Oleh:
DINA TRISNAWATI NIM
: 12192012
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis atau TBC merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
kuman jenis bakteri yang bernama Mycobacterium tuberculosa. Penyakit ini dapat
menyerang semua tingkat usia mulai dari anak, remaja, dewasa hingga lansia. TBC
lebih sering menyerang paru-paru daripada organ lain di dalam tubuh manusia
seperti tulang, kulit dan ginjal. Penyakit ini merupakan penyakit pembunuh ketiga
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit pernafasan, serta merupakan penyakit
menular nomor satu yang menjadi penyebab kematian di Indonesia (Purwanda,
Fibriawan, Sasmito, Fatkhunisa, & Widiyanti, 2012).
Penyakit tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan yang juga dipandang
cukup penting di Indonesia. Pada tahun 2006 jumlah penderita TBC di Indonesia
menduduki peringkat ke-3 negara dengan jumlah penderita TBC terbanyak di dunia
setelah India dan China. Pada tahun 2009 peringkat ini telah menurun menjadi
nomer 5 setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Jumlah penderita TBC di
Indonesia saat ini adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah pasien TBC dunia dan
diperkirakan masih terdapat 528.000 kasus TBC baru dengan kematian sekitar
91.000 orang per tahun dan sebanyak 70% dari angka itu terjadi pada usia produktif
1
2
(Kemenkes RI, 2011). Kondisi ini dapat menimbulkan berbagai hambatan yang
mempengaruhi pemenuhan kehidupan sehari-hari pada penderitanya, sehingga
wajar kiranya jika pemerintah Indonesia memberi perhatian yang besar terhadap
pengendalian penyakit TBC di tanah air.
Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih gencar melakukan upaya-upaya
pengendalian penyakit TBC. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010
tentang Millenuim Developmen Goal’s (MDG’s) mempertegas komitmen Indonesia
untuk melakukan percepatan pencapaian pengendalian terhadap penyakit TBC.
Laporan pencapaian MDG’s tahun 2010 menyebutkan bahwa target pengendalikan
penyebaran tuberkulosis sejauh ini telah dilakukan dengan benar dan memberikan
kontribusi yang sangat besar pada upaya pembangunan nasional secara keseluruhan.
Kondisi ini merupakan suatu prestasi yang positif walaupun masih belum memenuhi
target penurunan angka kesakitan dan kematian akibat TBC yang tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Target
kasus TBC tahun 2014 dalam RPJMN 2010-2014 adalah 224 kasus saja per 100.000
penduduk, namun saat ini kasus TBC masih berada pada angka 235 kasus
(Kemenkes RI, 2011). Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi
pemerintah Indonesia dan memerlukan upaya- upaya penanggulangan yang
membutuhkan perhatian dan komitmen bersama dari setiap elemen masyarakat.
untuk dicegah.
Kondisi kesehatan fisik yang menurun akibat menderita suatu penyakit pada
penderita TB paru juga dapat menimbulkan masalah lain terkait kondisi psikologis
penderita. Salah satu kondisi psikologis yang dapat mengalami gangguan adalah
konsep diri. Harga diri rendah situasional merupakan salah satu masalah konsep diri
yang dapat dialami oleh seorang penderita TB paru. Hal ini sebagaimana terdapat
dalam Potter, Perry (2009) yang menyebutkan bahwa beberapa kondisi yang dapat
menjadi sumber stresor bagi harga diri seseorang meliputi perubahan hubungan dan
perkembangan, penyakit, operasi, kecelakaan dan respon individu lain terhadap
perubahan yang terjadi. Dari pernyataan ini jelas kiranya bahwa kondisi sakit fisik
akibat TB paru dapat mempengaruhi kondisi psikologis individu, selain itu masalah
harga diri rendah perlu mendapatkan penanganan yang kondisi lingkungan atau
respon orang lain yang berada disekitarnya juga dapat mempengaruhi kondisi harga
diri penderita.tepat karena jika tidak hal ini dapat menyebabkan timbulnya masalah
psikologis lain yang lebih serius. Morton, Louise, Reid, dan Stewart (2011)
menyebutkan bahwa masalah harga diri rendah dapat berkembang menjadi
gangguan jiwa seperti depresi.
