Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Polineuropati   perifer   merupakan   penyakit   saraf   perifer   yang   memiliki   beragam


penyebab, meliputi sistemik, metabolik dan zat toksik.  Diagnosis polineuropati perifer
membutuhkan penilaian yang sistematis untuk menyingkirkan berbagai macam penyebab
tersebut.1 Pengetahuan mengenai struktur dan fungsi sistem saraf perifer relatif sederhana.
Akan tetapi  ruang lingkup penyakit yang melibatkan  sistem saraf perifer sangat luas.
Beberapa pasien yang datang dengan polineuropati kronik diperiksa secara berkala pada
pusat   spesialistik   dalam   penelitian   penyakit   saraf   tepi   beberapa   dekade   yang   lalu
menunjukkan sekitar 24% kasus masih tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Selain itu
fisiologi   dasar   dan   banyak   gejala   neuropati,   serta   perubahan   patologi   belum   dapat
dijelaskan. 2 
Suatu studi memperkirakan prevalensi polineuropati perifer di tempat pelayanan
kesehatan sebesar 8% pada orang yang berusia lebih dari 55 tahun. Pada populasi umum
prevalensinya sekitar 2,4%.1 Di Eropa, penyebab paling banyak adalah diabetes melitus,
yang dapat menyebabkan nyeri neuropati, ulkus pedis, dan kematian akibat neuropati
otonom. Pada penelitian lain berbasis komunitas, prevalensi polineuropati perifer pada
penderita diabetes melitus tipe 2 sebesar 26,4%.
Pendekatan sistematik sangat diperlukan dalam menegakkan diagnosis secara
komprehensif dan efisien. Pendekatan klinis melalui riwayat gejala, kebiasaan, dan
pekerjaan perlu dilakukan. Pemeriksaan neurologis meliputi tanda klinis gangguan
sensorik, motorik atau otonom untuk dapat menentukan diagnosis topik atau lokasi lesi.
Adapun pemeriksaan penunjang diperlukan sesuai indikasi. Pemeriksaan penunjang
meliputi, pemeriksaan biokimia, imunologi, pemeriksaan cairan serebrospinal, dan biopsi
otot, serta pemeriksaan elektrofisiologi.
Oleh karena permasalahan-permasalah tersebut, tulisan ini akan membahas tentang
polineuropati secara umum untuk menambah pengetahuan tentang penyebab,
epidemiologi, diagnosis dan tata laksana polineuropati perifer.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Neuropati perifer merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
1
gangguan simetris dan universal saraf yang berdekatan. Sedangkan polineuropati
adalah terminologi spesifik yang mengacu pada proses yang relatif homogen secara
umum, mempengaruhi banyak saraf perifer, dengan saraf distal biasanya terpengaruh
paling banyak. Manifestasi berupa kelemahan simetris bilateral, hilangnya refleks
pada bagian yang terlibat khususnya pada pergelangan kaki, kehilangan sensasi
terutama pada bagian distal, umumnya dimulai pada kaki kemudian tangan. 2

2.2 Anatomi Saraf Tepi


Sistem saraf tepi merupakan susunan saraf diluar otak dan medula spinalis. Saraf
tepi terdiri sari saraf kranialis, saraf spinalis dan akar saraf saraf, saraf tepi, dan NMJ
(Neuromuscular junction). Elemen sistem saraf tepi terdiri dari sensorik, motorik dan
otonom. Saraf sensorik berperan membawa sinyal melalui jalur aferen dari reseptor
ke sistem saraf pusat. Saraf sensorik terdiri dari saraf somatik dan saraf visceral.
Saraf somatik membawa sinyal dari reseptor di kulit, otot, tulang, dan sendi.
Sedangkan saraf visceral membawa sinyal dari organ visceral di rongga abdomen
dan torakal.
Saraf sensorik dari saraf tepi berperan membawa sinyal motorik melalui jalur
eferen dari sistem saraf pusat menuju efektor, terutama otot dan kelenjar. Saraf
motorik juga dibagi menjadi somatik yang berperan membawa sinyal ke otot lurik
dan visceral, yang dikenal sebagai saraf otonom yang membawa sinyal menuju
kelenjar, otot jantung, dan otot polos, yang lebih lanjut dibagi menjadi saraf simpatis
dan parasimpatis. Serabut saraf tepi diklasifikasikan sesuai keterlibatan dalam sistem
motorik atau sensorik, dan somatik atau visceral. Saraf campuran memiliki serabut
motorik dan sensorik.

