Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

Herpes Zoster

Pembimbing:

Dr. Ika Soelistina, Sp. KK

Disusun Oleh:

Ferdy Bahasuan

112017096

Kepaniteraan Stase Penyakit Kulit dan Kelamin

Rumah Sakit Bhayangkara H.S. Samsoeri Mertojoso, Surabaya

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Periode 12 Agustus - 14 September 2019


HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dokter Pembimbing Laporan Kasus dari :

Nama : Ferdy Bahasuan


NIM :112017096

Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Judul : Herpes Zoster

Dokter Pembimbing : dr. Ika Soelistina, Sp. KK

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Surabaya, 17 Agustus 2019


Dosen Pembimbing,

(dr. Ika Soelistina, Sp. KK)


BAB I
PENDAHULUAN

Herpes zoster telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan oleh
virus yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela zoster. 1,2 Herpes zoster ditandai dengan
adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang
dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dan nervus kranialis.3,4
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan
antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Diperkirakan
terdapat antara 1,3-5 per 1000 orang per tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia di atas 50 tahun
dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20 tahun.5
Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela, virus
varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik
dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris.
Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi,
tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius. Herpes zoster pada
umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang terpadat. Aktivasi
virus varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang berhubungan dengan
imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor penting untuk pertahanan pejamu
terhadap infeksi endogen.2,3,6
Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang
terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten setelah krusta
terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi hampir 1/3 kasus terjadi
pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang terkena secara langsung atau lewat
aliran darah sehingga terjadi herpes zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek
imunologi karena keganasan atau pengobatan imunosupresi. 4,5,7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Herpes zoster adalah infeksi viral kutaneus pada umumnya melibatkan kulit dengan
dermatom tunggal atau yang berdekatan. Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus
varisela zoster yang memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Shingles
adalah nama lain dari herpes zoster.2 Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi
primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis sistem saraf
sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai
herpes zoster.1

2.2 Epidemiologi
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman.
Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan
varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan host-virus.4
Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua. Insiden terjadinya herpes zoster
1,5 sampai 3, 0 per 1.000 orang per tahun dalam segala usia dan 7 sampai 11 per 1000 orang
per tahun pada usia lebih dari 60 tahun pada penelitian di Eropa dan Amerika Utara.
Diperkirakan bahwa ada lebih dari satu juta kasus baru herpes zoster di Amerika setiap tahun,
lebih dari setengahnya terjadi pada orang dengan usia 60 tahun atau lebih.4,6,7 Ada peningkatan
insidens dari zoster pada anak – anak normal yang terkena chicken pox ketika berusia kurang
dari 2 tahun.8 Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif
memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada individu
imunokompeten pada usia yang sama. Immunosupresif kondisi yang berhubungan dengan
risiko tinggi dari herpes zoster termasuk “human immunodeficiency virus” (HIV), transplantasi
sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker, dan penggunaan
kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang
terinfeksi dengan HIV, dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun. Zoster
mungkin merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit AIDS pada individual
dengan resiko tinggi.4,8
Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster termasuk jenis kelamin
perempuan, trauma fisik pada dermatom yang terkena, gen interleukin 10 polimorfisme, dan
ras hitam, tapi konfirmasi diperlukan. Paparan dari anak dan kontak dengan kasus varisela telah
dilaporkan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit herpes zoster. Episode kedua
dari herpes zoster jarang terjadi pada orang imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang.
Pasien imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit herpes zoster yang
mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV) yang berulang. 2
Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien dengan varisela.
Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes zoster tanpa komplikasi sampai 7
hari setelah munculnya ruam, dan untuk waktu yang lebih lama pada individu
immunocompromised. Pasien dengan zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk
menyebarkan infeksi melalui kontak langsung dengan lesi mereka. Pasien dengan herpes zoster
dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol, sehingga tindakan
pencegahan udara, serta pencegahan kontak diperlukan untuk pasien tersebut. 2

