Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

NEUROPATI DIABETIK

Pembimbing :
dr. Mukhdiar Kasim, SpS

Disusun Oleh :
Annisha Kartika (110.2010.029)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI
JAKARTA 2016

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering
ditemukan pada diabetes mellitus. Risiko yang dihadapi pasien diabetes mellitus
dengan neuropati diabetes adalah infeksi berulang, ulkus yang tidak kunjung
sembuh, dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan bertambahnya
angka kesakitan dan kematian. Yang berakibat meningkatnya biaya pengobatan
pasien deiabetes mellitus dengan neuropati.
Hingga saat ini patogenesis neuropati diabetik belum seluruhnya diketahui
dengan jelas. Namun demikian dianggap bahwa hiperglikemia persisten
merupakan faktor primer. Faktor metabolik ini bukan satu-satunya yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya neuropati diabetik, tetapi beberapa teori
lain yang diterima ialah teori vascular, autoimun, dan nerve growth factor.
Manifestasi neuropati diabetik bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala
dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan
nyeri yang hebat. Bisa juga keluhan dalam bentuk neuropati local atau sistemik,
yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.
Dengan demikian, memahami mekanisme terjadinya neuropati diabetik dan
faktor- faktor yang berperan, merupakan landasan penting dalam pengelolaan dan
pencegahan neuropati diabetik yang lebih rasional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI NEUROPATI DIABETIK


Neuropati diabetik adalah munculnya gejala dan tanda-tanda disfungsi saraf tepi pada
penderita diabetes melitus, setelah penyebab lain disingkirkan. Manifestasi neuropati
diabetik dapat subklinik maupun klinik dan sangat bervariasi. Oleh karena
menyangkut saraf tepi, maka gangguannya dapat melibatkan saraf aferen (sensorik)
dan sistem eferen. Sistem saraf eferen termasuk sistem somatik dan otonomik. Neuron
sistem somatik menyampaikan informasi dari susunan saraf pusat (SSP) kepada otototot skeletal, sistem otonomik (SO) menyampaikan informasi dari SSP kepada otot
polos, otot jantung, dan kelenjar. Dalam SO banyak organ tubuh mendapat inervasi
kembar. Serabut saraf parasimpatis mengatur fungsi tubuh untuk lebih istirahat
(contoh: mengosongkan vesica urinaria), sedang serabut simpatis mempersiapkan
tubuh untuk aktivitas fisik.

II. PREVALENSI NEUROPATI DIABETIK


Berbagai studi melaporkan prevalensi neuropati diabetik yang bervariasi. Bergantung
pada batasan definisi yang digunakan, kriteria diagnostik, metode seleksi pasien dan
populasi yang diteliti, prevalensi neuropati diabetik berkisar dari 25-50%. Angka
kejadian dan derajat keparahan neuropati diabetik juga bervariasi sesuai dengan usia,
lama menderita DM, kendali glikemik, juga fluktuasi kadar glukosa darah sejak
diketahui DM. Pada suatu penelitian besar, neuropati simptomatis ditemukan pada
28,5% dari 6.500 pasien DM. Pada studi Rochester, walaupun neuropati simptomatis
ditemukan hanya 13% pasien DM, ternyata lebih besar dari segalanya ditemukan
neuropati dengan pemeriksaan klinis. Studi lain melaporkan kelainan kecepatan
hantar saraf sudah didapati pada 15,2% pasien DM baru, sementara tanda klinis
neuropati hanya dijumpai pada 2,3%.

III. ETIOLOGI NEUROPATI DIABETIK


Penyebab neuropati diabetik mungkin berbeda untuk setiap klasifikasinya. Para
peneliti sedang mempelajari bagaimana hiperglikemi yang terlalu lama menyebabkan
kerusakan saraf. Kerusakan saraf terjadi mungkin karena kombinasi dari faktor
faktor :
1. faktor metabolik, seperti hiperglikemi, lama menderita diabetes, kadar lemak
darah yang abnormal dan kemungkinan rendahnya kadar insulin.
2. Faktor neurovaskular, menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang
3.
4.
5.
6.

membawa oksigen dan nutrisi ke saraf.


Faktor autoimun, yang menyebabkan peradangan pada saraf
Cedera mekanik pada saraf, seperti carpal tunnel syndrome.
Genetik, yang meningkatkan kerentanan terhadap penyakit saraf.
Faktor gaya hidup, seperti merokok atau penggunaan alkohol.

IV. KLASIFIKASI NEUROPATI DIABETIK


Neuropati diabetik merupakan kelainan yang heterogen, sehingga ditemukan berbagai
ragam klasifikasi. Secara umum neuropati diabetik yang dikemukakan bergantung
pada 2 hal, pertama, menurut perjalanan penyakitnya (lama menderita DM) dan
kedua, menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi.

Menurut perjalanan penyakitnya, neuropati diabetik dibagi menjadi :


- Neuropati fungsional / subklinis : gejala yang muncul sebagai akibat
perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga
-

masih reversible.
Neuropati struktural / klinis : gejala timbul sebagai akibat kerusakan struktural

serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponen yang reversible.
Kematian neuron / tingkat lanjut : terjadi penurunan kepadatan serabut saraf
akibat kematian neuron. Pada fase ini sudah irreversible. Kerusakan serabut
saraf pada umumnya dimulai dari distal menuju ke proksimal, sedangkan
proses perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi distal
paling banyak ditemukan, seperti polineuropati simetris distal.

