Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS PRE KLINIK

RSUD KOTA MAKASSAR

FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY SINISTRA

DI SUSUN

OLEH

HILHAMI SOFYAN

(PO714241181019)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

JURUSAN FISIOTERAPI

TAHUN 2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus pre klinik di RSUD KOTA MAKASSAR mulai tanggal 15 sampai
dengan 26 Maret 2021 dengan judul kasus “Penatalaksaan Fisioterapi pada
Bell’s Palsy” telah disetujui oleh Clinical Educator dan Preceptor

Makassar, 24 Maret 2021

Clinical Eductor, Preceptor,

Muhammad Hatta, S.St,.Ft Dr. Hendrik, S.St.Ft, M.Kes

NIP. 19720420 1998031 011 NIP.

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang


telah memberikan rahmat dan Hidayah-Nya sehingga saya dapat menyusun
laporan kasus ini yang berjudul “Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Bell’s
Palsy Sinistra, dengan menggunakan modalitas Infra Red dan Massage”.

Laporan kasus ini merupakan salah satu dari tugas Praktek Pre-Klinik di
RSUD KOTA MAKASSAR , selain itu juga laporan kasus ini bertujuan untuk
memberikan informasi mengenai penetalaksaan fisioterapi untuk kasus tersebut.

Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada

1. Bapak/ibu dosen fisioterapi Politeknik Kesehatan Makassar


2. Bapak/ibu pembimbing lahan RSUD KOTA MAKASSAR
3. Teman – teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
Laporan Kasus ini.

Saya sangat sadari dengan segala kekurangan dan keterbatasan dalam


penulisan laporan kasus ini, oleh karena itu saya mengharapkan saran yang
membangun agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkan.

Makassar, 24 Maret 2021

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................3
A. Tinjauan Tentang Anatomi Fisiologi Bell’s Palsy..............................................3
1. Persarafan...........................................................................................................3
2. Otot – Otot Wajah..............................................................................................4
B. Tinjauan kasus.....................................................................................................5
1. Definisi Bell’s Palsy...........................................................................................5
2. Etiologi Bell’s Palsy...........................................................................................6
3. Tanda dan Gejala Bell’s Palsy............................................................................7
4. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi Bell’s Palsy.................................9
C. Tinjauan Intervensi Fisioterapi.........................................................................10
1. Infra Red (IR)...................................................................................................10
2. Massage Wajah................................................................................................11
BAB III...........................................................................................................................12
HASIL KEGIATAN (PENGAMATAN)......................................................................12
A. Identitas Pasien...................................................................................................12
B. History Taking....................................................................................................12
C. Temuan Pemeriksaan.........................................................................................12
D. Program Intervensi Fisioterapi.........................................................................14
E. Evaluasi Fisioterapi............................................................................................15
BAB IV............................................................................................................................16
PENUTUP.......................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan yang sering terjadi pada
wajah. Bell’s palsy yaitu suatu kelemahan pada wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan karena adanya keterlibatan saraf fasialis yang idiopatik di
luar sistem saraf pusat, yang tidak disertai penyakit neurologik lainnya (Lowis,
2012).

Bell’s Palsy sering timbul secara mendadak, biasanya sehabis bangun


tidur, perjalanan dengan kendaraan, dan sering setelah terpapar angin langsung di
dekat jendela bis atau kereta api, berjaga tidak tidur sampai larut malam atau tidur
di lantai tanpa alas ( Lumbantobing, 2006 ).

Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks,


yaitu meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidaksimetrisnya
wajah, kaku dan bahkan bisa berakibat terjadi kontraktur; disability atau
ketidakmampuan (ditingkat individu) berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-
hari berupa gangguan makan dan minum, menutup mata, serta gangguan berbicara
dan ekspresi wajah; handicap (di tingkat lingkungan) berupa keterkaitan dalam
profesi terutama dibidang entertainment; dan masalah selanjutnya dari segi
kejiwaan penderita.

Masalah-masalah yang dapat terjadi pada penderita bell’s palsy yaitu


terjadi kelumpuhan otot-otot wajah, yang ditandai (1) pada saat diam: sisi yang
terserang nampak kerutan di dahi, alis lebih rendah, celah mata lebih besar, lipatan
nasolabial menghilang, bentuk cuping hidung tidak simetris, dan mulut mencong
ke sisi yang sehat. (2) pada saat bergerak: penderita tidak dapat mengangkat alis,
mengkerutkan dahi, menutup mata, meringis, menggembungkan pipi, bersiul, dan
menegangkan otot. (3) pada saat mengkerucutkan bibir kedepan atau mecucu,
terjadi deviasi ke sisi yang sehat. Fisioterapi mempunyai peran dalam mengatasi
masalah-masalah yang ditimbulkan karena kondisi bell’s palsy, antara lain

1
mengembalikan elastisitas otot, 2 menjaga sifat fisiologis otot, mencegah
kontraktur otot, serta mengembalikan kekuatan otot.

