GULLAIN-BARRÉ SYNDROME
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Sebagai Syarat Dalam Menempuh
Program Pendidikan Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Kesehatan Saraf di RS Roemani Muhammadiyah Semarang
Dokter Pembimbing :
dr. Murwani Yekti, Sp. S
Disusun Oleh :
Dwi Rahmatul Adha Ghozali
H3A022048
1
LEMBAR PENGESAHAN
ILMU SARAF
GULLAIN-BARRÉ SYNDROME
Disusun Oleh :
Dwi Rahmatul Adha Ghozali (H3A022048)
2
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN................................................................................................................ 4
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrome Guillain Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah
infeksi akut. Menurut bosch, sindrome guillain barre merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secra akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks, dan nervus kranialis.
2.2 Epidemiologi
Penyakit GBS sudah ada sejak tahun 1859. Nama Guillain Barre diambil
dari dua ilmuwan Perancis, Guillain dan Barre yang menemukan dua orang
prajurit perang di tahun 1916 yang mengindap kelumpuhan kemudian sembuh
setelah menerima perawatan medis. GBS termasuk penyakit langka dan terjadi
hanya 1 atau 2 kasus per 100.000 di dunia tiap tahunnya.
Berdasarkan studi populasi, insiden GBS di Eropa dan Amerika Utara
dilaporan sebanyak 1,2 sampai 1,9 per 100.000 kasus penduduk tiap tahun,
sedangkan di dunia dilaporkan sebanyak 0,6-4 per 100.000 kasus. Laki-laki 1,5
kali lebih banyak dari perempuan dan insidennya meningkat berkaitan dengan
usia, 1 per 100.000 pada usia dibawah 30 tahun dan sekitar 4 per 100.000 kasus
pada usia setelah 75 tahun. Sekitar dua pertiga kasus GBS di dahului oleh
infeksi dengan onset gejalanya terjadi enam minggu, biasanya terjadi infeksi
saluran napas atas atau saluran cerna, dengan insiden gagal napas sekitar 20-
30%.
Tidak ada data prevalensi GBS di Indonesia. Suatu penelitian di rumah
sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menuliskan bahwa kasus baru GBS yang
dirawat di RSCM berjumlah 7,6 kasus/tahun, di mana data diambil dari tahun
2010‒2014. Kasus baru terjadi sepanjang tahun, dan tidak mengenal musim.
5
Kejadian GBS pada laki-laki lebih banyak daripada wanita, dengan rasio
1,2:1. Rerata usia pasien adalah 39,71 tahun. Varian GBS yang ditemukan pada
penelitian ini adalah acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP) 31,6%, acute motor sensory axonal neuropathy
(AMSAN) 18,4%, acute motor axonal neuropathy (AMAN) 15,8%, dan Miller-
Fisher syndrome (MFS) 13,2%.
Penyakit infeksi akut ditemukan pada 2/3 penderita GBS. Pasien biasanya
mengalami infeksi saluran napas atau gastroenteritis 3 minggu sebelum gejala
neuropati muncul. Reaksi silang antara organisme patogen dan jaringan saraf
menyebabkan munculnya suatu respon autoimun. Suatu studi menunjukkan
gejala infeksi pencetus GBS yang paling sering muncul adalah demam (52%),
batuk (48%), sakit tenggorokan (39%), sekret nasal (30%) dan diare (27%).
Faktor Risiko
GBS lebih sering terjadi pada orang dewasa daripada anak-anak. Insiden GBS
meningkat seiring bertambahnya usia, di mana risiko tertinggi pada usia >50
tahun. Selain itu, GBS lebih banyak terjadi pada laki-laki. Perdebatan GBS
pasca vaksinasi muncul ketika terjadinya peningkatan GBS setelah vaksinasi
flu Babi di Amerika Serikat pada tahun 1976. Beberapa penelitian
6
mengungkapkan bahwa risiko GBS adalah 1,7 kasus dari 1 juta vaksinasi.
Hubungan antara GBS dan vaksinasi influenza hingga saat ini masih belum
jelas. Beberapa penelitian retrospektif lainnya tidak menunjukkan adanya
peningkatan angka kejadian GBS setelah vaksinasi di negara lain.
