Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Polineuropati perifer adalah masalah neurologis paling sering pada AIDS (Cohen
OJ dan Fauci, 2012;Afzal et at, 2015), dengan insidensi bervariasi dengan interval 19%
sampai 66% (Afzalet al, 2015). Polineuropati perifer memiliki gambaran klinis hipoestesi,
nyeri, parestesi yang mengenai ekstremitas bagian distal (Fauci, 2012).HIV-associated
sensory neuropathies (HIV-SN) selain disebabkan oleh infeksi HIV itu sendiri juga
dikenalantiretroviral toxic neuropathy (ATN) yang terjadikarena paparan terapi ARV
golongan nucleoside reverse ranscriptase inhibitors(NRTI)(Amruth G, 2014).
Data epidemiologi menyatakan bahwa kira-kira 30% sampai 40% pasien dewasa
dengan DM tipe 2 menderita Distal Peripheral Neuropathy (DPN). DPN berkaitan dengan
berbagai faktor resiko yang mencakup derajat hiperglikemia, indeks lipid, indeks tekanan
darah, durasi menderita diabetes dan tingkat keparahan diabetes. Studi epidemiologik
menunjukkan bahwa kadar glukosa darah yang tidak terkontrol beresiko lebih besar untuk
terjadi neuropati. Setiap kenaikan kadar HbA1c 2% beresiko komplikasi neuropati sebesar
1,6 kali lipat dalam waktu 4 tahun (Sjahrir, 2006).
Neuropati diabetika terjadi hampir 50 % pada pasien DM, dan pada DM tipe 1
dijumpai lebih cepat sedangkan pada tipe 2 dijumpai lebih lambat. Neuropati sensorimotor
kronik merupakan bentuk yang paling sering dari polineuropati diabetik dan paling sering
didiagnosa pada diabetes tipe 2 sampai 10 %. ( Aring, 2005 ; Boulton, 2005 ).
Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada
dekade 1980 – an menujukkan sebaran prevalensi DM 0.8 % - 6.1 %. Sedangkan pada
rentang tahun 1980 – 2000, menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam yaitu
dari 1.7 % menjadi 5.7 % dan meroket lagi menjadi 12.8 % pada tahun 2001. Berdasarkan
data penelitian juga ditemukan neuropati diabetika dijumpai pada 50 % pasien DM. (
Kelompok studi nyeri PERDOSSI, 2011).

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi polineuropaty?
2. Apa etiologi dari polineuropaty ?

1
3. Apa saja tanda dan gejala dari polineuropaty ?
4. Apa patofisiologi dari polineuropaty ?
5. Apa komplikasi dari polineuropaty ?
6. Apa saja komplikasi dari polineuropaty ?
7. Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kasus polineuropaty ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi polineuropaty.
2. Untuk mengetahui etiologi dari polineuropaty.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari polineuropaty.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari polineuropaty.
5. Untuk mengetahui komplikasi dari polineuropaty.
6. Untuk mengetahui komplikasi dari polineuropaty.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus polineuropaty.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Polineuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf
penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain Diabetes Melitus (DM) (setelah
dilakukan eksklusi penyebab lainnya) (Sjahrir, 2006). Apabila dalam jangka yang lama
glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan
merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi
kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetic (Tandra, 2007).
Polineuropati ganguan pada sensoris atau mati rasa sebabnya ialah pada saraf tepi
dan akar-akarnya. Di negara barat neuropati merupakan yang paling terkenal dan paling
sering ditemukan.keadaan ini berbeda di negara berkembang yang lebih mengenal sebagai
prosentase tertinggi. Yang diserang biasanya pria dewasa muda sekitar 20-50 tahun, akan
tetapi dapat juga terjadi pada wanita, anak dan orang tua. Sebabnya tidak jelas dan tidak
selalu sama (Sastrodiwirjo 2004).