2.3 Etiologi

Gambar 1. Varicella Zoster Virus1


Varicella zoster virus (VZV) adalah penyebab diantara varicella (cacar air) dan zoster
(shingles). Tiga genotipe dari α-herpesvirus telah diidentifikasi dan terbukti memiliki variasi
geografis.1

2.4. Patogenesis
Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet respiratori. VZV
bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang lebih 2 minggu sebelum
perkembangan kulit yang erupsi. Pasien infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta.
Selama terjadi kulit yang erupsi, VZV menyebar dan menyerang saraf secara retrograde untuk
melibatkan ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi laten.1,3
Virus berjalan sepanjang saraf sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan
menimbulkan vesikel dengan cara yang sama dengan cacar air. Zoster terjadi dari reaktivasi
dan replikasi VZV pada ganglion akar dorsal saraf sensorik.4,5,8 Latensi adalah tanda utama
virus Varisela zoster dan tidak diragukan lagi peranannya dalam patogenitas. Sifat latensi ini
menandakan virus dapat bertahan seumur hidup hospes dan pada suatu saat masuk dalam fase
reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi penularan kepada seseorang yang rentan. 1
Reaktivasi mungkin karena stres, sakit immunosupresi, atau mungkin terjadi secara spontan.
Virus kemudian menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala prodormal dan erupsi
kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal.3 Infeksi primer VZV memicu imunitas
humoral dan seluler, namun dalam mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting
pada herpes zoster. Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada pasien
HIV dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan orang normal.1

Gambar 2. Lokasi Dorman Varicella Zoster Virus3


Penyebab reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul pada keadaan
imunosupresi. Insidensi herpes zoster berhubungan dengan menurunnya imunitas terhadap
VZV spesifik. Pada masa reaktivasi virus bereplikasi kemudian merusak dan terjadi
peradangan ganglion sensoris. Virus menyebar ke sumsum tulang belakang dan batang otak,
dari saraf sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi kulit vesikuler yang khas. Pada daerah
dengan lesi terbanyak mengalami keadaan laten dan merupakan daerah terbesar
kemungkinannya mengalami herpes zoster.1
Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit dan permukaan
mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara sentripetal, naik ke serabut sensoris
ke ganglia sensoris. Di ganglion, virus membentuk infeksi laten yang menetap selama
kehidupan. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom dimana ruam dari varisela
mencapai densitas tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf
trigeminal ganglion sensoris dan tulang belakang dari T1 sampai L2.4 Depresi imunitas selular
akibat usia lanjut, penyakit, atau obat-obatan mempermudah reaktivasi. Herpes zoster pada
anak kecil sehat mungkin berhubungan dengan perkembangan imunitas selular yang kurang
efisien pada saat terjadi infeksi VZV primer baik in utero maupun pascalahir. 8

