan proses klien. b. untuk mengetahui
berhubungan penyakit epilepsy, c. Jelaskan pada keluarga seberapa jauh informasi
dengan kurangnya keluarga klien klien tentang penyakit yang telah mereka
informasi tidak bertanya kejang demam melalui ketahui,sehingga
lagi tentang penyuluhan. pengetahuan yang
penyakit, d. Beri kesempatan pada nantinya akan diberikan
perawatan dan keluarga untuk dapat sesuai dengan
kondisi klien. menanyakan hal yang kebutuhan keluarga
belum dimengerti. c. untuk meningkatkan
e. Libatkan keluarga pengetahuan
dalam setiap tindakan d. untuk mengetahui
pada klien. seberapa jauh informasi
yang sudah dipahami
e. agar keluarga dapat
memberikan penanngan
yang tepat jika suatu-
waktu klien mengalami
kejang berikutnnya.
Daftar Pustaka

1. Elhassanien AF, Alghiaty HAA, Zakaeria M. Acute Demieliminating Encephalomyelitis


(ADEM); Clinical characteristics and outcome. Pediat Therapeut. 2013;3;1
2. Jayakrishnan MP, Krishnakumar P, Clinical profile of acute disseminated encephalomyelitis
in children. J Ped Neurose,2010;5;111-4
3. Incecik F, Herguner MO. Acute disseminated encephalomyelitis an evaluation of 15 case in
childhood. Turk J Pediatr. 2013;55;253-9
4. Apatoff BR. Overview of demielinating disorder.merek.2014
5. Gard RK.Acute disseminated encephalomyelitis. Postgrade Med J. 2003;79;11-7
6. The transverse Myelitis Asociation Acute diseminated encephalomyelitis (ADEM) uptodate.
2012.68:87-S12
7. Kennely PGE. Viral encephalitis: causes,differental diagnosis, and management. J neurol
Neurosurg Psykiatri. 2004;75(1);10-115
8. Lee YJ. Acute Disseminated encephalomyelitis in children. Differential diagnosis from
multiple sclerosis on the basis of clinical cours. Korean J pediatr. 2011.54(6);234-40
9. Thapa R. Acute disseminated enchepalomyelitis. India J Peds.2009-76
10. Kato Z. Shimada Y, Ishiko H,Kondo N, Reversion to the neurovilurent genome squance of
polio of vaccine virus issolated from community acquired meningitis. Bentham open,
2009;3;31-2
11. Pohl D. Epidemiology,immuniphatogenesis and management of pediatrik centralnervous
system inflamatory demielinating condition. Curr opin neurol.2008;21:366-72
12. O’Connor KC. Melaughlin KA, Jager PLD, Chitnis T.. Betteli E,Xu C,et.all self antigen
tetramers discriminate between mielin autoantibodies to native ordenatured protein. Nat
Med,2007;13(2);211-7
13. Menge T,Kiesseier BC,Nessler S, Hemmer B, Hartung HP, Stuve O, Acute disseminated
encephalomyelitis an acute hit againt the brain. Curr opin neurol.2007:20;247-54
14. Kim KS. Mechanism of microbial transversal of the blood brain barrier. Nat rev microbial.
2008;6;625-34
15. Tenembaum S,Chitnis T,Ness J,Hahn JS. Acute disseminated enchepalomyelitis neurologi.
2007;68(2);s23-s36
16. Marin SE,Callen DJA, The magnetic resonance imaging apperance of monophasic acute
disseminated enchepalomyelitis an update post application of the 2007 consensus criteria.
Neuroimag clin N Am.2013;23;245-66

Anda mungkin juga menyukai