Menurut serabut saraf yang terkena lesi :

Neuropati Sensorimotor Kerusakan pada saraf sensori biasanya pertama


kali mengenai akson terpanjang, menimbulkan pola kaos kaki dan sarung
tangan (stocking-and-glove distribution). Kerusakan pada serabut saraf kecil
akan mengganggu persepsi pasien terhadap sensasi suhu, raba halus, pinprick,
dan nyeri. Sedangkan pada serabut saraf besar, pasien dapat kehilangan
sensasi getar, posisi, kekuatan otot, diskriminasi tajam-tumpul, dan
diskriminasi dua titik. Di samping itu, pasien dapat mengeluh nyeri paha
bilateral disertai atrofi otot iliopsoas, quadriceps dan adduktor. Secara objektif,
kita dapat menilai adanya gangguan sensori sesuai segmen L2, L3, dan L4.
Sementara

itu,

elektromiografi

(EMG)

memperlihatkan

gambaran

poliradikulopati.
-

Neuropati otonom umumnya ditemukan pada pasien yang menderita


diabetes jangka lama. Neuropati otonom terjadi pada 40% kasus setelah
menderita DM lebih dari 10 tahun. Pada ekstremitas bawah, neuropati otonom
dapat menyebabkan arteriovenosus shunting, dan dapat menyebabkan
vasodilatasi di arteri-arteri kecil. Anormalitas pada neuropati otonom juga
bertanggung jawab terhadap penurunan aktivitas kelenjar keringat di kaki.
Perubahan ini akan menyebabkan kulit kering dan timbul fisura yang menjadi
predisposisi terhadap infeksi kaki. Neuropati motorik di kaki menyebabkan
lemahnya

otot-otot

intrinsik

kecil,

yang

secara

klasikal

disebut

intrinsicminus kaki. Hal ini akan memicu adanya ketidakseimbangan


muskular dengan tanda yang khas yaitu fleksi pada plantar kaki. Kepentingan
gangguan otot-otot instrinsik pada caput metatarsal dan digiti berperan sebagai
titik tekanan pada kaki dengan kemungkinan iritasi dari sepatu atau peralatan
lain yang dipakai dikaki, sebagai salah satu penyebab ulkus kaki diabetik.
Pasien diabetik mengalami kerentanan terhadap abnormalitas musculoskeletal
kaki, seperti neuropati atropi (kaki charcots). Neuropati artropi ditandai
dengan kronik, progresif, proses degeneratif dari 1 atau lebih sendi dan
ditandai dengan pembengkakan, perdarahan, peningkatan suhu, perubahan
tulang dan instabilitas sendi. Polineuropati simetrikal pada bagian distal
merupakan sebuah komplikasi dari diabetes dan berperan sebagai penyebab
utama ulkus kaki diabetes dan berdampak pada bagian sensorik dan motorik
sistem saraf tepi.

Klasifikasi diabetik neuropathy, menurut Greene, Stevens and Feldman (1999)


dikutip dari Symposium Diabetic Neuropathy : Progress in Diagnosis and
Treatment (The American Journal of Medicine, Vol. 107, Agust 30 1999) yaitu :
Classification of Diabetic neuropathy
A. Diffuse
1. Distal symmetric sensorimotor polyneuropathy
2. Autonomic neuropathy (neuropati Saraf otonom)
a. Sudomotor
b. Cardiovascular
c. Gastrointestinal
d. Genitourinary
3. Symmetric proximal lower limb motor neuropathy (amyotrophy)
B. Focal
1. Cranial neuropathy
2. Radiculopathy / plexopathy
3. Entrapment neuropathy
4. Asymmetric lower limb motor neuropathy (amyotrophy)
A. Difus
1. Symmetric Polyneuropathy
Bentuk ini paling banyak dijumpai dengan gejala-gejala yang sifatnya simetris
dan berlangsung kronis. Pada permulaan biasanya gangguan pada serabut-serabut
halus (small fiber) ditemukan gejala sensibilitas, dapat berupa parestesi, rasa tebal,
rasa nyeri, rasa panas seperti terbakar dan rasa keram pada bagian distal tungkai.
Hipalgesia/analgesia dapat berupa sarung tangan atau kaos kaki dan kondisi
seperti ini memudahkan terjadinya trauma / ulkus pada kaki.

Degenerasi

serabut-serabut

kasar

(large

fiber)

menyebabkan

gangguan

proprioseptif seperti berkurangnya rasa vibrasi / gangguan rasa posisi dapat pula
ditemukan, kadang-kadang ataksi dapat dijumpai dan bentuk ini mirip dengan

tabes dorsalis, dikenal dengan Diabetic Pseudotabes. Lebih jauh bisa pula timbul
kelainan motorik seperti atrofi, refleks tendo menurun sampai menghilang pada
bagian distal dari ekstremitas. Selanjutnya dapat terjadi autonomic neuropathy
dengan gejala impotensi pada pria dan hypotonic neurogenic bladder.
Kadang-kadang bisa dijumpai rasa nyeri didaerah belakang tubuh / trunkus
dan menyebar pada abdomen dan toraks tanpa kelemahan otot. Keadaan ini
disebut sebagai truncal neuropathy. Keadaan ini sering terdapat pada diabetes
yang lama dan umur lanjut. Ada anggapan bahwa rasa nyeri ini mempunyai sifat
self limited
2. Autonomic neuropathy (neuropati Saraf otonom)
Sindroma neuropati saraf otonom dapat berdiri sendiri atau bersama-sama dengan
Simmetric Polyneuropathy, baik pada tahap dini maupun pada tahap lanjut.
Insidens kira-kira 25% dari penderita IDDM. Gejala klinis neuropati saraf
otonom Yaitu :
a. Sistem kardiovaskuler
Hipotensi ortostatik / postural hypotension timbul akibat disfungsi vasomotor
yakni denervasi saraf simpatis dan Denervated Heart. Terjadi ketidak
seimbangan antara simpatis dan para simpatis dan ini dapat mempengaruhi
jantung, biasa dalam bentuk aritmia dan takhikardi / bradikardi dan dapat
dideteksi dengan valsava monouver.
b. Sistem pencernaan
-

Gangguan pengecap : daya pengecap berkurang dapat diukur dengan

Elektrogustometer
Kelemahan peristaltik, gejala dapat berupa : disfagia, panas di ulu hati,
muntah-muntah dan pengosongan lambung yang terlambat yang dikenal
dengan gastroparesis.
Disamping itu bisa

pula

terjadi

diare

yang

intermitten

(diabetic - Diarrhea)
c. Sistem urogenitalia
-

Disfungsi Bladder : berupa Hypotonic neurogenic bladder dengan


gejala disuria, retensio urine; insidens 14 - 82% dari penderita diabetes.

