Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sindrom Guillain-Barre adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya timbul
setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,dimana proses imunologis tersebut langsung
mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang kadang juga saraf kranialis. Saraf yang
diserang bukan hanya mempersarafi otot ,tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita
mengalami baal atau mati rasa.1

Sindrom Guillain-Barre merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia
dewasa muda, SGB ini seringkali mencemasakan penderita dan keluarganya karena terjadi pada
usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian , meskipun pada
umumnya mempunyai prognosis yang baik.1

Fase awal dimulai dengan munculnya tanda tanda kelemahan dan biasanya tampak secara
lengkap dalam 2- 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase
kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan mungkin berakhir 4-6 bulan,
dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan
pasien , meskipun ada beberapa gejala neurologis , sisa dapat menetap.1

Imunoterapi dengan plasma tukar dan gamma globulin intra vena meningkatkan hasil terapi pada
banyak pasien SGB. Penggunaan kortikosteroid, yang dulu merupakan standar terapi, sekarang
mulai ditinggalkan. Penggunaaan imunoterapi pada SGB telah dapat mengatasi komplikasi yang
dijumpai pada manajemen penyakit ini dari hari ke hari, sehingga berpengaruh langsung
terhadap morbiditas dan mortalitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Sindrom Guillain-Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering
terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu
sindrom klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnyanya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis.1

Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic Polyneuritis,
Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry
Ascending Paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

Sejarah

Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang
penyakit ini, sedangkan istilah Landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler
menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916,
Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian
protein cairan cerebrospinal (CCS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut
sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian.
Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain
berdasarkan penyakit klinis, pemeriksaan CCS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG
dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada
EMG.2

Epidemiologi
Penyakit ini terjadi diseluruh dunia, kejadian pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan
frekuensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus
influenza. Angka kejadian dunia 0.6%-2% kasus/100.000 orang/ tahun, negara barat sekitar 1-
2% kasus/ 100.000 orang/tahun. Bisa terjadi disemua tingkatan usia mulai dari anak anak sampai
dewasa,sering pada anak anak dan remaja (China),dan sering pada orang tua > 70 tahun (pada
negara barat). Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit keturunan .tidak dapat
menular lewat kelahiran ,terinfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS, bisa
timbul seminggu atau dua seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokkan.1

Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih
menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: 3,4
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Kehamilan atau dalam masa nifas
5. Penyakit sistemik
a. Keganasan
b. Systemic Lupus Erithematous
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison

SGB seringkali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insiden kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%- 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala
neurologi timbul seperti infeksi saluran nafas atas atau infeksi gastrointestinal.

Telah diketahui bahwa infeksi salmonella typosa dapat menyebabkan SGB. Kemungkinan
timbulnya sindrom guillain barre syndrom pada demam tyfoid perlu lebih diketahui dan disadari.
Khususnya di indonesia dimana demam tyfoid masih merupakan penyakit menular yang besar.
Tabel 1. Jenis-Jenis Infeksi yang Sering menjadi Penyebab SGB

Infeksi Definite Probable Possible


Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella – Zooster Measles
Vaccinia/ smallpox Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Typhoid Borrella B
jejuni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria

Patologi
Secara makroskopik tidak ditemukan adanya perubahan pada saraf pasien penderita SGB.
Namun secara mikroskopik tampak adanya infiltrasi sel mononuclear di perivenula dan
ditemukan adanya demielinisasi segmental di susunan saraf tepi. Meskipun penyakit ini sering
didahului oleh bermacam-macam penyakit, namun patologi yang ditemukan sama pada semua
pasien GBS. Infiltrasi perivenula terdiri atas limfosit berukuran kecil sampai sedang, makrofag
dan sedikit sel PMN pada stadium awal penyakit. Namun pada stadium lanjut ditemukan adanya
sel plasma dan sedikit sel mast. Limfosit yang berukuran kecil sampai sedang akan mudah untuk
keluar dari vena masuk ke dalam parenkim saraf. Limfosit yang berukuran besar akan
mengalami transformasi secara aktif melalui fagositosis oleh makrofag.5

