Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


“Fasial paralisis/Bells palsy”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

1. Febi Try Mentari (21120010P)


2. Fiola Desta Safitri (21120011P)
3. Rahmat Nuryono (21120017P)
4. Rendi Agusriansyah (21120020P)
5. Sisilia Atami (21120024P)
6. Widya (21120025P)

DOSEN PEMBIMBING : Sukron,M.NS

INSTITUSI ILMU KESEHATAN & TEKNOLOGI


MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga akhirnya kami dapat
membuat makalah keperawatan medikal bedah dan teori keperawatan tersebut,
tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Makalah yang berjudul “Bells Palsy” yang ditulis untuk memenuhi tugas
makalah keperawatan medical bedah dan teori keperawatan. Pada kesempatan
yang baik ini, kami menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan dan dorongan
kepada kami dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa Makalah
ini jauh dari kata “sempurna”, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Makalah ini dapat memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umunya,
semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin

Palembang, Nov 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................1
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
2.1 Pengertian.......................................................................................3
2.2 Etiologi...........................................................................................4
2.3 Manifestasi klinis...........................................................................5
2.4 Pemeriksaan Diagnostik.................................................................6
2.5 Penatalaksanaan.............................................................................7
2.6 Patofisiologi...................................................................................8
2.7 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Bells Palsy...............10

BAB III PENUTUP......................................................................................19

3.1 Kesimpulan..................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................20

ii
3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bell’s Palsy merupakan kelumpuhan fasialis perifer akibat proses
nonsupratif, non- neoplasmatik, non- degeneratif primer namun sangat
mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen
stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya
akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Di Indonesia, insiden penyakit Bell’s Palsy banyak terjadi namun secara
pasti sulit ditentukan. Dalam hal ini didapatkan frekuensi terjadinya Bell’s
Palsy di Indonesia sebesar 19,55%, dari seluruh kasus neuropati terbanyak
yang sering dijumpai terjadi pada usia 20 – 50 tahun, dan angka kejadian
meningkat dengan bertambahnya usia setelah 60 tahun. Biasanya mengenai
salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral dan dapat berulang .
Keadaan ini tidak memiliki penyebab yang jelas, akan tetapi ada yang
menyebutkan bahwa penyebab Bell’s Palsy adalah angin yang masuk ke
dalam tengkorak, ini membuat syaraf di sekitar wajah sembab lalu membesar.
Pembengkakan syaraf nomor tujuh atau nervous fascialis ini mengakibatkan
pasokan darah ke syaraf tersebut terhenti. Hal itu menyebabkan kematian sel
sehingga fungsi menghantar impuls atau rangsangnya terganggu. Akibatnya,
perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.
Tanda dan gejala yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy biasanya bila
dahi di kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja, kelopak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat
di saksikan. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang
lumpuh tidak mengembung. Dalam menjungurkan bibir, gerakan bibir tersebut
menyimpang ke sisi yang tidak sehat serta air mata yang keluar secara
berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada dua per tiga lidah sisi
kelumpuhan kurang tajam.
Dari tanda dan gejala di atas, kasus tersebut bisa di tangani oleh
fisioterapi. Fisioterapi memiliki peran penting dalam proses penyembuhan

1
serta perbaikan bentuk wajah yang mengalami kelemahan, antara lain
membantu mengatasi permasalahan kapasitas fisik pada pasien,
mengembalikan kemampuan fungsional pasien serta memberi motivasi dan
edukasi pada pasien untuk menunjang keberhasilan terapi pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah makalah ini antara
lain:
1. Apa pengertian bells palsy?
2. Apa saja etiologi dari bells palsy?
3. Bagaimana tanda dan gejala pasien dengan bells palsy?
4. Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada pasien bells palsy?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien bells palsy?
6. Bagaimana patofisiologis bells palsy?
7. Bagiamana asuhan keperawatan pada pasien bells palsy?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Agar menambah pengetahuan mahasiswa tentang bells palsy
2. Agar mahasiswa/mahasiwi dapat menerapkan asuhan keperawatan
pada pasien dengan bells palsy

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Kelumpuhan wajah adalah hilangnya gerakan wajah karena kerusakan
saraf. Otot-otot wajah terkulai atau menjadi lemah. Ini biasanya terjadi
pada salah satu sisi wajah, tapi juga memungkinkan untuk terjadi pada
kedua sisi wajah dan ini biasanya disebabkan oleh: infeksi atau
peradangan dari nervus facialis, trauma kepala, tumor kepala atau leher,
dan stroke.

