Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gullaine Barre Syndrom (GBS) merupakan suatu kelompok heterogen dari proses
yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana
sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh
adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. GBS merupakan suatu
polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang
simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala
sensorik ataupun otonom. Beberapa varian GBS melibatkan saraf kranial
ataupun murni motorik. GBS pada kasus berat, kelemahan otot dapat
menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa (Judarwanto,
2009).

Gullaine Barre Syndrom atau radang polineuropati demielinasi


akut adalah peradangan akut yang menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa
penyebab yang jelas. Sindrom ini ditemukan pada tahun 1916 oleh Georges
Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl. Mereka menemukan
sindrom ini pada dua tentara yang menderita keabnormalan peningkatan
produksi protein cairan otak. Diagnosis GBS dapat dilakukan dengan
menganalisis cairan otak dan elektrodiagnostik. Indikasi terjadinya infeksi
adalah kenaikan sel darah putih pada cairan otak, sedangkan bila
menggunakan elektrodiagnostik, dapat melalui pemeriksaan konduksi sel
saraf (Nugrahanti, 2010)

GBS merupakan kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak dan kadang-kadang
dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai menurunnya
refleks. Kelumpuhan juga dapat terjadi di otot-otot penggerak bola mata
sehingga penderita melihat satu objek menjadi dua yang dapat disertai
gangguan koordinasi anggota gerak (Depkes, 2011).

Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre
Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang
menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan
apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf
tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian
tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit
menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap
kerja sistem syaraf.

Jadi Guillain Barre Syndrom merupakan penyakit langka dimana sistem imun
menyerang sistem syaraf sehingga menyebabkan peradangan pada syaraf
yang ditandai dengan adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom.

Beberapa literatur mengatakan bahwa GBS mempunyai 6 klasifikasi, yaitu:


1. Acute inflamatorry demyelinating polyneurophaty (AIDP)
AIDP merupakan tipe SGB yang paling sering ditemui. AIDP terutama mengenai
neuron motoric, namun dapat mengenai neuron sensorik dan otonom.
Serologi C.jejuni di temukan positif pada sekitar 40% kasus subtype ini,
sebagian kecil ditemukan antibody GM1.
2. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi
saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson
dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit
demielinisasi.
3. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid
meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala
klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan
asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi
elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada
biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik.
Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang
1 tahun.
4. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia
terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi
ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi
dalam hitungan minggu atau bulan
5. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.

6. Acute pandysautonomia
Merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan
parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural,
retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan
lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

B. Etiologi
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom sampai saat ini masih belum dapat
diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Penyakit ini pada banyak
kasus sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi
saluran pernafasan dan saluran pencernaan. GBS sering sekali berhubungan
dengan infeksi akut non spesifik.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada
dewasa muda dan usia lanjut. Sindroma Guillain Barre dengan tipe yang berat
dapat menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan
perawatan segera dan sekitar 30% penderita membutuhkan penggunaan alat
bantu nafas sementara.

Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada
ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral.
Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus
(CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus. Penyebab bakteri yang
paling sering adalah Campylobacter jejuni. Penyakit ini dalam beberapa kasus
juga dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun. Kasus ini lebih dari
60% mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa minggu
sebelum onset. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Diare
5. Peradangan saluran nafas atas
6. Kelelahan
7. Demam
8. Kehamilan/ dalam masa nifas
9. Penyakit sistematik: keganasan, systemic lupus erythematosus tiroiditis,
penyakit Addison
C. Patofisiologi
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah
bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu
penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas
ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS,
sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson
saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.  

Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang
saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa
organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan
alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai
sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun,
seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T
yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi
melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi
dari myelin.

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh
suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik
yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator  dan melindungi
sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak
sinyal saraf yang ditransmisikan, sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot
dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini
merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan
diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini,
transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk Antibodi atau immunoglobulin (Ig) yang terbentuk pada
GBS adalah sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam
tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah
ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit,
sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan
sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi
myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada
telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut,
jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik,
dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau
terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita.

Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.  Untungnya, fase ini
bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal,
serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih. Seluruh saraf pada
tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis,
merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis
dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan
medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung
fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik,
dan otonom (involunter).

Pada GBS dapat terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS
dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis
tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila Selubung myelin yang
menyelubungi akson yang rusak atau hancur, transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal
ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri
dinamai demyelinasi primer.

Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam
beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam
proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi
yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat
ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada
area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering
setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena
regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung
myelin, yang sembuh lebih cepat.

Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung
saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama
demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif 
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul
nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan
gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus
GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan
GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi
menuju fase penyembuhan, dan mengurangi Risiko kerusakan fisik yang
permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah
berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan
Monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis perlu dilakukan Imunoterapi
dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan
membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada Pasien
biasanya didapati akan mengalami nyeri hebat akibat saraf yang meradang
serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa
pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.

3. Fase penyembuhan 
Akhirnya, Fase penyembuhan yang ditunggu terjadi dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang,
penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama
pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan
dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk
menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri,
yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga
bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala
ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada
fase infeksi.

D. Tanda dan Gejala


Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya
paralisis yang lengkap.
Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau
tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku
atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa
menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka
kaleng dll)
Gejala klinis lainnya yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe lower motor
newron. Pada sebagian besar Kelumpuhan sebagian besar di mulai dari
kedua eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan
anggota gerak atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat
anggota dikenai secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf
kranialis.
2. Gangguan sensibilitas
Parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga bisa di
kenai dengan distribusi sirkumoral.
3. Saraf kranialis
Saraf kranialis yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di
mulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa
di temukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai
kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV atau N.III.
bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan sukar menelan
(disfagia) dan pada kasus yang berat menyebabkan pernapasan karena
paralisis dan laringeus
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah
(facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya
keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia urin
jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari satu atau
dua minnggu.
5. Kegagalan pernapasan
Kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal
bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di
menyebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan,
yang di jumpai pada 10-33% penderita
6. Papiledema
Pada kasus GBS kadang-kadang di jumpai Papiledema pada kasus GBS juga
kadang-kadang di jumpai dengan penyebabnya yang belum diketahui
dengan pasti diduga karena penindian kadar protein dalam otot yang
menyebabkan penyumbatan arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang

E. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangangejala-gejala klinik dan tidak ada satu pemeriksaan pun yang
dapat memastikan GBS; pemeriksaan tersebut hanay hanya menyingkirkan
dugaan gangguan. Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal
pada awalnya dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung
jumlah sel normal.
Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi implus sepanjang serabut saraf.
Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju
konduksi saraf.

1. Cairan serebrospinal (CSS)


CSS yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya
jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis
(peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah
total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik,
bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS
tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah
onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam
CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm

2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi


(EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi
distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
keterlibatan bagianproksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS. Pada 90% Kasus GBS 90% yang telah terdiagnosis,
KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya
rekruitmen motor unit, dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan
potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo
CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah
terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta
disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan
yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% Penderita GBS 10%
menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya
KHS dan denervasi EMG.

3. Pemeriksaan darah
Pada Pemeriksaan darah tepi didapati didapatkan leukositosis polimorfonuklear
sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung
rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada GBS dengan fase
lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap
darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah
salah satu gejala.
4. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat
Dengan Peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, dapat terjadi akibat
demyelinasisaraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat
pada kurang dari 10%kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut
atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu
sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupunEBV.

5. Elektrokardiografi (EKG)
EKG pada kasus GBS menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus
takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering

6. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)


Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending)

7. Pemeriksaan patologi anatomi


Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat
limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada
GBS pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan
muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian
dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat,
mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi
yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan
saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuc lear
lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan
organ lainnya. Sekitar 25% orang Penderita dengan penyakit ini sekitar 25
% mempunyai antibodi baik terhadap sitomegalovirus atau virus
Epstein-Barr. Suatu perubahan respons imun pada antigen saraf perifer
dapat menunjang perkembangan gangguan.

F. Penatalaksanaan Medis
Sindrom Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasiendiatasi di unit perawatan intensif. Pasien yang mngalami masalah
pernapasan yangmemerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang
lama. Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila
diduga telah terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif
apabila didapati keadaan seperti ini. Pipa hidung-lambung (NGT) dapat
dipasang apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan maka perlu
dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan
makanan dan cairan. Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk
mempercepat proses pemulihan.

Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antbiotik ke dalam


sirkulasi sementara,yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat
membatasi keadaan yang memburuk dan demielinasi. Diperlukan pemantauan
EKG kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung.
Disritmia jantung dihubungkandengan keadaan abnormal autonom yang
diobati dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin
dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardiselama terapi fisik.
Pengobatan SGB terdiri dari 2 komponen, yaitu pengobatan secara suportif
dan terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap merupakan terapi yang
utama, jika pasien sebelumnya melewati fase akut pada penyakit,
kebanyakannya akan mengalami kesembuhan. Bagaimanapun, neuropati
dapat memburuk dengan cepat dan diperlukan intubasi endotrakeal dan
ventilasi mekanik dalam 24 jam selama onset gejala. Oleh karena itu, semua
pasien SGB harus diterima di Rumah Sakit untuk diobservasi tertutup untuk
kedaruratan system respirasi pasien, disfungsi kranialis, dan ketidakstabilan
system autonom. Disfungsi system saraf autonom dapat bermanfestasi;
tekanan darah yang berubah-ubah, disritmia, psudoobstruktif gastrointestinal
dan retensi urin. Profilaksis untuk trombosis vena dalam harus tersedia karena
pasien seringkali tidak dapat bergerak selama beberapa minggu.

Pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan Persiapan intubasi harus


dipertimbangkan jika terjadi depresi otot pernafasan. Pasien tidak sanggup
untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan intubasi. Penilaian
ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk progresi yang cepat
sangat diperlukan. Perkiraan tambahan untuk ventilasi mekanik selanjutnya
adalah waktu dari onset SGB sampai masuk RS kurang dari 7 hari:
● Ketidaksanggupan untuk mengangkat siku atau kepala dari tampat tidur
● Tidak sanggup berdiri
● Peninggian kadar enzim hati

Pada Pengobatan GBS dapat disimpulkan seperti dibawah ini:

1. Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan
disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot-otot
pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga
mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktive juga harus
disiapkan .
2. Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa. Pasien dengan progresivitas cepat dapat
diberikan obat-obatan berupa steroid.Namun ada pihak yang mengatakan
bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid
tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang
terjadi maupun mempercepat penyembuhan. Manfaat kortikosteroid untuk
SGB masih controversial. Apabila keadaan menjadi gawat akibat
terjadinya paralisis otot-otot respirasi maka kortikosteroid dosis tinggi
dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid harus diiringi dengan
kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi
3. Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek
lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang
paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah
munculnya gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi (40-50 ml / kg BB)
dengan saline dan albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif,
ketidakstabilan hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi
dari PE
4. Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi
autoantibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG,
yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells
patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu
setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari.
Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg.
5. Heparin dosis rendah dapat diberikan untuk mencegah terjadinya
trombosis
6. Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. Terapi psikologis termasuk
memijat dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering
merubah posisi dapat meringankan nyeri. Karbamazepin (tegretol) dan
Gabapentin (nerontin) telah digunakan sebagai tambahan untuk
menghilangkan nyeri pada SGB. Pada pasien dengan paralysis memiliki
jiwa yang was-was dan takut. Menenangkan pasien dan diskusi tentang
fase penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress psikologi
G. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus
terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam
kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat
melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda
trombosis vena profunda dan emboli paru-paru, yang sering mengancam
klien imobilisasi dan paralisis.
a. Anamnesis
1. Identitas, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan,
agama, pendidikan, dsb.
2. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot
baik kelemahan fisik secara umum maupun lokalis seperti
melemahnya otototot pernapasan.
3. Riwayat Penyakit, meliputi:
● Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal
napas. Melemahnya Otot-otot pernapasan yang lemah membuat
klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat
timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas
atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat
pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi
kardiovaskular, yang mungkin menyebabkan gangguan sistem saraf
otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia
jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam
tanda-tanda vital.
● Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang
meliputi pernahkan klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal,
dan tindakan bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang
sering digunakan klien, seperti pemakaian obat kartikosteroid,
pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai
resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya
pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian
dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
● Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada keluarga klien apakah ada anggota yang pernah mengalami
gangguan kesehatan yang sama dengan klien, dan tanyakan pula
apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami gangguan
ISPA ataupun yang lainnya

4. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada
klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan
perubahan perilaku akibat stres. Karena klien harus menjalani rawat
inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi
klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana
yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap
fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan
terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam
mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang
diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan
peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan
individu.

b. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per
sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
klien. Pada k Klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernapasan
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya
infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat
insufisiensi pernapasan. TD Tekanan darah (TD) didapatkan ortostatik
hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
● B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan
karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada
klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena
melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret
dari infeksi saluran napas.
● B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan
bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.
Tekanan darah didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat
(hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf
simpatis dan parasimpatis.
● B3 (Brain)
Pengkajian Brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan system lainnya. Pemeriksaan Brain meliputi:
- Pengkajian Tingkat Kesadaran
Klien dengan Sindrom Guillain Barre biasanya kesadaran klien
komposmentis. Apabila Klien yang mengalami penurunan tingkat
kesadaran maka penialaian GCS sangat penting untuk menilai
tingkat keasadarn klien dan bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan.
- Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian fungsi sersebral merupakan pengkajian yang menyangkut
status mental yaitu observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya
bicaram ekspresi wajah dan aktivitas motorik klien. Klien dengan
Sindrom Guillain Barre untuk tahap yang lebih lanjutnya disertai
penurunan kesadaran biasanya status mental klien mengalami
perubahan.

- Pengkajian Saraf Kranial


Pengkajian saraf cranial meliputi pengkajian saraf kranial I-XII:
Saraf I. Biasanya pada klien Sindrom Guillain Barre tidak ada kelainan
dari fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman dan Penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan membuka dan menutup kelopak mata
disebut paralisis okuler.
Saraf V. Klien dengan Sindrom Guillain-Barre didapatkan paralisis pada
otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dlam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduksi adan tuli persepsi
Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah
dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik sehingga
mengganggu pemenuhan nutrisi
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternkleidomantoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi paa satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal
- Pengkajian Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada
Sindrom Guillain Barre tahap lanjut mengalami perubahan. Klien
mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
mengganggu mobilitas fisik.
- Pengkajian Refleks
Pemeriksaan refleks propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
- Pengkajian Sistem Sensorik
Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.
Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba,
nyeri, dan suhu.
● B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke
ginjal.
● B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan denganpeningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi
berkurang.
● B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkanmobilitas klien secara umum. Dalam p Pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang
lain.
c. Pemeriksaan Tumbuh Kembang
1. Berat badan/tinggi badan
2. Motorik kasar
3. Motorik halus
4. Perkembangan bahasa
5. Perkembangan sosial
6. Reflek fisiologis dan patologis

d. Pemeriksaan Penunjang
1. Pungsi lumbal berurutan: memperlihatkan fenomena klasik dari
tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan
peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya Peningkatan
protein biasanya tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama,
mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang
untuk beberapa kali).
2. Elektromiografi: hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan
sindrom yang timbul. Kecepatan konduksi syaraf diperlambat pelan.
Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik yang sama)
umumnya terjadi pada fase akhir.
3. Darah lengkap: terlihat adanya leukositosis pada fase awal
4. Foto ronsen: dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari
gangguan pernafasan, seperti atelektasis dan pnemonia.
5. Pemeriksaan fungsi paru: dapat menunjukkan adanya penurunan
kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa utama pasien terdiri dari:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan
napas dibuktikan dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih,
ronkhi,dan gelisah (D.0001)
2. Gangguan penyapihan ventilator berhubungan dengan hambatan upaya
napas (kelemahan otot pernapasan), riwayat ketergantungan ventilator >
4 hari ditandai dengan frekuensi napas meningkat, nilai gas darah arteri
abnormal, upaya napas dan bantuan ventilator tidak sinkron, diaforesis
dan gelisah (D. 0002)
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
(kelemahan otot pernapasan) dibuktikan dengan pola napas abnormal
seperti bradipnea, takipnea, pernapasan cuping hidung (D. 0005)
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi)
dibuktikan dengan pasien tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi
meningkat (D.0077)
5. Risiko aspirasi ditandai dengan penurunan refleks muntah atau batuk,
gangguan menelan (D.0006)
6. Risiko penurunan curah jantung ditandai dengan perubahan frekuensi
jantung (D.0011)
7. Risiko defisit nutrisi ditandai dengan ketidakmampuan menelan
makanan (D.0032)
8. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskuler dibuktikan dengan kekuatan otot menurun (D.0054)
9. Ansietas berhubungan dengan kebutuhan tidak terpenuhi, disfungsi
sistem keluarga, kurang terpapar informasi dibuktikan dengan tampak
gelisah, tampak tegang, nadi meningkat, tekanan darah meningkat,
frekuensi napas meningkat (D.0080)
10. Gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan efek
ketidakmampuan fisik, terpisah dari orang tua dibuktikan dengan
pertumbuhan fisik terganggu, respon sosial lambat (D.0106)
11. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
dibuktikan dengan menanyakan masalah yang dihadapi (D.0111)

