Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Guillain

Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit langka dan parah.

Sindroma Guillain Barre mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain
(baca Gilan) dan Barr (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang
di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima
perawatan medis. Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit neurologis
autoimun yang jarang terjadi, di mana sistem kekebalan tubuh menghasilkan
antibodi terhadap saraf sendiri, sehingga terjadi kerusakan dari saraf tersebut.
Guillain

Barre Syndrome disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating

Polyneuropathy yang menyerang radiks saraf baik ventral maupun dorsal yang
bersifat akut dan mengakibatkan kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai
bagian bawah dan meluas sampai tubuh dan otot-otot wajah. Penyakit ini
menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya.1
Penyakit ini terjadi setelah prosedur infeksi akut. Sindroma Guillain Barre
mulanya mempengaruhi sistem saraf perifer. Biasanya penyakit ini adalah bentuk
kelumpuhan

akut di

daerah tubuh bagian

bawah

yang bergerak

ke

arah

ekstremitas atas dan wajah. Secara bertahap pasien kehilangan semua refleks lalu
mengalami kelumpuhan tubuh lengkap.
Walaupun sindroma ini merupakan penyakit yang sebagian besar dapat
mengalami kesembuhan fungsional yang sempurna, tetapi tidak jarang terjadi
kematian karena perjalanan penyakitnya yang akut dan meluas ke bagian atas
1

tubuh sehingga menimbulkan kegagalan pernafasan. Untuk itu pengawasan yang


ketat dan penanganan yang baik pada penderita GBS sangat diperlukan untuk
memperkecil

angka

kematiannya

dan

mengurangi

gejala

sisa

defisit

neurologisnya.
Berikut ini akan dilaporkan kasus seorang anak berusia 1 tahun yang
didiagnosis Tetraparese + Guillain Barre Syndrome (GBS)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang ditunjukkan oleh
awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses
penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin dan saraf perifer
kranial (5)
GBS merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut
langsung mengenai sistem saraf perifer (1). Guillain Barre Syndrome (GBS)
adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis
dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul
setelah suatu infeksi (2). Parry mengatakan bahwa GBS adalah suatu
polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa
GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi
secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis.
2. Klasifikasi
Sindroma Guillain Barre diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah
jenis paling umum ditemukan pada SGB, yang juga cocok dengan gejala asli dari
3

sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota


gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat
adalah nervus facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat
infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag.
2) Acute Motor Axonal Neuropathy
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas
SGB epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65% dari
pasien SGB merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anakanak, dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan
kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan
pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga
dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas.
Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat meningkatkan
rangsangan neuron motorik.
3) Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut
yang berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan
motorik. Pasien biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan
pemulihan lebih buruk dari AMAN.
4) Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy
mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto

antibodi terhadap ganglioside GQ1b.

Kerusakan imunitas tampak terjadi di

daerah paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
5) Acute Neuropatic panautonomic
Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada
SGB. Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat
kematian tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia.
Gangguan berkeringat, kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit
dengan obat pencahar atau bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok
pasien ini. Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan
inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom termasuk ortostatik ringan.
Gejala yang paling umum saat onset berhubungan dengan intoleransi ortostatik,
serta disfungsi pencernaan.
6) Ensefalitis Batang Otak Bickerstaffs (BBE)
Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini ditandai dengan onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign.
Perjalanan penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan
medula. BEE meskipun presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik.
MRI memainkan peran penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE
telah dikaitkan dengan SGB aksonal, dengan indikasi bahwa dua gangguan yang
erat terkait dan membentuk spectrum lanjutan.
3. Epidemiologi
Angka kejadian Guillain Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara
1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih
belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak
5

di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah
penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada
perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di
Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia
rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak
terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun
tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali
GBS menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan
adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara
frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei di mana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Guillain Barre Syndrome adalah penyebab paling umum dari acute flaccid
paralysis pada anak-anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering
didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda. Hal ini terjadi
lebih sering terjadi selama musim panas, sporadic AMAN seluruh dunia
mempengaruhi 10% sampai 20% pasien dengan Guillain Barre Syndrome (GBS).
Miller- Fisher Syndrome mempengaruhi antara 5% dan 10% GBS di ngara-negara
bagian barat, tetapi lebih umum di Asia Timur, dengan persentase 25% di Jepang
dan 19% di Taiwan.
4. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti dan
masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan
imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated
6