Patogenesis Nyeri pada Herpes Zoster dan Postherpetic Neuralgia


Nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster. Didahului dengan gejala ini dan
umumnya disertai ruam, dan gejala ini sering berlanjut walau ruam sudah sembuh, dengan
komplikasi yang dikenal sebagai postherpetic neuralgia (PHN). Sejumlah mekanisme yang
berbeda tetapi tumpang tindih tampaknya terlibat dalam patogenesis nyeri pada herpes zoster
dan PHN.3
Cedera pada saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri pada saraf di ganglion aferen.
Peradangan di kulit memicu sinyal nosiseptif yang lebih terasa nyeri di kulit. Rilis yang
berlebihan dari pengeluaran asam amino dan neuropeptida yang disebabkan oleh rentetan
berkelanjutan dari impuls afferent selama fase akut dan prodormal pada herpes zoster
kemungkinan dapat menyebabkan cedera eksitotoksik dan hilangnya hambatan interneuron di
sumsum tulang belakang. Kerusakan neuron di sumsum tulang belakang, ganglion dan saraf
perifer, adalah penting dalam patogenesis PHN. Kerusakan saraf aferen primer dapat menjadi
aktif secara spontan dan peka terhadap rangsangan perifer dan simpatis. Aktivasi nosiseptor
yang berlebihan dan impuls ektopik mungkin, menurunkan sesitivitas SSP. Penambahan dan
perpanjangan rangsangat pada pusat itu berbahaya. Pada klinis, ini dinamakan allodynia (nyeri
dan / atau sensasi yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh rangsangan yang biasanya
tidak menyakitkan (sentuhan ringan) dengan rangsang sensori sedikit atau tidak ada sama
sekali.3
Perubahan anatomi dan Fisiologi bertanggung jawab terhadap manifestasi PHN yang
dibentuk di awal perjalanan dari hepes zoster. Hali ini akan menjelaskan korelasi antara
keparahan nyeri awal dan adanya nyeri prodormal dengan perkembangan selanjutnya dari
PHN, dan kegagalan terapi antivirus untuk mencegah PHN. 3

Gambar 3. Patogenesis Postherpetic Neuralgia3

2.5 Gejala Klinis


Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang sangat dan
pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik erupsi kulit dari vesikel
berkelompok pada dasar yang eritematosa.3
Terbagi menjadi tiga stadium antara lain :7
 Stadium prodromal :
Biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena disertai dengan
panas, malaise dan nyeri kepala.
 Stadium erupsi :
Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang setelah 1-2 hari akan timbul
gerombolan vesikel diatas kulit yang eritematus, sedangkan kulit diantara gerombolan
tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan lain adalah sama sedangkan usia lesi dengan
gerombolan lain adalah tidak sama. Lokasi lesi sesuai dermatom, unilateral dan biasanya
tidak melewati garis tengah dari tubuh.
 Stadium krustasi :
Vesikel menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2 minggu. Sering
terjadi neuralgi pasca herpetica terutama pada orang tua yang dapat berlangsung berbulan-
bulan parestesi yang bersifat sementara.7,8
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi – lesi baru yang tetap
timbul brlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2
minggu. Disamping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening
regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan
tempat persarafan. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan
saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan hal
tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena member gejala yang khas. Kelainan pada muka
sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau
nervus fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum). Dermatom yang terlibat : biasanya
tunggal dermatom dorsolumbal merupakan lokasi yang paling sering terlibat (50%), diikuti
oleh trigeminal oftalmika, kemudian servikal dan sakral. Ekstremitas merupakan lokasi yang
paling jarang terkena.8
Keterlibatan saraf kranial ke 5 berhubungan dengan kornea. Pasien seperti ini harus
dievaluasi oleh optalmologi. Varian lain adalah herpes zoster yang melibatkan telinga atau
mangkuk konkhal – sindrom Ramsay-Hunt. Sindrom ini harus dipertimbangkan pada pasien
dengan kelumpuhan nervus fasialis, hilangnya rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai
tambahan lesi zosteriform di telinga. Secara klasik, erupsi terlokalisir ke dermatom tunggal,
namun keterlibatan dermatom yang berdekatan dapat terjadi, seperti lesi meluas dalam kasus
zoster-diseminata. Zoster bilateral jarang terjadi, dan harus meningkatkan kecurigaan pada
imunodefisiensi seperti HIV / AIDS.3
Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:1,8
1. Herpes zoster oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf
trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala
konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari
sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata bengkak
dan sukar dibuka.