Daerah yang terinflamasi akan diinfiltrasi sel mononuclear kemudian akan terjadi demielinisasi
segmental. Pada mulanya yang terlihat hanya limfosit saja, tapi setelah 2-3 minggu, dengan
berkembangnya penyakit, yang mendominasi adalah sel makrofag. Makrofag berperan penting
dalam terjadinya destruksi myelin. Makrofag menyebabkan lamella myelin terpisah dan
mencerna membran yang terpisah. Destruksi myelin berlangsung progresif ke arah lokasi sentral
nucleus sel schwann. Dengan mikroskop cahaya dapat terlihat myelin yang terputus dan
berbentuk ovoid juga makrofag yang mencerna myelin. 5

Peningkatan aktivitas asam posphatase dan asam proteinase menandakan aktivasi lisosom dalam
makrofag. Lesi inflamasi yang hebat menyebabkan terjadinya demielinisasi sampai
mengakibatkan terputusnya akson dan degenerasi wallerian. Leukosit PMN juga tampak pada
lesi yang hebat, mungkin sebagai respons dari jaringan yang nekrotik. Pada kasus dengan
degenerasi wallerian yang luas, dalam sel cornu anterior dapat terlihat central chromatolysis.
Sedang pada keadaan degenerasi axonal dapat terlihat atrofi serabut otot akibat denervasi.

Patogenesis
Patogenesis Sindrom Guillain-Barre sampai saat ini masih belum jelas. Tetapi beberapa
penelitian mempunyai kecenderungan peranan dasar patogenesa yang bersifat imunologik, 1-3
Infeksi viral atau infeksi gabungan virus dan bakteri yang mendahului penyakit ini sering
memberi kesan adanya respons yang diperantarai oleh sel. Patologi SGB yaitu inflamasi sel T di
perivenula, mendukung patogenesis SGB diperantarai sel. Respons yang diperantarai sel dimulai
dengan presentasi antigen spesifik dan berhubungan dengan kompleks major histocompatibility –
antigens. Sel T tidak dapat berproliferasi atau mengaktivasi makrofag tanpa adanya antigen.
Kompleks MHC – antigen mengaktifkan T helper untuk menghasilkan gamma interferon dan
TNF yang akan mengaktifkan makrofag, dengan akibat destruksi sel schwann. T-helper juga
menghasilkan interleukin-2 yang mengaktivasi pertumbuhan sel B sehingga menghasilkan
antibodi. Kompleks antigen dan antibodi tersebut akan mengaktivasi komplemen sehingga
menyebabkan lisisnya sel schwann, aktivasi dan kemotaksis makrofag, peningkatan
permeabilitas vaskuler dan degranulasi sel mast. Jadi dalam keadaan ini aktivasi komplemen
berpartisipasi secara langsung atau secara tidak langsung dalam merusak myelin.5

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi
pada sindrom ini adalah :
1. Didapatnya antibodi atau adanya respons kekebalan seluler terhadap agen infeksi pada
saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi atau kekebalan seluler terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatnya penimbunan kompleks antigen antibodi pada pembuluh saraf tepi yang
menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.2

Klasifikasi

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)


Yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering
disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang
membrane sel schwann.

2. Acute motor axonal neurophaty (AMAN)


Atau sindroma paralitik Cina: menyerang nodus motorik ranvier dan sering terjadi
di cina dan meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang
aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat
berlangsungdengan cepat. Didapati antibody Anti GD1a, sementara antibody anti-
GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.

3. Acute moyor sensory axonal neurophaty (AMSAN)


Mirip dengan AMAN , juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga
menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan
lambat dan sering tidak sempurna.

4. Fisher’s syndrome (MFS)


Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralysis
desendens ,berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai
otot otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala yakni: oftalmoplegia,
ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibody Anti GQ1b 90% kasus.
5. Acute panautonomia
Merupakan varian GBS yang paling jarang: dihubungkan dengan angka kematian
yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskuler dan disritmia.

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff (BBE)

Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia , ataksia, gangguan kesadaran


,hiperrefelksia atau refleks babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun
diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan irregular terutama pada batang otak
seperti pons, midbrain, dan medulla spinalis. Meskipun gejalanya berat namun
prognosis BBE cukup baik.