process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan
bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons
terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak
ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan
dorsal, terdapat juga gangguan di medula spinalis dan medula oblongata. (2)
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain: (2, 3)
1. Infeksi virus atau bakteri
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%,
yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang
berhubungan dengan GBS :
a. Virus: CMV, EBV, HIV, Varicella-zoster, Vaccinia/smallpox, Influenza,
Measles, Mumps, Rubella, hepatitis, Coxsackie, Echo.
b. Bakteri: Campylobacter, Jejeni, Mycoplasma, Pneumonia, Typhoid,
Borrelia B, Paratyphoid, Brucellosis, Chlamydia, Legionella, Listeria.
2. Vaksinasi
3. Pembedahan, anestesi
4. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus,
tiroiditis, dan penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
6. Gangguan endokrin
5. Patofisiologi
7

Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson


tak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam
selaput (nodus ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan
cairan ekstraseluler. Membran sangat permeabel pada nodus tersebut, sehingga
konduksi menjadi baik. Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi
dengan cepat hanya pada nodus ranvier, sehingga impuls-impuls saraf sepanjang
serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi
salsatori) dengan cukup kuat. (5)
Pada GBS, selaput mielin yang mengelilingi akson hilang. Selaput mielin
cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi, termasuk trauma
fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vaskular, dan reaksi imunologi.
Demielinasi adalah respons umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi
yang merugikan ini. Kehilangan serabut mielin pada Guillain Barre Syndrome
membuat konduksi salsatori tidak mungkin terjadi, dan transmisi impuls saraf
dibatalkan. (5)
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi (proses respon
antibodi terhadap virus atau bakteri) yang menimbulkan kerusakan pada syaraf
tepi hingga terjadi kelumpuhan(2)
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa

merupakan

mekanisme

yang

menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: (2)


1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
8

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran


pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi
saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,
yang paling sering adalah infeksi virus.

Gambar 2.1 Myelinated dan Demyelination


Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului GBS akan
timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf
perifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada
medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di
negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempattempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis
(sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan,
9

namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang


diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda
proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering
dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian
bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit
sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak. Secara patologis
ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai
infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri
dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel
polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel
mast. Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa
terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf
perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya
permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut. (2, 8)
Perjalanan alamiah GBS, skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi
antara berbagai penderita GBS. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, yaitu : (2)
1. Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul
nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan
gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus
GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan
GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi
10

menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang


permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah
berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan
monitoring

tekanan

darah,

irama

jantung,

pernafasan,

nutrisi,

keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di


fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri
hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun
nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini
tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase
penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin
bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
3. Fase Penyembuhan
Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan myelin,
dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai
terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot
11

yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan ototototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari
sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat
muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6
bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi
waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung
dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini
terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui
makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/ terangsang oleh
virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif
karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma
interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar
darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag .
Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin
disamping menghasilkan TNF dan komplemen.(2)
12

6. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. (2)

Gambar 2.2 Lokasi GBS yang Menyerang Nervus Perifer

13

Asbury, dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah


infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural.

Keadaan

ini

segera

diikuti

demyelinisasi

segmental.

Bila

peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan


myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan
selubung myelin dari sel schwan dan akson (2).
7. Manifestasi Klinis
1) Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris
secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum
tungkai atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih
distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot
pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.7
2) Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf
kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin
termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan Bell palsy), Diplopias,
Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil.
Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai
yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini
dimulai dengan defisit saraf kranial.7
14

3) Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan
sensori cenderung minimal dan variabel.7
Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan
sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia
umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi
umumnya

tidak

melebar

keluar

pergelangan

tangan

atau

pergelangan

kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.

4) Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama
perjalanannya.Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung,
pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini
sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut.
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama
perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa
terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas
bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas
waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian
pasien dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit

15

yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus
dekubitus).7
5) Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi
paroksimal, Hipotensi ortostatik, Anhidrosis dan / atau diaphoresis
Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan
dismotilitas usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan
kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah.7
6) Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan
pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah
sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara
cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi
pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit
mereka.7
7. Diagnosis
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:1
a. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
-

Terjadinya kelemahan yang progresif

Hiporefleksi
16

b. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS:


Ciri-ciri klinis:
-

Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,


maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

Relatif simetris

Gejala gangguan sensibilitas ringan

Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering


bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain

Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,


dapat memanjang sampai beberapa bulan.

Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,


hipertensi dan gejala vasomotor.

Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

c. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong


-

diagnosa:
Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi

peningkatan pada LP serial


Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
Varian:
Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
d. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
-

17

- Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.


Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
8. Diagnosis Banding
GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan
motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut:
1) Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens,
meskipun terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula
penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula
akan melemah setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit
sensorik ataupun arefleksia.
2) Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS dimana pada GBS,
pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F;
sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks
patologis Babinski
3) Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa
keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.
4) Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan
kaleng yang terinfeksi.13 Gejala dimulai dengan diplopia13 disertai
dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya
bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien GBS.
5) Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan;
umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang
menempel pada kulit.
18

6) Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan


mendadak, namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan
peningkatan serum asam aminolevulinik delta.
7) Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri
dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat
daripada GBS.
8) Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di
bawah tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hampir sama yakni
pada fase syok spinal, dimana refleks tendon akan menghilang.
9) Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala
meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
10) Mielopati servikalis. Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan
pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau
kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan
hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam
melawan gaya gravitasi.
9. Pemeriksaan Penunjang
1) Cairan serebrospinal (CSS) Yang paling khas adalah adanya disosiasi
sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL)
tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada
kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal;
setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut
di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan
19

menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah


onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein
dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
2) Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi
(EMG) Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi
akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik
distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya
respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok
hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS
yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
3) EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu
setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang
dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan
dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang
pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak
sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang
tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang
(lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
4) Pemeriksaan

darah

Pada

darah

tepi,

didapati

leukositosis

polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,


limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit.
20

Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui.


Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara
anemia bukanlah salah satu gejala.
5) Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi
saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada
kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang
akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis
itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
6) Elektrokardiografi

(EKG)

menunjukkan

adanya

perubahan

gelombang Tserta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar


atau inverted pada leadlateral. Peningkatan voltase QRS kadang
dijumpai, namun tidak sering.
7) Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan
menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
8) Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk
yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear
perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi
sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan
demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai
derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari
akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang
21

terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan
saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear
lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan
organ lainnya
10. Tatalaksana
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan
terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). (2, 4)
1. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif. (2, 4)
a. Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan
gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap
ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu
dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus
dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan
diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi.
Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi
dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk
mengetahui progresivitas penyakit.
b. Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting
karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya
22

hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama


jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati
dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti
: penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang
disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv
dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk
menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan
terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien
dengan blok jantung derajat 2 atau 3.
c. Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada
serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada
pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu
pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga
sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus
diganti
dengan suatu substitusi plasma.
d. Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium
karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi
disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.
23

e. Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga


parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
2. Perawatan umum :
a. Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi
tidur.
b. Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
c. Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak
yang lumpuh,
d. Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada
kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
e. Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan
trakhea.
f. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
g. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
3. Pengobatan
a. Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS. Peter

melaporkan

kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous menguntungkan.


Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon dengan methyl prednisolon
sodium succinate intravenous dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian
prednisone oral 30 mg setiap 6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous.
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.
24

b. Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)


Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara subkutan
(fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned LMWH) seperti :
enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens terjadinya tromboembolisme
vena secara dramatik, yang merupakan salah satu sekuele utama dari paralisis
ekstremitas. DVT juga dapat dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu
(true

gradient

compression

hose/

anti

embolic

stockings/

anti-

thromboembolic disease (TED) hose).


c. Pengobatan imunosupresan:
1) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada

tahun

1988

melaporkan

pemberian

immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah


ternyata

dapat

mempercepat

penyembuhannya

seperti

halnya

plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena


dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan
samping/komplikasi

dibandingkan
lebih

ringan

plasmaparesis
tetapi

harganya

karena
mahal.

