Anda di halaman 1dari 39

PENYAKIT

DEMYELINISASI DAN
NEUROMUSKULAR
dr. Fathia Annis Pramesti,SpS,MBiomed
Gullain Barre Syndrome
 Sindrom Guillain-Barre (SGB) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory
Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit
pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama
mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang
didahului oleh infeksi
 suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi
setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut
 Manifestasi klinis utama dari Sindrom Guillain-Barre adalah suatu kelumpuhan
yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan
terkadang mengenai wajah
 Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel
saraf. Kelumpuhan dimulai pada bagian distal ekstremitas bawah dan dapat
naik ke arah kranial (Ascending Paralysis) dengan karakteristik adanya
kelemahan arefleksia yang bersifat progresif dan perubahan sensasi sensorik
 suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara
akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis
 Sindrom Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000
orang pertahun
 indikasi terbanyak penderita Sindrom Guillain-Barre di Indonesia adalah
kelompok usia di bawah 35 tahun dengan jumlah penderita laki-laki dan
perempuan hampir sama
 Pada umumnya penderita Sindrom Guillain-Barre mempunyai prognosa yang
baik, sekitar 95% pasien Sindrom Guillain-Barre terjadi penyembuhan tanpa
gejala sisa dalam waktu 3 bulan tetapi pada sebagian kecil penderita dapat
meninggal atau mempunyai gejala sisa
 Angka kematian rata-rata pada Sindrom Guillain-Barre adalah 2% - 6% yang
secara umum disebabkan akibat dari komplikasi ventilasi, henti jantung,
emboli paru, sepsis, bronkospasme, dan pneumotoraks
 Lebih dari 75% penderita mengalami perbaikan sempurna atau hampir
sempurna tanpa defisit neurologi atau hanya kelelahan dan kelemahan distal
yang minimal, sedangkan 15% penderita lainnya berakhir dengan gejala sisa
defisit neurologi yang dapat berupa bantuan ventilasi akibat kelemahan distal
yang berat
ETIOLOGI GBS

 Penyebab Sindrom Guillain-Barre belum diketahui secaara pasti, tapi sering


dihubungkan dengan penyakit infeksi seperti infeksi saluran nafas dan infeksi
saluran cerna
 Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus
(CMV), HIV, Measles, dan Herpes Simplex, sedangkan untuk penyebab bakteri
paling sering oleh Campylobacter jejuni
 Kondisi lain yang memungkinkan terjadinya Sindrom Guillain-Barre adalah
vaksinasi, pembedahan, dan beberapa penyakit sistemik seperti keganasan,
Systemic Lupus Erythematosus (SLE), tiroiditis, dan penyakit Addison
PATOFISIOLOGI

 kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi
 Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada
myelin
 Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1
 Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama
 Bedasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral, maka sel T
merespon dengan adanya inflitrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer, kemudian
terbentuklah makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan timbulnya proses
demielinisasi dan penghambatan impuls saraf
KLASIFIKASI

 AMSAN
 AMAN
 Miller Fisher Syndrome
 Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
 Acute pandysautonomia
Gejala klinis
 Sindrom Guillain-Barre merupakan penyebab paralisis akut yang dimulai dengan
rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis
ke-empat ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat
bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali
 Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf
motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flacid.
 Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial
diplegia
 Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan 20 %
pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas
 Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia
bahkan cardiac arrest, facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan
kelainan dalam berkeringat
 Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah
bilateral facial palsy.
 Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk
mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur
(blurred visions)
Pemeriksaan fisik

 Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat


difus dan paralisis.
 Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang.
 Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-
otot intercostal.
 Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin
ditemukan.
 Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan
Pemeriksaan Penunjang
 LCS
Hasil pemeriksaan cairan serebrospina yang paling khas adalah adanya disosiasi
sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai
adanya pleositosis (peningkatan hitung sel)
 Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan
prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal
saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang
telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal
 Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan
fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang
ditemui
 EKG
Pemeriksaan elektrokardiografi dapat menunjukkan adanya perubahan
gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted
pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering
 Tes Fungsi Respirasi
Tes fungsi respirasi bertujuan untuk mengukur kapasitas vital paru akan
menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending)
 Pemeriksaan patologi anatomi
Pada umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal
Diagnosis Banding

 Miastenia gravis akut


 Thrombosis arteri basilaris
 Paralisis periodic
 Tick paralysis
 Botulisme
 Porfiria intermitten akut
 Neuropati akibat logam berat
 Cedera medulla spinalis
 Mielopati cervicalis
Terapi

 Plasma Exchange therapy


 Imunoglobulin IV
 Kortikosteroid
Myasthenia Gravis

 merupakan penyakit kelemahan otot. Penyakit ini merupakan penyakit


neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan
otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan
 Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan antara
wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Sedangkan pada
tingkatan usia yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa
yang lebih tua
 Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi
pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif
untuk pertahanan sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan
lebih baik
 suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan
progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas
 Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya
terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi
saraf kranial
 sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan
oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi
Anatomi neuromuscular junction

 Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat
suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuskular
 Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian
pembentuk neuromuscular junction
 Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot
yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps,
dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200Å
 Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi
asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan
disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran plasma akson terminal
disebut membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membran postsinaps
atau lempeng akhir motorik serabut otot
 Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu
menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan
potensial aksi otot
 Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson
terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps
 Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada membran
postsinaps
 Influks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyababkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial motor end plate
 Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi
serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi,
asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase
Etiologi