Pansietas dan panik. Potter, Perry (2009) juga menyebutkan bahwa perilaku individu
biasanya sesuai dengan konsep diri dan harga diri yang dimilikinya, individu yang
memiliki harga diri yang rendah sering kali tidak dapat mengontrol situasi dan tidak
4
B. Rumusan Masalah
Penderita TB paru dapat mengalami berbagai dampak meliputi fisik, psikologis,
sosial dan spiritual. Secara fisik seorang penderita TB paru dapat mengalami
berbagai gejala penyakit yang akan menimbulkan kesakitan dan ketidaknyamanan.
Kondisi ini akan mempengaruhi kondisi psikososial dan spiritual dimana penderita
mungkin mengalami perasaan yang tidak nyaman, pikiran-pikiran yang negatif dan
mungkin perasaan tertekan akibat kondisi sakit ditambah adanya tuntutan yang
diterimanya dari lingkungan sekitar. Kompleksnya masalah yang bisa ditimbulkan
5
oleh penyakit TB paru membuat keadaan ini perlu mendapatkan perhatian yang
cukup ekstra, sehingga perawat yang memberikan asuhan keperawatan pada
penderita TB paru perlu memperhatikan setiap aspek yang ada pada diri individu.
C. TB Paru
1. Definisi
Tuberkulosis atau TBC merupakan penyakit yang dikendalikan oleh daya tahan
tubuh seseorang. Price, Wilson (2006) mendefinisikan tuberkulosis sebagai
penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Smeltzer, Bare (2002) menyebutkan bahwa tuberkulosis atau TB adalah penyakit
infeksius yang terutama menyerang parenkim paru dapat ditularkan kebagian
tubuh yang lain, misalnya meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfa. Sementara
menurut Kumar, Cotran, dan Robbins (2004) tuberkulosis adalah suatu penyakit
granulomatosa kronis menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosa, penyakit ini biasanya mengenai paru tapi mungkin dapat menyerang
semua organ atau jaringan di tubuh lainnya, secara patologi biasanya bagian
tengah granuloma tuberkular mengalami nekrosis perkijuan.
3. Dampak Psikologis
Gejala yang dapat dirasakan seorang penderita TB paru tidak hanya berupa
gejala fisik saja. Penderita TB paru juga rentan mengalami masalah atau gejala
psikososial. Doenges, Moorhouse, dan Murr (2010) menyebutkan bahwa
seseorang yang mengalami TB paru akan menunjukkan gejala-gejala psikologi
seperti merasa stres berkepanjangan, tidak ada harapan dan putus asa, penderita
mungkin menunjukkan penyangkalan khususnya pada fase awal penyakit,
kecemasan, ketakutan, cepat marah, ceroboh dan terjadi perubahan mental pada
tahap lanjut. Dampak psikologis ini tentunya tidak boleh diabaikan begitu saja,
karena masalah psikologis yang dibiarkan berlarut-larut dapat berkembang
menjadi kondisi yang semakin buruk dan menyebabkan masalah baru bagi
penderita TB paru itu sendiri.
4. Pemeriksaan penunjang
Penyakit tuberkulosis dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan yang
perlu dilakukan secara seksama. Hal ini diperlukan untuk menentukan rencana
pengobatan dan perawatan yang sesuai. Beberapa pemeiksaan yang
biasanya dilakukan diantaranya adalah dengan mencermati keluhan dan gejala
klinis dari penderita. Selain itu diagnosa TB paru pada orang dewasa juga dapat
ditegakkan dengan bantuan beberapa pemeriksaan penunjang salah satunya
dengan pemeriksaan BTA (Bakteri Tahan Asam) terhadap sputum penderita.
Apabila terdapat keraguan hasil, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan biakan,
rontgen dada, immunologis dan tes mantoux (Crofton et al, 2002 dalam Rian,
2010). Price, Wilson (2006) menambahkan bahwa selain pemeriksaan tes
mantoux dan rontgen dada pemeriksaan diagnosis bagi penderita TB paru juga
dapat meliputi tes anergi, pemeriksaan bakteriologi atau histologi.
5. Pengobatan TB paru
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis atau OAT (Misnadiarly, 2006
dalam Rian, 2010). Obat-obat yang sering dipergunakan dalam pengobatan TB
diantaranya adalah Isoniazid (H), rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomycin
dan Ethambutol (E). Prinsip dari pengobatan TBC adalah mengikuti Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI tahun 2008 yang terdiri dari:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih dianjurkan.