efek
Dosis

aintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis


maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek
klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari
selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4
minggu. Kontraindikasi IVIg adalah hipersensitivitas terhadap regimen

25

ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng
obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) Azathioprine
c) cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala
11. Prognosis
Pada umumnya, sekitar 3% sampai 5% pasien tidak dapat bertahan dengan
penyakitnya, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat bertahan dengan gejala
sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan
keadaan antara lain pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi
plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset, progresifitas penyakit lambat dan
pendek, dan terjadi pada penderita berusia 30-60 tahun
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
1. Identitas penderita :
Nama penderita

: An. MH

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 1 tahun 10 bulan

2. Identitas Orang tua/wali


26

AYAH : Nama

IBU

II.

: Tn. DH

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Pedagang

Alamat

: Jl. Bangkal Tengah RT 3

: Nama

: Ny. M

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Alamat

: Jl. Bangkal Tengah RT 3

ANAMNESIS

Kiriman Dari

: Poliklinik Anak RSUD Ulin Banjarmasin

Diagnosa

: Tetraparese e.c susp GBS

Aloanamnesis dengan

: Ibu pasien

Tanggal/jam

: 18- 09- 2013/ 16.00 WITA

1. Keluhan Utama : Kelehaman keempat ekstremitas


2. Riwayat penyakit sekarang :
Keluhan muncul sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit
(Rabu,11-09-2013). Keluhan mulai dirasakan saat pasien bangun tidur
pada pagi hari, muncul tiba-tiba dan makin lama makin memberat. Saat itu
pasien sulit beranjak dari tempat tidurnya untuk duduk dan berdiri. Orang
tua pasien kemudian membantu bangun dan mendirikan pasien. Saat itu
pasien masih dapat berjalan dan duduk serta memegang benda atau mainan
namun masih terlihat sedikit lemah.
27

Satu hari sesudahnya, keluhan lemah semakin memberat. Pasien


tidak dapat berjalan dan menggerakkan kakinya. Namun masih bisa
menggerakkan kedua tangannya. Pasien hanya dapat duduk namun harus
dibantu kedua orang tuanya, pasien juga masih bisa memegang
mainannya.
Pada hari berikutnya pasien sudah tidak bisa lagi menggerakkan
kedua tangan dan kedua kakinya. Sehingga pasien hanya dapat berbaring
dan tidak dapat miring ke kanan atau kiri serta tidak dapat memegang
benda lagi. Sebelum kejadian, menurut kedua orang tua pasien masih bisa
bergerak dengan bebas. Untuk mengurangi keluhan pasien hanya dipijat
didekat rumahnya, namun keluhan tidak berkurang. Nafsu makan
menurun dan pasien juga mengeluhkan sulit BAB. Saat pasien ingin BAB,
feses yang keluar hanya sedikit dan bertekstur keras. Tidak ada keluhan
demam, kejang, batuk, pilek, diare, sesak, muntah dan nyeri menelan
3. Riwayat Penyakit dahulu
-

Riwayat demam typoid umur 1 tahun dan dibawa kedokter kemudian

pasien sembuh.
- Tidak ada riwayat kejang atau asma.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Orang tua pasien mengatakan tidak ada keluarga yang menderita keluhan
serupa. Riwayat HT (-) DM (-) Asma (-)
5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Riwayat antenatal :
Selama kehamilan ibu hanya memeriksakan kehamilan ke bidan namun
tidak rutin. Selama hamil ibu tidak ada riwayat darah tinggi dan kencing
28

manis. Ibu tidak menderita demam tinggi, tidak ada mengalami keputihan
gatal berbau, tidak mengkonsumsi minuman energi pada usia kehamilan 3
bulan, tetapi tidak ada mengonsumsi obat-obatan selain tablet suplemen
besi yang diminum setiap hari. Selama kehamilan nafsu makan ibu cukup
besar, mual-muntah tidak terlalu hebat. Ibu mendapatkan imunisasi satu
kali (ibu lupa apa nama imunisasinya)