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi Guillain-Barre syndrome (GBS) atau sindrom Guillain-Barre
pada dasarnya muncul setelah proses infeksi, dan dimediasi oleh sistem imun
yang menyebabkan kerusakan saraf perifer. Sistem imun humoral dan selular
memegang peranan penting dalam perjalanan penyakit ini. Terdapat empat
faktor yang mempengaruhi, yaitu antibodi anti ganglioside, molecular mimicry,
aktivasi komplemen, dan faktor host. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi,
trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada
GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan
bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
7
1) Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada GBS, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem
imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh
manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya
diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan (mimicry) dari
gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan
terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan
adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon
adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi
imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke
spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan
menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls
saraf.
2.5 Klasifikasi
2.5.1 Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)
Akut Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah
bentuk paling sering terjadi, sekitar 85-90% kasus dan dengan tanda
secara patologis adalah demielinisasi, infiltrasi limfositik, dan mielin
yang dimediasi oleh makrofag. AIDP biasanya didahului oleh infeksi
bakteri atau virus. Sekitar 40% kasus dengan AIDP memiliki seropositif
terhadap C jejuni. Gambaran klinisnya adalah kelemahan motorik
8
simetris menaik dengan hipo atau areflexia. Gambaran EMG berupa
demielinisasi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan paralisis ascendens dan
gangguan sensorik ringan. Proses patologis melibatkan peradangan dan
penghancuran selubung mielin yang mengelilingi akson saraf perifer oleh
makrofag yang diaktifkan. Hal ini menyebabkan perambatan dan
penyumbatan konduksi di dalam saraf perifer yang menyebabkan
kelemahan otot. Kasus yang parah dapat menyebabkan kerusakan aksonal
sekunder. Saraf terminal akson yang rusak pada AIDP diikuti oleh
pengikatan antibodi dan fiksasi komplemen. Aktivasi jalur komplemen
sebagian besar mengarah ke pembentukan kompleks serangan membran
(MAC) dengan degradasi sitoskeleton akson terminal dan cedera
mitokondria.
2.5.2 Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Sekitar 70-75% pasien dengan GBS tipe AMAN memilliki
seropositif terhadap Campilobacter, dengan kasus terbanyak memiliki
riwayat diare C jejuni. AMAN adalah tipe GBS yang hanya melibatkan
gangguan motorik dengan gejala kelemahan flaksid simetris progresif
yang cepat dan diikuti dengan gangguan pernafasan. Gambaran klinis
mirip dengan AIDP tetapi reflek tendon dapat dipertahankan. Proses
patologis AMAN melibatkan pengikatan antibodi terhadap antigen
ganglioside pada membran sel akson, invasi makrofag, peradangan dan
kerusakan aksonal.
2.5.3 Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Neuropati aksonic motorik dan sensorik akut (AMSAN) adalah
varian dari sindrom guillain barre di mana kedua motor dan serat sensorik
terlibat. AMSAN adalah sindrom guillain barre yang paling parah dan
terkait pemulihan yang berkepanjangan atau bahkan parsial. Gambaran
klinisnya mirip dengan AMAN tetapi juga melibatkan gejala sensorik.
Proses patologis yang mendasari mirip dengan AMAN yaitu antibodi
kerusakan aksonal mediasi.
2.5.4 Miller Fisher Syndrome (MFS)
GBS dengan tiipe MFS diketahui terjadi sekitar 5% dari seluruh
kasus GBS. Gejala klinis yang ditemui pada tipe ini adalah ataxia,
9
areflexia, dan ophtalmoplegia. Pemeriksaan penunjang dapat ditemukan
pengurangan aksi- potensi dari saraf sensorik sedangkan saraf motorik
seringkali normal. Perbedaan antara MFS dan AIDP atau neuropati akson
motorik akut adalah aktivaasi antibodi anti- GQ1b dan anti-GT1a pada
MFS yang menargetkan saraf okulumotor dan bulbar.
10
ujung jari berproses menuju ke atas tepi umumnya tidak melebar keluar
pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis,
sentuhan dan nyeri distal dapat hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan SGP pada beberapa waktu selama
perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu,
punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan.
Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala
dysesthetik diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan
penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar,
kesemutan atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas
bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas
waktu pada 5-10% pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh
sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai berikut: Myalgic, nyeri visceral,
dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas misalnya tekanan palsi
saraf dan ulkus diabetikum.