Gejala Klinis

Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya bermanifestasi
sebagai takikardi tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius yaitu disfungsi saraf otonomik
termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan dismotilitas GI. 1-3,8

Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) yaitu,

1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis


a. Terjadinya kelemahan yang progresif
b. Hiporefleksi

2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB


a. Ciri ciri klinis:
 Progresifitas : gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal 4
minggu , 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan
90% dalam 4 minggu.
 Relative simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf cranial + 50% terjadi parese N.VII dan sering bilateral. Saraf otak
lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot otot
ektraokuler atau saraf otak lain.
 Pemulihan : dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan
gejala vasomotor
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:


 Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 mgg atau terjadi peningkatan pada
LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN /mm3
 Varian :
o tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 mgg gejala
o Jumlah sel CSS : 11 – 50 MN/ mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis


 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan
hantar kurang 60% dari normal

Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SGB ditandai dengan timbulnya suatu
kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks refleks tendon dan didahului parestesi dua atau
tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada liquor dan gangguan
sensorik dan motorik perifer.2-4,8

Kriteria diagnostik

Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari anggota gerak
atas. Kelemahan otot paroximal lebih dulu terjadi dari otot distal, kelemahan otot trunkal, bulbar
dan otot pernapasan juga terjadi.
Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas.
Penyebaran hiporefleksia menjadi gambarn utama, pasien SGB biasanya berkembang dari
kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau faringeal. Kelemahan
diafragma sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien SGB inap membutuhkan
ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau orofaringeal.

1. Puncak defisit dicapai 4 minggu


2. Recovery biasanya dimulai 2 – 4 minggu
3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa paresthesi, baal, atau sensasi sejenis.
4. Gangguan Nn. cranialis: facial drop, diplopia, disartria, disfagis (N. VII,VI,V,IX, dan X)
5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai
terdapat beberapa tanda abnormalitas :

1. Abnormalitas motorik (kelemahan)

Mengikuti gejala sensorik , khas : mulai dari tungkai , ascenden ke lengan – 10% dimulai
dengan kelemahan lengan – walaupun jarang, kelemahan bisa dimulai dari wajah
(cervical – pharyngeal – brachial) kelemahan wajah terjadi pada seridaknya 50% pasien
dan biasanya bilateral – reflek: hilang/pada sebagian besar kasus.

2. Abnormalitas sensorik

Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan , glove & stocking sensation,
simetris, tak jelas batasnya – nyeri bisa berupa mialgia otot panggul, nyeri radikuler,
manifes sebagai sensori terbakar, kesemutan, tersetrum – ataksia sensorik krn
propioseptif terganggu – variasi : parestesi wajah & trunkus.

3. Disfungsi otonom
a. hipertensi – hipotensi – sinus takikardi/bradikardi
b. aritmia jantung – illeus- refleks vagal
c. retensi urin

Fase Perjalanan Klinis


Fase-fase serangan SGB:
 Fase prodromal
fase sebelum gejala klinis muncul
 Fase laten
o waktu antara timbul infeksi/prodromal yang mendahuluinya sampai
timbulnya gejala klinis.
o Lama : 1-28 hari, rata rata 9 hari.
 Fase progresif
o fase defisit neurologis (+)
o beberapa hari – 4 minggu, jarang >8 minggu
o dimulai dari onset (mulai terjadi kelumpuhan yang bertambah berat
sampai maksimal
o perburukan >8 minggu disebut chronic inflamatory demyelinating
polyradiculoneurophatty (CIDP)
 Fase plateau
o kelumpuhan telah maximal dan menetap
o fase pendek : 2 hari, > 3 minggu, jarang > 7 minggu
 Fase penyembuhan
o fase perbaikan kelumpuhan motorik
o beberapa bulan.
Differential Diagnosis

1. Polineuropati Defisiensi Vitamin


Perjalanan penyakit progresif lambat (berbulan – bulan), gejala sensorik yang menonjol,
kelemahan otot bagian distal, jarang mengenai otot pernafasan, saraf kranialis atau saraf
otonom. Pada LP tidak ada kenaikan protein liquor.2

2. Miastenia Gravis
Kelemahan otot terutama yang sering digunakan seperti otot bola mata, otot – otot untuk
menelan, berbicara. Tidak ada keluhan sensorik. Tes prostigmin membaik. Didapatkan
pembesaran tymus.2

3. Paralisis Periodic Hipokalemia


Kelemahan otot pada pagi hari sehabis bangun tidur. Tidak ada keluhan sensorik yang
diakibatkan oleh kadar kalium serum yang rendah. Dengan infuse KCl dalam larutan
elektrolit akan membaik gejalanya.2

