Anda di halaman 1dari 22

Dx.

Medis/Kasus : GBS (Gullain - Barre Syndrome ) Prodi Profesi Ners


Stikes Bhakti Al-
Qodiri

LAPORAN
PENDAHULUAN
GBS (Gullain - Barre
Syndrome )

1. Definisi
Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di mana proses
imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang
juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa
juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai
dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3
minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir
beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan mungkin
bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien,
meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap (Japardi, 2010).
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga merupakan
salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat diapstikan penyebabnya.
Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi diduga GBS terjadi karena sistem
kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya
perlahan mulai dari bawah atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau
gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah
sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all, dalam Ikatan
Fisioterapi Indonesia, 2007).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa GBS
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer dan nervus
kranialis.

2. Etiologi

Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat diketahui
1
dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu
kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated
process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa
kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi
saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat
gangguan di medula spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan
terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :
a. Infeksi virus atau bakteri GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS :

b. Vaksinasi
c. Pembedahan, anestesi
d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan
penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
f. Gangguan endokrin

2
3. Patofisiologis

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem
imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang
saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf,
sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin.
Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi
melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal
sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin
bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik
kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke
otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,
yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan
diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin
banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang
bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel
leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret
kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak
penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada
waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan
serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,
sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;

3
sehingga mempengaruhi tubuh penderita.
Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara,
sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien
akan kembali pulih. Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis
dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis,
menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan
sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat
progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada
tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini
terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf
akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan
paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering
setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson
membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf
perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis
dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif : Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa
berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu
yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi
4
menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi
berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau : Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam
memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu
dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan
cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya
sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien
biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi;
namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak
dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase
infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan,
sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan : Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan
dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf
mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk
otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta
mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih
didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga
bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam
3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang
lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf
yang terjadi pada fase infeksi.

5
4. Pathway

Infeksi pernafasan ringan atau infeksi GI, pembedahan, imunisasi, penyakit Hodgkin, limfoma, lupus Eritematosus.

Proses Inflamasi

Reaksi sel imono

Menyerang Mielin

Cidera dimelinasi

Ansietas Prognosis penyakit yang kurang baik GBS (Guillain Bare Syndrome)

B 1: BREATHING B 2: BLOOD B3: BRAIN B4: BLADDER B5: BOWEL B6 : Bone &
Integumen
Gangguan saraf perifer Disfungsi Sistem Saraf Otonomik Gg. fungsi saraf kranial Kerusakan neuro muskular Kerusakan neuro
muskular Gg. Saraf
Paralisis otot pernapasan Penumpukan vaskular Pelepasan reseptor nyeri Kehilangan sensasi perifer & neuro
Bradikinin Prostaglandin dan reflek sfingter Imobilisasi muscular
Ekspansi Paru Penurunan aliran darah balik vena
Nyeri Akut Inkontinen- Penurunan peristaltic Kelemahan
Pola napas Perfusi perifer tidak sia urin usus otot
tidak efektif efektif berlanjut
Konstipasi Imobilitas

Risiko Gangguan
integritas kulit /
jaringan
5. Tanda dan gejala
1. Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas
bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan
diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal
lebih berat dari bagian proksimal.
2. Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka
juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal
dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering
ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-
otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga
bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan
N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena
akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis laringeus.
4. Gangguan Fungsi Otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 .
Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat
atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai .
Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan Pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh
paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33
persen penderita.
6. Papiledema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
6. Pemeriksaan penunjang

7
1. Lumbar puncture
Memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang
normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan
protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, meungkin diperlukan
pemeriksaaan seri fungsi lumbal (perlu diulang dalam beberapa hari).
2. Elektromiografi
Hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sindrom yang timbul. Kecepatan
konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik yang
sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
3. Darah lengkap
Terlihat adanya leukosit pada fase awal
4. Foto rontgen
Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan seperti
atelectasis dan pneumonia
5. Pemeriksaan fungsi paru
Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemmapuan
inspirasi.
7. Penatalaksanaan
Tujuan utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuuk memberikan
pemeliharaan fungsi sistem tubuh. Dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam
jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis
untuk pasien dan keluarga.
1. Dukungan pernafasan dan kardiovaskuler
Jika vaskulatur pernafasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik.
Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari ventilator dalam
beberapa minggu. Gagal pernafasan harus diantisipasi sampai kemajuan gangguan merata,
karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi. Jika sistem saraf otonom yang terkena,
maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta
frekuensi jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat. Pemantauan jantung
akan memungkinkan disritmia teridentifikasi dan diobati dengan depat. Gangguan sistem
saraf otonom dapat dipicu oleh Valsava maneuver, batuk, suksioning, dan perubahan
posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
2. Plasmaferesis