Bell’s palsy dapat terjadi pada segala usia, namun sering djumpai pada
usia 20-50 tahun. Angka kejadian bell’s palsy yaitu sekitar 20-25 orang per
100.000 populasi. Resiko terkena bell’s palsy lebih banyak terjadi pada wanita
dari pada laki-laki (Setiawan, 2009). Bell’s palsy dapat mengenai pria dan wanita
dengan perbandingan sama dari usia 10-40 tahun dan mengenai wajah sisi kanan
dan kiri dengan kasus sama banyak.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Anatomi Fisiologi Bell’s Palsy


1. Persarafan
Secara anatomis, bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian
yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini
sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius wisberg. Ada
pakar yang menganggap sebagau saraf terpisah, namun pada umumnya
saraf intermedius ini di anggap sebagai bagian dari saraf fasialis. Sel
sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf
facialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan
lidah di hantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke
ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi eksteroseptif
mempunyai badan sel nya di ganglion genikulatum dan berakhir pada
desendens dan inti akar desendens dari saraf trigeminus (nV).
Hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus. Saraf otak ke
VII ( nervus facialis ) mengandung 4 macam serabut, yaitu:
a. serabut somato motorik, yang mensyarafi otot – otot wajah kecuali
m.levator palpebrae ( N III ), otot plastima stilohioid, digastrikus
bagian posterior dan stapeideus bagian tengah
b. serabut visero – motorik ( parasimpatis ) yang datang dari nucleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan
mucosa faring, palatum, rongga hidung, snus para nasal, dan
glandula submaksilar serta sublingual dan lakrimalis
c. serabut visero – motorik yang rasa nyeri dari sebagian daerah kulit
dan mukosa yang disarafi oleh nervus irigeminus. Daerah
overlapping ( disarafi oleh lebih dari satu saraf ) ini terdapat di
lidah, palatum, meatus, akustikus eksterna dan bagian luar gendang
telinga ( Lumbantobing, 2006 ).

3
2. Otot – Otot Wajah

Otot – otot wajah tertanam pada facia superficialis, dan hampir


semua berorigo pada tulag cranium serta berinsersio ke kulit. Lubang –
lubang pada wajah yaitu orbita, cavum nasi, dan cavum oris,
dilindungi oleh palpebrae, nares, dan labia oris. Otot wajah berfungsi
sebagai sfingter atau dilatator struktur – struktur tersebut. Fungsi lain
otot wajah adalah untuk mengubah ekspresi wajah. Otot wajah
berkembang dari arcus pharyngeus kedua dan disarafi nervus facialis
( Richard, 1997).

Otot – otot wajah bagian atas wajah mendapat persarafan dari


dua sisi. Sehingga, terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan
nervus facialis jenis sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar
mata dan dahi yang mendapat persarafan dari dua sisi tidak lumpuh,
yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada cabang saraf yang
mengatur pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama nervus
facialis (Lumbantobing, 2006 ).

Kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus facialis (


lesi traktus piramidalis atau korteks motorik ) mengakibatkan
kelumpuhan pada otot – otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian
atasnya tidak. Lesi supranuklir ( upper motor neuron ) nervus facialis
sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada
stroke. Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik
yang volunter, maupun yang involunter lumpuh ( Lumbantobing,
2006).

4
Gambar 1. Otot- otot wajah (Putz and Pabst, 2006)

B. Tinjauan kasus
1. Definisi Bell’s Palsy
Menurut asal katanya yaitu “Bell” diambil dari nama belakang Sir
Charles Bell ( 1833) yang telah membuktikan bahwa otot wajah
disarafi oleh nervus facialis, bukannya oleh nervus trigeminus
sebagaimana anggapan sebelumnya. Sedangkan “Palsy” berarti
kelumpuhan. Jadi Bell’s Palsy adalah kelumpuhan facialis perifer
akibat proses non – supratif, non neo – plastic, non degeneratif primer
namun sangat mungkin akibat oedema jinak pada bagian nervus
facialis di foramen stilomastoideus atau sedikit ke proksimal dari
foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan ( Sidharta, 1999 ).