Riwayat Natal :
Spontan/tidak spontan

: Spontan

Nilai APGAR

: lahir langsung menangis

Berat badan lahir

: 2900 gram

Panjang badan lahir

: Ibu lupa

Lingkar kepala

: Ibu lupa

Penolong

: bidan

Tempat

: RS Ansari Saleh Banjarmasin

Riwayat Neonatal

: anak lahir langsung menangis

6. Riwayat Perkembangan
Tiarap

: Ibu lupa

Merangkak

: Ibu lupa

Duduk

: Ibu lupa

Berdiri

: 8 bulan

Berjalan

: 1 tahun 4 bulan

Saat ini

: Sebelumnya pasien dapat beraktivitas seperti anak


seusianya sebelum sakit.
29

6. Riwayat Imunisasi :
Nama

Dasar
(umur dalam hari/bulan)
1 minggu
Bula
2
4
6

BCG
Polio

n0
Bulan 0
2

Hepatitis B
DPT
Campak

2
4
9

Ulangan
(umur dalam bulan)

6
6

7. Makanan
0 bulan 3 bulan

: ASI sesuai dengan kemampuan anak menyusu.

3 bulan 6 bulan

: ASI dengan tambahan susu formula dan bubur

1,5 tahun

: Pasien mulai makanan yang disajikan dirumah

8. Riwayat Keluarga

By. MH

Keterangan:
: laki-laki
: perempuan
: pasien
Susunan keluarga :
30

No.
1.
2.
3.

Nama
Tn. DH
Ny. m
An MH

Umur
35 tahun
34 tahun
1 tahun

L/P
L
P
L

Keterangan
Sehat
Sehat
Sakit

Riwayat Sosial Lingkungan


Anak tinggal bersama kedua orangtua di rumah kayu ukuran 10 x
6 m2, dengan 2 pintu, 3 ventilasi dan 5 jendela. Sehari-hari menggunakan
air sungai untuk mandi, cuci, kakus. Air galon mineral digunakan untuk
minum dan memasak. Rumah terletak dalam kompek dekat sungai, padat
penduduk dan jauh dari pembuangan sampah.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum

: tampak sakit ringan

Kesadaran

: compos mentis

GCS

: 4-5-1

2. Pengukuran
Tanda vital :

Tekanan darah : 100/80 mmHg


Nadi

: 124 x/menit, reguler

Suhu

: 36,5 C

Respirasi

: 36 x/menit

Berat badan

: 9,5 Kg

Panjang/tinggi badan

: 78 cm

Lingkar Lengan Atas (LLA)

: 14 cm

Lingkar kepala

: 46 cm
31

3. Kulit :

Warna

: coklat

Sianosis

: tidak ada

Hemangioma

Turgor

: cepat kembali

Kelembaban

: cukup

Pucat

: tidak ada

4. Kepala : Bentuk

tidak ada

: mesosefali

UUB

: sudah menutup

UUK

: sudah menutup

- Rambut :

- Mata :

Warna

: Hitam

Tebal/tipis

: Tipis

Distribusi

: jarang

Palpebra

: Edema (-)

Alis dan bulu mata

: Tidak mudah dicabut

Konjungtiva

: anemis (-/-)

Sklera

: ikterik ( -/- )

Produksi air mata

: cukup

Pupil : Diameter

: 2 mm/ 2 mm

Simetris

: Isokor

Reflek cahaya : +/+


Kornea
- Telinga :

: Jernih

Bentuk

: Simetris

Sekret

: Tidak ada
32

- Hidung :

Serumen

: Minimal

Nyeri

: Tidak ada

Bentuk

: Simetris

Lokasi : -

Pernafasan cuping hidung : tidak ada

- Mulut :

Epistaksis

: tidak ada

Sekret

: tidak ada

Bentuk

: Simetris

Bibir

: sianosis (-)

Gusi

: Tidak mudah berdarah, tidak ada


pembengkakan

- Lidah :

Gigi-geligi

: Gigi sudah tumbuh

Bentuk

: Simetris

Pucat/tidak
Tremor/tidak
Kotor/tidak

- Faring :

Warna

: Merah muda

Hiperemi

: tidak ada

Edem

: tidak ada

Membran/pseudomembran : tidak ada


- Tonsil :