2
Gambar 1. Sistem Saraf Tepi

Penyakit saraf tepi dapat mengenai badan sel dari neuron, akson, ataupun myelin.
Kebanyakan saraf tepi merupakan memiliki serabut sensorik dan motorik bersamaan.

2.3 Epidemiologi
Neuropati perifer umum terjadi. Suatu studi memperkirakan prevalensi
polineuropati perifer di tempat pelayanan kesehatan sebesar 8% pada orang yang
berusia lebih dari 55 tahun. Pada populasi umum prevalensinya sekitar 2,4%.1 Di
Eropa, penyebab paling banyak adalah diabetes melitus, yang dapat menyebabkan
nyeri neuropati, ulkus pedis, dan kematian akibat neuropati otonom. Pada penelitian
lain berbasis komunitas, prevalensi polineuropati perifer pada penderita diabetes
melitus tipe 2 sebesar 26,4%.1

2. 4 Etiologi
Beberapa penyebab polineuropati:
1. Polineuropati herediter
 Hereditary motor and sensory neuropathies

3
 Neuropathy with tendency to pressure palsy(HNNP)
HNNP adalah penyakit herediter autosomal dominan, yang terjadi akibat
duplikasi kromosom 17p11.2 yang menyebabkan salinan ekstra gen PMP-22.
Manifestasi klinis muncul pada dekade kedua dan ketiga dengan gejala berupa
kebas dan kelemahan pada distribusi saraf tepi tunggal.

 Porphyria
Merupakan kelompok penyakit herediter yang disebabkan defek pada
biosintesis heme. Manifestasi klinis berupa ruam fotosensitif. Serangan akut
porphyria dengan manifestasi neurologi ditandai dengan gejala awal berupa nyeri
abdominal. Pasien dapat mengalami agitasi, halusinasi, atau kejang. Beberapa
hari kemudian muncul nyeri punggung dan ekstremitas diikuti dengan kelemahan
mirip dengan GBS. Kelemahan terjadi pada lengan atau tungkai dan dapat
bersifat asimetri, proksimal, atau distal dalam distribusinya dan dapat mengenai
muka dan otot bulbar. Disautonom dan overaktivitas simpatis dapat terjadi
(dilatasi pupil, takikardi, dan hipertensi). konstipasi, retensio urin dan
inkontinensia dapat juga dijumpai. 4,2

 Primary amyloidosis

2. Polineuropati karena kelainan metabolik


 Diabetic neuropathy
Bentuk yang paling sering ialah DSPN (Diabetic distal symmetric sensory
and sensorimotor polyneuropathy). Manifestasi klinis berupa hilangnya fungsi
sensori yang bermula pada ujung jempol kaki yang perlahan berkembang ke kaki
dan jari-jari serta lengan. Saat berat, fungsi sensorik pada trunkus dapat hilang,
awalnya di midline anterior dan kemudian menyebar ke lateral. Rasa terbakar dan
nyeri dalam dapat terjadi.

 Uremia
4
Sekitar 60% pasien dengan gagal ginjal berkembang menjadi
polineuropati yang ditandai dengan kebas, tingling, allodynia dan kelemahan
ringan pada distal. Pada kasus yang jarang dapat terjadi kelemahan progresif dan
gangguan sensori mirip GBS dan akan mengalami perbaikan dengan dialisis dan
transplantasi.4 Pada gambaran elektrofisiologi menunjukkan adanya gambaran
demyelinisasi yang ditandai dengan kecepatan konduksi tapi biasanya bukan blok
konduksi. 2

 Sirosis
Pada pasien sirosis atau chronic liver failure, neuropati sensorimotor
generalisata dengan karakteristik kebas, tingling, dan kelemahan minor pada distal
ekstremitas terutama pada tungkai bawah sangat sering terjadi.

 Gout
 Hipotiroid

3. Polineuropati karena penyakit infeksi


 Leprosy
Neuropati pada pasien leprosy paling sering ditemukan pada tipe
borderline dengan saraf superfisial di telinga dan ekstremitas bawah paling
banyak terlibat.
 Mumps
 Typhus

 Infeksi HIV (HIV-related distal symmetric polyneuropathy/DSP)


DSP merupakan bentuk polineuropati perifer yang paling sering,
berhubungan dengan infeksi HIV dan biasanya terlihat pada pasien AIDS.
Penyakit ini memiliki karakteristik kebas dan parestesi yang nyeri yang
melibatkan ekstremitas bagian distal. Proses patologi belum diketahui secara
pasti, tetapi bukan dikarenaka infeksi nyata pada saraf perifer. Neuropati dapat
bersifat immune-mediated, kemungkinan disebabkan oleh pelepasan sitokin dari

5
sel inflamasi sekitar. Beberapa obat retroviral (dideoxycytidin, dideoxyinosin, dan
stavudin) juga bersifat neurotoksik yang dapat menyebabkan neuropati sensori
yang bersifat nyeri. 4
Pada pasien infeksi HIV, dapat juga terjadi bentuk polineuropati yang
dikenal dengan HIV-related inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
yang berkembang saat serokonversi.

4. Polineuropati karena penyakit pembuluh darah arteri


 Poliarteritis nodosa
 Aterosklerosis

5. Polineuropati akibat defisiensi gizi


Disamping akibat defisiensi B12, polineuropati perifer juga disebabkan oleh
defisiensi zat gizi lain seperti vitamin B1(tiamin), vitamin E.

6. Polineuropati karena malabsorbsi vitamin B12


Anemia pernisiosa adalah penyebab paling sering terjadinya defisiensi
B12 (kobalamin). Penyebab lain termasuk vegetarian, gastrektomi, operasi bypass
gaster, inflammatory bowel disease, insufisiensi pancreas, overgrowth
insufisiensi, konsumsi obat antihistamin dan PPI.
Keluhan berupa kebas pada pada tangan yang muncul sebelum timbulnya
parestesi pada ekstremitas inferior. Pada pemeriksaan adanya hiperrefleksia dan
hilangnya refleks tendo achiles dapat dipikirkan adanya defisiensi B12. Pada
kasus yang berat, terjadi atropi optic, perubahan perilaku mulai dari ringan hingga
demensia.

7. Polineuropati karena disproteinemia atau paraproteinemia


8. Critical Illness Polyneuropathy
Penyebab paling umum kelemahan generalisata akut yang membutuhkan
perawatan intensif adalah GBS(Guallian Barre Syndrome) dan miastenia gravis.
9. Polineuropati karena zat toksik eksogen.

6
Neuropati dapat berkembang akibat komplikasi toksik obat dan paparan
zat eksogen. Klorokuin adalah salah satu contoh obat yang menyebabkan miopati
yang ditandai dengan kelemahan dan atropi proksimal yang bersifat progresif
lambat dan tidak nyeri pada kaki dan lengan. Gejala dirasakan pasien lebih berat
pada kaki dibanding lengan. Adapun zat lain penyebab polineuropati diantaranya
isoniazid, amiodaron, metronidazol, talidomid, podofilin, karbon disulfida,
organofosfat, timbale, merkuri, arsen dan emas dll.

Tabel 1. Beberapa Obat dan Zat Penyebab Polineuropati Perifer


Obat/Zat Mekanisme Gambaran Klinis
Dapson Tidak diketahui Kelemahan distal dapat progresif
ke proksimal; hilangnya fungsi
sensori
INH Menghambat pyridoxal Disestesia dan ataxia
phosphokinasedefisiensi sensori;gangguan modalitas large-
piridoksin fiber sensory pada pemeriksaan
Etambutol Tidak diketahui Kebas dengan hilangnya large-
fiber sensory
Fenitoin Tidak diketahui Kebas dengan hilangnya large-
fiber sensory
Litium Tidak diketahui Kebas dengan hilangnya large-
fiber sensory
Metronidazol Tidak diketahui Parestesia dan nyeri
Amiodaron Adanya Parestesia dan nyeri
amphiphilickompleks
obat-lipidtidak dapat
dicerna akumulasi
Kolsikin Menghambat polimerisasi Kebas dan parestesi
tubulin pada mikrotubuli
Merkuri Tidak diketahui Nyeri abdominal, sindrom
nefrotik, ensefalopati, ataxia,
parestesia
Timbal Tidak diketahui Ensefalopati, neuropati motorik,
neuropati otonom, gusi menjadi
7
kebiruan
Organofosfat Mengingkat dan Blokade neuromuskuler dengan
menghambat target kelemahan generalisata, berlanjut
esterase dengan gangguan sensorimotor