Disfungsi seksual : Impotensia, insidens sekitar 35 - 75%. Gejala dini


dapat berupa gangguan ereksi yang berjalan pelan dan gangguan
ejakulasi.Pada

impotensia

gonadotropin testoteron

diabetik

biasanya

kadar

prolaktin,

normal sehingga pemberian testoteron tidak

ada pengaruhnya.
d. Disfungsi sudomotor, tulang dan sendi
-

Gangguan keringat berupa hiperhidrosis pada separuh tubuh bagian


atas dan anhidrosis pada separuh tubuh bagian bawah menyebabkan
kulit menjadi kering dan mudah terjadi fisura sehingga menyebabkan
timbulnya ulkus yang sulit sembuh. Berkeringat biasanya pada malam

hari.
Sendi terutama lutut/kaki membengkak tetapi tidak nyeri, dikenal

dengan Charcots joints.


Tulang, bisa timbul hiperostosis.

3. Simetric proximal lower limb motor neuropathy (amyotrophy) atau disebut juga
sebagai proximal neuropathy.
Menurut Asbury, proximal neuropati merupakan variasi diabetik radikulopati,
yakni kelemahan pada otot dari pelvic girdle yang terjadi secara pelan-pelan
dalam beberapa hari atau minggu. Gejala awal berupa timbulnya rasa nyeri
seakan-akan ditusuk pisau di daerah lumbosakral dan meluas ke paha secara
simetris bilateral. Lebih jauh bisa timbul kelemahan otot femoral sampai atrofi
sehingga penderita kalau jalan sering jatuh.
Bisa pula gejala-gejala timbul asimetri yang dikenal dengan asimetrik / focal
peripheral neuropathy. Adanya atrofi ini menyebabkan keadaan ini disebut pula
sebagai diabetic amyotrophy oleh karena ada anggapan bahwa lesi terdapat
pada kornu anterior. Ada pula yang menyebut sebagai femoral neuropathy atau
sacral plexopathy.
Biasanya proximal neuropathy dijumpai pada penderita diabetes yang berumur 50
tahun ke atas, dimana terdapat penurunan berat badan yang menyolok dan
gangguan metabolik yang hebat. Otot yang sering diserang ialah kuadriceps
femoris, ileopsoas dan abduktur paha. Laki-laki lebih banyak dijumpai daripada

perempuan dan dijumpai pada penderita dengan kontrol gula yang jelek.
Prognosa baik bila gangguan metabolik dikoreksi pada waktunya
B. Fokal
1.Cranial Neuropathy
Keterlibatan saraf kranial paling sering ialah nervus okulomotorius menyusul
nervus abducens dan nervus fasialis, kadang-kdang dapat pula mengenai nervus
throchlearis dan N.akustis. Kadang-kadang dapat terjadi lebih dari pada satu
urat saraf yang dikenal sebagai poli-mononeuropati. Gejala-gejala biasanya
berupa nyeri bola mata, diplopia dan ptosis. Biasanya penyebab ialah oklusi
vasanervosum. Prognosis biasanya baik, perbaikan nyata dalam 6 sampai 8
minggu.
2. Radiculopathy
Bisa berupa brachial dan lumbar plexopathy. Nyeri radikuler dan anestesia
mengikuti dermatom. Biasa dijumpai pada penderita diabetes yang umur tua.
3. Compression Neuropathy.
Carpal tunnel syndrome, ulnar nerve entrapment dan gejala-gejala yang mirip
dengan herniasi diskus sering ditemukan. Oleh karena mengenai satu urat saraf
maka disebut pula sebagai mononeuropati diabetik. Gejala utama ialah rasa
nyeri sepanjang persarafan yang terkena dan paresis. Mononeuropathy, urat
saraf yang paling sering terkena ialah N.iskhiadikus, N.medianus dan N.ulnaris.
4. Asymetric Lower Motor Neuropathy (Amyotrophy)
Bentuk diabetik amiotrophy yang asimetrik mengenai otot-otot lower limb
sehingga timbul kelemahan dan atrofi.

Menurut Brushart, (2002) Lesi pada saraf perifer akan menimbulkan enam
tingkat kerusakan yaitu :
a. Grade 1 (Neuropraksia)

Kerusakan yang paling ringan, terjadi blok fokal hantaran saraf, gangguan umumnya
secara fisiologis, struktur saraf baik. Karena tidak terputusnya kontinuitas
aksoplasmik sehingga tidak terjadi degenerasi wallerian. Pemulihan komplit terjadi
dalam waktu 1 2 bulan.
b. Grade II (aksonometsis)
Kerusakan pada akson tetapi membrana basalis (Schwann cell tube), perineurium dan
epineurium masih utuh. Terjadi degenerasi wallerian di distal sampai lesi, diikutu
dengan regenerasi aksonal yang berlangsung 1 inch per bulan. Regenerasi bisa tidak
sempurna seperti pada orang tua.
c. Grade III
Seperti pada grade II ditambah dengan terputusnya membrana basalis (Schwann cell
tube). Regenerasi terjadi tetapi banyak akson akan terblok oleh skar endoneurial.
Pemulihan tidak sempurna.
d. Grade IV
Obliterasi endoneurium dan perineurium dengan skar menyebabkan kontinuitas saraf
berbagai derajat tetapi hambatan regenerasi komplit.
e. Grade V
Saraf terputus total, sehingga memerlukan operasi untuk penyembuhan.
f. Grade VI
Kombinasi dari grade II-IV dan hanya bisa didiagnosa dengan pembedahan.

