Anda di halaman 1dari 40

PROPOSAL SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN MUSCLE ENERGY TECHNIQUE DAN


ISCHEMIC COMPRESSION TECHNIQUE TERHADAP PENURUNAN
NYERI AKIBAT MYOFASCIAL PAIN SYNDROME DI KAMPUS
JURUSAN FISIOTERAPI POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

OKTAVIANI

PO.714241.18.1.064

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

MAKASSAR PRODI D.IV FISIOTERAPI

TAHUN 2022
HALAMAN PERSETUJUAN
Proposal Skripsi

OKTAVIANI
NIM. PO.714241.18.1.064

Dengan Judul :

“Pengaruh Pemberian Muscle Energy Technique dan


Ischemic Compression Technique Terhadap Penurunan
Nyeri Akibat Myofascial Pain Syndrome Di Kampus Jurusan
Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Makassar”

Telah disetujui oleh Pembimbing Skripsi dan dapat diajukan dalam Ujian/Seminar
Proposal Skripsi

Makassar, Maret 2022

Pembimbing I, Pembimbing II,

Hj. Hasniah Ahmad, S.Pd. SSt.Ft. M.Kes. Arpanjam’an, SKM. SSt.Ft,M.Adm.Kes.


NIP. 19640505 198803 2 002 NIP. 19680816 199403 1 003

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi
yang berjudul “Pengaruh pemberian muscle energy technique Dan ischemic
compression technique terhadap penurunan nyeri akibat Myofascial pain
syndrome di kampus jurusan Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Makassar”

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan dukungan sehingga proposal skripsi ini dapat selesai.
Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada: Ibu Hj. Hasniah Ahmad, S.Pd.
S.St.Ft, M.Kes. dan bapak Arpanjam’an, S.KM. S.St.Ft. M.Adm.Kes. selaku
dosen pembimbing proposal skripsi.

Akhir kata, penulis berharap semoga proposal skripsi ini berguna bagi para
pembaca dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Makassar, Maret 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................

KATA PENGANTAR ..........................................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..............................................................................


B. Rumusan Masalah .........................................................................
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................
D. Manfaat Penelitian ........................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Myofascial Pain Syndrome ...............................


B. Tinjauan tentang Nyeri..................................................................
C. Tinjauan tentang Muscle Energy Technique ..................
D. Tinjauan tentang Ischemic Compression Technique . . .
E. Tinjauan tentang Alat Ukur .................................................
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep ..........................................................................


B. Hipotesis .......................................................................................
BAB IV METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian .............................................................................


B. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................
C. Populasi dan Sampel .....................................................................
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ...............................
E. Instrumen Penelitian .....................................................................
F. Prosedur Penelitian .......................................................................
G. Prosedur Kerja ..............................................................................
H. Analisis Data .................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Myofascial pain syndrome merupakan nyeri otot yang paling sering

dialami masyarakat umum. Nyeri ini ditandai dengan adanya taut band dan

trigger point. Trigger point aktif dan menimbulkan nyeri banyak di jumpai pada

otot-otot punggung atas. (Made Aditya, 2017). Myofascial pain syndrome

biasanya banyak terjadi pada punggung atas. Lokasi umum yang sering terjadi

nyeri yaitu pada trapezius, levator scapula, supraspinatus, infraspinatus, deltoid,

subscapularis, rhomboid major dan minor, dan pectoralis major. (Leon chaitow :

2016). Keluhan yang sering ditimbulkan, antara lain: nyeri otot, pegal di sekitar

leher dan bahu, kaku, kesemutan pada lengan, sehingga gerak dan fungsinya

menjadi terbatas. Nyeri otot pada punggung atas lebih sering terkena dibanding

bagian tubuh yang lain. (Makmuriyah, 2013).

Sekarang ini aktivitas di depan laptop, gadget, komputer, atau media

elektronika lainnya merupakan hal yang umum dilakukan. Selain untuk bekerja,

media elektronik juga dapat digunakan sebagai media hiburan. Banyak orang yang

menghabiskan waktunya di depan komputer ataupun gadget. Selama melakukan

aktivitas di depan komputer dan gadget, 10% individu akan melakukan forward

head posture dibandingkan dengan ketika mereka dalam posisi duduk santai. Jika

hal ini terus dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, tanda-tanda patologis

dari otot-otot postural akan sering terlihat misalnya pada otot punggung atas.

(I Gede, 2017).

1
Myofascial pain syndrome adalah gangguan nyeri yang kompleks

ditandai dengan nyeri tumpul yang stabil mengacu pada daerah yang spesifik dari

myofascial pain syndrome pada bagian otot yang dapat dipalpasi. Myofascial

Trigger Point adalah spot kecil yang hiperiritasi,memusat, yang timbul di dalam

taut band otot skeletal yang mengalami cidera atau beban kerja yang berlebihan

dan terus menerus (statis). Penekanan spot ini menimbulkan nyeri setempat dan

memberikan nyeri rujukan yang spesifik beserta fenomena otonomik dan

disfungsi motorik dan sensorik. Postur tubuh yang buruk, posisi statis untuk

waktu yang lama juga dapat menyebabkan nyeri myofascial (Nambi : 2013)

Trigger point merupakan faktor terbesar penyebab timbulnya

muskuloskeletal disorder yang sayangnya sering salah didiagnosa. Penelitian yang

terbaru yang dimuat dalam jurnal milik Jan Dommerholt (2006) mulai

menunjukkan bahwa di balik keluhan-keluhan nyeri yang diderita pasien banyak

yang berhubungan dengan trigger point. Salah satu pembentuk dan pembangkit

aktualitas trigger point yang sudah terkenal secara umum adalah kontraksi otot

yang berlangsung terus-menerus yang salah satunya disebabkan postur kerja yang

salah. (Makmuriyah dan Sugijanto : 2013).

