Anda di halaman 1dari 62

TUGAS STUDI KASUS KELOMPOK

Analisa Kasus Pada Pasien Guillain Barre Syndrome


Disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat & Kritis 2

Dosen Pembimbing : Ns. Reni Sulung Utami, S. Kep., M. Sc

Disusun oleh :
Kelompok 1 (AJ.21)

Fathur Rohman (22020121140249)


Feni Dinarwati (22020121140176)
Hanif Fitriana Amin (22020121140143)
Rosidah Ardhia Basyira (22020121140251)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3
2.1 Gambaran Studi Kasus ................................................................................................ 3
2.2 Daftar Istilah/Makna Data Pada Kasus (Beserta Interpretasi/Penjelasannya) ............ 3
2.3 Data Pengkajian......................................................................................................... 32
2.4 Kasus yang Kemungkinan Terjadi Pada Pasien ........................................................ 37
2.5 Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan ................................................................. 41
2.6 Diagnosa Keperawatan .............................................................................................. 43
2.7 Intervensi Keperawatan ............................................................................................. 44
2.8 Pathway ..................................................................................................................... 53
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 55
4.1 Kesimpulan................................................................................................................ 55

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasien yang berada di ICU adalah pasien sakit kritis dengan ketidakstabilan organ
dan membutuhkan bantuan dengan alat seperti ventilator, terpasang infus dan
monitoring serta obat-obatan vasoaktif. Pasien kritis dapat mengalami perubahan
patofisiologi dengan cepat, yang dapat meningkatkan terjadinya peningkatan
morbiditas dan mortalitas yang dapat menyebabkan kematian. Menurut World Health
Organization (WHO), pasien kritis di ICU setiap tahunnya meningkat, dimana tercatat
9,8-24,6% pasien kritis dan dirawat di ICU per 100.000 penduduk dan kematian akibat
penyakit kritis hingga kronik di dunia meningkat sebanyak 1,1-7,4 juta orang (WHO,
2016).

GBS merupakan kelainan saraf perifer yang menyebabkan kelumpuhan ekstremitas


secara asenden dan simetris yang diperantarai mekanisme imunologi. GBS diduga
penyakit ini bersifat autoimun. Infeksi merupakan pencetus tersering terjadinya GBS.
Kondisi anteseden yang berkaitan dengan GBS yaitu infeksi virus Cocksackie,
Cytomegalovirus (CMV), Echo, Epstein-Barr Virus (EBV), virus hepatitis A dan B,
Herpes Simpleks Virus (HSV), virus Herpes Zoster, Human Immunodeficiency Virus
(HIV), Influenza, Parainfluenza, Rubella, Mumps, Measles), infeksi bakteri
Campylobacter jejuni, Legionella pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Yersinia
enterocolitica), kondisi sistemik (penyakit Addison, limfoma Hodgkin, leukemia,
paraproteinemia, kehamilan, sarkoidosis, tumor padat terutama tumor paru, operasi,
eritematosus lupus sistemik, penyakit tiroid, trauma, dan vaksinasi).

Berdasarkan ringkasan dari American Academy of Neurology (AAN) guideline on


Guillain-Barré syndrome, GBS terjadi pada 1 sampai 4 penderita per 100.000 populasi
di seluruh dunia per tahunnya, menyebabkan 25% penderita gagal napas sehingga
membutuhkan ventilator, 4%-15% kematian, 20% kecacatan, dan kelemahan persisten
pada 67% penderita. Adanya kelemahan progresif motorik naik yang dimulai pada
bagian tungkai bawah mulai dari kesulitan dalam berjalan , kelumpuhan, kemudian
dapat melibatkan otot-otot pernapasan yang menyebabkan kegagalan pernapasan serta

1
kelumpuhan saraf wajah yang umum dan kelemahan pada bagian bulbar dan
oftalmoplegia (Tandel et al., 2017). Pasien GBS yang mengalami kegagalan nafas dan
membutuhkan ventilasi mekanis akan beresiko tinggi untuk mengalami komplikasi
yang lebih signifikan seperti pneumonia, tracheobronchitis, emboli paru, atau
bakteremia.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa saja istilah-istilah yang ada pada kasus ?
b. Apa saja data pengkajian yang perlu dikaji lebih lanjut pada pasien ?
c. Apa saja masalah-masalah yang mungkin terjadi pada pasien ?
d. Mengetahui diagnosa keperawatan yang dapat muncul beserta intervensinya ?
e. Bagaimana patofisiologi kasus jika digambarkan dalam pathway ?

1.3 Tujuan
a. Mengetahui apa saja istilah yang ada pada kasus
b. Mengetahui data pengkajian yang perlu dikaji lebih lanjut pada kasus
c. Mengetahui kemungkinan kasus yang terjadi pada pasien
d. Mengetahui diagnosa keperawatan yang dapat muncul beserta intervensinya
e. Mengetahui patofisiologi kasus dalam bentuk pathway

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Studi Kasus

Ny Susan usia 51 tahun dirawat di ICU hari ke 1 karena mengalami gagal nafas
dengan diagnosa medis Guillain Barre Syndrome. Klien terpasang ventilator mode
SIMV, PEEP 6, FiO2 50%, RR mesin 8 x/mnt. Hasil pemeriksaan fisik: Kesadaran
composmentis, ada secret di ET warna kuning dan kemerahan, terdengar suara
gurgling, RR 26 x/mnt, ada ronchi, SpO2 90%, TD 143/76 mmHg, frekuensi nadi 114
x/mnt, suhu 37,9 oC, akral hangat dan CRT > 2 detik, Nilai CPOT 1. Klien terpasang
CVC, NGT, dan kateter urin. Hasil Rontgen dada menunjukkan adanya pneumonia.
Pemeriksaan Laboratorium: Hb 8,8; Ht 27,3; Leukosit 12.103; Albumin 2,8; Mg 0,4;
Ca+ 1,9; Na+ 139; Kalium 2,9; Cl- 102; Procalcitonin 1,68. Hasil pemeriksaan BGA:
FiO2 72%; pH 7.466; pCO2 44,3; pO2 75.3; HCO3 30.4; TCO2 31.7; BE 6.8; SaO2
94.2%; AaDO2 390.7.

2.2 Daftar Istilah/Makna Data Pada Kasus (Beserta Interpretasi/Penjelasannya)


2.2.1 Gagal Napas
Gagal napas merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan ketidakmampuan sistem respirasi untuk mempertahankan
jumlah pertukaran oksigen yang adekuat antara alveoli dan kapiler
pulmonal, atau pengeluaran karbondioksida dari paru, atau kombinasi
keduanya. Kriteria arterial blood gas (ABG) untuk gagal napas pada
individu normal adalah tekanan parsial arteri oksigen (PaO2) yang kurang
dari 60 mmHg, atau tekanan parsial arteri karbondioksida (PaCO2) lebih
besar dari 50 mmHg, atau gabungan dari keduanya. (Des dkk, 2016)
Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan dalam
melakukan satu atau dua fungsi pertukaran gas yakni oksigenasi dan
eliminasi karbondioksida. Berdasarkan abnormalitas gas darah, gagal napas
dibagi menjadi gagal napas tipe 1(hipoksemia), tipe 2 (hiperkapnia), dan
tipe 3 (gagal oksigenasi dan ventilasi). Hipoksemia didefinisikan dengan
PaO2 kurang dari 60 mmHg disertai PaCO2 normal atau rendah,
hiperkapnia didefinisikan dengan PaCO2 lebih dari 50 mmHg. Sedangkan
gagal nafas oksigenasi dan ventilasi merupakan kombinasi hipoksemia dan
hiperkapnia. (Lamba et al, 2016).

3
2.2.2 Guillain Barre Syndrome
Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah penyakit pada sistem saraf
tepi yang insidensinya langka, berdasarkan ringkasan dari American
Academy of Neurology (AAN) guideline on Guillain-Barré syndrome, GBS
terjadi pada 1 sampai 4 penderita per 100.000 populasi di seluruh dunia per
tahunnya, GBS terjadi karena adanya rangsang pada sistem imun, meskipun
patogenesis yang pasti masih belum diketahui. Faktor risiko yang berkaitan
dengan penyakit ini adalah adanya Riwayat infeksi atau virus, seperti
Infeksi bakteri Campylobacter jejuni, lalu infeksi oleh Cytomegalovirus,
virus Epstein-Barr, atau virus influenza.
GBS merupakan penyakit autoimun dimana sistem imun dari
penderita menyerang sistem saraf perifer dan menyebabkan kerusakan pada
sel saraf. Gejala penyakit ini merupakan kelemahan dan kelumpuhan yang
dapat berlangsung selama beberapa minggu dan mencapai puncak gejala
dalam 2-4 minggu, Penyakit ini adalah jenis penyakit saraf yang
berhubungan dengan konsumsi vitamin B. Vitamin B 1 merupakan
komponen makanan esensial dan dapat terjadi defisiensi mikronutrien yang
mendasari beberapa penyakit, terutama gangguan sistem saraf. Sumber
utama vitamin B dalam makanan adalah makanan nabati. Vitamin B 1 juga
penting bagi tanaman dan bermanfaat bagi kesehatan tanaman tetapi kurang
mendapat perhatian dibandingkan bidang kesehatan manusia. Secara
umum, vitamin B 1 sangatlah baik bagi tubuh karena berperan sebagai
koenzim dalam jalur metabolisme, terutama yang terlibat dalam produksi
energi dan metabolisme sentral (Fitzpatrick and Chapman, 2020).
Terapi GBS perlu dilakukan secepat mungkin setelah diagnosis
tegak untuk mencegah keterlambatan terapi. Dalam kurang lebih dua
minggu setelah gejala defisit motorik pertama, pasien akan memasuki
fase plateau dimana defisit yang terjadi setelah fase progresif akan
menetap. Pada fase ini, pengobatan sudah tidak lagi diindikasikan,
kecuali pada kondisi di mana pasien memiliki kelemahan motorik yang
parah dan masih ada kemungkinan terjadinya serangan imunologis.
Lini pertama terapi GBS antara lain:

4
-Imunoglobulin intravena (IVIg) 0,4 gram/kgBB/hari selama 5 (lima)
hari, atau
-Fresh frozen plasma exchange.
Pasien GBS juga memerlukan terapi fisik untuk memulihkan defisit
motorik dan sensoris. Terapi diawali dengan melakukan gerakan
aktif dengan repetisi rendah dan istirahat yang banyak untuk menghindari
kelelahan otot yang dapat memperparah disuse atrophy dan komplikasi
lainnya. Setelah gerakan aktif dapat dilakukan oleh pasien, terapi
dapat dilanjutkan dengan latihan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan
terapi lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
untuk mengembalikan sensasi sensoris.
2.2.3 Ventilator Mode SIMV
Ventilator merupakan metode bantuan pernapasan yang diberikan
kepada pasien yang tidak mampu mempertahankan ventilasi dan oksigenasi
yang spontan atau adekuat. Ventilator adalah alat yang didesain untuk
memberikan dan mengontrol aliran udara ke paru paru pasien. Pemasangan
ventilator ini akan membantu pasien dalam mempertahankan kualitas
hidupnya, namun dibalik manfaatnya pemasangan ventilator dapat
menimbulkan beberapa komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi dari
pemasangan ventilator, yaitu:
● Infeksi

ET (Endotracheal Tube) yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien akan


mempermudah bakteri-bakteri masuk ke dalam paru-paru. Hal ini akan
menyebabkan infeksi seperti pneumonia, yang biasa disebut VAP
(Ventilator Associated Penumonia)

● Pneumothorax

Paru-paru memiliki beberpa bagian yang lemah dan menjadi penuh oleh
udara yang akan bocor ke area kosong antara paru paru dan dinding dada

● Efek samping obat

Pemasangan ventilator disertai dengan pemberian sedasi, yang membuat


pasien berada dalam kondisi tidur dalam beberapa jam walaupun obat

5
sudah tidak diberikan lagi. (M, Muhammad Zulfikar and Utami, Reni
Sulung (2017).

Penggunaan ventilator dalam jangka waktu yang lama dapat


memunculkan banyak resiko, yaitu kematian dan Ventilator Associated
Pneumonia (VAP), Dengan adanya resiko yang muncul akibat pemasangan
ventilator, maka perlu dilakukan segera tindakan penyapihan. Penyapihan
merupakan proses pelepasan ventilator dari pasien dan mengembalikan
tugas bernapas kepada pasien sendiri. Penyapihan bisa dikatakan berhasil
apabila pasien dapat bernapas dengan bebas tanpa bantuan dari ventilator
selama 48 jam. Metode penyapihan sendiri ada beberapa yaitu metode
penyapihan T-tube, penyapihan SIMV (Synchronized Intermitten Madatory
Ventilation), dan penyapihan PSV (Pressure Support Ventilation atau
tekanan ventilasi bantuan).
Pada metode SIMV (Synchronized Intermitten Madatory
Ventilation) ini akan memberikan bantuan pernafasan secara berkala atau
selang seling sesuai dengan nafas yang dimiliki oleh pasien, metode ini
akan memberikan pengaturan dengan frekuensi yang diatur tanpa
memperdulikan pada saat pasien inspirasi ataupun ekspirasi sehingga
memungkinkan terjadinya fighting. Metode SIMV ini diberikan untuk
pasien yang sudah bisa melakukan nafas dengan spontan tetapi belum
normal sehingga masih membutuhkan bantuan.
2.2.4 PEEP 6

PEEP (Positive End-Expiratory Pressure) adalah tekanan positif


yang diberikan pada akhir ekspirasi. PEEP digunakan untuk menjaga agar
alveoli tetap terbuka dan metode ini dapat meliputi unit-unit alveolar
yang mengalami kolaps total atau parsial, Tekanan akhir ekspirasi ini
meningkatkan functional residual capacity (FCR) dengan
mengembangkan kembali alveoli yang kolaps dan mempertahankan
alveoli, pada posisi terbuka. Selain itu, terdapat sejumlah bukti bahwa
dengan menjaga alveoli tetap terbuka akan meningkatkan regenerasi
surfaktan (Morton, 2016). Penggunaan PEEP selama ventilasi mekanik
memiliki manfaaat yang potensial. Pada gagal napas hipoksemia akut,

6
PEEP meningkatkan tekanan alveolar rata-rata,meningkatkan area
reekspansi atelektasis dan dapat mendorong cairan dari ruang alveolar
menuju interstisial sehingga memungkinkan alveoli yang
sebelumnya tertutup atau terendam cairan, untuk berperan serta dalam
pertukaran gas. Pada edema kardiopulmonal, PEEP dapat mengurangi
preload dan afterload ventrikel kiri sehingga memperbaiki kinerja jantung
(Wijjayanti & Nawawi, 2010).