2.5 Klasifikasi
Polineuropati diklasifikasikan menjadi:
1. Menurut onsetnya:akut, subakut, dan kronis
2. Menurut fungsi yang terganggu:motorik, sensorik, otonom, dan campuran
3. Menurut perjalanan patologis:axonal, demyelinisasi, dan ganglionopati.
4. Menurut penyebabnya: vaskuler, infeksi, toksin, tumor, dan metabolik

2.6 Patofisiologi
Proses patologi pada polineuropati dapat terjadi pada badan sel, akson, maupun
myelin.

Pada diabetes melitus misalnya, mekanisme terjadinya polineuropati adalah:


1. Teori vaskular-iskemik
Teori ini menjelaskan terjadinya penurunan aliran darah ke endoneurium yang
disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat hiperglikemia. Biopsi
nervus suralis ditemukan adanya penebalan pembuluh darah, agregasi platelet,

8
hiperplasi sel endotel yang semuanya dapat menyebabkan iskemia. Iskemia dapat
menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktifitas Na/K ATPase sehingga
menyebabkan degenerasi akson.

2. Teori metabolik jalur polyol


Ada banyak sekali teori metabolik terjadinya polineuropati pada pasien
diabetes melitus, salah satunya adalah jalur polyol. Pada status normoglikemik,
kebanyakan glukosa intraseluler di fosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh
heksokinase dan hanya sebagian kecil glukosa yang masuk ke jalur polyol.
Aktivasi jalur polyol akan semakin meningkat seiring terjadinya hiperglikemia.
Hal ini mengakibatkan turn over NADPH sehingga rasio NADPH bebas terhadap
NADP+ menurun. Glutation reduktase sebagai antioksidan memerlukan NADPH.
NADH yang turun menyebabkan timbulnya stress oksidatif sehingga terbentuk
spesies oksigen reaktif yang selanjutnya akan menyebabkan mikrovasokonstriksi.
Akibatnya aliran darah ke saraf berkurang.

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala neuropati dapat dikelompokkan menjadi gejala negatif atau positif. Gejala
positif mencerminkan aktivitas spontan serabut saraf yang tidak adekuat, sedangkan
gejala negatif menunjukkan terjadinya penurunan aktivitas serabut saraf. Gejala
negatif meliputi kelemahan, fatigue, dan wasting, sementara gejala positif mencakup
kram, kedutan otot, dan myokimia.5,6 Kelemahan biasanya belum bermanifestasi
sampat 50-80% serabut saraf mengalami kerusakan; gejala positif mungkin muncul
pada awal proses penyakit. Gejala negatif seperti hipestesia dan abnormalitas
melangkah.
Gejala lain yang juga sering adalah kesulitan membedakan rasa panas atau dingin
dan keseimbangan yang semakin memburuk terutama saat gelap dimana input visual
tidak cukup mengkompensasi gangguan propriopseptif. Gejala positif mencakup rasa
terbakar atau tertusuk, rasa geli/kesemutan. Gejala yang mungkin melibatkan sistem
saraf otonom mencakup rasa haus, kembung, konstipasi, diarem impotensi,
inkontinensia urin, abnormalitas keringat, dan rasa melayang yang berkaitan dengan

9
orthostasis. Pasien dengan gangguan vasomotor mungkin melaporkan keempat
anggota gerak terasa dingin sejalan dengan perubahan warna kulit dan trofi otot. 5,11

2.8 Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan tujuan mencari penyebab polineuropati perifer yang
dialami pasien.

Gambar 2. Pendekatan Diagnosis Pasien Neuropati Perifer

Anamnesis
 Identifikasi pasien
 Menggali gejala dan tanda yang berhubungan dengan disfungsi saraf
perifer: kebas pada daerah distal eksremitas, kesemutan, nyeri, kelemahan
yang bersifat simetris, sehingga dapat ditentukan apakah keluhan berasal
dari saraf perifer atau saraf pusat. Setelah memperkirakan lokasi lesi
adalah saraf perifer, langkah selanjutnya adalah menentukan onset (akut,
subakut, atau kronis) dan etiologi.