4. Transverse Myelitis
Kelemahan otot terjadi setinggi lesi ke bawah dan tidak pernah mengenai otot wajah dan
orofaring. Biasanya refleks menghilang bila terjadi spinal shock. Gejala sensoris biasanya
segmental sesuai dengan lesi. Terjadi inkontineasia urin yang persisten. Tetapi jarang
terjadi gangguan pernafasan.8

5. Antibiotic Induced Paralysis


Terjadi beberapa jam sampai beberapa hari setelah minum obat. Ganguan pernafasan
terjadi sebelum timbulnya kelemahan otot. Juga sering terjadi ptosis dan internal
ophthalmoplegia. Protein LCS biasanya normal.8
6. Polymyositis
Sering terjadi kelemahan pada leher dan tubuh,namun tidak dijumpai adanya gangguan
sensorik. Refleks biasanya normal tapi bisa sedikit menurun. Tidak ditemukannya
disfungsi otonom juga jarang melibatkan saraf cranial. Sering dijumpai fenomena
Raynauds dan terjadi rash. Tidak ada kenaikan protein LCS. Pada EMG ditemukan
fibrilasi.8

7. Vasculitis Neuropathy
Terjadi demam, gejala sensoris yang terjadi asimetris begitu juga kelemahan yang terjadi
asimetris. Jarang mengenai saraf cranial, tapi bila mengenai saraf tersebut biasanya
asimetris. Tidak ada kenaikan protein dalam LCS.8

8. Poliomyelitis
Kelemahan otot tidak simetris dan sering terdapat atrofi otot. Dijumpai adanya demam
tapi jarang terjadi gangguan sensorik. Pada LCS ditemukan pleositosis.8

9. Rabies
Ada demam dan gangguan sensoris biasanya unilateral. Otot kaki lemas tetapi asimetris.
Refleks pada tangan normal. Paresis bulbar tipe spasme, asimetris dan terjadi
hydrophobia. Sering terjadi gangguan pernafasan dengan tipe pernafasan periodic,
irregular. Pada LCS ditemukan pleositosis.8

Pemeriksaan Penunjang

1. LCS
a. Disosiasi sitoalbumin
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 gr/L , tanpa peningkatan dari
sel < 10 limfosit/mm3.
b. Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu bernilai 5. peningkatan titer dari
agent seperti CMV, EBV ,membantu menegakkan etiologi.
1. antibody glicolipid
2. antibody GMI

2. EMG

Abnormalitas konduksi saraf merupakan indikator diagnosis SGB yang awal dan dapat
diandalkan. Pada kasus dengan klinis dan gambaran EMG yang khas dapat diberikan
analisa CSS sebagai tes konfirmasi. Hasil elektrodiagnosa awal yang paling sering adalah
adanya pengurangan amplitudo potensial aksi otot, melambatnya kecepatan konduksi,
dan hambatan konduksi pada serabut saraf motorik sendiri atau dengan kombinasi.
Latensi distal yang memanjang (menggambarkan hambatan konduksi distal) dan respon F
yang memanjang atau menghilang (menunjukkan keterlibatan bagian proksimal serabut
saraf dan akarnya) merupakan gambaran diagnosis penting lainnya, semuanya
menggambarkan demielinisasi fokal. Reflex H hampir selalu sangat memanjang, atau
lebih sering menghilang, tetapi ini tidak mengonfirmasi hilangnya reflex pergelangan
kaki. Walaupun pemeriksaan elektrodiagnostik terbatas dapat normal pada awal penyakit,
studi lebih lanjut yang mencakup pengukuran respon lambat, hampir bervariasi
menunjukkan gangguan konduksi pada tungkai yang terkena dalam beberapa hari
timbulnya gejala. Lebih lanjut, gambaran yang menunjukkan kerusakan aksonal yang
luas menandakan penyembuhan yang buruk dan berkepanjangan pada pasien muda dan
tua

3. Ro: CT atau MRI


Kebanyakan pasien dengan SGB akut menunjukkan adanya peningkatan gadolinium pada
akar kauda ekuina pada MRI (MRI; 21 dari 24 pasien pada studi kami), dan ini dapat
menjadi tes yang sangat berguna pada kasus dengan komplikasi (Gorson, Ropper,dkk.).
Komplikasi 1
1. paralisis menetap
2. gagal nafas
3. hipotensi
4. tromboembolisme
5. pneumoniae
6. aritmia jantung
7. illeus
8. aspirasi
9. retensi urin
10. problem psikiatrik