PEEP diukur dalam milimeter air (mmH2O) atau sentimeter air


(cmH2O) dan disesuaikan sesuai dengan kebutuhan pasien. PEEP 6 berarti
bahwa tekanan positif 6 mmH2O (atau cmH2O) diterapkan di dalam
saluran pernapasan selama fase ekspirasi dalam ventilasi mekanis. Ini
adalah salah satu pengaturan yang umum digunakan dalam perawatan
pasien dengan penyakit pernapasan seperti sindrom gangguan pernapasan
akut (ARDS) atau pneumonia yang parah untuk membantu menjaga alveoli
tetap terbuka dan meningkatkan pertukaran gas.

2.2.5 Fraction Of Inspired Oxygen (FiO2) 50%

Fraction of Inspired Oxygen (FiO2) adalah parameter yang


mengukur persentase oksigen yang terkandung dalam campuran udara yang
seseorang atau pasien hirup. FiO2 mengacu pada jumlah oksigen dalam
udara yang digunakan untuk pernapasan. Dalam konteks perawatan
pernapasan, FiO2 digunakan untuk mengatur atau mengontrol seberapa
banyak oksigen yang diberikan kepada pasien.

FiO2 dinyatakan dalam bentuk persentase (%), yang menunjukkan


seberapa besar bagian dari campuran udara yang dihirup adalah oksigen
murni (100% oksigen) dan seberapa besar bagian lainnya adalah udara biasa
yang mengandung nitrogen, karbon dioksida, dan gas-gas lainnya.

Contoh penggunaan FiO2 melibatkan penggunaan alat bantu pernapasan


seperti ventilator atau masker oksigen:

7
● Jika FiO2 adalah 100%, itu berarti pasien mendapatkan oksigen murni,
yang berguna dalam situasi darurat atau ketika kadar oksigen dalam
darah sangat rendah.
● Jika FiO2 adalah 50%, itu berarti pasien mendapatkan campuran yang
setengahnya adalah oksigen murni (50%) dan setengahnya adalah udara
biasa

Fraction of Inspired Oxygen (FiO2) 50% mengacu pada pengaturan


di mana pasien menerima campuran udara yang mengandung 50% oksigen
dan 50% udara biasa (nitrogen, karbon dioksida, dan gas-gas lainnya)
selama proses pernapasan. Ini berarti setengah dari udara yang dihirup oleh
pasien adalah oksigen murni, sedangkan setengahnya adalah udara biasa.
Pengaturan FiO2 50% umumnya digunakan dalam situasi di mana pasien
memerlukan tambahan oksigen, tetapi tidak memerlukan kadar oksigen
yang sangat tinggi seperti pada pengaturan 100% oksigen.

Contoh Pengguanaan Fi02 50%

● Pemulihan pascaoperasi : Setelah operasi, pasien sering diberikan FiO2


50% untuk membantu pemulihan dari efek anestesi dan memastikan
oksigenasi yang adekuat.
● Pasien dengan penyakit paru : Pada beberapa kondisi seperti penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) atau asma, pasien dapat memerlukan
tambahan oksigen untuk membantu pernapasan mereka, dan FiO2 50%
bisa sesuai untuk itu.
● Perawatan di ICU : Di unit perawatan intensif, tingkat FiO2 dapat
disesuaikan dengan kondisi pasien. FiO2 50% dapat digunakan sebagai
awal untuk pasien yang tidak memerlukan oksigenasi tinggi, dan
kemudian disesuaikan jika perlu.
2.2.6 Respiratory Rate (RR) Mesin 8x/menit
Respiratory Rate (RR) adalah jumlah siklus pernafasan (inspirasi
dan ekspirasi penuh) yang dihitung dalam waktu 1 menit atau 60 detik
(Perry& Potter, 2005). RR sering diukur dalam satuan per menit (breaths
per minute, bpm). "Respiratory Rate (RR) Mesin 8x/menit," itu berarti

8
mesin atau alat pengukur menunjukkan bahwa seseorang sedang bernapas
delapan kali dalam satu menit.
Nilai normal RR pada orang dewasa biasanya berkisar antara 12
hingga 20 napas per menit. Angka "8x/menit" menunjukkan bahwa RR
pasien berada di bawah kisaran normal, yang bisa mengindikasikan masalah
pernapasan atau kondisi medis yang mempengaruhi pernapasan. Ketika
seseorang memiliki RR di bawah normal, itu bisa menjadi tanda bahwa
tubuh mereka mungkin tidak mendapatkan cukup oksigen, dan ini
seringkali memerlukan perhatian medis segera.
2.2.7 GCS Composmentis
GCS adalah metode pemeriksaan dasar yang digunakan secara luas
untuk mengevaluasi tingkat kesadaran dan sering kali digunakan untuk
menilai fungsi neurologis pasien, salah satunya pada kasus yang terkait
dengan keparahan cedera otak. Dalam dunia medis, tujuan GCS adalah
sebagai standar untuk mengukur respons dan status neurologis pasien. GCS
terdiri dari tiga komponen utama yang digunakan untuk mengevaluasi
respons pasien terhadap rangsangan eksternal. Adapun tiga komponen GCS
adalah sebagai berikut: Respon mata, respon verbal dan respon motorik.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan. Dengan
demikian, kondisi tingkat kesadaran seseorang tidak selalu berada dalam
kondisi normal. Pada keadaan tertentu, seperti keracunan, kekurangan
oksigen baik karena berada di tempat sempit, tertutup atau karena
berkurangnya aliran darah ke otak, dan adanya tekanan yang berlebihan di
dalam rongga tulang kepala dapat menyebabkan seseorang dapat
mengalami penurunan tingkat kesadaran. Oleh karena itu maka tingkat
kesadaran ini dibedakan menjadi beberapa tingkat yaitu composmentis,
apatis, delirium, somnolen, sopor, semi coma dan coma.
GCS composmentis adalah kondisi pasien yang sadar sepenuhnya
dan mampu merespons intruksi petugas medis dan lingkungan dengan
sangat baik, untuk nilai skala GCS tingkat kesadaran commposmentis
adalah 14-15.

9
2.2.8 ET yang terdapat sekret warna kuning dan kemerahan.
Salah satu jalan napas buatan adalah intubasi dengan pipa endotrakeal.
Indikasi utama untuk intubasi endotracheal tube (ET) pada pasien dengan
kesulitan jalan napas atau bahkan dispnea di ICU adalah untuk
mengamankan dan mempertahankan jalan napas fungsional, mencegah
inhalasi dan aspirasi gastrointestinal, dan pada pasien yang sering
membutuhkan penyedotan. Meringankan hipertensi pulmonal, pasien
bedah, kontrol jalan napas pada pasien dengan kontrol jalan napas yang sulit
menggunakan masker (Hikayati, 2018).
Tabung ET dipasang sebagai pelengkap ventilator mekanis yang
menggantikan pernapasan pasien. Dalam tabung endotrakeal (ET), balon
dipompa di bagian distal tabung ET, menutupi permukaan bagian dalam
trakea untuk mencegah aspirasi cairan lambung dan sekresi orofaringeal ke
dalam paru-paru dan memfasilitasi pemberian dosis yang memadai. volume
tidal (Baker PA. dkk, 2015) dalam (Utami et al., 2019).
Tabung endotrakeal adalah jalan napas buatan yang menghubungkan
jalan napas dengan ventilasi mekanis. Tabung endotrakeal digunakan untuk
mengantarkan oksigen langsung ke trakea dan merupakan alat yang
digunakan untuk mengatur ventilasi dan oksigenasi. Tabung endotrakeal
adalah alat yang digunakan untuk mengamankan jalan napas bagian atas
dengan Monoarfa, S, Pipin Yunus & Mustapa A.P–Penerapan Perawatan
ET Pada Pasien Dengan Penurunan Kesadaran 108 memasukkan ET
melalui laring dan ke dalam trakea untuk memindahkan gas dan uap ke dan
dari paru-paru (Spiegel, 2010) dalam (Hendi et al., 2019).
2.2.9 Obstruksi Jalan Napas Gurgling
Obstruksi jalan nafas adalah gangguan berupa sumbatan di saluran
napas. Sumbatan jalan napas ini dapat berupa penyempitan saluran napas
atas sehingga mengganggu pertukaran udara. Kondisi ini dikenal dengan
obstruksi saluran napas atas. Saluran napas bagian atas terdiri dari rongga
hidung, rongga mulut, faring, dan laring. Obstruksi mungkin terjadi pada
daerah yang secara struktur merupakan bagian tersempit, yaitu pita suara
(glotis) pada orang dewasa dan krikoid pada anak.
Obstruksi jalan nafas dengan suara "gurgling" adalah kondisi di
mana aliran udara yang masuk atau keluar dari saluran pernapasan
10
menghasilkan suara yang mirip dengan suara air yang bergerak dalam
cairan. Suara ini seringkali disebabkan oleh adanya cairan atau lendir yang
menghalangi aliran udara di dalam saluran pernapasan, terutama di
tenggorokan atau trakea (pipa pernapasan utama yang menghubungkan
tenggorokan dengan paru-paru).

Penyebab obstruksi jalan nafas “Gurgling”

● Lendir : Salah satu penyebab utama suara gurgling adalah adanya lendir
atau cairan di dalam saluran pernapasan. Ini bisa disebabkan oleh infeksi
pernapasan, seperti pneumonia atau bronkitis, di mana produksi lendir
meningkat.
● Aspirasi : Aspirasi adalah kondisi di mana cairan atau benda asing
masuk ke dalam saluran pernapasan, terutama saat seseorang tersedak
saat makan atau minum. Hal ini dapat menghasilkan suara gurgling.
2.2.10 Respiratory Rate (RR) 26x/menit
Respiratory Rate (RR) adalah jumlah siklus pernafasan (inspirasi
dan ekspirasi penuh) yang dihitung dalam waktu 1 menit atau 60 detik
(Perry& Potter, 2005). RR sering diukur dalam satuan per menit (breaths
per minute, bpm), Respiratory Rate (RR) 26x/menit mengindikasikan
bahwa seseorang sedang bernapas sebanyak 26 kali dalam satu menit. RR
yang normal pada orang dewasa biasanya berada dalam kisaran 12-20 napas
per menit. Jadi, nilai RR sebanyak 26x/menit menunjukkan peningkatan
yang signifikan dari batas atas kisaran normal. Hal ini dapat
mengindikasikan adanya masalah pernapasan atau kondisi medis lainnya
yang mempengaruhi tingkat oksigen dalam tubuh.
Respiratory Rate (RR) yang tinggi bisa disebabkan oleh berbagai
faktor, termasuk kecemasan, demam, masalah jantung, atau kondisi
pernapasan kronis seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Peningkatan RR ini bisa mengindikasikan bahwa tubuh sedang
berusaha untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang meningkat, mungkin
karena aktivitas fisik, demam, atau kondisi medis yang memengaruhi
sistem pernapasan.

11
2.2.11 Suara Napas Tambahan Ronchi

Suara napas tambahan adalah suara yang terdengar selama


pernapasan dan dapat memberikan petunjuk penting tentang kondisi saluran
pernapasan dan sistem pernapasan seseorang. Suara ini dapat terjadi baik
selama inspirasi (menghirup udara) maupun ekspirasi (menghembuskan
udara) dan dapat menggambarkan berbagai kondisi medis. Beberapa jenis
suara napas tambahan yang umum adalah wheezing, ronchi, crackles,
stridor dan gurgling.

Suara ronchi adalah salah satu dari beberapa suara tambahan yang
dapat terdengar saat melakukan auskultasi (mendengarkan dengan
stetoskop) pada dada pasien selama pemeriksaan fisik. Suara ini
menggambarkan suara berdengung, berkerikil, atau berdenging yang
terdengar saat pasien bernapas. Suara ronchi seringkali terkait dengan
penyempitan atau obstruksi pada saluran pernapasan yang lebih besar,
seperti bronkus (cabang saluran pernapasan utama yang menuju ke paru-
paru).