Gambar 4. Herpes Zoster Oftalmikus Sinistra


2. Herpes zoster fasialis
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 5. Herpes Zoster Fasialis Dekstra


3. Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 6. Herpes Zoster Brakialis Sinistra


4. Herpes zoster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 7. Herpes Zoster Torakalis Sinistra


5. Herpes zoster lumbalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

6. Herpes zoster sakralis


Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 8. Herpes Zoster Sakralis Dekstra

2.7. Diagnosis
Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia beberapa
hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya kelainan kulit. Adakalanya sebelum timbul
kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan malaise. Kelainan kulit
tersebut mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikula yang
dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih,
setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi,
vesikel dan bula dapat menjadi krusta.3,9
Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri
lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan
sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari
erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar
eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom. 4
Teknik yang sama digunakan untuk mendiagnosis varicella dan digunakan untuk
mendiagnosa herpes zoster juga. Tampilan klinis seringkali cukup untuk menegakkan
diagnosis, dan pada hapusan Tzanck dapat mengkonfirmasi kecurigaan klinis. 5,6,9 Namun,
lokasi atau penampilan dari lesi kulit mungkin atipikal (terutama di immunocompromised
pasien) sehingga membutuhkan konfirmasi laboratorium.6
Kultur virus adalah dimungkinkan, tetapi virus varicella-zoster itu labil dan relatif sulit
untuk pulih dari penyeka lesi kulit. Sebuah uji direct imunofluorescence lebih sensitif
dibandingkan kultur virus dan memiliki tambahan keuntungan dari biaya yang lebih murah dan
waktu yang lebih cepat. Seperti kultur virus, direct imunofluorescence assay dapat
membedakan infeksi virus herpes simplex dengan infeksi virus varisela-zoster. Polymerase-
chain-reaction techniques yang berguna untuk mendeteksi DNA virus varicella-zoster di cairan
dan jaringan.6

Gambar 9. Tzanck Smear dan Direct Imunofluorescence Assay


Herpes simplex zoster bisa dengan hasil positif untuk Tzanck smear, namun jumlah lesi
biasanya lebih terbatas dan derajat nyeri substansialnya kurang. Persiapan selain Tzanck, uji
DFA lebih disukai untuk kultur virus, karena cepat, identifikasi jenis virus, dan memiliki hasil
yang lebih akurat. Bila dibandingkan pada VZV, Tzanck smear adalah 75% positif (sampai
dengan 10% false-positif dan variabilitas yang tinggi, tergantung pada keterampilan edema
interseluler dan intraseluler. Bagian atas dari dermis, dilatasi pembuluh darah, edema, dan
infiltrasi perivaskular limfosit dan leukosit polimorfonuklear, Limfosit atipikal mungkin juga
ditemukan. Sebuah vaskulitis leukocytoclastic mendasari kesan infeksi VZV selama HSV.
Inflamasi dan perubahan degeneratif juga dicatat dalam serabut ganglia posterior dan serabut
saraf dorsalis yang terkena. Lesi sesuai dengan sistem persarafan dari ganglon saraf yang
terkena, dengan nekrosis sel-sel saraf.5,10

2.7. Diagnosis Banding


Herpes Simpleks Definisi : Penyakit akut yang ditandai dengan timbulnya
vesikula yang berkelompok diatas dasar eritema,
berulang, mengenai permukaan mukokutaneus.
Etiologi : Disebabkan oleh virus herpes simplex.
Gejala klinis :Lesi primer didahului gejala prodromal
berupa rasa panas ( terbakar ) dan gatal. Setelah timbul
lesi dapat terjadi demam, malaise dan nyeri otot.
Predileksi : mukosa
Status dermatologi : berupa vesikel yang mudah pecah,
erosi, ulcus dangkal bergerombol di atas dasar eritema
dan disertai rasa nyeri. Predileksi pada wanita antara lain
labium mayor, labium minor, klitoris, vagina, serviks
dan anus. Pada laki-laki antara lain di batang penis, glans
penis dan anus. Ekstragenital yaitu hidung, bibir, lidah,
palatum dan faring.9

