Disusun oleh:
DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMINA BINA MEDIKA
Jl. Bintaro Raya No. 10, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 12240
Tahun Ajaran 2019-2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa.Karena atas izin
dan kehendak nya makalah sederhana ini kami selesaikan tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW
dan para sahabat dari dulu, sekarang hingga ahir zaman.
Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih amatir. Dalam makalah ini
kami sudah berusaha semaksimal mungkin.Tapi kami yakin makalah ini masih banyak
kekurangan disana-sini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar lebih maju dimasa yang akan datang.
Penyusun
i
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada
susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai saraf tepi,
yang didahului oleh suatu infeksi. Penyakit ini merupakan autoimun dimana sistem
imunitas tubuh menyerang sel sarafnya sendiri sehingga menimbulkan peradangan dan
kerusakan pada sel-sel saraf tepi (mielin dan akson) yang dapat menyebabkan
kelumpuhan motorik dan gangguan sensorik. GBS termasuk penyakit langka dan jarang
terjadi hanya 1 atau 2 kasus per 100.000 populasi di dunia tiap tahunnya dan penyakit
ini terjadi sepanjang tahun serta dapat menyerang hampir semua usia dan genetik serta
insidensi pada tiap negara sangat bervariasi (Wijdicks ,2017).
Insiden keseluruhan telah diperkirakan berkisar 0,4-2,4 kasus per 100.000 per
tahun, dengan 3.500 kasus baru per tahun terjadi di Amerika Serikat (Rosen, 2016).
Sementara insiden terjadinya GBS di Indonesia, pada akhir tahun 2010-2011 tercatat
ada 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai variannya.Dibandingkan tahun
sebelumnya memang terjadi peningkatan sekitar 10%. Angka kematian dari GBS dapat
meningkat sebesar 1,3 kali pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Angka
morbiditas menunjukkan bahwa sekitar 15-20% dari pasien mengalami penurunan
fungsi neurologis dan sekitar 1-10% mengalami cacat permanen (Andary, 2016).
Penyebab GBS masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan terjadi akibat
respons autoimun terhadap sel saraf perifer yang dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri
atau virus (Ferry .F, 2017). Sebanyak 2/3 dari pasien GBS dilaporkan mengalami
infeksi saluran pernafasan atas atau saluran cerna yang selanjutnya dapat berkembang
menjadi GBS. Sebanyak 30% pasien mengalami GBS yang didahului oleh infeksi
Compylobacter jejuni dan sebanyak 10% terinfeksi Cylomegalovirus.
1
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa definisi dari Guillain Barre Syndrome (GBS)?
b. Apa etiologi dari Guillain Barre Syndrome (GBS)?
c. Apa tanda dan gejala dari Guillain Barre Syndrome (GBS)?
d. Apa saja klasifikasi dari Guillain Barre Syndrome (GBS)?
e. Apa komplikasi dari Guillain Barre Syndrome (GBS) ?
f. Bagaimana penatalaksanaan dari Guillain Barre Syndrome (GBS)?
1.3. Tujuan
a. Memahami definisi Guillain Barre Syndrome (GBS)
b. Memahami etiologi penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS)
c. Memahami klasifikasi Guillain Barre Syndrome (GBS)
d. Memahami tanda dan gejala Guillain Barre Syndrome (GBS)
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC, Guillain Barre
Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang
sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi
kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan
sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi
menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon
sistem otot terhadap kerja sistem syaraf. Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih
0,6-1,6 setiap 10.000-40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan
berkembang tidak nampak.
3
minggu sebelum serangan penyakit tersebut. Kasus penyakit GBS pada tahun 1976
meningkat karena penggunaan vaksin flu babi. Baru pada tahun 2003 The Institute of
Medicine (IOM) mengemukakan beberapa teori tentang kemungkinan mengapa hal ini
terjadi, tetapi belum dapat menjelaskan secara pasti. Setiap orang bisa terkena GBS
tetapi pada umumya lebih banyak terjadi pada orangtua. Orang berumur 50 tahun keatas
merupakan golongan paling tinggi risikonya untuk mengalami GBS. Namun, menurut
ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dr. Darma Imran, Sp
S(K) mengatakan bahwa GBS dapat dialami semua usia mulai anak-anak sampai orang
tua, tapi puncaknya adalah pada pasien usia produktif.
Gejala awal antara lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum di ujung jari
kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku
mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa mengenggam erat atau
memutar sesuatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dan lain-lain). Gejala awal ini
bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu
perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih
lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa. Gejala tahap berikutnya
pada saat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya : kaki sudah melangkah, lengan
menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah
hilang fungsinya.