2.2.12 Saturasi Oksigen (SpO2) 90%


Saturasi Oksigen merupakan salah satu bagian elemen penting dalam
manajemen dan pemahaman perawatan pada pasien, khususnya pada pasien
kritis karena saturasi oksigen dapat mendeteksi hipoksemia sebelum adanya
tanda dan gejala yang muncul dan dapat menyebabkan banyak efek buruk
akut pada sistem organ pasien tersebut termasuk organ vital seperti otak,
jantung dan ginjal. Saturasi oksigen merupakan tahapan mengukur berapa
banyak hemoglobin yang masih terikat dengan oksigen dibandingkan
berapa banyak hemoglobin yang tidak terikat oksigen pada saat
dilakukannya pemeriksaan. (Hafen & Sharma, 2022).
Kemampuan hemoglobin mengikat oksigen ini ditujukan sebagai derajat
kejenuhan atau saturasi (SaO2). Dimana ada beberapa faktor yang
mempengaruhi saturasi oksigen antara lain : jumlah oksigen yang masuk ke
dalam paru-paru (ventilasi), kecepatan difusi, dan kapasitas hemoglobin
dalam membawa oksigen. (Dengo et al, 2018)

12
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bacaan saturasi oksigen
antara lain : hemoglobin, sirkulasi, dan aktivitas pasien (Setiyawan et al,
2020). Menurut Schutz (2011) dalam Setiyawan et al (2020) mengatakan
bahwa terdapat 3 kondisi penting yang dapat mempengaruhi disosiasi
hemoglobin dengan oksigen diantaranya yaitu suction, posisi head up 30°
dan posisi tidur semi fowler 45°.
Saturasi oksigen ini dapat diukur secara invasif dengan pulse oximetry
atau dengan analisa gas darah (Fikri & Ganda, 2005 ; Andriani & Hartono,
2013). Pulse oximetry merupakan salah satu alat pemantauan yang paling
bermanfaat yang tersedia saat ini. dan telah menjadi metode pilihan untuk
pemantauan oksigenasi darah arteri secara kontinyu (Yanda, 2003) Alat
invasif yang dipasangkan di jari ini memiliki respon cepat untuk menilai
keutuhan penyaluran oksigen mulai dari sumbernya hingga jaringan dan
memiliki ketepatan yang cukup tinggi serta akurat (Yanda, 2003 ; Andriani
& Hartono, 2013)
Pemantauan saturasi oksigen dengan pulse oximetry yang kontinyu
dapat membantu mengobservasi kestabilan pasien setiap saat dan dengan
analisa gas darah juga dapat memberi informasi langsung mengenai fungsi
paru-paru (pernapasan) terutama untuk mendeteksi adanya perubahan
oksigenasi, ventilasi, status asam basa atau jenis gangguan pertukaran gas,
dimana pasien kritis sering terjadi perubahan yang cepat pada nilai gas
darah arteri (Yanda, 2003).
Nilai saturasi oksigen penting untuk dipantau karena dapat
menunjukkan keadekuatan oksigenasi atau perfusi jaringan pasien dan
menurunnya saturasi oksigen akan menyebabkan kegagalan dalam
transportasi oksigen, karena oksigen dalam tubuh sebagian besar terikat
oleh hemoglobin dan terlarut dalam plasma darah dalam jumlah kecil.
(Potter & Perry, 2005). Nilai normal saturasi oksigen arteri (SpO2) adalah
95 hingga 100%. Nilai dibawah 85% menunjukkan bahwa jaringan tidak
mendapatkan cukup oksigen dan pasien membutuhkan evaluasi lebih jauh
(Brunner & Suddarth, 2002) dan nilai saturasi oksigen rendah (dibawah
70%) merupakan kondisi yang membahayakan jiwa pasien (Nursecerdas,
2009).

13
Nilai SpO2 yang berada dalam rentang 91% hingga 94%
mengindikasikan hipoksemia ringan dimana kondisi tersebut memerlukan
evaluasi tambahan oleh praktisi pernapasan namun umumnya tidak
membutuhkan oksigen tambahan. Sedangkan pada nilai SpO2 yang berada
dalam rentang 86% hingga 90% diindikasikan sebagai kondisi hipoksemia
sedang dimana kondisi tersebut pasien seringkali membutuhkan pemberian
oksigen tambahan. Sementara itu, nilai SpO2 yang berada dalam rentang ⩽
85% mengindikasikan hipoksemia berat sehingga memerlukan intervensi
medis segera, termasuk dengan pemberian oksigen, dukungan ventilasi atau
keduanya.
Pada kasus dijelaskan bahwa saturasi oksigen pasien berkisar 90% yang
artinya pasien mengalami penurunan hingga di bawah rentang normal dan
mengindikasikan pasien dalam kondisi hipoksemia sedang. Meskipun
kondisi pasien belum termasuk ke dalam hipoksemia berat, namun kondisi
tersebut masih perlu diwaspadai. Pemberian oksigen tambahan kepada
pasien perlu dipertimbangkan dengan melakukan monitoring oksigen
pasien.

2.2.13 Tekanan Darah 143/76 mmHg


Tekanan sistolik yang mencapai 143 mmHg menunjukkan adanya
tekanan darah yang lebih tinggi daripada batas normal, sedangkan tekanan
diastolik yang 76 mmHg berada di dalam batas normal. Tekanan darah yang
tinggi atau di luar rentang normal dapat meningkatkan risiko penyakit
jantung, stroke, dan komplikasi kesehatan lainnya.
Tekanan sistolik normal berkisar antara 90 hingga 120 mmHg. Angka
ini mencerminkan tekanan maksimal dalam arteri saat jantung berkontraksi
dan memompa darah ke dalam sistem peredaran darah. Jadi, jika tekanan
sistolik Anda berada di antara 90 hingga 120 mmHg, itu dianggap normal.
Namun, nilai tekanan darah normal dapat bervariasi tergantung pada faktor-
faktor seperti usia, kondisi kesehatan, dan riwayat medis.
2.2.14 Frekuensi Nadi 114x/menit
Denyut nadi adalah suatu gelombang yang teraba pada arteri bila darah
dipompa keluar dari jantung. Denyut ini diraba di tempat dimana ada arteri
yang melintas. Darah yang didorong ke arah aorta sistol tidak hanya

14
bergerak maju dalam pembuluh darah namun juga menimbulkan
gelombang bertekanan yang berjalan sepanjang arteri. Gelombang yang
bertekanan tersebut meregang di dinding arteri sepanjang perjalanannya
dan regangan itu dapat diraba sebagai denyut nadi.
Menurut Hermawan, Subiyono & Rahayu (2012) kerja jantung dapat
dilihat dari denyut nadi manusia yang merupakan rambatan dari denyut
jantung. Denyut tersebut dihitung setiap menitnya dengan hitungan repetisi
(kali/menit) atau dengan denyut nadi maksimal dikurangi usia. Menurut
Nurse (2012) letak perabaan denyut nadi yang sering dilakukan antara lain
: arteri radialis, arteri brachialis, dan arteri karotid. Terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi denyut nadi manusia yaitu : usia, jenis kelamin,
indeks massa tubuh, tempat tinggal, aktivitas fisik, rokok dan kafein yang
dikonsumsi.
Pada umumnya, nilai normal denyut nadi yang dikategorikan sesuai usia
yaitu : dewasa sekitar 60 - 80x/menit, anak-anak sekitar 80 - 100x/menit,
dan bayi sekitar 100 - 140x/menit. Jika seseorang memiliki denyut nadi
dibawah nilai normal maka pasien mengalami bradikardi yang mana pada
kondisi tersebut, kerja jantung menjadi lebih lambat dari biasanya.
Meskipun melambatnya detak jantung umumnya merupakan kejadian yang
normal, namun masih tetap perlu diwaspadai karena kondisi Bradikardi
yang menimbulkan gejala biasanya sudah tergolong berat seperti adanya
sianosis, sesak napas, nyeri dada, dsb. Pada kondisi tersebut, jantung tidak
dapat memompa cukup darah yang dibutuhkan oleh tubuh. Sebaliknya
apabila seseorang memiliki denyut nadi diatas nilai normal maka pasien
mengalami takikardi yang mana pada kondisi tersebut, kinerja jantung
menjadi lebih cepat dari biasanya yang dapat menyebabkan jantung tidak
mampu memompa darah ke seluruh tubuh dengan baik. Selain itu, otot
jantung yang bekerja lebih keras membutuhkan pasokan oksigen lebih
banyak. Hal tersebut sering menimbulkan keluhan mengancam nyawa bila
denyut jantung terlalu tinggi.
Pada kasus dijelaskan frekuensi nadi pasien mencapai 114x/menit yang
mengindikasikan bahwa pasien mengalami takikardi, hal tersebut
menunjukkan periode diastolik pasien cukup pendek sehingga pengisian
ruang jantung tidak berjalan sempurna. Takikardia dapat terjadi akibat
15
hipoksemia, anemia, demam, ansietas, stres emosional, ketakutan,
pendarahan, dehidrasi, syok dan olahraga. Takikardia yang pasien alami
kemungkinan besar disebabkan akibat hipoksemia karena saturasi oksigen
pasien juga mengalami penurunan.
Peningkatan aktivitas jantung (HR) terutama disebabkan oleh respons
tidak langsung dari jantung terhadap stimulasi hipoksia dari kemoreseptor
perifer, terutama badan karotis. Ketika badan karotis menerima rangsangan,
ini menghasilkan pengiriman sinyal refleks ke otot pernapasan, yang pada
gilirannya memicu aktivasi refleks pulmonal dan menyebabkan takikardia.
Kemoreseptor perifer, yang juga dikenal sebagai badan karotis dan badan
aorta, adalah sel-sel yang sangat peka terhadap kadar oksigen dalam darah
arteri (PaO2) dan akan merespons jika kadar oksigen ini turun di bawah
batas normal. Kemoreseptor perifer ini terletak pada dua cabang arteri, yaitu
arteri karotis interna dan eksterna. Mereka akan terstimulasi ketika PaO2
berada di bawah kisaran normal. Ketika kemoreseptor perifer diaktifkan,
sinyal sensorik (aferen) dikirimkan ke pusat pernapasan di dalam medulla
melalui nervus glosofaring (nervus kranial IX) dari badan karotis dan
melalui nervus vagus (nervus kranial X) dari badan aorta. Sinyal motorik
(eferen) dikirimkan ke otot pernapasan, yang mengakibatkan peningkatan
laju pernapasan.

2.2.15 Suhu Tubuh 37,9°C


Suhu tubuh manusia telah ditetapkan sebagai salah satu tanda vital
utama yang perlu diukur secara berkala di lingkungan medis dan seringkali
dianggap sebagai gejala awal untuk mencoba menggambarkan tingkat
penyakit seseorang.
Suhu internal tubuh kita diatur oleh bagian otak yang disebut
hipotalamus. Dimana hipotalamus ini memeriksa saat ini dan akan
membandingkannya dengan suhu normal. Jika suhu tubuh kita terlalu
rendah, maka hipotalamus akan memastikan tubuh untuk menghasilkan dan
mempertahankan panas. Sedangkan, jika suhu tubuh kita terlalu tinggi,
maka panas akan keluar atau dengan keringat yang dihasilkan untuk
mendinginkan kulit.

16
Suhu normal pada manusia sekitar 36,59°C - 37°C. Namun, setiap orang
memiliki suhu tubuh normal masing-masing yang mungkin sedikit lebih
tinggi atau lebih rendah dari standar seharusnya. Hal tersebut dipengaruhi
beberapa variabel yaitu usia seseorang dan adanya proses penyesuaian suhu
tubuh dengan kondisi lingkungan.
Pada suhu tubuh dibawah 36°C dapat diindikasikan sebagai kondisi
hipotermia sedangkan suhu tubuh 38°C atau lebih telah dianggap demam
ringan. 39°C diindikasikan sebagai demam tinggi dan 41°C telah
didefinisikan sebagai demam yang sangat tinggi.
Suhu tubuh ini berkaitan dengan jumlah detak jantung manusia, sedikit
adanya perubahan pada suhu tubuh dapat berpengaruh besar dalam kinerja
jantung karena semakin jauh suhu normal pasien maka berpengaruh pada
cepat lambatnya jantung pasien dalam memompa darah ke seluruh tubuh
(Gusfazli, 2017 ; Setiawan, 2023)
Pada kasus dijelaskan bahwa suhu tubuh pasien sekitar 37,9°C dimana
kondisi tersebut dikategorikan sebagai peningkatan suhu tubuh atau dapat
didefinisikan sebagai demam ringan. Pemberian kompres hangat pada
pasien dapat dipertimbangkan dan monitoring suhu pasien secara berkala
untuk mengindikasikan suhu mengalami peningkatan terus-menerus.
2.2.16 Akral Teraba Hangat
Akral Teraba Hangat merujuk pada kondisi dimana bagian tubuh yang
merupakan ujung atau ekstremitas, seperti tangan atau kaki, terasa hangat
saat disentuh atau diraba. Ini bisa menunjukkan beberapa hal berikut:
1. Peningkatan aliran darah: Hangatnya sensasi pada ekstremitas akral bisa
disebabkan oleh peningkatan aliran darah ke area tersebut. Ini mungkin
terjadi sebagai respons terhadap cuaca dingin atau aktivitas fisik yang
meningkatkan sirkulasi darah.
2. Relaksasi otot: Sensasi hangat juga bisa terjadi ketika otot-otot di
ekstremitas tersebut lebih rileks.
3. Normalitas suhu tubuh: Dalam beberapa kasus, sensasi hangat pada
ekstremitas adalah tanda bahwa suhu tubuh secara keseluruhan berada
dalam kisaran normal. Tubuh cenderung menjaga suhu inti yang stabil,
dan ekstremitas dapat terasa lebih hangat daripada bagian tubuh lainnya
untuk menjaga organ dalam tetap hangat.
17
4. Respons terhadap stimuli: Hangatnya sensasi pada ekstremitas juga bisa
menjadi respons terhadap rangsangan atau stimuli tertentu, seperti
peregangan otot atau pemijatan.
Dalam kasus dijelaskan bahwa akral pasien teraba hangat yang
menunjukkan bahwa pasien memiliki aliran darah pada tangan dan kaki
pasien berjalan dengan baik. Dengan adanya peredaran darah yang berjalan
dengan baik menunjukkan bahwa sistem tubuh akan mendapatkan oksigen
dan zat gizi untuk fungsi dan aktivitasnya.
2.2.17 Status Perfusi
Capillary Refill Time (CRT) merupakan salah satu tes sederhana dan
non-invasif yang biasanya digunakan untuk menilai status perfusi perifer
yang beresiko mengalami syok. CRT ini digunakan untuk menunjukkan
adanya penurunan perfusi perifer yang mengidentifikasikan pasien dengan
gangguan hemodinamik dalam perawatan kritis. Pada orang sehat pengisian
kapiler normal hanya membutuhkan waktu beberapa detik :
● Bayi baru lahir hanya membutuhkan waktu 2 detik
● Orang dewasa mengisi ulang dalam waktu sekitar 3 detik
● Orang dewasa yang lebih tua seringkali membutuhkan waktu lebih dari
3 detik.
Pada kasus dijelaskan bahwa CRT pasien mengisi ulang dalam waktu
sekitar 2 detik. Hal tersebut dapat mengidentifikasikan bahwa pasien berada
dalam kondisi penurunan status perfusi.
2.2.18 CPOT 1
Pada pasien yang terpasang ventilator di ICU memerlukan pemantauan
dan perawatan yang intensif. Perawatan tersebut seringkali menimbulkan
rasa nyeri pada pasien (Gelinas et al, 2011 ; Wahyuningsih, 2019). Nyeri
yang dialami oleh pasien dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
adanya pengaruh penyakit patofisiologis, dampak terapi dan prosedur yang
diberikan kepada pasien selama perawatan di ICU (Cade, 2008 ;
Wahyuningsih, 2019). Dimana tindakan keperawatan yang dapat
menimbulkan rasa nyeri antara lain : penghisapan lendir pasien dengan
ventilasi mekanik, perubahan posisi, penggantian balutan luka dan
pemasangan atau pelepasan kateter (Wahyuningsih, 2019).