Dari observasi awal yang peneliti lakukan di kampus jurusan fisioterapi

Poltekkes Kemenkes Makassar, para mahasiswa mengatakan bahwa lamanya

mereka kuliah didepan komputer tidak kurang dari 4 jam dalam sehari yang

menyebabkan timbulnya nyeri pada otot punggung atas. Kemudian peneliti

menggunakan pemeriksaan awal berupa deep palpation dan transverse friction

pada otot-otot punggung atas juga melakukan gerakan lateral fleksi kanan dan

kiri, hasilnya nyeri. Diperoleh informasi bahwa para mahasiswa mengeluhkan

2
nyeri, dimana dari 5 kelas mahasiswa yang dilakukan pemeriksaan, terdapat 19

mahasiswa yang mengalami keluhan nyeri pada punggung atas. Sehingga peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian terhadap myofascial pain syndrome pada otot

punggung atas, dimana peneliti menggunakan muscle energy technique dan

ischemic compression technique dalam efektifitasnya untuk menurunkan nyeri.

Muscle energy technique dikembangkan oelh Fred Mitchell Sr DO

(Doctor of Osteopathy), merupakan bentuk terapi manipulatif ketika kontraksi

otot aktif (biasanya isometrik) digunakan untuk memulai gerakan pada elemen

tulang dengan sifat insersi, dan sesudah itu restriksi mobilisasi sendi. Kuncinya

adalah melokalisasi kontraksi ke area yang diinginkan. Sementara fraktur avulsi

terjadi dengan penggantian elemen tulang akibat kontraksi hebat pada tendon

yang terinsersi, konsep serupa dapat diterapkan secara menguntungkan untuk

memindahkan elemen tulang dengan kontraksi sedang. (Deepak Sebastian : 2020).

Muscle energy technique (MET) adalah prosedur manipulatif yang berkembang

dari pengobatan osteopatik dan dirancang untuk memanjangkan otot dan fascia

serta untuk memobilisasi sendi. Prosedur ini menggunakan kontraksi otot volunter

dari pasien dalam arah yang terkontrol dengan baik dengan intensitas melawan

gaya lawanan yang diaplikasikan oleh praktisi. Karena prinsip inhibisi

neuromuscular digabungkan kedalam pendekatan ini, istilah lain yang digunakan

untuk menjelaskan teknik ini adalah relaksasi pascaisometrik. (Carolyn Kisner :

2016).

Ischemic compression technique adalah suatu bentuk teknik pijatan

dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dengan terjadinya hyperemia reaktif pada

daerah trigger points serta adanya mekanisme spinal refleks yang memulihkan

3
spasme otot. Sasarannya adalah pada substansia gelatinosa dengan tujuan

memberikan inhibisi transmisi stimulasi nyeri (Nuri Syara : 2015). Ischemic

compression technique adalah perawatan mekanis myofascial trigger point yang

terdiri dari penerapan tekanan berkelanjutan dalam waktu yang cukup lama untuk

menonaktifkan trigger point. (Meridel L. Gatterman : 2011)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah

penelitian ini yaitu : Apakah ada pengaruh Muscle Energy Technique dan

Ischemic Compression Technique terhadap penurunan nyeri akibat Myofascial

Pain Syndrome?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh Muscle Energy Technique dan Ischemic

Compression Technique terhadap penurunan nyeri akibat Myofascial Pain

Syndrome.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tingkat nyeri myofascial pain syndrome sebelum

diberikan Muscle Energy Technique dan Ischemic Compression

Technique.

4
b. Untuk mengetahui tingkat nyeri myofascial pain syndrome setelah

diberikan Muscle Energy Technique dan Ischemic Compression

Technique.

c. Untuk mengetahui rata-rata tingkat nyeri myofascial pain syndrome

sebelum dan setelah diberikan Muscle Energy Technique dan Ischemic

Compression Technique.

A. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Sebagai bahan referensi atau rujukan bagi mahasiswa fisioterapi

atau pembaca lainnya yang ingin mengambil topik penelitian yang relevan.

1. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan feedback positif bagi masyarakat yang mengalami

myofascial pain syndrome dengan pemberian teknik fisioterapi yang

efektif dan efisien.

b. Dapat menambah wawasan atau pengetahuan peneliti tentang kondisi

myofascial pain syndrome dan dapat menambah pengalaman peneliti

tentang penanganan kondisi myofascial pain syndrome dengan

intervensi Muscle Energy Technique dan Ischemic Compression

Technique.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Myofascial Pain Syndrome

1. Definisi Myofascial Pain Syndrome

Myofascial pain syndrome adalah bentuk terapi jaringan lunak yang

berdasarkan pada respons neurorefleksif yang mengurangi ketegangan

jaringan. Kuncinya adalah lokasi titik terbaik masuk kedalam system

muskuloskeletal, penerapan tipe stres yang paling sesuai untuk memulai

inhibisi, dan sensitivitas dalam palpasi untuk bereaksi secara tepat

terhadap respon jaringan. Hasilnya adalah relaksasi jaringan ketegangan

dan penurunan kekakuan myofascial, menyebabkan perbaikan

ekstensibilitas jaringan dan mengurangi nyeri. (Deepak Sebastian:2020)

Myofascial pain syndrome biasanya banyak terjadi pada punggung

atas. Lokasi umum yang sering terjadi nyeri yaitu pada trapezius, levator

scapula, supraspinatus, infraspinatus, deltoid, subscapularis, rhomboid

major dan minor, dan pectoralis major. (Leon chaitow : 2016).

2. Etiologi Myofascial pain syndrome

Penyebab terjadinya myofascial pain syndrome disebabkan oleh

beberapa faktor antara lain :

6
a. Trauma pada jaringan myofascial dapat dibagi menjadi dua, yaitu

trauma makro dan trauma mikro.

1. Trauma makro adalah suatu cidera pada otot atau fascia. Ketika

jaringan myofascial mengalami cidera maka akan terjadi proses

inflamasi, diikuti dengan adanya produksi dari serabut kolagen.

