Anda di halaman 1dari 10

A.

PENGERTIAN GBS
GBS ( Guillain Barre Syndrom) adalah suatu kelainan saraf perifer
yang menyebabkan kelumpuhan ekstrimitas secara asenden dan simetris
yang diperantarai mekanisme imunologi. Kelemahan dan paralisis yang
terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang
membungkus saraf (Hakim, 2011). Hilangnya myelin ini disebut
demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh
saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS
menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang
beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga dengan AIDP (Acute
Inflamatory Demyelinating Polyradioculoneurophaty) (Levin, 2004).
Penyakit ini sudah ada sejak tahun 1859, dimana istilah Gullian Barre
diambil dari nama dua ilmuwan yang pertama kali menemukan penyakit
ini (Hakim, 2011).
B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia dan terjadi pada setiap musim.
Dowling dkk mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musim panas
dan musim guugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Insiden
terjadinya GBS sebesar 1,2 2,3 per 100.000 penduduk dan angka
tersebut hampir sama di semua negara (Alshekhlee et al, 2008). Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun. Data ini sesuai dengan penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Inodnesia adalah
dekade I, II, dan III dengan jumlah penderita laki-laki dan perempuan
hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
pebandingan laki-laki dan wanita 3:1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun
(Chandra, 1983). Insiden tertinggi pada bulan April sampai dengan Mei
dimana terjadi pegantian musim huian dan kemarau. Angka kematian
berkisar antara 5 sampe 10 % dengan penyebab kematian tersering adalah
gagal napas. Antara 5 10% sembuh dengan yang permanen (Japardi,
2002).
C. ETIOLOGI

Etiologi GBS sampai saat ni masih blum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya. Namun diketahui terdapat beberapa keadaan atau penyakit
yang mendahului dan berhubungan dengan terjadinya GBS
1. Infeksi
Diketahui sekitar 1-4 minggu sebelum onset GBS, terjadi sindrom viral
akut atau manifestasi penyakit infeksi lainnya. Pada saat onset GBS
dimulai, biasanya infeksi antesenden telah berakhir. Insidensi kasus
GBS yang berkaitan dengan infeksi antesenden sekita antara 56%80%. Infeksi yang sering mendahului ialah infeksi saluran respirasi
dan saluran pencernaan. Berikut ini infeksi yang berhubungan dengan
GBS
Infeksi
Virus

Bakteri

Definite
Cytomegalo
Eipsteinbarr

Campylobacter

jejuni
Mycoplasma
Pneumonia

Possible
Influenza
Hepatitis A dan B
HIV
Coxsackie
Echo
Rubella
Varicella Zoster
Mumps
Measles
Thyphoid
Legionella Pneumonia
Shigella
Brucellosis
Yersina enterocolitica

2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistemik
a. Penyakit addison
b. Limfoma hodgkin
c. Leukimia
d. lupus eritematous
e. Keganasan
5. Kehamilan atau dalam masa nifas ( Gorson, 2002 & Davids HR,
2002)

D. PATOFISIOLOGI DAN PATHOGNESIS


Patofisiologi GBS melibatkan konsep imunopatogenesis baik
selular maupun humoral. GBS diduga oleh karena suatu fenomena
mimikrimolekular, yaitu sistem imun yang seharusnya mengeradikasi agen
infeksi juga ikut menginvasi jaringan sendiri akibat kemiripan epitop.
Pada GBS, antigen dari agen infeksi antesenden berinteraksi
dengan sel APC (Antigen Presenting

Cell) sehingga sel APC

mengekspresikan molekul MHC kelas II. Sel APC akan mengaktifkan sel
T yang juga akan mengekspresikan MHC kelas II yang serupa. Karena
antigen agen infeksi antesenden memiliki epitop yang mirip dengan
antigen saraf tepi maka terjadi mimikri molekular,sehingga terjadi invasi
juga ke jaringan saraf perifer (Doorn, 2008).

Sel T aktif akan merusak sawar darah saraf sehingga mentarget


antigen endoneurial dan melepaskan sitokin inflamasi, seperti IL-2 dan
TNF. Peningkatan sitokin IL-2 di serum dan IL-6 serta TNF-a di CSF
merupakan bukti aktivasi imun selular. Pelepasan sitokin inflamasi akan
merekrut makrofag untuk menginvasi mielin. Selain itu juga terjadi invasi
makrofag. Inflamasi paling intens terjadi pada area perivaskular dan
radiks spinal dimana terjadi invasi sel imun. Patofisiologi GBS juga
melibatkan

sistem

imun

humoral.