8
Berbagai macam efek samping yang dapat ditimbulkan oleh OAT tidak hanya
menimbulkan ketidaknyamanan secara fisik saja tapi juga dapat menimbulkan
dampak secara psikososial. Doenges, Moorhouse, dan Murr (2010) menyebutkan
bahwa penderita TB paru dapat merasa stres berkepanjangan, tidak ada harapan,
putus asa, kecemasan dan ketakutan. Meminum OAT dalam jangka waktu yang
cukup lama kiranya dapat menjadi suatu beban yang menimbulkan
ketidaknyamanan secara fisik dan psikologis hingga penderita beresiko untuk
mengalami kegagalan dalam program pengobatan. Kondisi ini secara lebih luas
dapat mempengaruhi keberhasilan program pemberantasan TBC dari muka
dunia. Rian (2010) yang menyebutkan bahwa pasien TB yang mempunyai
keluhan efek samping OAT berisiko 2,84 kali lebih besar untuk mengalami
9
Masalah psikososial lain yang dapat muncul pada penderita TB paru adalah
kecemasan atau ansietas. Masalah ansietas menurut Wilkinson, Ahern (2009)
didefinisikan sebagai suatu perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang
samar disertai respon autonom atau sebagai perasaan takut yang disebabkan oleh
antisipasi terhadap suatu hal yang dianggap sebagai bahaya. Stuart (2002)
menyatakan bahwa kecemasan dapat disebabkan oleh defisiensi pengetahuan
atau oleh stressor pencetus berupa ancaman yang terjadi pada pertahanan sistem
10
diri yang akan membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang
terintegrasi pada individu. Dari kedua pernyataan diatas dapat disimpulkan
bahwa penderita TB paru dapat mengalami kecemasan yang berupa perasaan
tidak nyaman, khawatir atau perasaan takut akibat kondisi penyakit yang
mungkin dianggapnya sebagai suatu bahaya dan kondisi ini dapat disebabkan
oleh keadaan-keadaan lain yang menganggu keadaan konsep diri serta kurangnya
pengetahuan tentang masalah-masalah tertentu yang dialami oleh penderita.
ansietas dirangkum dari beberapa sumber referensi, yaitu dari Wilkinson, Ahern
(2009), Stuart (2002) dan SAK diagnosa fisik dan psikososial FIK-UI, RSMM
(2012) adalah sebagai berikut:
a. Bantu pasien mengenal ansietas.
b. Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk meningkatkan kontrol dan rasa
percaya diri berupa pengalihan situasi., tarik napas dalam, latihan
mengerutkan dan mengendurkan otot-otot, dan hipnotis diri sendiri
(latihan 5 jari).
c. Lakukan pendekatan spiritual.
d. Sediakan informasi faktual yang terkait diagnosis, terapi, dan prognosis
sesuai kebutuhan informasi yang ditunjukkan klien.
e. Sediakan sarana seperti radio, alat permainan, majalah kesehatan, dan
sarana lainnya untuk mengalihkan perasaan klien.
f. Libatkan keluarga dalam memberi penguatan positif tekait perasaan
klien.
g. Berikan penguatan positif ketika klien mampu meneruskan aktivitas
yang positif selama di rawat di rumah sakit.
h. Berikan informasi mengenai sumber komunitas yang tersedia seperti
teman, saudara, tetangga, tempat ibadah, tempat rekreasi dan lain lain.
PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
Nama : Nn. Y
No. rekam medic : 00.81.91
Usia : 18 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Status marital : belum menikah
Pekerjaan : tidak bekerja
Suku : Sunda
Alamat : Tanjung Pura RT03 RW04 Desa Tanjung Mekat
Tanggal masuk RS : 03 Desember 2020
Tanggal pengkajian : 05 Desember 2020
Diagnosa Medis : TB paru dengan DIH
(Drug Induced Hepatitis)
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit saat ini
Klien masuk ke RS dengan keluhan mual disertai rasa ingin muntah, tidak nafsu
makan yang telah berlangsung selama dua minggu sebelum masuk RS. Keluhan
ini dirasakan klien sejak mengkonsumsi obat paru-paru yang diperolehnya dari
Puskesmas.
12
13
d. Struktur keluarga
Klien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, saat ini klien tinggal serumah
bersama kedua orangtua dan kedua saudara kandungnya. Pola komunikasi dalam
keluarga cukup terbuka. Kepala keluarga adalah ayah klien dan setiap keperluan
rumah tangga disiapkan oleh ibu klien yang berperan sebagai ibu rumah tangga.
e. Riwayat alergi
Klien tidak memiliki riwayat alergi.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Klien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, TD: 100/80 mmHg, nadi
88x/menit, suhu 37°C, frekuensi nafas 22 x/menit. Tinggi badan saat ini 155 cm,
berat badan 36 Kg (sebelum sakit 42 kg), lingkar lengan atas 18cm, IMT (Indeks
Massa Tubuh) 15.