SGB dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka waktu yang
lama dapat sampai 3-6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan biasanya berlangsung perlahan
dan dapat berlangsung bertahun tahun. Baik psien maupun keluarga pasien harus diberitahu
tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk mencegah ekspektasi yang berlebihan atau
pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung selama tahun tahun pertama, terutama enam bulan
pertama, tetapi pada sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau
setelahnya.8

Kecacatan yang permanen terlihat pada 20%-30%, pasien dewasa, tetapi lebih sedikit pada anak
anak anak. Disability yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal SGB dan SGB yang
berbahaya , misalnya pada pasien dengan ventilator.8

Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim atau
hipotensi terjadi kurang lebih 20 % dari pasien dengan SGB gangguan lain yang signifikan
adalah illeus dinamik, hiponatremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa bronchial.8

Terapi
Aspek medis umum
Pada kasus berat, bantuan pernafasan dan perawatan yang teliti merupakan hal yang paling
penting, karena penyakitnya bisa sembuh alami dan memiliki harapan kesembuhan yang baik
pada sebagian besar kasus. Sekitar seperempat pasien kami pada masa sekarang ini
membutuhkan ventilasi mekanik. Karena kondisi pasien dapat berubah di luar perkiraan dan
secara cepat pada beberapa hari pertama penyakit, sebenarnya semua kasus harus masuk ke
RS untuk observasi respiratorik, otonomik, dan fungsi motorik. Kondisi ini juga berlaku pada
sebagian besar kegagalan pernafassan neuromuskular akut dan subakut lainnya, seperti
miastenia gravis.
Pengukuran kekuatan inspirasi maksimal dan kapasitas vital ekspirasi cukup
memadai untuk memperkirakan adekuasi kekuatan diafragma dan fungsi respirasi.
Pengukuran ini merupakan petunjuk terhadap kemungkinan kegagalan pernafasan. Pada
poliomielitis, kekuatan otot leher dan trapezius, yang memiliki persarafan yang sama dengan
diafragma, cenderung paralel dengan kekuatan diafragmatik. Perkiraan kasar terhadap
kapasitas pernafasan dapat diperoleh dengan meminta pasien untuk menghitung secara cepat
pada satu kali nafas dalam. Kemampuan untuk mencapai angka 20 secara umum
menggambarkan kapasitas vital yang lebih besar dari 1,5 liter. Jika diketahui adanya
kecenderungan menurun pada pemeriksaan ini dan kapasitas vital berkurang hingga berada di
bawah 10ml/kg, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik. Perlu dicatat bahwa derajat kerusakan ventilasi yang cukup berat dapat terjadi
sebelum tanda awal dispneu muncul dan bahkan sebelum adanya peningkatan kadar CO 2
arteri. Kegagalan pernafasan yang baru mulai timbul biasanya diiringi dengan takipneu dan
sedikit penurunan tekanan O2 arteri (PO2<85mmHg) menunjukkan adanya atelektasis
pulmoner. Jika kegagalan pernafasan timbul secara gradual, selama beberapa hari atau lebih
lama, terdapat sedikit takikardi, diaforesis, gelisah, dan takipneu. Usaha untuk mencegah
penggunaan ventilator tekanan-positif dengan menggunakan alat tipe-cuirass tekanan-negatif
memberikan hasil yang tidak memuaskan pada pengalaman kami. Pasien dengan kelemahan
orofaringeal membutuhkan intubasi bahkan lebih awal untuk mencegah terjadinya aspirasi,
tetapi ventilasi mekanik tidak selalu dibutuhkan pada saat yang sama. Terapi ini sangat rumit
sehingga pasien seharusnya dimasukkan ke ICU yang memiliki staf yang sangat terlatih
dalam memelihara ventilasi dan patensi jalan nafas.
Kegagalan untuk membersihkan jalan nafas secara efektif dan kebutuhan untuk ventilasi
mekanik yang berkepanjangan merupakan indikasi untuk trakeostomi. Pada sebagian besar
kasus, prosedur ini bisa ditunda hingga akhir minggu ketiga intubasi. Bagaimanapun, pasien
yang cepat menjadi kuadriplegia dan tergantung pada ventilator membutuhkan trakeostomi
lebih awal. Sekali trakeostomi sudah dilakukan, perlu diberikan antibiotika yang sesuai untuk
memperhatikan kebersihan trakea dan perawatan infeksi paru dan traktus urinarius. Pemberian
antibiotik profilaktik tidak dianjurkan. Dengan trakeostomi dan perawatan intensif, mortalitas
penyakit ini bisa dikurangi hingga 3% (Ropper & Kehne). (lihat lebih lanjut pada bagian
prognosis)
Keputusan untuk mengurangi lalu menghentikan penggunaan alat bantu pernafasan dan untuk
melepaskan endotracheal/ tracheostomy tube berdasarkan derajat dan waktu penyembuhan
fungsi respirasi. Proses pengurangan biasanya dimulai ketika kapasitas vital mencapai sekitar
10ml/kg dan pasien dapat bernafas dengan nyaman selama beberapa menit.