10
 Riwayat penyakit yang mungkin. Gejala penyakit yang dapat
menyebabkan polineuropati harus ditanyakan, seperti pada pasien dengan
diabetes melitus.
 Riwayat sosial pasien perlu digali berkaitan dengan pekerjaan
(kemungkinan paparan toksik dari bahan kimia), riwayat seksual
(kemungkinan HIV atau hepatitis C), konsumsi alkohol, kebiasaan makan,
dan merokok
 Riwayat keluarga. Bertujuan untuk mencari penyebab yang berhubungan
seperti endokrinopati (diabetes, hipotiroid), insufisiensi renal, disfungsi
hepar, penyakit jaringan ikat, dan keganasan.
 Riwayat pengobatan yang pernah dikonsumsi pasien juga perlu dijelaskan
untuk menentukan kemungkinan adanya hubungan temporal antara obat
dengan neuropati. Kemoterapi, pengobatan HIV, dan 11rsenic11id
golongan kuinolon merupakan beberapa contoh agen penyebab neuropati.
Selain itu, konsumsi vitamin B6 (Pyridoxine) melebihi dosis 50-100 mg
per hari juga dapat mencetuskan neuropati.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda vital ortostatik dapat mengidentifikasi adanya
disautonomia.

Pemeriksaan terstruktur dari sistem organ dapat menentukan kemungkinan
adanya endokrinopati, infeksi, vaskulopati, dan lain-lain.

Pemeriksaan saraf kranial. Pada defisiensi B12 misalnya ditemukan adanya
anosmia.

Pemeriksaan motorik komprehensif mencakup penilaian tonjolan otot,
contohnya observasi atrofi otot tangan dan kaki. 5,6,7 Selain itu dinilai
hipereksitabilitas, tonus, dan kekuatan otot. Dynamometri dapat dipakai
untuk penilaian kekuatan otot yang lebih tepat. Karena sebagian besar
neuropati mengakibatkan kelemahan distal, otot 11rsenic11i kaki dapat
terkena lebih dulu, dengan manifestasi kaki bengkok dan ibu jari seperti palu
(hammer toes). Kelemahan saat fleksi dan ekstensi jari kelingking dan
11
kelemahan ekstensi ibu jari sering muncul pada fase awal. Sudut antara tibia
dan punggung kaki sekitar 130°. Sudut yang lebih besar menunjukkan
kelemahan dorsofleksi pergelangan kaki. Pada tangan, otot 12rsenic12 jari
telunjuk dan kelingking yang terkena lebih dulu. Selain itu, perlu
diperhatikan gaya berjalan pasien. Pada pasien neuropati kronik, pasien
mengalami kesulitan berjalan dengan tumit dibanding berjalan dengan ujung
jari. 5,7

Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan sesuai anatomi saraf perifer dan pola
penyakit. Pada polineuropati pola kelaianan bersifat distal simetrik atau
multifokal.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis cukup banyak, dan
tergantung dari klinis pada pasien. American Academy of Neurology (AAN)
mengajukan parameter praktis pemeriksaan laboratorium dan 12rsenic pada
polineuropati distal simetrik. Panduan tersebut merekomendasikan pemeriksaan gula
darah puasa, elektrolit untuk menilai fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan darah tepi
lengkap, kadar vitamin B12 serum, laju endap darah, uji fungsi tiroid, dan
immunofixation electrophoresis serum (IFE). Sedangkan pemeriksaan lainnya
mencakup Myelin associated glycoprotein (MAG), sulfatide, dan 12rsenic12 GD1B.
Pada neuropati demielinisasi dengan pemanjangan latensi distal, diperlukan
pemeriksaan anti MAG. Sedangkan pada mononeuropati multifokal, perlu dilakukan
pemeriksaan anti GM1. Selanjutnya, pada pasien sindrom Guillain Barre, uji anti
GQ1b, anti GM1, dan anti GD1a dapat menunjang diagnosis.12
Pada pasien yang dicurigai menderita vaskulitis dan connective tissue
disorder (SLE dan rheumatoid arthritis), pemeriksaan C-reactive protein, antinuclear
antibody (ANA), double-stranded DNA, 12rsenic12id factor, proteinase 3,
myeloperoxidase, complement, angiotensin converting enzyme, panel hepatitis B dan
C, serta cryoglobulin perlu dilakukan. Sedangkan pada pasien predominan neuropati
sensorik, perlu dilakukan uji anti Hu antibody, dimana keadaan ini berkaitan dengan
neuropati paraneoplastik.6,7