18
Untuk menentukan manajemen nyeri yang dialami oleh pasien
diperlukan adanya penilaian nyeri. Pelaporan rasa nyeri secara verbal
merupakan indikator penilaian nyeri yang paling valid, namun tidak semua
pasien yang dirawat di ICU dapat melaporkan rasa nyeri secara verbal.
CPOT merupakan instrumen nyeri yang valid dan reliabel yang
direkomendasikan oleh American Society for Pain Management Nursing
(ASPMN) untuk menilai nyeri pada pasien yang tidak mampu melaporkan
rasa nyeri secara verbal. CPOT ini telah digunakan di negara Amerika dan
Eropa (Gelinas et al, 2006 dalam Wahyuningsih, 2019).

No Indikator Deskripsi Nilai

1 Ekspresi wajah Tidak ada ketegangan otot 0


(rileks)

Mengerutkan kening, alis 1


menurun, pengencangan
orbit dan levator (tegang)

Wajah menengadah ke 2
atas dan kelopak mata
tertutup rapat

2 Gerakan tubuh Tidak bergerak sama 0


sekali (tidak ada
pergerakan)

Menunjukkan gerakkan 1
lambat dan gerakan hati-
hati menyentuh lokasi
nyeri (melindungi daerah
nyeri)

Menarik tube, mencoba 2


duduk, menggerakkan
tungkai, tidak mengikuti

19
perintah, memukul
staf/mengamuk, mencoba
turun dari bed (gelisah)

3 Ketegangan otot (dievaluasi Tidak ada tahanan 0


dengan fleksi pasif pada terhadap gerakan pasif
lengan atas pasien) (rileks)

Ada tahanan terhadap 1


gerakan pasif (tegang,
kaku)

Tahanan kuat pada saat 2


digerakan atau tidak dapat
dilakukan gerakan
tersebut (sangat tegang
atau kaku)

4 Penyesuaian terhadap Alarm tidak berbunyi, 0


ventilator (pasien dengan ET) pernapasan normal
(toleransi terhadap
ventilator)

Alarm berbunyi namun 1


berhenti sendiri (batuk
namun toleransi)

Blocking ventilasi, alarm 2


sering berbunyi (menolak
ventilator, menangis)

Berbicara dengan nada 0


suara biasa atau tidak
ATAU
bersuara sama sekali

Vokal (pada pasien tanpa ET) Mendesah, mengerang 1

20
Menangis, tersedu-sedu 2

Total

Catatan :
● Skor 0 - 2 : tidak nyeri sampai nyeri minimal
● Skor > 2 : nyeri tidak dapat ditoleransi pasien
Pada kasus dijelaskan bahwa nilai CPOT pasien adalah 1 maka pasien
mengalami nyeri minimal atau nyeri ringan. Dalam kasus juga telah
disebutkan bahwa kesadaran pasien compos mentis sehingga kemungkinan
besar pengkajian CPOT pada pasien dilakukan saat pasien tiba di ruang ICU
pertama kali.
2.2.19 CVC
Central Venous Catheter (CVC) adalah alat yang dimasukkan ke dalam
vena sentral yang besar (seperti vena jugularis interna, subklavikula, atau
femoralis) dan dimasukkan hingga lumen terminal berada di dalam vena
cava inferior, vena cava superior, atau atrium kanan guna memantau
tekanan pada vena sentral (Central Venous Pressure). Tekanan vena sentral
ini secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan. Secara tidak
langsung menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan
pengisian atrium kanan atau preload ventrikel kanan pada akhir diastole.
Dimana tekanan tersebut bergantung pada volume darah, tonus vaskular,
dan fungsi jantung. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena
sentral sekitar 3 - 8 cmH2O atau sekitar 2 - 6 mmHg. Sedangkan menurut
Suranto (2004) nilai normal CVP adalah 4 - 10 mmHg. Hasil pembacaan
CVP yang menunjukkan nilai dibawah normal mengindikasikan adanya
hipovolemia sebaliknya apabila nilai diatas normal dapat disebabkan oleh
kondisi hipervolemia, gagal jantung, dan embolisme paru.
Pemasangan CVC ini diindikasikan untuk pasien-pasien dengan
pemasangan vena perifer yang sulit (seperti pasien obesitas, pasien dengan
intravenous drug abusers, pasien agitasi yang tidak kooperatif), pasien yang
mendapatkan pengobatan vasokonstriktor, hypertonic solutions (nutrisi

21
parenteral), pasien yang menjalani hemodialisa, transversus cardiac pacing
atau yang membutuhkan monitoring hemodinamik invasif.
2.2.20 Selang NGT
Selang Nasogastrik Tube (NGT) merupakan selang radio-opak yang
fleksibel dan berlubang halus yang dimasukkan ke dalam lambung melalui
hidung pasien. Hal ini bertujuan untuk memberikan dukungan nutrisi dan
obat-obatan kepada pasien yang tidak mampu menelan atau tidak mampu
memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui mulut.
Pada kasus adanya indikasi pemberian NGT ditujukan pemberian terapi
nutrisi maupun obat agar adekuat. Guillain Barre Syndrome yang dialami
oleh pasien dapat mempengaruhi kinerja sistem saraf yang pada akhirnya
juga mempengaruhi kinerja sistem pencernaan pasien sehingga pasien
memerlukan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
2.2.21 Selang Kateter
Kateterisasi urin adalah prosedur yang digunakan untuk mengosongkan
kandung kemih dan mengumpulkan urin melalui tabung fleksibel yang
disebut kateter. Pemasangan kateter dilakukan dengan memasukkan tabung
kateter melalui selang yang mengalirkan urin keluar dari kandung kemih
(kateter uretra) menuju kandung kemih sehingga urine dapat mengalir
keluar melaluinya dan masuk ke dalam kantong drainase.
Pemasangan kateter ini biasanya diindikasikan untuk pasien yang
mengalami kesulitan buang air kecil secara alami, juga untuk menyediakan
cara untuk melakukan pemantauan pengeluaran urin setiap jam pada pasien
dengan penyakit berat. Beberapa indikasi lain dari pemasangan kateter pada
pasien antara lain :
a. Adanya penyumbatan pada saluran uretra dari kandung kemih seperti
pembesaran prostat atau jaringan parut.
b. Adanya kelemahan kandung kemih atau kerusakan saraf yang
mempengaruhi kemampuan untuk kencing.
c. Mengosongkan kandung kemih saat melahirkan setelah melakukan
anestesi epidural
d. Untuk mengosongkan kandung kemih sebelum, selama, dan/atau setelah
beberapa jenis operasi seperti operasi rahim, ovarium atau usus.

22
e. Untuk memberikan obat langsung ke kandung kemih seperti selama
proses kemoterapi kanker kandung kemih.
f. Sebagai pengobatan untuk inkontinensia urin ketika jenis pengobatan
lain tidak berhasil.
Umumnya selang kateter ini akan dipasang sampai pasien tidak
memerlukan pemasangan, dapat berlangsung sementara yang biasanya akan
dilepas saat pasien akan meninggalkan rumah sakit atau mungkin
diperlukan lebih lama atau bahkan permanen.
Terdapat 2 jenis kateter urin yaitu : kateter intermiten yaitu kateter yang
digunakan sewaktu-waktu, dan kateter indwelling yaitu kateter yang
digunakan dalam jangka waktu yang lama.
2.2.22 Pneumonia
Pneumonia adalah kondisi inflamasi yang terjadi saat seseorang
mengalami infeksi pada kantung kantung udara dalam paru (Alveoli),
kantung udara yang terinfeksi tersebut akan terisi oleh cairan (dahak
purulen). Menurut WHO (2008) penyebaran penyakit infeksi saluran
pernafasan berkaitan erat dengan kondisi lingkungan (polutan udara,
kepadatan anggota keluarga, kelembaban, kebersihan, musim, temperatur).
Faktor risiko pneumonia dbagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik (Notoadmodjo, 2010).
● Faktor intrinsik
Faktor intrinsik meliputi umur, status gizi, pemberian ASI Eksklusif, dan
BBLR
● Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik meliputi kondisi lingkungan fisik rumah, pendidikan
ibu dan pendapatan keluarga.
Status gizi merupakan faktor risiko pneumonia, kondisi tubuh dengan
gizi kurang akan menyebabkan seorang anak mudah terserang penyakit.
Bakteri atau virus mudah masuk dalam tubuh individu dengan ketahanan
tubuh atau imunitas yang kurang. Kondisi kurang gizi dapat melemahkan
sistem kekebalan tubuh dan pada anak-anak dengan kondisi tersebut dapat
melemahkan otot-otot pernafasan sehingga balita dengan gizi kurang akan
mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal (Maryunani,
2010).
23
2.2.23 Hasil pemeriksaan BGA:
Analisis gas darah arteri (AGD) merupakanm prosedur yang sering
dikerjakan dan merupakan standar baku untuk menentukan status asam
basa, ventilasi, dan oksigenasi pasien. Analisis gas darah dilaksanakan guna
memeriksa fungsi organ paru yang menjadi tempat pertukaran oksigen dan
karbon dioksida. (Noviyanti, 2022)
1) Fi02 72%;
Alat Ukur Fraction Of Inspired Oxygen (FiO2) merupakan alat ukur
yang digunakan untuk mengetahui kandungan konsentrasi kadar oksigen
dalam suatu output gas. FiO2 adalah jumlah kandungan oksigen dalam
udara inspirasi yang diberikan oleh ventilator ke pasien. Konsentrasinya
berkisar 21-100%. SETingan FiO2 pada awal pemasangan ventilator
direkomendasikan sebesar 100%. Untuk memenuhi kebutuhan FiO2
yang sebenarnya, 15 menit pertama setelah pemasangan ventilator
dilakukan pemeriksaan analisa gas darah. Berdasarkan pemeriksaan
AGD tersebut maka dapat dilakukan penghitungan FiO2 yang tepat bagi
pasien (Marantuan, 2021).
2) pH 7.466;
Kadar Kadar HCO3-dan pCO3 merupakan hal penting dalam
perhitungan pH, yang dirumuskan dalam persamaan Henderson-
Hasselbalch, yang merupakan dasar interpretasi ini. pH tubuh normal
berada pada rentang nilai 7,35-7,45 . Bila terjadi penurunan pH< 7,35
disebut asidosis . Bila terjadi kenaikan pH > 7,45 disebut alkalosis.
Sistem respirasi sangat berperan pada pertukaran gas dan pengaturan
asam basa tubuh, aktivitas metabolism akan mempengaruhi produksi
karbon dioksida dan mempengaruhi keasaman (pH) tubuh. Serum pH
menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber ion
hidrogen dalam tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam seperti
asam laktat dan asam keto.(Prabakaran, 2017)

● Nilai normal pH serum:


● Nilai normal : 7.35 - 7.45
● Nilai kritis : < 7.25 - 7.55

24
3) pC02 44,3;
PCO2 sering disebut dengan penyerap atau pelepas CO2. pCO2 darah
merupakan komponen respiratorik. Kadar normal pCO2 adalah 35 – 45
mmHg (Rohmah, 2020). Dalam kasus tersebut pCO2 pada pasien
tergolong normal yaitu 42 mmHg. PCO2 menggambarkan tekanan yang
dihasilkan oleh CO2 yang terlarut dalam plasma. Dapat digunakan untuk
menentukan efektifitas ventilasi dan keadaan asam basa dalam darah.
(Wayan, 2019). Implikasi Klinik yang mungkin terjadi :
● Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/
nervousness dan emboli paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu
mendapatkan perhatian khusus.
● Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau
penurunan fungsi pusat pernafasan. Nilai PaCO2 > 60 mmHg perlu
mendapat perhatian khusus.
● Umumnya peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi
sedangkan penurunan nilai menunjukkan hiperventilasi.
● Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan
PaCO2 sebesar 1.3 mmHg.
4) p02 75.3;
PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah
oksigen yang terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan
paru-paru dalam menyediakan oksigen bagi darah.adapun Nilai Normal
(suhu kamar, tergantung umur): 75 - 100 mmHg. Implikasi Klinik:
(Prabakaran, 2017)
● Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi
kronik, PPOK, penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat
gangguan fisik atau neuromuskular dan gangguan fungsi jantung.
Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg perlu mendapatkan perhatian
khusus.
● Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan
penghantaran O2 oleh alat bantu, contohnya nasal prongs, alat
ventilasi mekanik hiperventilasi dan polisitemia, peningkatan sel
darah merah dan daya angkut oksigen

