Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan sekumpulan sindrom yang termanifestasikan sebagai


inflamasi akut poliradikulo neuropati sebagai hasil dari kelemahan dan penurunan refleks dengan
berbagai variasi klinis yang ditemukan (Andary, 2017). SGB merupakan onset akut, gangguan
sistem saraf perifer monofasik yang dimediasi oleh imun. SGB merupakan poliradikulo neuropati
dari sifat autoimun yang akut dan sering menjadi parah. Kasus SGB sering menjadi kondisi akut
yang bahkan dapat masuk pada kondisi kegawatan. SGB pertama kali ditemukan oleh Guillain
dan rekan di mana mereka menemukan gejala neuropati akut, paralisis, dan radikulo neuritis
setelah Perang Dunia ke-1 sekitar tahun 1916.

SGB merupakan kondisi akut yang menyerang sistem saraf perifer. Faktor pemicu SGB sebagian
besar adalah infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi saluran cerna. Berdasarkan tren
epidemiologi SGB di dunia sering didahului atau seiring dengan peningkatan kasus infeksi
seperti influenza (H1N1), hingga yang saat ini masih menjadi perhatian pada saat peningkatan
kasus infeksi arbovirus (Chikungunya dan Zika). Kasus SGB berdasarkan hasil studi di Eropa
dan Amerika Utara diperkirakan tingkat insidensinya 0.8-1.9 kasus per 100.000 penduduk per
tahun, pada anak-anak 0.6 kasus per 100.000 dan pada penduduk usia 80 tahun atau lebih
meningkat hingga 2,7 kasus per 100.000 penduduk (Willison, Jacobs, & Doorn, 2015). Di
Indonesia sendiri data SGB pada penelitian Deskripsi Luaran Pasien SGB dengan metode
Erasmus GBS Outcome Score (EGOS) di RSUPN Cipto Mangun Kusumo / RSUPN CM sejak
tahun 2010 hingga tahun 2014 didapat jumlah kasus baru SGB pertahun di RSUPN CM yaitu 7,6
kasus dan terjadi sepanjang tahun dan tidak mengenal musim (Zairinal, 2011).
PEMBAHASAN

A. Pengertian

GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh
imunitas, di mana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. GBS merupakan
suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang
jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. GBS merupakan
suatu polineruopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang
simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik
ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni
motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga
mengancam jiwa.
Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom klinis yang ditunjukkan oleh onset akut
dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup
demieliminasi dan degenerasi selaput mielin dari saraf perifer dan saraf kranial.
B. Penyebab
Penyebab umum GBS disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atau pencernaan.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada dewasa
muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu
kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita
membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.
Etiologinya tidak diketahui, tetapi respons alergi atau respons autoimun sangat
mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa sindrom tersebut berasal dari virus.
Akan tetapi, tidak ada virus yang dapat diisolasi sejauh ini. Sindron Guillain-Barre paling
banyak ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernafasan atau gastrointestinal)1 sampai 4
minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis. Pada beberapa keadaan dapat
terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus
primer, reaksi imun dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi beberapa proses.
Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang
menyerang saraf perifer. Mielin merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti
akson-akson saraf dan berperan penting pada transmisi impuls saraf.
C. Patofisiologi
Garis besar perjalanan klinis GBS terdiri dari dua pola khas yang dibagi menjadi fase
penyusun dan komponennya (gambar 1). Pertama, terjadi infeksi atau stimulasi sistem
kekebalan yang menyebabkan terjadi penyimpangan respon autoimun pada saraf perifer
dan cabang-cabang saraf tulang belakang. Dan juga terjadi mimikri molekuler antara
mikroba dan antigen saraf yang dapat mencetuskan terjadinya gangguan, biasanya
dijumpai pada kasus infeksi C. jejuni. Fase berikutnya adalah terdapat peran faktor genetik
dan lingkungan yang mempengaruhi kerentanan individu. Kelemahan anggota gerak sering
akibat keterlibatan saraf sensorik dan kranial, yaitu 1-2 minggu setelah terjadinya stimulasi
kekebalan tubuh, dan biasanya puncak defisit klinis terjadi pada minggu ke-2 sampai ke-4
(Willson, 2016).