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB Perusahaan otonom
dapat mencakup sebagai berikut; takikardia, bradikardia, facial flushing,
hipertensi paroksimal, hipotensi otostatik. Retensi urine karena gangguan
surfingter urine karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat
ditemukan.
6. Pernapasan
40% pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernapasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai
berikut; dispnea saat aktivitas, sesak nafas, kesulitan menelan, bicara cadel.
Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernafasan biasanya terjadi
pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan
penyakit mereka.
11
2.7 Penegakan Diagnosa
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis GBS yang sering dipakai adalah kriteria menurut Gilroy
dan Meyer, yaitu jika memenuhi lima dari enam kriteria berikut:
1. Kelumpuhan flaksid yang timbul secara akut, bersifat difus dan simetris yang
dapat disertai oleh paralysis facialis bilateral.
2. Gangguan sensibilitas subyektif dan obyektif biasanya lebih ringan dari
kelumpuhan motoris.
3. Pada sebagian besar kasus penyembuhanyangsempurnaterjadi dalam waktu 6
bulan.
4. Peningkatan kadar protein dalam cairan otak secara progresif dimulai
padaminggukeduadariparalisis,dan tanpa atau dengan pleositosis ringan
(disosiasi sito albuminemik).
5. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama berlangsungnya
kelumpuhan.
6. Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai dengan kenaikan
laju endap darah.
Anamnesis
Gejala klinis dari GBS umumnya terjadi kelemahan bilateral yang progresif dan
didahului baal selama 2-3 minggu setelah mengalami demam. Baal dan kelemahan
terjadi dari ekstremitas bawah bagian distal kemudian menjalar ke bagian proksimal
ke ekstremitas atas. Arefleksia atau menurunnya refleks tendon di ekstremitas juga
sering dijumpai. Selain itu, gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS
antara lain gangguan pada N. Fasialis sisi bilateral, facial flushing, kesulitan memulai
BAK, kelainan dalam berkeringat, dan penglihatan kabur (blurred visions. Namun,
pada beberapa orang, diagnosisnya bisa lebih sulit, terutama ketika gejala kelemahan
mendahului rasa sakit atau ketika kelemahan awalnya hanya menyerang kaki. Riwayat
medis dapat ditanyakan apakah orang tersebut memiliki infeksi virus yang dimulai 2
sampai 4 minggu sebelum gejala dimulai atau jika ada retensi urin. Pada anak-anak,
biasanya 50% rasa sakit adalah rasa sakit, sehingga anak harus menentukan pilihan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk sindrom Guillain-Barré meliputi:
a. Kelemahan bilateral akut biasaya berasal dari ekstremitas bawah (ascendens)
13
b. Areeflexia atau hiporefleksia, kelemahan otot, penurunan sensori posisi dan
getaran
c. 30% kelumpuhan pernapasan tanpa pengobatan
d. Parese nervus kranialis <50%, sering pada wajah dan ophtalmoparesis
e. Disautonomia (50%): tekanan darah yang tidak stabil, aritmia, ileus, retensi urin,
dapat terjadi quadriparesis yang berat hingga paralisis otot pernafasan.
f. Ataksia (23%).
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil umumnya
normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal, haemoglobin
dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase
awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia
jarang ditemui. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demielinasi saraf pada
kultur jaringan
• Pemeriksaan Cairan Cerebrospinal (CSS)
Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya kenaikan kadar
protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain,
1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada kebanyakan
kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari,
jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis mulai stabil, jumlah
protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi, puncaknya pada 4-6 minggu
setelah mulainya gejala klinis. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya
protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya < 10 leukosit mononuklear/mm.
• Pemeriksaan Electromyogram (EMG)
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi
pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir
minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada kasus dengan
demielinasi, memanjangnya distal latency, perlambatan kecepatan hantaran, adanya
14
blok konduksi dan dispersi temporal dari potensial aksi gabungan adalah gambaran
yang biasa ditemukan.
• Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada hari
ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan memperlihatkan penebalan
pada radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Adanya penebalan
radiks kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barier darah- saraf. Hal ini
dapat terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut.
Akan tetapi, pasien dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke GBS
sebenarnya tidak perlu pemeriksaan MRI lumbosakral. MRI lumbosakral dapat
digunakan sebagai modalitas diagnostic tambahan bila temuan klinis dan
elektrodiagnostik memberikan hasil yang samar.