25
5) HC03 30.4 : kadar normal HCO3 adalah 22-26 meq/L . dibawah 22
adalah asidosis dan diatas 26 adalah alkalosis, dalam kasus HCO3
menunjukkan bahwasanya terdapat alkalosis
6) TC02 31.7;nilai normal 23-27 mmol/l
7) BE 6.8; kompensasi respiratori, yang sedang berlangsung. Rentang
normal 0 ±2 meq/l. Kadar normal BE antara -2 s/d 2mEq/L. Asidosis
terjadi pada BE < -2 mEq/L dan alkalosis BE > 2mEq/L
8) Sa02 94.2%; SaO2 atau saturasi Oksigen adalah ukuran seberapa
banyak prosentase oksigen yang terikat oleh Hb, yang diukur dengan
menggunakan oxymeter pulse setelah dilakukan positioning. Kadar
oksigen normal Saturasi oksigen (SaO2): 95–100%. Implikasi Klinik:
● Saturasi oksigen digunakan untuk mengevaluasi kadar oksigenasi
hemoglobin dan kecukupan oksigen pada jaringan
● Tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma menggambarkan
jumlah oksigen yang terikat pada hemoglobin sebagai ion
bikarbonat
9) AaD02 390.7 AaDO2 =[(713 x FiO2)-(1,25 x PaCO2)]-PaO2
● AaDO2 <10 (lansia <20) → non-pulmonal
● AaDO2 >10 (lansia >20) → pulmonal
2.2.24 Pemeriksaan Laboratorium
1) Hb 8,8; ( RENDAH)
Hemoglobin merupakan protein dalam sel darah merah yang berfungsi
untuk mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh. Hemoglobin
dapat mengalami peningkatan ataupun penurunan. Nilai normal kadar
hemoglobin di dalam tubuh seseorang ditentukan berdasarkan jenis
kelamin dan usianya. Kadar hemoglobin normal pada wanita dewasa
berkisar antara 12–15 g/dL, sedangkan kadar hemoglobin pada pria
dewasa berkisar antara 13–17 g/dL. (Wahdah, 2019). Kadar hemoglobin
dalam darah Ny Susan adalah 8,8 gram per desiliter (g/dL). Kadar
hemoglobin ini dianggap rendah dan dapat mengindikasikan anemia
atau penurunan jumlah sel darah merah (hemoglobin) dalam darah.
2) Ht 27,3; ( RENDAH)
Hematokrit merupakan perbandingan jumlah eritrosit dengan volume
darah keseluruhan persentase seluruh volume eritrosit yang dipisahkan
26
dari plasma dengan cara memutarnya di dalam tabung khusus dengan
waktu dan kecepatan tertentu dimana nilainya dinyatakan dalam persen
(%) (Hidayah, 2018). Nilai normal hematokrit pada wanita adalah 37 –
43% dan untuk pria adalah 40 – 48 % (Gandasoebrata, 2010). Nilai
hematokrit akan meningkat (hemokonsentrasi) karena adanya
peningkatan eritrosit atau penurunan volume plasma darah, misalnya
pada kasus DBD. Sebaliknya nilai hematokrit akan menurun
(hemodilusi) karena penurunan eritrosit atau peningkatan kadar plasma
darah, seperti pada anemia (Herawati, 2016).

Dalam kasus terdapat nilai Ht yang menunjukkan persentase volume sel


darah merah terhadap volume darah keseluruhan adalah 27,3%. Jika
hematokrit rendah, ini bisa menandakan jumlah sel darah merah yang
rendah dalam darah, yang juga bisa berhubungan dengan kondisi anemia
atau masalah lain dalam pembentukan sel darah merah.

3) Leukosit 12.103;
Peningkatan jumlah sel leukosit dalam darah lebih dari
11.000/µL disebut leukositosis, leukositosis dapat terjadi karena adanya
respon normal dari sumsum tulang terhadap proses infeksi atau
inflamasi,peningkatan jum[1]lah leukosit normal dapat terjadi sebagai
akibat dari infeksi, kanker, atau pemberian obat (epinefrin,
kortikosteroid) (Porth, 2011).
Dalam kasus nilai leukosit 12.103 yang Anda berikan, itu
menunjukkan jumlah leukosit dalam darah Ny Susan adalah 12.103 sel
per mikroliter darah atau sel per milimeter kubik darah. Kenaikan
jumlah leukosit di atas rentang nilai normal (biasanya sekitar 4.500
hingga 10.000 sel per mikroliter) bisa menandakan adanya infeksi,
peradangan, stres, atau kondisi medis lainnya yang membutuhkan
respons sistem kekebalan tubuh.

4) Albumin 2,8; (RENDAH)


Albumin merupakan komponen protein didalam plasma
manusia, kurang lebih 3,4 - 4,7 gr/dl dan menyusun sekitar 60 % dari
total protein plasma. Albumin terdapat dalam plasma sekitar 40 %,

27
sedangkan sisanya 60 % terdapat didalam ruang ekstraseluler. Hati
menghasilkan sekitar 12 gram albumin per hari yang merupakan sekitar
25 % dari sintesis protein hepatik dan separuh dari seluruh protein yang
diekskresikan organ tersebut (Murray, dkk., 2009)
Penurunan albumin dalam sirkulasi dapat menyebabkan
pergeseran cairan dari pembuluh darah ke ruang ekstravaskuler sehingga
dapat terjadi odema (Sutedjo, 2006)

Dalam konteks nilai albumin 2,8 yang Anda berikan, itu


menunjukkan kadar albumin dalam serum darah Ny Susan adalah 2,8
gram per desiliter (g/dL) atau 28 gram per liter (g/L). Kadar albumin ini
dianggap rendah. Kadar albumin yang rendah dalam darah dapat
mengindikasikan berbagai kondisi kesehatan, termasuk:

● Kerusakan hati: Albumin diproduksi di hati, sehingga kerusakan


hati atau penyakit hati kronis dapat mengurangi produksi albumin.
● Malnutrisi atau kekurangan nutrisi: Kekurangan asupan protein
atau nutrisi dapat menyebabkan kadar albumin rendah.
● Penyakit ginjal: Albumin dapat hilang melalui ginjal pada
beberapa penyakit ginjal, seperti sindrom nefrotik.
● Peradangan atau infeksi: Kondisi yang menyebabkan peradangan
dalam tubuh dapat mengurangi kadar albumin.

5) Mg 0,4;
Magnesium adalah salah satu dari enam mineral penting
yang terkandung dalam tubuh manusia yang membantu membangun
tulang, memperbaiki penampilan fungsi saraf, dan merupakan elemen
yang sangat penting untuk penghasil energy dari makanan yang
diasup oleh manusia (Nugroho et al., 2021). Magnesium secara alami
ditemukan dalam banyak makanan, ditambahkan ke produk makanan
lainnya, tersedia sebagai suplemen diet, dan hadir di beberapa jenis
obat-obatan (obat penyakit maag dan obat pencahar)
Normalnya, kadar magnesium dalam darah pada orang dewasa
adalah 1,7-2,3 mg/dL. Sekitar 3% dari magnesium di dalam tubuh akan
dikeluarkan bersama urine dan 97% lainnya akan diserap ke dalam

28
tubuh. Seseorang dapat dikatakan mengalami hipermagnesemia jika
kadar magnesium dalam darahnya lebih dari 2,3 mg/dL.(Gumantan,
Mahfud, & Yuliandra, 2021)
Magnesium rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri
cerebral, meningkatkan agregasi trombosit sehingga meningkatkan
pelepasan serotonin, mempotensiasi aksi vasoaktif serotonin dan
mengurangi efek relaksasi otot polos dan memudahkan penyebaran
cortical spreading depression (CSD) melalui perubahan fosforilasi
oksidatif dan polarisasi neuron dimitokondria, (Nattagh-Eshtivani et al.,
2018; Xue et al., 2019).

Kadar magnesium 0,4 menunjukkan bahwa konsentrasi


magnesium dalam darah Ny. Susan sedikit rendah. Tingkat magnesium
rendah atau hipomagnesemia dapat menyebabkan gejala seperti
kelemahan otot, kejang, aritmia jantung, tekanan darah rendah,
kebingungan, dan masalah neuromuskular lainnya.

6) Ca+ 1,9;
Kalsium adalah mineral yang terdapat di dalam tubuh dan
merupakan salah satu zat mikro yang dibutuhkan oleh tubuh. Kalsium
berfungsi untuk integritas kulit serta struktur sel, pembekuan darah,
konduksi jantung, dan juga pembentukan tulang dan gigi. Dalam tubuh
kalsium memiliki jumlah yang lebih dari pada unsur mineral
lainnya.Diperkirakan 2% berat badan orang dewasa atau 1,0 –1,4 kg
terdiri dari kalsium,pada bayi 25-30 gram.(Almatsier S, 2018)
Dalam konteks ini, angka 1,9 mmol/L mengacu pada konsentrasi
ion kalsium dalam sampel darah atau cairan tubuh pasien.Kadar kalsium
yang normal dalam darah berkisar antara 2,1 hingga 2,6 mmol/L atau
sekitar 8,5 hingga 10,4 mg/dL. Jadi, dengan kadar kalsium sebesar 1,9
mmol/L, ini menunjukkan bahwa konsentrasi kalsium dalam darah
pasien lebih rendah dari rentang normal yang diharapkan.

7) Na+ 139;
Natrium merupakan kation dalam tubuh yang berfungsi dalam
pengaturan osmolaritas dan volume cairan tubuh. Terdapat banyak pada

29
cairan ekstrasel diatur oleh ADH dan aldosterone. ADH mengatur
sejumlah air yang diserap kembali ke dalam ginjal dari tubulus renalis
yang berfungsi memelihara tekanan osmotik cairan ekstraseluler dan
berhubungan dengan cairan tubuh serta membantu fungsi
neuromuskuler (Indriyani, 2021)
Menurut Kee dan Chris (2010), kadar Natrium dalam darah
normalnya adalah 135-145 mmol/L, dan pada penelitian ini hasil rata-
rata kadar Na+ pada serum melampaui batas normal kadar Na+ dalam
darah yang ditetapkan. Semakin banyak jumlah natrium di dalam tubuh,
maka akan terjadi peningkatan volume plasma, curah jantung dan
tekanan darah. Meskipun demikian, respon seseorang terhadap jumlah
natrium di dalam tubuh berbeda-beda (Irza, 2009).
Kadar natrium (Na+) sebesar 139 mmol/L merujuk pada
konsentrasi ion natrium dalam darah atau cairan tubuh, yang diukur
dalam satuan milimol per liter (mmol/L) atau miliekuivalen per liter
(mEq/L). Kadar natrium yang normal dalam darah berkisar antara
sekitar 135 hingga 145 mmol/L.

8) Kalium 2,9
Kalium adalah kation utama intraseluler. Kalium memegang
peranan penting dalam metabolisme sel, mengatur eksitabilitas
(rangsangan) neuromuskuler, kontraksi otot, mempertahankan
keseimbangan osmotik dan potensial listrik membran sel dan untuk
memindahkan glukosa ke dalam sel. Kalium dalam jumlah banyak
terletak dalam sel, dan dalam jumlah relatif kecil (kira-kira 2%) terletak
dalam cairan ekstraseluler, Menurut Salam nilai rujukan kadar Kalium
dalam darah normalnya adalah 3.5-5.3 mmol/L, (Salam, 2016).
Jumlah kalium dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan
kalium yang masuk dan keluar. Pemasukan kalium melalui saluran cerna
tergantung dari jumlah dan jenis makanan). Bila kadar kalium kurang
dari 3,5 mEq/L disebut sebagai hipokalemia dan kadar kalium lebih dari
5,3 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kekurangan ion kalium dapat
menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat. Peningkatan kalium
plasma 3-4 mEq/L dapat menyebabkan aritmia jantung, konsentrasi

30
yang lebih tinggi lagi dapat menimbulkan henti jantung (Yaswir &
Ferawati, 2016).

9) Cl- 102;
Klorida merupakan elektrolit utama CES (cairan ekstraseluler).
Kadar klorida dalam darah secara pasif berhubungan dengan kadar
natrium, sehingga bila natrium serum meningkat, klorida juga
meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan atau
peningkatan klorida seringkali mempengaruhi kadar natrium.
Keseimbangan klorida dipertahankan melalui asupan makanan dan
ekskresi serta reabsorpsi renal. Kadar klorida yang meningkat
disebabkan oleh dehidrasi, gagal ginjal, atau asidosis. Kadar klorida
yang menurun disebabkan oleh hilangnya cairan dalam saluran
gastrointestinal (mual, muntah, diare, atau penghisapan lambung)
(Santikatmaka,2013).
Klorida diatur melalui ginjal, jumlah yang diekskresikan
berhubungan dengan asupan makanan. Seseorang yang memiliki ginjal
normal yang mengkonsumsi klorida dalam jumlah besar, akan
mengekskresikan klorida yang lebih tinggi dalam urine. Nilai
laboratorium normal untuk klorida serum adalah 100-106 mEq/L
(Wahyudi, 2016).

10) Procalcitonin 1,68.


Procalcitonin atau PCT adalah suatu protein fungsional yang
terdiri dari 114 sampai 116 asam amino. PCT merupakan suatu protein
yang aktif secara imunologis namun berbeda dari molekul peradangan
lainnya seperti sitokin, protein fase akut.Pada kondisi fisiologis normal,
kadar PCT serum rendah (< 0,1 ng/mL). Peningkatan PCT terjadi pada
pasien imunokompeten dengan sepsis dan meningitis bakterial. Pada
orang sehat juga dapat terjadi peningkatan PCT setelah mendapatkan
injeksi endotoksin.
Peningkatan PCT terjadi pula pada berbagai kondisi seperti toxic
shock syndröme, komplikasi infeksi pasca operasi, kolangitis,
pankreatitis dengan - infeksi, malaria dan dan fungemia. Peningkatan

31
PCT secara langsung berkaitan dengan keparahan penyakit dan
mortalitas. Peningkatan kadar PCT selama infeksi dapat menjadi
penanda awal sepsis dan indikator mortalitas. (Geni, L., Panjaitan,
LMR,2019)
Dalam konteks ini, hasil prokalsitonin yang sedikit meningkat
(1,68) yang mengindikasikan adanya infeksi bakteri dalam tubuh Ny.
Susan, termasuk kemungkinan infeksi pneumonia. Peningkatan
procalcitonin ini adalah sinyal yang penting bagi tim medis untuk
mempertimbangkan adanya infeksi bakteri dan menilai tingkat
keparahan infeksi pada pasien.