Bell’s Palsy adalah paralisis wajah akut akibat inflamasi dari nervus
fasialis. Gangguan ini merupakan paralisis fasialis lower motor neuron
(LMN) unilateral idiopatik. Bell’s Palsy biasanya terjadi secara mendadak.
Penderita setelah bangun pagi mendapati salah satu sisi wajahnya
asimetris. Gejala awal yang ringan seperti kesemutan di sekitar bibir atau
mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam waktu 48 jam atau
kurang. kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non -supuratif, non neo-
plasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema
jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit
proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan.
Bell’s palsy (paralisis wajah) adalah paralisis saraf fasialis (Nervus
VII) yang dikarenakan keterlibatannya pada salah satu sisi, yang
mengakibatkan kelemahan atau bahkan kelumpuhan otot wajah.
Penyebanya idiopatik, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi

3
iskemik vaskuler, penyakit virus seperti herpes zoster, penyakit autoimun,
atau bahkan kombinasi dari semua faktor ini (Smeltzer dan Bare, 2002).
Bell’s Palsy juga sering disebut fasial paralisis atau kelumpuhan fasialis
perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmik, non-degeneratif
primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada nervus fasialis di
foramen stilomastoideus. suatu kelainan, kongenital yang menyebabkan
paralisis seluruh ataupun sebagian pada pergerakan wajah. (Iwan, 2008).

2.2 Etiologi Bells Palsy


Bell palsy (paralisis fasial) adalah kondisi yang diakibatkan oleh
kerusakan saraf kranial bagian perifer pada satu sisi, yang mengakibatkan
kelemahan atau paralisis otot fasial. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi
kemungkinan penyebab dapat mencakup iskemia vaskular, penyakit virus
(herpes simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasinya.
Paralisis bell menunjukkan tipe paralisis tekanan yang menyebabkan
penyimpangan wajah, peningkatan lakrimasi (mata berair), dan sensasi
yang sangat menyakitkan pada wajah, di belakang telinga, dan mata.
Pasien mungkin mengalami kesulitan berbicara dan tidak mampu untuk
makan pada sisi yang sakit. (Baughman, 2000)
Menurut Muttaqin (2008) Penyebabnya tidak diketahui, meskipun
kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemia vaskular, penyakit virus
(herpes simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi
semua faktor ini. Selain itu, tekanan pada saraf fasial selama persalinan
dapat mengakibatkan cedera pada saraf kranial VII. Manifestasi klinis
primer adalah hilangnya gerakan sisi yang terkena, seperti ketidak
mampuan menutup mata dengan sempurna, jatuhnya sudut mulut, dan
tidak adanya kerutan dahi dan lipatan nasolabial. Paralisis akan terlihat
jelas ketika bayi menangis. Mulut tertarik ke arah sisi sehat, kerutan lebih
dalam pada sisi yang normal, dan mata pada sisi yang sakit tetap terbuka.
Tidak ada intervensi medis yang diperlukan. Paralisis ini biasanya hilang
secara spontan dalam beberapa hari tetapi mungkin juga beberapa bulan.
(Wong, 2008)

4
Kelemahan otot wajah akan tampak karena timbulnya lipatan nasolabial
mendatar, salah satu sisi mulut turun ke bawah dan  penurunan kelopak
mata bawah. Nukleus nervus fasialis terletak di bagian lateral baah pons
sehingga lesi di daerah batang otak sering menimbulkan disfungsi  nervus
fasialis. Nervus fasialis masuk ke tulang temporal dan letaknya dekat
dengan telinga tengah sehingga saraf ini mudah terkena trauma fraktur
dasar tengkorak dan tulang temporal akibat pembedahan atau akibat
penyakit-penyakit telinga. Gangguan lain yang dapat mengakibatkan
kelemahan saraf fasialis adalah miastenia gravis dan sindrom Guillain-
Barre. (Sylvia A. Price, 2005)

