DI SUSUN
OLEH
HILHAMI SOFYAN
(PO714241181019)
JURUSAN FISIOTERAPI
TAHUN 2021
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus pre klinik di RSUD KOTA MAKASSAR mulai tanggal 15 sampai
dengan 26 Maret 2021 dengan judul kasus “Penatalaksaan Fisioterapi pada
Bell’s Palsy” telah disetujui oleh Clinical Educator dan Preceptor
i
KATA PENGANTAR
Laporan kasus ini merupakan salah satu dari tugas Praktek Pre-Klinik di
RSUD KOTA MAKASSAR , selain itu juga laporan kasus ini bertujuan untuk
memberikan informasi mengenai penetalaksaan fisioterapi untuk kasus tersebut.
Penyusun,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................3
A. Tinjauan Tentang Anatomi Fisiologi Bell’s Palsy..............................................3
1. Persarafan...........................................................................................................3
2. Otot – Otot Wajah..............................................................................................4
B. Tinjauan kasus.....................................................................................................5
1. Definisi Bell’s Palsy...........................................................................................5
2. Etiologi Bell’s Palsy...........................................................................................6
3. Tanda dan Gejala Bell’s Palsy............................................................................7
4. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi Bell’s Palsy.................................9
C. Tinjauan Intervensi Fisioterapi.........................................................................10
1. Infra Red (IR)...................................................................................................10
2. Massage Wajah................................................................................................11
BAB III...........................................................................................................................12
HASIL KEGIATAN (PENGAMATAN)......................................................................12
A. Identitas Pasien...................................................................................................12
B. History Taking....................................................................................................12
C. Temuan Pemeriksaan.........................................................................................12
D. Program Intervensi Fisioterapi.........................................................................14
E. Evaluasi Fisioterapi............................................................................................15
BAB IV............................................................................................................................16
PENUTUP.......................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan yang sering terjadi pada
wajah. Bell’s palsy yaitu suatu kelemahan pada wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan karena adanya keterlibatan saraf fasialis yang idiopatik di
luar sistem saraf pusat, yang tidak disertai penyakit neurologik lainnya (Lowis,
2012).
1
mengembalikan elastisitas otot, 2 menjaga sifat fisiologis otot, mencegah
kontraktur otot, serta mengembalikan kekuatan otot.
Bell’s palsy dapat terjadi pada segala usia, namun sering djumpai pada
usia 20-50 tahun. Angka kejadian bell’s palsy yaitu sekitar 20-25 orang per
100.000 populasi. Resiko terkena bell’s palsy lebih banyak terjadi pada wanita
dari pada laki-laki (Setiawan, 2009). Bell’s palsy dapat mengenai pria dan wanita
dengan perbandingan sama dari usia 10-40 tahun dan mengenai wajah sisi kanan
dan kiri dengan kasus sama banyak.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2. Otot – Otot Wajah
4
Gambar 1. Otot- otot wajah (Putz and Pabst, 2006)
B. Tinjauan kasus
1. Definisi Bell’s Palsy
Menurut asal katanya yaitu “Bell” diambil dari nama belakang Sir
Charles Bell ( 1833) yang telah membuktikan bahwa otot wajah
disarafi oleh nervus facialis, bukannya oleh nervus trigeminus
sebagaimana anggapan sebelumnya. Sedangkan “Palsy” berarti
kelumpuhan. Jadi Bell’s Palsy adalah kelumpuhan facialis perifer
akibat proses non – supratif, non neo – plastic, non degeneratif primer
namun sangat mungkin akibat oedema jinak pada bagian nervus
facialis di foramen stilomastoideus atau sedikit ke proksimal dari
foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan ( Sidharta, 1999 ).
5
sekitar bibir atau mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam
waktu 48 jam atau kurang (Dewanto, dkk, 2009).
Etiologi Bell’s Palsy saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi
ada empat teori yang diajukan sebagai penyebab Bell’s Palsy, yaitu :
1. Teori Ischemic Vasculer
Nervus facialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena
gangguan sirkulasi darah di canalis falopi. Kerusakan yang
ditimbulkan oleh tekanan pada saraf perifer, terutama berhubungan
dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut,
6
tidak karena akibat tekanan langsung pada sarafnya ( Tamrinsyam,
1991 ).
2. Teori Virus
Teori ini banyak dikemukakan oleh Adour dkk pada tahun 1978,
virus ini yang paling banyak menjadi penyebab adalah herpes
simplex virus ( HSV ). Dibuktikan melalu penelitiannya
mengatakan bahwa 9 dari penderita Bell’s Palsy yang diperiksa
serumnya didapatkan hasil 100% positif antibody HSV
( Tamrinsyam, 1991 ).
3. Teori Herediter
Bahwa Bell’s Palsy bersifat herediter, umumnya diketahui jika
berhubungan dengan kelainan anatomis berupa terdapatnya canalis
facialis yang kecil yang herediter (Tamrinsyam, 1991 ).
4. Teori Immunologi
Teori ini mengatakan bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat
immunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelum atau
sesudah pemberian imunisasi.
7
Gambar 1.1 Pares nervus VII perifer kanan (Afzal Mir, 2003)
8
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b)
Ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion
genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c)
Disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca
herpes di membran timpani dan konka. Ramsay
Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang
berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran
timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d)
Ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya
nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai
gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus
akustikus, dan kadang – kadang juga nervus abdusens,
nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus (Djamil,2003).