2.3 Data Pengkajian


A. Identitas Pasien
● Nama : Ny. Susan
● Usia : 51 tahun
● Jenis Kelamin : Wanita
● Status Perkawinan : Perlu dikaji lebih lanjut
● Pendidikan : Perlu dikaji lebih lanjut
● Pekerjaan : Perlu dikaji lebih lanjut
● Tanggal Masuk : Perlu dikaji lebih lanjut
● Tanggal Pengkajian : Perlu dikaji lebih lanjut
● Diagnosa medis : Guillain Barre Syndrome
B. Identitas Penanggung Jawab
Tidak disebutkan dalam kasus
C. Pengkajian Primer
1) Pengkajian Airway
● Terdapat secret di ET berwarna kuning dan kemerahan.
● Terdapat suara gurgling.
2) Pengkajian Breathing
● Respiratory rate : 26x/menit, SpO2 90%
● Bunyi nafas : terdapat suara nafas tambahan ronchi
● Pasien terpasang ventilator mode SIMV, PEEP 6, FiO2 50%, RR mesin
8x/menit.

32
3) Pengkajian Circulation.
● Tekanan Darah : 143/76 mmHg
● Frekuensi Nadi : 114x/menit
● Akral : Teraba hangat
● Capillary Refill Time (CRT) : > 2 detik
4) Pengkajian Disability
● Nilai GCS : composmentis
● Nilai CPOT :1
5) Pengkajian Exposure
● Jejas atau luka : perlu dikaji lebih lanjut
● Suhu Tubuh : 37,9∘ 𝐶𝐶
Setelah dilakukan pengkajian primer di atas dapat diketahui bahwa pasien
termasuk ke dalam prioritas …. dalam TRIAGE
D. Pengkajian Sekunder
1) Riwayat Kesehatan
● Riwayat kesehatan sebelum sakit
Perlu dikaji lebih lanjut
● Riwayat kesehatan sekarang
Pasien sedang dirawat di ruang ICU hari ke-1 karena mengalami gagal
nafas dengan diagnosa Guillain Barre Syndrome.
● Riwayat kesehatan keluarga
Perlu dikaji lebih lanjut
2) Keluhan Utama
Pasien mengalami gagal nafas
3) Pengkajian SAMPLE (Sign and symptom, allergies, medication, past illness,
last meal, event leading)
● Sign and symptom
Ny Susan usia 51 tahun dirawat di ICU hari ke 1 karena mengalami
gagal nafas dengan diagnosa medis Guillain Barre Syndrome. Terdapat
sekret pada selang ET pasien berwarna kuning dan kemerahan.
● Allergies
Pada kasus di atas tidak disebutkan data alergi sehingga tidak terkaji

33
● Medication
Pada kasus tidak disebutkan pengobatan farmakologi apapun yang
diberikan kepada pasien sehingga tidak terkaji.
● Past Illness
Pada kasus tidak ditemukan riwayat penyakit pasien di masa lalu sehingga
tidak terkaji.
● Last Meal
Pada kasus tidak ditemukan mengenai kapan terakhir kali pasien makan
dan minum serta tidak disebutkan juga jenis makanan dan minuman apa
saja yang dikonsumsi oleh pasien sehingga tidak terkaji.
● Event Leading
Pada kasus tidak ditemukan kronologi bagaimana pasien mendapatkan
penyakit yang pasien alami sekarang sehingga tidak terkaji.
4) Pola Kebutuhan Dasar
● Pola kognitif dan persepsi
○ Pengkajian Nyeri, nilai CPOT pasien adalah 1
○ Fungsi panca indra (penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembau,
perasa), menggunakan alat bantu : perlu dikaji lebih lanjut
○ Kemampuan bicara : perlu dikaji lebih lanjut
5) Pemeriksaan Fisik
● Keadaan umum
Keadaan umum pasien ketika di ICU dalam keadaan kesadaran penuh
● Pemeriksaan secara sistematik
○ Kepala
Pada kasus tidak dijelaskan mengenai bentuk, ukuran kepala,
pertumbuhan rambut, dan jejas di kulit kepala sehingga tidak
diketahui
○ Mata
Pada kasus tidak dijelaskan mengenai fungsi penglihatan, pupil,
refleks, sklera, konjungtiva, kebersihan, penggunaan alat bantu pada
pasien.
○ Telinga
Pada kasus tidak dijelaskan mengenai fungsi pendengaran, bentuk,
kebersihan, sekret, nyeri telinga pada pasien sehingga tidak diketahui
34
○ Hidung
Pada kasus dijelaskan bahwa pasien terpasang selang NGT untuk
pendukung makan.
○ Mulut
Pada kasus dijelaskan bahwa pasien terpasang ventilator dan terdapat
sekret kuning dan kemerahan pada selang ET.
○ Leher
Perlu dikaji lebih lanjut
○ Dada
Pasien terpasang CVC
○ Ekstremitas
Pada kasus tidak disebutkan.
○ Abdomen
Perlu dikaji lebih lanjut
○ Genitalia
Pasien terpasang kateter urin
○ Anus Rektum
Perlu dikaji lebih lanjut
● Pemeriksaan penunjang dan Laboratorium
○ Pemeriksaan penunjang
- Pada pemeriksaan rontgen menunjukkan bahwa adanya
pneumonia pada pasien.
- Pada pemeriksaan urine menunjukkan bahwa jumlah leukosit
pada pasien sangat tinggi yaitu 12.103 sehingga pasien dicurigai
terjadi adanya resiko infeksi.
○ Pemeriksaan Laboratorium dan BGA

Pemeriksaan Hasil Normal

Hasil Laboratorium

Hb 8,8 12,3 - 17,5 gr/dl

Ht 27,3 35,9 - 50,4%

35
Leukosit 12.103 4,500 - 11.000/mm3

Albumin 2,8 3,8 - 4,8 gr/dL

Mg 0,4 1,7 - 2,3 mg/dL

Ca+ 1,9 8,1 - 10,4 mg/dL

Na+ 139 134 - 144 mmol/L

Kalium 2,9 3,5 - 5,2 mmol/L

Cl- 102 96 - 106 mmol/L

Procalcitonin 1,68 < 0,05 mg/L

Hasil BGA

FiO2 72% -

pH 7,466 7,35 - 7,45

PCO2 44,3 35 - 45 mmHg

PO2 75,3 76 - 100 mmHg

HCO3 30,4 22 - 26 meq/L

TCO2 31,7 23 - 29 mEq/L

BE 6,8 -2 sampai 2 mEq/L

SaO2 94,2% 95 - 100%

AaDO2 390,7 < 65

36
2.4 Kasus yang Kemungkinan Terjadi Pada Pasien
1) Gagal Napas
Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan
oksigenasi didalam darah dengan atau tanpa penumpukan CO2. Gagal nafas ada
dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing-masing
mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang
timbul pada pasien yang memiliki struktural dan fungsional paru yang normal
sebelum awitan penyakit muncul. Sedangkan gagal nafas kronis adalah gagal nafas
yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronis seperti bronkitis
kronis,emfisema.
Gagal nafas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding dada,
otot pernafasan dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata.
Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal nafas, disfungsi dari
jantung, sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transport oksigen hemoglobin dan
disfungsi kapiler sistemik mempunyai peran penting pada gagal nafas.
Gagal nafas merupakan diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas darah
(AGD), gagal nafas dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas
yang nyata dalam bentuk kegagalan oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam
pengeluaran CO2 (hiperkapnia, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan
kedua fungsi tersebut. Kriteria arterial blood gas (ABG) untuk gagal napas pada
individu normal adalah tekanan parsial arteri oksigen (PaO2) yang kurang dari 60
mmHg, atau tekanan parsial arteri karbondioksida (PaCO2) lebih besar dari 50
mmHg, atau gabungan dari keduanya. (Des dkk, 2016).
Pada kasus pasien mengalami GBS, GBS itu menyebabkan kelumpuhan otot
otot pernapasan / otot sistem saraf tepi yang mengakibatkan otot pada pernafasan
mengalami kelemahan, sehingga terganggunya jalan nafas yang mengakibatkan
terjadinya gagal nafas

2) SIRS
Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (SIRS) adalah suatu respon pertahanan
tubuh yang berlebihan terhadap stressor berbahaya (infeksi, trauma, pembedahan,
peradangan akut, iskemia, reperfusi, atau keganasan) untuk mengidentifikasi dan
kemudian menghilangkan sumber penyebab gangguan yang berasal baik dari

37
dalam tubuh (endogen) maupun dari luar tubuh (eksogen). Proses ini melibatkan
pelepasan reaktan fase akut, yang merupakan mediator langsung dari perubahan
otonom, endokrin, hematologi dan imunologis yang luas pada subjek. Meskipun
respon ini merupakan bentuk pertahanan tubuh, jika tidak terkendali, dapat
menyebabkan rangkaian peradangan yang besar dan berpotensi merusak, yang
pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi organ akhir yang reversibel atau
ireversibel dan bahkan kematian.
Peradangan yang dipicu oleh rangsangan infeksi menular atau tidak menular
melibatkan interaksi yang kompleks antara respon imun tubuh dalam bentuk respon
humoral dan seluler, serta keterlibatan sitokin dan jalur komplemen. Sindrom
respon inflamasi sistemik terjadi ketika keseimbangan antara respon proinflamasi
dan antiinflamasi cenderung mengarah ke arah yang pertama.
Roger Bone menggambarkan kaskade sepsis tumpang tindih lima tahap yang
dimulai dengan SIRS dan berkembang menjadi MODS, jika tidak dilawan dengan
tepat oleh respons antiinflamasi kompensasi atau pengurangan etiologi pemicu
primer.
1. Tahap Awal (Fase Respon Lokal) : Proses ini dimulai dengan melibatkan reaksi
lokal di lokasi cedera dengan tujuan untuk membatasi cedera dan mencegah
penyebaran.
Sel-sel efektor imun di lokasi tersebut (seperti neutrofil, makrofag, dan
sel mast) melepaskan sitokin untuk memicu sistem retikuloendotel yang
mempromosikan penyembuhan luka melalui peradangan lokal. Hal ini
melibatkan vasodilatasi lokal yang disebabkan oleh oksida nitrat dan
prostasiklin (yang menyebabkan kemerahan), perubahan dalam sel endotel
untuk memungkinkan marginasi dan leukosit berpindah ke dalam jaringan serta
peningkatan permeabilitas kapiler. Hasilnya adalah kebocoran sel dan cairan
kaya protein di dalam ruang ekstravaskuler menyebabkan pembengkakan
(tumor) dan peningkatan panas (kalor). Mediator inflamasi juga mempengaruhi
saraf somatosensorik lokal menyebabkan rasa sakit dan penurunan fungsi lokal
2. Tahap Respon Anti-inflamasi Kompensasi (CARS) : seiring berjalannya waktu
respon anti-inflamasi kompensasi awal (CARS) yang berusaha menjaga
keseimbangan dalam sistem imunologi. Pada tahap ini, faktor pertumbuhan
diaktifkan, dan sel-sel seperti makrofag serta trombosit direkrut untuk
memperlambat respon peradangan proinflamasi dan menjaga homeostasis.
38
3. Tahap SIRS Pro-inflamasi : Apabila peradangan tidak terkendali, respon sistem
respon inflamasi sistemik (SIRS) proinflamasi dapat berkembang. Ini
melibatkan peningkatan mediator peradangan proinflamasi yang
mengakibatkan disfungsi endotel, koagulopati, dan aktivasi jalur pembekuan
darah (koagulasi). Akibatnya, trombosis mikroorgan akhir terjadi, serta
peningkatan dalam permeabilitas kapiler yang akhirnya merusak integritas
sirkulasi darah.
4. Tahap CARS Menggantikan SIRS : Pada tahap ini, respon anti inflamasi
kompensasi (CARS) menggantikan SIRS sebagai respon utama yang
menyebabkan kondisi imunosupresi relatif. Ini membuat individu menjadi
rentan terhadap infeksi sekunder atau infeksi yang mungkin terjadi di rumah
sakit (seperti infeksi nosokomial) yang dapat mempertahankan kaskade sepsis.
5. Tahap MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) : Jika proses ini tidak
diatasi dengan baik maka dapat menghasilkan MODS yang mana terjadi
disfungsi organ ganda yang serius akibat disregulasi yang persisten dari respon
SIRS dan CARS Hal ini dapat berdampak pada banyak organ dalam tubuh.
SIRS dengan sumber infeksi yang dicurigai biasa disebut sepsis. Sepsis yang
menyertai kegagalan satu atau lebih organ akhir disebut sebagai sepsis berat
sementara ketidakstabilan hemodinamik meskipun telah diberikan cairan
intravaskuler disebut syok sepsis. Keduanya merupakan bagian dari suatu rentang
fisiologis dimana keseimbangan antara respon proinflamasi dan antiinflamasi
tubuh semakin memburuk.
Secara objektif, SIRS ini diidentifikasi dari dua kriteria di bawah ini :
a. Suhu tubuh > 38 °C atau < 36 °C.
b. Denyut jantung > 90x/menit
c. Laju pernapasan > 20x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
d. Jumlah leukosit > 12000 atau < 4000/mikroliter atau > 10% bentuk imatur
(batang)
Pasien dapat disebut mengalami SIRS apabila memiliki minimal 2 tanda dari
keempat tanda diatas.
Pada kasus, pasien mengalami SIRS dibuktikan dengan adanya gejala yang
mendukung untuk menegakkan diagnosa SIRS yaitu adanya takipnea (RR
26x/menit) dan takikardi (HR 114x/menit) pada pasien. Selain itu, kadar
procalcitonin pasien juga meningkat yaitu mencapai 1,68. Hal ini menunjukkan
39
bahwa kadar procalcitonin pasien tinggi dan mengindikasikan adanya infeksi
sistemik. Kemudian, pada kasus ditemukan adanya sekret berwarna kuning dan
kemerahan. Sekret berwarna kuning disebabkan oleh infeksi bakteri di saluran
pernapasan yang berasal dari pneumonia yang dialami pasien. Keberadaan infeksi
bakteri menyebabkan tubuh mengaktifkan respon pertahanan tubuh dengan
meningkatkan jumlah leukosit. Pada kasus ini, jumlah leukosit pasien telah
melampaui ambang batas normal yang ditetapkan yaitu sekitar 12.103. Hal ini
mengindikasikan bahwa pasien mungkin mengalami sepsis karena tubuh merespon
infeksi bakteri di saluran pernapasan dengan mekanisme pertahanan yang
berlebihan. Selain itu, penggunaan ventilator, selang NGT dan kateter dalam
jangka panjang juga memiliki resiko tinggi terjadinya sepsis (Jodjana dkk, 2021).
3) Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Acute Respiratory Distress Syndrome merupakan keadaan umum yang berasal
dari gangguan pada paru-paru dan organ-organ di luar paru-paru, serta membawa
risiko tinggi terhadap kematian dan dampak kesehatan yang serius. Dalam konteks
ini, ARDS didefinisikan sebagai penumpukan cairan di paru-paru yang bukan
disebabkan oleh masalah jantung, melainkan oleh peradangan yang meningkatkan
permeabilitas membran kapiler. Hal ini mengakibatkan gangguan dalam proses
oksigenasi dan pertukaran gas, yang bermanifestasi sebagai penurunan kadar
oksigen dalam darah (hipoksemia) dan adanya infiltrat pada kedua sisi paru-paru.
Penyebab umum dari ARDS ini adalah bakteremia, sepsis, trauma, luka bakar,
reaksi terhadap transfusi masif, pneumonia, aspirasi, pankreatitis berat, hampir
tenggelam dan emboli lemak.
ARDS dapat ditegakkan diagnosa secara klinis dengan mengacu pada kriteria
diagnostik Berlin, yang melibatkan beberapa aspek :
1) Kemunculan gejala pernapasan baru dalam waktu satu minggu setelah adanya
penghinaan klinis yang dapat dipastikan.
2) Terdapat kekeruhan bilateral pada hasil radiografi dada atau computed
tomography, yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi lain seperti
kolaps paru-paru, efusi pleura, atau nodul paru.
3) Kegagalan pernapasan yang tidak dapat sepenuhnya diatribusikan pada edema
paru kardiogenik atau kelebihan cairan. Penilaian objektif, seperti
ekokardiografi, diperlukan untuk mengesampingkan disfungsi ventrikel kiri dan