Gambar 1. Perjalanan GBS (Willson, 2016).


Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan terjadinya GBS, dimana sistem imun tiba-
tiba menyerang saraf, namun teori yang paling sering adalah adanya organisme (misalnya
virus atau bakteri) mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun
mengenalinya sebagai sel-sel asing. Pada GBS terbentuk antibodi atau immunoglobulin
(Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh seperti bakteri
maupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin dan
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel
inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan
yang seharusnya menghasilkan materi lemak penghasil myelin. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun seperti limfosit dan makrofag menyerang myelin.
Limfosit T akan tersensitisasi bersamaan dengan limfosit B yang akan memproduksi
antibodi melawan komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi myelin (gambar
2).
Gambar 2. Demyelinasi saraf (Shahar E, 2006).
Mekanisme lain yang sering disebut pada GBS adalah mimikri molekuler. Mimikri
molekuler ini berhubungan dengan situasi dimana patogen dan tuan rumah memiliki antigen
yang hampir sama, atau reseptor sel B dan sel T tuan rumah dapat dikenali oleh peptida yang
tidak sesuai, yang mempengaruhi antibodi dan respon sistem imun sel T. Atau dengan kata
lain terjadi kesalahan sistem imun sehingga menyerang myelin atau akson. Kesalahan ini
terjadi karena permukaan mikroba (terutama C.jejuni) mengandung polisakarida yang
glikokonjugasinya mirip dengan sistem saraf manusia, kemiripan ini disebut molekuler
mimikri, yang dikenali oleh reseptor sel T dan sel B dari struktur mikroba serta dikenali juga
oleh antigen tuan rumah, yang disebut juga infeksi memicu antibodi silang reaktif yang
menyebabkan penyakit autoimun (Pithadia, 2010 dan Yu RK, 2006).
Target serangan imun adalah gangliosida, yaitu komlpeks glikospingolipid (kompleks
lemak dan karbohidrat) yang mengandung N- asetilneuremanik, sering dijumpai di dinding
sel saraf atau terdistribusi luas pada membran jaringan saraf terutama terletak pada nodus
Ranvier. Antibodi antigangliosida terutma antibodi antiGM1 banyak dijumpai pada kasus
GBS (20- 50%), terutama dipicu oleh infeksi C. jejuni (Pithadia, 2010 dan Yu RK, 2006).

Gambar 3. Mimikri molekular pada gangliosida dan C.jejuni lipopolisakarida (Yu


RK,dkk. 2006)

D. Manifestasi Klinis
Umumnya pasien akan mengalami satu kali serangan, berlangsung selama beberapa
minggu kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali. Kerusakan myelin
menyebabkan gangguan fungsi saraf perifer yakni; motorik, sensorik dan otonom.
Manifestasi klinis yang utama adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat
menimbulkan kematian.
E. Gejala Klinis

Gejala klinis GBS bervariasi. Kelemahan dan gangguan sensoris merupakan gejala
yang paling sering dijumpai. Biasanya bersifat progresif dimulai dari tungkai bawah dan
bergerak naik, menyebabkan kesukaran dalam bergerak yang sering disebut kaki karet,
kaki cenderung goyah dengan atau tanpa mati rasa atau kesemutansampai paralisis.
Kelemahan bergerak ke atas sampai otot lengan dan wajah,biasanya selama beberapa jam
sampai hari (24 – 72 jam). Seringkali, saraf kranial bawah terpengaruh, menyebabkan
kelemahan bulbar (disfagia orofaringeal, yang meliputi sulit menelan, meneteskan air liur,
dan / atau kesulitan mempertahankan jalan nafas terbuka) dan ophthalmoplegia, yang dapat
mempengaruhi otot-otot pernapasan sehingga menyebabkan gagal napas. Perjalanan
penyakit GBS di bagi menjadi 3 fase.
1. Faseprogresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis
pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan
fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Faseplateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta
kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan
dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai
fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase
plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fasepenyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf
mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal,
serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang
masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini
juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan
samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:
a. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP)

Merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan
dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel
Schwann.