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Otonom


Sistem saraf otonom adalah bagian dari sistem saraf perifer yang sebagian besar
bertindak independen dari kontrol sadar (sengaja) dan terdiri dari saraf di otot jantung, otot
polos, eksokrin dan kelenjar endokrin. Sistem saraf otonom bertanggung jawab untuk
fungsi-fungsi pemeliharaan (metabolisme, aktivitas kardiovaskular, pengaturan suhu,
pencernaan) yang memiliki reputasi untuk menjadi di luar kendali sadar. Pembagian utama
lain dari sistem saraf perifer, sistem saraf somatik, terdiri dari tengkorak dan saraf tulang
belakang yang menginervasi jaringan otot rangka dan lebih di bawah kontrol sengaja.
(Anissimov 2006 ).
Sistem saraf otonom biasanya dibagi menjadi dua sub sistem utama, sistem saraf
simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Ini cenderung saling mengimbangi, menawarkan
kerja berlawanan dan tetapi efek saling melengkapi. Sistem simpatis penawaran saraf
dengan respon terhadap stres dan bahaya, melepaskan epinephrines (adrenalin), dan
meningkatnya aktivitas umum dan tingkat metabolisme. Kebalikan sistem saraf

3
parasimpatis ini, merupakan pusat selama istirahat, tidur, dan mencerna makanan, secara
umum, menurunkan tingkat metabolisme, memperlambat aktivitas, dan mengembalikan
tekanan darah dan detak jantung istirahat, dan sebagainya. Sebuah subsistem ketiga, sistem
saraf enterik, diklasifikasikan sebagai sebuah divisi dari sistem saraf otonom juga.
Subsistem ini memiliki saraf di sekitar usus, pankreas, dan kandung empedu.
(Chamberlain, 2005).
Sistem saraf vertebrata dibagi ke dalam sistem saraf pusat (SSP), yang terdiri dari
otak dan sumsum tulang belakang, dan sistem saraf perifer (PNS), yang terdiri dari semua
saraf dan neuron yang berada atau perpnajangan di luar sistem saraf pusat, seperti untuk
melayani anggota tubuh dan organ. Sistem saraf perifer, pada gilirannya, biasanya dibagi
menjadi dua sub sistem, sistem saraf somatik dan sistem saraf otonom.
Sistem saraf somatik atau sistem saraf sensorik-somatik melibatkan saraf di bawah
kulit dan berfungsi sebagai koneksi sensorik antara lingkungan luar dan SSP. Saraf ini
berada di bawah kendali kesadaran, namun sebagian besar memiliki komponen otomatis,
seperti yang terlihat dalam kenyataan bahwa mereka berfungsi bahkan dalam kasus koma
(Anissimov 2007).
Sistem saraf otonom biasanya disajikan sebagai yang bagian dari sistem saraf
perifer yang independen dari kendali kesadaran, bertindak tanpa sengaja dan sadar
(refleks), dan untuk memasok otot jantung, kelenjar endokrin, kelenjar eksokrin, dan otot
polos Sebaliknya, sistem saraf somatik memasok jaringan otot rangka, bukan jaringan
halus, jantung, atau kelenjar (Chamberlin, 2005).
Sistem saraf otonom dibagi ke dalam sistem saraf simpatik, sistem saraf
parasimpatis, dan sistem saraf enterik. Secara umum, sistem saraf simpatik meningkatkan
aktivitas dan tingkat metabolisme (“respon melawan atau lari”), sedangkan parasimpatis
memperlambat aktivitas dan tingkat metabolisme, mengembalikan fungsi tubuh ke tingkat
normal (“beristirahat dan keadaan mencerna”) setelah tinggi kegiatan dari stimulasi
simpatis (Chamberlin, 2005).
C. Etiologi
Terdapat banyak sekali penyakit yang dapat menyebabkan penyakit
polyneuropathy. Salah satu penyakit yang sering menyebabkan polineuropati adalah
kencing manis atau diabetes melitus. Selain itu, penyakit yang dapat menjadi penyebab

4
acquired polyneuropathy adalah hipotiroidisme, azotemia pada gagal ginjal, dan defisiensi
vitamin B12. Penyakit autoimun dan peradangan, seperti infeksi streptokokus B, infeksi
amiloid, sindrom Sjogren, dan penyakit Sacoit juga dapat menjadi penyebab polineuropati
didapat.
Penyebab polineuropati berbeda-beda, tergantung jenis neuropati dan lokasi saraf
yang terganggu. Berikut penjelasannya :
1. Neuropati perifer
Neuropati perifer adalah kondisi yang terjadi akibat gangguan atau kerusakan
pada ssaraf di luar otak dan saraf tulang belakang. Ada beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan neuropati perifer, yaitu:
a. Diabetes
b. Cedera atau tekanan pada saraf akibat jatuh, mengalami kecelakaan, atau
melakukan gerakan
c. Kekurangan vitamin B1, vitamin B3, vitamin B6, vitamin B12, dan vitamin E.
d. Penyakit autoimun, seperti lupus, sindrom Guillain-Barre, sindrom Sjogren,
vaskulitis, dan rheumatoid arthritis.
e. Infeksi virus dan bakteri, seperti hepatitis B dan hepatitis C, HIV, penyakit Lyme,
herpes zoster, virus Epstein-Barr, kusta, dan difteri.
f. Tumor atau kanker, seperti limfoma dan multiple myeloma.
2. Neuropati kranial
Neuropati kranial terjadi karena adanya gangguan atau kerusakan pada salah
satu dari 12 saraf kranial, yaitu saraf dekat dengan otak dan berada di bagian kepala.
Berikut adalah penyebab dari neuropati kranial:
a. Peningkatan tekanan di dalam otak
b. Infeksi
c. Kanker
d. Bawaan lahir
e. Gangguan pembuluh darah
f. Penyakit autoimun

