Anda di halaman 1dari 22

Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai

radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah
suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower
motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.
Sindroma Guillain Barre mempunyai banyak sinonim, antara lain : polineuritis akut pasca infeksi,
polineuritis akut toksik, polineuritis febril, poliradikulopati dan acute ascending paralysis.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. SGB merupakan
suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer.
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada
pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda radang.
Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan
yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus,
infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral
dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan medula oblongata.
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan
yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.
INSIDENS
Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini di seluruh
dunia berkisar antara 1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Penyakit ini menyerang semua umur, tersering dikenai umur dewasa muda. Insidensi lebih tinggi pada
perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1, dan lebih banyak terjadi pada usia muda
(umur 4-10 tahun). Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan
tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu.
ETIOLOGI
Dahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa
ternyata virus bukan sebagian penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan
imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process.
Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi saluran nafas bagian atas atau
saluran pencernaan. Penyebab infeksi pada umumnya virus dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat
pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan
sebagainya.
PATOGENESIS
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul autoantibodi atau
imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer.
Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat
menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah
infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks
ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun
kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan
lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu
kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar
persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik
pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak.
Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi
sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran
kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit.
Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.
Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen
proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis
diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut.
GAMBARAN KLINIS
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran
pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya (2). Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu
pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit
limfoma dan setelah vaksinasi influensa (1,4).
Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala
neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa
laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau
keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat
anggota gerak.
Gejala Klinis
1.Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada
sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar
secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat
anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat
kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya,
atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2.Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi
sirkumoral (3). Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola
kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik (1,4).
3.Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai
pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi.
Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya
N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan,
disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus
(4).
4.Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 (4). Gangguan tersebut berupa sinus
takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau
hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau
inkontinensia urin jarang dijumpai (1,4). Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu
atau dua minggu.
5.Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani
dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot
pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita (1,4).
6.Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena
peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales
sehingga absorbsi cairan otak berkurang (4).
7.Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset
penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini
berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu (3,4).
Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal
dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang
melebihi 7 minggu (3).
Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung
selama beberapa bulan.
Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
Gambar 1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai
penderita SGB (3).
1.Variasi klinis
Di samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis seperti yang
dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and Communicate
Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981 adalah sebagai berikut :
Sindroma Miller-Fisher
Defisit sensoris kranialis
Pandisautonomia murni
Chronic acquired demyyelinative neuropathy.
2.Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg
% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik.
Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan
mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu (2,4,11). Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun
demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang
disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
3.Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah (11) :
Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
Distal motor retensi memanjang
Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan
radiks saraf.
Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk
menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa
penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna (12).
DIAGNOSIS
Diagnosis SGB berdasarkan gambaran klinis yang spesifik, disosiasi sito-albuminik dan kelainan
elektrofisiologis. Kriteria diagnosis yang luas dipakai adalah kriteria diagnosis dari NINCDS tahun
1981 (11).
Tabel 1. Garis besar kriteria diagnosis SGB
Gambaran yang diperlukan untuk diagnosis
Kelemahan motorik yang progresis
Arefleksi atau hipofleksia
Gambaran yang mendukung diagnosis
Gambaran klinis
Progresif cepat
Relatif simetris
Keluhan gejala sensoris yang ringan
Dikenainya saraf otak
Penyembuhan dimulai setelah 4 minggu fase progresif berakhir
Gangguan otonom
Afebril pada saat onset
Gambaran cairan otak
Peninggian kadar protein setelah satu minggu onset
Jumlah sel mononuklear cairan otak < 10 sel/mm3
Gambaran EMG
Terdapat perlambatan atau blok hantaran saraf
Gambaran yang meragukan diagnosis
Kelumpuhan asimetris yang menetap
Gangguan kandung kemih dan defikasi yang menetap
Gangguan kandung kemih dan defikasi pada onset
Jumlah sel mononuklear dalam cairan otak > 50 sel mm3
Terdapat leukosit PMN dalam cairan otak
Gangguan sensibilitas berbatas tegas
Gambaran yang menyingkirkan diagnosis
Terdapat sangkaan adanya riwayat, gambaran klinis atau laboratorium dari :
Pemakaian uap n-heksan
Porfiria intermitten akut
Infeksi difteri
Neuropati karena keracunan timah hitam
Poliomielitis, botulisme, histeri atau neuropati toksik
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari SGB adalah polimielitis, botulisme, hysterical paralysis, neuropati toksik
(misalnya karena nitrofurantoin, dapsone, organofosfat), diphtheric paralysis, porfiria intermitten akut,
neuropati karena timbal, mielitis akut (2,4,11).
PROGNOSIS
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita meninggal oleh karena
kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar antara 2-10 % (1,3,6), dengan penyebab
kematian oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru.
Sebagian besar penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan. Sebagian
kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot
kecil di tangan dan kaki (2,3). Kira-kira 3-5 % penderita mengalami relaps (2).

