Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Karena kemajuan tehnik diagnosa pada dewasa ini, kasus-kasus tumor


intrakranial menjadi lebih sering dilaporkan. Pada umumnya, tumor intrakranial
timbul dengan cepat dan progressif, sehingga mendorong penderitanya untuk
segera mendapatkan pengobatan ke dokter. Namun tidak demikian halnya dengan
kasus-kasus meningioma dimana penderita datang pada keadaan yang sudah
lanjut dan tentunya ukuran tumor sudah menjadi sangat besar. Bahkan oleh karena
perjalanannya yang sangat lambat sebagian besar kasus tanpa disertai adanya
gejala-gejala klinik. Meningioma yang kecil atau dengan gejala yang minimal
seringkali diketemukan secara kebetulan. Dari semua otopsi tumor, dilaporkan
terdapat 1,44% meningioma intrakranial yang sebagian besar tanpa adanya gejala-
gejala klinik.

Meningioma merupakan tumor intrakranial terbanyak, insidensinya


meningkat seiring bertambahnya usia. Umumnya meningioma menunjukkan sifat
dan klinis yang jinak. Seperti banyak kasus neoplasma lainnya, masih banyak hal
yang belum diketahui dari meningioma. Tumor otak yang tergolong jinak ini
secara histopatologis berasal dari sel pembungkus arakhnoid (arakhnoid cap cells)
yang mengalami granulasi dan perubahan bentuk. Meningioma intrakranial
merupakan tumor kedua yang tersering disamping Glioma, dan merupakan 13-
20% dari tumor susunan saraf pusat. Etiologi tumor ini diduga berhubungan
dengan genetik, terapi radiasi, hormon sex, infeksi virus dan riwayat cedera
kepala. Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Neoplasma intrakranial adalah suatu massa abnormal di dalam tengkorak
yang disebabkan oleh multiplikasi sel-sel yang berlebihan dan menyebabkan
adanya proses desak ruang. Meningioma adalah tumor otak jinak yang berasal
dari sel-sel yang terdapat pada lapisan meningen serta derivat-derivatnya.
Meningens merupakan selaput pelindung yang melindungi otak dan medulla
spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat manapun di bagian otak maupun
medulla spinalis, tetapi, umumnya terjadi di hemisfer otak di semua lobusnya. Di
antara sel-sel meningen itu belum dapat dipastikan sel mana yang membentuk
tumor tetapi terdapat hubungan erat antara tumor ini dengan villi arachnoid.
Tumbuhnya meningioma kebanyakan di tempat ditemukan banyak villi arachnoid.

2.2 Epidemiologi
Insidensi meningioma terjadi pada sekitar sepertiga dari seluruh tumor
primer intrakranial pada orang dewasa, dengan rata-rata 7 kasus per 100.000
orang pertahun. Mayoritas meningioma terjadi pada usia pertengahan dan usia
lanjut, kejadian meningkat dengan bertambahnya usia. Sebaliknya, meningioma
sangat jarang terjadi pada anak-anak. Namun, kasus pada masa kanak-kanak
cenderung lebih banyak subtipe meningioma agresif dengan tingkat survival 5
tahunnya sebesar 83,9%. Meningioma terjadi sekitar dua kali lebih sering pada
wanita daripada pria. Predileksi meningioma jinak sangat tinggi pada wanita
(yaitu, dua kali lebih umum pada wanita dibandingkan laki-laki), sedangkan
meningioma malignan cenderung lebih sering terjadi pada laki-laki.

2.3 Klasifikasi Meningioma


Meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tumor, pola
pertumbuhan dan histopatologi. Berdasarkan lokasi tumor dan urutan paling
sering adalah konveksitas, parasagital, tuberkulum sella, falks, sphenoid rigde,
cerebellopontine angle, frontal base, petroclival, fosa posterior, tentorium,
middle fossa, intraventricular dan foramen magnum. Meningioma juga dapat
timbul secara ekstrakranial walaupun sangat jarang, yaitu pada medula spinalis,
orbita , cavum nasi, glandula parotis, mediastinum dan paru-paru (Al-Mefty,
2005; Chou, 1991).