9
Menurut pendapat Lee ( 1990 ), sebagaimana saraf perifer yang
lain, jenis cidera yang mungkin terjadi pada kondisi Bell’s Palsy
adalah :
a. Neuropraksia, yaitu suatu paralisis dimana saraf hanya tertekan
sehingga terjadi hambatan aliran impuls tanpa kerusakan atau
degenerasi akson pada sebelah distal tempat lesi. Sehingga apabila
tekanan ini hilang, fungsi saraf akan kembali sempurna dengan
cepat, keadaan ini sering disebut sebagai blokade aksonal
fisiologik. Disini ketiga unsur serabut saraf (akson, selubung
myelin dan neurilema ) tidak mengalami kerusakan.
b. Aksonotmesis, yaitu suatu paralysis dimana saraf mengalami
tekanan yang cukup kuat sehingga akson disebelah distal lesi akan
mengalami kematian atau degenerasi dalam beberapa hari
kemudian, pada kondisi ini yang mengalami kerusakan hanya
aksonnya, sedangkan kedua selubungnya masih baik.
c. Neuronotmesis, yaitu suatu paralysis dimana seluruh batang saraf
terputus, disini semua unsur serabut saraf di distal lesi mengalami
kerusakan.
10
Lampu Infra Red diletakkan tegak lurus dengan area terapi dengan
jarak 45 - 60 cm. Evaluasi di lakukan sebelum dilakukan penyinaran
dan saat penyinaran, apakah ada panas yang terlalu tinggi atau terlalu
banyak keringat yang keluar.
Dosis : Dosis waktu: 15 menit
Pengulangan: 1x1 hari
2. Massage Wajah
Pemberian massage ini diberikan pada seluruh permukaan wajah.
Posisi terapis di sebelah atas kepala pasien. Sebelumnya tuangkan
media pelicin ditangan terapis. Usapkan pada wajah pasien dengan
gerakan stroking menggunakan seluruh permukaan tangan dengan arah
gerakannya tidak tentu. Lakukan gerakan efflurage secara gentle, arah
gerakan dari dagu kearah pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah
menuju ke telinga. Dilanjutkan dengan finger kneading dengan jari-jari
dengan cara memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke
seluruh otot wajah yang terkena lesi dari dagu, pipi, pelipis dan tengah
dahi menuju ke telinga. Kemudian lakukan tapping dengan jari-jari
dari tengah dahi menuju ke arah telinga, dari dekat mata menuju ke
arah telinga, dari hidung ke arah telinga, dari sudut bibir ke arah
telinga dan dari dagu menuju kearah telinga. Khusus pada bibir,
lakukan stretching kearah yang lesi.
Dosis : Dosis waktu : 10 menit.
Pengulangan : Gerakan massage dilakukan dengan dosis masing-
masing 3-5 kali pengulangan
11
BAB III
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Laki – Laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Maipa
B. History Taking
Keluhan utama : Kelemahan otot wajah
C. Temuan Pemeriksaan
1. Tanda vital
Tekanan darah : 110/90 mmHg
2. Inspeksi
a. Statis : wajah merot ke kanan, mata merah dan berair
b. Dinamis : kesulitan mengangkat alis sebelah kiri dan
asimetris ketika tersenyum
12
3. Palpasi
Didapatkan hasil sisi wajah sebelah kanan terasa lebih kaku atau
keras dibandingkan sisi wajah kiri, penurunan tonus otot wajah bagian
kiri, dan tidak ada nyeri tekan.
5. Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui informasi khusus
yang belum diperoleh pada pemeriksaan dasar. Pemeriksaan pada
kasus ini meliputi:
a. Manual muscle testing (MMT) otot - otot wajah Untuk menilai
kekuatan otot fasialis yang mengalami paralisis digunakan skala :
13
M. Nasalis Mengembang kempiskan 0
cuping hidung
M. Depressor anguli Menarik ujung mulut kebawah. 0
oris
M.Zygomatikus Major Tersenyum 0
M.Zygomatikus Minor Tersenyum 0
M. Orbicularis Oris Gerakan bersiul atau mencucur 0
M. Bucinator Merapatkan bibir dengan pipi 0
dikempiskan, misalnya
mengunyah
M. Mentalis Menarik ke atas ujung dagu 1
M. Risorius Menarik sudut bibir ke lateral 0
dan mrmbentuk lesung pipi
E. Evaluasi Fisioterapi
14
Intervensi Evaluasi
Problematik Awal Terapi Akhir Terapi
Fisioterapi
Kurang lebih 3 IR Saat minum dan Setelah
minggu yang MASSAGE berkumur karena dilakuakn
lalu, pasien air keluar dari terapi selama 4
datang dengan sisi yang lesi, kali didapatkan
keluhan pada saat makan hasil berupa
kelemahan otot makanan adanya
wajah sebelah terkumpul pada peningkatan
kiri sisi yang sehat, kekuatan pada
Adanya otot – otot
gangguan wajah
ekspresi, seperti
mengerutkan
dahi,mengangkat
alis, menutup
mata, tersenyum
dan bersiul.
BAB IV
PENUTUP
15
kemampuan fungsional otot-otot wajah, serta dapat meningkatkan aktivitas
fungsional seperti makan, minum dan berkumur.
DAFTAR PUSTAKA
16
Olivia Mahardani Adam . (2019). Bell’s palsy , 1-13.
Rizkiana Rama Dona. (2015). Laki-laki 45 Tahun dengan Bells Palsy, 1-4.
17