TERAPI
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis.
Tujuan utama pengobatan adalah perawatan yang baik dan memperbaiki prognosisnya.
1.Perawatan umum dan fisioterapi (1,4,13)
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan pada perawatan kulit, kandung kemih.
Saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
Respirasi diawasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan
permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera
dibantu dengan pernafasan buatan. Jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama maka
trakheotomi harus dikerjakan.
Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi
sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis spint
mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi
dicegah dengan gerakan pasif.
Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih
dan meningkatkan kekuatan otot. Disfungsi otonom harus dicari dengan pengawasan teratur dari
irama jantung dan tekanan darah. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
2.Pertukaran plasma
Pertukaran plasma (plasma exchange) bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari
onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14
hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange.
3.Kortikosteroid
Walaupun telah melewati empat dekade pemakaian kortikosteroid pada SGB masih diragukan
manfaatnya. Namun demikian ada yang berpendapat bahwa pemakaian kortikosteroid pada fase dini
penyakit mungkin bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

1.Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal 173-179,
Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.
2.Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
3.Mardjono M, 1989, Patofisiologi Susunan Neuromuskular, dalam : Neurologi Klinis Dasar, edisi V :
hal 41-43, PT Dian Rakyat, Jakarta.
4.Sidharta, P, 1992, Lesu-Letih-Lemah, dalam : Neurologi Klinis dalam praktek Umum : ha; 160-162,
PT Dian Rakyat, Jakarta.
5.Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II : ha;
883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.

2002 digitized by USU digital library 1


SINDROMA GUILLAIN-BARRE
Dr ISKANDAR JAPARDI
Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup
sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita
dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan
dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang
baik.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic
polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious
Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain
Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre
Syndrome.
Definisi
Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama
kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis
diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan
kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan
tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal
(CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi
sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut
Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain
berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan
EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan
hantar saraf pada EMG.
Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling
dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur
dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun
didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan
2002 digitized by USU digital library 2
dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan
Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun.
Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah
3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,
III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki
dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April
s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Penyakit sistematik:
o keganasan
o systemic lupus erythematosus
o tiroiditis
o penyakit Addison
Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV
EBV
HIV
Varicella-zoster
Vaccinia/smallpox
Influenza
Measles
Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter
Jejeni
Mycoplasma
Pneumonia
Typhoid Borrelia B
Paratyphoid
Brucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
2002 digitized by USU digital library 3
Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang
paling sering adalah infeksi virus.
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone
marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam
jaringan limfoid danperedaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan
memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu
limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi
interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi
sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk
mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen.
Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam,
sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah
infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya
berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan
2002 digitized by USU digital library 4
makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari
sel schwan dan akson.
Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
Gejala klinis dan kriteria diagnosa
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
Relatif simetris
Gejala gangguan sensibilitas ringan
Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dangejala vasomotor.
Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
Varian:
o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu
gejala
o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
2002 digitized by USU digital library 5
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal
Diagnosa Banding
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan
dengan keadaan lain, seperti:
Mielitis akuta
Poliomyelitis anterior akuta
Porphyria intermitten akuta
Polineuropati post difteri
Terapi
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara
umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan
dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
6 merkaptopurin (6-MP)
azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.
2002 digitized by USU digital library 6
Prognosa
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara
lian:
pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
progresifitas penyakit lambat dan pendek
pada penderita berusia 30-60 tahun
DAFTAR PUSTAKA
Arnason B.G.W. 1985. Inflammatory polyradiulopathy in Dick P.J. et al Peripheral
neuropathy. Philadelphia : WB. Sounders.
Asbury A.K. 1990. Gullain-Barre Syndrome : Historical aspects. Annals of
Neurology (27): S2-S6
Asbury A.K. and David R. Crnblath. 1990. Electrophysiology in Guillain-Barre
Syndrome. Annals of Neurology (27): S17
Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated
polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226
Chandra B. 1983. Pengobatan dengan cara baru dari sindroma gullain-barre.
Medika (11); 918-922
Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th ed. Guillain-Barre
Syndrome Foundation International 2000.
Hurwitz E.S. Guillain-Barre Syndrome and the 1978-1979 influenza vaccine. The
New England Med. (304); 1557-1561
Morariu M.A. 1979. major Neurological syndrome. Illinois : Charles C. Thomas
Publisher.
