Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kejadian multiple sclerosis (MS) di seluruh dunia adalah sekitar 2,5
juta orang. MS merupakan suatu penyakit neurologis autoimun dari sistem saraf pusat
(SSP), yang ditandai dengan demielinasi, kerusakan aksonal, dan kecacatan
neurologis progresif. Onset penyakit bisa diakibatkan oleh respon imun dari sel T
yang menyimpang terhadap beberapa antigen mielin. Etiologi MS sangat kompleks
dan belum dipahami dengan baik. MS dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. MS dapat menyebabkan kecacatan motorik yang serius, karena sekitar
50% pasien membutuhkan penggunaan kursi roda permanen.1

Mikroba bersimbiosis dengan inang manusia analog dengan simbiosis yang


ada di lingkungan ekologi. Mikroba komensal akan tinggal di inang manusia dan
menerima nutrisi dari makanan inang dan atau metabolit inangnya yang diproduksi
dari bakteri lain. Mikroba ini tidak menguntungkan inang mereka, tetapi mereka juga
tidak merugikan. Mikroba yang saling menguntungkan akan berperilaku seperti
komensal, keberadaannya akan memberikan manfaat langsung bagi inang mereka.2

Usus manusia mengandung 1014 bakteri yang memainkan peran utama dalam
mempertahankan keadaan yang sehat untuk inang. Mayoritas bakteri usus dikaitkan
dengan jalur metabolisme tertentu, yang pada gilirannya membantu dalam
pemeliharaan homeostasis imun dari inang. 3

Mikroba usus memiliki dampak signifikan pada metabolisme dan respon imun
dan neuron. Akibatnya, mikrobiota berpotensi mempengaruhi onset dan
perkembangan penyakit yang didefinisikan oleh beberapa sel efektor dan faktor
metabolik, imun, dan neuroendokrin yang dimodulasi oleh mikroba usus. 4

1
Penelitian menunjukkan bahwa dysbiosis (gangguan komposisi seimbang dari
mikrobiota usus) dikaitkan dengan penyakit gastrointestinal dan ekstra-
gastrointestinal. Penyelidikan terbaru menunjukkan kemungkinan peran mikrobiota
dalam patogenesis beberapa gangguan otak. 5

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan text book reading ini ialah untuk menambah pengetahuan
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya tentang hubungan mikrobiota
dengan penyakit multiple sklerosis. Sehingga kita dapat memahami definisi,
epidemiologi, tanda dan gejala klinis, diagnosis serta terapi dan dapat memberikan
tatalaksana yang cepat dan tepat kepada pasien.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1 Multiple Sclerosis

1.1 Definisi Multiple Sclerosis

Multiple sclerosis (MS), suatu penyakit autoimun pada sistem saraf pusat
(SSP), ditandai dengan demielinisasi, kerusakan aksonal, dan kecacatan neurologis
progresif. Sel T efektor Th1 dan Th17 (Teffs) dianggap memainkan peran sentral
dalam patogenesis MS. Etiologi dan patogenesis MS masih belum jelas, oleh karena
itu disebutkan bahwa penyebab MS adalah multifaktorial dan termasuk predisposisi
genetik bersama dengan faktor lingkungan seperti paparan agen infeksi, defisiensi
vitamin, dan merokok.5

Multiple Sclerosis adalah kelainan sistem kekebalan tubuh yang dimediasi


inflamasi dan neurodegeneratif dari sistem saraf pusat, ditandai dengan peradangan,
demielinasi dan degenerasi aksonal primer atau sekunder. Secara klinis
bermanifestasi dengan tanda-tanda beberapa disfungsi neurologis misalnya gangguan
visual dan sensorik, kelemahan anggota tubuh, masalah gaya berjalan dan gejala
kandung kemih dan usus diikuti dengan pemulihan atau oleh peningkatan kecacatan
karena ketidakmampuan fungsional yang ireversibel dari waktu ke waktu.6

1.2 Epidemiologi

Diperkirakan 2,5 juta orang di seluruh dunia terkena MS, tetapi distribusi
penyakit bervariasi secara signifikan di antara wilayah geografis. Prevalensi MS
meningkat ketika jarak dari khatulistiwa meningkat dan beberapa kali lebih tinggi di
daerah beriklim sedang daripada di daerah tropis. Penduduk di Amerika Serikat
bagian utara, Kanada, Eropa, Selandia Baru, dan tenggara Australia angka
kejadiannya lebih tinggi.7

3
MS relatif jarang di Afrika dan Asia Timur, prevalensi penyakit ini kurang
dari 5 per 100000 orang. Di daerah dengan risiko tertinggi, prevalensi lebih besar dari
100 per 100.000 orang. Estimasi prevalensi MS di Amerika Serikat bervariasi secara
signifikan, dari 58 hingga 95 individu per 100 000. Sebanyak 570.000 orang Amerika
diperkirakan memiliki MS, sekitar 0,21% dari populasi.Kulit putih lebih terpengaruh
daripada orang dari ras dan etnis lain. Sekitar 12.000 diagnosa baru dilakukan setiap
tahun di Amerika Serikat. Perempuan kira-kira 3 kali lebih mungkin dibandingkan
laki-laki untuk terkena MS. Namun, ketika penyakit menyerang di kemudian hari,
rasio jenis kelamin lebih merata. Untuk wanita, usia rata-rata di diagnosis MS adalah
29 tahun; untuk pria, itu 31 tahun.7

Gambar 1. Distribusi dari MS di dunia8

1.3 Anatomi dan Patogenesis Multiple Sklerosis

Etiologi MS masih relatif tidak diketahui, dan dapat mencakup faktor genetik
dan lingkungan. Faktor genetik misalnya, MS sering terjadi pada wanita muda, dan
rasio perempuan dibandingkan laki-laki insidennya meningkat menjadi 3 : 1 lebih
pada dekade terakhir, menunjukkan peran potensial hormon dalam terjadinya MS.
Namun, MS tidak sepenuhnya dikendalikan oleh genetika, seperti kembar monozigot,
berbagi 100% materi genetik, menunjukkan kira-kira 25–30% risiko seumur hidup

4
untuk MS ketika salah satu dari mereka pernah didiagnosis, menunjukkan bahwa latar
belakang genetik bisa berinteraksi dengan faktor risiko lain.5

Gambar 2: Anatomi dan Fisiologi Saraf.8

Sistem saraf terdiri dari miliaran sel saraf yang disebut neuron, yang terletak
terutama di otak materi abu-abu (grey matter). Materi abu-abu menutupi permukaan
otak. Neuron berkomunikasi dengan mengirim pesan listrik. Pesan-pesan ini berjalan
di sepanjang bagian dari neuron yang disebut akson. Akson terletak di materi putih
otak (white matter). Neuron terhubung dengan neuron lain dengan mengirim pesan
melintasi celah yang disebut sinaps. Pesan-pesan saraf berjalan sepanjang akson
seperti sinyal telepon berjalan di sepanjang kabel telepon. Proses pengiriman pesan
ini diulang dalam miliaran lokasi di sistem saraf setiap orang, sepanjang hari, setiap
hari. Hal penting dalam transmisi pesan sepanjang akson adalah protein lemak yang

5
disebut myelin. Sama seperti kabel telepon membutuhkan isolasi sehingga pesan yang
mereka sampaikan tidak menghilang, demikian pula akson. Myelin adalah insulasi
akson. Protein ini rusak di MS, dan kerusakan ini dikenal sebagai demielinasi. Tidak
hanya mielin yang rusak, yang mengakibatkan hilangnya isolasi listrik. Lebih buruk
lagi, akson itu sendiri dapat dihancurkan. Akibatnya pesan tersebut akan melambat
atau tidak bisa melewati sama sekali.9

Multipel sclerosis diduga merupakan penyakit sistem kekebalan tubuh yang


menyerang mielin tubuh sendiri. Isolasi strip protein dari akson dan sering
menghancurkan akson itu sendiri. Namun, sistem kekebalan tubuh tidak menyerang
semua mielin otak dan mielin sumsum tulang belakang sekaligus, tetapi menyerang
mielin secara sporadis. Lokasi dan intensitas serangan tidak dapat diprediksi. Secara
umum, gejala yang muncul mencerminkan tingkat kerusakan mielin. Proses autoimun
itu sendiri dimungkinkan karena sistem imun tubuh bertemu dengan protein asing
yang sangat mirip dengan salah satu protein mielin tubuh, dan kemudian secara keliru
menyerang mielin karena menyerupai protein musuh.9

Proses penghacuran mielin terjadi dalam tiga langkah:

1. Limfosit T bermigrasi ke (menyerang) sistem saraf

2. Limfosit T menyerang mielin, dengan bantuan makrofag

3. Limfosit menghasilkan sitokin untuk memberi sinyal menghasilkan serangan


terhadap sistem kekebalan terkonsentrasi yang menyebabkan peradangan dan
pembentukan plak, atau bekas luka permanen.9

Sebelumnya, dilaporkan bahwa hidup di garis lintang lebih tinggi akan


menimbulkan risiko penyakit yang lebih tinggi karena semakin terbatas paparan sinar
matahari yang mengarah pada kemungkinan defisiensi vitamin D. Kurangnya asupan
vitamin D dapat mengubah respons imun, produksi sel Treg FoxP3 + dan
berkurangnya sel T dalam usus, yang dapat mempengaruhi populasi mikroba usus
secara langsung. Faktor lingkungan lainnya termasuk merokok, pajanan antibiotik,

6
vaksinasi, obesitas, penyalahgunaan etanol, infeksi virus EB, paparan polutan udara,
logam berat, dan polutan biologis di udara seperti lipopolisakarida (LPS) dan
perubahan mikrobiota usus. Merokok dapat memengaruhi mikrobioma usus pada
manusia; setelah berhenti merokok, keanekaragaman mikroba meningkat dan secara
keseluruhan terjadi perubahan komposisi microbioma. Karena itu, dysbiosis
mikrobiota usus mungkin terlibat dalam patogenesis dari MS.5

1.4 Gejala Klinis Multipel Sklerosis

Lokasi lesi menetukan manifestasi klinis multiple sclerosis. Kombinasi gejala


dan tanda yang dapat terjadi, antara lain : 17

1. Gangguan Sensorik.

Derajat parestesia (rasa baal, rasa geli, perasaan mati, tertusuk-tusuk jarum
dan peniti) bervariasi dari satu hari ke hari lainnya. Bila terdapat lesi pada kolumna
posterior medulla spinalis servikalis, fleksi pada leher menyebabkan sensasi seperti
syok yang menuruni spinalis (tanda Lhermitte). Gangguan proprioseptif seringkali
meningkatkan ataksia sensoris dan inkoordinasi lengan. Sensasi getar seringkali
terbatas.

2. Keluhan Visual

Banyak pasien yang mengalami keluhan visual sebagai gejala awal. Sering
dilaporkan adanya diplopia (pandangan ganda), pandangan buram, distorsi warna
merah-hijau, dan lapangan pandang abnormal dengan bintik buta (skotoma) pada satu
atau dua mata. Penglihatan dapat hilang sepenuhnya pada satu mata dalam beberapa
jam hingga beberapa hari. Neuritis optikus merupakan dasar dari gangguan ini.
Keluhan lain yang sering diungkapkan adalah diplopia akibat lesi batang otak yang
mengenai jaras serabut atau nucleus dari otot ekstraokular dan nistagmus.

3. Kelemahan Spastik pada Ekstremitas

7
Sering dikeluhkan kelemahan ekstremitas pada satu sisi tubuh atau kelemahan
dengan distribusi asimetris pada keempat ekstremitas. Pasien dapat mengeluh
kelelahan dan rasa berat di satu tungkai dan secara sadar menyeret kaki itu dan
memiliki control yang buruk. Spastisitas lebih jelas jika dibarengi dengan spasme otot
yang nyeri. Refleks tendon dapat menjadi hiperaktif dan tidak terdapat refleks
abdomen; respons plantaris adalah ekstensor (tanda Babinski). Tanda-tanda tersebut
mengindikasikan keterlibatan jaras kortikospinalis.

4. Tanda Serebelum

Nistagmus (bola mata bergerak cepat kearah horizontal atau vertikal) dan
ataksia serebelum adalah gejala lazim lain yang mengindikasikan keterlibatan traktus
serebelum dan kortikospinalis. Gerakan volunter yang tidak terkoordinasi, tremor
intensional, gangguan keseimbangan, dan disartria (pengamatan bicara dengan kata-
kata yang terpisah ke dalam suku kata dan berhenti di antara suku kata) adalah tanda
dari ataksia serebelum.

5. Disfungsi kandung kemih

Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menyebabkan gangguan


pengontrolan sfingter; hesitansi, urgensi (tidak dapat menahan kencing), dan sering
berkemih lazim terjadi dan mengindikasikan adanya penurunan kapasitas spastik
kandung kemih. Juga terjadi retensi akut dan inkontinensia.

6. Gangguan Suasana Hati

Banyak pasien mengalami euforia (perasaan gembira yang tidak sewajarnya).


Perasaan ini diyakini akibat keterlibatan substansia alba lobus frontalis. Tanda lain
dari gangguan otak adalah hilangnya memori dan demensia.

8
Gambar 3. Gejala Multipel Sklerosis 39

2. Mikrobiota dan Mikrobioma

2.1 Definisi Mikrobiota dan Mikrobioma

Bakteri dan mikroba lain harus bersaing dan berinteraksi dengan makhluk lain
dan lingkungan hidup sekitarnya. Interaksi ini membentuk mikrobioma yang rumit;
mikrobioma sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan dari semua mikroba serta
kombinasi dari semua materi genetik dari yang mendiami dan berinteraksi dengan

9
tubuh manusia. Komunitas mikroba yang hidup pada inang tertentu didefinisikan
sebagai mikrobiota. 2

2.2 Peranan Mikrobiota Usus pada Manusia

Mikrobiota usus manusia dapat mensintesis dan mengeluarkan vitamin


esensial untuk mendukung regulasi kekebalan tubuh, pertumbuhan endotel, dan
perkembangan SSP. Bakteri asam laktat dapat menghasilkan vitamin B12 yang tidak
dapat disintesis oleh hewan, jamur, atau tanaman lain; Bifidobacteria adalah produsen
utama folat, yang terlibat dalam sintesis DNA dan perbaikan DNA; vitamin lain,
termasuk vitamin K, asam nikotinat, biotin, riboflavin, asam pantotenat, piridoksin,
dan tiamin juga dapat disintesis oleh mikrobiota usus manusia.5

Mikroba usus dapat memodulasi respon imun dalam berbagai cara, seperti
mempengaruhi efek penyajian antigen dan mengatur produksi sitokin dan fungsi
limfosit. Mikrobiota usus memainkan peran penting dalam fermentasi karbohidrat
yang tidak dapat dicerna ke dalam tiga SCFA (Short-Chain Fatty Acid) paling
banyak: asetat, propionat, dan butirat. Di usus manusia, asetat diproduksi oleh usus
anaerob, propionat secara signifikan diproduksi oleh Bacteroidetes, dan produksi
butirat terutama oleh Firmicutes. Molekul-molekul ini mengaktifkan respons imun
otak, yang dapat memicu peradangan dalam sistem saraf dan menyebabkan
serangkaian gejala neurologis.5

Butyrate memiliki fungsi antiinflamasi dan antikanker, dan merupakan


sumber energi penting untuk kolonosit dan memiliki efek dalam menghambat histone
deacetylase (epigenetik), membangkitkan usus dan mensirkulasikan regulator sel T
(Treg), mempertahankan integritas sawar darah otak (BBB), dan memodulasi
aktivitas CNS-mikroglia. SCFA juga dikenal sebagai efek anti-inflamasi kuat. Mereka
dapat mempengaruhi produksi sitokin dan memiliki hubungan dengan G-
proteincoupled reseptor 43 (GPR43) untuk memperoleh efek anti-inflamasi.2

10
Mikroba usus memodulasi fungsi otak dengan melepaskan metabolit seperti
antigen imun (peptidoglikan, lipopolisakarida (LPS), dan polisakarida A (PSA))
dengan efek imunologi. Bakteri normal dapat merangsang produksi antibodi lintas
reaktif (terutama IgA). Antibodi ini disekresikan ke usus dan dapat memainkan peran
penting dalam mencegah infeksi bakteri. PSA berasal dari Bacteroides fragilis dikenal
sebagai imunomodulator dengan fungsi penghambatan dalam sel T CD39 + FoxP3 +
dan sel Treg. Lipid 654, diproduksi oleh Bacteroidetes di usus manusia, bisa menjadi
ligan untuk tikus TLR2 dan manusia dan ada dalam sirkulasi sistemik orang sehat.5

Gambar 4: Fungsi Mikrobiota pada Usus Manusia.10

Dalam beberapa kasus autoimunitas, kelainan mikrobioma usus mendahului


timbulnya penyakit. Faktor risiko yang telah dikaitkan dengan autoimunitas juga
berdampak pada mikrobioma usus. Selain itu, autoimunitas dapat secara langsung
mempengaruhi bagaimana sistem kekebalan merespon mikrobiota usus. Dalam kasus
penyakit radang usus, sistem kekebalan tubuh menyerang mikrobiota usus, sehingga
struktur mikrobioma usus berubah secara keseluruhan. Jika populasi bakteri yang
mempromosikan respons anti-inflamasi dihilangkan kemungkinan timbul peradangan
sistemik yang tidak terkontrol bisa terjadi, sehingga semakin memperburuk penyakit
autoimun.11

11
3 Hubungan Microbiota dengan Multiple Sclerosis

Perubahan patologis terkait dengan MS termasuk hilangnya integritas BBB,


sel inflamasi infiltrasi jaringan perivaskular, penghancuran lapisan mielin, dan
kerusakan aksonal. Experimental autoimmune encephalomyelitis (EAE) yaitu suatu
model hewan yang paling banyak digunakan dan menyerupai fitur patologis, klinis,
dan imunologisnya dengan MS. Perubahan imunologis pada MS/EAE ditandai
dengan meningkatnya infiltrasi sel proinflamasi, diikuti oleh sel T CD4 + dengan
fenotip Th1 atau Th17, monosit, makrofag, sel dendritik inflamasi, dan sel B, dan
menurunnya sel T CD8 +, CD4 + CD25 + Forkhead box 3 (FoxP3 +) sel Treg, dan
gangguan fungsi Treg.5

Gambar 5: Peran mikrobiota usus dalam kesehatan dan penyakit. 3

12
Mikrobiota usus berperan penting dalam terjadinya dan perkembangan sistem
kekebalan tubuh dalam EAE; dapat mengatur permeabilitas BBB, membatasi
patogenisitas astrosit, mengaktifkan mikroglia, dan mengekspresikan gen mielin.
Mikrobiota usus mungkin diperlukan dalam keadaan pengembangan normal BBB,
karena pada tikus bebas kuman tight junction BBB terganggu dan peningkatan
permeabilitas BBB dibandingkan ke kontrol.5

Sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) terdiri dari hipotalamus dan


kelenjar hipofisis dan adrenal. Saat berhadapan dengan stres atau stimulan lainnya,
aksis HPA akhirnya melepaskan glukokortikoid, mineralokortikoid, atau katekolamin;
semua dari mereka dapat mengubah komposisi mikrobiota usus dan meningkatkan
permeabilitas epitel usus dan respon imun. Peningkatan kadar kortikosteron pada
tikus yang stres menyebabkan dysbiosis usus yang ditandai oleh genus Clostridium
meningkat dan genus Bacteroides berkurang. Karena glukokortikoid memiliki
proinflamasi dan juga efek anti-inflamasi pada sel imun perifer dan SSP, penyakit
inflamasi dan autoimun sering dikaitkan dengan gangguan fungsi sumbu HPA.5

Bakteri usus memiliki hubungan simbiosis dengan manusia, yang dapat


membantu manusia mempertahankan keadaan stabil yang sehat. Pada tingkat filum,
mikrobiota feses terutama terdiri dari Bacteroidetes dan Firmicutes dan dengan
jumlah yang lebih kecil Verrucomicrobia, Euryarchaeota, dan Proteobacteria.5

Pada beberapa penelitian pasien dengan MS menunjukkan disbiosis mikroba


usus dengan bertambah dan berkurangnya populasi bakteri tertentu dibandingkan
dengan kontrol sehat. Baru-baru ini, studi melaporkan bahwa kandungan feses
diisolasi dari pasien dengan MS kemudian ditransfer ke tikus, hasilnya meningkatkan
kejadian atau keparahan EAE, yang memberikan bukti mikrobiota yang diturunkan
MS mengandung faktor yang mengatur respons autoimun adaptif dan penyakit
autoimun mirip-MS dalam transgenik model tikus, menunjukkan potensi efek
fungsional yang terkait dengan perubahan mikrobiota yang diamati pada MS dan
menargetkan mikrobiota sebagai strategi terapi MS. 12

13
Penelitian terbaru menemukan beberapa strain bakteri memiliki efek
menguntungkan pada EAE dengan melindungi tikus dari eksaserbasi penyakit.
Umumnya bakteri Bacteriodetes fragilis memiliki kemampuan untuk menghasilkan
polisakarida A (PSA), yang dapat menginduksi diferensiasi sel T yang naif
menghasilkan IL-10 FoxP3 + sel Treg CD4 dan melindungi tikus dari Penyakit
demielinasi SSP. Pemberian oral PSA dapat memiliki efek pencegahan dan efek terapi
untuk melindungi terhadap EAE. Bakteri lain seperti Bifidobacterium juga dapat
mengurangi gejala EAE. Pemberian oral Lactobacillus spp. dan bakteri penghasil
asam laktat lainnya telah terbukti mengurangi klinis EAE.5

Penelitian yang dilakukan Mangalam baru-baru ini menunjukkan bahwa


Prevotella histicola dapat menekan penyakit pada EAE, karena menginduksi sel T
regulator CD4 + FoxP3 + dan tolerogenik sel dendritik dan menekan makrofag.
Defisiensi CD44 mengubah tiga filum (Bacteroidetes, Firmicutes, dan Proteobacteria)
dari mikroba usus, yang pada gilirannya mungkin berperan penting dalam menekan
diferensiasi sel T inflamasi untuk perbaikan EAE. Limfosit intraepitel yang diinduksi
CD4 + autoreaktif, yang dipengaruhi oleh rangsangan dari lingkungan usus, juga
dapat menekan aktivitas terhadap EAE yang dimediasi sel-T. Pemberian oral
Salmonella typhimurium dapat meningkatkan frekuensi Treg dan mengurangi Th1
dan Sel Th17, yang akan menyebabkan penurunan klinis EAE. Selain itu, penelitian
terbaru telah menunjukkan bahwa Bacteroides fragilis dan Clostridia cluster XIVa
dan IV, yang berasal dari kotoran manusia, mungkin memiliki kemampuan untuk
menginduksi Foxp3 + Treg dan dapat menekan respon inflamasi pada EAE.5

14
Gambar 6: Sifat Dua Arah Sumbu Usus / Otak, dan Potensi Mikrobioma Usus Sebagai Terapi
Multiple Sclerosis.2

Tremlett melakukan tiga percobaan pada MS pediatrik dan menemukan


bahwa Firmicutes, Archaea Euryarchaeota, dan Proteobacteria (Desulfovibrionaceae)
meningkat pada pasien dengan MS, sedangkan Lachnospira (Lachnospiraceae),
Verrucomicrobia (Ruminococcaceae), dan Fusobacteria berkurang, dan MS pada
anak-anak dengan tidak adanya (dibanding yang ada) Fusobacteria dikaitkan dengan
risiko kekambuhan. Tremlett menemukan tidak ada perbedaan penanda kekebalan

15
antara MS dan kontrol; Namun, ia menemukan bahwa Bacteroidetes berbanding
terbalik terkait dengan Th17 hanya di MS dan Fusobacteria berkorelasi dengan Treg
hanya pada kontrol.5

Efek dari kurangnya mikrobiota pada kesehatan dan penyakit telah


dieksplorasi menggunakan eksperimen Hewan steril. Koloni tikus steril dihasilkan
dan dipelihara dalam kondisi steril yang konstan. Efek anatomis dan imunologis yang
signifikan dihasilkan dari kurangnya paparan mikroba dan mikroba antigen tikus:
tikus ini menunjukkan berkurangnya jumlah plexus peyer dan folikel limfoid di usus
terkait jaringan limfoid. Jaringan limfoid sekunder ini juga lebih kecil dan
mengandung jumlah sel T yang berkurang daripada tikus konvensional, specific
pathogen-free (SPF). Dalam konteksnya fungsi kekebalan hewan-hewan ini
menunjukkan respons yang bias ditandai dengan frekuensi berkurangnya subset sel
Th17 pro-inflamasi. Perubahan sistem kekebalan tubuh tikus steril memengaruhi
kerentanan mereka terhadap penyakit autoimun eksperimental.13

Dihipotesiskan bahwa ada hubungan dua arah antara mikrobiota usus dan MS.
Komposisi mikrobioma usus dapat membentuk patologi MS pada saat yang sama
perkembangan penyakit MS juga dapat mengubah mikrobioma usus. Namun, dua
karya terbaru jelas menyarankan bahwa perubahan komposisi mikrobiota mendorong
efek neuroinflamasi daripada sebaliknya. Studi terbaru ini mendukung premis bahwa
perubahan diamati pada mikrobioma usus pasien MS berkorelasi dengan mekanisme
fungsional yang mungkin mengatur penyakit. Transplantasi feses dari mikrobioma
usus dapat mempengaruhi perkembangan EAE. Saat materi feses dari monozigot
kembar yang berbeda ditransplantasikan ke tikus, ada dampak mendalam pada
insiden penyakit EAE. Mikrobioma usus MS memiliki kemampuan untuk
meningkatkan kemungkinan induksi spontan EAE pada tikus sebagai lawan kembar
sehat. Apalagi feses dari penderita MS juga meningkatkan keparahan EAE pada
tikus.14 15

16
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa mikroba mungkin bertindak secara
lokal. Sebagai contoh, tikus steril memiliki BBB yang kurang berkembang yang dapat
dipulihkan setelah kolonisasi mikroba. Selain itu, 16s rRNA studi sekuensing sampel
otak yang diotopsi dari pasien MS dan kontrol yang sehat telah menyarankan bahwa
mungkin ada bakteri di otak itu sendiri dan kemungkinan bahwa populasi komensal
di otak mungkin mempengaruhi fungsi neurologis dari dalam.16

Pasien dengan MS biasanya memiliki dysbiosis usus dan sering berkurangnya


jumlah Faecalibacterium, Bacteroidaceae, dan Prevotella. Setelah terapi obat,
mikrobiota usus pasien dengan MS mengalami perubahan; dengan demikian,
mengatur bakteri usus dapat menjadi terapi MS di masa depan.5

2.6 Penatalaksanaan Multiple Sklerosis Secara Umum

Dua tujuan utama pengobatan MS adalah memperlambat perkembangan


penyakit dan meningkatkan kualitas hidup dengan mengurangi gejala pasien.
Pengobatan MS memiliki komponen yang berbeda: pengobatan untuk relaps akut,
manajemen gejala kronis, dan pengobatan untuk memodifikasi jangka panjang
penyakit. 1

Terapi relaps akut pada MS adalah dengan kortikosteroid seperti prednisone,


obat oral, atau methylprednisolone, yang diberikan secara intravena. Obat ini
mengurangi lama kekambuhan tetapi belum terbukti mempengaruhi perjalanan
penyakit jangka panjang. 1 Episode relaps dapat diobati dengan steroid dosis tinggi
misalnya methylprednisolon 500-1000 mg iv/hari selama 3-5 hari. Setelah itu diganti
dengan obat oral 100 mg perhari lalu dosisnya secara perlahan diturunkan selama dua
minggu. Pasien dengan kekambuhan yang sering dapat dilakukan perawatan jangka
panjang dengan immune modulator interferon.18
Jika pengobatan steroid kontraindikasi atau tidak efektif untuk pasien tertentu,
plasmapheresis bisa menjadi pengobatan lini kedua yang efektif. Prosedur
plasmapheresis melibatkan pengambilan plasma dari seluruh darah pasien dan

17
menggantinya dengan plasma donor atau pengganti plasma, sehingga menghilangkan
antibodi yang menyerang sistem kekebalan tubuh.18

1. Disease Modifying Drugs


a. Interferon beta
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan untuk
mendapatkan terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun 1b. Beta
interferon dapat mengurangi jumlah lesi infl amasi 50-80% yang terlihat pada MRI.
Tipe SPMS juga direkomendasikan untuk mendapatkan terapi Interferon Beta.19 .
b. Glatiramer asetat
Didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic protein. Pemberian
Glatiramer Asetat 20 mg/hari subkutan dapat menurunkan frekuensi relaps.19
c. Fingolimod
Merupakan satu-satunya obat MS dalam sediaan oral. Fingolimod
diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi pilihan berikutnya apabila
pengobatan RRMS dengan Interferon beta tidak memberikan hasil yang memuaskan
RRMS.19
d. Natalizumab
Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada kasus-kasus MS
yang agresif. Pada kasus RRMS yang tidak memberikan hasil optimal dengan
Interferon Beta, GA maupun Fingolimod maka terapi dapat dialihkan ke
Natalizumab, atau pada kasus-kasus yang intoleran terhadap obat-obat sebelumya.
Natalizumab tergolong dalam obat lini kedua dalam terapi MS.19
e. Mitoxantrone
Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan menahan
progresifi tas MS. Mitoxantrone direkomendasikan pada RRMS yang sangat aktif
atau SPMS yang sangat progresif. Mitoxantrone tergolong dalam obat lini ke 3 dalam
terapi MS. Untuk tipe PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang direkomedasikan.
Terapi hanya bersifat simptomatis.19
2. Terapi Simptomatik dan Terapi Suportif
Spastisitas sering didapatkan pada pasien MS. Sebelum memulai terapi
farmakologi untuk mengatasi spastisitas, pastikan terlebih dahulu kemungkinan
penyebab lain yang dapat memperberat spastisitas tersebut. Pasien MS yang
mengalami spastisitas membutuhkan latihan fisik atau fisioterapi. Keluarga perlu