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Intervensi


1 Bersihan jalan napas tidak - Manajemen jalan napas (I.01011)
efektif berhubungan - Pemantauan respirasi (I.01014)
dengan spasme jalan napas
dibuktikan dengan batuk
tidak efektif, sputum
berlebih, ronkhi,dan
gelisah (D.0001)
2 Gangguan penyapihan - Penyapihan ventilasi mekanik
ventilator berhubungan (I.01021)
dengan hambatan upaya - Manajemen ventilasi mekanik
napas (kelemahan otot (I.01013)
pernapasan), riwayat
ketergantungan ventilator
> 4 hari ditandai dengan
frekuensi napas
meningkat, nilai gas darah
arteri abnormal, upaya
napas dan bantuan
ventilator tidak sinkron,
diaforesis dan gelisah (D.
0002)
3 Pola napas tidak efektif - Manajemen jalan napas (I.01011)
berhubungan dengan - Pemantauan respirasi (I.01014)
hambatan upaya napas - Pengaturan posisi (I.01019)
(kelemahan otot - Perawatan tracheostomy
pernapasan) dibuktikan (I.01023)
dengan pola napas
abnormal seperti
bradipnea, takipnea,
pernapasan cuping hidung
(D. 0005)

4 Nyeri akut berhubungan - Manajemen nyeri (I.08238)


dengan agen pencedera - Terapi relaksasi (I.09326)
fisiologis (inflamasi) - Terapi pemijatan (I.08251)
dibuktikan dengan pasien
tampak meringis, gelisah, - TENS (I.06211)
frekuensi nadi meningkat
(D.0077)

5 Risiko aspirasi ditandai - Pencegahan aspirasi (I.01018)


dengan penurunan refleks
muntah atau batuk
(D.0006)
6 Risiko penurunan curah - Perawatan jantung (I.02075)
jantung ditandai dengan - Pemantauan tanda vital (I.02060)
perubahan frekuensi - Pemantauan cairan (I.03121)
jantung (D.0011)

7 Risiko defisit nutrisi - Manajemen nutrisi (I.03119)


berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan
makanan (D.0032)
8 Gangguan mobilitas fisik - Latihan rentang gerak (I.05177)
berhubungan dengan - Dukungan mobilisasi (I.05173)
gangguan neuromuskuler
dibuktikan dengan
kekuatan otot menurun
(D.0054)
9 Ansietas berhubungan - Terapi relaksasi (I.09326)
dengan kebutuhan tidak - Teknik distraksi (I.08247)
terpenuhi, disfungsi sistem - Terapi musik (I.082520)
keluarga, kurang terpapar - Dukungan emosi (I.09256)
informasi dibuktikan
dengan tampak gelisah,
tampak tegang, nadi
meningkat, tekanan darah
meningkat, frekuensi
napas meningkat (D.0080)

10 Gangguan tumbuh - Perawatan perkembangan


kembang berhubungan (I.10339)
dengan efek - Terapi bermain (I.10346)
ketidakmampuan fisik,
terpisah dari orang tua
dibuktikan dengan
pertumbuhan fisik
terganggu, respon sosial
lambat (D.0106)

11 Defisit pengetahuan - Edukasi orangtua: fase anak


berhubungan dengan (I.12399)
kurang terpapar informasi - Edukasi pemberian makan anak
dibuktikan dengan (I.12403)
menanyakan masalah yang - Edukasi perawatan trakeostomi
dihadapi (D.0111) (I.12433)

4. Implementasi
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan berdasarkan intervensi yang ada

o Intervensi Implementasi
Manajemen jalan - Memantau pola napas (frekuensi,
napas (I.01011) kedalaman dan usaha napas
- Memantau bunyi napas (ronkhi, wheezing)
- Memantau sputum (warna dan jumlah)
- Mempertahankan jalan napas
- Melakukan fisioterapi dada
- Melakukan penghisapan lendir
- Kolaborasi pemberian bronkodilator,
mukolitik

ntauan respirasi - Memantau kemampuan batuk efektif


(I.01014) - Memantau saturasi O2
- Memantau hasil AGD
- Memantau hasil x-ray toraks