2.3 Manifestasi klinis bells palsy

Gejala Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot otot wajah pada
satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari
(maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa
bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik.
Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata,
hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelum-puhan saraf fasialis
dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7
hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit. Kelumpuhan yang
terjadi pada salah satu sisi wajah bisa dijelaskan sebagai kelumpuhan
sebagian (kelemahan otot ringan) atau sebagai kelumpuhan total (tidak ada
gerakan sama sekali, tapi jarang sekali terjadi). Mulut serta kelopak mata
juga akan terpengaruh akibat Bell’s palsy, kedua bagian ini akan kesulitan
untuk dibuka dan ditutup. Adapun tanda dan gejala lainnya diantanya
adalah:

1. Terjadi secara tiba-tiba, berupa kelumpuhan ringan sampai total pada


salah satu sisi wajah, menyebabkan pasien sulit tersenyum atau
menutup salah satu kelopak mata
2. Beberapa jam sebelum terjadi kelemahan pada otot wajah, penderita
merasakan nyeri di belakang telinga. Kelemahan otot yang terjadi bisa

5
ringan sampai berat, tetapi selalu pada sisi wajah. Sisi wajah yang
mengalami kelumpuhan menjadi datar dan tanpa ekpresi, tetapi
penderita seolah – olah wajahnya terpuntir.
3. Sebagian besar penderita mengalami mati rasa atau merasa ada beban
di wajahnya, meskipun sebetulnya sensasi wajah adalah normal
4. Wajah melorot menjadikan wajah sulit berekspresi
5. Dapat terjadi rasa nyeri di sekitar rahang atau di belakang telinga pada
salah satu sisi wajah yang terpengaruh.
6. Sensitivitas terhadap suara akan meningkat pada sisi wajah yang
terpengaruh
7. Kadang timbul nyeri kepala
8. Penurunan kemampuan indera pengecap pada sisi yang lumpuh
9. Penurunan jumlah air mata dan liur yang diproduksi pada sisi yang
terkena
10. Pada beberapa kasus, Bell’s Palsy dapat mempengaruhi saraf kedua
sisi wajah, walaupun hal tersebut jarang terjadi

2.4 Pemeriksaan Diagnostik

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan


penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari
paralisis saraf kranialis.

a. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat


dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan
sistem saraf pusat (SSP).
b. Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di
tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis
multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
penyengatan kontras saraf fasialis.
c. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun
1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada
penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al

6
melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai
prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG).
Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15
mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-
value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa
penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),
pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex
didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink
reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas
hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini
rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

2.5 Penatalaksanaan Medis


1. Terapi Pembedahan
Dekompresi melalui pembedahan dianjurkan sebagai terapi akut
Bell palsy yang didasari oleh hipotesis pembengkakan neuronal
pada tulang temporal berperanan dalam trauma kompresi saraf.
Namun, masih sedikit data mengenai hal ini. Penanganan ini
bersifat invasif dan memiliki risiko kehilangan pendengaran yang
permanen
2. Fisioterapi
Fisioterapi, termasuk massage dan latihan wajah, dianjurkan pada
pasien, namun masih sedikit uji klinis yang menunjukkan
efektivitasnya. Beberapa bukti mendukung facial retraining (mime
therapy) dengan biofeedback.
3. Perawatan Pendukung
Yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah perlindungan
mata. Pasien sebaiknya menggunakan air mata buatan dan salep
mata. Kaca mata atau Googgle penting untuk melindungi dari
cahaya, angin, dan debu. Pelindung mata berupaeye patch pada
malam hari sering kali diperlukan.

7
4. Terapi Non-Farmakologis
Stimulasi listrik pada wajah untuk mencegah atrofi otot. Stimulasi
listrik yang diberikan pada pasien dengan bell's palsy ini
menggunakan metode individual (motor point). Metode individual
ini merupakan suatu stimulasi elektrik yang ditujukan pada
individual otot sesuai dengan fungsinya melalui motor point.
Motor point sendiri adalah titik peka rangsang yang terletak di
superficial kulit. Tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk
merangsang fungsi otot secara individual baik yang letaknya
superficial maupun dalam (deep).

