Herpes Zoster
Pembimbing:
Disusun Oleh:
Ferdy Bahasuan
112017096
Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Herpes zoster telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan oleh
virus yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela zoster. 1,2 Herpes zoster ditandai dengan
adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang
dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dan nervus kranialis.3,4
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan
antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Diperkirakan
terdapat antara 1,3-5 per 1000 orang per tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia di atas 50 tahun
dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20 tahun.5
Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela, virus
varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik
dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris.
Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi,
tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius. Herpes zoster pada
umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang terpadat. Aktivasi
virus varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang berhubungan dengan
imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor penting untuk pertahanan pejamu
terhadap infeksi endogen.2,3,6
Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang
terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten setelah krusta
terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi hampir 1/3 kasus terjadi
pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang terkena secara langsung atau lewat
aliran darah sehingga terjadi herpes zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek
imunologi karena keganasan atau pengobatan imunosupresi. 4,5,7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Herpes zoster adalah infeksi viral kutaneus pada umumnya melibatkan kulit dengan
dermatom tunggal atau yang berdekatan. Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus
varisela zoster yang memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Shingles
adalah nama lain dari herpes zoster.2 Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi
primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis sistem saraf
sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai
herpes zoster.1
2.2 Epidemiologi
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman.
Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan
varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan host-virus.4
Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua. Insiden terjadinya herpes zoster
1,5 sampai 3, 0 per 1.000 orang per tahun dalam segala usia dan 7 sampai 11 per 1000 orang
per tahun pada usia lebih dari 60 tahun pada penelitian di Eropa dan Amerika Utara.
Diperkirakan bahwa ada lebih dari satu juta kasus baru herpes zoster di Amerika setiap tahun,
lebih dari setengahnya terjadi pada orang dengan usia 60 tahun atau lebih.4,6,7 Ada peningkatan
insidens dari zoster pada anak – anak normal yang terkena chicken pox ketika berusia kurang
dari 2 tahun.8 Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif
memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada individu
imunokompeten pada usia yang sama. Immunosupresif kondisi yang berhubungan dengan
risiko tinggi dari herpes zoster termasuk “human immunodeficiency virus” (HIV), transplantasi
sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker, dan penggunaan
kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang
terinfeksi dengan HIV, dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun. Zoster
mungkin merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit AIDS pada individual
dengan resiko tinggi.4,8
Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster termasuk jenis kelamin
perempuan, trauma fisik pada dermatom yang terkena, gen interleukin 10 polimorfisme, dan
ras hitam, tapi konfirmasi diperlukan. Paparan dari anak dan kontak dengan kasus varisela telah
dilaporkan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit herpes zoster. Episode kedua
dari herpes zoster jarang terjadi pada orang imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang.
Pasien imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit herpes zoster yang
mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV) yang berulang. 2
Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien dengan varisela.
Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes zoster tanpa komplikasi sampai 7
hari setelah munculnya ruam, dan untuk waktu yang lebih lama pada individu
immunocompromised. Pasien dengan zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk
menyebarkan infeksi melalui kontak langsung dengan lesi mereka. Pasien dengan herpes zoster
dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol, sehingga tindakan
pencegahan udara, serta pencegahan kontak diperlukan untuk pasien tersebut. 2
2.3 Etiologi
2.4. Patogenesis
Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet respiratori. VZV
bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang lebih 2 minggu sebelum
perkembangan kulit yang erupsi. Pasien infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta.
Selama terjadi kulit yang erupsi, VZV menyebar dan menyerang saraf secara retrograde untuk
melibatkan ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi laten.1,3
Virus berjalan sepanjang saraf sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan
menimbulkan vesikel dengan cara yang sama dengan cacar air. Zoster terjadi dari reaktivasi
dan replikasi VZV pada ganglion akar dorsal saraf sensorik.4,5,8 Latensi adalah tanda utama
virus Varisela zoster dan tidak diragukan lagi peranannya dalam patogenitas. Sifat latensi ini
menandakan virus dapat bertahan seumur hidup hospes dan pada suatu saat masuk dalam fase
reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi penularan kepada seseorang yang rentan. 1
Reaktivasi mungkin karena stres, sakit immunosupresi, atau mungkin terjadi secara spontan.
Virus kemudian menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala prodormal dan erupsi
kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal.3 Infeksi primer VZV memicu imunitas
humoral dan seluler, namun dalam mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting
pada herpes zoster. Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada pasien
HIV dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan orang normal.1
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf
trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala
konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari
sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata bengkak
dan sukar dibuka.
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
2.7. Diagnosis
Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia beberapa
hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya kelainan kulit. Adakalanya sebelum timbul
kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan malaise. Kelainan kulit
tersebut mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikula yang
dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih,
setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi,
vesikel dan bula dapat menjadi krusta.3,9
Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri
lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan
sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari
erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar
eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom. 4
Teknik yang sama digunakan untuk mendiagnosis varicella dan digunakan untuk
mendiagnosa herpes zoster juga. Tampilan klinis seringkali cukup untuk menegakkan
diagnosis, dan pada hapusan Tzanck dapat mengkonfirmasi kecurigaan klinis. 5,6,9 Namun,
lokasi atau penampilan dari lesi kulit mungkin atipikal (terutama di immunocompromised
pasien) sehingga membutuhkan konfirmasi laboratorium.6
Kultur virus adalah dimungkinkan, tetapi virus varicella-zoster itu labil dan relatif sulit
untuk pulih dari penyeka lesi kulit. Sebuah uji direct imunofluorescence lebih sensitif
dibandingkan kultur virus dan memiliki tambahan keuntungan dari biaya yang lebih murah dan
waktu yang lebih cepat. Seperti kultur virus, direct imunofluorescence assay dapat
membedakan infeksi virus herpes simplex dengan infeksi virus varisela-zoster. Polymerase-
chain-reaction techniques yang berguna untuk mendeteksi DNA virus varicella-zoster di cairan
dan jaringan.6
2.9 Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa17
1. Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan kepada
orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun.
2. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar.
3. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
Medikamentosa
Oral
1. Analgetika
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpes
zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah
1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat dipakai seperlunya ketika nyeri muncul.
2. Vitamin neurotropik sehari 2 x 1 tablet
3. Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir
dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir
dapat diberikan peroral atau intravena. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah
5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan intravena biasanya hanya pada pasien yang
imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat
digunakan adalah valasiklovir dan famsiklovir. Valasiklovir diberikan 3×1000 mg/hari
selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Famsiklovir juga bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari. 18
4. Bila ada infeksi sekunder : Amoxicilin 500 mg sehari 3 x 1 tablet
Lokal
1. Bila lesi basah: kompres larutan garam faali
2. Bila lesi kering: bedak asam salisilat 2%
2.10 Prognosis
Infeksi primer herpes virus merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan, biasanya
berlangsung selama 1-2 minggu. Kematian dapat terjadi pada masa neonates, anak dengan
malnutrisi berat, kasus meningoensefalitis, dan eksema herpetikum yang berat, diluar keadaan
ini biasanya prognosis baik. Mungkin sering ditemukan serangan berulang, tetapi serangan
ulang tersebut jarang berat, kecuali serangan ulang pada mata yang dapat menyebabkan
timbulnya jaringan parut pada kornea dan menimbulkan kebutaan. 17
BAB III
LAPORAN KASUS
Umur : 28 tahun
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa
Riwayat Atopi
Pasien tidak memiliki alergi
Kesadaran : Composmentis
2. Status Dermatologis
Regio: Regio palmar manus dextra, regio antebrachii dextra dan region brachii
dextra.
Effloresensi :
Regio palmar manus dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan vesikel,
pustul dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak tegas.
Regio antebrachii dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan vesikel,
pustul dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak tegas.
Regio brachii dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan vesikel, pustul
dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak tegas.
Status Dermatologis
Regio : Regio palmar manus dextra, regio antebrachii dextra dan regio brachii
dextra.
Effloresensi :
Regio palmar manus dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan
vesikel, pustul dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak
tegas.
Regio antebrachii dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan vesikel,
pustul dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak tegas.
Regio brachii dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan vesikel,
pustul dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak tegas.
3.8 Tatalaksana
Non-Medikamentosa
1. Pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan kepada orang lain
yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun.
2. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk, pakai bedak salisil dan
pakai baju yang longgar.
3. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
4. Kontrol setelah obat habis.
Medikamentosa
3.9 Prognosa
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Ad bonam
BAB IV
Daftar Pustaka
1. Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2002.
2. Habif, T.P. Viral Infection. In: Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd ed.
Philadelphia: Elseiver Saunders. 2011.p.235-9.
3. Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In: Lippincott’s Primary
Care Dermatology. Philadelphia: Walter Kluwer Health. 2011.p.148-51.
4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Varicella and
Herpes Zoster. In: Fitzpatrick. Dermatology in General Medicine. 7 thed. New York:
McGraw Hill Company. 2008.p.1885-98.
5. James, W.D. Viral Diseases. In: Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology.
11th ed. USA: Elseiver Saunder. 2011.p.372–6.
6. Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and Marks’ Principles
of Dermatology. 4th ed. Philadelphia: Elseiver Saunders. 2006.p.145-8.
7. Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In : Clinical
Dermatology. 5 thed. United States of America: Elseiver Saunders. 2010.p.479–90.
8. Mandal BK, dkk. Lecture Notes: Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta: Erlangga Medical
Series. 2008.h.115–9.
9. Sehgal, V.N. Herpes Zoster. In: Textbook of Clinical Dermatology. 4th ed. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers. 2006.p.83–4.
10. Mayeaux EJ. Viral Infection. In: The Color Atlas of Family Medicine. United State of
America: Mc Graw-Hill Companies, 2009.p.493–502.
11. Brown, R.G. Lecture Notes Dermatology: Penyakit Infeksi.8th ed. Jakarta: Erlangga
Medical Series. 2005.h.29–31.
13. Chang Sung Eun, Bae Gee Young, Moon Kee Chan, Do Sang Hwan, Lim Young Jin.
Subcutaneous granuloma annulare following herpes zoster. In: International Journal of
Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p.298–9.
14. The International Society of Dermatology. Herpes zoster and pruritus. In: International
Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p.779-80.
15. Ali Asra. Varicella zoster virus (VZV). In: Dermatology a Pictorial Review. New York:
Mc Graw Hill Companies. 2007.p.22-3.
16. Handoko RP. Penyakit Virus. In : Djuanda Adhi, Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 5th ed. Cetakan V, Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2017.h.110-2.
17. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit
kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001.
18. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2000.h.92-
4.