Gambar 2,1. Variasi lokasi timbulnya meningioma (Al-Mefty, 2005)

Pola pertumbuhan meningioma terbagi dalam bentuk massa (en masse)


dan pertumbuhan memanjang seperti karpet (en plaque). Bentuk en masse
adalah meningioma globular klasik sedangkan bentuk en plaque adalah tumor
dengan adanya abnormalitas tulang dan perlekatan dura yang luas (Talacchi,
2011). Pembagian meningioma secara histopatologi berdasarkan WHO 2007
terdiri dari 3 grading dengan resiko rekuren yang meningkat seiring dengan
pertambahan grading (Fischer & Bronkikel, 2012).
Beberapa subtipe meningioma antara lain:
Grade I:
- Meningothelial meningioma
- Fibrous (fibroblastic) meningioma
- Transitional (mixed) meningioma
- Psammomatous meningioma
- Angiomatous meningioma
- Mycrocystic meningioma
- Lymphoplasmacyte-rich meningioma
- Metaplastic meningioma
- Secretory meningioma
Grade II:
- Atypical meningioma
- Clear cell meningioma
- Chordoid meningioma
Grade III:
- Rhabdoid meningioma
- Papillary meningioma
- Anaplastic (malignant) meningioma
Meningioma grade I merupakan subtipe paling umum. Mayoritas
meningioma (> 80%) menunjukkan klinis yang jinak (WHO grade I).
Meningioma subtipe atipikal dan anaplastik (WHO grade II dan III) memiliki
potensi untuk bermetastasis ke sistemik, yang paling sering ke paru serta
berhubungan dengan kemungkinan kekambuhan tumor yang lebih tinggi. Angka
survival lima tahun untuk meningioma maligna secara keseluruhan dilaporkan
sebesar 55%. Sebaliknya, penelitian terbaru di Amerika Serikat menemukan
secara keseluruhan tingkat survival sebesar lebih dari 85% untuk meningiona non-
malignan. Metastasis tumor dari sistemik ke meningioma pernah dilaporkan.
Bahkan, meningioma merupakan "resipien" tersering di antara tumor intrakranial
lainnya. Namun, mekanisme fenomena tersebut belum sepenuhnya
dimengerti.merah

2.4 Faktor Risiko

2.4.1 Radiasi Ionisasi

Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti
menyebabkan tumor otak. Telah banyak penelitian yang mendukung hubungan
antara paparan radiasi dan meningioma sejak bertahun-tahun sejak bertahun-tahun
lalu. Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat paparan radiasi
disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang belum
diperbaiki sebelum replikasi DNA berikutnya. Penelitian pada orang yang selamat
dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan
insiden meningioma yang signifikan (Calvocoressi & Claus, 2010).

Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan


resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi
radiasi untuk leukemia limfoblastik dan tinea kapitis memperlihatkan adanya
peningkatan resiko terjadinya meningioma terutama dosis radiasi melebihi 30
Gy. Selain itu, paparan radiasi untuk kepentingan diagnosis juga meningkatkan
resiko terjadinya meningioma. Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012)
yang membuktikan adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya
meningioma setelah mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali antara usia
15 hingga 40 tahun (Calvocoressi & Claus, 2010; Claus, 2012).
Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan dengan
akibat paparan radiasi adalah usia muda saat didiagnosis, periode latensi yang
pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif tinggi, dan kecenderungan
meningioma jenis atipikal dan anaplastik (Calvocoressi & Claus, 2010).