V. PATOFISIOLOGI NEUROPATI DIABETIK


Proses kejadian neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang
berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance glycosilation

end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C
(PKC). Aktivitas berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi,
sehinga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel
terjadilah neuropati diabetik.
Banyak teori dari beberapa ahli yang mengemukakan mengenai patofisiologi
neuropati diabetik, namun hingga saat ini belum ada patofisiologi yang pasti
terjadinya neuropatik diabetik. Faktor- faktor yang diduga sebagai etiologi neurapi
diabetik antara lain, vaskular, metabolik, neurotrofik, dan immunologik. Beberapa
teori yang dapat diterima :

1. Teori metabolik
Hiperglikemi menyebabkan peningkatan glukosa ekstraseluler neuron, penting untuk
saturasi jalur glikolitik normal. Glukosa ekstrasel dilangsir ke dalam jalur polyol dan
dirubah menjadi sorbitol dan fruktosa oleh enzim aldose reduktase dan sorbitol
dehidrogenase.

Penimbunan

sorbitol

dan

fruktosa

menimbulkan

penurunan

mioinositol (myo-inositol depletion) dan menurunkan aktifitas Na+/ K+ membrane,


menggagalkan transport aksonal, kerusakan struktural sarafnya (edema paranodal,
atrofi akson dan degenerasi serabut saraf) yang menyebabkan perambatan potensi aksi
abnormal.

1.1.

Jalur Polyol
Teori jalur polyol berperan dalam beberapa perubahan dengan metabolism

ini. Pada status yang normoglikemik, kebanyakan glukosa intraseluler di


fosforilasi ke glukosa-6-phosphate oleh hexokinase, hanya sebagian kecil dari
glukosa masuk jalur polyol. Pada kondisi-kondisi hiperglikemia, hexokinase yang
disaturasi, maka akan terjadi influks glukosa ke dalam jalur polyol. Aldose
reduktase yang secara normal mempunyai fungsi mengurangi aldehid beracun di
dalam sel ke dalam alkohol non aktif, tetapi ketika konsentrasi glukosa di dalam
sel menjadi terlalu tinggi, aldose reduktase juga mengurangi glukosa ke dalam
jalur sorbitol, yang mana kemudian dioksidasi menjadi fruktosa. Dalam proses
mengurangi

glukosa

intraseluler

tinggi

ke

sorbitol,

aldose

reduktase

mengkonsumsi co-faktor NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphat


hydrolase). NADPH adalah co-faktor yang penting untuk memperbaharui
intracelluler

critical

anti

oxidant,

dan

pegurangan

glutathione.Dengan

mengurangi jumlah glutathione, jalur polyol meningkatkan kepekaan stress


oksidatif intraseluler.Stres oksidatif berperan utama di dalam patogenesis
neuropati diabetika perifer.Ada bukti peningkatan oksigen radikal bebas dan
peningkatan beberapa penanda stres oksidatif seperti malondialdehide dan lipid
hydroksiperoksida pada penderita neuropati diabetika.Indikator kuat untuk
membuktikan oleh beberapa penelitian mengenai penggunaan antioksidan baik
pada binatang percobaan maupun pada pasien

Sorbitol sesudah dioksidasi sorbitol dehydrogenase menjadi fruktosa,


mengalami degradasi secara perlahan dan tidak cukup menebus ke membran sel .
Akumulasi sorbitol intraseluler mengakibatkan perubahan osmotik yang
berpotensi ke arah kerusakan sel. Adanya peningkatan osmolalitas intraseluler,

dalam kaitan aliran glukosa kedalam jalur polyol dan akumulasi sorbitol, sebagai
akibatnya akan terjadi kompensasi pengurangan endoneural osmolit taurine dan
mioinositol untuk memelihara keseimbangan osmotik. Metabolit intraseluler,
seperti mioinositol menjadi berkurang dan mendorong ke arah kerusakan sel
saraf.Pada percobaan binatang penurunan mioinositol berkaitan dengan
penurunan aktivitas Na+/ K+-ATPase dan memperlambat velositas konduksi saraf.
1.2.

Teori AGEs

Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan advanced


glycosilation products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik pada protein
seluler.

Glikosilasi

dan

protein

jaringan

menyebabkan

pembentukan

AGEs.Glikosilasi nonenzimatik ini merupakan hasil interaksi glukosa dengan


kelompok amino pada protein.1 Pada hiperglikemia kronis beberapa kelebihan
glukosa berkombinasi dengan asam amino pada sirkulasi atau protein jaringan.
Proses ini pada awalnya membentukproduk glikosilasi awal yang reversibel dan
selanjutnya membentuk AGEs yang ireversibel. Konsentrasi AGEs meningkat
pada penderita DM. Pada endotel mikrovaskular manusia , AGEs menghambat
produksi prostasiklin dan menginduksi PAI-1(Plasminogen Activator Inhibitor-1)
dan akibatnya terjadi agregasi trombosit dan stabilisasi fibrin, memudahkan
trombosis. Mikrotrombus yang dirangsang oleh AGEs berakibat hipoksia lokal
dan meningkatkan angiogenesis dan akhirnya mikroangiopati.
1.3.