8
Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk
menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan
secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma
diganti dengan yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak pusat pelayanan
kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika didapati keadaan pasien
memburuk dan akan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah dalam 2 minggu.
3. Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pad pasien dengan SGB.
Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot. Unit
stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada beberapa orang. Setelah itu nyeri
merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara. Nyeri
biasanya memburuk antara pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidur, dan narkotik
dapat saja digunakan secara bebas pada malam hari jika pasien tidak mengkompensasi
secara marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal pernafasan. Dalam kasus ini,
pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan narkotik.
4. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk makan per
oral, dapat dipasang selang peroral. Selang makan, bagaimana pun, dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter dan
perawat.
5. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan
ini,terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang memberikan
kenyamanan, analgesic dan kontrol lingkungan yang cermat (mis, mematikan lampu,
memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat membantu untuk meningkatkan tidur dan
istirahat. Juga harus selalu diingat bahwa pasien yang mengalami paralise dan mungkin
pada ventilasi mekanik dapat sangat ketakutan sendiri pada malam hari, karena ketakutan
tidak mampu mendapat bantuan jika ia mendapat masalah. Harus disediakan cara atau
lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui bahwa ia dapat meminta bantuan. Membuat
jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat membantu mengatasi ketakutan.
6. Dukungan emosional
Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien dan
keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang teratur tentang

9
intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus diperbolehkan untuk membuat
keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan pemulihan. Kadang pasien seperti
sangat sulit untuk dirawat karena mereka membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka
dapat menggunakan bel pemanggil secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat
harus mempertimbangkan untuk membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu
lebih banyak bersama pasien. Dengan menyediakan perawat primer dapat memberikan
pasien dan keluarga rasa aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang dapat menjadi
sumber informasi dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus
dilakukan secara.
8. Pengkajian fisik
Pengkajian pertama pasien gawat darurat adalah Initial Assessment, Initial Assessment
adalah suatu penilian kondisi awal korban maupun pasien yang dilakukan dengan cepat dan
tepat. Sehingga dengan adanya initial assessment ini penanganan korban maupun pasien bisa
dilakukan secara maksial tanpa membuang-buang waktu. Dalam initial assesmet ada tim yang
bertugas memberikan penilaian terkait kondisi korban maupun pasien. Biasanya penilaian
initial assessment berdurasi kurang dari 5 menit. Initial assessment digunakan dalam
penanganan gawat darurat seperti kecelakaan atau bencana alam yang melibatkan lebih dari 1
orang.
1) A (Airway)
Apabila pasien memberi respon dengan suara normal maka jala napas itu normal
(paten). Tanda-tanda adanya obstruksi jalan napas atau jalan napas yang terganggu
adalah sebagai berikut :
 Adanya suara bising (seperti stridor)
 Sesak napas (kesulitan bernapas)
 Resirasi paradox
 Penurunan tingkat kesadaran
 Adanya suara mendengkur
 Penanganan masalah Airway adalah :
 Head tilt and chin lift
 Pemberian oksigen
 Suction
2) B (Breathing)
Apakah ada sesak nafas ? pada komponen ini penilaian bisa dilakukan dengan