Parry G.J. 1993. Guillain-Barre Syndrome . New York : Theime Medical Publisher
Van der Meche et all. 1992. A randomized trial comparing intravenous globulin
and plasma exchange injury Guillain-Barre Syndrome. The New England
Journal of Med. 326(April 23); 1123-1129
Van Doom P.A. and Van der Meche. 1990. Guillain-Barre Syndrome, optimum
management. Clin. Immunother. 2(2): 89-99
Visser L.H. et all. 1995. Guillain-Barre Syndrome without sensory loss (acute
motor neuropathy). A subgroup with specific clinical, electrodiagnostic and
laboratory features. Brain (118); 841-847
Sindrom Guillain­ Barre 
dan Typhus Abdominalis 
­ laporan kasus 
A. Munandar
Unit Neurologi, Rmmah Sakit Husada, Jakarta 
ABSTRAK 
Sindrom Guillain­Barre sebagai bentuk kelumpuhan pada demam tifoid sangat 
jarang ditemukan. Penulis melaporkan satu kasus sindrom Guillain­Barre path pen­
derita demam tifoid, menambah kasus serupa yang sebelumnya telah dilaporkan 
Chanmugam. 
PENDAHULUAN 
Manifestasi kelumpuhan yang dapat terjadi pada demam 
tifoid mungkin berupa miopati, sindrom Guillain­Barre dan 
polineuropati
(1)
. Bentuk sindrom Guillain­Barre sangat jarang 
ditemukan dan dalam kepustakaan pernah dilaporkan oleh 
Chanmugam
(2)
. Kasus yang dilaporkan penulis berbeda dengan 
yang telah diuraikan itu dalam hal penanganannya. Kasus di­
kenal pertama sebagai sindrom Guillain­Barre dan mendapat pe­
nanganan sesuai dengan itu dan baru kemudian diketahui meru­
pakan kasus tifoid, sedangkan kasus penulis sejak pertama diobati 
sebagai tifoid (mungkin karena pasien datang ke dokter penyakit 
dalam) dan setelah demamnya mereda baru dikonsulkan ke unit 
neurologi. Namun kedua­duanya ialah sindrom Guillan­Barre 
yang timbul pada infeksi Salmonella. 
URAIAN KASUS 
Seorang anak laki­laki Indonesia berumur 14 tahun pada 
saat masuk perawatan telah menderita demam di rumah selama 
empat hari. Bersamaan dengan demamnya ia merasa kesemutan 
pada kedua betisnya dan kemudian kedua tungkainya menjadi 
lemah. Kelemahan itu bertambah hari bertambah parah sehingga 
ia tidak mampu berjalan sendiri. Ia kemudian masuk perawatan 
di rumah sakit. Hasil pemeriksaan laboratorium ialah : Hb 13,6 
g%; leukosit 7300/mm
3
; hitung jenis menunjukkan eosinofil 0, 
batang 5, segmen 84, limfosit 11; tes aglutinasi S typhi O 1/80 dan 
H 1/160 positif; biakan darah juga S typhi positif; urine tidak ada
kelainan. Ia mendapat pengobatan dengankloramfenikol 4 x 500 
mg dan pada hari perawatan ke enam ia menjadi afebril. Pada hari 
perawatan kelima ia dikonsulkan ke unit neurologi. 
Pada pemeriksaan neurologi ditemukan tetraparesis flaksid 
dengan tenaga 3, refleks tendo dan refleks patologi negatif. 
Gangguan sensorik tidak ditemukan. Pemeriksaan EMG mem­
perlihatkan penurunan kecepatan hantar saraf, penurunan ge­
lombang F dan hilangnya refleks H. Cairan serebrospinal : 
jumlah se157/mm', segmen 21 dan limfosit 79; protein 479 mg/ 
100 ml, gula 57 mg/100 ml; tidak ditemukan bakteri. Atas dasar 
penemuan itu ditegakkan diagnosis sindrom Guillain­Barre. 
Pengobatan dengan kloramfenikol 4 x 500 mg diteruskan 
sampai 10 hari dan kemudian dilanjutkan dengan kloramfenikol 
4 x 250 mg. Untuk sindrom Guillain­Barre ia mendapat terapi 
penunjang dan fisioterapi. 
DISKUSI 
Sindrom Guillain­Barre biasanya didahului infeksi virus di 
saluran nafas, saluran cerna, (mungkin juga AIDS), vaksinasi, 
tindakan bedah atau menjadi penyulit pada proses keganasan. 
Mungkin juga terjadi pada difteri dalam minggu ke 5­8, atau 
kadang­kadang pads penderita uremi yang kehabisan gizi
(3,4)

Dalam kepustakaan baru satu kali dilaporkan sindrom ini pada 
demam tifoid
(2)

Awitan sindrom ini biasanya akut atau subakut dengan 
keluhan kesemutan, baal dan nyeri otot, disusul kelemahan otot
yang mulai, sedikit banyak secara simetri, di tungkai dan kemu­
dian dapat menjalar ke proksimal ke lengan dan saraf otak. Suhu 
tubuh biasanya normal. Salah satu ciri utama lain ialah kele­
mahan otot yang mencolok dan tidak ada atau hanya sedikit 
gangguan sensorik. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat 
dan respon F dan H abnormal
(3)
. Penyakit ini secara alami pulih. 