Teori Aktivasi Protein Kinease C


Aktivasi Protein Kinase C (PKC) juga berperan dalam patogenesis neuropati

perifer diabetika. Hiperglikemia didalam sel meningkatkan sintesis atau


pembentukan diacylglyserol (DAG) dan selanjutnya peningkatan Protein kinase
C. Protein kinase juga diaktifkan oleh stres oksidatif dan advanced glycosilation
products (AGEs).

Aktivasi protein kinase C menyebabkan peningkatan permeabilitas


vaskular,gangguan sintesis nitric oxyde (NOS) dan perubahan aliran darah.Ketika
PKCdiaktifkan oleh hiperglikemia intraseluler, mempunyai efek pada beberapa
ekspresigenetik. Vasodilator yang memproduksi endothelial nitric oxyde synthase
(eNOS)berkurang,

sedangkan

vasokonstriktor

endothelin-1

(ET-1)

akan

meningkat. Transformasi Growth Faktor (TGF-) dan plasminogen inhibitor -1


(PAI-1) juga meningkat.Dalam endothelial sel, PKC juga mengaktifkan nuclear
faktor (NFkB), suatu faktor transkripsi yang dirinya sendiri mengaktifkan banyak
gen proinflamasi di dalam pembuluh darah.
1.4.

Teori Nerve Growth Factor


Faktor neurotrophic penting untuk pemeliharaan, pengembangan, dan

regenerasi unsur-unsur yang responsif dari saraf. Neurotrophic factor (NF) sangat
penting untuk saraf dalam mempertahankan perkembangan dan respon
regenerasi. Nerve Growth Factor (NGF) berupa protein yang memberi dukungan
besar terhadap kehidupan serabut saraf dan neuron simpatis. Telah banyak
dilakukan penelitian mengenai adanya faktor pertumbuhan saraf, yaitu suatu
protein yang berperan pada ketahanan hidup neuron sensorik serabut kecil dan
neuron simpatik sistem saraf perifer. Beberapa penelitian pada binatang
menunjukkan adanya defisiensi neurotropik sehingga menurunkan proses
regenerasi saraf dan mengganggu pemeliharaan saraf. Pada banyak kasus, defisit
yang paling awal, melibatkan serabut saraf yang kecil. Pada pasien dengan DM

terjadi penurunan NGF sehingga transport aksonal yang retrograde ( dari organ
target menuju badan sel) terganggu. Penurunan kadar NGF pada kulit pasien DM
berkorelasi positif dengan adanya gejala awal small fibers sensory neuropathy.
2. Teori vaskuler
Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan
kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas
oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini membuat
kerusakan endotel vaskular dan menetralisir NO, yang berefek menghalangi
vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskular tersebut dapat melalui
penebalan membrana basalis, trombosis pada atreriol intraneural, peningkatan
agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit; berkurangnya aliran
darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis aksonal, pembengkakan dan
demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian neuropati yang didasari oleh
kelainan vaskular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor resiko kardiovaskular,
yaitu kadar trigliserida yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi.
3. Teori autoimun
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 22% dari 120 penyandang DM tipe 1 memiliki
complement fixing antisciatic nerve antibodies dan 25 % DM tipe 2 memperlihatkan
hasil yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berperan paa
patogenesis neuropati diabetik. Bukti lain yang menyokong peran antibodi dalam
mekanisme patogenik neuropati diabetik adalah adanya antineural antibodies pada
serum sebagian penyandang DM. Autoantibodi yang beredar ini secara langsung
dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa dideteksi dengan
imunofloresens indirek. Disamping itu adanya penumpukan antibodi dan komplemen
pada berbagai komponen saraf suralis memperlihatkan kemungkinan peran prses
imun pada patogenesis neuropati diabetik.
Proses patologi
Secara morfologik kelainan sel saraf pada neuropati diabetik ini terdapat pada
sel-sel Schwann selain mielin dan akson. Kelainan yang terjadi terutama tergantung
pada derajat dan lamanya mengidap DM. Perubahan patologis dasar dalam
hubungannya dengan patofisiologi neuropati meliputi :

a. Demielinisasi Segmental
Segmen segmen internodal saraf perifer mengalami demielinisasi, sedang
akson masih dalam keadaan utuh. Meskipun demielinisasi telah terjadi secara luas,
namun seringkali aksonnya tidak mengalami perubahan degeneratif.
Seringkali setelah mengalami demielinisasi, serabut saraf menunjukkan
adanya proses regenerasi berupa remielinisasi, jumlah sel Schwan akan bertambah
banyak. Jika proses patologis tersebut berlangsung secara kronis dengan proses
demielinisasi dan remielinisasi yang berulang-ulang, akan terjadi proliferasi yang
konsentrik dari sel Schwan, sehingga terbentuk satu struktur seperti lapisan bawang
merah yang disebut onion bulb, yang dengan palpasi akan teraba benjolan-benjolan
pada saraf.
Perbaikan fungsi cepat karena tidak terjadi kerusakan akson.
b. Degenerasi aksonal
Degenerasi pada bagian distal akson saraf perifer dan beberapa tempat ujung
akson sentral kolumna posterior medulla spinalis. Penyebab degenerasi aksonal
berupa gangguan nutrisi, metabolik atau toksik sehingga mengakibatkan gangguan
metabolisme badan sel, transpor aksonal serta fungsi-fungsi lainnya. Bagian ujung
distal akson yang pertama mengalami degenerasi dan apabila proses terus berlanjut
degenerasi akan berjalan ke arah proksimal. Proses ini menimbulkan suatu keadaan
yang dikenal sebagai dying back neuropathy.
c. Degenerasi Wallerian
Suatu trauma mekanik, khemis, termis ataupun iskemik lokal yang menyebabkan
terputusnya satu serabut saraf secara mekanik, akan diikuti oleh suatu proses
degenerasi aksonal di sebelah distal tempat terjadinya perlukaan, yang kemudian
diikuti terputusnya mielin secara sekunder. Proses tersebut dikenal sebagai degenerasi
Wallerian. Kelainan mulai timbul antara 12-36 jam setelah terjadi perlukaan saraf.
Perubahan awal didapatkan pada akson yang terletak di dalam atau di sekitar nodus
ranvier sepanjang saraf disebelah distal dari tempat perlukaan. Perubahan yang sama
juga terjadi pada akson disekeliling nodus Ranvier tepat disebelah proksimal dari
tempat perlukaan. Sel schwann pada bagian ini akan mengalami proliferasi hebat.
Makrofag endoneuron akan membantu sel Schwann dalam menghancurkan mielin
yang rusak

