Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sindrom Guillain-Barre merupakan neuropati perifer dengan onset akut dengan gejala khas
kelemahan motorik yang berkembang secara cepat. Kelainan ini diawali dengan kejadian
autoimun dan diinisiasi dengan infeksi dalam 2/3 kasus, terutama infeksi respirasi dan
gastrointestinal.
GBS dapat dibagi menjadi 4 subtipe utama yaitu: acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP), subtipe axonal, seperti acute mo- tor axonal neuropathy (AMAN)
dan acute motor and sensory axonal neuropathy (AMSAN), dan Miller Fisher syndrome, gejala
utama termasuk disfungsi oculomotor, ataksia, dan arefleksia.1

Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan infeksi adalah Campylobacter jejuni.


Sedangkan mikroorganisme lainnya adalah cytomegalovirus, Eipstein-Barr virus, Mycoplasma
penumoniae, dan Haemophilus influenza.2

1.2. TUJUAN
Tujuan penulisan text book reading ini ialah untuk menambah pengetahuan pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya tentang Sindrom Guillain Barre. Sehingga kita dapat
memahami definisi, epidemiologi, tanda dan gejala klinis, diagnosis serta terapi Sindrom Guillain
Barre dan dapat memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat kepada pasien.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Sindrom Guillain-Barre, yang juga dikenal dengan paralisis Landry, adalah kelainan
autoimun dari sistem saraf yang ditandai dengan gejala khas kelemahan progresif pada ekstremitas
atas dan ekstremitas bawah, parestesia pada tubuh dan arefleksia relatif ataupun komplit. Pada
pasien SGB (Sindrom Guillain-Barre) sering didapatkan kelemahan nervus kranial, biasanya
dengan bentuk kelemahan facial atau faringeal. Pola yang terjadi biasanya diawali dengan paralisis
flaksid tipe ascending yang dapat bertambah parah dalam beberapa hari bahkan beberapa minggu.
Disfungsi otonom biasa terjadi dengan manifestasi kehilangan kontrol vasomotor yang berefek
pada tekanan darah, hipotensi postural dan aritmia kordis. Kegegalan sistem pernapasan dan
kelemahan orofaringeal mungkin membutuhkan ventilator terjadi pada 1/3 pasien yang dirawat
inap membuat SGB menjadi kelainan yang membutuhkan penanganan awal demi
mempertahankan tanda vital.3

Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis
tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal.
Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916,
Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein
cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai
disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut
Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu
menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG. 3

2.2 EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Utara dan Eropa, sekitar 5% pasien dengan SGB memiliki subtype axonal,
sedangkan di Amerika Tengah dan Selatan, serta Jepang dan Cina mencapai 30-47% kasus;
Sindrom Miller Fischer ditemukan di sekitar 5% kasus dari SGB. Mengerti mengenai insiden

2
SGB sangat penting untuk identifikasi relasi antara kelainan itu sendiri dengan karakteristik
pasien seperti umur dan lokasi geografis dan menentukan apakah ada perubahan dari insiden
tersebut yang diikuti dengan paparan faktor lingkungan.1
Insidensi dari SGB telah ditemukan dengan angka di antara 0,16 dan 4,0/100.000/tahun
pada individual dengan berbagai usia, dan antara 0,5 dan 1,5/100.000/tahun pada individu
dengan usia di bawah 18 tahun. Angka tertinggi dilaporkan terjadi pada orang dewasa, terutama
pada usia lebih dari 75 tahun. Angka insidensi pun dilaporkan lebih tinggi pada pria dibanding
wanita yang merupakan hal yang tidak biasa terjadi pada kelainan autoimun. Di Indonesia kasus
GBS masih belum begitu banyak. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa insidensi terbanyak
di Indonesia adalah decade I,II, III (di bawah 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan
wanita hampir sama.4,5
AIDP adalah penyebab paling umum dari kelemahan akut umum, dengan insiden
pertahunnya berkisar antara 0,9 sampai 4 per 100.000 populasi. Neuropati dapat terjadi di
berbagai usia, dengan puncak onset sekitar 38 sampai 40 tahun. Yang mungkin didominasi tipis
oleh kaum pria. Sekitar 60-70% pasien dengan AIDP memiliki riwayat penyakit dahulu yaitu
infeksi beberapa minggu sebelum onset neuropati. Studi kontrol pada 154 pasien dengan SGB
mengungkapkan bukti serologik dari infeksi Campylobacter jejuni (32%), cytomegalovirus
(13%), Epstein–Barr virus (10%), and Mycoplasma pneumoniae (5%).6
Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy (AIDP) adalah subtipe paling
sering di daerah barat dengan patologi demyelinisasi primer dan berbagai derajat dari kerusakan
axonal sekunder. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) adalah yang tersering kedua dan
terjadi sebagai kelainan axonal primer yang berdampak pada saraf motoric saja. Varian aksonal
yang melibatkan saraf motorik dan sensorik lebih jarang terjadi dan dikenal sebagai Acute Motor
and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN).7

2.3 KLASIFIKASI

SGB adalah kelainan saraf tepi yang umum yang sulit dibedakan dengan beberapa
kondisi lainnya. Diagnosanya berdasarkan temuan klinis yg tipikal/khas, pemeriksaan
elektrodiagnostik, dan pemeriksaan dari cairan serebrospinal. Semua itu berguna untuk
menentukan subtipe dari SGB karena bentuk axonal seperti AMAN dan AMSAN memiliki

3
prognosis yang lebih buruk. Satu-satunya temuan klinis yang diperlukan untuk mendiagnosa SGB
adalah kelemahan pada kedua lengan dan kaki. Progres dari gejala khasnya adalah lebih dari
beberapa hari sampai 4 minggu, gejala pun relative simetris, temuan gejala sensoris yang ringan,
dan gejala yang melibatkan nervus kranial dan disfungsi otonom. Semua gejala tersebut
mendukung diagnosis SGB. Ada perbedaan klinis dari beberapa subtipe SGB seperti yang ada
pada tabel 1.8

Tabel 1 Klasifikasi SGB9

Subtipe SGB adalah sebagai berikut:

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)


AIDP merupakan varian yang paling sering dijumpai dalam 85% kasus. AIDP
menyebabkan inflamasi pada akson perifer. AIDP klasik terjadi dengan kelemahan yang
bersifat progresif cepat dan bilateral (namun tidak harus selalu simetris). Parestesia dapat
ditemukan namun kelemahan tetap merupakan temuan predominan. Pasien dapat
mengeluhkan kesulitan berjalan atau naik tangga.8,10

2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)