Roboransia saraf parenteral

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu
perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan
tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) 2-3,8

1. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai


nilai/ tidak bermanfaatuntuk terapi SGB

2. Plasmaparesis

Pemberian PE yang dianjurkan menggantikan sejumlah 200-250 ml/kg plasma dalam 4-6 kali
perawatan pada hari yang berselang-seling, atau dalam periode yang lebih singkat jika tidak
ada koagulopati. Cairan pengganti yang diberikan adalah salin dikombinasikan dengan
albumin 5%. Kebutuhan akses vena yang besar biasanya memerlukan pemberian kateter
subklavia atau jugularis interna lubang ganda dan hal ini bisa menjadi sumber utama
komplikasi (pneumotoraks, infeksi, perdarahan). Pada beberapa pasien, perawatan dapat
diberikan dan terkadang seluruhnya diselesaikan melalui v.antekubiti. Selama dan sesudah
prosedur dilakukan, dapat terjadi hipotensi., hipoprotrombinemia dengan perdarahan (mis.
epistaksis), dan aritmia jantung. Beberapa unit memilih untuk mengukur kadar fibrinogen,
yang banyak berkurang karena PE, sebelum PE berikutnya sebagai alat pengukur terhadap
resiko terjadinya perdarahan. Reaksi terhadap sitrat yang digunakan untuk mencegah darah
menggumpal pada mesin PE sering terjadi, tetapi dapat dihindari dengan pemberian kalsium
secara hati-hati pada aliran intravena. Hepatitis dan AIDS bukan merupakan resiko jika
plasma digantikan dengan albumin dan salin daripada dengan pooled plasma.

3. Pengobatan imunosupresan

a. Immunoglobulin IV

IVIG (0,4g/kg per hari selama 5 hari berturut-turut), dimana lebih mudah untuk diberikan
dan mungkin lebih aman karena tidak diperlukan akses intravena yang besar. Hasil dari
percobaan awal yang dilakukan oleh Van der Meche dkk. Studi terakhir membandingkan
antara PE dan IVIG dan juga mengevaluasi penggunaannya secara berkala. Ada sedikit
kecenderungan mengarah ke hasil yang lebih baik pada pasien yang mendapat PE, dan
hasilnya mungkin sedikit lebih baik pada kelompok yang diterapi dengan PE yang segera
diikuti dengan infus IG selama 5 hari; pada kedua kasus, bagaimanapun, perbedaan ini
tidak berhasil mendapatkan hasil yang signifikan secara statistik dan ketiga metode
perawatan dikatakan serupa. Gagal ginjal, proteinuria, dan meningitis aseptik paling
sering ditandai dengan sakit kepala berat, merupakan komplikasi IVIG yang jarang
terjadi. Satu-satunya reaksi serius yang kami hadapi yaitu pada sangat sedikit pasien yang
secara kongenital kekurangan IgA dan pada pasien yang terjadi pengumpulan gama
globulin menyebabkan terjadinya anafilaksis. Kami juga menghadapi beberapa kasus
dengan trombosis vena lokal dengan inflamasi yang jelas pada area lokasi infus.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah
 6 merkaptopurin (6 MP)
 Azathioprine
 Cyclophosphamid
Efek samping dari obat obat ini adalah : alopesia ,muntah, mual, dan sakit
kepala.
c. Terapi fisik : alih baring
1. Latihan ROM dini untuk cegah kontraktur
2. hidroterapi
d. Suportif : profilaksis DVT (heparin s.c)
e. Analgesik 2,3,4,
Analgesik ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk
meringankan nyeri ringan , namun tidak untuk nyeri yang sangat , penelitian
random control trial mendukung penggunaan gabapentin atau carbamazephine
pada ruang ICU pada perawatan SGB fase akut. Analgesik narkotik dapat
digunakan untuk nyeri dalam, namun harus melakukan monitor secara hati hati
kepada efek samping denervasi otonomik. Terapi ajuvan dengan tricyclic
antidepresant, tramadol, gabapentin, carbamazepine atau mexilitine dapat
ditambahkan untuk penatalaknaan nyeri neuropatik jangka panjang