VI. DIAGNOSIS NEUROPATI DIABETIK


Pendekatan Diagnostik neuropati Diabetik.
Diagnosa didasarkan pada adanya gejala neuropati pada seorang penderita diabetes
dimana semua penyebab lain dari neuropati selain diabetes dapat disingkirkan.
Sampai saat ini belum ada test klinis spesifik yang dapat memastikan neuropati
diabetik.
Kriteria Diagnosa neuropati Diabetik :
Minimal didapat kelainan melalui pemeriksaan di bawah ini :
1.Gejala klinis
2.Pemeriksaan klinis
3.Pemeriksaan Elektrodiagnostik
4.Test sensoris kuantitatif (suhu dan vibrasi)
5.Test fungsi otonom
1. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnese :
a. Sensorik : rasa baal, rasa panas, rasa terbakar, rasa kesemutan, rasa kesetrum,
Alodonia, gambaran seperti sarung tangan/kos kaki
b. Keluhan motorik : tungkai / lengan kurang kuat, sering jatuh, sulit naik tangga,
sulit bangkit dari kursi, sulit buka stoples dll.
c. Keluhan otonom :
- gangguan berkeringat
- gangguan/disfungsi seksual : gangguan ereksi, sulit orgasme
- diarrhea
- sulit adaptasi dalam gelap dan terang
- keluhan hipotensi ortostatik
2. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan pada neuropati diabetik yaitu pemeriksaan fisik, dimana diperiksa
tekanna darah, denyut jantung, kekuatan otot, refleks, dan raba halus. Pemeriksaan
kaki yang komprehensif
a. Inspeksi: ulserasi pada kaki dan Charcot Joint
b. Pemeriksaan Neurologik :
-

Pemeriksaan motorik didapat kelemahan tipe LMN


Pemeriksaan sensorik didapat gambaran kos kaki/sarung tangan untuk rasa

nyeri/suhu
Gangguan vibrasi.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Periksa laboratorium untuk mengetahui apakah gula darah dan HbA1c pada diabetes
tidak terkontrol dengan baik atau yang belum diketahui.
4. Pemeriksaan Imaging

CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternative untuk menyingkirkan lesi


kompresi

dan

keadaan

patologis

lain

di

kanalis

spinalis

pada

radikulopleksopati lumbosakral dan neuropati torakoabdominal.


MRI digunakan untuk menyingkirkan aneurisma intracranial, lesi kompresi

dan infark pada kelumpuhan n. okulomotorius


5. Pemeriksaan elektrodiagnostik
ENMG (Elektroneuromiografi) : meliputi kecepatan hantar saraf motorik/sensorik
(KHSM/KHSS) kelainan hantar saraf menggambarkan kehilangan serabut saraf yang
bermielin yang berdiameter besar.
6. Tes Sensoris kuantitatif : untuk vibrasi dan suhu dikenal dengan Quantitative
Sensoric testing (QST).
QST adalah tehnik untuk mengukur intensitas rangsangan yang diperlukan untuk
memberi persepsi sensorik khas dimana sifat fisik serta intensitas diketahui secara
tepat.
7. Tes Fungsi Otonom
a. Kardiovaskular
-

Evaluasi hipotensi ortostatik dengan postural blood pressure testing


Resting heart rate
Valsava manouver
R - R variation (beat to beat heart rate variation)

b. Eye
Dark-adapted pupil size after total parasimpathetic testing
c. Sudomotor
-

Thermoregulatory sweat test (semikuantitatif) : Penderita dibedaki dengan bedak

indikator yang menjadi ungu bila basah


Potensial kulit : Potensial kulit dapat direkam dengan alat EMG terutama dari
telapak tangan dan telapak kaki

Sweat imprint quantitation : Rangsangan kulit dengan pilocarpin, diperhatikan

tetesan keringat baik diameter maupun distribusinya.


Quantitative Sudomotor Axon reflex test (QSART) : Mengukur respons keringat
setelah dirangsang dengan transcutaneus iontoforesis dari asetil kholin.

VII. PENATALAKSANAAN NEUROPATI DIABETIK


Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati diabetik dibagi ke
dalam 3 bagian. Strategi pertama adalah diagnosis neuropati diabetik sedini mungkin,
diikuti strategi kedua dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik-baiknya,
dan strategi ketiga ditujukan pada pengendalian keluhan neuropati / nyeri neuropati
diabetik setelah strategi kedua dikerjakan.
Mengingat ND merupakan komplikasi kronik dengan berbagai faktor resiko yang
terlibat, maka pada pengelolaan ND perlu melibatkan banyak aspek, seperti perawatan
umum, pengendalian glukosa darah dan parameter metabolik lain sebagai komponen
tak terpisahkan secara terus menerus.