4
AMAN mempengaruhi hanya motorik dengan melibatkan sistem pernafasan. Sering
menimpa anak-anak dan dewasa muda. Pasien datang dengan kelemahan otot proksimal
dan distal, terkadang dengan kelumpuhan dari otot-otot pernafasan. Penyebabnya belum
diketahui secara pasti walaupun salah satu teori mengatakan etiologinya adalah infeksi
Campylobacter jejuni. AMAN biasa diawali dengan nyeri gastrointestinal. Bersama
dengan AMSAN, axon merupakan target spesifik dari serangan autoimun.8,10

3. Acute Motoric and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)


Degenerasi terjadi di axon motorik maupun sensorik. Kehilangan sensasi dan kelemahan
ditemukan dan terkadang dengan paralisis sistem pernafasan. AMSAN tidak dapat
dibedakan secara klinis dengan AIDP akut. Kebanyakan pasien menjadi tetraplegia dan
sulit bernafas dalam hitungan hari. Mngkin dapat juga terjadi perubahan di pembuluh darah
maupun nadi.10

4. Miller Fisher Syndrome


Degenerasi dari akson dan demyelinisasi terjadi, mirip dengan AIDP. Pasien mengalami
keluhan penglihatan ganda, ataksia, dan vertigo. Dalam beberapa kasus, terdapat
kelemahan dari nervus kranial dan ekstremitas. Gejala berkembang beberapa hari sampai
beberapa minggu. Untuk mendiagnosis MFS dapat melalui trias: kelemahan otot
ekstraokuler, ataksia, dan arefleksia. Ptosis dan midriasis dapat terlihat di pemeriksaan.11

5. Acute Pandysautonomic Neuropathy


Merupakan varian yang paling jarang, dapat disertai dengan ensefalopati. Gejalanya
dapat terjadi kegagalan sistem simpatis dan parasimpatis.8

2.5 ETIOLOGI
Campylobacter jejuni
Infeksi diketahui sebagai prekursor awal dari Guillain-Barre syndrome. Campylobacter jejuni
merupakan pathogen yang sering teridentifikasi. Campylobacter jejuni adalah bakteri gram
negatif.10 Sekitar 20% pasien diawali dengan penyakit seperti diare. Studi dari Amerika Serikat
dan Eropa telah menunjukkan bukti serologis atau buktir kultur mengenai infeksi C jejuni yang

5
mengawali SGB di 26-36% pasien. SGB yang diawali dengan infeksi C jejuni diasosiasikan
dengan masa penyembuhan yang lebih lama, sisa kecacatan yang parah, dan degenerasi axonal.
Patogenesis dari C jejuni dapat dijelaskan dengan sistem “molecular mimicry”. Gangliosida
adalah molekul permukaan yang penting pada sistem saraf. Melalui konsep molecular mimicry
ini, antibody terbentuk melawan epitope yang mirip dengan gangliosida bereaksi dengan
sistem saraf tepi menimbulkan kerusakan.13
Cytomegalovirus
Cytomegalovirus merupakan infeksi tersering kedua yang dilaporkan. Bukti dari infeksi awal
Cytomegalovirus terdapat pada 5% pasien dengan SGB dalam studi Jepang dan 11-13% di
studi Eropa. Dalam sebuah studi Belgia, SGB dilaporkan tinggi sekitar 22%.
Ditemukan lebih sering pada wanita dan grup dewasa muda. Individu yang didahului infeksi
cytomegalovirus cenderung lebih parah dengan kesulitan bernafas. Bahkan sering berkembang
menjadi kelemahan nervus kranial (biasanya facial palsy bilateral) dan kehilangan sensorik
yang parah.13
Infeksi lainnya.
Eipstein Barr virus dan Mycoplasma pneumonia sering ditemukan di SGB. Bukti serologic
dari infeksi Haemophilus influenzae, parainfluenza type 1 virus, influenza A and B viruses,
adenovirus, varicella zoster virus, and parvovirus B 19 jarang terjadi.13
Agen infeksius lain yang berhubungan dengan SGB termasuk influenza, hepatitis A, B, C,
dan E, dan juga Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada infeksi HIV, biasanya AIDP
timbul pada waktu serokonversi atau pada awal perjalanan penyakit.
Vaksinasi terutama pada swine flu, dihubungkan dengan angka kejadian SGB. Beberapa
peningkatan resiko dari SGB berhubungan dengan vaksinasi influenza musiman. Beberapa
studi menunjukkan beberapa peningkatan resiko dari GBS berhubungan dengan vaksinasi
H1N1.
Beberapa kelainan dihubungkan dengan kemungkinan peningkatan resiko dari SGB
termasuk kelainan autoimun, limfoma, dan lainnya. Beberapa agen imunomodulator seperti
tumor necrosis alpha blockers dapat meningkatkan resiko terjadinya SGB.6

6
2.6 PATOFISIOLOGI

Sekitar 75% pasien memiliki riwayat infeksi sebelumnya, biasanya pada saluran pernafasan
dan gastrointestinal. Sejumlah besar infeksi telah dikaitkan dengan timbulnya sindrom, tetapi
hanya beberapa hubungan yang telah terbentuk. Sindrom ini dipicu oleh infeksi pada 3/4 pasien;
beberapa memiliki bukti serologis infeksi jejuni C dan beberapa terus mengeluarkan C jejuni di
faeces. Hubungan ini dengan infeksi sebelumnya menunjukkan bahwa kekebalan tubuh telah
diubah sebagai hasil dari infeksi tersebut sehingga berbagi epitop dengan antigen di jaringan saraf
perifer. Sekarang telah ditetapkan bahwa C jejuni lipopolisakarida berbagi epitop dengan
gangliosida tertentu seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. Hubungan terdekat antara antibodi
dan penyakit neurologis terlihat dengan sindrom Miller Fisher, di mana lebih dari 90% pasien
memiliki antibodi terhadap ganglioside GQ1b, meskipun hanya sebagian kecil dari pasien ini
memiliki bukti infeksi C jejuni sebelumnya. Dengan demikian, beberapa organisme yang berbeda
dapat bereaksi silang dengan antigen saraf perifer.

Antigangliosida antibodi ada di dalam serum banyak pasien dengan AMAN, dan patologi
menunjukkan bahwa antibodi memperbaiki komplemen, yang menarik makrofag dan mengarah
ke kerusakan aksonal.14

7
Gambar 1. Kemiripan struktural antara gangliosida GM1 di membran sel saraf dengan
lipopolisakarida C. Jejuni 15

Kemajuan besar telah dibuat dalam memahami mekanisme beberapa subtipe.