18
diajari teknik-teknik untuk mengurangi spastisitas. Terapi farmakologi yang
direkomendasikan untuk mengurangi spastisitas adalah Baklofen dan Gabapentin.19
Keluhan lain, seperti nyeri, juga perlu ditata laksana. Untuk nyeri neuropatik,
dapat diberikan antiepilepsi seperti gabapentin atau karbamazepin. Pasien MS
memerlukan latihan fisik sesuai kondisinya.19

2.7 Terapi Mikrobiota pada Multiple Sklerosis

Terapi yang tersedia untuk MS terutama bergantung pada perawatan tidak


spesifik, seperti kortikosteroid, imunosupresan, dan obat imunomodulasi, yang sering
mengakibatkan resistensi obat atau efek samping yang parah. Seperti yg disebutkan di
atas, mikrobiota usus memainkan peran penting dalam pengembangan MS.
Perubahan dalam mikrobiota usus di MS/EAE juga dapat mempengaruhi gejala klinis
dan faktor inflamasi, yang dapat membantu kita menemukan strategi baru atau tujuan
untuk mengobati MS. Pendekatan terapeutik berbasis mikrobioma usus dapat
memiliki efek menguntungkan dalam hal manajemen penyakit tetapi juga memiliki
efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa opsi terapi bisa bekerja untuk
beberapa penyakit autoimun tetapi tidak untuk yang lain.2, 20

Modifikasi Diet

Diet adalah faktor utama yang membentuk struktur mikrobioma usus.


Terdapat perbedaan yang jelas dalam komposisi mikrobiota usus antara individu
gemuk dengan berat badan normal, dan orang dengan obesitas telah mengurangi
keragaman dalam microbioma mereka terutama jumlah Bacteroidetes yang lebih
rendah. Studi tentang efek diet dengan lemak tinggi pada tikus menunjukkan
perubahan flora usus, dengan peningkatan proinflamasi plasma asam lemak bebas dan
peningkatan keparahan pada EAE.21

Diet rendah kalori dapat meningkatkan gejala EAE, sedangkan diet tinggi
garam menyebabkan penyakit EAE semakin parah dengan mempromosikan ekspansi

19
makrofag dan proinflamasi Sel T, dan diferensiasi Th17, dan juga menyebabkan
pembatasan dalam remielinasi.22

Asam lemak rantai panjang dan menengah dari asupan makanan atau produksi
mikroba mempromosikan diferensiasi sel-T patogenik dalam usus dan kemudian
menginduksi peradangan SSP. Sebaliknya, SCFA bisa menyebabkan perbaikan
penyakit dengan sel T regulator yang melindungi ekspansi. Sebuah penelitian juga
menunjukkan tren yang sama pada MS dan menunjukkan asupan natrium yang tinggi
memperburuk penyakit.21, 22

Pasien MS menunjukkan penurunan kadar vitamin D yang mungkin dikaitkan


dengan berkurangnya paparan sinar matahari di lintang geografis yang tinggi, tetapi
baru-baru ini dibahas faktor-faktor lain yang tidak bergantung pada lokasi, termasuk
tingkat ekspresi reseptor vitamin D, metabolisme inang dan efek mikrobiota usus.
Namun, dosis pemberian yang tepat serta kombinasi dengan suplemen lain masih
harus dijelaskan.23,24

Komponen-komponen diet yang asupannya harus dikontrol untuk


menghindari munculnya proses inflamasi pada MS, serta pada penyakit radang kronis
lainnya, adalah sebagai berikut : 25

1. Asam lemak jenuh yang berasal dari hewan

Asam lemak jenuh yang berasal dari hewan, yang ditemukan pada
makanan seperti susu murni, mentega, keju, daging, dan sosis, adalah
komponen dari diet yang diperhitungkan karena memiliki pengaruh buruk
pada kasus MS.

Menurut Swank dan Goodwin, diet tinggi lemak mengarah pada


sintesis penyimpanan lipid dan kolesterol dan menyebabkan penurunan
fluiditas membran dan kemungkinan sumbatan kapiler, dan meningkatkan
onset atau peradangan.

20
Studi terbaru menunjukkan bahwa lemak jenuh dikendalikan pada
tingkat transkripsi dan mempengaruhi ekspresi gen, metabolisme sel,
perkembangan, dan diferensiasi sel. Asumsi lemak hewani sering dikaitkan
dengan asupan kalori tinggi, yang dengan sendirinya merupakan faktor yang
merugikan bagi banyak penyakit radang kronis. Kelebihan lemak hewani
jenuh menyebabkan dysbiosis, disfungsi kekebalan usus, dan peradangan
sistemik tingkat rendah dan merupakan kemungkinan penyebab beberapa
gangguan kronis.

2. Asam lemak tak jenuh dalam trans konfigurasi (asam lemak terhidrogenasi)

Sebagai produk hidrogenasi parsial minyak nabati, diperkenalkan pada


1960-an untuk menggantikan lemak hewani, tetapi baru kemudian ditemukan
bahwa Trans fatty acid (TFA) memiliki efek buruk yang sama pada
metabolisme, sebagai asam lemak jenuh, meningkatkan kadar kolesterol dan
mempromosikan pembentukan lemak perut dan penambahan berat badan.
Asupan TFA ditemukan berhubungan positif dengan peradangan usus dan
upregulasi proinflamasi sitokin dalam polarisasi sel Th17. Apalagi TFA
mengganggu metabolisme alami asam lemak tak jenuh, yang memiliki
konfigurasi cis.

TFA ditemukan di margarin, dalam daging dan produk makanan dari


ruminansia dan makanan ringan. TFA mungkin juga terdapat dalam kentang
goreng dan makanan goreng lainnya, yang mana mereka terbentuk saat
penggorengan.

3. Daging merah

Daging merah mengandung lebih banyak zat besi daripada daging


putih. Endapan besi abnormal telah ditemukan di lokasi peradangan pada MS
(Williams et al., 2012) dan konsumsi daging merah dikaitkan dengan kadar

21
gGT dan hs-CRP yang lebih tinggi. daging mengandung asam arakidonat
(omega-6 (n-6) PUFA, yang merupakan prekursor proinflamasi eikosanoid
[prostaglandin, tromboxan, dan leukotrien]) dan mengaktifkan jalur Th17.

4. Minuman manis, dan umumnya kaya diet hiperkalori dalam karbohidrat


olahan (rendah serat), di samping lemak hewani

Asupan tinggi minuman manis dan sereal manis, dengan kandungan


serat rendah, meningkatkan jumlah kalori dan kadar glukosa dengan cepat.
Selanjutnya peningkatan produksi insulin meningkatkan jalur biosintesis
antara lain produksi asam arakidonat dan turunan proinflamasinya

5. Peningkatan asupan garam makanan

Konsumsi garam yang tinggi mungkin merupakan lingkungan faktor


risiko untuk pengembangan penyakit autoimun, karena telah ditemukan
bahwa hal itu dapat menginduksi sel patogen Th17 dan sitokin proinflamasi
terkait di EAE. Sel Th17 terlibat dalam perkembangan MS.

