PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Neuropati perifer merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
1
gangguan simetris dan universal saraf yang berdekatan. Sedangkan polineuropati
adalah terminologi spesifik yang mengacu pada proses yang relatif homogen secara
umum, mempengaruhi banyak saraf perifer, dengan saraf distal biasanya terpengaruh
paling banyak. Manifestasi berupa kelemahan simetris bilateral, hilangnya refleks
pada bagian yang terlibat khususnya pada pergelangan kaki, kehilangan sensasi
terutama pada bagian distal, umumnya dimulai pada kaki kemudian tangan. 2
2
Gambar 1. Sistem Saraf Tepi
Penyakit saraf tepi dapat mengenai badan sel dari neuron, akson, ataupun myelin.
Kebanyakan saraf tepi merupakan memiliki serabut sensorik dan motorik bersamaan.
2.3 Epidemiologi
Neuropati perifer umum terjadi. Suatu studi memperkirakan prevalensi
polineuropati perifer di tempat pelayanan kesehatan sebesar 8% pada orang yang
berusia lebih dari 55 tahun. Pada populasi umum prevalensinya sekitar 2,4%.1 Di
Eropa, penyebab paling banyak adalah diabetes melitus, yang dapat menyebabkan
nyeri neuropati, ulkus pedis, dan kematian akibat neuropati otonom. Pada penelitian
lain berbasis komunitas, prevalensi polineuropati perifer pada penderita diabetes
melitus tipe 2 sebesar 26,4%.1
2. 4 Etiologi
Beberapa penyebab polineuropati:
1. Polineuropati herediter
Hereditary motor and sensory neuropathies
3
Neuropathy with tendency to pressure palsy(HNNP)
HNNP adalah penyakit herediter autosomal dominan, yang terjadi akibat
duplikasi kromosom 17p11.2 yang menyebabkan salinan ekstra gen PMP-22.
Manifestasi klinis muncul pada dekade kedua dan ketiga dengan gejala berupa
kebas dan kelemahan pada distribusi saraf tepi tunggal.
Porphyria
Merupakan kelompok penyakit herediter yang disebabkan defek pada
biosintesis heme. Manifestasi klinis berupa ruam fotosensitif. Serangan akut
porphyria dengan manifestasi neurologi ditandai dengan gejala awal berupa nyeri
abdominal. Pasien dapat mengalami agitasi, halusinasi, atau kejang. Beberapa
hari kemudian muncul nyeri punggung dan ekstremitas diikuti dengan kelemahan
mirip dengan GBS. Kelemahan terjadi pada lengan atau tungkai dan dapat
bersifat asimetri, proksimal, atau distal dalam distribusinya dan dapat mengenai
muka dan otot bulbar. Disautonom dan overaktivitas simpatis dapat terjadi
(dilatasi pupil, takikardi, dan hipertensi). konstipasi, retensio urin dan
inkontinensia dapat juga dijumpai. 4,2
Primary amyloidosis
Uremia
4
Sekitar 60% pasien dengan gagal ginjal berkembang menjadi
polineuropati yang ditandai dengan kebas, tingling, allodynia dan kelemahan
ringan pada distal. Pada kasus yang jarang dapat terjadi kelemahan progresif dan
gangguan sensori mirip GBS dan akan mengalami perbaikan dengan dialisis dan
transplantasi.4 Pada gambaran elektrofisiologi menunjukkan adanya gambaran
demyelinisasi yang ditandai dengan kecepatan konduksi tapi biasanya bukan blok
konduksi. 2
Sirosis
Pada pasien sirosis atau chronic liver failure, neuropati sensorimotor
generalisata dengan karakteristik kebas, tingling, dan kelemahan minor pada distal
ekstremitas terutama pada tungkai bawah sangat sering terjadi.
Gout
Hipotiroid
5
sel inflamasi sekitar. Beberapa obat retroviral (dideoxycytidin, dideoxyinosin, dan
stavudin) juga bersifat neurotoksik yang dapat menyebabkan neuropati sensori
yang bersifat nyeri. 4
Pada pasien infeksi HIV, dapat juga terjadi bentuk polineuropati yang
dikenal dengan HIV-related inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
yang berkembang saat serokonversi.
6
Neuropati dapat berkembang akibat komplikasi toksik obat dan paparan
zat eksogen. Klorokuin adalah salah satu contoh obat yang menyebabkan miopati
yang ditandai dengan kelemahan dan atropi proksimal yang bersifat progresif
lambat dan tidak nyeri pada kaki dan lengan. Gejala dirasakan pasien lebih berat
pada kaki dibanding lengan. Adapun zat lain penyebab polineuropati diantaranya
isoniazid, amiodaron, metronidazol, talidomid, podofilin, karbon disulfida,
organofosfat, timbale, merkuri, arsen dan emas dll.