1) Pemeriksaan Fisik Head to toe
a) Kepala dan rambut
Bentuk simetris, kulit kepala bersih, tidak tampak lesi, rambut hitam, kuat,
bersih, distribusi merata.
b) Mata
Bentuk simetris, konjungtiva tampak pucat, warna pink muda, sklera agak
keruh, warna putih, ikterik tidak ada, fungsi penglihatan tidak ada
kelainan.
c) Hidung
14
Bentuk simetris, tidak ada lesi atau hambatan pada saluran pernafasan
atas, bersih, tidak ada secret.
d) Mulut
Bentuk bibir simetris, warna merah muda, agak pucat dan kering, gigi
bersih dan lengkap, lidah bersih, fungsi pengecapan tidak ada kelainan.
e) Telinga
Bentuk kedua daun telinga simetris, bersih, tidak ada serumen ataupun
lesi, fingsi pendengaran tidak ada kelainan.
f) Leher
Bentuk leher simetris, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak
tampak bendungan vena jugularis.
g) Ekstremitas atas
Bentuk simetris, fungsi pergerakan tidak ada kelainan. Terpasang infuse
pada tangan klien sebelah kanan.
h) Dada
Bentuk dan pergerakan dinding dada simetris, suara paru vesikuler,
terdengar ronki pada area apeks paru kanan dan kiri.
i) Abdomen
Bentuk abdomen tidak ada kelainan, tidak terdapat nyeri tekan, peristaltic
usus ada.
j) Genitourinaria dan anus Tidak diperiksa
k) Kulit dan kuku
Warna kulit sawo matang, bersih, tidak terdapat lesi, tidak tampak
jaundice, turgor kulit baik.kuku bersih.
l) Ekstremitas bawah
Bentuk simetris, fungsi pergerakan tidak ada kelainan.
4. Pemeriksaan Psikososial
Hasil pemeriksaan kondisi psikososial klien pada awal interaksi dengan perawat
menunjukkan bahwa klien cenderung murung dan pasif, klien mengatakan merasa
malu tentang penyakit paru-paru yang diderita, tidak berani menceritakan tentang
15
Pada hari kelima interaksi dengan perawat klien juga mengatakan bahwa dirinya
merasa khawatir terkait kemungkinan rencana pengobatan OAT dan efek
sampingnya. Klien mengatakan langsung merasa mual jika membayangkan obat-
obat paru yang pernah diminumnya. Klien juga mengatakan khawatir dan takut akan
ditolak oleh lingkungan, dijauhi atau dicemooh oleh orang lain akibat penyakit TB
paru-nya ini. Klien tampak tegang jika membicarakan tentang obat TBC. Klien dan
keluarga juga mengatakan bahwa selama ini belum pernah mendapatkan informasi
tentang cara pengobatan dan perawatan TB paru dan mengharapkan akan
mendapatkan informasi yang tepat dari perawat.
5. Pola kebiasaan sehari-hari
No. Kegiatan Di rumah Di rumah sakit Keterangan
harian
1 Makan Sebelum sakit Sejak dirawat Klien mengeluh
klien memang suka klien hanya mual disertai
pilih-pilih makan 1-3 suap Rasa ingin
makanan, makan nasi
hanyasedikit, dan muntah, dan
lebih sering jajan tidak nafsu
diluar. makan.
2 Minum Klien mengatakan Klien hanya
jarang minum 2-3 gelas
air putih
minum terutama
saat berada di luar
rumah
16
6. Pemeriksaan penunjang
Waktu Jenis Hasil pemeriksaan
pemeriks
aan
03/12/2020 Rontgen thorax (hasil Kesan:
pemeriksaan di klinik KP
Katili- Bogor) Jantung tampak normal
03/12/2020 Laboratorium Hematologi:
Hemoglobin: 11,6
Leukosit: 5.100
Trombosit: 552.000
Hematokrit: Kimia darah:
SGOT: 330
SGPT: 90
Ureum: 19,5
Kreatinin : 0,57
GDS: 89
17
ANALISA DATA
No. Data Subjektif dan Objektif Masalah keperawatan
1. DS: Ketidakseimbangan
Perut terasa mual, ada rasa ingin nutrisi: kurang dari
muntah, makan sulit hanya masuk 1- kebutuhan tubuh
3 suap.