Radiasi yang dihasilkan oleh telepon genggam adalah energi


radiofrequency (RF) yang tidak menyebabkan ionisasi molekul dan atom. Energi
RF berpotensi menimbulkan panas dan menyebabkan kerusakan jaringan, namun
pengaruhnya terhadap kesehatan masih belum diketahui secara pasti. Penelitian
metaanalisis yang dilakukan oleh Lahkola et al (2005) menemukan bahwa tidak
terdapat hubungan antara penggunaan telepon genggam dengan insiden
meningioma. Penelitian metaanalisis lain yang lebih besar yaitu penelitian
INTERPHONE yang dilakukan pada 13 negara juga memberikan laporan bahwa
tidak dijumpai hubungan antara penggunaan telepon genggam dan insiden
meningioma (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007; Calvocoressi & Claus,
2010).
2.4.2 Cedera Kepala
Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu resiko
terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian tidak konsisten.
Penelitian kohort pada penderita cedera kepala dan fraktur tulang kepala
menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya meningioma secara
signifikan. Penelitian ole Phillips et al (2002) juga menemukan hasil bahwa
adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko terjadinya meningioma,
terutama riwayat cedera pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma
berdasarkan banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan dari tingkat
keparahannya (Wiemels, 2010; Phillips, 2002).

2.4.3 Genetik

Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang


timbul pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor
otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang memicu perkembangan
meningioma hanya beberapa dan jarang. Meningioma sering dijumpai pada
penderita dengan Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu Kelainan gen autosomal
dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom
22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain itu, pada meningioma
sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau
tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q (Evans, 2005; Smith,
2011). Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik
dengan resiko terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA, regulasi
siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon. Penelitian terbaru fokus
pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang terlibat dalam metabolisme
dan detoksifikasi karsinogen endogen dan eksogen. Namun belum dijumpai
hubungan yang signifikan antara resiko terjadinya meningioma dan variasi gen
GST atau CYP450. Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53
juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Lai, 2005; Malmer, 2005;
Choy, 2011).

2.4.4 Hormon
Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki
memberi dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat laporan
adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus menstruasi, dan
menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon eksogen seperti
kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko timbulnya
meningioma memberikan hasil yang kontroversial. Penelitian-penelitian pada
paparan hormon endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma
berhubungan dengan status menopause, paritas, dan usia pertama saat
menstruasi, tetapi masih menjadi kontroversi (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan,
2007; Taghipour, 2007)

2.5 Mitosis pada meningioma

Mitosis pada meningioma diperkirakan distimulus oleh beberapa jenis


protein growth factors. Beberapa jenis growth factors yang berpengaruh
reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), Granulin, Platelet Derived Growth
Factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Insulin Growth
Factor (IGF), Fibroblast Growth factor (FGF), hormon progesteron dan estrogen.
Hormon EGF adalah hormon polipeptida yang bekerja melalui aktivasi reseptor
EGF dan stimulus proliferasi yang bervariasi baik secara in vivo dan in vitro.
Reseptor EGF merupakan glikoprotein yang terletak ekstraselular. Reseptor ini
diperkirakan memiliki peranan dalam regulasi pembelahan sel dan pertumbuhan
tumor. Ekspresi berlebihan dari reseptor EGF telah terbukti menstimulasi
angiogenesis, proliferasi metastase, dan kelangsungan hidup sel (Ragel, 2003;
Wernicke, 2010).