2. Trauma mikro adalah suatu cidera yang berulang (repetitive injury)

akibat dari suatu kerja yang terus menerus dengan beban yang

berlebih. (Rozenfeld, 2017)

b. Degenerasi pada otot

Proses degenerasi pada otot akan terjadi penurunan jumlah serabut

otot, atrofi beberapa serabut, fibril menjadi tidak teratur, berkurangnya

30% masa otot terutama otot tipe II, degenerasi myofibril yang akan

mempengaruhi penurunan kekuatan dan fleksibilitas dari otot. (Laimi,

et al, 2017).

c. Ergonomi kerja yang buruk

Bekerja dalam postur yang buruk dengan mengangkat beban di

salah satu bahu dapat menyebabkan kompresi pada otot yang akan

memunculkan adanya MTrPs dan mengakibatkan iskemik lokal

sehingga tercetuslah MPS otot upper trapezius. (Unalan, Javid & Halil,

2010)

3. Tanda dan Gejala Myofascial Pain Syndrome

Myofascial pain syndrome biasanya bermanifestasi sebagai nyeri otot

regional terkait dengan kelainan pada fungsi motorik dan sensorik. Hal ini

7
ditandai dengan adanya taut band yang teraba dari otot yang mengandung

nodul lokal hiperirritable yang dikenal sebagai myofascial pain syndrome.

Otot yang mengekspresikan myofascial pain syndrome juga menunjukkan

fungsi yang berubah dalam bentuk kelemahan otot tanpa atrofi dan adanya

keterbatasan gerak. Respons kedutan lokal juga sering diamati dalam

hubungan dengan myofascial pain syndrome, yang diidentifikasi sebagai

kedutan cepat dan sementara dari taut band setelah diberikan stimulus fisik

dinamis. (Bourgaize, Newton, Kumbhare, 2018).

4. Patofisiologi Myofascial Pain Syndrome

Proses pertama kali dimulai dengan pelepasan asetikolin yang

abnormal sehingga memicu peningkatan ketegangan otot (pembentukan

taut band). Adanya taut band ini menyebabkan terjadi penyempitan aliran

darah sehingga terjadi hiposia lokal. Oksigen yang berkurang ini

mengganggu metabolisme energi mitokondria yang mengurangi ATP dan

menyebabkan distress jaringan dan pelepasan zat-zat yang peka. Zat-zat ini

menyebabkan rasa sakit dengan aktivasi reseptor. Gerwin memperluas

hipotesis ini dengan menambahkan detail yang lebih spesifik. Dia

menyatakan bahwa aktivitasi sistem saraf simpatik menambah pelepasan

asetikolin dan hipoperfusi yang disebabkan oleh kontraksi otot secara terus

menerus, menyebabkan iskemia otot atau hipoksia. Iskemia yang

berkepanjangan juga menyebabkan pelepasan kalsium, bradikinin, sitokin,

ATP dan substansi P yang merangsang nosiseptor di otot. Hasil akhirnya

yaitu menyebabkan rasa sakit yang dapat dilihat pada titik pemicu

myofascial. (Simmons : 2014)

8
5. Letak Myofascial Pain Syndrome

Myofascial Pain Syndrome adalah suatu titik/ tempat hiperiritabel

berlokasi di struktur otot atau fascia yang menegang, jika ditekan dapat

menyebabkan nyeri lokal atau menjalar (Tough dkk., 2009).

Fascia merupakan membran tipis yang bebas (superficial facia) atau

jaringan konektif yang tebal (deep fascia) dan menutupi struktur tubuh,

melindunginya serta mengikatnya dalam kesatuan struktural. Terdapat

perbedaan struktur fascia yang mengelilingi tulang, otot, dan sendi. Fascia

juga menyebar pada kulit, lapisan dari otot, ruang tubuh, dan cavities.

(Cael, 2010).

Fascia memiliki tiga lapisan, yaitu: superficial fascia, deep fascia, dan

subserous fascia. Superficial fascia terletak langsung di bawah lapisan

dermis dari kulit. Deep fascia dibentuk dari lapisan rumit yang

mengelilingi otot dan struktur internal. Lapisan ini berfungsi untuk

membantu pergerakan otot, menyediakan jalan terusan untuk saraf dan

pembuluh darah, menyediakan tempat tambahan untuk otot, dan sebagai

lapisan bantalan otot. (Cael, 2010).

Pada otot, berdasarkan letaknya, fascia dibagi menjadi 3 yaitu

epimysium, perymisium dan endomysium. Epimysium merupakan

jaringan myofascial terluas yang melapisi seluruh otot dan mengikat

seluruh fasikel. Perimysium merupakan jaringan fascia yang membungkus

sekelompok serabut otot ke dalam satu fasikel. Endomysium merupakan

jaringan fascia terdalam yang memisahkan antara seratserat otot. Ketiga

9
lapisan ini merupakan bagian dari deep fascia yang memisahkan antara

otot dengan otot yang lain (Warenski, 2011).

B. Tinjauan Tentang Nyeri

1. Pengertian nyeri

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak

menyenangkan, bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap

orang berbeda dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang

tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang

dialaminya (Tetty, 2015). Menurut Smeltzer & Bare (2002), definisi

tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan

individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu

mengatakkannya.

Menurut Guyton & Hall (1997), nyeri sering sekali dijelaskan

dan istilah destruktif jaringan seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar,

melilit, seperti emosi, pada perasaan takut, mual dan mabuk. Terlebih,

setiap perasaan nyeri dengan intensitas sedang sampai kuat disertai oleh

rasa cemas dan keinginan kuat untuk melepaskan diri dari atau

meniadakan perasaan itu. Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan

tubuh, timbul bila ada jaringan rusak dan hal ini akan menyebabkan

individu bereaksi dengan memindahkan stimulus nyeri.

2. Penyebab nyeri

10
Penyebab timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu

nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,

eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi.

Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri

terdapat empat proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan

persepsi.

Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen

menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls

nosiseptif. Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini,

yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara

maksimal terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai

serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta

dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,

merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi

eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.

Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju

kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik

menuju otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima

aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu

dorsalis medula spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak

neuron spinal.

Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri

(pain related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu

dorsalis medula spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya.

11
Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat

ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur

desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak

lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya

menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah

penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di

kornu dorsalis.

Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi

merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi,

aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri

adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf

bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang

secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor.

Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan

ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen. (Anas Tamsuri,

2006

3. Mekanisme nyeri

Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa

intesitas tinggi maupun rendah seperti perennggangan dan suhu serta

oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K + dan

protein intraseluler . Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan

menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada

beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga

12
menyebabkan peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri

dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang

akan merangasng nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan

tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau

allodynia). Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah

sehingga bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang

nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka akan terjadi

iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler dan H

+ yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin,

dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal,

tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosisepto.

Bila nosiseptor terangsang maka mereka melepaskan substansi

peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida (CGRP), yang akan

merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh

serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab

untuk serangan migrain . Peransangan nosiseptor inilah yang

menyebabkan nyeri. (Silbernagl & Lang, 2000).

4. Gate Control Theory

Teori Kontrol Gerbang Nyeri ( Gate Control Theory ) Tahun 1959

Milzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang

menyatakan terdapat semacam pintu gerbang yang dapat memfasilitasi

transmisi sinyal nyeri. (Hartwig & Wilson, 2005) Gate Control Theory

13
merupakan model modulasi nyeri yang populer. Teori ini menyatakan

eksistensi dari kemampuan endogen untuk mengurangi dan

meningkatkan derajat perasaan nyeri melalui modulasi impuls yang

masuk pada kornu dorsalis melalui “gate” (gerbang). Berdasarkan

sinyal dari sistem asendens dan desendens maka input akan ditimbang.

Integrasi semua input dari neuron sensorik, yaitu pada level medulla

spinalis yang sesuai, dan ketentuan apakah gate akan menutup atau

membuka, akan meningkatkan atau mengurangi intensitas nyeri

asendens. Gate Control Theory ini mengakomodir variabel psikologis

dalam persepsi nyeri, termasuk motivasi untuk bebas dari nyeri, dan

peranan pikiran, emosi, dan reaksi stress dalam meningkatkan atau

menurunkan sensasi nyeri. Melalui model ini, dapat dimengerti bahwa

nyeri dapat dikontrol oleh manipulasi farmakologis maupun intervensi

psikologis (painedu.org, 2008).

C. Tinjauan Tentang Muscle Energy Technique

1. Definisi Muscle Energy Technique

Muscle Energy Technique (MET) adalah metode yang umumnya

digunakan untuk mencapai pelepasan tonus (ihibisi) pada otot sebelum

diregangkan. Pendekatannya melibatkan aplikasi dari kontraksi isometrik

pada otot sehingga menghasilkan relaksasi melalui pengaruhnya pada

golgi tendon organ (inhibisi autogenik). (Nambi, et al. : 2013).

Muscle energy technique merupakan teknik relaksasi otot dengan cara

pemberian kontraksi isometrik sebelum dilakukan stretching yang

14
bertujuan sebagai proprioceptive neuromuscular facilitation untuk

menghindari kerusakan jaringan lebih lanjut. (Fryer : 2011).

2. Tujuan Muscle Energy Technique

Muscle energy technique bekerja dengan merilekskan otot tanpa

menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan melalui tekanan yang ringan

dan lembut sehingga tidak membuat jaringan iritasi dan teregang kuat

(Leon Chaitow, 2006). Muscle energy techniques merupakan teknik

isometrik dan isotonik yang digunakan untuk strengthening atau

meningkatkan tonus otot yang lemah, melepaskan hipertonus, stretching

ketegangan otot dan fascia, dan meningkatkan fungsi muskuloskeletal,

mobilisasi sendi pada keterbatasan gerak sendi, dan meningkatkan

sirkulasi lokal (Fryer, 2011). Intervensi pada keterbatasan gerak sendi

dapat dimodifikasi dengan menggunakan Muscle Energy Technique soft

tissue stretching dan mobilisasi sistem osteoligamentous seperti yang

ditunjukan dengan peningkatan ROM melalui teknik pulse Muscle energy

techniques (Leon Chaitow, 2006).

3. Prosedur Pelaksanaan Muscle Energy Technique

a. Posisi pasien : Supine lying dengan comfortable

b. Posisi fisioterapis: Berada atas pasien, dengan tangan kanan berada di

area telinga/mastoid sisi yang sakit untuk memfiksasi dan tangan kiri

berada di bahu sisi yang sakit.

c. Teknik : Fisioterapis mengarahkan pasien untuk melakukan

posisi kepala kearah lateral fleksi lalu rotasi secara pasif. Kemudian

15
fisioterapis melakukan depresi shoulder secara pasif dan arahkan pasien

untuk melawan tahanan. Gerakan isometrik dilakukan selama 7-10

detik dengan pernapasan normal dipertahankan. Kemudian pasien rileks

dan lakukan stretching pada shoulder dan kepala secara bersamaan.

Selama fase rileksasi, derajat peregangan pada kepala ditingkatkan.

4. Frequensi Muscle Energy Technique

Teknik ini dilakukan selama 10 detik dengan 3-5 kali repetisi setiap 1

sesi pertemuan dengan 3 sesi per minggu selama 4 minggu (Nambi S et

al., 2013).

5. Prinsip Muscle Energy Technique

Muscle energy technique memiliki dua prinsip dalam menurunkan

nyeri dengan merileksasikan otot yaitu PIR (Post Isometric Relaxation)

dan RI (Reciprocal Inhibition).

a. Proses mekanisme PIR (Post Isometric Relaxation) melibatkan respon

golgi tendon organ yang akan merangsang implus saraf aferen

memasuki akar dorsal di tulang belakang dan bertemu dengan

inhibitory motor neuron. Hal ini berhenti di debit neuron aferen

motorik impuls yang akan mencegah kontraksi yang terus menerus

untuk relaksasi otot agonis.

b. Proses mekanisme RI (Reciprocal Inhibition) terjadi akibat receptor

stretch terhadap serat otot spindle. Spindle otot memainkan pada

proprioceptor untuk menanggapi peregangan sehingga memberikan

feedback terhadap perubahan kontraksi, otot spindle di debit impuls

saraf yang akan merangsang serat saraf eferen memasuki akar dorsal di

16
tulang belakang bertemu dengan excitatory dan berhenti di neuron otot

agonis yang akan menghambat neuron motor antagonis sehingga

mencegah terjadinya kontrakur (Leon Chaitow, 2011).

6. Efek pemberian muscle energy technique

a. Pada sirkulasi darah

Muscle energy technique merupakan teknik yang dilakukan secara

halus dan tanpa tekanan pada jaringan, yang diaplikasikan pada jaringan

yang mengalami ketegangan, pemendekan, dan kekakuan. Teknik ini

dapat menimbulkan pengaruh rileksasi pada jaringan sehingga

ketegangan pada jaringan akan berkurang, terjadi peningkatan sirkulasi

darah, meningkatkan metabolisme, dan oksigen dapat masuk ke dalam

jaringan (Leon Chaitow, 2011).

b. Pada vena dan limpatik

Dapat membantu aliran limpatik dan membersihkan jalan keluar

cairan jaringan sehingga memperbesar hipoalgesia dan merubah

tekanan intramuscular dan tonus pasif jaringan (Fryer, 2011).

c. Pada fascia

Pemberian muscle energy technique ini dapat melepaskan

perlengketan yang terjadi pada fascia dengan melepaskan jaringan

fibrosus penyebab stress mekanik yang menyebabkan ketenganan pada

fascia. Selain itu juga terjadi peningkatan sirkulasi darah dan

peningkatan metabolisme tubuh sehingga nyeri berkurang (Leon

Chaitow, 2011).

d. Pada otot

17
Otot yang kontraksi berlebihan akan mengakibatkan hipertonus.

Hal ini akan merubah fisiologi otot oleh mekanisme refleks. Ketika otot

berkontraksi, panjang dan tonusnya berubah yang mempengaruhi fungsi

biomekanikal, biokimia, dan immunologi. Muscle energy technique

memanjangkan otot yang terjadi pemendekan, mengurangi kontraktur,

mengurangi hipertonus otot dan secara fisiologis memperkuat

kelompok otot yang mengalami kelemahan. Muscle energy technique

dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kekuatan otot yang

mengalami kelemahan dengan cara pasien mengkontraksikan otot yang

mengalami kelemahan melawan tahanan fisioterapis secara kontraksi

isometrik dengan halus dan lembut (Leon Chaitow, 2011).

Peningkatan metabolisme pada otot akan mengurangi ketegangan

otot, memanjangkan otot melalui pengaruh rileksasi muscle energy

technique, pengaruh rileksasi jaringan lunak otot diperoleh dengan

mereduksi ketegangan jaringan kontraktil otot sehingga stress pada

jaringan otot berkurang dan meningkatkan kekuatan otot. Selain itu,

dapat menyeimbangkan kontraksi antara otot agonis dan antagonis pada

otot 33 postural yang mengalami ketidakseimbangan dimana satu sisi

mengalami kelemahan dan sisi lain mengalami pemendekan otot akibat

kesalahan postur (Grubb, et al., 2010).

7. Indikasi dan Kontroindikasi Muscle energy technique

a. Indikasi pemberian muscle energy technique yaitu:

1) Adanya kontraktur, pemendekan atau spastisitas pada otot.

18
2) Meningkatkan luas gerak sendi pada jaringan otot yang

mengalami kelemahan.

3) Adanya malposition pada struktur tulang.

4) Perbaikan pergerakan sendi yang berhubungan dengan disfungsi

artikular. (Grubb, et al., 2010)

b. Kontraindikasi pemberian muscle energy technique yaitu:

1) Cedera musculoskeleteal akut

2) Adanya fraktur tulang

3) Osteoporosis (Grubb, et al., 2010)

D. Tinjauan Tentang Ischemic Compression Technique

1. Definisi Ischemic Compression Technique

Ischemic Compression Technique merupakan pelepasan tekanan

trigger point diantaranya yaitu aplikasinya ditingkatkan secara perlahan,

tekanan bebas nyeri diatas area trigger point sampai batas dari tahanan

jaringan dapat ditemukan. Kontak tetap dipertahankan sampai batas

jaringan dilepaskan, dan tekanan ditingkatkan hingga mencapai batas baru

untuk melepaskan tegangan trigger point dan nyeri tekan. (Nambi, et al.,

2013).

Ischemic Compression Technique merupakan penerapan tekanan pada

trigger point untuk melepaskan trigger point. Ischemic Compression

Technique dilakukan dengan menekan titik trigger point dengan intensitas

19
nyeri yang dapat ditoleransi menggunakan tekanan ibu jari atau algometer

tekanan, dan ketika derajat nyeri berkurang, intensitas kompresi meningkat

secara bersamaan (Ravichandran, et al., 2016).

2. Tujuan Ischemic Compression Technique

Tujuan Ischemic compression technique yang dalam prakteknya

menggunakan prinsip penekanan (kompresi) yang ditujukan langsung

terhadap trigger point maka hubungannya dengan upper trapezius ini

yaitu pada nyeri myofascial syndrome yang ditandai dengan adanya taut

band jaringan otot dan tenderness (nyeri tekan). Karena dengan pengaruh

adanya tenderness dan taut band yang terjadi vasokontriksi pembuluh

darah maka dengan adanya penekanan (kompresi) maka darah pada

jaringan yang terhalang oleh trigger point akan menyebar ke area lain

disekitarnya sampai tekanan dilepaskan. Saat tekanan dilepaskan maka

akan terjadi limpahan aliran darah pada area trigger point yang dapat

membawa sisa-sisa metabolisme ke aliran darah. Zat sisa-sisa

metabolisme penyebab nyeri terbawa bersama dengan aliran darah

sehingga nyeri berkurang. (Leon Chaitow : 2011)

3. Mekanisme Ischemic Compression Technique Terhadap Penurunan Nyeri

Pemberian ischemic compression mampu memfasilitasi pengisian

arteri yang dapat mengurangi penumpukan zat iritan pada otot, sehingga

perubahan ini pada akhirnya dapat mengurangi rasa nyeri (Ni Made I, et al

: 2017).