Penampilan histologis subtipe AIDP menyerupai neuritis autoimun eksperimental, yang sebagian
besar disebabkan oleh sel T yang diarahkan melawan peptida dari protein myelin P0, P2, dan
PMP22. Peran imunitas yang dimediasi sel T pada AIDP masih belum jelas dan ada bukti untuk
keterlibatan antibodi dan komplemen. Bukti kuat sekarang menunjukkan bahwa subtipe aksonal
dari sindrom Guillain-Barré, AMAN, dan AMSAN, disebabkan oleh antibodi terhadap gangliosida
pada aksolemma yang menargetkan makrofag untuk menyerang akson di nodus Ranvier. Sekitar
1/4 pasien dengan sindrom Guillain-Barré memiliki infeksi C. jejuni baru-baru ini, dan bentuk
aksonal dari penyakit ini sangat umum pada beberapa orang. Lipo-oligosakarida dari dinding

8
bakteri C. jejuni mengandung struktur seperti gangliosida dan injeksinya ke kelinci menginduksi
neuropati yang menyerupai neuropati akson motorik akut. [21-23] Antibodi untuk GM1, GM1b,
GD1a, dan GalNac-GD1a khususnya yang terlibat dalam neuropati aksonal motorik akut dan,
dengan pengecualian GalNacGD1a, pada neuropati aksonal motorik dan sensorik
akut.16

2.7 GEJALA KLINIS

Gejala-gejala sindrom dapat dibagi menjadi beberapa fase: 8


o Fase prodromal
Fase sebelum gejala klinis muncul
o Fase laten
Pengertian: waktu antara timbul infeksi/prodromal yang mendahuluinya
sampai timbulnya gejala klinis.
Lama : 1-28 hari, rata rata 9 hari.

o Fase progresif
fase defisit neurologis (+),beberapa hari – 4 minggu, jarang >8 minggu
dimulai dari onset (mulai terjadi kelumpuhan yang bertambah berat
sampai maksimal perburukan >8 minggu disebut chronic inflamatory
demyelinating polyradiculoneurophatty (CIDP)

o Fase plateau
kelumpuhan telah maximal dan menetap dengan fase pendek : 2 hari, >
3 minggu, jarang > 7 minggu

o Fase penyembuhan
fase perbaikan kelumpuhan motorik dalam beberapa bulan.

9
AIDP biasanya diawali dengan mati rasa dan kesemutan di kaki yang secara progresif ascending
dari kaki dan kemudian ke lengan. Mati rasa dan paresthesia juga dapat melibatkan wajah dan
tubuh. Sensasi nyeri neuritik yang parah, terasa seperti tertusuk-tusuk, atau terbakar di punggung
dan anggota badan terdapat pada setidaknya setengah pasien dan mungkin sangat umum pada
anak-anak. Sensasi sentuhan, getaran, dan posisi lebih parah dampaknya daripada rasa sakit dan
persepsi suhu. Meskipun gejala awal biasanya bersifat sensorik, kelemahan otot progresif dengan
cepat menjadi temuan dominan dalam banyak kasus.
Kelemahan progresif biasanya menyertai gangguan sensorik. Tingkat keparahan dapat
berkisar dari kelemahan distal yang ringan hingga quadriplegia lengkap dan kebutuhan ventilasi
mekanis. Kelemahan biasanya pertama kali dirasakan di kaki dan naik ke lengan, tubuh, kepala,
dan leher. Ropper melaporkan bahwa 56% memiliki onset kelemahan pada tungkai, 12% di
lengan, dan 32% secara bersamaan di lengan dan kaki. Kadang-kadang, ada temuan descending
dengan onset di saraf kranial, dengan berikutnya perkembangan ke lengan dan kaki. Kelemahan
wajah ringan juga jelas pada setidaknya setengah dari pasien selama perjalanan penyakit.
Ophthalmoparesis dan ptosis berkembang pada 5–15% pasien. usus besar dan kandung kemih
biasanya terhindar, meskipun ini mungkin terlibat dalam keadaan penyakit yang sangat parah.
Ketidakstabilan otonom sering terjadi pada AIDP dengan hipotensi atau hipertensi dan kadang-
kadang aritmia jantung.

10
Tabel 2. Kriteria Diagnosis SGB17

Sekitar 25-30% pasien dengan AIDP mengalami kegagalan ventilasi. Karena serangan
kekebalan dari AIDP memiliki predileksi awal untuk akar saraf. Karena alasan ini, penting untuk
melihat kekuatan dari fleksor and ekstensor leher serta abduktor bahu secara seksama. Kelompok
otot ini dipersarafi oleh akar servikal dekat dengan saraf frenikus (C3C4), dan dengan demikian,
berkorelasi baik dengan kekuatan diafragma dan kegagalan ventilasi yang akan datang. Setelah
nadir penyakit tercapai, ada fase plateau beberapa hari hingga minggu diikuti dengan pemulihan
bertahap selama beberapa bulan. Namun 50-85% pasien memiliki derajat gejala sisa 7 tahun
setelah onset penyakit.
Lebih lanjut, mungkin sebanyak 5-10% pasien yang awalnya membaik akan mengalami
kekambuhan dalam beberapa hari atau hingga 3 minggu setelah menyelesaikan pengobatan, dan
ada beberapa kasus CIDP yang telah dimulai secara akut. Oleh karena itu kadang-kadang sulit
untuk memastikan awalnya jika pasien akan berperilaku sebagai AIDP atau akan berevolusi
menjadi CIDP dan membutuhkan imunoterapi jangka panjang.
Diagnosis CIDP akut harus dipertimbangkan ketika pasien GBS memburuk lagi setelah
8 minggu dari onset atau ketika ada 3 atau lebih kambuh.

11
Tingkat mortalitas di GBS berkisar antara 2-5%, dengan pasien yang meninggal sebagai akibat
dari sindrom gangguan pernapasan, pneumonia aspirasi, emboli paru, aritmia jantung, dan sepsis
yang terkait dengan infeksi sekunder. Sebagian besar pasien meninggal selama periode
pemulihan dan tidak ketika mereka benar-benar semakin lemah. Faktor risiko untuk prognosis
yang buruk (pemulihan lebih lambat dan tidak lengkap) meliputi: usia lebih besar dari 50-60
tahun, timbulnya kelemahan yang mendalam, kebutuhan untuk ventilasi mekanis, dan penundaan
pengobatan dari onset kelemahan.6
Disfungsi otonom dapat timbul pada SGB. Manifestasi yang melibatkan otonom adalah
gangguan berkeringat, gangguan irama jantung, dan juga kontrol tekanan darah.18
Kelemahan progresif cepat adalah temuan klinis inti dari GBS. Kelemahan maksimal
dicapai dalam 4 minggu, tetapi kebanyakan pasien mencapainya dalam 2 hingga 3 minggu.
Setelah itu, pasien memasuki fase dataran plateau yang berkisar dari hari ke beberapa minggu
atau bulan (Gbr. 2). Fase ini diikuti oleh fase pemulihan yang biasanya lebih lambat. Di Eropa,
sekitar 1/3 pasien GBS tetap dapat berjalan (“pasien ringan”) sekitar 25% dari pasien GBS yang
tidak dapat berjalan ("pasien berat") membutuhkan ventilasi buatan,terutama karena kelemahan
otot-otot pernapasan. Meskipun pengobatan standar dengan imunoglobulin intravena (IVIG) atau
plasmapheresis (PE) , sekitar 20% dari pasien yang terkena dampak parah tetap tidak dapat
berjalan setelah 6 bulan. Selain itu, banyak pasien tetap dinyatakan cacat. Bahkan 3 hingga 6
tahun setelah onset, GBS memiliki dampak besar pada kehidupan sosial dan kemampuan untuk
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, GBS tetap merupakan penyakit berat
yang memerlukan perawatan yang lebih baik.2
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological
and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
A. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi
B. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