2.6 Patofisiologi
Virus yang di duga dapat menyababkan bell’s palsy adalah herpes
simpleks virus tipe 1 (HSV-1). Virus lain yang dapat menyebabkan bell’s palsy
Epstein-Barr Virus. Herpes Zoster Virus. Rubela. HSV yang dapat
menyebabkan bell’s palsi adalah HSV dalam masa laten di ganglion genikulata
yang mengalami reaktivasi.
HSV – 1 dalam masa laten di ganglion genikulata Reaktivasi (dapat
disebabkan oleh ISPA, demam, menstruasi, paparan keadaan dingin, operasi)
Virus akan menghancurkan sel-sel ganglion dan menyebar ke cairan
endoneurial. Virus juga akan menyerang sel-sel Schwann Inflamasi, saraf akan
membengkak Kompresi, saraf akan tertekan pada fallopian canal Infark dan
interupsi, kematian sel saraf atau terjadinya demielinisasi Kelemahan atau
kelumpuhan saraf fasialis (bell’s palsy).
Bell’s plasy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralis tekanan. Saraf
yang radangdan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya 
tersumbat pada titikyang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal
panjangnya saluran yang paling baik sangat sempit. Ada   penyimpangan wajah
berupa palisis otot wajah;   peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi nyeri
pada wajah, belakang  telinga, dan pada klien yangmengalami kerusakan
bicara, dan kelamahan otot wajah   atau  otot wajah  pada sisiyang terkena.

8
Menurut Arif Muttaqin (2012) paralisis Bell dipertimbangkan dengan
beberapa tipe paralisis tekanan. Inflamasi dan edema saraf pada titik kerusakan,
atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik yang menyebabkan nekrosis
iskemik dalam kanal yang sangat sempit. Ada kelainan wajah berupa paralisis
otot wajah; peningkatan lakrimasi (air mata); sensasi nyeri pada wajah,
belakang telinga, dan terdapat kesulitan bicara pada sisi yang terkena karena
kelemahan atau otot wajah. Pada kebanyakan klien, yang pertama kali
mengetahui paresis adalah teman sekantor atau orang terdekat/ keluarganya.
Pada observasi dapat terlihat juga bahwa gerakan kelompok yang tidak sehat
lebih lambat jika dibandingkan dengna gerakan kelopak mata yang sehat lebih
lambat jika dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Lipatan
nasolabial pad asisi kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi
terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Saat mencibir,
gerakan bibir tersebut menyimpan ke sisi yang tidak sehat. Jika klien diminta
untuk memperlihatkan gigi geliginya atau diminta meringis, sudut mulut sisi
yang lumpuh tidak terangkat, sehingga mulut tampaknya mencong kearah yang
sehat.
Setelah paralisi pasial perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa.
Pada umumnya gejala itu merupakan proses regerasi yang salah, sehingga
timbul gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakn otot kelompok lain.
Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelopak lain disebut sinkinetik. Gerakan
yang mengikuti gerakan otot kelopak lain itu disebut sinkinetik. Adapun
gerakan sinkinetik adalah ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata
ditutup dan fisula  palpebra sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada
waktu rahang bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara
atau mengunyah. Dalam hal ini, di luar serangan spasme fasialis, sudut mulut
sisi yang pernah lumpuh tampak lebih tinggi kedudukannya dari padapada sisi
yang sehat. Oleh karena itu, banyak kekeliruan mengenai sisi yang
memperlihatkan paresis fasialis, terutama jika klien yang pernah mengalami
Bell’s Palsy kemudian memperoleh ‘stroke’.