12
Pemeriksaan urin dapat mengkonfirmasi kemungkinan paparan bahan kimia
logam berat, seperti uji kadar 13rsenic dan tembaga dalam urin. Prosedur ini perlu
dilakukan bila terdapat riwayat paparan logam berat, setelah menjalani pembedahan
bariatric, atau intake Zinc berlebihan.11,12

Gambar 3. Jenis Pemeriksaan Penunjang

Uji elektrodiagnostik pada pasien neuropati perifer mencakup kecepatan hantaran


saraf dan needle Electromyography. Kedua uji tersebut merupakan standar untuk
neuropati, terutama neuropati serabut besar. EMG dapat menyingkirkan
kemungkinan diagnosis selain polineuropati, seperti miopati, neuronopati,
pleksopati, atau poliradikulopati.
Sebagai pemeriksaan lanjutan setelah pemeriksaan klinis, elektrodiagnostik
memberikan gambaran mengenai keterlibatan relatif motorik atau sensorik, beratnya
kelainan neuropati, dan distribusi kelainan. Selain itu uji elektrodiagnostik dapat
menilai kelainan dari anatomi, apakah suatu aksonopati atau mielinopati.
Demielinisasi dapat dikelompokkan sebagai demielinisasi komplit atau sebagian.

13
Dan elektrodiagnostik dapat dilakukan untuk emonitor progresivitas penyakit. Risiko
pemeriksaan elektrodiagnostik minimal, meskipun pada sebagian penderita terdapat
ketidaknyamanan.12
Pemeriksaan hantaran saraf (Nerve Conduction Study=NCS) pada neuropati
aksonal diawali dengan menurunnya potensial aksi serabut sensorik (SNAP),
kemudian diikuti oleh penurunan amplitudo potensial aksi oto (CMAP). Kecepatan
saraf biasanya tidak menunjukkan kelainan atau mengalami penurunan minimal
sampai terdapatnya kerusakan pada serabut saraf tipe penghantar cepat (fast
conducting) dan besar. Pada polineuropati aksonal kronik dari saraf yang panjang,
awalnya terjadi penurunan SNAP pada bagian distal saraf (sural dan peroneal). 8
Selanjutnya amplitudo CMAP dari saraf peroneal menurun, diikuti saraf tibial,
kemudian saraf medianus dan ulnaris. Pada neuropati demielinisasi, terjadi
pemanjangan latensi distal dan perlambatan kecepatan hantaran saraf, namun jarang
ditemukan penurunan amplitudo pada awal penyakit. Temuan lain yang mungkin
didapatkan adalah blok konduksi dan dispersi temoral sepanjang segmen saraf,
dispersi temporal dari respon distal, dan F wave impersisten, kronodispersi atau
absen. Sedangkan pemanjangan latensi distal motorik yang lebih berat ditemui pada
neuropati anti MAG.9,10
Pemeriksaan needle EMG menilai aktivitas listrik dari otot volunter. Morfologi
dari motor unit potential (MUP) dapat memberikan gambaran lesi neurogenik
dengan reinervasi (terdapatnya peningkatan durasi, amplitudo, dan polifasik) atau
suatu lesi miopati (brief durasi, aplitudo dan polifasik). 10,12 Namun, pada awal
reinervasi gambaran MUP lesi neurogenik menyerupai lesi miopati. Pada neuropati
bisa didapatkan peningkatan frekuensi letupan yang berhubungan dengan penurunan
pola interferensi. Needle EMG dapat menentukan distribusi disfungsi serabut saraf,
kronisitas suatu aksonopati berdasarkan distribusi dan amplitudo dari fibrilasi dan
gelombang runcing EMG.10
Pemeriksaan elektrodiagnostik lainnya adalah stimulasi magnetik, yang menilai
konduksi pada segmen proksimal seperti saraf femoralis atau cauda equina, namun
pemeriksaan ini hanya terbatas pada kasus neuropati perifer. Terdapatnya
perlambatan KHS pada cauda equnia menandakan terjadinya neuropati demielinisasi.