Varisella Definisi : vesikula yang tersebar, terutama menyerang


anak-anak, bersifat mudah menular
Etiologi : virus Varisela zoster.
Predileksi : Paling banyak di badan, kemudian muka,
kepala dan ekstremitas.
Gejala Klinis : Pada stadium prodomal timbul banyak
makula atau papula yang cepat berubah menjadi
vesikula, yang umur dari lesi tersebut tidak sama. Kulit
sekitar lesi eritematus. Pada anamnesa ada kontak
dengan penderita varisela atau herpes zoster. Khas pada
infeksi virus pada vesikula ada bentukan umbilikasi
(delle) yaitu vesikula yang ditengah nya cekung
kedalam. Distribusinya bersifat sentripetal.7

Dermatitis Kontak Definisi : Dermatitis yang disebabkan terpaparnya kulit


Alergika dengan bahan yang bersifat sebagai alergen. Disini ada
riwayat alergi dan merupakan paparan ulang.
Predileksi : Seluruh tubuh
Status dermatologis : Dapat akut, subakut dan kronis.
Lesi akut berupa lesi polimorf yaitu tampak makula yang
eritematus, batas tidak jelas pada efloresensi dan diatas
makula yang eritematus terdapat papul, vesikel, bula
yang bila pecah menjadi lesi yang eksudatif.9
Dermatitis Definisi : Dermatitis venenata adalah kelainan akibat
Venenata gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan reaksi
terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan
arthropoda penyerang
Predileksi : Seluruh tubuh
Status Dermatologis : Berupa eritema, edema, panas,
nyeri, bisa berbentuk papula, pustule, maupun krusta.9
Terdapat 2 macam lesi yang diakibatkan oleh gigitan
serangga, yaitu :1
a. Nodul eritematus, akibat serangga memasukkan
(menyuntikkan) bahan – bahan berbahaya ke dalam
kulit yang menyebabkan keradangan.
b. Dermatitis kontak iritan, akibat cairan yang
dikeluarkan serangga waktu berbenturan /
bersentuhan dengan kulit.
2.8 Komplikasi
 Sepsis kulit sekunder, biasanya akibat Streptococcus pyogenes atau Staphylococcus
aureus.8
 Okular: pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi komplikasi diantaranya ptosis
paralitik, skleritis, korioretinitis, neuritis optik, konjungtivitis, keratitis, uveitis,
nekrosis retina, parut kelopak mata. Herpes zoster oftalmikus (HZO) dapat muncul di
kemudian hari dan menyebabkan komplikasi okular dan nyeri neuralgik. 8,11,12,13
 Diseminasi kutan pada pasien immunocompromised,
 Pasien transplantasi dan limfoma memiliki resiko tertinggi (hingga 40%),
 Diseminasi visceral terjadi pada 5-10% pasien.8
 Zoster paralitik :
o Akibat keterlibatan saraf motorik seperti sindrom Ramsay Hunt (erupsi nyeri
pada dan sekitar telinga, palsi saraf ipsilateral VII dengan atau tanpa gangguan
vestibular), oftalmoplegia eksternal, gangguan kandung kemih, dan kelemahan
otot ekstremitas.8,14
 Komplikasi SSP :
o Pleiositosis limfositik CSS asimtomatik dengan protein meningkat ringan serta
kadar glukosa normal sering terjadi. Meningoensefalitis, mielitis, dan
hemiplegia kontralateral akibat angitis granulomatosa jarang terjadi. 8,15
 Neuralgia pascaherpes :
o Komplikasi paling sering, keadaan yang dirasakan paling menganggu pada
herpes zoster dirasakan sebagai nyeri dermatomal yang menetap setelah
penyembuhan walau lesi sudah hilang.8,9,11 Insidensi keseluruhan adalah 9-15%,
10 – 15 % >40 tahun, mencapai 50% pada usia > 60 tahun. nyeri biasanya
menghilang dalam 3-6 bulan namun pada beberapa pasien nyeri hebat ini bisa
menetap selama 6 bulan. Neuralgia ini bervariasi dalam hal keparahan, tipe, dan
kualitasnya.8,16
 Zoster sakralis :
o Keterlibatan segmen – segmen sakral bisa menyebabkan retensi urin akut di
mana hal ini bisa dihubungkan dengan adanya ruam kulit. 11
 Zoster trigeminalis :
o Herpes zoster bisa menyerang setiap bagian dari saraf trigeminus, tetapi paling
sering terkena adalah bagian oftalmika.11,15 Gangguan mata seperti
konjungitvitis, keratitis, dan/atau iridosiklitis bisa terjadi bila cabang
nasosiliaris dari bagian oftalmika terkena (ditunjukkan oleh adanya vesikel –
vesikel di sisi hidung), dan pasien dengan zoster oftalmika hendaknya diperiksa
oleh oftalmolog.11
o Herpes keratokonjungtivitis : termasuk HZO, dalam waktu 3 minggu selama
rash, terdapat ulkus kornea, keratitis punctata.15
 Infeksi pada bagian maksila dari saraf trigeminus menimbulkan vesikel – vesikel
unilateral pada pipi dan pada palatum11.
 Zoster motoris :
o Kadang-kadang selain lesi kulit pada dermatom sensoris, serabut saraf motoris
bisa juga terserang, yang menyebabkan terjadinya kelemahan otot. 11
 Infeksi juga dapat menjalar ke alat dalam, misalnya paru, hepar dan otak.16
 Banyak reaksi kutaneus yang berkembang selama masa penyembuhan lesi Herpes
zoster. Granuloma annulare (GA) dilaporkan pada beberapa kasus bekas luka (“scars”)
Herpes zoster.13
 Telah dilaporkan bahwa pruritus paska herpes (PPH) dapat muncul di bagian yang telah
sembuh dari herpes zoster dengan sakit atau tanpa rasa sakit, dan dihubungkan dengan
kehilangan saraf sensorik.14