Pada terapi yang penting ialah kesiapan untuk bantuan per­
nafasan. 
Baik pada kasus Chanmugam maupun kasus penulis 
ditemukan demam tinggi pada penderita, yang biasanya tidak 
ditemukan pada sindrom Guillain­Barre
(3,4)
. Demam itu baru 
hilang setelah penderita mendapat pengobatan terhadap demam 
tifoidnya sungguhpun padakasus Chanmugam dari segi susunan 
saraf sudah terjadi kemajuan secara lambat clan tetap. 
Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit menular 
kedua terbesar setelah gastroenteritis
(1)
. Oleh karena itu sindrom 
Guillain­Barre sebagai bentuk kelumpuhan pada demam tifoid 
mungkin lebih sering dijumpai asalkan diwaspadai. Pengenalan 
sindrom ini sebagai penyulit demam tifoid perlu disadari karena 
berpotensi fatal akibat kegagalan pernafasan; sehingga tidak 
boleh dianggap sebagai suatu polineuropati. Polineuropati biasa­
nya melibatkan komponen motorik, sensorik dan vegetatif. Se­
baliknya mengenali sindrom Guillain­Barre tanpa mengetahui 
kemungkinan kaitannya dengan demam tifoid mungkin juga 
berakibat fatal karena infeksi Salmonella tidak diatasi. 
KESIMPULAN 
Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain­Barre pada 
demam tifoid perlu lebih diketahui dan disadari, khususnya di 
Indonesia di mana demam tifoid masih merttpakan penyakit 
menular yang besar. 
Sungguhpun sindrom Guillain­Barre umumnya pulih de­
ngan baik namun mungkin terjadi kegagalan pernafasan yang 
dapat menimbulkan akhir yang fatal. 
KEPUSTAKAAN 
1.
Dody Ranuhardy, Djoko Widodo. Manifestasi kelumpuhan pads Demam 
Tifoid, Medika, 7, 18, 1992; 18(7): 57­59. 
2.
Chanmugam D, Waniganetti A. Guillain­Barre Syndrome associated with 
Typhoid Fever. BMJ 1969; 1: 95­6. 
3.
Adams RD, Victor M. Principles of Neurology, 4th ed. New York: McGraw­
Hill, 1989: 1035­40. 
4.
Pryse­Philips W, Murray TJ. Essential Neurology, 2nd ed. 1984 : 591­3. 

Sindroma Guillain-barr�
DEFINISI
Sindroma Guillain-Barr� (Polineuritis asendens akut) adalah sejenis polineuropati akut ayang
menyebabkan kelemahan otot yang semakin memburuk dan kadang menyebabkan kelumpuhan.
PENYEBAB
Diduga penyebabnya adalah reaksi autoimun, dimana sistem kekebalan tubuh melawan selubung
sarafnya sendiri (mielin).
Pada sekitar 80% penderita, gejalanya mulai timbul dalam 5 hari- 3 minggu setelah infeksi ringan,
pembedahan atau imunisasi.
GEJALA
Sindroma ini biasanya dimulai dengan kelemahan, kesemutan dan hilangnya rasa pada kedua tungkai.
Kelemahan merupakan gejala utama.
Pada 5-10% penderita, otot pernafasan juga mengalami kelemahan sehingga diperlukan respirator.
Sekitar 10% mengalami kelemahan pada otot wajah dan otot untuk menelan, sehingga makanan
diberikan secara intravena atau selang gastrostomi.
Jika penyakit ini sangat berat, tekanan darah bisa turun-naik atau irama jantung menjadi abnormal
atau terjadi kelainan fungsi lainnya dari sistem saraf otonom.
Salah satu bentuk sindroma Guillain-Barr� menyebabkan sekumpulan gejala yang tidak biasa:
- kelumpuhan pergerakan mata
- kesulitan berjalan
- kehilangan refleks-refleks yang normal.
Sekitar 5% penderita meninggal karena penyakit ini.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
Analisis cairan serebrospinal, elektromiografi, uji kecepatan penghantaran saraf dan pemeriksaan
darah dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lainnya dari kelemahan otot.
PENGOBATAN
Sindroma Guillain-Barr� merupakan penyakit yang sangat serius, sehingga penderita biasanya
dirawat di rumah sakit.
Pernafasan dibantu dengan sebuah respirator.
Terapi fisik dilakukan untuk mencegah pemendekan otot (kontraktur) dan untuk mempertahankan
fungsi otot dan sendi.
Dilakukan plasmaferesis (pembuangan bahan racun dari darah) dan infus autoimun globulin.

PROGNOSIS
Penderita bisa membaik dengan sendirinya, tetapi memerlukan waktu yang lama.
Penderita yang segera diobati akan membaik dengan cepat, dalam beberapa hari atau minggu. Jika
tidak diobati, masa penyembuhan memerlikan waktu beberapa bulan, tetapi penderita biasanya akan
sembuh sempurna.