12
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5%
kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak
lain
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas
berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:


 Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:
 Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
 Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang 60% dari normal.2,4

13
2.8 DIAGNOSIS

Kelemahan progresif pada ekstremitas atas dan bawah dalam 4 minggu


bersama dengan areflexia adalah temuan penting untuk diagnosis. Tes pendukung
tambahan untuk GBS termasuk analisis CSF dan uji elektrodiagnostik, keduanya
mungkin normal pada fase awal GBS. Peningkatan konsentrasi protein CSF
(dengan jumlah sel normal) hanya ditemukan pada analisis CSF awal pada 50%
pasien; peningkatan konsentrasi protein CSF terjadi pada lebih dari 90% pasien di
puncak penyakit. Pleositosis CSF adalah bendera merah (red flag) yang penting,
yang menimbulkan pertanyaan tentang infeksi (HIV, CMV, Lyme, sarcoid),
carcinomatous, atau polyradiculoneuropath lymphomatous.16

UJI ELEKTRODIAGNOSTIK
Uji elektrodiagnostik (EDX) dilakukan untuk mendukung kesan klinis.
Pengujian EDX pada pasien GBS sering menunjukkan fitur demielinasi, seperti
dispersi temporal, kecepatan konduksi yang lambat secara signifikan, dan latensi
distal dan F-wave yang berkepanjangan. Fitur pengujian elektrodiagnostik
demielinisasi yang didapat (misalnya blok konduksi, dispersi temporal) sangat
membantu karena temuan ini merupakan karakteristik neuropati demielinasi yang
dimediasi imun. Pada awal GBS, compound muscle action potential (CMAP) distal
yang berkepanjangan dan dispersi temporal lebih sering terlihat daripada kecepatan
konduksi motorik lambat dan blok konduksi. Ciri uji elektrodiagnostik lainnya dari
GBS adalah pola "sural sparing"; yaitu, temuan dari respon saraf sensorik sural
yang normal dalam pengaturan abnormal saraf sensorik ekstremitas atas.
Pola ini sangat tidak biasa untuk neuropati selain GBS. Sural sparing,
penanda neuropati yang demyelinasi, lebih sering terlihat di kemudian daripada
pada tahap awal AIDP. Kelainan uji elektrodiagnostik lainnya sering ditemukan
pada awal GBS tetapi mereka kurang spesifik untuk GBS. Ini termasuk refleks H
tidak ditemukan, amplitudo rendah CMAP saraf motorik pada rangsangan distal,
dan respon gelombang-F yang berkepanjangan. Dilaporkan bahwa refleks-H tidak
ditemukan pada 97% pasien GBS dalam minggu pertama gejala. serangan. Ini juga
harus menunjukkan bahwa temuan pengujian elektrodiagnostik motor lebih sering

14
abnormal daripada hasil saraf sensorik di awal GBS. Studi refleks kedip sering
abnormal jika ada keterlibatan saraf wajah. Studi konduksi saraf frenikus dapat
digunakan untuk memprediksi kegagalan pernafasan dan kebutuhan untuk ventilasi.
Pengurangan amplitudo CMAP dari 0% -20% dari batas bawah normal membawa
prognosis yang buruk.
Hasil diagnostik berbagai kriteria neurofisiologis dapat bervariasi dalam
berbagai bentuk sindrom Guillain-Barré, yang prevalensinya bervariasi di berbagai
wilayah geografis. Dalam penelitian terbaru sensitivitas diagnostik Albers dkk,
Cornblath, Ho et al, Kelompok Studi GBS Belanda, Kelompok Studi GBS Italia,
dan Albers dan Kelly criteria dievaluasi dan memiliki korelasi dengan subtipe klinis
GBS, durasi, keparahan, dan hasil. Sensitivitas studi konduksi saraf dalam
diagnosis GBS dan dalam subtipe klinis yang berbeda dari GBS tertinggi
menggunakan kriteria Albers (88,2%) dan terendah menggunakan kriteria
Cornblath (39,2%). Sesuai Ho et al, pasien dapat dikategorikan ke dalam AIDP
(86,3%), AMAN (7,8%), dan AMSAN (5,9%). Temuan elektrofisiologi yang
diperlukan untuk mendiagnosis GBS ada pada Tabel 3.16

TEMUAN LABORATORIUM
Disosiasi albuminositologik, yaitu, peningkatan kadar protein CSF yang
disertai oleh hanya beberapa atau tidak sama sekali sel mononuklear, terdapat pada
lebih dari 80% pasien dalam 2 minggu. Namun, dalam minggu pertama gejala,
kadar protein CSF normal pada sekitar sepertiga pasien. Ketika CSF pleocytosis
lebih dari 10 limfosit / mm3 (terutama dengan jumlah sel lebih besar dari 50 / mm3)
ditemukan, neuropati AIDP-seperti yang terkait dengan penyakit Lyme, infeksi
HIV, atau sarkoidosis perlu dipertimbangkan. Tes fungsi hati yang meningkat
adalah hal yang biasa dan mungkin dikaitkan dengan hepatitis virus (A, B, C, dan
E), virus Epstein-Barr, atau infeksi cytomegalovirus. Beberapa pasien mengalami
hiponatremia karena sekresi anti-diuretik hormon (SIADH) yang tidak tepat.
Berbeda dengan bentuk aksonal GBS, antibodi antigangliosida tampak tidak umum
pada AIDP. Namun, antibodi yang ditujukan terhadap moesin, protein yang
diekspresikan pada mielin saraf perifer, telah ditemukan di AIDP terkait dengan