Peptida lain yang diperkirakan berperan dalam perbaikan jaringan dan


tumorigenesis adalah granulin. Granulin merupakan suatu peptida dari leukosit
yang berfungsi dalam mediasi siklus progresi dan kematian sel epitel dan
mesenkim. Pada penelitian Choong ditemukan bahwa kadar granulin
berhubungan dengan ukuran tumor dan perkembagan edema peritumoral dari
meningioma intrakranial. Penemuan ini menunjukkan bahwa adanya
kemungkinan granulin mempengaruhi pertumbuhan meningioma seperti pada
glioma (Choong, 2010). Peptida lain yang mempengaruhi pertumbuhan sel adalah
FGF yaitu berperan dalam proliferasi sel, apoptosis dan angiogenesis. Mekanisme
pemicu mitosis dari FGF adalah aktivasi dari beberapa kaskade cytoplasmic
serine/threonine kinase termasuk kaskade p44/42 MAPK/ERK dan jaras PI3K-
AktPRAS40-mTOR dan STAT3.. Mekanisme ini mempengaruhi proliferasi sel
dan apoptosis dari banyak tumor ganas solid termasuk meningioma. Namun ini
masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan
kemoterapi terhadap reseptor ini dan regulasinya dalam pertumbuhan meningioma
(Johnson, 2010). Telah diketahui bahwa IGF-II berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan normal fetus. Pada penelitian ditemukan adanya hubungan
antara ekspresi IGF-II dengan agresivitas dari pertumbuhan meningioma, namun
masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Nordqvist, 1997). Protein dan mRNA
dari PDGF-B diekspresikan secara luas oleh jaringan meningioma secara luas,
namun peranan fungsionalnya belum dapat dijelaskan secara mendetail
(Shamah, 1997). VEGF berfungsi memediasi angiogenesis pada tumor otak.
Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara ekspresi VEGF dan
neovaskularisasi pada meningioma. Pada prinsipnya VEGF diatur oleh faktor
transkripsi hypoxia inducible factor-1 (HIF-1). Tampak bahwa HIF-1 dan VEGF
meningkat pada emboli meningioma.56 Data memberi kesan bahwa VEGF
memiliki fungsi lain selain angiogenesis pada meningioma, seperti merangsang
pertumbuhan tumor. PDGF-B dihipotesakan memicu produksi VEGF dalama
meningkatkan proliferasi pembuluh darah dan pertumbuhan tumor (fister,
2012).

2.6 Diagnosis
2.6.1 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis tumor otak secara primer disebabkan tiga faktor :
efek massa, infiltrasi parenkim dan kerusakan jaringan. Sefalgia akibat efek massa
merupakan gejala tersering terjadi dalam 23 - 56% pada orang dewasa. Tanda dan
gejala tumor otak primer dapat bersifat general atau fokal. Pada tahap awal
penyakit (low-grade tumors), kebanyakan gejala bersifat fokal. Gejala umum atau
general terjadi seiring dengan peningkatan ukuran tumor.
Pertumbuhan meningioma umumnya lambat dan dapat tidak menimbulkan
gejala sampai menjadi cukup besar untuk menekan struktur di sekitarnya. Seiring
dengan bertambahnya volume , gejala-gejala neurologis pun muncul tergantung
dari lokasi tumor. Nyeri kepala dan kelemahan ekstremitas merupakan gejala
paling umum, kejang, gangguan kognitif maupun kepribadian, gangguan visus
juga sering ditemukan. Nyeri dan gangguan sensibilitas, kelemahan motorik
ekstremitas merupakan gejala tersering pada meningioma di medulla spinalis.
Gejala umum biasanya meliputi nyeri kepala, mual, muntah, kejang dan
perubahan status mental. Studi terhadap pasien-pasien dengan tumor otak primer
didapatkan 77 % pasien mengalami nyeri kepala tension. Dua penelitian besar
menemukan pasien dengan high-grade glioma menunjukkan nyeri kepala terjadi
pada 50% pasien, bersifar persisten dan bertahan hingga 6 bulan. Serta
berhubungan dengan gejala lain seperti kejang (50% pasien), gangguan visus
(40%), mual dan muntah (38 %).
Mekanisme nyeri kepala pada neoplasma intrakranial adalah :
1. Traksi atau pergeseran struktur bangunan peka nyeri karena suatu desakan,
misalnya massa neoplasma dan odema perifokal.
2. Inflamasi pada dan di sekitar bangunan peka nyeri. Terjadi pelepasan
substansi dari neuron di sekitar daerah injury. Makrofag melepaskan
sitokin (interleukin-1, IL-6, TNF-Į, NGF). Neuron yang rusak melepaskan
ATP dan proton. Sel mast melepaskan histamin, prostaglandin, serotonin,
ekspresi enzim cyclooxigenaseyang merangsang prostaglandin. Terjadi
pelepasan reseptor vanilloid-1, neurokinin A, substansi P, calcitonin gene
related peptide (CGRP). Semua substansi ini akan merangsang nosiseptor
sehingga terjadi proses sensitisasi sentral, lalu timbullahpersepsi nyeri
kepala.
3. Oedema serebri dan obstruksi aliran cairan serebrospinal (CSS) yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
4. Pergeseran garis tengah serebral.
Kejang dan gejala neurologis lainnya bervariasi tergantung lokasi tumor.
Kejang dapat disertai aura dan gejala postictal. Gangguan kognitif meliputi
perubahan memori, atensi, orientasi, kemampuan berbahasa, fungsi eksekutif, dan
aktivitas sehari-hari. Gangguan kognitif pada tumor otak primer dapat disebabkan
karena tumor itu sendiri, epilepsi akibat tumor, terapi pembedahan, kortikosteroid,
radioterapi atau obat antiepileptikus. Meningioma yang berlokasi dan menekan
hemisfer dominan lebih erat kaitannya dengan gangguan kognitif daripada
hemisfer non dominan.6
2.6.2 Gambaran Radiologi
Pemeriksaan penunjang radiologi pada meningioma dapat berupa foto
xray, CT-scan kepala baik dengan maupun tanpa kontras dan MRI. Pada foto x-
ray dapat ditemukan gambaran khas, yaitu hiperostosis, peningkatan vaskularisasi
dan kalsifikasi. Pada CT-scan tanpa kontras, meningioma akan memberikan
gambaran isodense hingga sedikit hyperdense dan kalsifikasi. Sedangkan CT-scan
dengan kontras akan memberikan gambaran massa yang menyangat kontras
dengan kuat dan homogen. Gambaran hiperostosis, edema peritumoral dan
nekrosis sentral dapat dijumpai pada pencitraan CT-scan kepala. Gambaran khas
pada CT-scan kepala adalah adanya dural tail yaitu duramater yang melekat pada
tulang (Osborn, 2004; Mary, 2013). Pada MRI dengan T1W1 umumnya
memberikan gambaran isointense sedangkan beberapa lainnya memberikan
gambaran hypointense dibandingkan dengan gray matter. Pada T2W1,
meningioma juga umumnya menunjukkan gambaran isointense dengan beberapa
yang hyperintense karena kandungan airnya yang tinggi terutama pada jenis
meningothelial, yang hipervaskular, dan yang agresif (Osborn, 2004; Mary, 2013).

2.7 Tatalaksana
The best treatment for a meningioma depends on a number of
factors, including:
1. Location – if the tumour is easily accessible then it is often
best for it to be removed if it is causing symptoms.
2. Size – if the tumour is less than 3cm in diameter it may
alternatively be possible to treat it with stereotactic
(targeted) radiosurgery.
3. Symptoms – if your tumour is not causing any symptoms
and is small, you may not require any treatment at all.
4. Your general health - for example there may be risks
with a general anaesthetic in patients with other signifcant
medical conditions such as heart disease.
5. Grade of tumour – how quickly it is growing, whether it
is invading other structures in the brain this will influence
ongoing care required such as radiotherapy. Chemotherapy
is rarely used.
Penatalaksanaan pada meningioma dapat berupa embolisasi,
pembedahan, radiosurgery, dan radiasi. Terdapat dua tujuan utama dari
pembedahan yaitu paliatif dan reseksi tumor. Pembedahan merupakan terapi
utama pada penatalaksanaan semua jenis meningioma. Tujuan dari reseksi
meningioma adalah menentukan diagnosis definitif, mengurangi efek massa, dan
meringankan gejala-gejala. Reseksi harus dilakukan sebersih mungkin agar
memberikan hasil yang lebih baik. Sebaiknya reseksi yang dilakukan meliputi
jaringan tumor, batas duramater sekitar tumor, dan tulang kranium apabila
terlibat. Reseksi tumor pada skull base sering kali subtotal karena lokasi dan
perlekatan dengan pembuluh darah (Modha & Gutin, 2005). Angiografi
preoperatif dapat menggambarkan suplai pembuluh darah terhadap tumor dan
memperlihatkan pembungkusan pembuluh darah. Selain itu, angiografi dapat
memfasilitasi embolisasi preoperatif. Beberapa jenis meningioma terutama
malignan umumnya memiliki vaskularisasi yang tinggi, sehingga embolisasi
preoperatif mempermudah tindakan reseksi tumor. Hal ini disebabkan oleh
berkurangnya darah yang hilang secara signifikan saat reseksi. Embolisasi
preoperatif dilakukan pada tumor yang berukuran kurang dari 6 cm dan dengan
pertimbangan keuntungan dibandingkan dengan resiko dari embolisasi (Dowd,
2003; Levacic et al; 2012)