Pemulihan

 80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan


 15% pulih sempurna
 65% pulih dengan deficit neurologist ringan yang tdk dipengaruhi ADL
 5-10% mengalami kelemahan motorik menetap, pemulihan dapat berlangsung > 2 tahun
 Mortalitas 3-5%
 Relaps : 2-10%
 Perburukan : 6% menjadi CIPD (chronic inflammatory demyelinating
polyradiculoneurophaty)

Komplikasi Sindroma Guillain Barré

Gagal nafas
Aspirasi
Pneumonia
Emboli pulmoner
Pneumothoraks
Stenosis trakhea*
Sepsis karena kateter intravena*
Infeksi saluran kemih
Dekubitus kulit
Tukak stres, perdarahan gastrointestinal
Konstipasi dan ileus
Obstruksi usus
Malnutrisi
Trombosis vena dalam
Hiponatremia
Hiperkalsemia
Anemia
Disautonomia
Hipertensi
Hipotensi
Aritmia jantung
Ileus
Nyeri
Depresi
Ansietas
Gangguan tidur
Ensefalopati

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah suatu penyakit pada sususnan saraf yang terjadi secara
akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi , kadang kadang mengenai saraf
saraf otak yang didahului oleh infeksi akut non spesifik seperti infeksi saluran nafas dan saluran
cerna. Penyebab infeksi yang paling sering adalah Campylobacter jejuni. Adapun gejala utama
dari SGB adalah kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau
tanpa disertai ataxia dan arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general.
Dari pemeriksaan LCS didapatkan peningkatan protein tanpa peningkatan jumlah sel (MN <
10/ul). Dari pemeriksaan elektrodiagnostik terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi
impuls saraf. Diagnostik SGB terutama ditegakkan secra klinis, yaitu dari kriteria dignostik SGB
menurut the National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke
(NINCDS).
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB , pengobatan terutama secara
simptomatis. Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Kematian pada SGB disebabkan
oleh gagal nafas dan aritmia.
DAFTAR PUSTAKA

1. van den Berg B, Walgaard C, Drenthen J, et al. Guillain-Barré syndrome: pathogenesis,

diagnosis,treatment and prognosis. Nat Rev Neurol 2014;10:469–82

2. Willison HJ, Jacobs BC, van Doorn PA . Guillain-Barré syndrome. Lancet 2016;388:717–27

3. Raphael JC, Chevret S, Hughes RA, et al. Plasma exchange for Guillain-Barre

syndrome. Cochrane Database Syst Rev 2012;(7)

4. Hughes RA, Swan AV, van Doorn PA . Intravenous immunoglobulin for Guillain-Barré

syndrome.Cochrane Database Syst Rev 2014(9)

5. Hughes RA, Swan AV, Raphaël JC, et al. Immunotherapy for Guillain-Barré syndrome: a

systematic review. Brain 2007;130(Pt 9)

6. Winer JB, Hughes RA,Osmond C. A prospective study of acute idiopathic neuropathy. I.

Clinical features and their prognostic value. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1988;51:605–12.

7. van den Berg B, Bunschoten C,van Doorn PA, et al. Mortality in Guillain-Barre

syndrome. Neurology2013;80:1650–4.

8. Ruts L, Drenthen J, Jongen JL, et al. Pain in Guillain-Barre syndrome: a long-term follow-up

study.Neurology 2010;75:1439–47

9. Hughes RA,Newsom-Davis JM,Perkin GD, et al. Controlled trial prednisolone in acute

polyneuropathy.Lancet 1978;2:750–3

Anda mungkin juga menyukai