4. Teknik Ischemic Compression Technique

20
a. Untuk mencari lokasi trigger point, palpasi pada otot untuk merasakan

adanya taut band atau respon kedutan pada muscle belly.

b. Umumnya lokasi trigger point pada upper trapezius di muscle belly,

sekita 1-2 inci pada proccessus acromion scapula.

c. Setelah trigger point ditemukan, lakukan ischemic compression berupa

tekanan menggunakan ibu jari ke lokasi trigger point secara bertahap.

d. Tekanan yang diberikan sampai batas toleransi rasa sakit pasien.

e. Tahan tekanan sekitar 20 detik hingga 1 menit sampai pasien merasakan

nyeri yang berkurang dan otot semakin rileks, lalu perlahan-lahan

tekanan dilepaskan (Nambi S, et al., 2013).

5. Prosedur Pelaksanaan Ischemic Compression Technique

a. Area yang akan diterapi dibersihkan dengan kapas yang telah dibasahi

air dan dikeringkan sebelum dilakukan penerapan teknik ischemic

compression.

b. Kemudian oleskan bedak tabur pada area yang diterapi untuk

mengurangi gesekan.

c. Terapis berdiri di belakang pasien, kemudian mempalpasi trigger point

point pada otot upper trapezius.

d. Terapis menerapkan teknik ini dengan menggunakan ibu jari.

e. Pastikan bahwa pasien tetap berada pada ambang batas toleransi rasa

sakitnya.

f. Kemudian tekananan secara bertahap dilepaskan dengan beberapa

goresan effleurage (Nambi S, et al., 2013).

6. Frekuensi Ischemic Compression Technique

21
Menurut Nambi S et al., 2013 teknik ini sebaiknya dilakukan

sebanyak 3-5 kali repetisi setiap pertemuan dengan 3 sesi per minggu

selama 4 minggu. Namun menurut Ravichandran et al., 2016 ischemic

compression technique dilakukan selama 3 kali repetisi dengan interval

istirahat 5 menit diantara sesi selama 4 minggu.

7. Indikasi dan kontraindikasi ischemic compression technique

a. Indikasi dari ischemic compression technique yaitu:

1) Adanya trigger point yang teraktifasi

2) Mengalami sindrom myofascial

3) Terdapat thigtness atau kontraktur atau spastisitas serta perbaikan

pergerakan sendi yang berhubungan dengan disfungsi artikular.

b. Kontraindikasi dari ischaemic compression technique yaitu:

1) Apabila terdapat fraktur yang masih baru,

2) Terdapat infeksi aktif atau inflamasi,

3) Ulkus,

4) Keganasan,

5) Aneurisma,

6) Hipersensitivitas,

7) Osteoporosis,

8) Keadaan patologis (SCI atau kompresi cauda equine),

9) Luka terbuka,

10) Jahitan pada luka,

11) Hematoma. (Nambi S, et al., 2013).

E. Tinjauan Tentang Alat Ukur

22
1. Definisi Visual Analog Scale (VAS)

Myofascial pain syndrome biasanya berupa nyeri yang timbul ketika

adanya tekanan (palpasi) dan dapat diukur menggunakan Visual Analog Scale

(VAS). Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh seseorang sehingga dapat ditunjukkan dengan menggunakan

Visual Analog Scale (VAS). (Djohan Aras, dkk., 2016)

2. Tujuan Visual Analog Scale (VAS)

Vas bertujuan untuk mengukur kuantitas dan kualitas nyeri yang

pasien rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri mulai dari

“tidak nyeri, ringan, sedang, atau berat”. (Djohan Aras, dkk., 2016)

Secara operasional VAS umumnya berupa sebuah garis horizontal

atau vertikal, panjang 10 sentimeter (100mm). Pasien menandai garis dengan

memberikan sebuah titik yang mewakili keadaan nyeri yang dirasakan pasien.

(Djohan Aras, dkk., 2016)

Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan

deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang

lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat

vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/

reda rasa nyeri. Digunakan pada pasien anak > 8 tahun dan dewasa.

(Yudianta,dkk.2015).

3. Instruksi Visual Analog Scale (VAS)

Pasien diinstruksikan untuk menunjukkan lokasi nyeri pada garis

tersebut, kemudian diukur dan dimasukkan dalam kriteria intensitas nyeri.

Skor intensitas nyeri:

23
Skala 0- 0,4 : Tidak nyeri (tidak ada rasa sakit).

Skala 0,5- 4,4 : Nyeri ringan (masih bisa ditahan dan aktivitas tak

terganggu.

Skala 4,5-7,4 : Nyeri sedang (mengganggu aktivitas fisik).

Skala 7,5-10 : Nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas secara

mandiri). (Djohan Aras, dkk., 2016)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

1. Asumsi Kerangka Konsep

Myofascial pain syndrome merupakan implikasi dari terdapatnya

trigger point pada taut band yang disebabkan oleh perlengketan pada

struktur myofascial. Perlengketan tersebut terjadi karena terjadi iscemia

lokal akibat sirkulasi darah dan kebutuhan nutrisi berkurang serta hypoksia

di area taut band yang disebabkan oleh menumpuknya sisa metabolisme

yang sering disebut sebagai akumulasi asam laktat. Adapun penyebab yang

24
menimbulkan terjadinya myofascial pain syndrome yaitu trauma makro

dan mikro pada jaringan myofascial, degenerasi pada otot, ergonomi kerja

yang buruk dan postur yang jelek.

Myofascial pain syndrome dapat ditangani secara komprehensif

dengan modalitas fisioterapi. Pemberian Muscle Energy Technique dan

Ischemic Compression Technique dapat menurunkan nyeri dan spasme

otot sehingga secara langsung dapat menurunkan nyeri karena

berkurangnya akumulasi asam laktat.