Setelah 3 tahun, sekitar 30% memiliki gejala sisa berupa kelemahan.
Setelah penyembuhan, sekitar 10% mengalami kekambuhan dan menderita polineuropati kambuhan
menahun. Keadaan in bisa diatasi dengan imun globulin dan kortikosteroid, juga plasmaferesis dan
obat-obatan yang menekan sistem kekebalan.

Ada yang tau gak tentang Sindroma Guillain Barre. Jika ada yang belum tau sebaiknya coba baca
artikel ini. Mungkin ini bisa menambah wawasan tentang Sindroma Guillain Barre. Kie juga baru tau
tentang Sindroma Guillain Barre, nah Kie juga pingin temen – temen tau. Yang berbagi infolah.
Ceritanya......
Sindroma Guillain Barre adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus (menyeluruh) yang
mengenai radiks spinalis (saraf tulang belakang) dan saraf periter (tepi), kadang – kadang juga sampai
ke saraf knanialis (kepala), yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Penyakit ini terdapat di seluruh
dunia dan menyerang semua umur, namun tersering menyerang dewasa muda( ya bisa dibilang umur –
umur kita ini rentan terserang).
Sindroma Guillain Barre merupakan suatu penyakit autoimun(reaksi sistem kekebalan tubuh), dimana
proses imunologis tersebut mengenai sistem saraf perifer(tepi). Miroorganisme penyebabnya belum
pernah ditemukan dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda – tanda radang.
Sindrom ini pertamanya hanya diduga disebabkan infeksi virus tetapi akhir – akhir ini terungkap
bahwa virus bukan satu – satunya penyebabnya. Ada teori yang mengatakan merupakan suatu
kelainan imunobiologik. Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi
saluran pernafasan bagian atas atau saluran percernaan. Nah loh..... ati – ati klo kena influenza, cepet –
cepet ke dokter jangan sampai kebablasen ya. Nah temen – temen kie kasih tau lagi ya penyebab
infeksi dari sindrom ini umumnya virus dari kelompok herpes. Sindrom ini juga dapat di dahului
dengan vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tidakan operasi, anestesi dan sebagainya.
Dan parahnya jika terkena sindrom ini, sampai saat ini belum ada terapi spesifik tapi tenang dulu
penyakit ini bisa sembuh dengan sendirinya meskipun jangka waktunya tidak dapat ditentukan.
Pengobatan untuk sindrom ini hanyalah bersifat simtomatis (menghilangan gejala / keluhan) dan
dengan perawatan yang baik biasanya dapat memperbaiki prognosis.
Gejala Klinis
1. Kelumpuhan
2. Gangguan Sensibilitas
Parestesi (ksemutan) biasanya lebih jelas pada bagian ekstremitas distal(tungkai) dan muka dengan
distribusi sirkumoral
3. Saraf Kranialis (Kepala)
Bagian saraf ini yang paling sering dikenai adalah saraf muka dan lidah.
4. Gangguan Fungsi Otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25% penderita Sindroma Guillain Barre, biasanya berupa
sinus(denyut jatung meningkat), muka jadi merah(facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang
berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis.
5. Kegagalan Pernafasan
Biasanya kegagalan pernafasan pada penderita Sindroma Guillain Barre disebabkan paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot pernafasan.
Fase Sindroma Guillain Barre
1. Fase Progresif
Fase ini dimulai dari terjangkit penyakit. Selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai
mencapai maksimal, belangsung beberapa hari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2. Fase Plateau
Fase ini telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini biasanya hanya 2 hari samapi 3 minggu.
3. Fase Rekonvalesen(perbaikan)
Fase ini ditandai dengan terjadi perbaikan kelumpuhan ekstremitas yang berlangsung selama beberapa
bulan.
Seluruh perjalan penyakit Sindroma Guillain Barre ini biasanya berlangsung dalam kurun 6 bulan.

GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang
biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil nama
dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang
prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima
perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di
semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih
sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran,
ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua
minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan. Mari kita belajar lebih jauh lagi.
Apa gejala GBS?
Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau tangan atau mati
rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan
telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka
kaleng dll)
Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita biasanya tidak
merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih
lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa.
Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya: kaki susah melangkah,
lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah hilang
fungsi.
Apa penyebab GBS?
Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak adanya pesan
dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang
Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh
kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan menngeluarkan cairan sistem kekebalan
tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan.
Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja
sebagaimana mestinya.
Bagaimana GBS dapat ter-diagnosa?
Diagnosa GBS didapat dari riwayat dan hasil test kesehatan baik secara fisik maupun test
laboratorium. Dari riwayat penyakit, obat2an yang biasa diminum, pecandu alcohol, infeksi2 yang
pernah diderita, gigitan kutu maka Dokter akan menyimpulkan apakah pasien masuk dalam daftar
pasien GBS. Tidak lupa juga riwayat penyakit yang pernah diderita pasien maupun keluarga pasien
misalnya diabetes mellitus, diet yang dilakukan, semuanya akan diteliti dengan seksama hingga dokter
bisa membuat vonis apakah anda terkena GBS atau penyakit lainnya.