b. Sindroma Miller Fisher (MFS)

Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis
desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai
otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia,
dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.

c. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina

Menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini
disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit
ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi
Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.

d. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN)

Mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga
menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat
dan sering tidak sempurna.

e. Neuropati panautonomik akut

Merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang
tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.

f. Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s(BBE)

Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia


atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan
penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler
terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya
berat, namun prognosis BBE cukup baik.
F. Anamnesis
Pengkajian terhadap komplikasi Sindrom Guillain-Barre meliputi pemantauan terus-
menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan.
Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan
mengobservasi klienterhadap tanda trombosis vena profunda dan emboli paru-paru, yang
sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
G. Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan berhubungan dengan
kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokal seperti melemahnya otot-
otot pernafasan.
H. Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama
klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan,
sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Guillain-Bare Syndrome (GBS)
biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan
tersebut diantaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia (kesemutan kebas)
dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstrimitas atas, batang tubuh, dan
otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.
I. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai retensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat
ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar
untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
J. PengkajianPsikososio Spiritual
Meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang
jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya. Kaji apakah ada dampak yang timbul
pada klien yaitu seperti ketakutan akan kecacatan, cemas, ketidak mampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
K. Pemeriksaan Fisik
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi nafas
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada
sistempernafasan serta akumulasi sekret akibat insufisiensi pernafasan. Tekanan darah
didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien)
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
a) B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan karena infeksi
saluran pernafasan dan yang paling sering ditemukan pada klien GBS adalah penurunan
frekuensi pernafasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernafasan.
b) B2 (Blood)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada system lainnya.
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Pada klien Sindro Guillain Barre biasanya kesadaran
klien komposmentis. Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran makan
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi
untuk memonitoring pemberian asuhan.
Pengkajian Fungsi Serebral. Status mental: observasi penampilan, tingkah laku, nilai
gaya bicara, ekpresi wajah, dan aktifitas motorik klien. Pada klien Sindrom Guillain
Barre tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien
mengalamiperubahan.
Pengkajian Saraf Kranial. Pengkajian saraf cranial meliputi pengkajian saraf cranial I-
XII.

 Saraf I. Biasanya pada klien Sindrom Guillain Barre tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman.
 Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisinormal.

 Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata,
paralisisokular.
 Saraf V. pada klien Sindrom Guillain Barre didapatkan paralisis wajah sehingga
mengganggu prosesmengunyah.
 Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisisunilateral.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tulipersepsi.
 Saraf IX dan X. paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah, dan
menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan
nutrisi viaoral.

 Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.


Kemampuan mobilisasi leherbaik.
 Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
Indra pengecapan normal.

Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan


koordinasi pada Sindrom Guillain Barre tahap lanjut mengalami perubahan. Klien
mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.

Pengkajian Refleks. Pemeriksaan reflex propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum


atau periosteum derajat reflex pada respons normal. Gerakan involunter : tidak ditemukan
adanya tremor, kejang, tic dan distonia.

Pengkajian Sistem Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang
dapat berkembang ke ektremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami
penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.

c) B4 (Bladder)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume


pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal.

d) B5 (Bowel)

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.


Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-
otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi
berkurang.

e) B6(Bone)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh
oranglain.
L. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan perkembangan gejala-
gejala klinik dan tidak ada satu pemeriksaan pun yang dapat memastikan GBS; pemeriksaan
tersebut hanya menyingkirkan dugaan gangguan. Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar
protein normal pada awalnya dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel
normal.
Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf.
Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksisaraf. Sekitar
25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap sitomegalovirus atau viru
Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa suatu perubahan respons imun pada antigen saraf
perifer dapat menunjang perkembangan gangguan.
M. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dapat merawat klien dengan GBS adalah untuk memberikan pemeliharaan
fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah
infeksi dan komplikasi imobilitas, serta memberikan dukungan psikologis untuk klien dan
keluarga. Sindrom Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dank lien
diatasi di unit perawatan intensif. Klien mengalami masalah pernapasan yang memerlukan
ventilator, kadang untuk periode yang lama.
N.

Anda mungkin juga menyukai