5
D. Tanda dan Gejala
Gejala klinis tergantung pada tipe polineuropati dan saraf mana yang terlibat. Pada
beberapa orang bisa tidak ditemui gejala. Kesemutan, tingling atau nyeri pada kaki,
seringkali merupakan gejala yang utama, bisa juga nyeri dan kesemutan. Gejala bisa
melibatkan sistem saraf sensoris atau motorik maupun sistem saraf otonom (Dyck, 2002).
1. Gejala sensorik :
a. Kesemutan.
b. Mati rasa, terutama pada tangan dan kaki.
c. Perubahan pada sensor perasa, seperti rasa sakit parah yang dirasakan.
d. Merasakan sensasi terbakar.
e. Rasa seperti sedang memakai kaus kaki atau sarung tangan.
f. Hilangnya kemampuan koordinasi tubuh.
g. Hilangnya refleks tubuh.
2. Gejala motoric :
a. Otot terasa lemas
b. Otot berkedut
c. Kram otot
d. Spasme atau otot yang tegang
e. Sulit berjalan atau menggerakan tangan atau kaki
f. Hilangnya kendali pada otot
g. Tidak mampu menggerakan bagian tubuh tertentu
3. Gejala autonomy :
a. Tekanan darah atau detak jantung tidak normal
b. Pusing saat berdiri atau pingsan
c. Jumlah keringat menurun
d. Mual atau muntah
e. Gangguan pencernaan
f. Sulit buang air kecil
g. Disfungsi seksual
h. Berat badan menurun

6
E. Patofisiologi
Saraf sensorik dan motorik umumnya berada pada lokasi yang berbeda, hal ini
menyebabkan kerusakan jarang bersamaan pada kedua tipe saraf tersebut. Kerusakan dari
selubung myelin dapat menyebabkan terhambatnya konduksi saraf. Proses demienilisasi
dapat menyebabkan terhambatnya konduksi saraf. Proses dieminilisasi umumnya
mempengaruhi serat myelin yang berkapasitas besar, menyebabkan serat besar tersebut
mengalami disfungsi sensorik, kelemahan motorik dan penurunan refleks (Satoto, 2013).

F. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang mungkin dilakukan untuk mendukung
diagnosis, di antaranya:
1. Tes darah, untuk melihat adanya gangguan dalam tubuh, seperti kekurangan vitamin,
diabetes, dan kelainan fungsi imun.
2. Pemindaian dengan Rontgen, CT scan, atau MRI, untuk mencari saraf yang rusak dan
melihat adanya kelainan, seperti tumor atau hernia.
3. Pemeriksaan fungsi saraf dengan elektromiografi (EMG), untuk mengukur fungsi saraf.
4. Tes kecepatan konduksi saraf (NCV), untuk mengukur kecepatan aliran sinyal pada saraf.
5. Biopsi saraf, untuk mencari kelainan yang terjadi pada sel saraf.