Pasien yang diduga mengidap GBS di haruskan melakukan test:
1. Darah lengkap
2. Lumbar Puncture
3. EMG (electromvogram)
Sesuai urutannya, test pertama akan dilakukan kemudian test ke dua apabila test pertama tidak
terdeteksi adanya GBS, dan selanjutnya.
Apa yang akan terjadi setelah test dilakukan?
Tanda-tanda melemahnya syaraf akan nampak semakin parah dalam waktu 4 sampai 6 minggu.
Beberapa pasien melemah dalam waktu relative singkat hingga pada titik lumpuh total dalam hitungan
hari, tapi situasi ini amat langka.
Pasien kemudian memasuki tahap ‘tidak berdaya’ dalam beberapa hari. Pada masa ini biasanya pasien
dianjurkan untuk ber-istirahat total di rumah sakit. Meskipun kondisi dalam keadaan lemah sangat
dianjurkan pasien untuk selalu menggerakkan bagian-bagian tubuh yang terserang untuk menghindari
kaku otot. Ahli Fisioterapy biasanya akan sangat dibutuhkan untuk melatih pasien dengan terapi-terapi
khusus dan akan memberikan pengarahan-pengarahan kepada keluarga adan teman pasien cara-cara
melatih pasien GBS.
Apakah GBS menyakitkan?
Ya dan tidak. Pasien biasanya merasakan sakit yang akut pada saat GBS. Terutama didaerah tulang
belakang dan lengan dan kaki. Namun ada juga pasien yang tidak mengeluhkan rasa sakit yang berarti
meskipun mereka mengalami kelumpuhan parah. Rasa sakit muncul dari pembengkakan dari syaraf
yang terserang, atau dari otot yang sementara kehilangan suplai energy, atau dari posisi duduk atau
tidur si Pasien yang mengalami kesulitan untuk bergerak atau memutar tubuhnya ke posisi nyaman.
Untuk melawan rasa sakit dokter akan memberikan obat penghilang rasa sakit dan perawat akan
memberikan terapi-terapi untuk me-relokasi bagian-bagian tubuh yang terserang dengan terapi-terapi
khusus. Rasa sakit dapat datang dan pergi dan itu amat normal bagi penderita GBS.Apakah pasien
GBS membutuhkan perawatan khusus?
Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari itu perawatan intensive
sangat diperlukan di tahap-tahap dimana GBS mulai terdeteksi. Sesuai dengan tahap dan tingkat
kelumpuihan pasien maka dokter akan menentukan apa pasien memrlukan perawatan di ruang ICU
atau tidak.
Sekitar 25% pasien GBS akan mengalami kesulitan di;
1. Bernafas
2. Kemampuan menelan
3. Susah batuk
Dalam kondisi tersebut diatas, biasanya pasien akan diberikan bantuan alat ventilator untuk membantu
pernafasan.
Berapa lama pasien dapat sembuh?
Setelah beberapa waktu, kondisi mati rasa akan berangsur membaik. Pasien harus tetap wapada karena
hanya 80% pasien yang dapat sembuh total, tergantung parahnya pasien bisa berjalan dalam waktu
hitungan minggu atau tahun. Namun statistic membuktikan bahwa rata-rata pasien akan membaik
dalam waktu 3 sampai 6 bulan. Pasien parah akan menyisakan cacat dibagian yang terserang paling
parah, perlu terapi yang cukup lama untuk mengembalikan fungsi-fungsi otot yang layu akibat GBS.
Bisanya memakan waktu maksimal 4 tahun.
Adakah obat untuk penyakit ini?
Obat nya hanya ada 1 macam yaitu GAMAMUNE ( Imuno globuline ) yang harganya 4jt - 4,5 jt
rupiah /botol biasanya obat ini diinfuskan kepasien dg jumlah yang dihitung dari berat badan, untuk
lebih jelas nya tanya ke dokter, contoh kasus yang dialami Deya dg berat badan pada saat sakit waktu
itu 58 KG deya menghabiskan obat ini sebanyak 20 botol, ( 5 botol / hari).
PENDAHULUAN
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit 'demyelinating' saraf (Nolte 1999). Juga
merupakan salah satu polineuropati, karena hingga sekarang belum dapat dipastikan penyebabnya.
Namun karena kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi, diduga GBS terjadi karena sistem
kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya
perlahan, mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan, atau gangguan
berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada
gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all 1996).
Meskipun orang yang terjangkit penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan total, prognosisnya bagus.
Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan hanya 5%
yang meninggal akibat GBS (Fredericks et all 1996).