2.9 Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa17
1. Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan kepada
orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun.
2. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar.
3. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.

Medikamentosa
Oral
1. Analgetika
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpes
zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah
1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat dipakai seperlunya ketika nyeri muncul.
2. Vitamin neurotropik sehari 2 x 1 tablet
3. Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir
dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir
dapat diberikan peroral atau intravena. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah
5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan intravena biasanya hanya pada pasien yang
imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat
digunakan adalah valasiklovir dan famsiklovir. Valasiklovir diberikan 3×1000 mg/hari
selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Famsiklovir juga bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari. 18
4. Bila ada infeksi sekunder : Amoxicilin 500 mg sehari 3 x 1 tablet

Lokal
1. Bila lesi basah: kompres larutan garam faali
2. Bila lesi kering: bedak asam salisilat 2%

2.10 Prognosis
Infeksi primer herpes virus merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan, biasanya
berlangsung selama 1-2 minggu. Kematian dapat terjadi pada masa neonates, anak dengan
malnutrisi berat, kasus meningoensefalitis, dan eksema herpetikum yang berat, diluar keadaan
ini biasanya prognosis baik. Mungkin sering ditemukan serangan berulang, tetapi serangan
ulang tersebut jarang berat, kecuali serangan ulang pada mata yang dapat menyebabkan
timbulnya jaringan parut pada kornea dan menimbulkan kebutaan. 17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. DSE

