Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan penyakit langka dan


jarang terjadi hanya 1 atau 2 kasus per 100.000 populasi di dunia tiap
tahunnya. Penyakit ini terjadi sepanjang tahun serta dapat menyerang hampir
semua usia dan genetik (Nyati &Nyati, 2011; Rosen, 2012).

Insidensi GBS pada tiap negara sangat bervariasi (van den Berg et al.,
2014). Insiden keseluruhan telah diperkirakan berkisar 0,4-2,4 kasus per
100.000 per tahun, dengan 3.500 kasus baru per tahun terjadi di Amerika
Serikat (Rosen, 2016).

Insiden terjadinya GBS di Indonesia, pada akhir tahun 2010-2011


tercatat ada 48 kasus dalam satu tahun dengan berbagai variannya. Insiden ini
meningkat 10% dibandingkan tahun sebelumnya (Pdpersi, 2012; Hakim,
2011).

Insiden GBS di ruangan ICU RSAB Harapan Kita pada pertengahan


tahun 2018 tidak terdapat kasus, tapi pada tahun 2019, tercatat ada 2 kasus
GBS yang membutuhkan ventilasi mekanik (rekam medis RSAB Harkit,2019).

Angka kematian dari GBS dapat meningkat sebesar 1,3 kali pada laki-
laki dibandingkan dengan perempuan. Angka morbiditas menunjukkan bahwa
sekitar 15-20% dari pasien mengalami penurunan fungsi neurologis dan sekitar
1-10% mengalami cacat permanen (Andary et al., 2016).

Guillain Barre Syndrom (GBS) merupakan penyakit langka di mana


sistem kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Sistem
kekebalan tubuh yang biasanya hanya menyerang benda asing atau

1
mikroorganisme mulai menyerang saraf-saraf yang membawa sinyal antara
tubuh dan otak. Hal ini menyebabkan pelindung saraf (selubung myelin)
menjadi rusak dan mengganggu proses signaling yang menyebabkan
kelemahan, mati rasa (baal) atau kelumpuhan (Centers of Disease Control and
Prevention/CDC, 2012).

Penyebab GBS masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan


terjadi akibat respons autoimun terhadap sel saraf perifer yang dapat dicetuskan
oleh infeksi bakteri atau virus (Nyati & Nyati, 2011). Pasien GBS dilaporkan
sebanyak 2/3 mengalami saluran infeksi pernapasan atas atau saluran cerna
yang selanjutnya dapat berkembang menjadi GBS. Pasien mengalami GBS
sebanyak 30% didahului oleh infeksi Compylobacter jejuni dan sebanyak 10%
terinfeksi Cylomegalovirus (Yuki & Hartung, 2012).

Mekanisme terjadinya GBS sebenarnya masih belum diketahui


dengan pasti. Beberapa ahli menyimpulkan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi (Yuki & Hartung,
2012). Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah didapatkannya antibodi
atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen
infeksius pada saraf tepi, adanya autoantibodi terhadap sistem saraf tepi, dan
didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pembuluh darah saraf tepi inilah yang menimbulkan proses demielinisasi saraf
tepi (Walling & Dickson, 2013; Tandel et al., 2016; Andary et al., 2016).

Proses demielinisasi saraf tepi merupakan gangguan neuroimunologi


yang menjadi penyebab tersering paralisis flacid. Risiko terberat dari GBS
dapat mengancam jiwa karena menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan
(Pdpersi, 2012). Sindrom gangguan pernapasan pada pasien GBS
membutuhkan pemasangan pipa endotrakeal, ventilasi mekanik dengan
ventilator dan pengawasan yang ketat di ruangan ICU (Rahayu, 2013).

2
Pengobatan dan pemulihan dari GBS membutuhkan banyak biaya
dengan waktu yang relatif lama. Pemulihan membutuhkan waktu 3-6 bulan,
kadang-kadang lebih lama dan dalam beberapa kasus pemulihan tersebut
membutuhkan waktu sampai 18 bulan. Orang-orang yang memiliki kelemahan
otot yang parah mungkin harus tinggal di rumah sakit rehabilitasi untuk
menerima terapi fisik berkesinambungan dan terapi pekerjaan agar fungsi
motorik kembali normal. Mereka yang tinggal di rumah membutuhkan
perangkat yang membantu untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan dapat
digunakan sampai fungsi motorik dan kekuatan otot kembali (Inawati, 2012).

Penyakit ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan, tapi beberapa
perawatan dapat meringankan gejala dan mengurangi penyakitnya (Kenichi K,
2009). GBS merupakan penyakit yang berat, namun sebanyak 85 persen
penderita penyakit ini dapat mengalami pemulihan dalam waktu 6 hingga 12
bulan. Mayoritas penderita GBS mampu kembali melakukan aktivitasnya
dengan normal (Adrian, 2018).

Berdasarkan data-data yang telah diuraikan di atas, diketahui bahwa


penyakit GBS merupakan penyakit langka dengan angka kejadian yang
meningkat setiap tahun dan membutuhkan perawatan jangka panjang. Kasus
GBS memang membutuhkan perawatan yang berkelanjutan untuk bisa pulih
kembali oleh sebab itu kelompok tertarik mengangkat kasus GBS sebagai
bahan diskusi untuk seminar akhir pada Pelatihan PICU di RSAB Harapan Kita
angkatan 3 tahun 2019.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Makalah ini dibuat untuk memahami asuhan keperawatan pada pasien


Gullain Barre Syndrome

3
2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penulisan makalah ini adalah:

a. Menjelaskan tentang pengertian Guillain Barre syndrome.


b. Mengidentifikasi tentang etiologi Guillain Barre syndrome
c. Menjelaskan tentang patofisiologis dari Guillain Barre syndrome
d. Menjelaskan tanda dan gejala dari Guillain Barre syndrome
e. Menjelaskan pemeriksaan penunjang
f. Menjelaskan penatalaksanaan medis Guillain Barre syndrome
g. Memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan Guillain Barre
syndrome yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,
implementasi dan evaluasi

Anda mungkin juga menyukai