2.5 Klasifikasi
Polineuropati diklasifikasikan menjadi:
1. Menurut onsetnya:akut, subakut, dan kronis
2. Menurut fungsi yang terganggu:motorik, sensorik, otonom, dan campuran
3. Menurut perjalanan patologis:axonal, demyelinisasi, dan ganglionopati.
4. Menurut penyebabnya: vaskuler, infeksi, toksin, tumor, dan metabolik
2.6 Patofisiologi
Proses patologi pada polineuropati dapat terjadi pada badan sel, akson, maupun
myelin.
8
hiperplasi sel endotel yang semuanya dapat menyebabkan iskemia. Iskemia dapat
menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktifitas Na/K ATPase sehingga
menyebabkan degenerasi akson.
9
orthostasis. Pasien dengan gangguan vasomotor mungkin melaporkan keempat
anggota gerak terasa dingin sejalan dengan perubahan warna kulit dan trofi otot. 5,11
2.8 Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan tujuan mencari penyebab polineuropati perifer yang
dialami pasien.
Anamnesis
Identifikasi pasien
Menggali gejala dan tanda yang berhubungan dengan disfungsi saraf
perifer: kebas pada daerah distal eksremitas, kesemutan, nyeri, kelemahan
yang bersifat simetris, sehingga dapat ditentukan apakah keluhan berasal
dari saraf perifer atau saraf pusat. Setelah memperkirakan lokasi lesi
adalah saraf perifer, langkah selanjutnya adalah menentukan onset (akut,
subakut, atau kronis) dan etiologi.
10
Riwayat penyakit yang mungkin. Gejala penyakit yang dapat
menyebabkan polineuropati harus ditanyakan, seperti pada pasien dengan
diabetes melitus.
Riwayat sosial pasien perlu digali berkaitan dengan pekerjaan
(kemungkinan paparan toksik dari bahan kimia), riwayat seksual
(kemungkinan HIV atau hepatitis C), konsumsi alkohol, kebiasaan makan,
dan merokok
Riwayat keluarga. Bertujuan untuk mencari penyebab yang berhubungan
seperti endokrinopati (diabetes, hipotiroid), insufisiensi renal, disfungsi
hepar, penyakit jaringan ikat, dan keganasan.
Riwayat pengobatan yang pernah dikonsumsi pasien juga perlu dijelaskan
untuk menentukan kemungkinan adanya hubungan temporal antara obat
dengan neuropati. Kemoterapi, pengobatan HIV, dan 11rsenic11id
golongan kuinolon merupakan beberapa contoh agen penyebab neuropati.
Selain itu, konsumsi vitamin B6 (Pyridoxine) melebihi dosis 50-100 mg
per hari juga dapat mencetuskan neuropati.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital ortostatik dapat mengidentifikasi adanya
disautonomia.
Pemeriksaan terstruktur dari sistem organ dapat menentukan kemungkinan
adanya endokrinopati, infeksi, vaskulopati, dan lain-lain.
Pemeriksaan saraf kranial. Pada defisiensi B12 misalnya ditemukan adanya
anosmia.
Pemeriksaan motorik komprehensif mencakup penilaian tonjolan otot,
contohnya observasi atrofi otot tangan dan kaki. 5,6,7 Selain itu dinilai
hipereksitabilitas, tonus, dan kekuatan otot. Dynamometri dapat dipakai
untuk penilaian kekuatan otot yang lebih tepat. Karena sebagian besar
neuropati mengakibatkan kelemahan distal, otot 11rsenic11i kaki dapat
terkena lebih dulu, dengan manifestasi kaki bengkok dan ibu jari seperti palu
(hammer toes). Kelemahan saat fleksi dan ekstensi jari kelingking dan
11
kelemahan ekstensi ibu jari sering muncul pada fase awal. Sudut antara tibia
dan punggung kaki sekitar 130°. Sudut yang lebih besar menunjukkan
kelemahan dorsofleksi pergelangan kaki. Pada tangan, otot 12rsenic12 jari
telunjuk dan kelingking yang terkena lebih dulu. Selain itu, perlu
diperhatikan gaya berjalan pasien. Pada pasien neuropati kronik, pasien
mengalami kesulitan berjalan dengan tumit dibanding berjalan dengan ujung
jari. 5,7
Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan sesuai anatomi saraf perifer dan pola
penyakit. Pada polineuropati pola kelaianan bersifat distal simetrik atau
multifokal.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis cukup banyak, dan
tergantung dari klinis pada pasien. American Academy of Neurology (AAN)
mengajukan parameter praktis pemeriksaan laboratorium dan 12rsenic pada
polineuropati distal simetrik. Panduan tersebut merekomendasikan pemeriksaan gula
darah puasa, elektrolit untuk menilai fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan darah tepi
lengkap, kadar vitamin B12 serum, laju endap darah, uji fungsi tiroid, dan
immunofixation electrophoresis serum (IFE). Sedangkan pemeriksaan lainnya
mencakup Myelin associated glycoprotein (MAG), sulfatide, dan 12rsenic12 GD1B.