• Terapi Supportif
Secara khusus, pasien dengan GBS memerlukan perhatian
multidisiplin untuk mencegah dan mengobati komplikasi yang berpotensi
fatal. Pasien memerlukan pemantauan fungsi paru secara hati-hati dan
teratur dan kemungkinan disfungsi otonom (denyut jantung dan tekanan
darah) dan profilaksis infeksi. Pasien dengan gejala parah juga harus
dipindahkan ke unit perawatan intensif (ICU) tepat waktu.
Kegagalan jalan napas yang membutuhkan ventilasi mekanis
terjadi pada 20- 30 pasien GBS. harus hati hati terhadap tanda-tanda klinis
kegagalan pernafasan seperti takipnea, gerakan dada dan perut yang tidak
sinkron, dan takikardia. Pasien dengan nyeri memerlukan analgesik oral
atau parenteral atau morfin intravena (1-7 mg/jam). Gabapentin (15
mg/kg/hari) telah dilaporkan efektif dalam meredakan nyeri pada pasien
GBS. Terapi tambahan lainnya (mexiletine, tramadol, antidepresan
trisiklik) dapat membantu mengatasi nyeri neuropatik jangka pendek dan
jangka panjang. Asetaminofen dan NSAID juga dapat dicoba sebagai
pengobatan lini pertama, tetapi seringkali tidak efektif.
16
• Terapi Farmakologi
Plasma Exchange
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada Sindrom Guillain
Barre memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan
yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah
dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.]umlah plasma yang dikeluarkan
per exchange adalah 40-50 mI/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat
sampai lima kali exchange.
Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi autoantibodi
tersebut. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih
menguntungkan dibanding kan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2
minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4g / kgBB /hari selama 5 hari.
Neuroprotektan
Pasien GBS sebagian besar mengalami gangguan sensorik berupa
gangguan saraf neuropati yang ditandai dengan gejala kesemutan, kebas, dan kram.
Gangguan ini dapat dicegah ataupun diatasi dengan mengkonsumsi vitamin
neurotropik. Vitamin neurotropik adalah vitamin yang sangat dibutuhkan untuk
menjaga sistem saraf agar dapat bekerja dengan baik. Vitamin ini terdiri dari
vitamin B1, B6, dan B12 yang berfungsi untuk melindungi dan membantu
perbaikan kerusakan sel saraf, sehingga pasien GBS yang mengalami gangguan
neuropati dapat menjadi lebih baik dengan pemberian asupan vitamin neurotropik
untuk melindungi dari degenerasi/kerusakan dan membantu dalam proses
regenerasi/ perbaikan saraf selama fase progresivitas penyakit GBS.
Kekurangan vitamin B12 dapat dengan mudah merusak mielin yang
menjadi target serangan autoimun, kekurangan vitamin B12 berhubungan dengan
menurunnya aktivitas imunomodulator, defisiensi vitamin B12 berhubungan
dengan menurunnya aktivitas neurotropik, aktivitas-infalmasi dan demielinasi
berhubungan dengan proses remielinasi yang dengan proses remielinasi yang
dengan pasti membutuhkan konsumsi vitamin B12, oleh karena itu vitamin B12
17
berperan sebagai kofaktor dalam pembentukan mielin, memiliki efek
imunomudulator dan neurotropik.
Terapi mecobalamin sangat bermanfaat pada GBS karena:
- Penyimpangan respon autoimun yang menyebabkan kerusakan saraf pada
GBS hanya bersifat sementara;
- Saraf perifer pada dasarnya memiliki kemampuan regenerasi dan
memperbaiki diri setelah terjadi kerusakan;
-
- Blood-nerve barrier juga mengalami kerusakan pada saraf yang
rusak, sehingga neuroprotektan yang diberikan selama fase akut
GBS dapat mencapai serabut saraf yang rusak;
- Intervensi neuroprotektan dan neurotropik berlangsung dalam
jangka waktu yang terbatas (oleh karena sifat monofasik GBS),
• Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi.
Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi
aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
18
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal nafas, aspirasi makanan atau cairan
ke dalam paru, pneumonia, miningkatkan resik terjadinya infeksi, thrombosis
vena dalam, paralisis permanen pada bagian tuubuh tertentu, dan kontraktur pada
sendi.
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21