1. Skematik

Penyebab
Myofascial pain syndrome
terjadinya
pada otot
myofascial pain
syndrome

Nyeri tekan, spasme


dan tightness pada otot

Ischemic
Muscle Energy
Compression
Technique
Technique

25

Perubahan Nyeri
Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

B. Hipotesis

C. Berdasarkan rumusan masalah, maka hipotesis penelitian ini adalah

pengaruh muscle energy technique dan ischemic compression technique

terhadap penurunan nyeri akibat myofascial pain syndrome di kampus jurusan

fisioterapi Poltekkes Kemenkes Makassar.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimen, dengan desain

penelitian “One Groups Pretest-Posttest Design”, yaitu penelitian

eksperimen yang dilaksanakan pada satu kelompok saja yang dipilih secara

random, dengan memberikan tes awal (pretest) sebelum diberikan perlakuan,

setelah diberikan perlakuan barulah memberikan tes akhir (posttest).

(Arikunto : 2010)

Desain Penelitian:

26
O1
S x O2

Gambar 4.1

Desain penelitian

Keterangan:

S : Sampel

O1 : Pre test

x : Pemberian Muscle Energy Technique dan Ischemic Compression

Technique

O2 : Post test

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini, tempat dan waktu penelitian adalah sebagai berikut :

1. Tempat penelitian

Tempat penelitian rencana akan dilakukan di kampus jurusan

fisioterapi Poltekkes Kemenkes Makassar yang terdapat di jalan

Paccerakkang, Daya, Kota Makassar.

2. Waktu penelitian

27
Penelitian ini akan berlangsung pada bulan Januari sampai dengan April

2022.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi penelitian

Populasi penelitian semua mahasiswa yang mengalami myofascial

pain syndrome di kampus jurusan fisioterapi Poltekkes Kemenkes

Makassar

2. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel penelitian dilakukan berdasarkan rumus Slovin:

N
n=
1+ N ¿ ¿

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling yaitu sampel dipilih oleh peneliti melalui serangkaian

proses assesment sehingga benar-benar mewakili populasi yang sesuai

dengan kriteria inklusi dan kemudian diberikan muscle energy technique

dan ischemic compression technique. Kriteria inklusi meliputi:

1) Semua mahasiswa jurusan fisioterapi Poltekkes Kemenkes

Makassar yang mengalami myofascial pain syndrome

2) Mahasiswa jurusan fisioterapi Poltekkes Kemenkes Makassar yang

bersedia dan sepakat menjadi sampel.

Sedangkan kriteria eksklusi adalah Mahasiswa jurusan fisioterapi

yang memenuhi kriteria inklusi namun terhambat untuk dijadikan

sampel penelitian.

28
3. Besar sampel

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rumus Slovin. Adapun

rumusnya adalah sebagai berikut :

N
n=
1+ N ¿ ¿

Keterangan :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

D = Derajat kebebasan (0,05)

Berdasarkan jumlah pasien myofascial pain syndrome yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di kampus jurusan fisioterapi

Poltekkes Kemenkes Makassar adalah 19 orang dan tingkat kepercayaan

adalah 0,05. Kemudian dimasukkan kedalam rumus sebagai berikut:

N
n=
1+ N ¿ ¿

19
n=
1+19 ¿ ¿

19
n=
1+19( 0,0025)

19
n=
1,0475

29
n=18,13

Jadi, berdasarkan hasil perhitungan sampel diatas diperoleh jumlah

sampel sebanyak 18 orang.

A. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

1. Identifikasi variabel

a. Variabel terikat (dependent) : myofascial pain syndrome

b. Variabel bebas (independent) : Muscle energy technique dan Ischemic

compression technique

1. Defenisi operasional

Berdasarkan variabel penelitian diatas, maka akan dijelaskan definisi

operasionalnya sebagai berikut :

1. Muscle energy technique adalah teknik relaksasi otot dengan cara

pemberian kontraksi isometric. Dilakukan relaksasi dan stretching pada

otot pasien selama 10 detik. Teknik ini dilakukan 3x seminggu dalam

waktu 4 minggu dengan repetisi sebanyak 5x disetiap minggunya.

2. Ischemic compression technique technique merupakan penerapan

tekanan pada trigger point yang dilakukan dengan menekan titik

trigger point dengan intensitas nyeri yang dapat ditoleransi pasien

menggunakan tekanan ibu jari, kemudian tahan tekanan selama 60 detik

dan ketika derajat nyeri berkurang tekanan dilepaskan secara perlahan.

Teknik ini dilakukan 3x seminggu dalam waktu 4 minggu dengan

repetisi sebanyak 5x disetiap minggunya.

30
3. Myofascial pain syndrome adalah suatu kondisi nyeri karena adanya

taut band yang disebabkan oleh adanya akumulasi penumpukan asam

laktat. Nyeri yang dihasilkan dapat diukur dengan Visual Analogue

Scale (VAS) menggunakan skala 0-10, angka 0 menunjukkan tidak ada

nyeri dan angka 10 menunjukkan sangat nyeri yang tak tertahankan.

Adapun kriteria obyektif :

a. Nyeri menurun jika nilai VAS berubah lebih kecil dari pre test ke

post test.

b. Nyeri menetap jika nilai VAS tidak mengalami perubahan dari pre

test ke post test.

c. Nyeri meningkat jika nilai VAS lebih besar dari pre test ke post test.

A. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Visual Analog

Scale (VAS).

B. Prosedur Penelitian

Populasi

Kriteria Kriteria
Inklusi Eksklusi

Sampel

Pre test

Visual Analog Scale

31
Ischemic
Muscle Energy
Post Test Compression
Technique
Technique

Analisis Data

Penyajian dan Pembahasan

Laporan Hasil Penelitian


Gambar 4.2

Prosedur penelitian

C. Prosedur Kerja

1. Peneliti mengajukan permohonan kepada ketua jurusan fisioterapi untuk

melakukan penelitian, setelah mendapatkan izin, peneliti melakukan

pemeriksaan/assessment pada mahasiswa jurusan fisioterapi Poltekkes

Kemenkes Makassar berupa deep palpasi dan friction, kemudian

didapatkan beberapa orang yang mengalami myofascial pain syndrome

dengan menyesuaikan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sehingga

sampel terpenuhi.