6. Protein susu sapi dari membran globule lemak susu (Protein MFGM).

Menghilangkan protein MFGM dari seluruh susu sapi sangat relevan


dalam kasus MS. Protein MFGM paling representatif (40% dari total Protein
MFGM), butyrophilin (BTN), memang diduga memiliki peran dalam MS,
karena sangat mirip dengan MOG, salah satu kandidat autoantigen pada MS.
BTN dan MOG berbagi perilaku yang sama dalam eksperimen model MS,
dan antibodi cross-reaktif milik MOG/BTN telah ditemukan pada MS, pada
autisme dan pada penyakit jantung koroner. Atas dasar ini, pasien dengan MS
harus menghindari asupan susu sapi utuh dan lebih dianjurkan mengonsumsi
susu skim, yang tidak punya lemak hewani.

Penggunaan antibiotik

22
Antibiotik dapat dengan mudah mempengaruhi komponen dari microbioma.
Sejumlah penelitian menemukan bahwa antibiotik oral dapat mengurangi simbiosis di
usus dan memperlambat perkembangan EAE. Antibiotik spektrum luas dapat
mengubah populasi sel T di GALT dan jaringan limfoid perifer untuk mengurangi
kerentanan terhadap EAE, dan jumlah total Foxp3 + Tregs secara signifikan
meningkat dengan peningkatan yang sesuai Produksi IL-10.26

Minosiklin, suatu antibiotik jenis tetrasiklin yang sering digunakan untuk


pengobatan jerawat, yang juga digunakan untuk mengurangi keparahan penyakit pada
EAE baik secara profilaksis dan terapeutik. Terapi antibiotik mungkin bermanfaat
dalam pengobatan MS.1, 26

Penggunaan antibiotik spektrum luas juga dapat memiliki efek buruk dengan
mekanisme yang sama. Clostridium difficile, suatu patogen oportunistik, dapat
menginfeksi setelah pemberian antibiotik mulai dari gejala diare hingga kolitis
pseudomembran dan dalam beberapa kasus mengancam kehidupan. Paparan
antibiotik menyebabkan perubahan struktural dalam mikrobioma usus, menyebabkan
seseorang rentan terhadap infeksi oportunistik dari Clostridium difficile serta patogen
enterik lainnya. Anak-anak yang terpapar antibiotik dalam tiga tahun pertama
kehidupan menunjukkan keanekaragaman yang lebih rendah pada microbioma usus.
Selain itu, struktur microbiomanya kurang stabil pada anak-anak yang terpapar
daripada di anak-anak yang tidak terpapar antibiotik sejak dini.27

Terapi Probiotik

Studi menunjukkan bahwa probiotik dapat mempengaruhi respon imun


sistemik, dan mekanisme di balik manfaat probiotik dapat mencakup
mempertahankan fungsi penghalang gastrointestinal-epitel, peningkatan produksi
antimikroba peptida, dan membantu aktivasi sistem imun inang sebagai respons ke
patogen. Dengan demikian, probiotik dapat digunakan sebagai pembantu terapi untuk
mengobati penyakit yang dimediasi imun.28

23
Penelitian terbaru menunjukkan penggunaan probiotik Pediococcu
sacidilactici strain R037, PSA dimurnikan dari Bacteriodetes fragilis, dan protein heat
shock 65 (Hsp65) diproduksi dari Lactococcus lactis juga mengurangi keparahan
EAE. Temuan ini menunjukkan bahwa produk turunan bakteri mungkin memiliki
potensi terapeutik pada MS dan EAE.29

Gambar 7: Makanan yang mengandung probiotik. 30

Transplantasi mikroba feses

Transplantasi mikroba feses bertindak sebagai penggantian microbioma


seluruh usus dengan harapan memperbaiki struktur dan fungsi microbioma usus.

24
Keberhasilan transplantasi feses juga cukup tinggi; dengan demikian, transplantasi
feses adalah terapi yang umum untuk mengobati pasien dengan Clostridium Difficile.
Secara konseptual, dengan menghilangkan microbioma usus inang yang menyimpang
dan menggantinya dengan microbioma usus yang sehat, keadaan yang sakit akan
diperbaiki.31, 32

Saat ini, transplantasi feses telah mendapat perhatian luas untuk memulihkan
keseimbangan ekologi usus, yang mungkin secara efektif berkhasiat dan memiliki
reaksi yang kurang merugikan. Hasil uji klinis telah menunjukkan bahwa
transplantasi feses dapat meningkatkan kemampuan berjalan pada MS. 30

Gambar 8: Persiapan Sebelum Transplantasi Mikroba Feses. 33

Borody et al. melaporkan tiga pasien MS dengan diare parah diobati dengan
transplantasi feses, yang mengurangi gejala neurologis dan dapat berjalan normal.
Sayangnya, penelitian ini memiliki sampel kecil dan tidak terkontrol. Sejauh ini,
transplantasi terbatas pada kasus individual, dan aplikasi klinis memerlukan lebih
banyak bukti ilmiah dan eksperimen manusia dalam sampel besar.34

25
Masih ada kekhawatiran tentang keamanan yang masih harus ditangani.
Beberapa kekhawatiran ini mempertimbangkan administrasi, frekuensi aplikasi,
penyaringan mikrobiota dari donor, protokol persiapan sampel feses dari donor,
antibiotik apa yang harus diberikan dan frekuensi mereka sebelum transplantasi feses.
Beberapa dari keprihatinan ini telah dieksplorasi. Misalnya, contoh aspirasi terjadi
pada dua pasien ketika transplantasi diberikan melalui gastroskopi. Diusulkan agar
rute kolonoskopi lebih aman untuk terapi. Tinjauan sistematis terhadap 50 laporan
tentang transpalntasi mikroba feses mengindikasikan 28,5% kasus dilaporkan efek
samping, mulai dari demam hingga mual, kram perut, pusing. Pada akhirnya, risiko
dan manfaat terapi transplantasi tinja masih perlu eksplorasi yang luas.32, 35

Terapi Fag

Menanggapi dampak negatif dari penggunaan antibiotik spektrum luas,


gagasan penggunaan bacteriophage (phage) sebagai pendekatan terapi telah dibahas.
Fag adalah virus spesifik untuk bakteri yang dapat diubah untuk menargetkan
populasi bakteri tertentu sementara membiarkan yang lain tidak tersentuh. Pemberian
fag oral dianggap aman dan memiliki kemampuan untuk memotong epitel usus dan
menembus GALT serta aliran darah. Kemampuan untuk menembus GALT serta aliran
darah membuat terapi fag sangat menarik untuk mengatasi translokasi bakteri yang
dapat menyebabkan kondisi yang sakit.36

Fag memainkan peran penting dalam membentuk mikrobioma usus secara


alami dan merupakan bagian terbesar viriome usus. Namun, fag juga bisa bersifat
patogen dengan berkontribusi pada Dysbiosis usus, yaitu penghancuran bakteri
menguntungkan yang tidak terkendali dapat berdampak pada keseluruhan struktur
dan fungsi mikrobioma usus. Selain itu, fag juga dapat memiliki dampak yang tidak
diinginkan yaitu mentransfer resistensi antibiotik secara horizontal ke host bakteri.
Fag lisogenik memiliki gen resistensi antibiotik yang terkait dalam genom mereka.
Bagi sebagian orang, terapi fag dianggap sudah usang. Namun, para peneliti telah
merancang "smart phage" koktail yang memintas transfer gen horizontal dan tampak