Penyapihan - Memeriksa kemampuan penyapihan


ventilasi mekanik (hemodinamik stabil, kondisi optimal)
(I.01021) - Memantau kemampuan untuk mentolerir
penyapihan (tingkat kemampuan bernapas,
kapasitas vital)
- Memantau tanda-tanda kelelahan otot
pernapasan (napas cepat dan dangkal)
- Memantau status cairan dan elektrolit
- Melakukan uji coba penyapihan
- Memberikan dukungan psikologis

Manajemen - Memeriksa indikator ventilator mekanik


ventilasi mekanik (kelelahan otot napas, disfungsi
(I.01013) neurologis)
- Memonitor perlunya penyapihan
- Memantau efek pemakian ventilator
terhadap status oksigen dan efek
sampingnya (x-ray, AGD, barotrauma,
penurunan curah jantung, distensi gaster,
dll)
- Memantau gangguan mukosa oral
- Melakukan perawatan oral, nasal, trakea
dan laring
- Kolaborasi dalam pemilihan mode
ventilator
- Kolaborasi pemberian sedatif sesuai
kebutuhan

Pengaturan posisi - Memantau status oksigen sebelum dan


(I.01019) sesudah mengubah posisi
- Mengatur posisi untuk mengurangi sesak
(semi fowler)
- Memposisikan untuk mempermudah
ventilasi/perfusi (tengkurap/good lung
down)
- Mengubah posisi setiap 2 jam

Perawatan - Memantau adanya sekresi, bakutan kotor,


tracheostomy lembab atau tanda sumbatan jalan napas
(I.01023) - Memantau tanda-tanda peradangan,
infeksi, edema pada stoma
- Mengatur posisi semi fowler
- Melakukan penghisapan trakeostomi
- Membersihkan stoma dan kulit sekitar
dengan kain kasa atau kapas lidi
- Mengganti ikatan trakeostomi yang kotor

Manajemen nyeri - Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,


(I.08238) durasi, frekuensi, intensitas nyeri
- Mengidentifikasi skala nyeri
- Mengidentifikasi respon non verbal
- Memonitor efek samping penggunaan
analgetik
- Kolaborasi pemberian analgetik
- Memberikan lingkungan yang nyaman
- Memfasilitasi istirahat dan tidur

Terapi relaksasi - Mengidentifikasi ketegangan otot,


(I.09326) frekuensi nadi, tekanan darah dan suhu
sebelum dan sesudah latihan
- Mengidentifikasi teknik relaksasi yang
efektif digunakan
- Memonitor respon terhadap terapi
relaksasi
- Melatih teknik relaksasi seperti napas
dalam, imajinasi terbimbing
- Menciptakan lingkungan yang tenang dan
tanpa gangguan dengan pencahayaan dan
suhu ruangan yang nyaman

Terapi pemijatan - Mengidentifikasi kontraindikasi terapi


(I.08251) pemijatan seperti penurunan trombosit
- Memonitor respon terhadap pemijatan
- Memilih area tubuh yang akan dipijat
- Menyiapkan lingkungan yang nyaman dan
jaga privasi
- Menggunakan lotion/minyak

Pencegahan - Memonitor tingkat kesadaran, batuk,


aspirasi (I.01018) muntah dan kemampuan menelan
- Memonitor bunyi napas setelah pemberian
makan
- Memerikasa residu gaster sebelum
memberi asupan
- Memeriksa ketepatan selang nasogastrik
sebelum memberikan asupan oral
- Mempertahankan posisi semi fowler
sebelum memberi makan terutama pada
pasien tidak sadar

Perawatan jantung - Memantau tanda dan gejala penurunan


(I.02075) curah jantung seperti dispbea, kelelahan
- Memantau tekanan darah
- Memantau intake dan output
- Memantau berat badan
- Memantau saturasi O2
- Memantau gambaran EKG

Manajemen nutrisi - Mengidentifikasi status nutrisi


(I.03119) - Mengidentifikasi kebutuhan kalori
- Mengidentifikasi perlunya penggunaan
selang nasogastrik
- Memantau asupan makanan
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menetukan jumlah kalori
Latihan rentang - Mengidentifikasi indikasi dilakukan
gerak (I.05177) latihan
- Mengidentifikasi keterbatasan
pergerakan sendi
- Memonitor lokasi ketidakyamanan atau
nyeri saat bergerak
- Mencegah terjadinya cedera selama
latihan
- Melakukan gerakan pasif dengan bantuan
susai indikasi
- Kolaborasi dengan fisioterapis