Pada neuropati demielinisasi dengan pemanjangan latensi distal, diperlukan
pemeriksaan anti MAG. Sedangkan pada mononeuropati multifokal, perlu dilakukan
pemeriksaan anti GM1. Selanjutnya, pada pasien sindrom Guillain Barre, uji anti
GQ1b, anti GM1, dan anti GD1a dapat menunjang diagnosis.12
Pada pasien yang dicurigai menderita vaskulitis dan connective tissue
disorder (SLE dan rheumatoid arthritis), pemeriksaan C-reactive protein, antinuclear
antibody (ANA), double-stranded DNA, 12rsenic12id factor, proteinase 3,
myeloperoxidase, complement, angiotensin converting enzyme, panel hepatitis B dan
C, serta cryoglobulin perlu dilakukan. Sedangkan pada pasien predominan neuropati
sensorik, perlu dilakukan uji anti Hu antibody, dimana keadaan ini berkaitan dengan
neuropati paraneoplastik.6,7
12
Pemeriksaan urin dapat mengkonfirmasi kemungkinan paparan bahan kimia
logam berat, seperti uji kadar 13rsenic dan tembaga dalam urin. Prosedur ini perlu
dilakukan bila terdapat riwayat paparan logam berat, setelah menjalani pembedahan
bariatric, atau intake Zinc berlebihan.11,12
13
Dan elektrodiagnostik dapat dilakukan untuk emonitor progresivitas penyakit. Risiko
pemeriksaan elektrodiagnostik minimal, meskipun pada sebagian penderita terdapat
ketidaknyamanan.12
Pemeriksaan hantaran saraf (Nerve Conduction Study=NCS) pada neuropati
aksonal diawali dengan menurunnya potensial aksi serabut sensorik (SNAP),
kemudian diikuti oleh penurunan amplitudo potensial aksi oto (CMAP). Kecepatan
saraf biasanya tidak menunjukkan kelainan atau mengalami penurunan minimal
sampai terdapatnya kerusakan pada serabut saraf tipe penghantar cepat (fast
conducting) dan besar. Pada polineuropati aksonal kronik dari saraf yang panjang,
awalnya terjadi penurunan SNAP pada bagian distal saraf (sural dan peroneal). 8
Selanjutnya amplitudo CMAP dari saraf peroneal menurun, diikuti saraf tibial,
kemudian saraf medianus dan ulnaris. Pada neuropati demielinisasi, terjadi
pemanjangan latensi distal dan perlambatan kecepatan hantaran saraf, namun jarang
ditemukan penurunan amplitudo pada awal penyakit. Temuan lain yang mungkin
didapatkan adalah blok konduksi dan dispersi temoral sepanjang segmen saraf,
dispersi temporal dari respon distal, dan F wave impersisten, kronodispersi atau
absen. Sedangkan pemanjangan latensi distal motorik yang lebih berat ditemui pada
neuropati anti MAG.9,10
Pemeriksaan needle EMG menilai aktivitas listrik dari otot volunter. Morfologi
dari motor unit potential (MUP) dapat memberikan gambaran lesi neurogenik
dengan reinervasi (terdapatnya peningkatan durasi, amplitudo, dan polifasik) atau
suatu lesi miopati (brief durasi, aplitudo dan polifasik). 10,12 Namun, pada awal
reinervasi gambaran MUP lesi neurogenik menyerupai lesi miopati. Pada neuropati
bisa didapatkan peningkatan frekuensi letupan yang berhubungan dengan penurunan
pola interferensi. Needle EMG dapat menentukan distribusi disfungsi serabut saraf,
kronisitas suatu aksonopati berdasarkan distribusi dan amplitudo dari fibrilasi dan
gelombang runcing EMG.10
Pemeriksaan elektrodiagnostik lainnya adalah stimulasi magnetik, yang menilai
konduksi pada segmen proksimal seperti saraf femoralis atau cauda equina, namun
pemeriksaan ini hanya terbatas pada kasus neuropati perifer. Terdapatnya
perlambatan KHS pada cauda equnia menandakan terjadinya neuropati demielinisasi.