15
infeksi CMV baru-baru ini, Peningkatan akar saraf dapat ditemukan pada
pencitraan resonansi magnetik tulang belakang.
Berbagai kriteria elektrofisiologi untuk demielinasi telah dikembangkan
untuk membantu diagnosis AIDP seperti yang ditunjukkan pada tabel 4. fitur
elektrofisiologi demielinasi meliputi: latensi distal yang berkepanjangan, kecepatan
konduksi yang lambat, dispersi temporal, blok konduksi, dan perpanjangan F-
latensi gelombang.6

UJI OTONOM
Ketidakstabilan otonom dapat dinilai dengan melihat variabilitas denyut
jantung dengan pernapasan dalam atau manuver Valsava, dengan sekitar 35%
pasien menunjukkan kelainan.76 Respon kulit simpatik mungkin tidak ada, tetapi
ini memiliki sensitivitas yang buruk.6

PEMERIKSAAN NEEDLE ELECTROMYOGRAFI


Kelainan paling awal pada elektromiografi (EMG) adalah pengurangan
motor unit action potentials (MUAPs) .Gelombang tajam positif dan brillation
potentials dapat ditemukan 2-4 minggu setelah terjadinya kelemahan karena
beberapa derajat kehilangan akson umum terjadi bahkan di AIDP. Pelepasan
miokimik dapat terlihat, terutama pada otot wajah.6

2.9 DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding dari SGB antara lain:15


Kondisi Gejala/tanda pembeda Penunjang
Myelitis 1. Gangguan medula spinalis termasuk Analisis CSF:
transversalis mielitis transversal dengan motor pleositosis dengan
asimetris atau kehilangan sensorik jumlah limfosit
biasanya melibatkan ekstremitas bawah, sedang dan
disfungsi usus atau kandung kemih dini peningkatan total
dengan inkontinensia persisten, dan protein.
nyeri radikuler segmental.

16
2. Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda- MRI menunjukkan
tanda neuron motorik atas demielinasi fokal
(hyperreflexia, respon Babinski positif) dengan peningkatan
dan tingkat sensorik. yang pada tingkat
yang sesuai.

Myasthenia 1. Keterlibatan awal kelompok otot Studi elektrofisiologi


gravis termasuk ekstraokular, levator, rahang menunjukkan
faring, leher, dan otot-otot pernapasan. konduksi saraf
Terkadang ditemukan tanpa kelemahan normal dan adanya
anggota tubuh. respons penurunan
terhadap stimulasi
2. Keletihan yang berlebihan dan variasi saraf berulang.
gejala dan tanda-tanda sepanjang hari
adalah hal biasa. EMG menunjukkan
jitter dan blocking
3. Refleks dipertahankan, dan temuan abnormal.
sensorik, dysautonomia, dan disfungsi
kandung kemih tidak ada. Tes edrophonium
biasanya positif.
Namun, banyak
pusat tidak secara
rutin melakukan tes
ini karena efek
samping yang
potensial

Lambert- Sulit untuk dibedakan karena karakteristik klinis Studi elektrofisiologi:


Eaton yang serupa. Namun, beberapa karakteristik ciri khasnya adalah
myasthenic lebih khas untuk LEMS. Ini termasuk potensial aksi otot
syndrome perkembangan gejala klinis yang lebih lambat, senyawa amplitudo
(LEMS) mulut kering, kurangnya kehilangan sensori rendah (CMAP)

17
obyektif, keterlibatan kelompok otot pernapasan setelah stimulus saraf
yang jarang, dan potensi refleks setelah latihan tunggal, peningkatan
atau kontraksi. amplitudo CMAP
setelah kontraksi
volunter, atau
stimulasi berulang
pada frekuensi tinggi.

Botulisme 1. Riwayat memakan makanan yang Studi elektrofisiologi:


tercemar dengan botulinum toxin. mengurangi
amplitudo potensial
2. Kelumpuhan menurun dimulai di otot otot yang
bulbar kemudian anggota badan, wajah, ditimbulkan,
leher, dan otot pernapasan. peningkatan
amplitudo dengan
3. Otot pernafasan terlibat dengan stimulasi saraf
kelemahan ekstremitas ringan, dan berulang dan
refleks biasanya dipertahankan. peningkatan jumlah
unit miopati, yang
4. Ptosis, dilatasi pupil tidak reaktif tidak khas untuk
ditemukan. Dilatasi pupils tidak reaktif GBS.
tidak umum di GBS, tetapi lebih umum
pada botulism.

5. Sembelit/konstipasi juga merupakan ciri


khas botulism.

Poliomiositis Ada nyeri otot biasanya di bahu dan lengan atas, Peningkatan ESR dan
keterlibatan otot leher fleksor tidak proporsional CK, studi konduksi
untuk kelemahan ekstremitas, tidak adanya saraf normal, dan
gejala sensorik,refleks dipertahankan, tidak perubahan miopati
adanya dysautonomia, dan adanya lesi kulit,

18
yang merupakan presentasi yang jarang terjadi dengan fibrilasi pada
untuk GBS. EMG.

Biopsi otot
menunjukkan
kerusakan dan
regenerasi serat otot,
dan infiltrat limfosit.

Neuropati 1. Gambaran umum termasuk presentasi Mungkin mengalami


Vaskulitis asimetris yang terasa sakit dari peningkatan ESR.
kelemahan otot, keterlibatan saraf
kranial yang tidak biasa, paralisis CSF tidak
pernapasan, dan disfungsi sfingter. menunjukkan
disosiasi
2. Biasanya pasien mengeluh demam, albuminocytologic.
kelelahan, lemas, dan arthralgia
Studi elektrofisiologi
menunjukkan bukti
denervasi.

Biopsi saraf
menunjukkan tanda-
tanda peradangan
dan jaringan parut.