40
edema hidrostatik, asalkan tidak ada faktor risiko lain yang dapat memicu
ARDS.
4) Hipoksemia didefinisikan sebagai rasio tekanan oksigen arteri parsial terhadap
fraksi inspirasi oksigen (PaO2 / FiO2) kurang dari atau sama dengan 300
mmHg.
Tingkat keparahan ARDS diklasifikasikan berdasarkan rasio PaO2 / FiO2 pada
ventilator mekanis dengan tingkat tekanan ekspirasi akhir positif minimum (PEEP)
atau tekanan saluran napas positif kontinu 5 cm air. Klasifikasi tersebut mencakup
tingkat ringan (rasio PaO2 / FiO2 kurang dari atau sama dengan 300 tetapi lebih
besar dari 200), tingkat sedang (rasio PAO2 / FiO2 kurang dari atau sama dengan
200 tetapi lebih besar dari 100), dan tingkat berat (PaO2 / FiO2 kurang dari atau
sama dengan 100 mmHg).
Pada kasus dijelaskan mengenai data pasien antara lain :
● PO2 pasien : 75,3 mmHg
● FiO2 pasien : 72% atau senilai dengan 0,72
● PEEP pasien :6
● PF Ratio : PO2/FiO2
: 75,3/0,72
: 104,58 atau 104,6
Sehingga pada hasil perhitungan tersebut menyimpulkan bahwa pasien
mengalami ARDS sedang dan beresiko untuk mengalami ARDS tingkat berat.

2.5 Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan

Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan

Data Subjektif : -

Data Objektif :
- Terpasang ET pada Bersihan Jalan Napas
Hipersekresi Jalan Napas
pasien Tidak Efektif
- Terdapat sekret
berwarna kuning
dan kemerahan

41
pada ET pasien
- Terdengar suara
gurgling pada
mulut pasien
- Terdengar suara
tambahan ronchi
pada paru pasien.
- RR pasien
terbilang cepat
yaitu 26x/menit

Data Subjektif : -

Data Objektif :
- Pasien mengalami
gagal napas
dengan RR
26x/menit
- SpO2 90%
- CRT > 2 detik Perubahan membran
Gangguan Pertukaran Gas
- Suara nafas alveolus - kapiler
tambahan ronchi
- pO2 menurun
(75,3 mmHg)
- pH arteri
meningkat (7,466)
- Rontgen
menunjukkan
adanya pneumonia

Data Subjektif : - Sindrom respons


inflamasi sistemik
Resiko Syok Sepsis
Data Objektif : (systemic inflammatory
- Leukosit response syndrome

42
meningkat [SIRS])
(12.103)
- Nadi 114x/menit
- RR 26x/menit
- CRT > 2 detik
- Procalcitonin (1,68
mg/L)

2.6 Diagnosa Keperawatan


1) Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif b.d Hipersekresi Jalan Napas (SDKI D. 0001)
2) Gangguan Pertukaran Gas b.d Perubahan Membran Alveolus-Kapiler (SDKI D.
0003)
3) Resiko Syok Sepsis b.d Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (systemic
inflammatory response syndrome [SIRS])

43
2.7 Intervensi Keperawatan

Diagnosa
Tujuan Keperawatan Intervensi Keperawatan Rasionalisasi Intervensi Keperawatan
Keperawatan

Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas Manajemen Jalan Napas


intervensi keperawatan (SIKI I.01011) (SIKI I.01011)
selama 3x24 jam, Observasi
Observasi
diharapkan bersihan ● Memantau pola napas membantu dalam
● Monitor pola napas (frekuensi,
jalan napas meningkat mengevaluasi keefektifan fungsi pernapasan
kedalaman, usaha napas)
(SLKI L. 01002), pasien. Hal ini meliputi frekuensi ,
● Monitor bunyi napas tambahan
Bersihan Jalan dengan kriteria hasil : kedalaman, dan usaha napas
(misalnya: gurgling, mengi,
Napas Tidak 1. Sekret berwarna ● Memantau bunyi napas tambahan membantu
wheezing, ronchi kering)
Efektif kuning kemerahan dalam mengevaluasi adanya suara tambahan
● Monitor sputum (jumlah, warna,
(SDKI D. 0001) menurun atau abnormalitas yang mungkin terjadi
aroma)
2. Suara gurgling selama proses pernapasan.
menurun Terapeutik ● Mengamati sputum yang dihasilkan oleh
3. Suara ronchi ● Pertahankan kepatenan jalan nafas pasien untuk mendeteksi perubahan yang
menurun dengan memonitor kekuatan posisi bisa menjadi petunjuk penting tentang

ET kondisi pernapasan

● Posisikan semi-fowler atau fowler Teraupetik

44
● Lakukan penghisapan lendir ● Membantu memperluas ruang paru-paru
kurang dari 15 detik sehingga memungkinkan ventilasi yang
● Lakukan hiperoksigenasi sebelum lebih baik.
penghisapan endotrakeal ● Membantu pasien dalam bernapas dengan
● Lakukan penghisapan sekret lebih baik dan mencegah penumpukan lendir
endotrakeal yang bisa menghambat fungsi pernapasan.

● Berikan oksigen, jika perlu ● Membantu dalam menjaga kadar oksigen


dalam darah pasien, mengurangi risiko
Kolaborasi terjadinya hipoksia setelah prosedur selesai.
● Kolaborasi pemberian ● Membantu meningkatkan kadar oksigen
bronkodilator, ekspektoran, dalam darah pasien
mukolitik, jika perlu. Kolaborasi
● Membantu mengencerkan lendir,
memudahkan pasien untuk
mengeluarkannya dengan batuk.

Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi Pemantauan Respirasi (SIKI I. 01014)


Gangguan
intervensi keperawatan (SIKI I. 01014)
Pertukaran Gas
selama 3x24 jam, Observasi
(SDKI D.0003)
diharapkan pertukaran Observasi ● Memantau parameter pernapasan membantu

45
gas meningkat (SLKI ● Monitor frekuensi, irama, mengidentifikasi masalah pernapasan
L. 01003), dengan kedalaman dan upaya napas ● Mengidentifikasi masalah dalam
kriteria hasil : ● Monitor kemampuan batuk efektif kemampuan batuk dapat membantu
1. Gagal nafas ● Monitor adanya sputum mencegah komplikasi pernapasan
menurun ● Monitor adanya sumbatan jalan ● Memantau sputum membantu dalam
2. Suara ronchi napas penilaian tingkat infeksi dan jenis organisme
menurun ● Auskultasi bunyi napas penyebabnya.
3. Takikardi menurun ● Monitor saturasi oksigen ● Memantau tanda-tanda sumbatan jalan
4. SpO2 meningkat ● Monitor nilai AGD napas dapat membantu dalam deteksi dini
5. CRT membaik ● Palpasi kesimetrisan ekspansi paru kondisi yang dapat menyebabkan gangguan
6. PO2 membaik Terapeutik pernapasan
7. pH arteri membaik ● Atur interval pemantauan respirasi ● Auskultasi memberikan informasi langsung
sesuai kondisi pasien tentang kondisi dan fungsi saluran napas
● Dokumentasikan hasil ● Saturasi oksigen (SpO2) mencerminkan
pemantauan persentase hemoglobin yang terikat dengan
Edukasi oksigen dalam darah
● Jelaskan tujuan dan prosedur ● AGD memberikan informasi langsung
pemantauan tentang tingkat oksigen (PaO2) dan
● Informasikan hasil pemantauan karbondioksida (PaCO2) dalam darah
jika perlu ● Memberikan informasi tentang fungsi paru-
paru dan potensi adanya gangguan atau

46
pembatasan pernapasan.
Terapeutik
● Menetapkan interval pemantauan yang tepat
memungkinkan evaluasi yang teratur
terhadap fungsi pernapasan pasien
● Menyediakan informasi yang jelas dan
akurat kepada tim perawatan yang
berpartisipasi dalam pengelolaan pasien
Edukasi
● Memantau bertujuan untuk mengevaluasi
dan memahami kondisi pasien, termasuk
tanda dan gejala klinis
● Memberikan informasi hasil pemantauan
memungkinkan komunikasi yang efektif
antar anggota tim perawatan

Manajemen Ventilasi Mekanik


Manajemen Ventilasi Mekanik (SIKI I. 01013)
(SIKI I. 01013) Observasi
Observasi ● Membantu mengidentifikasi kondisi pasien
● Periksa indikasi ventilator yang mengalami kesulitan bernapas atau

47
mekanik (mis: kelelahan otot memerlukan bantuan pernapasan tambahan
napas, disfungsi neurologis, ● Membantu mengevaluasi seberapa efektif
asidosis respiratorik) ventilator dalam meningkatkan tingkat
● Monitor efek ventilator terhadap oksigen dalam darah
status oksigenasi (mis: bunyi paru, ● Membantu mendeteksi komplikasi atau
X-ray paru, AGD, SaO2, SVO₂, dampak buruk yang mungkin terjadi akibat
ETCO₂, respon subyektif pasien) penggunaan ventilator
● Monitor efek negatif ventilator ● Membantu mendeteksi tanda-tanda
(mis: deviasi trakea, barotrauma, peningkatan stres pada sistem pernapasan,
volutrauma, penurunan curah yang bisa mengindikasikan kesulitan
jantung, distensi gaster, emfisema pernapasan
subkutan) ● Membantu mendeteksi kondisi yang bisa
● Monitor gejala peningkatan meningkatkan kebutuhan oksigen pasien
pernapasan (mis: peningkatan ● Untuk mendeteksi adanya komplikasi
denyut jantung atau pernapasan, seperti infeksi, iritasi, atau perubahan yang
peningkatan tekanan darah, dapat mempengaruhi pernapasan pasien
diaforesis, perubahan status Teraupetik
mental) ● Mengurangi risiko aspirasi, yaitu masuknya
● Monitor kondisi yang bahan atau cairan ke saluran pernapasan
meningkatkan konsumsi oksigen ● Membantu dalam mencegah infeksi mulut,
(mis: demam, menggigil, kejang, penyebaran bakteri, dan gangguan pada

48
dan nyeri) kesehatan mulut dan gigi pasien
● Monitor gangguan mukosa oral, ● Membantu mengatasi penumpukan lendir,
nasal, trakea dan laring memfasilitasi pembuangan lendir dari paru-
Terapeutik paru
● Atur posisi kepala 45-60° untuk ● Membantu untuk membersihkan saluran
mencegah aspirasi Reposisi pasien napas dari lendir yang dapat mengganggu
setiap 2 jam, jika perlu pernapasan pasien
● Lakukan perawatan mulut secara ● Membantu dalam mencegah resiko infeksi
rutin, termasuk sikat gigi setiap 12 pada pasien yang menggunakan alat bantu
jam pernapasan.
● Lakukan fisioterapi dada, jika ● Memantau perubahan kondisi pasien,
perlu mengevaluasi efektivitas pengaturan
● Lakukan penghisapan lendir ventilator
sesuai kebutuhan Kolaborasi
● Ganti sirkuit ventilator setiap 24 ● Memberikan bantuan pernapasan yang
jam optimal sesuai dengan kebutuhan pasien
● Siapkan bag-valve mask di ● Membantu mengurangi stres dan
samping tempat tidur Berikan ketidaknyamanan pasien, serta
media untuk berkomunikasi (mis: meningkatkan kepatuhan pasien terhadap
kertas, pulpen) ventilator.
● Dokumentasikan respon terhadap ● Mempertahankan atau meningkatkan