Oleh karenanya, disamping perawatan pada tahap akut, tata laksana fisioterapi akan sangat
menentukan prognosis, apakah akan ada gejala sisa atau sembuh total.
Makalah ini akan membahas secara singkat patologi Guillain-Barre Syndrome, dan secara mendetail
akan membahas problem dan penatalaksanaan fisioterapi, baik dalam tahap akut maupun kronis.
I. Guillain-Barre Syndrome
Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre Syndrome menunjukkan
kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf)
ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang
belakang bagian depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar
saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang terserang
dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996,
dan Nolte 1999).
Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini
mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999).
Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi
otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga
menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk diantaranya nervus vagus, yang
merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi
tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang
lain mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.
Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian bawah. Mula-mula yang
dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan
berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret', hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan 'naik'
otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut
kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus hingga
ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas.
Penderita merasa nafasnya berat.
Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan terjadi gangguan
saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-
tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan
cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot
muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami
kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan.
Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan sensorik. Gangguannya bisa berupa rasa
kesemutan, 'terbakar', tebal, atau nyeri. Pola penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama
dengan gangguan motorik. Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu ke waktu (Fredericks et all
1996).
Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi gangguan kardiopulmonari.
Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik otot intercostal maupun
diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru
menjadi terganggu. Paru tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun,
dan bisa menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia,
yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di atas
biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998).
Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan tersedak.
Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.
Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa
naik-turun secara mendadak, atau 'flushing', yaitu muka memerah secara mendadak.
Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti,
hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.
II. Problem Fisioterapi
Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan ada 4 problem dasar dari sisi pandang fisioterapi,
yaitu problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, otonomik dan sensorik. Dalam bab ini akan dibahas
secara mendetail masing-masing problem.
2.1. Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot. Seperti disebutkan di
atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke
neuromusculo junction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot
yang mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron (Fredericks et all 1996). Saraf yang menginervasi
motor neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi ribuan motor
neuron. Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari beberapa
akar saraf tulang belakang (Martini 1998). Jadi bila ada satu akar saraf mengalami gangguan, maka
sebagian serabut otot tidak mendapatkan inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi
dari akar saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf.
Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau semua, dalam satu otot yang tidak
terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese) terjadi
akibat hanya sebagian motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi saraf, sehingga masih
mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena hanya sebagian serabut otot yang
terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan satu otot, penderita GBS lebih cepat lelah.
Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan tersebut tidak bergerak. Bila hal ini
terjadi dalam kurun waktu lama, yang akan terjadi bukan hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi
juga akan terjadi pemendekan otot, dan keterbatasan luas gerak sendi (LGS). Jadi akibat berkurangnya
konduksi saraf, akan mengurangi jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama
sekali, sehingga kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan terjadi pemendekan otot, dan pada
akhirnya keterbatasan LGS.
2.2. Kardiopulmonari
Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf
thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila
menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga (Martini 1998). Akibatnya bahkan
semakin rumit. Oleh karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya,
maka ekspansi dada berkurang.
Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi juga menurun. Akibat
kapasitas vital menurun, kemampuan batuk pun menurun. Sehingga kemampuan untuk membersihkan
saluran pernafasan menjadi berkurang.
Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang mengalami kelemahan otot paru hanya
mampu berbaring. Dalam posisi berbaring, kapasitas paru semakin berkurang karena pengaruh
gravitasi terhadap posisi paru. Akibat gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang sudah lemah tersebut,
semakin berat melakukan ekspansi paru. Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya
atelektasis, sehingga fungsi ventilasi paru berkurang (Pryor & Webber 1998).
Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat terserangnya cranial nerves yang
bersangkutan. Karena gangguan menelan tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan, yang
akan menjadi sumber penyebab infeksi paru. Terjadinya infeksi paru akan meningkatkan kebutuhan
ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga menurunkan kemampuan pertukaran gas di paru. Sehingga
perbedaan kebutuhan ventilasi dan kemampuan ventilasi paru akan sangat besar, yang akan
memperburuk kondisi pasien.
2.3. Sistem Saraf Otonomik
Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai tulang belakang tingkat
thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonomik simpatik. Bila gangguan selaput myelin
mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves) akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena
saraf-saraf tepi otonomik berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan
saraf vagus (Martini 1998). Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya tekanan darah,
keringat yang berlebihan, ataupun postural hipotensi.
Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-tiba, dan menelan, gangguan-gangguan
tersebut tidak akan banyak mempengaruhi program fisioterapi. Tetapi dalam memberikan pengobatan
fisioterapi hendaknya selalu mengawasi tanda-tanda tersebut, terutama bila hendak memberikan
perubahan posisi yang berarti atau mobilisasi.
2.4. Sensasi
Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa (sensasi). Gangguan rasa yang
dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun nyeri (Fredericks et all 1996). Pola
penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun gangguan tersebut
tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri
kadangkala juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi kadangkala
nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga disebabkan oleh kombinnasi
gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama tidak digerakkan.
Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi juga bisa menyebabkan
komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan dekubitus.
Oleh karenanya perlu dipikirkan untuk pencegahannya.
III. Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien
stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam
memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti
sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan
kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini
pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama
penekanan pada semua problem menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem
muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan penatalaksanaan
fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional.
Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi, penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain. Oleh karenanya sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain.
Penulis berusaha memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan
penguraian problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya, pemberian fisioterapi tidak
dapat dipisahkan satu dari yang lain.
3.1. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase pertama
maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga
skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah
mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa
kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.
Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada fase kedua ditekankan
peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali bekerja.
3.1.1. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila memungkinkan. Bila
penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif
asistif). Bila kemudian kondisi kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya
fisioterapis yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita
akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada pasien semakin banyak dari
waktu ke waktu.
Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam menggerakkan anggota tubuh pasien,
sehingga tidak ada bagian yang terlewati. Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati
perkembangan motorik pasien bila dilakukan secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota
tubuh dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga
akan sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian tubuh secara sistematis, juga
sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang
tertinggal.
Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati tingkat toleransi pasien
terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota
tubuh, karena akan merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya
ototnya akan kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi
latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat jumlah
motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan
melakukan lebih banyak sesi dalam sehari.
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya. Sasaran utama pada
fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus
tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas. Program latihan aktif
seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS
normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan
beban unntuk meningkatkan kekuatan otot.
Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya fisioterapis memberikan beban
secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan
program latihan, hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah
memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-
otot mana saja yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.
Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran kekuatan otot (MMT- manual
muscles testing). Tentu saja pada fase pertama kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai
dengan perjalanan penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya
berhenti sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap berikutnya.
Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan
demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga
akan menjadi motivasi keduanya.
3.1.2 Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa dikatakan semua sendi sudah
digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu
menggerakkan LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk
menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.
Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi sebaiknya juga dilakukan secara
sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita,
sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk
mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi
sama pada fase pertama dan kedua.
Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah pengukuran sudut setiap sendi.
Alat yang digunakan adalah goniometer. Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu
institusi biasanya disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer pada
setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke waktu, agar pada
akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional yang maksimal.
3.1.3. Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot juga terpelihara
panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut,
perlu gerakan khusus untuk mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band,
sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan
sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara,
maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti.
Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot tiap individu akan berbeda
tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal,
secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu
tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan
aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh.

Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan cukup untuk kembali
melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah membandingkan otot sebelah
kiri dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya baru
dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot.
3.2. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS yang berat, terjadi
kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi.
Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang.
Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan
untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin menyempit, dan
ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas
vital.
3.2.1. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa dilakukan dengan mudah.
Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan
terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi
meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan
jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk terpelihara.
Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik, rongga dada sudah siap
kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan
harus segera diberikan. Oleh karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan manual
hyperinflation bisa memberikan efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera
diberikan. Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu sesi dan
banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat cukup bagi penderita
diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.
3.2.2. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran pernafasan dalam sehari.
Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang
kemudian tertelan. Bila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka
diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan
batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.
Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol tidak mampu
melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka
diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke paru
berkurang, sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang.
Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol, pembersihan
saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan
teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada
waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain
menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk
membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih proksimal. Untuk
membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus
dilakukan suction.
Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda gangguan otonomik, seperti
kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi penderita agar selalu dalam batas normal.
Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan
pembersihan saluran pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot
pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot pernafasan masih mampu
menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.
3.2.3. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi. Oleh karena
kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut
kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori,
yakni benda itu sediri, dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran
pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing
dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai
kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.
Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan melalui slang yang
langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan.
Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program
fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan
sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda
asing ke saluran pernafasan sudah teratasi.
3.3. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila kehancuran selaput myelin
mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf
otonnomik tersebut adalah hal yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi.
Gangguan-gangguan tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai
keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada
waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh memerlukan
berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap tubuh.
Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama memerlukan waktu untuk
beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan
darah mendapatkan input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila
terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.
Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati tekanan darah dari waktu ke
waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan
darah. Bila memungkinkan digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat.
Disamping tekanan darah, bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai
indikator tekanan darah.
3.3. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau
nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa
terbakar, atau kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri
bisa disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi.
Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya gerakan pada sendi-sendi
tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya,
rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa
nyeri tersebut tidak hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa
nyeri yang timbul karena kombinasi
keduanya.
Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang sama sekali. Bila rasa nyeri
disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih
lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu.
Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.
Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur pada penonjolan-penonjolan
tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan
posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2
jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.

Anda mungkin juga menyukai