Tabel 2.1. Tingkat rekurensi Setelah reseksi berdasarkan kriteria Simpson


(Modha & Gutin, 2005)
Berdasarkan tabel di atas diperlihakan bahwa reseksi meningioma total
hingga Simpson grade 1 juga menunjukkan resiko terjadinya rekurensi hingga
9%. Faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh pada rekurensi meliputi
reseksi inkomplit, jenis histologis atipikal dan malignan berdasarkan klasifikasi
WHO, adanya penonjolan nukleolar, adanya mitosis lebih dari dua per 10
highpower fields dan gambaran menyangat kontras yang heterogen pada Ct-scan
kepala (Al-Hadidy, 2007).
Walaupun meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat dan
memiliki tingkat mitosis yang rendah, radioterapi memberikan manfaat secara
klinis yang telah dilaporkan pada banyak serial kasus yaitu baik regresi ataupun
berhentinya pertumbuhan tumor. Manfaat radioterapi masih menjadi
perdebatan, Radioterapi disarankan sebagai terapi adjuvan pada reseksi
inkomplit, tumor rekuren dan atau grade tinggi, serta sebagai terapi utama pada
beberapa kasus seperti meningioma saraf optik dan beberapa tumor yang tidak
dapat direseksi (Al-Hadidy, 2007; Minniti, 2009).
Modalitas lain pada terapi meningioma adalah stereostatic radiosurgery.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stereostatic radiosurgery memberikan
hasil yang efektif dalam mengontrol pertumbuhan tumor secara lokal dengan
resiko komplikasi yang kecil. Stereostatic radiosurgery umumnya dilakukan pada
tumor jinak berukuran kecil atau yang tidak dapat dioperasi dan pada tumor
Universitas Sumatera Utara
residual atau rekuren setelah operasi. Terapi ini disarankan pada meningioma
berukuran dibawah 3 cm yang melibatkan skull base dan sinus kavernosus
dengan tujuan mencegah progresi tumor (Al-Hadidy, 2007; Minniti, 2009).
2.8 Hormon Progesteron
Progesteron adalah hormon steroid turunan dari kolestrol yang utamanya
disintesis oleh ovarium, kelenjar adrenal dan plasenta. Kadar progesteron lebih
tinggi kadarnya pada wanita dibandingkan laki-laki. Kadar hormon progesteron
berubah berdasarkan siklus hidup terutama perkembangan embrionik, siklus
reproduksi (siklus menstruasi dan estrous), kehamilan dan menopause
(Camacho-Arroyo, 2009).
Hormon progesteron memainkan peran penting dalam regulasi sejumlah
fungsi seperti ovulasi, implantasi, mempertahankan kehamilan, regulasi siklus
sel, respon imunitas, ventilasi, perilaku seksual, tidur, belajar dan memori pada
beberapa jaringan seperti uterus, ovarium, kelenjar mamae, pankreas, tulang,
paru dan otak. Hormon progesteron bekerja melalui mediasi oleh reseptor
intraselular spesifik yang terdiri dari dua isoform yaitu PR-A dan PR-B dengan
fungsi yang berbeda. Pola ekspresi isoform PR sangat kritis untuk regulasi kerja
progesteron pada sel-sel (Camacho-Arroyo, 2009).
Hormon progesteron memiliki kerja yang beragam pada jaringan yang
baik berhubungan maupun tidak berhubungan dengan reproduksi. Hormon
progesteron diproduksi dan bertahan dengan periode waktu yang berbeda-beda
(menit, jam, hari dan bulan). Selain itu, progesteron dapat juga memiliki lebih
dari satu efek pada sel yang sama oleh karena beberapa mekanisme yang
melibatkan molekul berbeda pada kompartemen sel yang berbeda. Progersteron
bekerja dengan melalui dua mekanisme utama, yaitu genomik (klasik) dan
nongenomik (non-klasik). Mekanisme kerja melalui jalur genomik (klasik) yaitu
dengan mengubah ekspresi dari gen target yang dimediasi oleh reseptor
progesteron dan memiliki efek jangka panjang. Sedangkan pada jalur nongenomik
(non-klasik) melibatkan modifikasi pada tingkat membran sel dan
Universitas Sumatera Utara
memiliki efek yang cepat. Hubungan silang antara mekanisme genomik dan
nongenomik dapat timbul, dan pada kondisi ini hormon progesteron mampu
bekerja
dengan regulasi yang baik untuk fungsi yang bervariasi (Camacho-Arroyo, 2009;
Bernauer, 2001).
Gambar 2.2. Mekanisme kerja hormon progesteron secara genomik dan
nongenomik (Camacho-Arroyo, 2009)