DO:
Klien tampak lemah
TD: 100/80 mmHg, nadi 88x/menit, suhu
37 C, dan frekuensi napas 22x/menit.
Tinggi badan 155 cm
BB sebelum sakit 42 kg (± 1bulan
sebelum masuk RS)
Berat badan saat ini 36 kg.
BB ideal 49,5 - 60,5 kg.
IMT= 15
Lingkar lengan atas 18 cm
Konjungtiva pucat, warna pink muda.
Sklera agak keruh, ikterik tidak ada.
Bibir agak pucat dan kering
Hb: 11,6 mg/ dL
SGOT: 330, SGPT: 90
2. DS: Harga diri rendah
Malu tentang penyakit paru-paru yang situasional
diderita, tidak berani menceritakan tentang
penyakitnya kepada orang lain, sedih
karena terpaksa harus berhenti bekerja
akibat menderita penyakit ini, merasa malu
karena menjadi tidak produktif dan merasa
khawatir akan masa depannya kelak.
Klien dan keluarganya masih memandang
bahwa penyakit TB paru Merupakan
penyakit yang memalukan dan merupakan
suatu aib bagi keluarga.
DO:
Klien tampak murung
Pasif
Cenderung menyembunyikan tentang
penyakitnya
Memilih menyebutkan jenis penyakit lain
jika ada yang bertanya tentang penyakit.
19
3. DS: Ansietas
Khawatir dengan pengobatan TB paru dan
efek sampingnya, langsung merasa mual
jika membayangkan obat-obat paru yang
pernah diminumnya, khawatir dan takut
akan ditolak oleh lingkungan, dijauhi atau
dicemooh oleh orang lain akibat penyakit
TB paru. Klien dan keluarga juga
mengatakan bahwa selama ini belum pernah
mendapatkan informasi tentang cara
pengobatan dan perawatan TB paru dan
mengharapkan akan mendapatkan informasi
yang tepat dari perawat.
DO:
Klien tampak murung
Tidak ceria
Tegang jika membicarakan tentang
obat TBC
Meminta informasi kepada
perawat tentang cara pengobatan
dan perawatan
TB paru kepada perawat
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
1. Diagnosa I :
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Tujuan : Status nutrisi klien bisa mencapai keseimbangan.
Kriteria evaluasi : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3
x 24 jam diharapkan klien menunjukkan kondisi :
a. TTV dalam batas normal (TD: 110-120/ 70-80 mmHg, Nadi: 80-
100x/menit, suhu: 36-27 C, Frekuensi nafas: 16-20x/ menit
b. Keluhan mual muntah berkurang atau hilang, selera makan meningkat
c. Klien mampu melakukan aktivitas makan yang adekuat: porsi makan yang
disediakan RS habis
d. Berat badan dapat dipertahankan, tidak tambah menurun, atau meningkat
mendekati BB ideal (55kg)
e. Nilai laboratorium dalam batas normal (Hb: 13-15, albumin 3,5-5 mg/ dL).
20
21
2. Diagnosa II :
Harga diri rendah (HDR) situasional
Tujuan : Klien mampu mencapai kembali harga diri yang positif Kriteria
Evaluasi : Ssetelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3-4 x interaksi,
diharapkan klien mampu:
a. Klien dapat meningkatkan kesadaran tentang hubungan positif antara
harga diri dan pemecahan masalah yang efektif
b. Klien dapat melakukan keterampilan perawatan diri untuk meningkatkan
harga diri.
22
Intervensi Rasional
1. Bantu klien mengenal Klien mampu mengenali kondisi
kecemasannya. psikologisnya sehingga mampu
mengontrol pikiran dan
perasaannya.
2. Ajarkan pasien teknik relaksasi Mengalihkan klien dari pikiran-
untuk meningkatkan kontrol dan pikiran negatif dan membantu
rasa percaya diri. klien agar lebih rileks.
3. Lakukan pendekatan spiritual. Pendekatan spiritual diperlukan
untuk memberikan penguatan
pikiran atas beban yang dirasakan
klien.
4. Sediakan informasi faktual yang Kondisi defisiensi pengetahuan
terkait diagnosis, terapi, dan tentang kesehatannya kerap kali
prognosis sesuai kebutuhan berakibat pada munculnya
informasi yang ditunjukkan klien. kecemasan.
5. Libatkan keluarga dalam memberi Keluarga merupakan sistem
penguatan positif tekait perasaan pendukung klien yang paling
klien. utama
Rencana intervensi keperawatan:
24