14
Pemeriksaan Somatosensory evoked potential (SSEP) dapat menentukan lokasi
gejala sensorik pada saraf, pleksus, ataupun radiks dan mengevaluasi segmen saraf
yang terkena. SSEP dapat direkam walaupun SNAP menghilang karena amplifikasi
sentral dari pemeriksaan ini.8,10
Pemeriksaan Quantitative Sensory Testing (QST) berguna untuk mendeteksi
neuropati sensorik. Uji QST meliputi pemeriksaan vibrasi, suhu, dan nyeri panas
pada ibu jariatau telunjuk untuk menentukan ambang sensasi tersebut. Pemeriksaan
ini banyak dipakaipada neuropati HIV, neuropatik toksik dan neuropati demielinisasi.
Walaupun pemeriksaanini non invasif, uji QST memakan waktu cukup lama dan
memerlukan kerjasama pasien.AAN menyatakan bahwa QST hanya merupakan salah
satu pemeriksaan penunjang untuk evaluasi kelainan neurologis, dan mungkin
berguna dalam mengidentifikasi abnormalitassensorik serabut besar dan kecil.11
Pemeriksaan biopsi saraf dilakukan untuk menilai etiologi, lokalisasi patologik,
dan beratnya kerusakan saraf. Namun pemeriksaan ini menjadi kurang penting dalam
dua dekadeterakhir seiring berkembangnya teknologi di bidang elektrodiagnostik,
laboratorium dan ujigenetik. Biopsi saraf hanya berguna padaneuropati
progresifakut/ sub akut, asimetrik danmultifokal. AAN menganjurkan pemeriksaan
ini pada diagnosis penyakit inflamasi sepertivaskulitis, sarkoidosis, dan CIDP. Selain
itu uji ini bisa dilakukan pada penyakit infeksi seperti lepra.10,11
Prinsip tata laksana polineuropati perifer memiliki dua tujuan: kontrol terhadap
penyakit yang mendasari dan mengobati gejala yang mengganggu (simptomatis). Bentuk
pengobatan antara lain menghilangkan agen penyebab seperti toksin atau obat,
memperbaiki defisiensi nutrisi, atau mengobati penyakit yang mendasari. Pada neuropati
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendekatan sistematik sangat diperlukan dalam menegakkan diagnosis secara
komprehensif dan efisien. Pendekatan klinis melalui riwayat gejala, kebiasaan,
dan pekerjaan perlu dilakukan. Pemeriksaan neurologis meliputi tanda klinis
16
gangguan sensorik, motorik atau otonom untuk dapat menentukan diagnosis topik
atau lokasi lesi. Adapun pemeriksaan penunjang diperlukan sesuai indikasi.
DAFTAR PUSTAKA
17
3. Chawla, Jasvinder. Peripheral Nervous System Anatomy. Medscape. 2013. available
with http://emedicine.medscape.com/article/1948687-overview#a1 diakses tanggal
06 Juni 2016.
4. Alpert AR, Sander HW. Clinical approach to peripheral neuropathy. 2012;18(1):13-38.
5. England JD, Asbury AK. Peripheral neuropathy. Lancet 2004;363:2051-2161.
6. Burns TM, dkk. The evaluation of polineuropathies. 2011;76:S6-S13.
7.Van Schaik 1N, dkk. Multifocal motor meuropathy. European Handbook of
Neurological Management. 2011:343-350.
8. Head KA. Peripheral neuropathy; pathogenic mechanisms and alternative therapies.
Altern Med Rev 2006;11(4):294-329
9. Bril V, England J, Franklin GM et al. Evidence-based guideline: Treatment of painful
diabetic neuropathy : Report of the American Academy of Neurology, the American
Association of Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, and the American
Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Neurology 2011;76:1-10
10. Wambolt C, Kapustin J. Evidence-based treatment of diabetic peripheral neuropathy.
The Journal for Nurse Practitioners 2006:370-378
11. Jagga M, Lehri A, Verma SK. Effect of aging and anthropometric measurement on
nerve conduction properties – a review. Journal of Exercise Science and
Physiotherapy 2011;7(1):1-10
12.Smith AG, Singleton JR. The diagnostic yield of a standardized approach to idiopathic
sensory-predominant neuropathy. Arc Intern Med 2004;164:1021-1025
13. Boulton AJM. Management of diabetic peripheral neuropathy. Clinical Diabetes
2005;23(1):9-15
18