49
ventilator ventilasi alveolus pada pasien dengan
Kolaborasi kondisi pernapasan yang rentan terhadap
● Kolaborasi pemilihan mode hipoventilasi, sehingga mencegah
ventilator (mis: kontrol volume, atelektasis dan komplikasi pernapasan lain
kontrol tekanan atau gabungan)
● Kolaborasi pemberian agen
pelumpuh otot, sedatif, analgesik,
sesuai kebutuhan
● Kolaborasi penggunaan PS atau
PEEP untuk meminimalkan
hipoventilasi alveolus

Resiko Syok Setelah dilakukan Pencegahan Syok Pencegahan Syok


Sepsis (SDKI intervensi keperawatan (SIKI I. 02068) (SIKI I. 02068)
D.0039) selama 3x24 jam, Observasi Observasi
diharapkan tingkat syok
● Agar syok dapat ditangani sejak awal dan
menurun (SLKI ● Monitor status kardiopulmonal
tidak mengakibatkan kematian.
L.03032), dengan (frekuensi dan kekuatan nadi,
● Karena alergi juga dapat menimbulkan
kriteria hasil : frekuensi nafas, TD, MAP)
syok.
1. Tekanan arteri rata- ● Monitor status oksigenasi
● Agar penyebabnya langsung diatasi dan

50
rata membaik (oksimetri nadi, AGD) terhindar dari syok.
2. Tekanan darah ● Monitor status cairan (masukan
sistolik membaik dan haluaran, turgor kulit, CRT)
3. Tekanan darah ● Monitor tingkat kesadaran dan
diastolik membaik respon pupil
4. Pengisian kapiler ● Periksa Riwayat alergi
membaik
5. Frekuensi nadi Terapeutik Terapeutik
membaik
● Berikan oksigen untuk ● Agar klien dapat memenuhi kebutuhan
6. Frekuensi nafas
mempertahankan saturasi oksigen bernafasnya
membaik
> 94% ● Agar kebutuhan cairan terpenuhi syok pun
● Persiapkan intubasi dan ventilasi tidak terjadi.
mekanis, jika perlu ● Karena oksigen adalah salah satu kebutuhan
● Pasang jalur IV, jika perlu dasar manusia
● Pasang kateter urin untuk menilai
produksi urin, jika perlu
● Lakukan skin test untuk mencegah
reaksi alergi

Edukasi Edukasi

51
● Agar pasien dapat berhati-hati dan agar
● Jelaskan penyebab/faktor risiko terhindar dari syok.
syok ● Agar keluarga juga dapat mengantisipasi
● Jelaskan tanda dan gejala awal dan melakukan pertolongan pertama
syok terhadap syok.
● Anjurkan melapor jika ● Agar keluarga mengetahui apa yang harus
menemukan/ merasakan tanda dan dilakukan apabila terjadi syok
gejala awal syok
● Anjurkan memperbanyak asupan
cairan oral
● Anjurkan menghindari alergen
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian IV, jika
perlu
● Kolaborasi pemberian transfusi
darah, jika perlu
● Kolaborasi pemberian anti
inflamasi, jika perlu

52
2.8 Pathway

53
54
BAB III PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kondisi yang kompleks dengan diagnosis Guillain Barre Syndrome yang
menyebabkan gagal nafas. Meskipun kesadaran pasien masih baik, pemeriksaan fisik
dan hasil tes menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan seperti secret di ET,
peningkatan frekuensi pernapasan, rendahnya saturasi oksigen, serta pneumonia yang
terkonfirmasi dari hasil rontgen dada. Hasil laboratorium menunjukkan penurunan
kadar hemoglobin, albumin rendah, ketidakseimbangan elektrolit, dan peningkatan
procalcitonin yang mengindikasikan infeksi. Analisis gas darah arteri menunjukkan
adanya gangguan respirasi asidosis dengan kompensasi metabolik yang mencolok.
Kombinasi dari penyakit yang mendasari, gangguan pernapasan, dan infeksi menuntut
penanganan yang komprehensif. Dalam menangani kasus Ny Susan, Tindakan segera
melibatkan penyesuaian ventilator dan Pemantauan kontinu terhadap tingkat kesadaran
dan respons terhadap stimulus, bersama dengan, diharapkan dapat memperbaiki kondisi
kesehatan Ny Susan, mengurangi risiko komplikasi, dan memastikan pemulihan yang
optimal

55
DAFTAR PUSTAKA

ANGGRAINI, P., RUSDI, R., & ILYAS, E. I. (2015). Kadar Na+, K+, Cl-, Dan
Kalsium Total Serum Darah Serta Hubungannya Dengan Tekanan Darah Pada
Penderita Hipertensi. Bioma, 11(1), 50-66.

Chakraborty, R. K., & Burns, B. (2023). Systemic Inflammatory Response Syndrome.


In StatPearls. StatPearls Publishing.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK547669/

Decoding Blood Tests: A GoodRx Guide to Lab Results—GoodRx. (n.d.). Retrieved


November 12, 2023, from https://www-goodrx-com.translate.goog/health-
topic/diagnostics/blood-test-
guide?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc&_x_tr_hist=true

Evans, T. W. Review article: Albumin as drug-biological effects of albumin unrelated


to oncotic pressure.(2002) Aliment Pharmacol Ther 5: 6-11. Pubmed| Crossref|
Others.

Gandini, N., Dwi W, B., & Hariono, R. (2023). GAMBARAN SATURASI OKSIGEN
HIGH FLOW NASAL CANNULA PADA PASIEN GAGAL NAFAS DI RUANG
INTENSIF RSUD BANGIL (Doctoral dissertation).

Hedi, B., Fitri, E. Y., & Hikayati. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG


BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SYSTEMIC INFLAMMATORY
RESPONSE SYNDROME DI RUANG ICU RSUD LAHAT. Jurnal
Keperawatan Sriwijaya, 4(1), Article 1.

Jodjana, E., & Adja, Y. M. I. W. O. (2022). Sindrom Guillain-Barre dengan Komplikasi


( Gagal Nafas, Henti Jantung dan Sepsis). AKSONA, 1(2), 81–91.
https://doi.org/10.20473/aksona.v1i2.14

Mahapatra, S., & Heffner, A. C. (2023). Septic Shock. In StatPearls [Internet].


StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430939/

Marantuan, R. S. (2021). Penatalaksanaan Acute Respiratory Distress Syndrome


(ARDS). Retrieved Mei 2023, from respiratory.uki.ac.id:

56
http://repository.uki.ac.id/9664/1/BahanKuliahPenatalaksanaanAcuteRespirato
ryDistressSyndrome.pdf

Metabolic Alkalosis: Nursing Diagnoses, Care Plans, Assessment & Interventions.


(2023, January 19). NurseTogether. https://www.nursetogether.com/metabolic-
alkalosis-nursing-diagnosis-care-plan/

Meilanie, A. D. R. (2019). Different of hematocrit value microhematocrit methods and


automatic methods in dengue hemorrhagic patients with hemoconcentration.
Journal of Vocational Health Studies, 3(2), 67-71.

MUTIA, A. (2019). Gambaran Kadar Hemoglobin pada Petani yang Terpapar Pestisida
di Desa Cinta Rakyat Dusun 1 Kecamatan Percut Sei Tuan.

Monoarfa, S., & Yunus, P. (2023). PENERAPAN PERAWATAN ENDOTRACHEAL


TUBE PADA PASIEN DENGAN PENURUNAN KESADARAN DI RUANG
ICU RSUD PROF. DR ALOEI SABOE KOTA GORONTALO. Intan Husada:
Jurnal Ilmiah Keperawatan, 11(02), 105-113.

Noviyanti, D. W. (2022). Hubungan Lama Penggunaan Ventilator Mekanik Dengan


Mortalitas Di Intensive Care Unit (Icu) Rsud Dr. H. Abdul Moeloek.

Prabakaran, M. (2017). Analisis Gas Darah Dan Aplikasi Diklinik.

Puspitasari, P., Aliviameita, A., Rinata, E., & Salim, S. Z. (2021, May). Korelasi Antara
Kadar C-Reactive Protein dengan Procalcitonin Pada Pasien Terkonfirmasi
Covid-19. In Prosiding University Research Colloquium (pp. 954-957).

Purwanto, D. S., & Astrawinata, D. (2018). Mekanisme Kompleks Sepsis dan Syok
Septik. JURNAL BIOMEDIK, 10(3).
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/21979

Ristanto, R. (2017). Hubungan Respiratory Rate (RR) dan Oxygen Saturation (SpO2)
Pada Klien Cedera Kepala. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, 5(2), 85-90.

Rahmawati, R. (2021). HUBUNGAN KADAR MAGNESIUM SERUM DENGAN


FREKUENSI SERANGAN DAN INTENSITAS NYERI PADA MIGRAIN
EPISODIK (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).

57
Rohmah, D. N. (2020). Management Kasus Gagal Nafas Pada Penyakit Pneumonia : A
Literature Review. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan, Vol 13 (1) Hal 22-30.
Sudadi, S. R. (2017). Penatalaksanaan Guillain Bare Syndrome Di ICU

Tutik, S. N. (2019). Pemeriksaan kesehatan Hemoglobin di Posyandu lanjut usia


(lansia) pekon tulung agung Puskesmas Gadingrejo Pringsewu. Jurnal
Pengabdian Farmasi Malahayati Vol, 2(2), 20-25.

Utami, R. S. (2017). Pengalaman Perawat dalam Proses Penyapihan Ventilator di


Ruang ICU RSUD dr Adyatma Semarang (Doctoral dissertation, Faculty of
Medicine).

Wayan, A. M. (2019). Penatalaksanaan Guillain Barre Syndromr Di ICU.

Zayed, Y., & Askari, R. (2023). Respiratory Distress Syndrome. In StatPearls.


StatPearls Publishing. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538311/

Lampiran
NASKAH ROLEPLAY

58
Di Rumah Sakit Medika terdapat pasien bernama Ny Susan usia 51 tahun dirawat
di ICU hari ke 1 karena mengalami gagal nafas dengan diagnosa medis Guillain Barre
Syndrome.

Tindakan BGA

Perawat : mempersiapkan alat ke dekat pasien dan mencuci tangan serta memakai handscoon
Perawat : selamat pagi bu,permisi saya izin cek gelang pasien ya ibu?
Pasien: " mengangguk"
Perawat: "Oh iya baik dengan ibu susan, Sebelumnya perkenalkan, saya perawat fatur yang
bertugas pada shift pagi ini mulai pukul 08.00 hingga pukul 14.00 siang nanti. Berdasarkan
hasil pengkajian kemarin, ibu dianjurkan dokter untuk melakukan pemeriksaan gas darah
dengan tujuan Untuk mengukur jumlah oksigen dan karbon dioksida dalam darah, untuk
kontrak waktunya sekitar sepuluh menit apakah ibu bersedia?
Pasien : "mengangguk" (Perawat menutup tirai)
Perawat:" karna ibu bersedia,sebelumnya saya akan melakukan allen test untuk mengetahui
dimana kepatenan arteri ibu ya"
Pasien : " mengangguk"
Perawat:" mungkin nanti sedikit terasa tidak nyaman ya ibu, baik kalau begitu saya mulai
tindakannya"
Perawat melakukan tindakan BGA
Perawat: " Baik untuk tidakannya sudah selesai ya ibu, nanti saya akan cek kondisi ibu secara
berkala ya, kalau begitu saya permisi ibu, semoga ibu cepat sehat ya bu"

Tindakan Suction Dan Oral Care


Perawat : “Assalamualaikum, selamat pagi ibu”
Pasien : “(Mengangguk)”
Perawat : “Saya izin memperkenalkan diri nggih ibu, saya perawat Feni dan rekan saya perawat
Hanif yang bertugas pada shift pagi ini hingga siang nanti. Sebelumnya, apakah benar ini
dengan ibu Susan??”
Pasien : “(Mengangguk)”
Perawat : “Boleh saya cek gelang pasiennya ya bu? (sambil mengecek)”
Perawat : “Oke sudah benar nggih pak”

59
Perawat : “Baik kalau begitu jadwal kita hari ini adalah Oral Care atau pembersihan mulut ya
bu untuk menjaga kebersihan mulut ibu Susan, dan dilanjutkan dengan Tindakan suction. Nah
Tindakan ini dilakukan karena adanya sumbatan pada saluran ET. Jadi dilakukan suction itu
untuk menyedot secret atau lendir yang ada di saluran pernapasan ibu supaya napasnya lebih
enak dan nyaman ya bu.”
Pasien: “(mengangguk)”
Perawat : “Baik Ibu, kalau begitu saya persiapkan alat-alatnya dulu ya”. (mempersiapkan alat)
Perawat : “Baik ibu kita lakukan tindakan suction terlebih dahulu, apakah ibu sudah siap?
Pasien: mengangguk”
Perawat : (Mulai melakukan Tindakan)
Perawat : “Baik ibu, Tindakan suctionnya sudah selasai. Selanjutanya kita melakukan Tindakan
Oral Care yang akan dilakukan oleh perawat Hanif. apakah ibu sudah siap?”
Pasien: “(mengangguk)”
Perawat 2 : Permisi pak, saya perawat hanif, tadi sudah dijelaskaan ya mengenai tindakan yang
akan dilakukan sekarang yaitu oral care. untuk menyingkat waktu bisa bisa langsung dilakukan
saja ya bu. Apakah ibu sudah siap?
Pasien : “(mengangguk)”
Perawat 2 : “Bisa dibuka mulutnya ya bu?” (melakuakn Tindakan)

Perawat 2 : “Oke bu, sudah selesai tindakanya, bagaimana apakah ibu merasa lebih nyaman
setelah dilakukan Tindakan suction dan oral care?”

Pasien : “(Mengangguk)”

Perawat 2 : “Baik, kalau begitu saya ijin pamit ya bu. nanti akan dilakukan pengecekan secara
berkala. Terimakasih”

60

Anda mungkin juga menyukai