26
menjanjikan. Pada akhirnya, masih banyak pertanyaan dan masalah yang belum
terjawab sehubungan dengan keamanan dan keberhasilan terapi fag dalam hal
dampak microbioma yang tidak disengaja.37, 38

10
Gambar 9: Hubungan silang antara Bakteriofag, mikroba dan system kekebalan di usus.

Parasit

Parasit, khususnya cacing, memiliki efek pada induksi sel Th2 untuk
menghasilkan anti-inflamasi sitokin, termasuk IL-4, IL-10, IL-13, dan TGF-b. Cacing
memberikan efek terapi pada pasien yang menderita MS dan kolitis ulseratif. Sebagai
tambahan, pasien dengan MS yang terinfeksi cacing secara alami memiliki lebih
sedikit kekambuhan dari pasien yang tidak terinfeksi, dan eliminasi parasit justru
memperburuk kondisi mereka.39

Pada 2007, Correale dan Farez melaporkan serangkaian pengamatan yang


menjelaskan hubungan antara infeksi parasit dengan MS (Correale dan Farez, 2007).
Investigasi prospektif ini membandingkan dua kohort yang secara demografis cocok
dari subjek MS yang sering kambuh. Kelompok pertama terdiri dari 12 subyek

27
kontrol MS tanpa infeksi parasit, dan kelompok kedua terdiri dari 12 subyek MS yang
diidentifikasi pada awal tanpa gejala infeksi parasit gastrointestinal berkontraksi
secara alami di lapangan. Infeksi cacing yang ditemukan pada kohort kedua adalah
Hymenolepis nana, tiga kasus; Trichuris trichiura, tiga kasus; Ascaris lumbricoides,
tiga kasus; Strongyloides stercolaris, dua kasus; dan Enterobius vermicularis, satu
kasus. Karena subjek tidak memiliki gejala klinis, terapi parasit awalnya tidak
diberikan.

Selama 4,6 tahun masa tindak lanjut, aktivitas MS hampir tidak ada lagi pada
kelompok yang terinfeksi; pengurangan serangan klinis dan lesi baru MS relatif
terhadap kelompok kontrol yang tidak terinfeksi dengan cacing lebih besar dari 95%
pada kedua tindakan. Sementara kecacatan neurologis terus memburuk pada
kelompok kontrol yang tidak terinfeksi, dalam kelompok yang stabil, yang terinfeksi
cacing pada dasarnya tidak ada yang memburuk dalam status fungsional. Dalam
laporan selanjutnya, para peneliti memperpanjang periode observasi menjadi lebih 7
tahun dan diketahui bahwa akhirnya empat dari 12 subjek yang terinfeksi
berkembang gejala gastrointestinal yang signifikan (sekitar 5 tahun tindak lanjut);
subyek ini kemudian diobati dengan anti parasit, yang mengakibatkan eliminasi
parasit, tetapi juga dalam peningkatan indikator klinis dan MRI ke tingkat aktivitas
kontrol yang dicatat dalam kohort yang tidak terinfeksi (Correale dan Farez, 2011).
Intinya, dalam studi jangka panjang ini, infeksi parasit gastrointestinal bertindak
sebagai virtual ‘Switch sakelar lampu’ terhadap MS, mematikan MS ketika terdapat
40
cacing dan menyalakan MS ketika cacing tidak ada. (Fleming, J O. Helminth
therapy and multiple sclerosis. International Journal for Parasitology. Department of
Neurology, University of Wisconsin School of Medicine and Public Health, 43 (2013)
259–274)

Seperti dijelaskan di atas, perubahan komposisi mikroba usus mungkin


mendorong penyakit, yang merupakan suatu proses yang disebut sebagai dysbiosis.
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa dysbiosis
dari microbioma usus bisa jadi adalah penyebab MS dan gangguan lainnya, seperti

28
depresi dan Penyakit Parkinson. Namun, patogenesis gangguan ini lebih kompleks
daripada spekulasi disbiosis microbioma usus.41

29
BAB III

KESIMPULAN

Disbiosis dalam microbioma usus mungkin menjadi salah satu penyebab


banyak penyakit, termasuk MS. Efek microbioma usus pada patologi MS merupakan
jalan investigasi yang menjanjikan. Oleh karena itu, mengkarakterisasi profil mikroba
usus MS dibandingkan dengan mikrobioma usus sehat, serta penyakit autoimun
lainnya bisa memberikan wawasan yang luas. Dengan menyelidiki struktur
mikrobioma, dimungkinkan untuk memahami mikroba apa yang berkontribusi
terhadap keadaan pro-inflamasi dan kurangnya anti-inflamasi.5

Meskipun masih belum ada obat untuk MS, selama dua dekade terakhir
jumlah terapi yang tersedia untuk MS telah meningkat secara signifikan. Beberapa
terapi yang tersedia hanya mengobati gejala penyakit dan bertindak sebagai agen
imunosupresif atau imunomodulator; Namun, banyak dari mereka memiliki
keberhasilan yang masih terbatas dan dalam beberapa kasus memiliki efek samping
yang membahayakan. Apalagi sampai saat ini belum ada terapi yang manjur untuk
MS progresif sekunder.42

Terapi usus termasuk modifikasi diet, pengobatan, probiotik, transplantasi


fekal mikrobial, terapi fag, dan mungkin pengobatan menggunakan cacing dapat
digunakan dalam MS di masa depan. Namun, masih ada jalan panjang, karena
diperlukan bukti ilmiah untuk ukuran sampel yang lebih besar untuk aplikasi klinis.42

30
DAFTAR SINGKATAN

1. MS = Multiple Sclerosis

2. SSP = Sistem Saraf Pusat

3. LPS = Lipopolisakarida

4. SCFA = Short-Chain Fatty Acid

5. BBB = Blood Brain Barrier

6. Treg = T Regulator

7. GPR43 = G-proteincoupled reseptor 43

8. PSA = Polisakarida A

9. EAE = Experimental autoimmune encephalomyelitis

10. FoxP3 = Forkhead box 3

11. HPA = Hipofisis-Pituitary-Adrenal

12. SPF = Specific Pathogen-Free

13. TFA = Trans Fatty Acid

14. GALT = Gut-Associated Lymphoid Tissue

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Hoogen JW, Laman DJ, Hart AB. Modulation of Multiple Sclerosis and its
Animal Model experimental Autoimmune encephalomyelitis by Food and Gut
Microbiota. Frontiers in Immunology. 2017: 8. 1081.

2. Kirby TO, Repáraz J. The Gut Microbiome in Multiple Sclerosis: A Potential


Therapeutic Avenue. Med. Sci. 2018: 6. 69.

3. Shahi SK, Freedman N, Mangalam AK. Gut microbiome in multiple sclerosis:


The players involved and the roles they play. Gut Microbes. 2017: 8(6). 607–615.

4. L. Galland, “The gut microbiome and the brain,” Journal of Medicinal Food.
2014: 17(12). 1261–1272.

5. Chu F, Shi M, Lang Y, Shen D, Jin T, Zhu J, Cui L. Gut Microbiota in Multiple
Sclerosis and Experimental Autoimmune Encephalomyelitis: Current
Applications and Future Perspectives. Hindawi Mediators of Inflammation.
2018: 17. 8168717.

6. Pugliatti M, Rosati G, Carton H, Riise J, Drulovic J, Vecsei L, et al. The


epidemiology of multiple sclerosis in Europe. Eur J Neurol, 2006 Jul ; 13(7):
700-22.