10
penilaian frekuensi respirasi, apakah normal ? Apakah lambat ? apalah terlalu cepat ?
Apakah tidak ada ? Apakah ada sianosis ? Berikut adalah penilaian yang perlu dilakukan
dalam tahap penilaian pernapasan :
 Frekuensi
 Adanya retraksi dinding dada
 Perkusi dada
 Auskultasi paru
 Oksimetri (97%-100%)
 Penanganan dalam maasalah pernapasan “
 Berikan posisi yang nyaman
 Menyelamatkan jalan napas
 Pemberian bantuan napas/oksigen
 Pemberian inhalasi
 Pemberian Ventilasi Bag-Mask
 Dekompresi ketegangan apabila ada pneumothorax
3) C (Circulation)
Pada penilaian sikulasi ini menitikberatkan pada penilaian tentang sirkulasi darah
yang dapat dilihat dengan penilaian sebagai berikut :
 Warna kulit
 Bekeringat
 CRV (Capillary Refill time)<2 detik
 Palpasi denyut nadi (60-100) menit
 Auskultasi jantung (sistolik 100-140 mmHg)
 Penilaian EKG
 Penanganan masalah sirkulasi adalah sebagai berikut :
 Menghentikan pendarahan (apabila ada)
 Mengangkat kaki lebih tinggi dari kepala
 Akses intravena
 Pemberian infus saline
4) D (Disability)
Disability menilai tentang tingkat kesadaran, dapat dengan cepat dinilai
menggunakan metode AVPU :

11
 A (alert) – Kewaspadaan
 V (voice responsive) – Respon Suara
 P (pain responsive) – Respon Rasa Nyeri
 U (unresponsive) – Tidak Responsif
 Reflex pupil terhadap cahaya
 Kadar gula darah
 Gerakan (movement)
 Penanganan masalah disability adalah sebagai berikut :
 Tangani jalan napas
 Manajemen pernapasan
 Manajemen sirkulasi
 Pemulihan posisi
 Manajemen glukosa untuk hipoglikemia
5) E (Exposure)
Adanya suatu trauma dapat mempengaruhi exposure, reaksi kulit, adanya tusukan
dan tanda-tanda lain yang harus diperhatikan. Dalam penilaian exposure dapat
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
 Eksposur kulit
 Keadaan suhu tubuh
 Penanganan masalah exposure adalah sebagai berikut :
 Berikan perawatan untuk mengatasi trauma
 Cari penyebab utama
Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial. Pengkajian terhadap
komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas
akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat
melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda dan
emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
a. Anamnesis
- Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, agama, pendidikan,
dan sebagainya.

12
- Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah
berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokalis
seperti melemahnya otot-otot pernapasan.
- Riwayat Penyakit, meliputi:
1) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang
paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien
dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan
ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien
stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang mungkin
menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan
disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda
vital.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering
digunakan klien, seperti pemakaian obat kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan
reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
- Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat
untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga
dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama

13
masa stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang
telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak
pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang
tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan
dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan
oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan
yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan
individu.
b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik
sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan
B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan - keluhan dari klien.
- B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan
paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena
melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan
dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS
berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.
- B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi yang
berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan ortostatik
Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi transien ) berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis.
- B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
1) Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien mengalami
penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai dan
sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan.

14
2) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien
dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien GBS tahap lanjut
disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalam perubahan.
3) Pemeriksaan saraf kranial
- Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
- Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
- Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata,
paralis ocular.
- Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga mengganggu
proses mengunyah
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral.
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
- Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan.
Kamampuan menelan kurang baik sehngga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
- Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan trapezius.kemampuan
mobliisasi leher baik.
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan normal.
4) System motoric
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut
mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
menggaganggu moblitas fisik .
5) Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum derajat
reflexs dalam respons normal.
6) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
7) System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke
ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan
penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.

15
- B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung ke ginjal.
- B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otototot pengunyah serta
gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral kurang terpenuhi.
- B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan mobilitas pasien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebh banyak dibantu orang lain.
c. Pemeriksaan Diagnostik
- Diagnosis GBS sangat bergantung pada :
- Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.
- Lumbal pungs dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan kenaikan
pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya peningkatan
konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal.
- Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pengujan
elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
- Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap cytomegalovirus
atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan respons imun pada antigen
saraf tepi menunjang perkembangan gangguan.
- Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan nilai
dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas pulmonal dapat
menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.
9. Diagnosa Keperawatan

a. Ansietas b.d ancaman terhadap kematian

b. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas

c. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan aliran arteri / vena

d. Nyeri akut b.d angen pencedera fisiologis (inflamasi)

