MIELITIS
DISUSUN OLEH
SITI KOMARIYAH 1811040001
Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area
fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau sub
akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan
traktus saraf di medula spinalis. Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus
spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior.
Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris mengenalkan
terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap suatu kasus komplikasi mielitis
transversalis setelah pneumonia. Transverse menggambarkan secara klinis adanya band-like area
horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau torak. Sejak saat itu, sindrom paralisis
progresif karena inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis transversalis. Inflamasi
berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial menimbulkan
kerusakan.
2. Etiologi
Para peneliti tidak yakin mengenai penyebab pasti transversa myelitis. Peradangan yang
menyebabkan kerusakan yang luas pada medulla spinalis dapat diakibatkan oleh infeksi virus,
reaksi kekebalan yang abnormal, atau tidak cukup aliran darah melalui pembuluh darah yang
terletak di sumsum tulang belakang. Myelitis Transversa juga dapat terjadi sebagai komplikasi
sifilis, campak, penyakit Lyme, dan beberapa vaksinasi, termasuk untuk cacar dan rabies serta
idiopatik.
Myelitis transversa sering berkembang akibat infeksi virus. Agen infeksi yang dicurigai
menyebabkan myelitis transversa termasuk varicella zoster, herpes simpleks, sitomegalovirus,
Epstein-Barr, influenza, echovirus, human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis A, dan
rubella. Bakteri infeksi kulit, infeksi telinga tengah (otitis media), dan Mycoplasma pneumonia.
2.3.4 Patogenesis
Pasca-kasus infeksi mekanisme sistem kekebalan tubuh yang aktif akibat virus atau
bakteri, tampaknya memainkan peran penting dalam menyebabkan kerusakan pada saraf tulang
belakang. Meskipun peneliti belum mengidentifikasi mekanisme yang tepat bagaimana
terjadinya cedera tulang belakang dalam kasus ini, mungkin rangsangan sistem kekebalan
sebagai respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa reaksi kekebalan tubuh mungkin
bertanggung jawab. Pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh, yang biasanya melindungi
tubuh dari organisme asing, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan inflamasi
dan, dalam beberapa kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam sumsum tulang belakang
Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi arteriovenosa spinal (kelainan
yang mengubah pola-pola normal aliran darah) atau penyakit pembuluh darah seperti
aterosklerosis yang menyebabkan iskemia, penurunan tingkat normal oksigen dalam jaringan
sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di dalam sumsum tulang belakang akibat
penyumbatan pembuluh darah atau mempersempit, atau faktor-faktor lain yang kurang umum.
Pembuluh darah membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan saraf tulang belakang dan membawa
sisa metabolik. Ketika arterivenosus menjadi menyempit atau diblokir, mereka tidak dapat
memberikan jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke jaringan saraf tulang belakang. Ketika
wilayah tertentu dari sumsum tulang belakang menjadi kekurangan oksigen, atau iskemik, sel
saraf dan serat mungkin mulai memburuk relative dengan cepat. Kerusakan ini dapat
menyebabkan peradangan luas, kadang-kadang menyebabkan myelitis transversal. Kebanyakan
orang yang mengembangkan kondisi sebagai akibat dari penyakit vaskular melewati usia 50,
punya penyakit jantung, atau baru saja menjalani operasi dada atau abdominal.
Mielitis transversalis akut post-vaksinasi
Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat dengan
demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuklear, terutama limfosit T pada nerve roots dan
ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di perivaskular dan
parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi
dapat menginduksi proses autoimun yang berkembang menjadi MT9.
MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat adanya keluhan
respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata “parainfeksi” telah
digunakan untuk cedera neurologis yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan cedera
yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh
imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan
saraf. Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan mielitis, dan mungkin menjadi penyebab
infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya, seperti Listeria
monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla spinalis. Dengan menggunakan
beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses ke lokasi yang kaya system imun, menghindari
sistem imun yang berada pada organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi
yang terbatas pada suatu fokus area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT9.
Mimikri molekuler
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem saraf sangat
bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi campilobacter jejuni dibuktikan menjadi
penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia mengandung
beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya.
Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C.
jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibodi yang bereaksi dengan gangliosid C. jejuni
ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan dengan saraf perifer,
mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat
terjadi akibat pembentukan autoantibodi sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi
sebelumnya9.
Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem humoral, dengan
berkurangnya kemampuan untuk membedakan “self” dan “non-sel”. Pembentukan antibodi yang
abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau menarik elemen-elemen
seluler tambahan ke medulla spinalis. Antibodi yang bersirkulasi dapat membentuk kompleks
imun dan terdeposit di suatu area di medulla spinalis9.
Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam sampai beberapa hari)
atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu hingga 6 minggu). Gejala awal biasanya
mencakup lokal nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesias (sensasi abnormal seperti
membakar, menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki, hilangnya sensorik, dan paraparesis
(kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering berkembang menjadi paraplegia. Dan
mengakibatkan gangguan genitourinary dan defekasi. Banyak pasien juga melaporkan
mengalami kejang otot, perasaan umum tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan kehilangan
nafsu makan. Tergantung pada segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien mungkin
juga akan mengalami masalah pernapasan.
Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis transversa yang muncul:
(2) nyeri,
Nyeri adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga sampai setengah dari
semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di punggung bawah atau dapat terdiri dari tajam,
sensasi yang memancarkan bawah kaki atau lengan atau di sekitar dada.
Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan istilah-istilah seperti
mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk menggambarkan gejala mereka. Sampai 80
persen dari mereka yang myelitis transversa memiliki kepekaan yang meningkat, sehingga
pakaian atau sentuhan ringan dengan jari signifikan menyebabkan rasa tidak nyaman atau sakit
(suatu keadaan yang disebut allodynia). Banyak juga mengalami peningkatan sensitivitas
terhadap perubahan suhu yang ekstrem atau panas atau dingin.
Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia urin
dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi
perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom
adanya disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang
paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis
bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari6
Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba, diikuti oleh
mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas.
Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi kelumpuhan
serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan kandung kemih.
Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis menentukan beratnya gejala yang
timbul.
2.3.7 Diagnosa
Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi medula spinalis baik karena
proses neoplasma medula spinalis intrinsik maupun ekstrensik, ruptur diskus intervertebralis
akut, infeksi epidural dan polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain Barre).
Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak didapati blokade
aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm3) terutama jenis limfosit, protein sedikit
meninggi (50-120 mg/100 ml) dan kadar glukosa normal. Berbeda dengan sindrom Guillain
Barre di mana dijumpai peningkatan kadar protein tanpa disertai pleositosis. Dan pada sindrom
Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta pola gangguan sensibilitasnya di
samping mengenai kedua tungkai juga terdapat pada kedua lengan.
Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis karena perjalanan
penyakitnya tidak akut sering didahului dengan nyeri segmental sebelum timbulnya lesi
parenkim medula spinalis. Selain itu pada pungsi lumbal dijumpai blokade aliran likuor dengan
kadar protein yang meningkat tanpa disertai adanya sel.
Dilakukan pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah.
Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat pada tabel
2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada satupun kriteria
eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit lain harus
memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis dari penyakit yang
dicantumkan di kriteria ekslusi.
MRI
Evaluasi awal untuk pasien mielopati harus dapat menentukan apakah ada penyebab
struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau spondilolistesis) atau
tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus dilakukan dalam beberapa jam setelah
presentasi.
CT-myelografi
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan struktural, CT-
myelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menilai
medulla spinalis.
Punksi Lumbal
Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan pemeriksaan yang harus
dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin
CSF (hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa.
Kultur CSF, PCR, titer antibodi
Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik konkuren (pneumonia
atau diare), status immunokompromis (AIDS atau penggunaan obat-obat immunosuppresan),
infeksi genital berulang, sensasi terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk
radikulitis zoster, atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti
ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibodi harus dilakukan.
Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit inflamasi sistemik
seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES, sarkoidosis, atau penyakit jaringan
ikat campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level,
ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La), antibodi antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-
glikoprotein, dan level komplemen.
2.3.9 Penatalaksanaan
Immunoterapi inisial
Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk menghambat progresivitas dan menginisiasi
resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat mempercepat perbaikan secara klinis.
Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien mengalami perbaikan
parsial atau komplit. Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari,
biasanya selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada kasus
pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Pemberian glukokortikoid atau
ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang datang dengan gejala awitanya sedang
berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi progresivitas defesit neurologik.
Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednison oral 1 mg/kg berat badan/hari sebagai
dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak
dapat diberikan per oral dapat pula diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8
mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH dapat diberikan secara intramuskular denagn
dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7 hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20
unit dua kali per hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid, penderita
diberi diet rendah garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain
itu sebagai alternatif dapat diberikan antasid per oral.
Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal,
insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit8.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon dengan
pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati, trombositopenia,
thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan infeksi merupakan komplikasi
dari tindakan ini8.
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi sensorimotor saat
pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi sensorimotor mengalami
perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien
demyelinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi imunosupressan menunjukkan
pengurangan risiko serangan berulang.
Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus diperhatikan, 125 gram
protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per hari diperlukan.
Abnormalitas Tonus
Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock), tetapi biasanya
diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas tonus), bersama dengan
spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika
berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan.
Penelitian controlled trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi
untuk pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis.
Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi sehingga sering menimbulkan
spasme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi dengan pemberian Baclofen 15-80 mg/hari, atau
diazepam 3-4 kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini mungkin untuk mengurangi
kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli.
Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan mielitis
dan dapat disebabkan oleh cedera langsung pada saraf (nyeri neuropatik), factor ortopedik (nyeri
akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri
neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic
antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik8.
Malaise
Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi terhadap
malaise yang berlebihan setelah serangan mielitis. Data dari randomized controlled trials
menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat multiple sklerosis, dan pada satu
studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti dekstroamfetamin atau metilfenidat
pernah digunakan untuk terapi malaise yang berat dan refrakter yang terjadi setelah episode
mielitis, tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan mielitis belum pernah diteliti
dengan randomized, controlled trials8.
Pada fase akut dan kronik mielitis transversalis, disfungsi usus dicirikan dengan
konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada beberapa kasus
inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus untuk mengurangi
konstipasi dan kontrol waktu defekasi. Konstipasi dengan pemberian laksan.
Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari mielitis transversalis.
Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan untuk
orgasme, atau anorgasmia.
Konsultasi Psikiater
Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang pada pasien
mielitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya, seperti nyeri dan gangguan fungsi
seksual. Farmakoterapi sering diresepkan, sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan
konsultasi dengan psikolog.
2.3. 10 Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien menunjukkan
pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat selama 3–6
minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat
sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi6.
Menurut Plum dan Olsen Banister mielitis adalah terminologi nonspesifik, yang
artinya tidak lebih dari radang medula spinalis. Tetapi Adams dan Victor menulis
bahwa mielitis adalah proses radang infektif maupun non-infektif yang menyebabkan
kerusakan pada nekrosis pada substansia grisea dan alba.
Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis
dibedakan atas :
1. Akut :
Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa hari
saja.
2. Sub Akut :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu.
3. Kronik :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.
Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat, distribusi proses
radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut poliomielitis, bila mengenai substansia
alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang medula spinalis terserang proses
radang maka disebut mielitis transversa.
Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis diseminata
atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses radang baik pada
meninges maupun medula spinalis, demikian pula denagn meningoradikulitis (meninges dan
radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada durameter spinalis disebut pakimeningitis dan
bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma.
Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis misalnya yang
disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik dan nekrosis.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian pada meliputi:
1. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
2. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
3. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltik hilang
4. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
5. gelisah dan menarik diri
6. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
7. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
8. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid,
9. Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi
pupil
10. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma,
dan Mengalami deformitas pada daerah trauma
11. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
12. Keamanan : suhu yang naik turun
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b/d Agen Cedera
2. Gangguan mobilitas fisik b/d Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler
3. Resiko kerusakan integritas kulit
4. Deficit pengetahuan b/d keterbatasan informasi mengenai penyakit
2. Diagnosing Transverse Myelitis (TM), 2013. Accessed on: 16 August 2013. Available
from: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/transver
se_myelitis/about-tm/diagnosis.html
3. Hidayat Achmad. Mielitis. November 23rd 2011. Accessed on: 13 August 2013. Available
from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3468/1/tht-andrina1.pdf
4. Jani Orthoprost. Mielitis. March 6th 2013. Accessed on: 13 August 2013. Available
from: http://jani-orthoprost.com/mielitis.html
5. Johnson et all. 2001. Transverse Myelitis.Available from :
http://www.scribd.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-with-
figures?secret_password=&autodown=pdf
6. National Institute of Neurological disorder and stroke. 2009. Transverse Myelitis Fact
Sheet Available from :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/transversemyelitis/detail_transversemyelitis.htm
7. The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for Healthcare
Professionals. 2008. Acute transverse myelitis. Available from :
http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html
9. Victor and Adam. 2005. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7 th Edition. McGraw-
Hill.