Bell's palsy adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan


kerusakan saraf facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralysis
satu sisi wajah yang timbul mendadak akibat lesi nervus fasialis, dan
mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Bell’s Palsy biasanya terjadi
secara mendadak. Penderita setelah bangun pagi mendapati salah satu
sisi wajahnya asimetris. Gejala awal yang ringan seperti kesemutan di

5
sekitar bibir atau mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam
waktu 48 jam atau kurang (Dewanto, dkk, 2009).

2. Etiologi Bell’s Palsy


Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi,
baru beberapa tahun terakhir inidapat dibuktikan etiologi ini secara
logis karena pada umumnya kasus BP sekian lama dianggap idiopatik.
Telah diidentifikasi gen Herpes SimpleksVirus (HSV) dalam ganglion
genikulatum penderita Bell’s palsy (Aminoff, 1993; Ropper, 2003).

Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai


penyebab paralisis fasialidiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV
ditemukan pada keadaan masuk angin (panas dalam/coldsore), dan
beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam
ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan
adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien BP. Murakami at.all
melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan
endoneural N.VII penderita BP berat yang menjalani pembedahan dan
menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi
pada telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam
nervus fasialis dan ganglion genikulatum. VaricellaZooster Virus
(VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s palsy tetapi ditemukan
pada penderita Ramsay Hunt syndrome (Aminoff, 1993;Ropper, 2003)

Etiologi Bell’s Palsy saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi
ada empat teori yang diajukan sebagai penyebab Bell’s Palsy, yaitu :
1. Teori Ischemic Vasculer
Nervus facialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena
gangguan sirkulasi darah di canalis falopi. Kerusakan yang
ditimbulkan oleh tekanan pada saraf perifer, terutama berhubungan
dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut,

6
tidak karena akibat tekanan langsung pada sarafnya ( Tamrinsyam,
1991 ).
2. Teori Virus
Teori ini banyak dikemukakan oleh Adour dkk pada tahun 1978,
virus ini yang paling banyak menjadi penyebab adalah herpes
simplex virus ( HSV ). Dibuktikan melalu penelitiannya
mengatakan bahwa 9 dari penderita Bell’s Palsy yang diperiksa
serumnya didapatkan hasil 100% positif antibody HSV
( Tamrinsyam, 1991 ).
3. Teori Herediter
Bahwa Bell’s Palsy bersifat herediter, umumnya diketahui jika
berhubungan dengan kelainan anatomis berupa terdapatnya canalis
facialis yang kecil yang herediter (Tamrinsyam, 1991 ).
4. Teori Immunologi
Teori ini mengatakan bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat
immunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelum atau
sesudah pemberian imunisasi.

3. Tanda dan Gejala Bell’s Palsy


Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada
saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau
berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan didaerah mulut maka
penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan
menggunakan cermin (Djamil, 2003).

Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata


tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh
menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas
(Bell phenomen). Penderita tidak dapat bersiulatau meniup, apabila
berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang
lumpuh (Djamil,2003, Afzal Mir, 2003).

7
Gambar 1.1 Pares nervus VII perifer kanan (Afzal Mir, 2003)

Gambar 1.2 Gejala Dan Tanda Klinik BP Berhubungan Dengan


Lokasi Lesi.
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
 Mulut tertarik ke arah sisi mulut yan sehat
 Makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan
sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang
 Lipatan kulit dahi menghilang
 Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak
dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
 Gejala dan tanda klinik seperti pada (a)
 Ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan
lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang
terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan
pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah
antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan
muskulus stapedius)

8
 Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b)
 Ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion
genikulatum)
 Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c)
 Disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca
herpes di membran timpani dan konka. Ramsay
Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang
berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran
timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
 Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d)
 Ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya
nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai
gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus
akustikus, dan kadang – kadang juga nervus abdusens,
nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus (Djamil,2003).

4. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi Bell’s Palsy


Bell’s Palsy diduga terjadi peradangan pada saraf wajah, yang
mana terjadi penekanan pada saraf yang keluar dari terusan tulang
tengkorak. Pada keadaan serangan Bell’s Palsy, saraf wajah
mengalami peradangan, kemudian membengkak, dan terjepit di liang
tulang bawah telinga yang dilaluinya. Jepitan saraf yang membengkak
menimbulkan gejala Bell’s Palsy yang khas ( Foster, 2008 ).