19
Tabel 3. Diagnosis Banding SGB21

2.10 MANAJEMEN TERAPI

PLASMAPHERESIS DAN IVIG


PE dan IVIG telah terbukti pengobatan yang efektif dari AIDP (Tabel 6).
Dalam uji coba Amerika Utara, PE mengurangi waktu yang diperlukan untuk
meningkatkan satu tingkat klinis, waktu untuk berjalan tanpa bantuan, waktu pada
ventilator, dan persentase pasien yang diperbaiki setelah 1 dan 6 bulan
dibandingkan dengan kelompok kontrol. French Plasmapherecis Group
memastikan bahwa PE dalam GBS adalah efektif. Mekanismenya belum dijelaskan,
tetapi kemungkinan PE menghilangkan autoantibodi, kompleks imun, komplemen,
atau faktor humoral lain yang terlibat dalam patogenesis AIDP. Standar PE adalah
200-250 mL / kg berat badan pasien selama 10-14 hari. Seorang pasien 70 kg akan
menerima 14.000-17.500 mL (14-17,5 L) total pertukaran, yang dapat dicapai
dengan 4-6 hari bergantian pertukaran 2-4 L masing-masing
IVIG telah menggantikan PE di sebagian besar pusat sebagai pengobatan
pilihan AIDP. IVIG terbukti setidaknya sama efektifnya dengan PE pada orang
dewasa nonambulator yang dirawat dalam 2 minggu pertama dalam uji coba

20
prospektif (Tabel 4) Secara signifikan, tidak ada manfaat tambahan IVIG setelah
PE, dan tentu saja tidak masuk akal untuk memberikan IVIG dan kemudian
melakukan PE. Dosis IVIG adalah 2,0 g / kg berat badan yang diinfuskan selama
2–5 hari. Percobaan acak diperlukan untuk menentukan efek IVIG pada anak-anak,
pada orang dewasa dengan penyakit ringan, dan pada orang dewasa yang memulai
pengobatan lebih dari 2 minggu. IVIG dapat menghambat pengikatan antibodi
gangliosida ke antigen respektif, sehingga mencegah aktivasi komplemen dan efek
patofisiologi berikutnya.
Perawatan dengan IVIG atau PE harus dimulai dalam 7-10 hari pertama
gejala. Karena perbaikan dengan PE dan IVIG tidak segera (waktu yang berarti
untuk peningkatan satu tingkat klinis dalam berbagai studi terkontrol, PE acak dan
IVIG berkisar antara 6 hari sampai 27 hari), ada dorongan untuk menambah upaya
pengobatan awal. Namun, tidak ada bukti bahwa PE melebihi 250 mL / kg atau
IVIG lebih besar dari 2 g / kg adalah memiliki manfaat tambahan pada pasien
dengan AIDP, yang memiliki defisit stabil yang tidak membaik secepat yang
diinginkan pasien dan dokter mereka. Lebih lanjut, seperti disebutkan di atas, tidak
ada indikasi untuk PE diikuti oleh IVIG atau sebaliknya. Meskipun demikian,
sebanyak 10% pasien yang diobati dengan PE atau IVIG mengalami kekambuhan
setelah perbaikan awal. Pada pasien yang mengalami relaps seperti itu, kami
memberikan kursus tambahan PE atau IVIG.6
Plasmapheresis diperkenalkan pada tahap awal GBS, intubasi awal dan ventilasi
mekanis memungkinkan untuk menghindari komplikasi yang paling parah:
pneumonia aspirasi dan gagal napas yang parah, contoh yang baik adalah pasien
yang disajikan dalam suatu penelitian. Plasmapheresis diperkenalkan pada pria
muda setelah aspirasi bronkus dan perkembangan pneumonia. Kriteria diagnosis
penyakit saluran pernapasan akut (ARDS) sudah terisi penuh. Lesi paru interstisial
bilateral dan indeks oksigenasi; rasio PaO2 dan fraksi oksigen inspirasi (FiO2) <200
mmHg (tepat 70 mmHg; PaO2 = 70 mmHg, FiO2 = 1.0) diamati. Pemulihan
mobilitas membutuhkan waktu yang lama. Plasmapheresis dan ventilasi mekanis
diperkenalkan segera setelah temuan gejala kegagalan pernapasan; otot pernafasan
kelelahan, yang memungkinkan untuk menghindari paru (pneumonia, ARDS) dan

21
komplikasi sistemik (sepsis), yang telah terjadi pada pasien pria GBS dan
pemulihan yang lebih cepat.20

Gambar 2. Plasmapheresis23

PROFILAKSIS DVT
Imobilisasi karena GBS merupakan faktor risiko untuk pengembangan deep
vein thrombosis (DVT). Waktu untuk berkembang menjadi DVT atau embolus paru
bervariasi dari 4 hingga 67 hari setelah onset.Anak-anak memiliki insidensi yang
sangat rendah. Ada kurangnya studi klinis yang membahas metode profilaksis
terhadap trombosis di GBS, durasi profilaksis, atau pemantauan pasien berisiko
trombosis. Studi observasional pada pasien bedah ortopedi atau umum
menyarankan manfaat dari subcutanous heparin (5000 U, 12 jam) dalam mencegah
DVT. Pada pasien medis akut, pengobatan profilaksis dengan enoxaparin subkutan
(40 mg setiap hari) mengurangi insidensi DVT dari 15% pada kelompok plasebo
untuk kira-kira 5% pada pasien yang diobati. Dalam sebuah meta analisis baru-baru
ini, penunjang mengurangi risiko hampir 70% pada pasien dengan risiko sedang
untuk pengembangan tromboemboli pasca operasi.22

TRAKEOSTOMI
Durasi rata-rata ventilasi di berbagai uji coba pengobatan telah berkisar
antara 15 dan 43 hari, menunjukkan bahwa sebagian pasien dapat terhindar dari
menerima trakeostomi. Trakeostomi dini meningkatkan kenyamanan pasien dan
keamanan saluran napas dan dapat membantu penyapihan. Di sisi lain, trakeostomi
bedah menghasilkan disfungsi permanen dan kadang-kadang dikaitkan dengan

22
perdarahan yang mengancam jiwa, infeksi, pelepasan tube secara tidak disengaja,
mediastinitis nekrosis fatal yang berhubungan dengan prosedur, fistula chikula
karena perforasi duktus toraksik, dan hipertrofik dan tracheostomy bekas luka
hipertrofik. Baru-baru ini, trakeostomi intravasional perkutan telah diperkenalkan,
tetapi teknik ini belum dibandingkan dengan trakeostomi tradisional di GBS. Dalam
uji coba secara acak pada pasien yang dipilih untuk trakeostomi elektif, trakeostomi
dilatasional perkutan lebih superior. Prosedur ini melibatkan sayatan kulit kecil dan
kemudian memasukkan kanula ke dalam trakea, diikuti oleh pengencer dari ukuran
yang semakin meningkat sampai tabung trakeostomi yang diinginkan dapat
ditampung. Trakeostomi perkutan dapat mengurangi risiko ekstubasi akut karena
fakta bahwa ia lebih pas di sekitar stoma. Hasil kosmetik yang lebih baik dapat
dihasilkan dari sayatan kulit yang lebih kecil.22