7. Faguy K. Multiple sclerosis : an update. Radiologic technology; 2016: 87 (5).

8. Davis A. Multiple sclerosis. Diakses dari https://www.tes.com/lessons/-


0iU6gH6CD_yPw/multiple-sclerosis. 10 Januari 2019, 20.00

9. O’connor P. Multiple sclerosis the facts you need. 5th edition. Canada: Library
and archives Canada cataloguing in publication; 2014

10. Glenn JD, Mowry EM. Emerging Concepts on the Gut Microbiome and Multiple
Sclerosis. Journal of Interferon and Cytokine Research. 2016: 36 (6). 347-357.

32
11. Shamriz O, Mizrahi H, Werbner M, Shoenfeld Y, Avni O, Koren O. Microbiota at
the crossroads of autoimmunity. Autoimmun. Rev. 2016: 15. 859–869.

12. Gomes-Neto JC, Kittana H, Mantz S, Segura RR, Schmaltz RJ, Bindels LB,
Clarke J, Hostetter JM, Benson AK, Walter J. A gut pathobioant synergizes with
the microbiota to instigate inflammatory bowel disease marked by
immunoreactivity against other symbioants but not itself. Sci. Rep. 2017: 7.
17707.

13. Bäckhed F, Manchester JK, Semenkovich CF, Gordon JI. Mechanisms


Underlying the Resistance to Diet-Induced Obesity in Germ-Free Mice. Proc.
Natl. Acad. Sci. USA 2007: 104. 979–984.

14. Ochoa-Repáraz J, Magori K, Kasper LH. The chicken or the egg dilemma:
Intestinal dysbiosis in multiple sclerosis. Ann. Transl. Med. 2017: 5. 145.

15. Berer K, Gerdes LA, Cekanaviciute E, Jia X, Xiao L, Xia Z, Liu C, Klotz L,
Stauffer U, Baranzini SE. Gut microbiota from multiple sclerosis patients enables
spontaneous autoimmune encephalomyelitis in mice. Proc. Natl. Acad. Sci. USA
2017: 114. 10719–10724.

16. Cekanaviciute E, Yoo BB, Runia TF, Debelius JW, Singh S, Nelson CA, Kanner
R, Bencosme Y, Lee YK, Hauser SL. Gut bacteria from multiple sclerosis
patients modulate human T cells and exacerbates symptoms in mouse models.
Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2017: 114. 10713–10718.

17. Lundsgaard E. Etiology of multiple sclerosis. Journal of multiple sclerosis. Mui


scler. 2017; 4 :214

18. Calabresi PA. Diagnosis and Management of Multiple Sclerosis. AAFP 2004;
70(10):1935

19. Araujo EAS, de Freitas MRG, Augusto A, Santos SMD, Araújo MA. Progressive
primary form of multiple sclerosis. Arq Neuropsichiatry. 2009; 67(2-B):536-8

33
20. Yang Q, Zheng C, Cao J. “Spermidine alleviates experimental autoimmune
encephalomyelitis through inducing inhibitory macrophages,” Cell Death &
Differentiation. 2016: 23(11). 1850–1861

21. Piccio L, Stark JL, Cross AH, “Chronic calorie restriction attenuates
experimental autoimmune encephalomyelitis,” Journal of Leukocyte Biology.
2008: 84(4). 940–948.

22. Kang SW, Kim SH, Lee S. “1,25-dihyroxyvitamin D3 promotes foxp3 expression
via binding to vitamin d response elements in its conserved noncoding sequence
region,” The Journal of Immunology. 2012: 188(11). 5276–5282.

23. Shoemaker TJ, Mowry EM. A review of vitamin D supplementation as disease-


modifying therapy. Mult. Scler. 2018: 24. 6–11.

24. Sun J. VDR vitamin D receptor regulates autophagic activity through ATG16L1.
Autophagy 2016: 12. 1057–1058.

25. Riccio P, Rossano R. Nutrition Facts in Multiple Sclerosis. American Society for
Neurochemistry. 2015: 1–20.

26. Colpitts SLKE, “A bidirectional association between the gut microbiota and CNS
disease in a biphasic murine model of multiple sclerosis,” Gut Microbes. 2017:
8(6). 561–573.

27. Ross CL, Spinler JK, Savidge TC. Structural and functional changes within the
gut microbiota and susceptibility to Clostridium difficile infection. Anaerobe
2016: 41. 37–43.

28. Bron P, Kleerebezem M, Brummer R. “Can probiotics modulate human disease


by impacting intestinal barrier function?,” British Journal of Nutrition. 2017:
117(1). 93–107.

34
29. Rezende RM, Oliveira RP, Medeiros SR. “Hsp65-producing lactococcus lactis
prevents experimental autoimmune encephalomyelitis in mice by inducing
CD4+LAP+regulatory t cells,” Journal of Autoimmunity. 2013: 40. 45–57.

30. Multiple sclerosis dan GCMAF. Diakses dari https://best-


immunotherapy.com/id/multiple-sklerose-und-gcmaf/ . 24 Februari 2019, 16.00

31. Bamba S, Nishida A, Imaeda H, Inatomi O, Sasaki M, Sugimoyo M, Andoh A.


Successful treatment by fecal microbiota transplantation for Japanese patients
with refractory Clostridium difficile infection: A prospective case series. J.
Microbiol. Immunol Infect. 2017.

32. Konturek PC, Haziri D, Brzozowski T, Hess T, Heyman S, Kwiecien S, Konturek


SJ, Koziel J. Emerging role of fecal microbiota therapy in the treatment of
gastrointestinal and extra-gastrointestinal diseases. J. Physiol. Pharmacol. 2015:
66. 483–491.

33. https://www.researchgate.net/figure/Preparation-of-fecal-materials-for-fecal-
microbiota-transplantation_fig1_269717977/download. 25 Februari 2019, 14.30

34. Choi HH, Cho YS. “Fecal microbiota transplantation: current applications,
effectiveness, and future perspectives,” Clinical endoscopy. 2016: 49 (3). 257–
265.

35. Xu MQ, Cao HL, Wang WQ. “Fecal microbiota transplantation broadening Its
application beyond intestinal disorders,” World Journal of Gastroenterology.
2015: 21(1). 102–111.

36. Bruttin A, Brüssow H. Human volunteers receiving Escherichia coli phage T4


orally: A safety test of phage therapy. Antimicrob. Agents Chemother. 2005: 49.
2874–2878.

35
37. Mills S, Shanahan F, Stanton C, Hill C, Coffey A, Ross RP. Movers and shakers:
Influence of bacteriophage in shaping the mammalian gut microbiota. Gut
Microbes. 2013: 4. 4–16.

38. Lin DM, Koskella B, Lin HC. Phage therapy: An alternative to antibiotics in the
age of multi-drug resistance. World J. Gastrointest. Pharmacol. Ther. 2017: 8.
162–173.

39. Terrazas C, de Dios Ruiz-Rosado J, Amici SA. “Helminth-induced ly6chi


monocyte-derived alternatively activated macrophages suppress experimental
autoimmune encephalomyelitis,” Scientific Reports. 2017: 7. 40814.

40. Freedman SN, Shahi KS, Mangalam AK, “The “gut feeling”: breaking down the
role of gut microbiome in multiple sclerosis,” Neurotherapeutics. 2018: 15 (1).
109–125.

41. Fleming, J O. Helminth therapy and multiple sclerosis. International Journal for
Parasitology. 2013: 43. 259–274.

42. Torkildsen, Ø.; Myhr, K.-M.; Bø, L. Disease-modifying treatments for multiple
sclerosis—A review of approved medications. Eur. J. Neurol. 2016: 23. 18–27.

36

Anda mungkin juga menyukai