2. Pasien akan mendapatkan penjelasan mengenai tujuan, manfaat, cara kerja

dan resiko yang bisa saja muncul dalam penelitian ini. Bila pasien

bersedia, akan diberikan informed consent (lembar persetujuan) dan

menandatangani lembar tersebut.

32
3. Pasien yang telah menandatangani lembar persetujuan akan mengisi

lembar identitas diri, setelah itu dilakukan evaluasi pre test.

4. Pengukuran nyeri

Pasien dipersilahkan duduk kemudian peneliti menjelaskan kepada

pasien tentang nilai pada visual analog scale dan pasien diharapkan

memberitahui peneliti yang sejujur-jujurnya tentang nyeri yang di rasakan.

Setelah peneliti melakukan pemeriksaan berupa deep palpasi dan friction,

peneliti bertanya kepada pasien di angka berapakah nyeri yang dirasakan.

4. Prosedur pemberian intervensi

a. Prosedur pelaksanaan Muscle Energy Technique

1. Posisi pasien : Supine lying dengan comfortable

2. Posisi fisioterapis : Berada atas pasien, dengan tangan kanan

berada di area telinga/mastoid sisi yang sakit untuk memfiksasi dan

tangan kiri berada di bahu sisi yang sakit.

3. Teknik : Fisioterapis mengarahkan pasien untuk melakukan posisi

kepala kearah lateral fleksi lalu rotasi secara pasif. Kemudian

fisioterapis melakukan depresi shoulder secara pasif dan arahkan

pasien untuk melawan tahanan tersebut. Gerakan isometrik

dilakukan selama 10 detik dengan pernapasan normal

dipertahankan. Kemudian pasien rileks dan lakukan stretching pada

shoulder dan kepala secara bersamaan. Teknik ini dilakukan 5

menit disetiap sesi dengan 5x repetisi.

b. Posedur pelaksanaan ischemic compression technique

1. Posisi pasien : Duduk dengan rileks secara comfortable

33
2. Posisi fisioterapis : Berdiri dibelakang pasien dengan kedua

tangan pada area trigger point

3. Teknik : Pastikan area trigger point tidak basah dan

bebas dari pakaian. Fisioterapis mempalpasi area trigger point

pasien, kemudian memberikan penekanan pada daerah ditemukannya

trigger point tersebut. Tekanan yang diberikan awalnya ringan

hingga meningkat. Pastikan bahwa pasien tetap berada pada ambang

batas toleransi rasa sakitnya. Proses ini diulang hingga

ketegangan/nyeri tidak lagi dirasakan pasien. Teknik ini dilakukan

selama 5 menit di setiap sesi dengan 5x repetisi.

5. Setiap setelah pemberian intervensi diukur kembali nyeri yang dirasakan

pasien dan dicatat hasilnya.

D. Analisis Data

Dalam menganalisis data penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti

manggunakan beberapa uji statistik sebagai berikut :

1. Uji statistik deskriptif, untuk memaparkan karakteristik sampel

berdasarkan prevalensi dan mean.

2. Uji analisis komparatif (uji hipotesis), jika hasil uji normalitas data

menunjukkan data berdistribusi normal sehingga digunakan uji statistik

parametrik, yaitu uji paired t sample dan uji independent t sample. Jika

hasil uji normalitas data tidak berdistribusi normal, maka dipergunakan uji

statistik non-parametrik, yaitu uji Wilcoxon dan ji Mann-Whitney.

34
DAFTAR PUSTAKA

Bonica’s , 2001, Management of Pain. Lippincott William & Wilkins


Philadelphia, pp 3-16

Carolyn, K., Lynn A. C. 2016. Terapi Latihan:Dasar dan Teknik. Vol 1 edisi 6

Deepak, S. 2020. Manual Terapi. Jakarta:EGC

35
I, Gede. D. 2017. Perbedaan Metode Integrated Neuromuscular Inhibition
Technique Dengan Deep Tissue Massage Dan Contract-Relax Stretching
Dalam Meningkatan Lingkup Gerak Sendi Servikal Pada Myofascial Pain
Syndrome Otot Upper Trapezius Di Sma Negeri 1 Semarapura. NASKAH
PUBLIKASI: 1.

Leon, C., Judith, D. 2011. Clinical Application of : Neuromuscular technique.


Vol. 1 the upper body.

Made, A. P. A,. Nila, W., I. Gusti A. 2017. Perbandingan Intervensi Muscle Energy
Technique Dan Infrared Dengan Contract Relax Stretching Dan Infrared
Dalam Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Leher Pada Pemain Game
Online Dengan Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius Di
Denpasar. Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 2: 14.

Makmuriyah., Sugijanto. 2013. Iontophoresis Diclofenac Lebih Efektif


Dibandingkan Ultrasound Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Myofascial
Syndrome Musculus Upper Trapezius: Jurnal Fisioterapi Vol. 13 No.1: 18.

Meridel, L., Gatterman. 2011. Whiplash : a patient centered approach to


management. Textbook of rheumatology, Philadelphia, 1980, Aunders,
PP485.493.

Nambi, S. Gopal., Ronak, Sharma, Dipika, Inbasekaran ., Apeksha. Vaghesiya.,


Urmi, Bhatt. 2013. Difference in Effect Between Ischemic Compression and
Muscle Energy Technique on Upper Trepezius Myofascial Trigger Points:
International Journal of Health & Allied Sciences Vol. 2 Issue 1: 17.

Nuri, Syara., Moh, Ali. 2015. Perbedaan Pengaruh Muscle Energy Technique
Dengan Ischaemic Compression Technique Terhadap Myofascial Trigger
Point Syndrome Otot Upper Trapezius. NASKAH PUBLIKASI: 3

Simons DG, Travell JG, Simons L. Travell Simons’ myofascialpain and


dysfunction: the trigger point manual. 2 ed. Vol. 1,Upper half of the body.
1999, Baltimore: Williams & Wilkins

Tansumri, Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC

36

Anda mungkin juga menyukai