Peneliti

lainnya

berhasil

mendemonstrasikan deposisi komplemen di permukaan luar sel Schwann


melalui imunositokimia. Keberadaan kompleks komplementerminal (C5b9) berkaitan dengan perubahan vesikular pada lamela mielin terluar yang
terjadi sebelum invasi sel T dan makrofag. Pada GBS dengan keterlibatan
aksonal yang prominen, produk aktivasi komplemen (C3d) berikatan
dengan aksolema akson motorik dan pada kasus yang berat Ig dan C3d
juga ditemukan di ruang periaksonal internodal. Target invasi sistem imun
adalah gangliosida, yaitu suatu kompleks glikosfingolipid yang terdiri dari
satu atau lebih residu asam sialat (Doorn, 2008).
Gangliosida berperan dalam interaksi antarsel (akson dan sel glia),
modulasi reseptor, dan regulasi pertumbuhan. Gangliosida terdapat di
membran sel sehingga rentan terhadap paparan sistem imun. Gangliosida
terdistribusi luas pada jaringan saraf terutama pada nodus Ranvier.
Antibodi antigangliosida, terutama antibodi antiGM1, banyak terdapat
pada kasus GBS (20-50% kasus) terutama yang dipicu infeksi C. jejuni.
Terdapat kesamaan struktur dan reaksi silang antara glikolipid C. jejuni
dengan gangliosida. Antibodi yang terlibat dalam patofisiologi GBS
bervariasi dan distribusinya menjelaskan varian-varian GBS. Antigen yang
dieskpresikan oleh saraf tepi adalah gangliosida (GM1, asialo-GM1,
GQ1b, GD1a, GT1a) dan distribusi anatomisnya pada saraf tepi
menjelaskan patofisiologi varian GBS. Sindrom Miller-Fisher berkaitan
dengan antibodi IgG anti-GQ1b. Antigen GQ1b banyak terdapat di saraf
motorik ekstraokular dibandingkan di saraf motorik ekstremitas sehingga
menjelaskan manifestasi Sindrom Miller-Fisher. Anti- bodi monoclonal
anti-GQ1b yang diinduksi oleh C. jejuni juga memblok transmisi
neuromuskular secara eksperimental (Houliston, 2007).
Patofisiologi GBS meliputi demielinisasi (paling banyak) dan
gangguan aksonal (pada beberapa varian) yang menjelaskan manifestasi
motorik dan sensoriknya. Pada demielinisasi, integritas aksonal intak
sedangkan mielin mengalami kerusakan sehingga didapatkan blok

konduksi, penurunan kecepatan hantar saraf, dan normalnya amplitudo


secara elektrofisiologi. Pemulihan dapat terjadi cepat seiring dengan
proses remielinisasi. Tetapi pada kasus yang berat terjadi degenerasi
aksonal sekunder yang tampak secara elektrofisiologi dan berasosiasi
dengan pemulihan yang lambat dan disabilitas residu. Gangguan aksonal
dapat terjadi secara primer (Makokswa, 2008).
E. GEJALA KLINIS DAN KRITERIA DIAGNOSIS
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa
baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke
empat ekstremitas yang bersifat asendens . Parestesia ini biasanya bersifat
bilateral. Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama
sekali.
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah
dan menyebar secara progresif , dalam hitungan jam, hari maupun minggu,
ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini
bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus,
biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul
secara signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator
dalam bernafas.
Kerusakan

saraf

sensoris

yang

terjadi

kurang

signifikan

dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya


proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya
berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal.

Rasa sakit dan

kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi. Terutama pada
anak anak.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan
kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau
hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang
tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada

10 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.


Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering ( 50% ) adalah
bilateral facial palsy.
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi,
kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas
dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).

Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological


and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)
Manifestasi klinis Gambaran yang diperlukan Kelemahan progresif lengan
untuk diagnosis
Gambaran

dan tungkai

yang

mendukung kuat

Hiporefleksia
Progresif gejala
beberapahari

selama

sampai

minggu

Gejala relatif simetris

Gejala sensorik ringan

Keterlibatan saraf fkrnaial


terutama diplegia fasial

Pemulihan
minggu

dimulai

setelah

2-4

progresif

berhenti

Tidak adanya demam saat


onset progresif berhenti

Disfungsi otonom

Tidak adanya demam saat

onset

Kriteria

Peningkatan

Laboratorium

protein CSF 50-150 mg/dl


dengan
<10

konsentrasi

jumlah

leukosit

sel/mm3,

tanpa

Kriteria

eritrosit
Penurunan

Elektrofisiologis

konduksi

kecepatan
saraf bahkan

blok pada 80% kasus.


Biasanya kecepatan hantar
kurang 60% dari normal
F. KLASIFIKASI GUILLAIN BARRE SYNDROM
a. Acute Inflamatory Demyelinating Polineuropathy (AIDP)
Jenis GBS yang paling sering ditemukan yang disebabkan oleh
respon autoimun yang menyerang membran sel schwan, terjadi
kelemahan progresif, hiporefleks, perubahan sensori ringan
(penurunan sensibilitas ringan)
b. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan
Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang
menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan
penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi
Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan
pada AMAN.
c. Acute Motor Senosry Axonal Neuropathy (AMSAN)
Menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf
sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat
dan sering tidak sempurna.
d. Fishers Syndrome

Manifestasinya berupa ataksia, oftalmoplegia, dan arefleksia.


Ataksia tampak prominen pada trunkus dan gait, tetapi tidak
prominan pada ekstremitas. Kekuatan motorik biasanya masih
baik. Perjalanan penyakitnya akan membaik secara gradual dan
komplit dalam beberapa minggu atau bulan. Terdapat hubungan
yang kuat dengan antibodi antigangliosida terutama antibodi antiGQ1b yang diinduksi C.

jejuni. Konsentrasi antibodi tersebut

ditemukan di saraf okulomotor, troklear, dan abdusens yang


menjelaskan manifestasi oftalmoplegia (Japardi, 2002 & Hakim,
2011).
G. PROGNOSIS
95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya
sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural
tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. Kelainan ini juga dapat
menyebabkan kematian pada 5 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan
aritmia. Diketahui 3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih
ringan beberapa tahun setelah onset pertama (Hakim, 2011 & Van, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
1. Alshekhlee A, Hussain Z, Sultan B, Katirji B. Guillain-Barr syndrome:
incidence and mortality rates in US hospitals. Neurology 2008; 70: 1608
13.
2. Chandra, B. 1983. Pengobatan dengan Cara Baru dari Sindroma GullainBare. Medika (11); 918-922.
3. Davids HR. Guillain-Barre syndrome. [cited on 2011 Aug 17]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview#showall
4. Doorn, Pieter A Van, Liselotte Ruts, Bart C Jacobs. 2008. Clinical
Features, Pathogenesis, and Treatment of Guillain-Barre Syndrome.
Neurology Vol 7 Oktober 2008.
5. Gorson KC, Ropper AH. Guillain-Barre Syndrome (Acute Inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy) and related disorders. In: Katirji B et al,
editors. Neuromuscular disorders in clinical practice. Boston:Butterworth
Heinemann; 2002.p.544-60
6. Hakim, Manfaluthy. 2011. Sindrom Guillai-Barre. Leading Article vol. 24,
No.4,Edition December 2011.
7. Houliston RS, Yuki N, Hirama T, et al. Recognition characteristics of
monoclonal antibodies that are cross-reactive with gangliosides and
lipooligosaccharide from Campylobacter jejuni strains associated with
Guillain-Barr and Fisher syndromes. Biochemistry 2007; 46: 3644.
8. Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain-Barre. Univeristas Sumatera
Utara : Fakultas Kedokteran Bagian Bedah
9. Levin , KH. Variants and mimics of Guillain Barre syndrome. Neurologist
2004;10:6174
10. Makowska A, Pritchard J, Sanvito L, et al. Immune responses to myelin
proteins in Guillain-Barr syndrome. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008;
79: 66471.

11. Van Koningsveld R, Steyerberg EW, Hughes RA, Swan AV, van Doorn

PA, Jacobs BC. A clinical prognostic scoring system for Guillain-Barr


syndrome. Lancet Neurol 2007; 6: 58994.

Anda mungkin juga menyukai