7
BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Problematika Fisioterapi
Adanya nyeri, kesemutan, rasa kebas, rasa baal, gangguan sensibilitas, penurunan
kemampuan fungsional.
B. Diagnosa Fisioterapi
Impairment : Nyeri, kesemutan, kebas, baal, gangguan sensibilitas
Fungsional Limitation : Kemampuan aktifitas sehari hari menurun
Participation Restriction : Belum bisa mengikuti kegiatan sosial seperti biasanya
C. Tujuan Fisioterapi
a. Tujuan Jangka Pendek : Menurunkan nyeri, mengurani rasa kesemutan, menurunkan rasa
kebas, menurunkan rasa baal, dan menambah kemampuan fungsional.
b. Tujuan Jangka Panjang : Mengembalikan kapasitas fisik sesuai usia pasien
D. Intervensi Fisioterapi
Dalam kondisi ini Fisioterapi yang dilaksanakan fisioterapis adalah IR, TENS, dan
Terapi Latihan (TL). Selanjutnya pelaksanaan fisioterapi pada kondisi polineuropaty :
1. IR (Infra Red).
Setelah persiapan alat dan persiapan pasien selesai, selanjutnya IR dipasang di atas
otot yang mengalami gangguan kira-kira 15 cm, dosis yang dipakai waktu terapi maksimal
15 menit, untuk kondisi ini gunakan jarak normal yaitu pasien merasakan hangat dan
nyaman. Setiap selesai terapi tombol diposisikan pada posisi nol, mesin dimatikan, IR di
ambil dan di kembalikan seperti semula.
2. Transcutaneus Nerve Stimulation (TENS)
Pada pelaksanaan terapi posisikan satu Elektrode pada otot peroneus dan Elektrode
yang satunya pada telapak kaki, biar tidak kemana-mana maka elektrode di ikat dengan tali
perekat dalam hal ini saya menggunakan modulasi pulsa ”countinuos”, kemudian atur
waktu terapi ± 13 menit. Intensitas yang digunakan sampai timbul rasa nyeri, frekuens 40-
100 ppd dan durase fase 20-200 mikrodetik.
3. Terapi Latihan (TL) Streaching

8
Terapis berada di samping pasien dan terapis memfiksasi pada ankle pasien, stretch
ke arah dorsi fleksi dan hitung selama tiga hitungan lalu rileks, lakukan lima kali
pengulangan (Brader,2006).

E. Edukasi
Pasien dianjurkan untuk melakukan latihan yang diajarkan fisioterapi. Pasien harus rajin
berolahraga dan mengatur pola hidup sehat.

9
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Polineuropati ganguan pada sensoris atau mati rasa sebabnya ialah pada saraf tepi
dan akar-akarnya. Di negara barat neuropati merupakan yang paling terkenal dan paling
sering ditemukan.keadaan ini berbeda di negara berkembang yang lebih mengenal sebagai
prosentase tertinggi. Yang diserang biasanya pria dewasa muda sekitar 20-50 tahun, akan
tetapi dapat juga terjadi pada wanita, anak dan orang tua. Sebabnya tidak jelas dan tidak
selalu sama (Sastrodiwirjo 2004).
Problematika Fisioterapi dalam kasus polineuropati adalah Adanya nyeri,
kesemutan, rasa kebas, rasa baal, gangguan sensibilitas, penurunan kemampuan
fungsional. Intervensi fisioterapi yang dapat dilakukan adalah denan mengunakan
modalitas berupa Infra Red, TENS dan Terapi latihan.
B. Saran
Keberhasilan terapi ditentukan oleh tim medis dan penderita sendiri. Untuk
mendukung lancarnya pelaksanaan program fisioterapi yang telah ditetapkan maka
diharapkan pasien latihan di rumah sesuai dengan yang dianjurkan terapis dan mengatur
pola hidup sehat.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aswin, S. 2004. Struktur Sendi dan Patofisiologi. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Corolla, H., RN (2011). Human Anatomy and Physiology. United States of America.
Jennifer A. Grinage. 2013. Sign Homans. Diakses : 13 April 2014. Httpnurse practitioners-
andphysiciaassistants.advanceweb.comFeaturesArticlesThe HomansSign-DVT.aspx.
Mahadewa, Tjokorda Gde Bagus. 2013. Saraf Prefier Masalah dan Penanganannya. Jakarta:
PT.Indeks.
Markam, Soemarmo. 2005. Kumpulan Makalah Neurologi. Jakarta: Bagaian
Neurologi Bagian Neurologi Fakultas Ketokderan. Jakarta: UI-Press.Stokes, Maria.
2004.Physical Management In Neurological Rehabilitation.London: Elsevier Mosby
Neurologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Bekerja Sama Dengan
P.T.TAKEDA INDONESIA Mangku, Gde . 2010. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta :
Indeks
Parjoto, Slamet. 2006. Terapi Listrik Untuk Modalitas Nyeri. Semarang: Ikatan Fisioterapi
Indonesia Cabang Semarang.
Sastrodiwirjo, Soemargo dan Tagor P. Harahap,dkk. 2004. Kumpulan Kuliah.
Satoto, Darto. 2013. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Nyeri dengan Modalitas.
Singh J. 2005. Textbook of Elektrotherapy. New Delhi : Jaypee Brothers medical publiser.

11

Anda mungkin juga menyukai