Teknik distraksi - Mengidentifikasi teknik distraksi yang


(I.08247) cocok
- Menggunakan teknik distraksi
(membacakan cerita, menonton, bermain)
- Membuat daftar aktivitas yang
menyenangkan sesuai kondisi

Terapi musik - Mengidentifikasi perubahan psikologis


(I.082520) yang akan dicapai (relaksasi, pengurangan
rasa sakit)
- Mengidentifikasi minat terhadap musik
- Mengidentifikasi musik yang disukai
- Memilih musik yang cocok
- Mengatur volume suara yang sesuai

Perawatan - Mengidentifikasi pencapaian


perkembangan perkembangan anak
(I.10339) - Mempertahankan lingkungan yang
mendukung
- Memotivasi anak berinteraksi
- Mmpertahankan kenyamanan
- Menganjurkan ortu untuk berinteraksi
dengan anaknya

Terapi bermain - Memonitor respon anak terhadap bermain


(I.10346) - Memonitor tingkat kecemasan anak
selama terapi
- Memilih permainan yang cocok (sesuai
tahap tumbang anak)

Edukasi orangtua: - Mengidentifikasi pemahaman ortu tentang


fase anak (I.12399) membesarkan anak
- Meminta ortu menjelaskan prilaku anak
- Mendengarkan keluhan dan masalah yang
dihadapi ortu
- Mengajarkan teknik komunikasi dengan
anak
- Memfasilitasi ortu untuk bertanya

Edukasi pemberian - Mengidentifikasi pemahaman keluarga


makan anak tentang pemilihan makanan
(I.12403) - Menyediak media pendidikan kesehatan
- Menjelaskan pentingnya menjaga
kebersihan mulut
- Mengajarkan ortu cara pemberian
makanan lewat selang

Edukasi perawatan - Mengidentifikasi kesiapan dan


trakeostomi kemampuan ortu dalam menerima
(I.12433) informasi
- Mengatur jadwal pendidikasn kesehatan
- Mengajarkan teknik membersihkan kulit
disekitar tracheostomi
- Mengajarkan teknik mengganti tali
- Mengajarkan ortu cara memonitor
pernapasan
- Mengajarkan ortu teknik menghisap lendir

5. Evaluasi
Evaluasi hasil yang bisa dilihat setelah dilakukan tindakan keperawatan antara
lain:
1. Bersihan jalan napas pasien meningkat dengan kriteria hasil batuk
efektif meningkat, produksi sputum menurun, ronkhi menurun, tidak
sianosis, tidak gelisah, frekuensi napas membaik.
2. Penyapihan ventilator bisa dilakukan dengan kriteria hasil penggunaan
otot bantu napas menurun, napas tidak megap-megap dan tidak
dangkal, nilai AGD membaik
3. Pola napas membaik dengan kriteria hasil dispnea menurun,
penggunaan otot bantu napas menurun, napas cuping hidung tiidak
terjadi, kapasitas vital membaik, kedalaman napas membaik.
4. Tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil pasien tidak tampak
meringis, tidak kesulitan tidur, frekuensi nadai normal, pasien tampak
tenang.
5. Tingkat aspirasi menurun dibuktikan dengan tingkat kesadaran
meningkat, kemampuan menelan meningkat, akumulasi sekret
menurun.
6. Penurunan curah jantung tidak terjadi dibuktikan dengan
hemodinamik stabil, gambaran EKG aritmia, tekanan darah membaik,
kapiler refill membaik.
7. Status nutrisi membaik ditandai dengan kekuatan otot menelan
meningkat, bising usus membaik, berat badan membaik.
8. Mobilitas fisik meningkat ditandai dengan pergerakan ekstremitas
meningkat, kekuatan otot meningkat, rentang gerak (ROM) meningkat
9. Tingkat ansietas menurun ditandai dengan perilaku gelisah menurun,
tingkat konsentrasi membaik, pola tidur membaik, hemodinamik
stabil, kontak mata membaik.
10. Status perkembangan sesuai usia membaik ditandai dengan
keterampilan sesuai usia meningkat, kontak mata meningkat dan
status pertumbuhan membaik ditandai dengan berat dan tinggi badan
sesuai usia meningkat.
11. Tingkat pengetahuan (orang tua) meningkat ditandai dengan
kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang penyakit GBS, perilaku
sesuai dengan pengetahuan, pertanyaan tentang penyakit anak
menurun, persepsi yang keliru terhadap penyakit anak juga menurun.

Anda mungkin juga menyukai