Warna

: merah muda

Pembesaran

: T1 / T1

Abses/tidak

: tidak ada

Membran/pseudomembran : tidak ada


33

5. Leher :
- Vena Jugularis : Pulsasi
Tekanan

: tidak terlihat
: tidak meningkat

- Pembesaran kelenjar leher

: tidak ada

- Kaku kuduk

: tidak ada

- Massa

: tidak ada

- Tortikolis

: tidak ada

5. Toraks :
a. Dinding dada/paru
Inspeksi : - Bentuk

: simetris

- Retraksi

: tidak ada

- Dispnea

: tidak ada

- Pernafasan

: thorakal

Palpasi : Fremitus fokal

: Simetris

Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara Napas Dasar : bronkovesikuler
Suara Tambahan

: Ronki (-/-)
Wheezing (-/-)

b. Jantung :
Inspeksi : Iktus

: tidak terlihat

Palpasi : Apeks

: tidak teraba

Thrill + / -

Lokasi : -

: -

Perkusi : Batas kanan : ICS II linea parastrernalis dekstra - ICS IV linea


34

Parastrernalis dekstra
Batas kiri

: ICS II linea parastrernalis sinistra ICS V linea


Midklavikula sinistra

Batas atas

: ICS II linea parastrernalis sinistra - ICS II linea


parastrernalis sinistra

Auskultasi : Frekuensi

: 118 x/menit, Irama : Reguler

Suara Dasar

: S1 dan S2 Tunggal

Bising

: tidak ada

Derajat : Lokasi : Punctum max : Penyebaran : -

6. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk

: datar

Palpasi:

: tidak teraba

Hepar
Ginjal

: tidak teraba

Lien

: tidak teraba

Massa

: tidak teraba

Nyeri tekan
.

: tidak ada

Perkusi : Timpani/pekak
Asites
Auskultasi
7. Ekstremitas : - Umum

: Timpani

: (-)
: bising usus (+) normal
: akral hangat

35

plegi

Edema

- Neurologi
Lengan

Tungkai

Reflek fisiologis

Kanan
Terbatas
flaksid
Eutrofi
1
BPR (-)

Kiri
Terbatas
flaksid
Eutrofi
1
BPR (-)

Kanan
terbatas
flaksid
Eutrofi
1
KPR (-)

Kiri
Terbatas
flaksid
Eutrofi
1
KPR (-)

Reflek patologis

TPR (-)
Hoffman (-)

TPR (-)
Hoffman (-)

APR (-)
Babinsky (-)

APR (-)
Babinsky (-)

Tromner (-)
Menurun
Tidak ada

Tromner (-)
Menurun
Tidak ada

Chaddock (-)
Menurun
Tidak ada

Chaddock (-)
Menurun
Tidak ada

Gerakan
Tonus
Trofi
Kekuatan
Klonus

Sensibilitas
Tanda meningeal
8. Susunan Saraf

NI

= sde

N II

= refleks cahaya (+/+), pupil isokor 3 mm / 3 mm

N III, IV, VI= gerakan bola mata (sde)


NV

= sensrik wajah, simetrisitas rahang (simetris)


36

N VII

= wajah (simetris)

N VIII

= pendengaran (sde)

N IX, X

= disartria (sde), disfagia (sde)

N XI

= memalingkan leher (+)

N XII

= deviasi lidah (sde)

9. Genitalia

: Laki-laki, tidak ada kelainan

10. Anus

: positif, tidak ada kelainan

IV. RESUME
Nama

: By. MH

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 1 tahun 10 bulan

Berat badan

: 9,5 Kg

Keluhan Utama

: Kelemahan pada kedua tangan dan kaki

Uraian

Kelemahan dirasakan sejak 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan muncul tiba-tiba dan makin lama semakin memberat. Keluhan muncul
saat pasien bangun tidur pada pagi hari. Awalnya pasien masih bisa berjalan
namun harus dibantu oleh kedua orang tua. Sehari sesudahnya keluhan semakin
memberat, pasien tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Selanjutnya sehari
kemudian pasien tidak bisa lagi menggerakkan kedua tangan dan kedua kakinya,
sehingga pasien hanya berbaring ditempat tidur. Nafsu makan

menurun dan

pasien juga mengeluhkan sulit BAB. Saat pasien ingin BAB, feses yang keluar

37

hanya sedikit dan bertekstur keras. Tidak ada keluhan demam, kejang, batuk,
pilek, diare, sesak, muntah dan nyeri menelan