KORTIKOSTEROID
Antibodi anti-GM1 dan anti-GD1a IgG menyebabkan gangguan kanal
Nav yang ditengahi komplemen di nodus Ranvier dalam model kelinci dan tikus
dari AMAN. Dalam penelitian ini, methylprednisolone mengurangi baik deposisi
C3 maupun gangguan kanal Nav, menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak
mengurangi cedera saraf yang diperantarai komplemen dalam kelinci AMAN.
Sebaliknya,penelitian menemukan reduksi signifikan makrofag infiltrasi di akar
ventral dari metilprednisolon yang diobati pada kelinci AMAN, yang menegaskan
hipotesis bahwa kortikosteroid menghambat migrasi makrofag ke saraf perifer. 19
Kurangnya manfaat dari kortikosteroid kurang dapat dipahami tetapi
mungkin karena obat tersebut memiliki efek berbahaya pada otot dengan
meminimalisasi manfaat dari pengurangan peradangan dalam saraf. 27

MANAJEMEN MASALAH KANDUNG KEMIH DAN PENCERNAAN


Konstipasi sering terjadi pada pasien dengan tempat tidur. Sekitar
setengah dari pasien mengembangkan ileus pada fase akut, sering tetapi tidak selalu
dalam hubungannya dengan temuan lain dari dysautonomia. Dalam kasus lain,
risiko meningkat dengan imobilisasi jangka panjang, dosis tambahan opiat untuk

23
mengontrol rasa sakit, atau penyebab yang sudah ada sebelumnya seperti prosedur
abdominal sebelumnya.
Fungsi kandung kemih hanya dipelajari jarang pada fase akut GBS,
sebagian karena kebanyakan pasien diberi kateterisasi sebagai bagian dari
perawatan umum untuk menjaga kebersihan tubuh dan untuk menghindari distensi
kandung kemih. Voiding lebih sering dikompromikan dengan tipe-tipe axonal GBS.
Studi Urodynamic telah mendokumentasikan arelexia kandung kemih dan sensasi
kandung kemih yang terganggu.22

REHABILITASI
Meskipun sebagian besar pasien dengan GBS membutuhkan rehabilitasi,
tidak ada studi hasil rehabilitasi jangka panjang atau perbandingan metode yang
berbeda. Pada penyakit neuromuskular, unit motorik yang terkena yang terlalu lelah
dalam terapi dapat menghambat pemulihan dan menyebabkan pelemahan paradoks.
Perhatian perlu diberikan pada banyak detail yang tidak dapat diringkas secara
singkat. Ada bahaya pemendekan otot dan kontraktur sendi. Imobilisasi yang
berkepanjangan menyebabkan pengurangan volume darah dan peningkatan episode
hipotensi postural. Untuk beberapa pasien yang terimobilisasi, meja miring telah
berguna. Berat badan dan kehilangan sensoris yang signifikan membuat pasien
rentan terhadap kompresi saraf perifer dan pengembangan ulkus dekubitus,
membutuhkan posisi tidur yang tepat dengan sering terjadi perubahan. Pada pasien
yang tercatat mengalami imobilisasi hyperkalsemia, mobilisasi dini berkorelasi
dengan penurunan terapi. dalam kadar kalsium serum. Pada tahap akut, pasien
kehilangan berat badan. Selama pemulihan, mereka mendapatkan kembali berat
badan karena berkurangnya tingkat aktivitas.22

2.11 PROGNOSIS

Perjalanan klinis GBS pada pasien individu sangat bervariasi dan sulit
diprediksi. Usia lanjut umumnya dilaporkan sebagai faktor prognostik negatif.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan tingkat keparahan GBS
dapat ditentukan pada fase awal penyakit. Blok konduksi saraf peroneal dan usia di
atas 40 tahun berubah menjadi prediktor independen kecacatan pada 6 bulan. Kami

24
telah mengembangkan sistem penilaian prognostik klinis sederhana yang secara
akurat memprediksi kemungkinan berjalan independen setelah 6 bulan. Skala Hasil
Erasmus GBS (EGOS) dapat dengan mudah dihitung setelah 2 minggu pertama dari
onset penyakit menggunakan usia, adanya diare sebelumnya, dan skor cacat GBS.
Berdasarkan EGOS, peluang yang diprediksi untuk pulih menjadi independen
setelah 6 bulan berkisar antara 1% hingga 83%. Keakuratan skala dikonfirmasi
dalam kelompok independen pasien GBS. EGOS dapat digunakan untuk
menginformasikan pasien individu tentang prognosis mereka, selain itu dapat
digunakan dalam uji coba pengobatan baru yang lebih khusus menargetkan pasien
GBS dengan prognosis buruk. EGOS yang sedikit dimodifikasi yang dapat
menghitung prognosis hanya 1 minggu setelah masuk rumah sakit saat ini sedang
dibangun.2,24

Tabel 4. Skala Disabilitas pada SGB25

Hasil dan prognosis sindrom Guillain-Barré tergantung pada beberapa


faktor. Umumnya pada satu tahun sekitar dua pertiga telah pulih
sepenuhnya.Support ventilasi diperlukan di sekitar seperempat pasien. Pada satu
tahun 18% tidak dapat berlari, 9% tidak dapat berjalan tanpa bantuan, dan 4%
terikat dengan tempat tidur atau venilator tergantung.3 Dalam studi prospektif, 36%

25
mulai membaik selama minggu pertama dan 14 85% menunjukkan peningkatan
dalam waktu empat minggu. Tingkat kematian bervariasi di antara seri berbeda,
berkisar hingga 13% (tabel 8). Ditemukan sekitar 5% dalam pengaturan perawatan
intensif. Kematian tampaknya lebih sering terjadi pada kelompok usia yang lebih
tua. Sekitar 25% kematian terjadi selama minggu pertama dan sekitar 50% selama
bulan pertama. Penangkapan jantung sebagai akibat dari disfungsi auto- nomic
adalah penyebab kematian paling umum dan menyumbang sekitar 20-30%
kematian. Penyebab kematian lainnya termasuk infeksi dada, emboli paru, dan
kegagalan respirasi.11

26
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barre, yang juga dikenal dengan paralisis Landry, adalah


kelainan autoimun dari sistem saraf yang ditandai dengan gejala khas kelemahan
progresif pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, parestesia pada tubuh dan
arefleksia relatif ataupun komplit.3
Di Indonesia kasus GBS masih belum begitu banyak. Salah satu penelitian
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah decade I,II, III (di
bawah 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.4,5
Subtipe SGB adalah sebagai berikut:

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)


2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
3. Acute Motoric and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
4. Miller Fisher Syndrome
5. Acute Pandysautonomic Neuropathy

Infeksi diketahui sebagai prekursor awal dari Guillain-Barre syndrome.