e. Inkontinensia urin berlanjut b.d disfungsi neurologis

f. Konstipasi b.d kelemahan otot abdomen

16
g. Resiko gangguan integritas kulit / jaringan b.d penurunan mobilitas

17
10. Intervensi Keperawatan

No Dx keperawatan Intervensi keperawatan

1. Ansietas b.d ancaman


1. Identifikasi kemampuan mengambil
terhadap kematian keputusan

2. Ciptakan suasana teraupetik untuk


menumbuhkan kepercayaan

3. Motivasi mengidentifikasi situasi yang


memicu kecemasan

4. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama


pasien

5. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan


persepsi

6. Latih teknik relaksasi

7. Kolaborasi pemberian obat anti ansietas


, jika perlu
2. Pola napas tidak efektif b.d
1. Monitor pola napas
hambatan upaya napas
2. Monitor bunyi napas tambahan

3. Posisikan semi fowler atau fowler

4. Lakukan penghisapan lendir kurang


dari 15 detik

5. Berikan O2

6. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari,


jika tidak kontraindikasi

7. Kolaborasi pemberian bronkodilator

18
3.
Perfusi perifer tidak efektif 1. Periksa sirkulasi perifer
b.d penurunan aliran arteri /
2. Identifikasi faktor resiko gangguan
vena
sirkulasi

3. Hindari pemasangan infus atau


pengambilan darah di area keterbatasan
perfusi
4. Lakukan pencegahan infeksi

5. Lakukan hidrasi

6. Anjurkan meminum obat pengontrol


teknan darah
7. Informasikan tanda dan gejala darurat
yang harus dilaporkan

4. 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,durasi


Nyeri akut b.d angen
frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri)
pencedera fisiologis
2. Identifikasi skala nyeri
(inflamasi)
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memberberat
dan memperingan nyeri
5. Monitor efek samping pemberian
analgetik
6. Berikan tehnik non farmakologi untuk
mengurangi nyeri
7. Kontrol lingkungan yang memperberat
nyeri
8. Fasilitasi istirahat tidur
9. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

19
5.
Inkontinensia urin 1. Periksa kondisi pasien
berlanjut b.d disfungsi 2. Siapkan peralatan, bahan-bahan dan
neurologis ruangan tindakan
3. Siapkan pasien
4. Pasang sarung tangan
5. Bersihkan daerah parineal dengan cairan
Nacl atau aquadest
6. Lakukan insersi kateter urine dengan
menerapkan prinsip aseptik
7. Sambung kateter dengan urine bag
8. Isi balon dengan Nacl 0,9% sesuai
anjuran pabrik
9. Fixsasi selang kateter di atas simpisis
atau paha
10. Pastikan urine bag ditempatkan lebih
rendah dari kandung kemih
11. Berikan label waktu pemasangan
12. Anjurkan menarik napas saat insersi
selang kateter
6.
Konstipasi b.d 1. Identifikasi masalah usus dan
kelemahan otot penggunaan obat pencahar
abdomen 2. Monitor buang air besar

3. Berikan air hangat setelah makan

4. Sediakan makan tinggi serat

5. Jelaskan makanan yang membantu


meningkatkan keteraturan peristaltik
usus

6. Anjurkan mencatat warna, frekuensi,


konsistensi, volume feses

7. Anjurkan meningkatkan aktivitas fisik,


sesuai toleransi

8. Kolaborasi pemberian obat supositoria


anal, jika perlu.
20
7.
Resiko gangguan 1. Monitor karakteristik luka
integritas kulit / jaringan
2. Monitor tanda – tanda infeksi
b.d penurunan mobilitas
3. Bersihkan dengan cairan Nacl /
pembersih cairan non toksik
4. Bersihkan jaringan nekrotik
5. Berikan salep yang sesuai ke kulit
6. Pasang balutan sesuai jenis luka
7. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
8. Kolaborasi pemberian antibiotik

21
Daftar pustaka

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Jukarnain.,2011.”Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem


Persarafan”. Makassar.

Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia. 2007. Fisioterapi Guillain BarreSyndrome. Jakarta :


Ikatan Fisioterapi Indonesia.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Ed. 8. Jakarta: EGC

PPNI (2018). Standar Intevensi Keperawatan Indonesia : definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : definisi dan Kriteria hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik , Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

22

Anda mungkin juga menyukai