 Autoimun → Direct mediated antibody


 Virus
 Obat-obatan :
 Antibiotik (aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin)
 B-blocker (propranolol)
 Lithium
 Magnesium
 Procainamide
 Verapamil
 Chloroquine
 Prednisone
Patofisiologi
 dikarenakan kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh
hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga
dalam hal ini, miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik
organ
 terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor(AChR)
 Kondisi ini mengakibakan  Acetyl Choline(ACh)  yang tetap dilepaskan dalam
jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran
post-synaptic
 Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls
tertentu
 Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-
immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat
memblok AChR dan merusak membran post-synaptic
 sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada
patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma
Gejala klinis

 kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan
meningkat apabila sedang beraktivitas.
 Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan
ini akan berkurang apabila penderita beristirahat
 Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya
mengenai bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak
kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal
Klasifikasi

Klasifikasi Miastenia Gravis menurut Osserman:


 Miastenia Okuler
A. Miastenia umum derajat ringan
B. Miastenia umum derajat sedang
 Miastenia fulminasi akut
 Miastenia berat yang berkembang lamban
Diagnosis
Anamnesa
Pemeriksaan fisik
 Kelelahan otot harus diuji pada penderita myasthenia gravis:
 Melihat ke atas dan ke samping selama 30 detik: ptosis dan diplopia
 Menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa
suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang(menjadi anartris dan afonis)
 Melihat kaki sambil berbaring selama 60 detik
 Lengan direntangkan ke depan selama 60 detik
 Berlutut selama 10 detik
 Berjalan 30 langkah dengan dua cara, dengan jinjit dan menggunakan tumit
 Lima sit up, berbaring sampai benar-benar duduk
 Mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis
 "Peek sign": dengan posisi awal mata tertutup dengan kuat dan cepat setelah 60
detik akan terlihat otot orbikularis okuli mulai melemah sehingga mata akan terlihat
mengintip
Pemeriksaan penunjang

 Anti-asetilkolin reseptor antibodi


 Antistriated muscle (anti-SM) antibody
 Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
 Antistriational antibodies
 EMG  RNS (Repetitive Nerve Stimulation)
 Endhophronium Test
 Prostigmin Test
 Imaging  CT scan thorax
 Tes Fungsi Paru
Terapi

 Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi


merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis
 Plasma Exchange (PE)
 IVIg
 IV MP
Multiple Sclerosis

 penyakit inflamasi yang dimediasi sistem imun, yang menyerang akson


bermielin dalam sistem saraf pusat (SSP) berupa kerusakan mielin dan akson
dalam derajat yang bervariasi
 Istilah multipel sklerosis berasal dari banyaknya daerah jaringan parut
(sklerosis) yang mewakili berbagai bercak demielinasi dalam sistem saraf
 Penyakit ini ditandai oleh episode awal defisit neurologis yang bersifat
reversibel
 Pada kebanyakan pasien, episode ini diikuti oleh penurunan fungsi neurologis
yang progresif dari waktu ke waktu
Etiologi

 Penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga suatu virus atau antigen asing
memicu reaksi autoimun, yang biasanya terjadi pada awal kehidupan
penderita
 Penyebab penyakit ini kemungkinan melibatkan kombinasi dari kerentanan
genetik dan pemicu nongenetik, seperti virus, kadar vitamin D yang rendah,
atau faktor lingkungan, yang bersama-sama mengakibatkan gangguan
autoimun yang berlanjut pada serangan berulang pada SSP
 insiden multipel sklerosis lebih banyak dijumpai di daerah dengan letak
geografis garis lintang yang lebih tinggi karena kadar vitamin D yang rendah
akibat paparan sinar matahari yang minimal di daerah tersebut
Tanda dan gejala klinis

 muncul pada usia 20-40 tahun, lebih sering terjadi pada wanita.
 Gejala awal yang sering terjadi adalah kesemutan, mati rasa atau perasaan
aneh pada lengan, tungkai, batang tubuh atau wajah, disertai penurunan
kekuatan tungkai atau tangan.
 Beberapa penderita hanya memiliki gejala pada mata berupa penglihatan
ganda, kebutaan parsial dan nyeri pada satu mata, penglihatan kabur atau
suram atau hilangnya penglihatan pusat (neuritis optikus)
 Gejala awal juga bisa berupa perubahan emosi dan intelektual yang ringan
Gambaran klinis
Karakteristik lesi MS pada MRI
Kriteria diagnosis MS
Diagnosis banding
Terapi

 Terapi pada pasien dengan multipel sklerosis meliputi dua aspek, yaitu terapi
imunomodulator untuk gangguan sistem imun yang mendasari dan terapi
simptomatis
 Untuk fase eksaserbasi akut, penggunaan metilprednisolon mampu mengatasi
serangan awal MS, namun penggunaan jangka panjang memiliki efek samping
yang besar
 penggunaan pengganti plasma (plasmaferesis) dapat digunakan dalam jangka
pendek untuk serangan yang parah, apabila pasien kontraindikasi terhadap
steroid, atau apabila penggunaan steroid sudah tidak efektif
Terapi simptomatis
Terima kasih

Semoga bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai