Anda di halaman 1dari 9

Patofisiologi dan Tatalaksana Sindrom Guillain-Barre

Fanny Mariska*, Lusia Paramita*, Silvia Gunawan*

*Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta

Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510

Email: lusia.paramita95@gmail.com

Abstrak

Sindrom Guillain Barre merupakan kumpulan gejala yang ditandai kelumpuhan akut.
Walaupun penyebabnya masih belum diketahui, tetapi diperkirakan terjadi akibat respons
autoimun terhadap sel saraf perifer karena infeksi bakteri atau virus dengan angka kejadian 0,6-
1,9 per 100.000 populasi dan angka tersebut hampir sama di semua negara. Hal ini dapat terjadi
karena adanya proses demielinisasi dan paling banyak disebabkan oleh inflamasi akut (AIDP).
Gejala yang pertama kali muncul adalah nyeri, mati rasa, paraestesi dan paralisis dengan angka
kesembuhan mencapai 75-90 %. Terapi yang dianjurkan adalah cuci plasma dan intravena
immunoglobulin serta fisioterapi. Prognosis pasien dinilai dengan menggunakan skor
disabilitas SGB.

Kata Kunci: Sindrom Guillain Barre, Skor Disabilitas SGB, AIDP.

Abstract

Guillain Barre syndromes is the collection of symptoms characterized by acute paralysis.


Although the cause is unknown but is predicted caused by autoimmune response to peripheral
nerve cells due to bacterial or viral infections with the incidence rate 0,6-1,9 per 100.000
population and this incidence almost the same in all countries. This happens because
demyelination process and most caused by acute inflammation (AIDP). The first symptoms that
always occur is pain, numbness, paresthesia and paralysis with the healing rate reaches to 75-
90%. The recommended therapy is plasma exchange, intravenous immunoglobulin, and
physiotherapy. The patient’s prognosis is assessed by using GBS disability score.

Keywords: Guillain Barre syndrome, GBS Disability Score, AIDP.


Pendahuluan

Menurut Centers of Disease Control and Prevention, sindrom Guillain Barre (SGB)
adalah penyakit langka di mana system kekebalan seseorang menyerang system saraf tepi dan
menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Kerusakan
system saraf tepi ini menyebabkan system ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon system otot terhadap kerja system saraf. Walaupun penyakit ini merupakan
penyakit langka, akan tetapi beberapa tahun terakhir penyakit ini mengalami peningkatan
sehingga kita perlu mengenal penyakit ini lebih rinci.1

Etiologi

Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan kumpulan gejala yang ditandai kelumpuhan


akut yang dapat mengenai tungkai, lengan, wajah, bahkan otot-otot pernapasan. Kelumpuhan
ini disebabkan oleh peradangan (inflamasi) pada akar saraf spinal dan saraf perifer, khususnya
pada selubung myelin, namun pada kasus berat, peradangan dapat mengenai akson. Penyebab
SGB masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan terjadi akibat respons autoimun terhadap
sel saraf perifer yang dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri atau virus.2

Sekitar 1-4 minggu sebelum onset SGB terjadi sindrom viral akut atau manifestasi
penyakit infeksi lainnya. Tetapi rentang waktu yang lebih singkat atau lama masih dapat terjadi
sebagai variasi antar individu. Pada saat onset SGB dimulai biasanya infeksi antesenden telah
berakhir. Infeksi yang sering mendahului SGB adalah infeksi saluran respirasi dan saluran
pencernaan. Kondisi antesenden yang berkaitan dengan SGB, yaitu infeksi virus (Cocksackie,
Cytomegalovirus, Echo, EBV, virus hepatitis A dan B, HSV, virus Herpes Zoster, HIV,
Influenza, Parainfluenza, Rubella, Mumps, Measles), infeksi bakteri (Borrelia burgdorferi,
Campylobacter jejuni, Legionella pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Shigella, Typhoid,
Brucellosis, Yersinia enterocolitica), kondisi sistemik (penyakit Addison, limfoma Hodgkin,
leukemia, paraproteinemia, kehamilan, sarkoidosis, tumor padat terutama tumor paru, operasi,
eritematosus lupus sistemik, penyakit tiroid, trauma, dan vaksinasi).3

Infeksi Cytomegalovirus antesenden merupakan infeksi virus paling sering yang


mendahului SGB dengan konversi serologi hampir 15%. Infeksi Cytomegalovirus antesenden
lebih sering mengenai individu usia muda dengan manifestasi SGB yang lebih berat, kegagalan
respirasi, gangguan sensorik prominen, keterlibatan saraf kranial, dan peningkatan antibodi
terhadap gangliosida GM2. Infeksi antesenden M. pneumonia dengan gejala batuk
nonproduktif, demam, dan sakit kepala terjadi pada 5% kasus GBS. Infeksi C. Jejuni
merupakan infeksi bakteri yang paling banyak mendahului SGB terutama strain Penner 19 dan
Lior 11. Sebelum onset GBS, individu mengalami demam, diare cair, dan nyeri perut. Sekitar
30% kasus SGB hanya disertai bukti infeksi antesenden C. Jejuni secara serologi tanpa
manifestasi enteritis. SGB terkait infeksi C. Jejuni mengalami proses pemulihan lebih lama,
kerusakan aksonal yang lebih ekstensif, dan adanya antibodi gangliosida GM1.
Lipopolisakarida C. Jejuni memiliki kemiripan dengan epitop gangliosida saraf perifer (GM1,
GQ1b, Ga- 1NAc-GD1a) sehingga terjadi mimikri molekular pada keduanya, antibodi yang
dirancang untuk mengeradikasi C. Jejuni menginduksi inflamasi pada sistem saraf perifer.3

Epidemiologi

Sindrom Guillain-Barre merupakan kelainan saraf perifer yang menyebabkan


kelumpuhan ekstremitas secara asenden dan simetris yang diperantarai mekanisme imunologi.
Sindrom Guillain-Barre dapat dialami pada semua usia dan ras. Angka kejadian SGB berkisar
0.6-1.9 per 100.000 populasi dan angka tersebut hampir sama di semua negara. Rentang usia
terjadinya SGB yaitu 30-50 tahun dan laki-laki berkulit putih sedikit lebih sering mengalami
SGB.3

Patofisisologi Sindrom Guillain Barre

Penyebab dari terjadinya sindroma Guillain Barre yang paling banyak terjadi adalah
karena adanya kerusakan atau cedera aksonal yang timbul akibat adanya demyelinisasi,
daripada perbedaan patofisiologis mendasar pada jenis sindrom Guillain-Barré di antara
individu.4

Pada gangguan demielinasi di sistem saraf, mielin dan/atau oligodendroglia mengalami


kerusakan, sedangkan akson tidak. Pada akson yang bermielin, kanal natrium hanya terdapat
pada bagian nodus, sedangkan bagian akson lainnya terbungkus secara elektris. Jika tidak ada
mielin, densitas aliran listrik pada bagian nodus akan berkurang karena aliran listrik tersebut
keluar melalui membran yang tidak bermielin. Penurunan densitas listrik tersebut
menyebabkan depolarisasi bagian nodus menjadi lebih lambat dibanding normal sehingga
menurunkan kecepatan konduksi saraf. Jika terdapat lebih dari satu nodus yang mengalami
demielinasi, penurunan aliran listrik longitudinal yang sangat jauh dapat menyebabkan aliran
listrik tersebut semakin menghilang sepanjang akson dan semakin banyak pula yang hilang
melalui membran. Hal ini dapat menghentikan akson untuk depolarisasi mencapai ambang
batasnya, sehingga menyebabkan terjadinya blok konduksi.4

Penyebab sindroma Guillain barre yang paling banyak adalah Acute Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP) yang mana dikarakteristikan secara
patofisiologi diakibatkan demielinasi, infiltrasi limfosit, dan mediasi makrofag. Diperkirakan
dua pertiga dari kasus SGB terjadi beberapa minggu setelah terjadinya infeksi C. Jejuni, CMV,
Mycoplasma pneumonia, atau virus influenza. Agen infeksi tersebut mempunyai epitope di
permukaannya yang persis dengan epitope di permukaan saraf perifer (seperti gangliosides,
glikolipid), sehingga agen infeksi tersebut menimbulkan “peniruan molekular” terhadap sistem
saraf perifer. Sebagai contoh, gangliosides (GM1, GD1a, GQ1b) yang ditemukan di saraf
perifer mirip secara stuktural dengan lipooligosaccharides (LOSs) dari C. Jejuni, sehingga
immunoglobulin G (IgG) yang meningkat untuk menyerang agen infeksi tersebut juga
menyerang gangliosides dari saraf perifer dan menyebabkan cedera autoimun. Myelin
paranodal, axolemma yang terbuka pada nodus ranvier, dan komponen presinaptik dari
persimpangan neuromuscular adalah tempat serangan antibodi dengan berbagai tingkat untuk
sindrom dan individu GBS yang berbeda. Mediasi makrofag yang menyebabkan demielinasi
juga terjadi, dimediasi oleh antibodi dan desposisi komplemen di sell Schwann dan membran
myelin. Demilinasi dapat terjadi sepanjang serabut saraf, terutama dan memungkina terjadi dari
akar proksimal saraf dan
dan bagian distal saraf intramuskular dimana penghalang darah-saraf menjadi lemah lemah.
Akson terminal dari saraf juga menjadi rusak dalam kasus AIDP, dimana kerusakan akson
terminal ini juga akan mengaktivasi jalur komplemen yang mengakibatkan terbentuknya
komplek penyerang membran (membrane attack complex (MAC)) yang mana akan diiringi
dengan degradasi dari sitoskeleton akson terminal dan cedera mitokondria.5-6

Manifestasi Klinis Sindrom Guillain Barre

Pada kasus SGB yang tipikal, gejala yang muncul pertama kali di antaranya adalah
nyeri, mati rasa, paraestesi atau kelemahan pada anggota gerak, dan paralisis. Akan tetapi ciri
yang paling utama adalah adanya kelemahan anggota gerak yang berlangsung secara bertahap
yang cepat dan simetris dengan atau tanpa adanya keterlibatan dari otot-otot pernapasan atau
otot-otot yang dipersarafi oleh saraf-saraf kranial. Kriteria diagnosisnya dapat dilihat pada
gambar 1. Kelemahan bisa saja terjadi pada semua otot ekstremitas atau bisa lebih dominan
pada bagian distal atau proksimal pada otot tangan atau kaki. Selain itu, pasien juga mengalami
hiporefleksi atau arefleksi pada ekstremitas yang terkena. Pungsi lumbal hamper selalu
dilakukan pada pasien yang diduga menderita SGB. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya
menunjukkan peningkatan protein dengan jumlah leukosit yang normal. Kesalahpahaman yang
sering terjadi adalah protein cairan serebrospinal yang seharusnya meningkat pada SGB akan
tetapi konsentrasi protein pada cairan serebrospinal pada pasien yang diduga SGB pada minggu
pertama normal tetapi meningkat pada lebih dari 90 % pasien di akhir minggu kedua. Beberapa
pasien dapat mengalami perkembangan paralisis dari otot-otot okulomotor, fasial, orofaring,
pernapasan, dan otot-otot anggota gerak dari hari ke hari dan akhirnya menetap dengan kursi
roda atau di atas tempat tidur. Pasien lainnya mengalami paresis anggota gerak yang ringan
yang dapat pulih secara spontan dalam beberapa minggu.7-9
Mortalitas pada SGB sangat tinggi dikarenakan pasien yang tidak menyadari penyakit
ini sehingga sudah terjadi kegagalan pernapasan yang disebabkan oleh kelemahan otot-otot
pernapasan.7-9

Gambar 1. Gejala klinis SGB7


Tatalaksana

Angka kesembuhan SGB dapat mencapai 75-90% dengan cara pengobatan dan
fisioterapi. Cuci plasma (plasma exchange (PE)) dilakukan untuk menghilangkan efek
menurunnya kekebalan (autoimun), terapi ini dapat menyembuhkan penderita, selain itu juga
dapat dilakukan infus immunoglobulin (IVIg). Pada sebagian kasus tidak jarang penderita
dapat dipulangkan setelah dirawat beberapa lama, sedangkan pada kasus tertentu ada yang
membutuhkan bantuan nafas, dan pada kasus-kasus yang berat kematian dapat terjadi karena
adanya gangguan pernapasan. Penyembuhan dapat terjadi 2-4 minggu setelah progresivitasnya
berhenti. PE dan IVIg merupakan imunoterapi yang paling efektif untuk dewasa dan anak-anak
dengan SGB bila diberikan pada beberapa minggu pertama. PE diberikan sebagai satu volume
plasma, 50 ml/kgBB dibagi dalam 5 waktu selama 1-2 minggu. Rekomendasi terapi PE untuk
pasien SGB derajat berat dimulai dalam 4 minggu dan untuk pasien SGB derajat ringan
pengobatan dilakukan dalam waktu 2 minggu dari onset gejala. Belum ditentukan dosis
optimum pemberian PE, tetapi banyak dokter memberikan dosis total 200-250 ml/kgBB selama
7-10 hari.10

Untuk dewasa dan anak-anak dengan SGB, IVIg biasanya diberikan 2 g/kgBB dibagi
dalam beberapa dosis selama 2-5 hari. Pemberian IVIg untuk pasien yang masih dapat berjalan
diberikan dalam 2 minggu atau 4 minggu dari gejala neuropatik.11

Terapi kortikosteroid kurang efektif untuk pengobatan SGB. Pada penelitian yang
dilakukan kepada 120 pasien tidak ditemukan peningkatan klinis bermakna dalam 4 minggu
dibandingkan dengan pasien tanpa pemberian kortikosteroid, kemungkinan pemberian
kortikosteroid secara oral mempunyai efek perbaikan lambat. Pemberian metilprednisolon
secara IV juga tidak memberikan keuntungan atau kerugian yang signifikan. Jika dikombinasi
dengan IVIg, metilprednisolon IV 500 mg/hari selama 5 hari diberikan dalam 48 jam dari dosis
pertama IVIg memberikan perbaikan tetapi tidak signifikan dan tidak bertahan lama.11-12

Fisioterapi juga dapat dilakukan, antara lain fisioterapi dada untuk mencegah retensi
sputum dan kolaps paru, gerakan pasif pada kaki yang lumpuh untuk mencegah kekakuan
sendi. Setelah penyembuhan mulai, maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
meningkatkan kekuatan otot.11
Prognosis SGB

Untuk mengetahui keparahan dari SGB ini dilakukan penilaian dengan menggunakan
GBS disability score (Lihat tabel 1). GBS disability score ini telah diterima secara luas untuk
menilai status fungsional dari pasien dengan SGB yang dinilai dari 0 (normal) hingga 6
(meninggal) dan dapat juga digunakan untuk menilai prognosisnya. Prognosis pasien buruk
apabila nilai pasien tersebut adalah 3 atau lebih dalam 6 bulan, sedangkan kondisi pasien bagus
apabila nilainya kurang atau sama dengan 2 dalam 6 bulan. Titik akhir yang ditentukan adalah
6 bulan karena kebanyakan proses pemulihan berlangsung hingga waktu ini pada pasien yang
dapat pulih.9

Tabel 1. GBS Disability Score9

0 A healthy state
1 Minor symptoms and capable of running
2 Able to walk 10 m or more without assistance but unable to run
3 Able to walk 10 m across an open space with help
4 Bedridden or chairbound
5 Requiring assisted ventilation for at least part of the day
6 Dead

Kesimpulan

Sindrom Guillain-Barre merupakan kelainan saraf perifer yang menyebabkan


kelumpuhan ekstremitas secara asenden dan simetris yang diperantarai mekanisme imunologi.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua ras dan usia. Penyebab penyakit ini masih belum
diketahui akan tetapi diperkirakan karena respons tubuh terhadap infeksi virus dan bakteri.
Penyakit in I terjadi karena adanya proses demielinisasi pada serabut saraf dengan gejalanya
yaitu paralisis, paraestesi dan lain-lain. Terapi yang diberikan pada penyakit ini adalah cuci
plasma, intravena immunoglobulin dan fisioterapi dengan prognosis yang dinilai dengan
menggunakan GBS disability score.
Daftar Pustaka

1. Hughes RA, Comblath DR. Guillain-Barre syndrome. Lancet 2005:366:1653-66


2. Imunoglobulin intravena untuk Sindrom Guillain-Barre. CDK 188 November 2011 :
38(7):520
3. Hakim M. Sindrom Guillain-Barre. Medicinus. 2011 Dec; 24(4):9-16
4. Lastri DN, Octaviana F. Crash crouse sistem saraf. 1st ed. Indonesia : FK UI;
2015.h.291-2
5. Burns TM. Guillain-barré syndrome. Semin Neurol .2008; 28(2):155-6
6. Willison HJ, Jacobs BC, Doorn PAV. Guillain-barré syndrome. Lancet. 2016; 388:718-
20
7. Doom PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and treatment of Guillain
Barre syndrome. Lancet. 2008 Oct; 7:939-50
8. Rodriguez Y, Rojas M, Pacheco Y, Acosta-Ampudia Y, Ramirez-Santana C, Monsalve
DM, et al. Guillain Barre syndrome, transverse myelitis and infectious diseases.
Cellular and Molecular Immunology. 2017; 14:1-16
9. Koningsveld R, Steyerberg EW, Hughes RAC, Swan AV, Doorn PA, Jacobs BC. A
clinical prognostic scoring system for Guillain Barre syndrome. Lancet. 2007 Jul;
6:589-94.
10. DEPKES RI. Guillain-Barre syndrome. 2011. Diunduh dari https://goo.gl/zcrR2T
11. Israr YA, Juraita, Rahmat BS. Sindroma Guillain-Barre. Riau: FK Riau;2009.h.10
12. Kuitwaard K, Gelder J, Tio-Gillen AP, Hop WCJ, Gelder T, Toorenenbergen AW, et
al. Pharmacokinetics of Intravenous Immunoglobulin and outcome in Guillain Barre
Syndrome. Annals of Neurology. 2009 Nov; 66(5):597-603

Anda mungkin juga menyukai