2.2. Etiologi
Penyebab pasti dari Guillaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih
belum dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus,
penyakit ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran
pernafasan dan saluran pencernaan.GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut
non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%
- 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi
pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre
4
menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar
30% penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.
Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi
pada ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus
yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV,
Measles dan Herpes Simplex Virus.Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering
oleh Campylobacter jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa
penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai
beberapa minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a. Infeksi
b. Vaksinasi
c. Pembedahan
d. Diare
e. Peradangan saluran nafas atas
f. Kelelahan
g. Demam
h. Kehamilan dalam masa nifas
i. Penyakit sistemik, diantaranya: keganasan, systemic lupus erythematosus,
tiroidtis, penyakit Addison
5
d. Tidak bisa bergerak dengan leluasa
e. Tekanan darah rendah
f. Detak jantung yang abnormal
g. Penglihatan buram atau juling (melihat 2 bayangan dari 1 objek)
h. Bernapas berat
i. Sulit menelan
2.4. Klasifikasi
6
Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya
bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan
otot lebih berat pada bagian distal
Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe GBS yang jarang terjadi. Disfungsi dari
sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi
postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,penurunan salvias dan
lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
2.5. Penatalaksaan
Terapi Suportif
Penanganan secara umum pada GBS adalah dengan melakukan pengawasan
pasien secara ketat.Pengawasan pasien dilakukan untuk mencegah dan mengatasi
komplikasi yang fatal.
a. Pengawasan ketat terhadap fungsi paru sebaiknya dikerjakan setiap 2-4 jam pada
fase akut, dan setiap 6-12 jam pada kondisi stabil. Jika terdapat gejala gagal nafas,
pertimbangkan transfer ke unit rawat intensif dan pergunakan ventilasi mekanik.
b. Pengawasan regular terhadap fungsi otonom juga sangat penting, terutama
pengawasan irama jantung, denyut nadi dan tekanan darah.
c. Selalu periksa fungsi menelan untuk mencegah timbulnya komplikasi aspirasi.
d. Selalu awasi dan cegah munculnya dekubitus dan kontraktur akibat tirah baring
lama.
e. Pemberian low molecular weight heparin (LMWH) dibutuhkan untuk mencegah
terjadinya thrombosis vena dalam
f. Awasi kebutuhan dan kecukupan gizi pasien
7
Terapi Spesifik
Terapi spesifik meliputi imunoterapi, kortikosteroid, dan terapi simtomatik.
1. Imunoterapi
Plasmapheresis adalah bagian dari darah (plasma) yang dikeluarkan dan
dipisahkan dari sel darah. Sel-sel darah kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh
untuk yang memproduksi lebih banyak plasma. Plasmapheresis dapat bekerja dengan
membersihkan plasma dari antibodi tertentu yang berkontribusi terhadap serangan
sistem kekebalan pada saraf perifer. Plasmapheresis yang dilakukan 5 kali selama 10-14
hari dapat membantu mengeluarkan autoantibodi, kompleks imun, dan komponen
sitotoksik lainnya dari serum dan terbukti dapat mempercepat waktu penyembuhan
hingga 50%. Terapi plasmapheresis dapat memberikan efek jika dilakukan dalam 4
minggu setelah gejala, dan dapat memberikan efek yang lebih baik jika dikerjakan
dalam 2 minggu pertama setelah munculnya gejala kelemahan otot.
2. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral atau intravena dulu dipercaya dapat mempercepat
penyembuhan GBS. Namun beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian steroid
bersamaan dengan terapi IVIG tidak memberikan hasil yang lebih baik dari pada terapi
8
IVIG tunggal. Studi lainnya juga tidak menunjukkan hasil yang signifikan pada
pemberian steroid.
2. Fisioterapi
Penderita GBS memiliki resiko terkena dekubitus, kontraktur serta pneumonia
orthostatik terkait dengan berkurangnya kemampuan untuk mobilisasi. Kondisi ini
dapat memperpanjang masa perawatan dan menurunkan kualitas hidup setelah
perawatan. Tidak jarang kelemahan otot persisten dapat ditemukan pada penderita GBS
setelah fase akut. Program fisioterapi yang tepat diharapkan dapat mencegah dan
mengendalikan komplikasi-komplikasi tersebut.