14
Pemeriksaan Somatosensory evoked potential (SSEP) dapat menentukan lokasi
gejala sensorik pada saraf, pleksus, ataupun radiks dan mengevaluasi segmen saraf
yang terkena. SSEP dapat direkam walaupun SNAP menghilang karena amplifikasi
sentral dari pemeriksaan ini.8,10
Pemeriksaan Quantitative Sensory Testing (QST) berguna untuk mendeteksi
neuropati sensorik. Uji QST meliputi pemeriksaan vibrasi, suhu, dan nyeri panas
pada ibu jariatau telunjuk untuk menentukan ambang sensasi tersebut. Pemeriksaan
ini banyak dipakaipada neuropati HIV, neuropatik toksik dan neuropati demielinisasi.
Walaupun pemeriksaanini non invasif, uji QST memakan waktu cukup lama dan
memerlukan kerjasama pasien.AAN menyatakan bahwa QST hanya merupakan salah
satu pemeriksaan penunjang untuk evaluasi kelainan neurologis, dan mungkin
berguna dalam mengidentifikasi abnormalitassensorik serabut besar dan kecil.11
Pemeriksaan biopsi saraf dilakukan untuk menilai etiologi, lokalisasi patologik,
dan beratnya kerusakan saraf. Namun pemeriksaan ini menjadi kurang penting dalam
dua dekadeterakhir seiring berkembangnya teknologi di bidang elektrodiagnostik,
laboratorium dan ujigenetik. Biopsi saraf hanya berguna padaneuropati
progresifakut/ sub akut, asimetrik danmultifokal. AAN menganjurkan pemeriksaan
ini pada diagnosis penyakit inflamasi sepertivaskulitis, sarkoidosis, dan CIDP. Selain
itu uji ini bisa dilakukan pada penyakit infeksi seperti lepra.10,11

2.9 Tata Laksana

Prinsip tata laksana polineuropati perifer memiliki dua tujuan: kontrol terhadap

penyakit yang mendasari dan mengobati gejala yang mengganggu (simptomatis). Bentuk

pengobatan antara lain menghilangkan agen penyebab seperti toksin atau obat,

memperbaiki defisiensi nutrisi, atau mengobati penyakit yang mendasari. Pada neuropati

akibat autoimun, kortikosteroid dapat diberikan.

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendekatan sistematik sangat diperlukan dalam menegakkan diagnosis secara
komprehensif dan efisien. Pendekatan klinis melalui riwayat gejala, kebiasaan,
dan pekerjaan perlu dilakukan. Pemeriksaan neurologis meliputi tanda klinis

16
gangguan sensorik, motorik atau otonom untuk dapat menentukan diagnosis topik
atau lokasi lesi. Adapun pemeriksaan penunjang diperlukan sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Azhary, Hend. et al. Periferal Neuropathy: Diferential Diagnosis and Management.


American Family Physician. 2010;81(7):887-892.
2. Ropper, AH. and Martin AS. Adams and Victor ‘s Principles of Neurology 9 thed. Mc
Grew Hill Medicine. 2009:1251-1264.

17
3. Chawla, Jasvinder. Peripheral Nervous System Anatomy. Medscape. 2013. available
with http://emedicine.medscape.com/article/1948687-overview#a1 diakses tanggal
06 Juni 2016.
4. Alpert AR, Sander HW. Clinical approach to peripheral neuropathy. 2012;18(1):13-38.
5. England JD, Asbury AK. Peripheral neuropathy. Lancet 2004;363:2051-2161.
6. Burns TM, dkk. The evaluation of polineuropathies. 2011;76:S6-S13.
7.Van Schaik 1N, dkk. Multifocal motor meuropathy. European Handbook of
Neurological Management. 2011:343-350.
8. Head KA. Peripheral neuropathy; pathogenic mechanisms and alternative therapies.
Altern Med Rev 2006;11(4):294-329
9. Bril V, England J, Franklin GM et al. Evidence-based guideline: Treatment of painful
diabetic neuropathy : Report of the American Academy of Neurology, the American
Association of Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, and the American
Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Neurology 2011;76:1-10
10. Wambolt C, Kapustin J. Evidence-based treatment of diabetic peripheral neuropathy.
The Journal for Nurse Practitioners 2006:370-378
11. Jagga M, Lehri A, Verma SK. Effect of aging and anthropometric measurement on
nerve conduction properties – a review. Journal of Exercise Science and
Physiotherapy 2011;7(1):1-10
12.Smith AG, Singleton JR. The diagnostic yield of a standardized approach to idiopathic
sensory-predominant neuropathy. Arc Intern Med 2004;164:1021-1025
13. Boulton AJM. Management of diabetic peripheral neuropathy. Clinical Diabetes
2005;23(1):9-15

18

Anda mungkin juga menyukai