Secara umum, efek non-genomik dari progesteron berlangsung cepat.


Hormon ini bekerja pada tingkat membran dan sitoplasma dan tidak masuk ke
dalam sel. Pada kondisi ini, progesteron tidak sensitif terhadap inhibitor
transkripsi dan sintesis protein. Variasi mekanisme non-genomik dari interaksi
progesteron telah diketahui dengan baik, yaitu (1). Reseptor-reseptor
progesteron yang terletak pada membran sel memiliki profil struktur dan
farmakologis yang berbeda-beda, (2). Kanal ion seperti kanal Ca2+ dan K+, (3).
Lokasi modulator yang terletak pada reseptor neurotransmiter seperti reseptor
GABAA, dan (4). Reseptor neurotransmiter dan faktor-faktor pertumbuhan yang
Universitas Sumatera Utara
berpasangan dengan protein G. Interaksi ini menghasilkan perubahan pada
konduksi ionik, kaskade second messenger, produksi cAMP, perubahan
phosphoionisitide, dan protein kinase C dan aktivasi MAP kinase
(CamachoArroyo, 2009; Bernauer, 2001).
2.9 Reseptor Progesteron
Reseptor progesteron merupakan keluarga dari ligand-activated zincfinger
transcription factors. Keluarga dari protein nuklear termasuk reseptor dari
steroid dan hormon tiroid, asam retinoid, vitamin D, ecdysone¸dan lainnya
dengan ikatan endogen yang belum teridentifikasi (Scarpin, 2009).
N-terminal A/B domain memiliki sekuensi dan panjang yang sangat
bervariasi pada semua anggota dari keluarga reseptor ini. Hal ini termasuk
aktivasi fungsi yang meregulasi transkripsi gen. Domain yang paling dikonservasi
adalah C yang mengandung regio ikatan DNA dan memiliki dua Zinc finger tipe
II
yang berhubungan dengan pengenalan DNA. Domain D adalah regio yang
mengandung nuklear penentu lokasi sinyal dan sisi ikatan untuk protein
chaperone yang mempertahankan reseptor dalam keadaan inaktif. Domain E
bersifat multifungsi dan mengandung regio ikatan dengan AF yaitu nuklear
penentu lokasi lainnya yang berfungsi sebagai protein heat-shock dan asosiasi
kofaktor. Dan terakhir adalah domain F yang terletak di C-terminal dan memiliki
ligant-depent AF (Camacho-Arroyo, 2009; Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).
Gambar 2.3. Struktur domain reseptor progesteron (Camacho-Arroyo, 2009)
Universitas Sumatera Utara
Regulasi transkripsi yang dimediasi oleh reseptor progesteron didahului
dengan interaksi hormon progesteron dengan reseptor progesteron. Setelah
berikatan, reseptor progesteron berdisosiasi dari protein chaperone dan
dimerisasi dengan molekul reseptor progesteron lainnya. Selanjutnya, reseptor
progesteron mengalami fosforilasi dalam bentuk ikatan dan merekruit kofaktor
remodelling chromation seperti koaktivator SRC-1 atau corepressor SMRT yang
acetylate atau deacetylate histone. Reseptor progesteron berinteraksi dengan
sekuens DNA spesifik yang pendek dan dikenal sebagai hormone responsive
elements (HRE). Interaksi ini juga menginduksi fosforilasi reseptor progesteron
dan reseptor progesteron berinteraksi dengan basal machinery of transcription
yang terlibat dalam ekspresi gen. Setelah pemisahan fosforilasi reseptor
progesteron dari kompleks transkripsi, reseptor progesteron ini akan menjadi
sasaran degradasi melalui jalur ubiquitin-proteasome (Camacho-Arroyo, 2009;
Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).
2.10 Hubungan Reseptor Progesteron dengan Meningioma
Meningen orang dewasa normal mengekspresikan reseptor progesteron
dalam kadar rendah, yang mana mayoritas meningioma mengekspresikan
reseptor progesteron. Penurunan ekspresi reseptor progesteron dari grade
rendah hingga grade tinggi telah dilaporkan dan meningioma dengan ekspresi
reseptor progesteron yang negatif lebih agresif dibandingkan yang positif.
Walaupun sel tumor mengekspresikan reseptor progesteron dalam jumlah
sedikit memiliki faktor prognostik yang baik pada meningioma. Meningioma yang
mengalami transformasi dari jinak ke atipikal menunjukkan penurunan ekspresi
reseptor progesteron dibandingkan meningioma atipikal yang de novo (Fakhrjou,
2012; Shayanfar, 2010).
Meningioma subtipe meningothelial memiliki ekspresi reseptor
progesteron yang lebih banyak dibandingkan subtipe transisional dan fibrous.
Walaupun begitu, beberapa penelitian melaporkan ekspresi reseptor
Universitas Sumatera Utara
progesteron yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki. Penelitian
terbaru mengenai pemeriksaan ekspresi gen untuk meningioma menemukan
bukti bahwa ekpresi berlebihan sejumlah gen yang terletak pada lengan panjang
kromosom 22 untuk kasus reseptor progesteron positif dibandingkan dengan
kasus reseptor progesteron yang negatif. Hubungan antara status reseptor
progesteron dan regulasi kromosom 22q memperlihatkan adanya peran homon
dalam tumorigenesis meningioma (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).
Usia dan jenis kelamin tidak memengaruhi status reseptor progesteron.
Ekspresi reseptor progesteron terlihat lebih tinggi pada meningioma jinak
dibandingkan yang atipikal dan malignan walaupun tidak dijumpai perbedaan
yang signifikan. Penelitian Omulecka (2006) mengenai hubungan ekspresi
reseptor progesteron dengan beberapa tipe meningioma menunjukkan bahwa
reseptor progesteron ditemukan 100% pada meningothelial, 95,2% pada
transitional, 77,8% pada atypical dan 42,2% pada fibrous. Jika meningioma
kehilangan ekspresi reseptor progesteron selama transformasi menjadi derajat
yang lebih tinggi, maka hal ini menyebabkan kurang bergunanya pemakaian
antiprogesteron sebagai pengobatan meningioma atipikal dan malignan
(Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Anda mungkin juga menyukai