Campylobacter jejuni merupakan pathogen yang sering teridentifikasi.12
Sekitar 75% pasien memiliki riwayat infeksi sebelumnya, biasanya pada
saluran pernafasan dan gastrointestinal. Sejumlah besar infeksi telah dikaitkan
dengan timbulnya sindrom, tetapi hanya beberapa hubungan yang telah terbentuk.
Sindrom ini dipicu oleh infeksi pada 3/4 pasien; beberapa memiliki bukti serologis
infeksi jejuni C dan beberapa terus mengeluarkan C jejuni di faeces. Hubungan ini
dengan infeksi sebelumnya menunjukkan bahwa kekebalan tubuh telah diubah
sebagai hasil dari infeksi tersebut sehingga berbagi epitop dengan antigen di
jaringan saraf perifer.14
Kelemahan progresif pada ekstremitas atas dan bawah dalam 4 minggu
bersama dengan areflexia adalah temuan penting untuk diagnosis. Tes pendukung
tambahan untuk GBS termasuk analisis CSF dan uji elektrodiagnostik, keduanya
mungkin normal pada fase awal GBS.16

27
Perawatan dengan IVIG atau PE harus dimulai dalam 7-10 hari pertama
gejala. Karena perbaikan dengan PE dan IVIG tidak segera (waktu yang berarti
untuk peningkatan satu tingkat klinis dalam berbagai studi terkontrol, PE acak dan
IVIG berkisar antara 6 hari sampai 27 hari), ada dorongan untuk menambah upaya
pengobatan awal.6
EGOS dapat digunakan untuk menginformasikan pasien individu tentang
prognosis mereka, selain itu dapat digunakan dalam uji coba pengobatan baru yang
lebih khusus menargetkan pasien GBS dengan prognosis buruk.2,24

28
DAFTAR PUSTAKA

1. McGrogan Anita, Gemma Madle, Helen Seaman, Corinne deVries . The


Epidemiology of Guillain-Barre Syndrome Worldwide.
Neuroepidemiology 2009;32:150–63
2. A. van Doorn Pieter, Krista Kuitwaard, Christa Walgaard, Rinske van
Koningsveld, Liselotte Ruts, Bart C. Jacobs. IVIG Treatment and
Prognosis in Guillain-Barre Syndrome. 2010;30:74-8
3. Manisha Shrivastava, Shah Nehal, Navaid Seema. Guillain–Barre
syndrome: Demographics, clinical profile & seasonal variation in a
tertiary care centre of central India. 2017;145(2): 203–8.
4. Erasmus. M.C. Guillain Barre Syndrome. Orphanet Encyclopedia.
2004;1:1-5
5. Bertorini, Tulio. Neuromuscular Case Studies. 2008;39: 275-9.
6. Amato Anthony, Russell James. Neuromuscular Disorders 2nd Edition.
2016;13:320-39.
7. Winer J.B. Review Article: An Update in Guillain Barre Syndrome.
2014;1:1-6.
8. Kiran Panesar, BPharmS (Hons), MRPharmS, RPh, CPh, MPS. Guillain
Barre Syndrome. US Pharm. 2014;39(1):35-38
9. Panesar,Kiran. Guillain Barre Syndrome. US Pharm. 2014;39(1):35-38
10. Feldman Eva L., Wolfgang Grisold James W. Russell, Udo A. Zifko.
Atlas of Neuromuscular Disease.2005;9:288-96.
11. Reid JM, Morrison I, Gorrie G, et al.Positive “ice-on-eyes” test in
Miller Fisher syndrome.Practical Neurology 2008;8:193-194.
12. Rees Jeremy H, PH.D., M.R.C.P., Sara E. Soudain, B.SC., Norman A.
Gregson, PH.D., Richard A.C. Hughes, M.D. Campylobacter Jejuni
Infection and Guillain Barre Syndrome. N Engl J Med 1995;333:1374-
9
13. Seneviratne, Udaya. Guillain Barre Syndrome. Postgrad Med J
2000;76:774–82

29
14. Winer John B.Clinical Review: Guillain Barre Syndrome.
2008;337:227-31
15. Nobuhiro Yuki. Guillain Barre Syndrome. N Engl J Med 2012;
366:2294-304)
16. A. K. Meena, S. V. Khadilkar, J. M. K. Murthy. Treatment Guidelines
for Guillain Barre Syndrome. Ann Indian Acad Neurol. 2011 Jul;
14(Suppl1): S73–S81.
17. AK Asbury, DR Cornblath. Assessment of current diagnostic criteria for

Guillain-Barré syndrome.Ann Neurol 1990,27:S21

18. RR Tuck, JG McLeod.Autonomic Dysfunction in Guillain Barre


Syndrome. Journal of Neurosurgery, Neurology, and Psychiatry 2014;
44:983-90.
19. Andary Michael. Guillain Barre Syndrome Differential Diagnoses.
2001 Dec. 54(6):381-5.
https://emedicine.medscape.com/article/315632-differential
20. Wojciech Szczeklik, Miłosz Jankowski, Wojciech Wę grzyn, Wiesław
Królikowski, Grażyna Zwolińskaw, et al.Acute respiratory failure in
patients with Guillain‐Barré syndrome and myasthenic crisis treated
with plasmapheresis in the intensive care unit . 2008; 118 (4): 239-242
21. AK Asbury, DR Cornblath. Assessment of current diagnostic criteria for

Guillain-Barré syndrome.Ann Neurol 1990,27:S21

22. Richard A. C. Hughes, MD; Eelco F. M. Wijdicks, MD; Estelle Benson;


David R. Cornblath, MD; Angelika F. Hahn, MD; Jay M. Meythaler, et
al. Supportive Care for Patients With Guillain-Barré Syndrome . Arch
Neurol. 2005;62:1194-8
23. Ashwani Kailiya. Plasmapheresis Market: Biopharmaceutical
Companies to Represent a Leading Revenue Contributor Throughout
2026. February 2018.
24. The Italian Guillain-Barre Study Group . The Prognosis and Main
Prognotic Indicators of Guillain Barre Syndrome. 2006;119:2053-61.
25. Hadden RD, Cornblath DR, Hughes RA, Zielasek J, Hartung

30
HP, Toyka KV. Electrophysiological classification of Guillain-Barré
syndrome: clinical associations and outcome. Plasma
Exchange/Sandoglobulin Guillain-Barré Syndrome Trial Group. Ann
Neurol. 1998 Nov;44(5):780-8.

26. Wang Y-Z, Lv H, Shi Q-G, et al. Action mechanism of corticosteroids


to aggravate Guillain-Barré syndrome. Scientific Reports.
2015;5:13931. doi:10.1038/srep13931.
27. Bansal BC, Sood AK, Gupta AK, Yadav P. Role of steroids in the
treatment of Guillain Barre syndrome - a controlled trial. Neurology
India1986;34(5):329-35.

31

Anda mungkin juga menyukai