Perwatan Umum / Kaki

Jaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah trauma
berulang pada neuropati kompresi.

Pengendalian Glukosa Darah

Berdasarkan patogenesisnya, maka langkah pertama yang harus dilakukan ialah


pengendalian glukosa darah dan monitor HbA1c secara berkala. Disamping itu
pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai
komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan. Banyak penelitian membuktikan
bahwa dengan mengendalikan glukosa darah, komplikasi kronik diabetes termasuk
neuropati dapat dikurangi.

Terapi Medikamentosa
Terapi untuk nyeri neuropati diabetik

Obat- obatan yang digunakan untuk nyeri neuropatik seperti opioid dan
tramadol, serta agen antidepressant dan antiepelepsi. Biasanya pasien memerlukan
dosis besar pada penggunaan opioid untuk menghilangkan rasa nyeri dan pemberian
long acting opioid yang utama digunakan.Namun untuk menghindari efek adiktif pada
penggunaan opioid, sehingga penggunaanya tidak dijadikan sebagai lini pertama pada
penanganan nyeri neuropati diabetik. Mexiletine merupakan Na Channel Blocker dan
agen antiaritmia juga terbukti memiliki efek analgesik.
Alpha-2delta inhibitor, gabapentin dan pregabalin adalah obat-obatan yang
digunakan untuk antiepilepsi. Keuntungan penggunaan gabapentin dan pregabalin
adalah ekskresi melalui ginjal dan mengurangi interaksi dengan obat lain. Efek
samping utama meliputi mengantuk, pusing, edema perifer, penambahan berat badan,
dan kejang mioklonik pada penggunaan besar. Gabapentin biasanya dimulai pada
dosis 300mg sampai tiga kali sehari dan dapat ditingkatkan sampai 4800mg dengan
dosis terbagi.Karena paruh waktu yang pendek, sehingga dibutuhkan pemakaian tiga
sampai empat kali dalam sehari.Pregabalin memiliki paruh waktu yang panjang dan
biasanya pemberian dua kali sehari, namun pada beberapa pasien baru mendapatkan
efek dari obat tersebut pada pemberian tiga kali sehari.Pregabalin biasanya dimulai
dengan dosis 75mg dua kali sehari dan dititrasi hingga 300mg setiap dua kali
sehari.Pada pasien dengan ketergantungan dialysis sebaiknya dikonsultasikan dengan
ahli ginjal untuk ekskresi ginjalnya, tetapi tidak menghalangi penggunaan terapi pada
pasien tersebut. Biasanya ahli ginjal akan mengelola satu dosis setelah dialisis.
Penggunaan

antikonvulsan

yang

digunakan

utuk

nyeri

neuropati

antara

laincarbamazepine, oxcarbazepine, asam valproik, lamotrigin, lacosamide, dan


fenitoin.
Antidepresan bekerja pada norepinefrin antidepresan trisiklik dan selektif
serotonin, sertanorepinefrin reuptake inhibitor duloxetine juga membantu dalam
mengobati nyeri neuropati. Duloxetine dapat ditoleransi dengan baik, dengan efek
samping yang sedikit.Pasien dengan insufisiensi ginjal harus diamati ada atau
tidaknya peningkatan darah sistolik. Efek samping mual dapat dirasakan pada awal
pemakaian, namun dapat dihindari dengan pemakaian awal 20-30mg dan dititrasi
lambat hingga 60mg. Efektivitas pada penggunaan 120mg secara statistic tidak ada
perbedaan dengan penggunaan 60mg dalam studi klinis, walaupun pada beberapa

pasien memiliki manfaat yang meningkat pada penggunaan dosis besar. Antidepresan
trisiklik terdapat efek menenangkan sehingga memiliki manfaat pasien pasien yang
mengalami kesulitan untuk memulai tidur. Biasanya menggunakan dosis 25-100mg
pada dua jam sebelum tidur. Pada penggunaan dosis tinggi pada lanjut usia harus
dilakukan EKG terlebih dahulu, karena efek trisiklik dapat memperpanjang
gelombang QT dan blok jantung. Efek samping penggunaan trisiklik antara lain
mengantuk, perasaan ingin buang air kecil, konstipasi, hipotensi ortostatik dan
disfungsi ereksi.
Penggunaan krim topical tidak memilik khasiat pada pasien neuropati
diabetik.Capsaicin cream/Patch telah menunjukkan khasiat, tetapi tidak ditoleransi
dengan baik pada awal penggunaan saat nyeri.Sarung mata harus digunakan dan
hindari kontak pada mata. Terkadang 1% lidokain patch dapat membantu pada pasien
dengan mononeuropati focal seperti meralgia paresthetica (kompresi lateral saraf
kutan femoralis). Krim topikal yang mengandung gabapentin, amitriptyline, dan
ketamine telah digunakan tetapi tidak ada laporan yang menunjukkan pada
keberhasilan dalam studi plasebo terkontrol.
Pengobatan lini pertama
Menurut NHS (2010), terapi lini pertama yang dapat digunakan untuk manajemen
pada neuropati yakni:
1. Penggunaan amitriptyline atau pregabalin merupakan pengobatan lini pertama
bagi penderita neuropati diabetes yang menyakitkan. Untuk amitriptilin,
dosisnya mulai dari 10 mg per hari, dengan bertahap ke atas titrasi dengan
dosis efektif yang maksimal dan ditoleransi pasien. Dosis tidak boleh lebih
tinggi dari 75 mg per hari (dosis tinggi bias dipertimbangkan dalam konsultasi
dengan layanan spesialis nyeri).
2. Penggunaan pregabalin: mulai dari 150 mg per hari (dibagi menjadi dua dosis)
dengan atas titrasi dengan dosis efektif atau dosis yang ditoleransi. Dosis tidak
lebih tinggi dari 600 mg per hari (dibagi menjadi dua dosis).
3. Untuk orang dengan neuropati diabetes yang menyakitkan, duloxetine juga
merupakanpengobatan lini pertama. Jika duloxetine merupakan kontraindikasi,
maka dapat digunakan amitriptyline. Untuk duloxetine: mulai dari 60 mg per
hari dengan titrasi atas ke efektif dosis atau maksimum dosis yang ditoleransi.
Dosis tidak boleh lebih tinggi dari 120 mg per hari.