9
2.7 Asuhan Keperawatan Bells Palsy
A. Pengkajian
Pengkajian menurut Arif Muttaqin (2012) anamnesis pada Bell’s Palsy
meliputi keluahan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial.
1. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta bantuan kesehatan adalah
berhubungna dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
2. Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk
menunjang keluhan utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala
yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, dan bertambah
buruk. Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan
kelumpuhan otot wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini
melibatkan semnua otot wajah satu sisi. Jika dahi dikerutkan, lipatan
kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Jika klien diminta
memejamkan kedua mata, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan terlihat berputarnya bola
mata ke atas. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Bell.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vascular, otitis media,
tumor intracranial, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simplek,
herpes zozter), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini.
Pengkajian pamakaian obat-obatan yang sering digunakan klien,
pengkajian tindakan medis yan gdidapatkan klien dapat mendukung
pengkajian riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan memberikan tindakan selanjutnya.
4. Pengkajian psikososial spiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s Palsy meliputi beberapa penilaian
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas

10
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien  juga penting untuk menilai
respon emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keuarga
ataupun dalam masyarakat. Pengkajian mengenai mekanisme koping
yang secara sadar biasa digunakan klien selama kesehatan saat ini yang
telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
5. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing)
Jika tidak ada penyakit lain yang menyertai, pemeriksaan sistem
pernafasan klien dalam batas normal. Pada palpasi biasaanya taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan resonan pada
seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak terdengar bunyi nafas
tambahan.
b. B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan
frekuensi dan ritme yang normal, tekanan darah dalam batas normal,
dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
c. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain)   merupakan pemeriksaan focus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada sisitem lainnya.
d. Pengkajian tingkat kesadaran
Pada Bell’s Palsy biasanya kesadaran klien komposmentis.
e. Pengkajian fungsi serebral
Status mental meliputi observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya
bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien Bell’s
Palsy tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
f. Pengkajian saraf cranial
Pemeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan pada saraf kranial I-
XII :

11
1. Saraf I, bisanya pada klien Bell’s Palsy tidak ada kelaianan
pada fungus penciuman.
2. Saraf II, tes ketajaman penglihatan pada kondisi.
3. Saraf III, IV, dan VI, penurunan gerakan kelopak mata pada
sisi yang sakit (lagoftalmos).
4. Saraf V, kelumpuhan seluruh otot wajah satu sisi, lipatan
nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan
sinkinetik.
5. Saraf VII, berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin
sekali edema saraf fasialis di tingkat foramen srtilomastoideus
meluas sampai bagian saraf fasialis, di mana khorda timpani
menggabungkan diri padanya.
6. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
7. Saraf IX dan X, paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara,
mengunyah dan menelan, kemampuan menelan kurang baik,
sehingga menggangu pemenuhan nutrisi via oral.
8. Saraf XI, tidakada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius, kemampuan mobilisasi leher baik.
9. Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi, indra pengecapan pada dua pertiga lidah
sisi kelumpuhan kurang tajam.
g. Pengkajian sistem motorik
Jika tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal,
control kesimbangan dan koordinasi pada Bell’s Palsy tidak ada
kelainan.
h. Pengkajian reflex
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal. Gerakan Involunter,
tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa
keadaan sering ditemukan tic fasialis.
i. Pengkajian sistem sensorik

12
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada
kelainan.
j. B4 (Bledder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya menunjukkan
penurunan volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
k. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungakan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot-otot penguyah serta gangguan proses
menelan menyebabkan pemenuhan nutrisi via oral menjadi menurun.
l. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas
klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien
lebih banyak dibantu oleh orang lain.
m. Pengkajian penatalaksanaan medis
Tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah
dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus
diyakinkan bahwa keadaan yang terjadi bukan stroke dan pulih dengan
spontan dalam 3 sampai 5 minggu paa kebanyakan klien.
Nyeri wajah dikontrol dengan analgetik. Kompres panas pada sisi
wajah yang sakit dapat diberikan untuk mengurangi kenyamanan dan
aliran darah sampai ke otak tersebut.
Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi
atrofi. Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif,
namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada
klien melalui pembedahan dan pembedahan untuk merehabilitasi
keadaan paralisis wajah.

n. Pendidikan klien
Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata.
Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna,dan