Umur : 28 tahun

Jenis kelamin : Laki - laki

Alamat : Dusun Sanggar Arum, Rt 4 Rw 3, Jombang

Pekerjaan : Swasta

Pendidikan terakhir : SMA

Agama : Islam

Suku/bangsa : Jawa

Status perkawinan : Belum Menikah

Tanggal pemeriksaan : 15 Agustus 2019

3.2 ANAMNESA (AUTOANAMNESA)


Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan muncul sekumpulan lenting-lenting berair di tangan kanan sejak
3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Surabaya pada tanggal 12 Agustus 2019 pukul
20:20, dengan keluhan muncul sekumpulan lenting-lenting berair di tangan kanan sejak 3 hari
SMRS. Keluhan juga disertai nyeri dan terasa panas diarea timbulnya lenting.
5 hari SMRS pasien mengeluhkan terdapat demam yang hilang timbul dengan
intensitas suhu yang tidak terlalu panas, dan juga terdapat nyeri kepala sebelah kanan yang
menjalar sampai ke area lengan kanan bawah. Nyeri yang dirasakan seperti di tusuk-tusuk dan
terasa panas. Pasien mengatakan bahwa belum muncul ruam lenting-lenting berair. Pasien
mengatakan tidak ada mual, muntah dan gatal di area yang dirasakan nyeri.
3 hari SMRS pasien mengatakan ruam lenting-lenting berair mulai bermunculan dari
regio antebrachii secara berkelompok dan mulai menyebar sampai ke regio brachii dekstra dan
juga area telapak tangan kanan. Lenting diawali dari ruam kemerahan yang lama-kelamaan
muncul secara kelompok. Pasien juga mengatakan terdapat nyeri dan terasa panas di area
tempat lenting bermunculan

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat varicella (+) pada usia 10 tahun

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini

Riwayat Atopi
 Pasien tidak memiliki alergi

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Composmentis

Status gizi : Baik

Kepala : Dalam batas normal

Leher : Dalam batas normal

Thorax : Dalam batas normal

Abdomen : Dalam batas normal

Extremitas : Lihat status dermatologis

Genital : Tidak dilakukan pemeriksaan

2. Status Dermatologis

 Regio: Regio palmar manus dextra, regio antebrachii dextra dan region brachii
dextra.
 Effloresensi :
Regio palmar manus dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan vesikel,
pustul dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak tegas.
Regio antebrachii dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan vesikel,
pustul dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak tegas.
Regio brachii dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan vesikel, pustul
dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak tegas.

Regio Palmar Manus Dextra

Regio Antebrachii Dextra


Regio Brachii Dekstra

3.4 Diagnosa Banding


Herpes Simpleks (Virus Herpes Simpleks tipe I), karena mempunyai tempat predileksi di
bagian atas tubuh. Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel berkelompok diatas kulit
yang sembab dan eritematosa, gambaran ini serupa dengan yang terjadi pada penderita.
Sebelum timbul vesikel, biasanya didahului oleh rasa gatal atau seperti terbakar, hal ini
sama seperti yang diungkapkan oleh pasien yaitu terasa gatal dan panas pada bintil –
bintil.

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan, tetapi disarankan untuk dilakukan pemeriksaan direct
imunofluorescence assay dan tzanck smear. Karena melalui pemeriksaan direct
imunofluorescence dapat dibedakan antara infeksi virus herpes simpleks dan infeksi virus
varisela zoster. Melalui pemeriksaan tzanck smear, jika virus varisela zoster akan tampak
sel datia berinti banyak sedangkan bila virus herpes simpleks akan tampak sel datia
berinti banyak dan badan inklusi intra nuklear.

3.6 Diagnosa Kerja


Herpes Zoster
3.7 Resume
Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Surabaya pada tanggal 12 Agustus 2019 pukul
20:20, dengan keluhan muncul sekumpulan lenting-lenting berair di tangan kanan sejak
3 hari SMRS. Keluhan juga disertai nyeri dan terasa panas diarea timbulnya lenting. 5
hari SMRS pasien mengeluhkan terdapat demam yang hilang timbul dengan intensitas
suhu yang tidak terlalu panas, dan juga terdapat nyeri kepala sebelah kanan yang menjalar
sampai ke area lengan kanan bawah. Nyeri yang dirasakan seperti di tusuk-tusuk dan
terasa panas. 3 hari SMRS pasien mengatakan ruam lenting-lenting berair mulai
bermunculan dari regio antebrachii secara berkelompok dan mulai menyebar sampai ke
regio brachii dekstra dan juga area telapak tangan kanan. Lenting diawali dari ruam
kemerahan yang lama-kelamaan muncul secara kelompok. Pasien juga mengatakan
terdapat nyeri dan terasa panas di area tempat lenting bermunculan.