4. Berdasarkan evaluasi klinis awal dan teratur: Perlu dilihat apakah ada
perbaikan yang memuaskan sehingga didapatkan keputusan untuk meneruskan
pengobatan, secara bertahap mengurangi dosis dari waktu ke waktu jika ada
perbaikan yang kontinyu.
Pengobatan lini kedua
Menurut NHS (2010), apabila tidak tercapai manajemen nyeri dengan terapi ini
pertama, maka dapat dipertimbangkan penggantian obat setelah pemberian consent
pada pasien, yakni
1. Jika lini pertama terapi menggunakan amitriptilin, maka terapi dirubah ke
pregabalin
2. Jika terapi pertama menggunakan pregabalin, ganti atau kombinasikan dengan
amitriptilin oral
3. Jika terapi pertama menggunakan duloxetine, ganti dengan amitriptilin atau
pregabalin atau kombinasikan dengan pregabalin

Pengobatan lini ketiga


Menurut NHS (2010), apabila terapi untuk mengurangi nyeri tidak dicapai dengan
terapi lini kedua, maka perlu dilakukan rujukan pada spesialisasi penanganan nyeri
pada center yang khusus. Dalam proses menunggu rujukan, tramadol oral merupakan
pertimbangan yang bagus untuk manajemen sementara, dapat ditammbahkan lidokain
topical pada bagian yang nyeri yang terlokalisasi ataupun yang tidak bias meminum
obat oral
1. Penggunaan tramadol sebagai monoterapi dimulai dari 50-100mg tidak lebih
dari 4 jam. Dengan dosis maksimal 400mg per hari.
2. Dilarang menggunakan opioid (morfin, oxycodone) untuk terapi tanpa
assessment dari spesialis manajemen nyeri

VIII. PENCEGAHAN NEUROPATI DIABETIK


1. Pemeriksaan berkala untuk glukosa darah
2. Pengendalian Glukosa Darah
3. Diet dan Olahraga teratur

IX. EDUKASI NEUROPATI DIABETIK

Disadari bahwa perbaikan total sangat jarang terjadi, sehingga dengan


kenyataan seperti itu, edukasi pasien menjadi sangat penting dalam pengelolaan nyeri
ND. Target pengobatan dibuat serealistik mungkin sejak awal dan hindari memberi
pengharapan yang berlebihan. Perlu penjelasan tentang bahaya kurang atau hilangnya
sensasi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan kaki pada setiap pertemuan dengan dokter,
dan pentingnya evaluasi secara teratur terhadap kemungkinan timbuknya ND pada
pasien DM.

BAB III
KESIMPULAN
Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM dengan prevalensi
dan manifestasi klinis amat bervariasi. Dari 4 faktor (metabolik, vaskular, imun dan
NGF) yang berperan pada mekanismes patogenik ND, hiperglikemia berkepanjangan
sebagai komponen faktor metabolik merupakan dasar utama patogenesis ND. Oleh
karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan ND pasien DM, yang penting adalah
diagnosis diikuti pengendalian glukosa darah dan perawatan kaki sebaik-baiknya.

Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya bersifat simtomatis, dilakukan dengan
memberikan obat yang bekerja sesuai mekanisme yang mendasari keluhan nyeri
tersebut. Pendekatan nonfarmakologis termasuk edukasi sangat diperlukan, mengingat
perbaikan total sulit bisa dicapai.

DAFTAR PUSTAKA

Asbury, A.K. and Bird, S.J : Disorders of Peripheral nerve, in : Diseases of Nervous
System, Clinical Neurobiology 2nd , W.B. Saunders Philadelphia 1992.
Beers, M.H. and Berkow, R. : Endocrine and metabolic Disorders in : The Merck
manual 17th ed. (centennial Ed). Merck research lab. 1999.
Brown, M.J : PENN neurology 2000, Managemnet of Common Neurologic Problems,
University of pennsylvania health System. Alpha medica Press, A Division of Alpha
Medica Inc. Irvington, New York.

Djoenaidi Widjaja, : A Diagnostic Approach to Peripheral neuropathy. Bagian/SMF


Ilmu Penyakit Saraf FK-Unair, 2000.
Greene, D.A; Stevens, M.J. and feldman, E.L : Diabetic neuropathy : Scope of
Syndrome : in Symposium Diabetic Neuropathy : progress in Diagnosis and
Treatment. The American Journal of Medicine, vol. 107, 1999
Munir, Badrul. Neurologi Dasar. Sagung Seto : 2015
Meliala, L; Andradi, S. ; Purba, J.S.; Anggraini, H : Nyeri Neuropati Diabetik dalam :
Penuntun Praktis Penanganan Nyeri Neuropatik. Pokdi Nyeri PERDOSSI, 2000.
NHS.2010. Neuropathic pain The pharmacological management of neuropathic pain
in adults in non-specialist settings. www.nice.org.uk/guidance/CG96 .
Priyantono T. Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Timbulnya
Polineuropati pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Edisi 2005.
W. Sudoyo, Aru et all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ke III. Interna Publishing.
Jakarta : 2009

Anda mungkin juga menyukai