13
refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang hewan kecil
dn benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi potensial
pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya
air mata yang berlebihan (epifora) karena keratis akibat kornea kering
dan tidak adanya refleks berkedip. Penutup mata bagian bawah
menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah
ini, mata harus ditutup denna melindunginya dari cahaya silau pada
malam hari. Kotoran mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini
juga disebabkan karena beberapa kesulitan dalam mempertahankan
mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yang dapat
digunakan pada mata saat tidur dapat diletakkan di atas mata agar
kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap tertutup
selama tidur.
Klien dianjurkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami
paralisis secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan
kacamata hitam untuk menurunkan penguapan normal dari mata. Jika
saraf tidak terlalu sensitive, wajah dapat dimasase beberapa kali untuk
mempertahankan tonus otot. Teknik untuk memasase wajah adalah
dengan gerakan lembut ke atas. Latihan wajah seperti mengkerutkan
dahi, mengembungkan pipi ke luar dan bersiul, dapat dilakukan
dengan mengguanakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah
atrofi otot. Hindari wajah terhadap udara dingin.

B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan menurut Arif Muttaqin
(2012), yaitu:
1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan
perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan pada satu sisi pada
wajah.
2. Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit.
3. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang
tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

14
C. Intervensi keperawatan
Sasaran dari klien ini meliputi adanya peningkatan konsep diri klien dank
lien memperlihatkan  kemampuan pemahaman yang adekuat tentnag
penyakit yang diderita serta pengobatannya.
1. Diagnosa : gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan
dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada
wajah.
Tujuan : dalam waktu1x24 jam konsep diri klien
meningkat.
KH : klien mampu menggunakan koping positif.

Intervensi Rasional

1. Intervensi awal bisa


mencegah distress
psikologis pada klien.
1. Kaji dan jelaskan kepada
2. Mekanisme koping yang
klien tentang keadaan
positif dapat membantu
paralisis wajahnya.
klien lebih percaya diri,
2. Bantu klien menggunakan
lebih kooperatif terhadap
mekanisme koping yang
tindakan yang akan
positif.
dilakukan, dan mencegah
3. Orientasikan klien terhadap
terjadinya kecemasan
prosedur rutin dan aktivitas
tambahan.
yang diharapkan.
3. Orientasikan dapat
4. Libatkan sistem pendukung
menurutkan kecemasan.
dalam perawatan klien.
4. Kehadiran support sistem
meningkatkan citra diri
klien.

2. Diagnosa : Ansieta yang berhubungan dengan prognosis


penyakit.
Tujuan : ansietas hilang atau berkurang.

15
KH : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi
penyebab atau faktor yang mempengaruhinya dan mengatakan
ansietas berkurang atau hilang.

Intervensi Rasional

1. Bantu klien 1. Ansietas berkelanjutan


mengekspresikan perasaan memmberikan dampak
marah, kehilangan, dan serangan jantung
takut. selanjutnya.
2. Kaji tanda verbal dan 2. Reaksi verbal atau
nonverbal ansietas, nonverbal dapat
damping klien dan lakukan menunjukkan rasa agitasi,
tindakan bila menunjukkan marah dan gelisah.
perilaku merusak. 3. Konfrontasi dapat
3. Hindari konfrontasi. meningkatkan rasa marah,
4. Mulai melakukan tindakan menurunkan kerja sama
untuk mengurangi dan mungkin
kecemasan. Beri memperlambatkan
lingkungan yang tenang penyembuhan.
dan suasana penuh 4. Mengurangi rangsangan 
istirahat. eksternal yang tidak perlu.
5. Tingkatkan control sensasi 5. Kontrol sensasi klien
klien. dengan cara memberikan
6. Orientasikan kien terhadap informasi tentang keadaan
prosedur rutin dan aktivitas klien,  menekankan pada
yang diharapkan. penghargaan sumber-
7. Beri kesempatan kepada sumber koping (pertahanan
klien untuk diri), yang positif,
mengungkapkan membantu latihan
ansietasnya. relaksasi, dan teknik-teknik
8. Berikan privasi untuk klien pengalihan dan
dan orang terdekat. memberikan respons yang

16
balik tang positif.
6.  Orientasi dapat
menurunkan ansietas.
7. Dapat menghilangkan
ketegangan terhadap
kekhawatiran yang tidak
diekspresikan
8. Memberikan waktu untuk
mengekspresikan perasaan,
menghilangkan cemas dan
perilaku adaptasi. Adanya
keluarga dan teman-teman
yang dipilih klien melayani
aktivitas dan pengalihan
akan menurunkan perasaan
terisolasi.