Status Dermatologis

 Regio : Regio palmar manus dextra, regio antebrachii dextra dan regio brachii
dextra.
 Effloresensi :
Regio palmar manus dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan
vesikel, pustul dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak
tegas.
Regio antebrachii dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan vesikel,
pustul dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak tegas.
Regio brachii dextra : tampak makula eritematosa dengan sekumpulan vesikel,
pustul dan papule, dengan ukuran dan bentuk bervariasi, batas tidak tegas.

3.8 Tatalaksana
Non-Medikamentosa
1. Pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan kepada orang lain
yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun.
2. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk, pakai bedak salisil dan
pakai baju yang longgar.
3. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
4. Kontrol setelah obat habis.
Medikamentosa

- Acyclovir 800 mg diberikan sehari 5 x 1 tablet, selama 7 hari


- Amoxicilin 500 mg diberikan sehari 3 x 1 tablet, selama 5 hari
- Vitamin neurotropik diberikan sehari 2 x 1 tablet, selama 7 hari
- Asam mefenamat 500 mg diberikan sehari 3 x 1 tablet, selama 7 hari
- Bedak asam salisilat 2%, dioleskan sehari 2 kali pagi dan sore setelah mandi

3.9 Prognosa
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Ad bonam
BAB IV
Daftar Pustaka

1. Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2002.

2. Habif, T.P. Viral Infection. In: Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd ed.
Philadelphia: Elseiver Saunders. 2011.p.235-9.

3. Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In: Lippincott’s Primary
Care Dermatology. Philadelphia: Walter Kluwer Health. 2011.p.148-51.

4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Varicella and
Herpes Zoster. In: Fitzpatrick. Dermatology in General Medicine. 7 thed. New York:
McGraw Hill Company. 2008.p.1885-98.

5. James, W.D. Viral Diseases. In: Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology.
11th ed. USA: Elseiver Saunder. 2011.p.372–6.

6. Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and Marks’ Principles
of Dermatology. 4th ed. Philadelphia: Elseiver Saunders. 2006.p.145-8.

7. Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In : Clinical
Dermatology. 5 thed. United States of America: Elseiver Saunders. 2010.p.479–90.

8. Mandal BK, dkk. Lecture Notes: Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta: Erlangga Medical
Series. 2008.h.115–9.

9. Sehgal, V.N. Herpes Zoster. In: Textbook of Clinical Dermatology. 4th ed. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers. 2006.p.83–4.

10. Mayeaux EJ. Viral Infection. In: The Color Atlas of Family Medicine. United State of
America: Mc Graw-Hill Companies, 2009.p.493–502.

11. Brown, R.G. Lecture Notes Dermatology: Penyakit Infeksi.8th ed. Jakarta: Erlangga
Medical Series. 2005.h.29–31.

12. Brown, R.G. Dermatology Fundamentals of Practice. Philadelphia: Mosby Elseiver.


2008.p.212-4.

13. Chang Sung Eun, Bae Gee Young, Moon Kee Chan, Do Sang Hwan, Lim Young Jin.
Subcutaneous granuloma annulare following herpes zoster. In: International Journal of
Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p.298–9.

14. The International Society of Dermatology. Herpes zoster and pruritus. In: International
Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p.779-80.

15. Ali Asra. Varicella zoster virus (VZV). In: Dermatology a Pictorial Review. New York:
Mc Graw Hill Companies. 2007.p.22-3.

16. Handoko RP. Penyakit Virus. In : Djuanda Adhi, Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 5th ed. Cetakan V, Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2017.h.110-2.

17. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit
kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001.

18. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2000.h.92-
4.

Anda mungkin juga menyukai