2.6. Komplikasi
Pada kasus yang serius, Guillain-Barre Syndrome dapat disertai komplikasi yang
membahayakan, yaitu:
a. Kegagalan bernafas akibat kelumpuhan otot-otot pernafasan
b. Gangguan irama dan kegagalan fungsi jantung
c. Hipotensi
d. Kematian
9
2.7. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Pola-pola pengkajian
1) Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
a) Keadaan sebelum sakit
Tanyakan mengenai vaksinasi yang di dapatkan pasien, lingkungan,
kebiasaan merokok, pernah melakukan check up klinis sebelumnya, dan
upaya yang dilakukan mempertahankann hygiene.
b) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan utama: Kelemahan otot, nyeri, kesulitan bernapas, serta
kelumpuhan otot.
c) Riwayat Penyakit Yang pernah dialami
Tanyakan pada pasien apakah sering mengalami flu atau penyakit lain
berhubung dengan saluran napas, cerna, atau penyakit lain seperti HIV,
hepatitis dll.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada keluarga pasien mengidap penyakit serupa.
2) Pola Nutrisi dan Metabolik
Gejala : Kesulitan dalam menguyah dan menelan.
Tanda : Gangguan pada reflex menelan.
3) Pola Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal (anus) atau
berkemih dan reflex sfingter.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari
ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat ke arah atas.
Kesulitan dalam bernapas, napas pendek menyebabkan sulit beraktivitas.Perubahan
tekanan darah (hipertensi/hipotensi) menganggu latihan.
10
Tanda : Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris), cara berjalan tidak mantap.
Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, tampak sianosis/pucat.
Takikardi/bradikardi, distrimia.
5) Pola Persepsi Kognitif
Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya
terus naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu,
dan perubahan dalam ketajaman penglihatan.
Tanda : Hilangnya/menurunnya reflex tendon dalam, hilangnya tonus otot, adanya
masalah dengan keseimbangan. Lalu, adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi
ptosis kelopak mata.Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
6) Pola Peran dan Hubungan Dengan Sesama
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi.
7) Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan bingung.
2. Diagnosa
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
b. Perubahan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonomic
c. Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
d. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
e. Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis orofaringeal.
g. Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
h. Hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
i. Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.
3. Intervensi
a. Dx1 : Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
Noc : Pola napas efektif
Nic :
11
1) Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan Perhatikan gerakan
dada, penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot.
2) Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan membrane mukosa.
3) Pantau poa pernapasan bradipnea, apnea.
4) Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi bersandar.
5) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress pernapasan.
6) Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).
7) Berikan obat/bantu tindakan pembersihan pernapasan melalui perksusi dada,
drainase postural, vibrasi.
12
d. Dx. 4 : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
Noc : Peningkatan keoptimalan mobilitas
Nic :
1) Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan menggunakan skala 0-5.
Lakukan pengkajian secara teratur sesuai kebutuhan secara individual.
2) Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trochanter roll, papan kaki.
3) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif untuk mempertahankan
atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
4) Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada
toleransi secara individual.
5) Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.
13
g. Dx 7 : Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
Noc : Konstipasi tidak ada.
Nic :
1) Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan bising usus.
2) Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (jika pasien dapat
menelan).
3) Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu secara teratur.
4) Beri obat pelembek feses.
5) Tingkatkan diet makanan yang berserat.
14
4. Discharge Planning
a. Peningkatan asupan nutrisi yang memadai.
b. Istirahat yang cukup.
c. Penjagaan terhadap hygiene , sanitasi lingkungan.
d. Lakukan check-up ketika timbul gejala yang sama.
e. Teratur konsumsi obat pemulihan.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Guillain Barre Syndrome atau biasa dikenal sebagai penyakit GBS adalah
kondisi langka yang disebabkan olehsistem imun yang menyerang sistem saraf
periferal.Kondisi ini mungkin membuat saraf meradang yang mengakibatkan
kelumpuhan atau kelemahan otot jika tidak terobati secepatnya.
Dokter mendiagnosis berdasarkan riwayat pengobatan dan pemeriksaan klinis. Dokter
bisa menggunakan beberapa tes untuk mengeliminasi penyakit lainnya, termasuk:
electromechanical (EMG), tabung penusuk lumbar (mengambil cairan tulang
punggung), tes pernapasan, dan tes darah.
3.2. Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Andary. 2016. Buku Ajar Neurologis Klinis. Gadjah Mada University Press; Jakarta
Ferri F. Guillain-Barre syndrome. In: Ferri's Clinical Advisor 2017. Philadelphia
Sidarta,P.2015.Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta. Penerbit Dian Rakyat.
Rosen.T.M.2016. Manual Neurologic Therapetic of America.Little Brown.
Widagdo, Wahyu S.kp. M.Kep. Sp.Kom, dkk. 2015. Askep Pada Klien Dengan GBS
Wijdicks EFM, dkk. Sindrom Guillain-Barre. Prosiding Klinik Mayo. 2017; 92: 467