9
Menurut pendapat Lee ( 1990 ), sebagaimana saraf perifer yang
lain, jenis cidera yang mungkin terjadi pada kondisi Bell’s Palsy
adalah :
a. Neuropraksia, yaitu suatu paralisis dimana saraf hanya tertekan
sehingga terjadi hambatan aliran impuls tanpa kerusakan atau
degenerasi akson pada sebelah distal tempat lesi. Sehingga apabila
tekanan ini hilang, fungsi saraf akan kembali sempurna dengan
cepat, keadaan ini sering disebut sebagai blokade aksonal
fisiologik. Disini ketiga unsur serabut saraf (akson, selubung
myelin dan neurilema ) tidak mengalami kerusakan.
b. Aksonotmesis, yaitu suatu paralysis dimana saraf mengalami
tekanan yang cukup kuat sehingga akson disebelah distal lesi akan
mengalami kematian atau degenerasi dalam beberapa hari
kemudian, pada kondisi ini yang mengalami kerusakan hanya
aksonnya, sedangkan kedua selubungnya masih baik.
c. Neuronotmesis, yaitu suatu paralysis dimana seluruh batang saraf
terputus, disini semua unsur serabut saraf di distal lesi mengalami
kerusakan.

C. Tinjauan Intervensi Fisioterapi


1. Infra Red (IR)
Infra Red diberikan dengan tujuan meningkatkan proses
metabolisme, vasodilatasi pembuluh darah, pengaruh terhadp saraf
sensoris, mengurangi nyeri, rileksasi otot. Adanya kenaikan temperatur
akan menimbulkan vasodilatasi, yang akan menyebabkan terjadinya
peningkatan darah kejaringan setempat dan menghilangkan sisa-sisa
hasil 7 metabolisme. Menyediakan lebih sel darah putih dan nutrisi
untuk daerah yang dirawat. Pasokan darah meremajakan jaringan, dan
juga mengurangi spasme otot. Penggunaan Infra red dapat mencegah
potensi terjadinya spasme otot dan mengurangi rasa tebal pada wajah
yang disebabkan karena vaskularisasi yang tidak ancar (Singh, 2005).

10
Lampu Infra Red diletakkan tegak lurus dengan area terapi dengan
jarak 45 - 60 cm. Evaluasi di lakukan sebelum dilakukan penyinaran
dan saat penyinaran, apakah ada panas yang terlalu tinggi atau terlalu
banyak keringat yang keluar.
Dosis : Dosis waktu: 15 menit
Pengulangan: 1x1 hari

2. Massage Wajah
Pemberian massage ini diberikan pada seluruh permukaan wajah.
Posisi terapis di sebelah atas kepala pasien. Sebelumnya tuangkan
media pelicin ditangan terapis. Usapkan pada wajah pasien dengan
gerakan stroking menggunakan seluruh permukaan tangan dengan arah
gerakannya tidak tentu. Lakukan gerakan efflurage secara gentle, arah
gerakan dari dagu kearah pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah
menuju ke telinga. Dilanjutkan dengan finger kneading dengan jari-jari
dengan cara memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke
seluruh otot wajah yang terkena lesi dari dagu, pipi, pelipis dan tengah
dahi menuju ke telinga. Kemudian lakukan tapping dengan jari-jari
dari tengah dahi menuju ke arah telinga, dari dekat mata menuju ke
arah telinga, dari hidung ke arah telinga, dari sudut bibir ke arah
telinga dan dari dagu menuju kearah telinga. Khusus pada bibir,
lakukan stretching kearah yang lesi.
Dosis : Dosis waktu : 10 menit.
Pengulangan : Gerakan massage dilakukan dengan dosis masing-
masing 3-5 kali pengulangan

11
BAB III

HASIL KEGIATAN (PENGAMATAN)

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Laki – Laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Maipa

B. History Taking
Keluhan utama : Kelemahan otot wajah

Lokasi keluhan : Sisi wajah sebelah kiri

Riwayat penyakit sekarang : Kurang lebih 4 minggu yang lalu,


pasien merasakan sakit tenggorokan, mata berair, saat minum dan
berkumur karena air keluar dari sisi yang lesi, pada saat makan makanan
terkumpul pada sisi yang sehat alis sebelah kiri tidak terangkat dan pada
saat senyum mulut asimetris.

C. Temuan Pemeriksaan
1. Tanda vital
Tekanan darah : 110/90 mmHg

2. Inspeksi
a. Statis : wajah merot ke kanan, mata merah dan berair
b. Dinamis : kesulitan mengangkat alis sebelah kiri dan
asimetris ketika tersenyum

12
3. Palpasi
Didapatkan hasil sisi wajah sebelah kanan terasa lebih kaku atau
keras dibandingkan sisi wajah kiri, penurunan tonus otot wajah bagian
kiri, dan tidak ada nyeri tekan.

4. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar


a. Gerak aktif : Didapatkan hasil pasien belum mampu
mengangkat alis bagian kiri, pasien belum mampu menutup mata
kiri, pasien belum sempurna menggerakkan mulut sebelah kiri,
pasien belum mampu bersiul.
b. Gerak pasif : Dalam hal ini tidak dilakukan.

5. Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui informasi khusus
yang belum diperoleh pada pemeriksaan dasar. Pemeriksaan pada
kasus ini meliputi:
a. Manual muscle testing (MMT) otot - otot wajah Untuk menilai
kekuatan otot fasialis yang mengalami paralisis digunakan skala :

Table 1. Hasil pemeriksaan kekuatan otot wajah kiri

Otot – Otot Fungsi Nilai


M. Frontalis Mengerutkan dahi dan 0
mengangkat kedua alis
M.Corugator Supercili Menggerakkan kedua alis mata 0
ke medial, sehingga terbentuk
kerutan vertikal diantara kedua
alis
M. Procerus Mengangkat tepi lateral cuping 0
hidung, sehingga terbentuk
kerutan diagonal sepanjang
pangkal hidung
M.Orbicularis Oculi Menutup mata 1

13
M. Nasalis Mengembang kempiskan 0
cuping hidung
M. Depressor anguli Menarik ujung mulut kebawah. 0
oris
M.Zygomatikus Major Tersenyum 0
M.Zygomatikus Minor Tersenyum 0
M. Orbicularis Oris Gerakan bersiul atau mencucur 0
M. Bucinator Merapatkan bibir dengan pipi 0
dikempiskan, misalnya
mengunyah
M. Mentalis Menarik ke atas ujung dagu 1
M. Risorius Menarik sudut bibir ke lateral 0
dan mrmbentuk lesung pipi

D. Program Intervensi Fisioterapi


1. Tujuan jangka pendek
a. Meningkatkan kekuatan otot wajah sebelah kiri.
b. Meningkatkan kemampuan fungsional wajah.
c. Mencegah komplikasi lebih lanjut seperti synkenesis dan
kontraktur pada otot wajah.
2. Tujuan jangka panjang
a. Melanjutkan tujuan jangka pendek.
b. Mengembalikan kemampuan fungsional wajah semaksimal
mungkin seperti makan agar tidak merkumpul pada sisi yang kiri,
minum atau berkumur tidak tumpah pada sisi yang kiri, serta
meningkatkan kepercayaan diri pasien.

E. Evaluasi Fisioterapi

14
Intervensi Evaluasi
Problematik Awal Terapi Akhir Terapi
Fisioterapi
Kurang lebih 3 IR Saat minum dan Setelah
minggu yang MASSAGE berkumur karena dilakuakn
lalu, pasien air keluar dari terapi selama 4
datang dengan sisi yang lesi, kali didapatkan
keluhan pada saat makan hasil berupa
kelemahan otot makanan adanya
wajah sebelah terkumpul pada peningkatan
kiri sisi yang sehat, kekuatan pada
Adanya otot – otot
gangguan wajah
ekspresi, seperti
mengerutkan
dahi,mengangkat
alis, menutup
mata, tersenyum
dan bersiul.

BAB IV

PENUTUP

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan tindakan


fisioterapi selama 4 kali terapi kepada pasien yang bernama: Tn. A, usia: 41 tahun
dengan diagnosa bell’s palsy sinistra diperoleh hasil evaluasi yaitu adanya
penurunan rasa baal (tebal) dan terdapat peningkatan kekuatan dan kemampuan
fungsional otot - otot wajah, serta peningkatan aktivitas fungsional seperti makan,
minum dan berkumur. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian modalitas
infra red, massage wajah serta edukasi dapat meningkatkan kekuatan dan

15
kemampuan fungsional otot-otot wajah, serta dapat meningkatkan aktivitas
fungsional seperti makan, minum dan berkumur.

DAFTAR PUSTAKA

DIYAN NURUL ISTIQOMAH. (2014). PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI


PADA KASUS BELL’S PALSY SINISTRA , 1-10.
ENDANG SARI PURWATININGSIH . (2012). PENATALAKSANAAN
FISIOTERAPI PADA KONDISI BELL’S PALSY SINISTRA DI RSUD Dr.
MOEWARDI SURAKARTA .
Mery Alvionita . (2015). PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI
BELL’S PALSY DEXTRA DI RSUD dr. SOEHADI PRIJONEGORO
SRAGEN , 1-11.
Moch. Bahrudin. (2011). Bell’s Palsy (BP), 1-5.

16
Olivia Mahardani Adam . (2019). Bell’s palsy , 1-13.
Rizkiana Rama Dona. (2015). Laki-laki 45 Tahun dengan Bells Palsy, 1-4.

17

Anda mungkin juga menyukai