3. Diagnosa : defisit pengetahuan yang berhubungan dengan


informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan
pengobatan.
Tujuan : dalam waktu 1×30 menit klien akan
memperlihatkan kemampuan pemahaman yang adekuat tentang
penyakit dan pengobatannya.
KH : klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang
secara sederhana terhadap apa yang telah didiskusikan.

Intervensi Rasional

1. Kaji kemampuan belajar, 1. Indikasi progresif atau


tingkat kecemasan, reaktivitas penyakit atau
partisipasi, media yang efek samping pengobatan,
sesuai untuk belajar serta untuk evaluasi lebih
2. Identifikasi tanda dan lanjut
gejala yang perlu 2. Meningkatkan kesadaran

17
dilaporkan ke perawat. kebutuhan tentang
3. Jelaskan instruksi dan perawatan diri
informasi misalnya 3. Meningkatkan kerja sama
penjadwalan pengobatan. atau partisipasi terapetik
4. Kaji ulang risiko efek dan mencegah putus obat.
samping pengobatan. 4. mengurangi rasa kurang
5. Motivasi klien nyaman dari pengobatan
mengekspresikan 5. Memberikan kesempatan
ketidaktahuan/kecemasan untuk mengkoreksi
dan beri informasi yang kesalahan persepsi dan
dibutuhkan. mengurangi kecemasan.

BAB III
PENUTUP

18
3.1 Kesimpulan
1. Pasien Bell’s palsy pada awalnya merasakan ada kelainan pada mulut
yang tampak mencong ke satu sisi, salah satu kelopak mata tidak dapat
dipejamkan, mulut tidak dapat mencucu, apabila berkumur atau  minum
maka air akan tumpah melalui salah satu sisi mulut yang lesi. Keadaan
tersebut disebabkan adanya paralisis otot- otot wajah pada sisi yang sakit.
Kondisi ini merupakan permasalahan yang dialami pasien sehingga peran
fisioterapis diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan
meningkatkan kekuatan dan kemampuan fungsional otot- otot wajah serta
mencegah komplikasi lebih lanjut
2. Electrical Stimulation arus Faradik yang diberikan dapat menimbulkan
kontraksi otot dan membantu memperbaiki perasaan gerak sehingga
diperoleh gerak  yang normal serta bertujuan untuk mencegah/
memperlambat terjadinya atrofi otot. Pada kasus Bell’s Palsy ini
rangsangan gerak dari otak tidak dapat disampaikan kepada otot-otot
wajah yang disyarafi.
3. Massage diberikan dengan tujuan memberikan penguluran pada otot-otot
wajah yang letaknya superfisial sehingga perlengketan jaringan dapat
dicegah, selain itu memberikan efek rileksasi dan mengurangi rasa kaku
pada wajah.

DAFTAR PUSTAKA

19
Brughman, Diane C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku saku untuk
Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC. 60-61.

Harsono (2009). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press. 297-300.

Muttaqin Arif (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.108-116.

Williams & Wilkins (2011). Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit.


Jakarta Barat: Permata Puri Media. 47-48

Berker, Nadire.2005. The Help Guide To Cerebral palsy.Turkey: Mosly Elsevier.

Carpernito, L. J. 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan;alih bahasa indonesia,


Kusrini Semarwati Kadar. Edisi 10Jakarta: EGC

Herdman, T. H. 2012. Diagnosis keperawatan: Nursing Diagnosis: Definition &


Clasification; alih bahasa Indonesia, Sumarwati, Made. Jakarta: EGC

NANDA,NIC.NOC.2012.Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan


Profesional :Edisi Revisi. Mediaction publishing.

NANDA, NIC NOC. 2013.Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan


Profesional :Edisi Revisi Jilid 1 dan Jilid 2. Mediaction publishing

20

Anda mungkin juga menyukai