Pemeriksaaan Fisik
Keadaan umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis

Frekuensi Jantung

: 124 kali/menit, reguler

Frekuensi Pernafasan

: 42 kali/menit

Suhu

: 36,5 C

Kulit

: coklat, ikterik (-)

Kepala

: Mesosefali

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-),

GCS : 4-5-1

sklera ikterik

(-/-)
Hidung

: Simetris, Sekret (-/-), PCH (-)

Telinga

: Simetris , Sekret (-) serumen minimal

Mulut

: sianosis (-), mukosa lembab

Toraks/Paru

: Simetris,

FV simetris, rhonki (-/-),

wheezing (-/-)
Jantung
Abdomen

: S1 dan S2 tunggal, bising (-)


:

datar, H/L/M tidak teraba, BU (+)normal,


nyeri tekan (-)

Ekstremitas

: akral hangat

38

plegi

Edema

Neurologi
Lengan

Tungkai

Reflek fisiologis

Kanan
Terbatas
flaksid
Eutrofi
1
BPR (-)

Kiri
Terbatas
flaksid
Eutrofi
1
BPR (-)

Kanan
terbatas
flaksid
Eutrofi
1
KPR (-)

Kiri
Terbatas
flaksid
Eutrofi
1
KPR (-)

Reflek patologis

TPR (-)
Hoffman (-)

TPR (-)
Hoffman (-)

APR (-)
Babinsky (-)

APR (-)
Babinsky (-)

Tromner (-)
Menurun
Tidak ada

Tromner (-)
Menurun
Tidak ada

Chaddock (-)
Menurun
Tidak ada

Chaddock (-)
Menurun
Tidak ada

Gerakan
Tonus
Trofi
Kekuatan
Klonus

Sensibilitas
Tanda meningeal
Susunan saraf

NI

= Penciuman (sde)

N II

= refleks cahaya (+/+) pupil isokor 3 mm/3 mm

N III, IV, VI

= Pergerakan mata bebas

NV

= membuka/menutup mulut (sde)

N VII

= bentuk wajah (simetris)

N VIII

= Pendengaran (sde)
39

V.

N IX, X

= disfonia (sde), disfagia (-)

N XI

= menoleh ki/ka (sde), mengangkat bahu ki/ka (sde)

N XII

= bentuk lidah normal

Genitalia

: Laki-laki, tidak ada kelainan

Anus

: ada, tidak ada kelainan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1). PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 17 September 2013
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit

Hasil

Trombosit
RDW-CV
MCV
MCH
MCHC
Gran%
Limfosit%
MID%
Gran#
Limfosit#
MID#

299
14,2
75,1
25.6
34.1
55,0
36,8
8.2
4,50
3,0
0,6

11,9
8,1
3.52
34,8

Nilai
Rujukan
11.0 17.0
4.0-10.5
3.40-5.50
35.00
50.00
150 450
11.5 14.7
80.0 97.0
27 32
32.0 38.0
50.0-70.0
25.0-40.0
4.0-11.0
2.50-7.00
1.25-4.0

2). PEMERIKSAAN PENUNJANG


Lumbal Pungsi :

40

Satuan
g/dl
ribu/ul
juta /u l
vol%
ribu /u l
%
Fl
pg
%
%
%
%
ribu/ul
ribu/ul
ribu/ul

Kesimpulan:

VI. DIAGNOSIS
1. Diagnosis banding

1). Tetraplegi e.c Guillain Barre Syndrome (GBS)


2). Tetraparese e.c Poliomiyelitis
2. Diagnosa Kerja : Tetraplegi e.c Guillain Barre Syndrome (GBS)
3. Status Gizi
CDC 2000 =

9,5 x 100% = 90% (normal)


10,5

VIII. PENATALAKSANAAN
-

D5 NS 8 tpm

VIII. PROGNOSIS

I X.

Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad functionam

: Dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: Dubia ad bonam

PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan :

Menjaga higenitas individu

1.

41

Anda mungkin juga menyukai