Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN

ESSAY – KEGAWATDARURATAN PERNAPASAN


BLOK EMERGENCY

DISUSUN OLEH :

Nama : Astrid Cinthara Paramita Duarsa

Kelas/Kelompok : B/SGD 8

NIM : 019.06.0010

Pengampu : dr. Rizky Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2021/2022

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kegawatdaruratan merupakan suatu kejadian yang tiba-tiba menuntut tindakan


segera yang mungkin karena epidemi, kejadian alam, untuk bencana teknologi,
perselisihan atau kejadian yang disebabkan oleh manusia (WHO, 2012 dalam Putri
dkk, 2019). Kondisi gawat darurat dapat terjadi akibat dari trauma atau non trauma
yang mengakibatkan henti nafas, henti jantung, kerusakan organ dan atau perdarahan.
Kegawatdaruratan bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja, biasanya berlangsung
secara cepat dan tiba-tiba sehingga tak seorangpun dapat memprediksikan. Oleh sebab
itu, pelayanan kedaruratan medik yang tepat dan segera sangat dibutuhkan agar
kondisi kegawatdaruratan dapat diatasi. Dengan pemahaman yang utuh tentang
konsep dasar gawat darurat, maka angka kematian dan kecacatan dapat ditekan
serendah mungkin (Sudiharto, 2013 dalam Putri dkk, 2019).

Sistem pernapasan adalah sistem yang sangat penting dan merupakan proses
vital untuk kehidupan manusia. Semua sel hidup membutuhkan suplai oksigen yang
konstan agar dapat mempertahankan metabolisme. Oksigen yang terdapat di udara
akan masuk ke dalam sistem respirasi (Manaba, 2019). Sistem ini selalu terpapar ke
dunia luar terhadap dunia luar yang menyebabkan kerentanan sistem ini untuk
mengalami gangguan (Syarifuddin & Tryanni, 2018). Pasien yang mengalami
masalah sistem pernapasan dapat dengan cepat mengalami dekompensasi. Salah satu
yang membahayakan kondisi pasien dan mengancam jiwa adalah obstruksi jalan
napas. Obstruksi jalan napas dapat menyebabkan penurunan Pa0₂ dan risiko
kerusakan hipoksik pada otak, ginjal, dan henti jantung bahkan kematian (Jevon &
Ewens, 2011). Pasien yang mengalami dispnea berat, takipnea, nyeri dada, dan tanda-
tanda gawat pernapasan akut lainnya perlu tindakan kegawatdaruratan medis dengan
cepat dan tepat (Pamela, 2020).

Gangguan sistem respirasi masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas.


Gangguan ini menyebabkan angka kematian ke-tiga tersering di dunia, setelah
gangguan jantung dan kanker (Syarifuddin & Tryanni, 2013). Berdasarkan data
tentang prevalensi kasus penyakit paru dan respirasi, seperti COVID-19, gagal napas,
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), pneumothorax, efusi pleura dan penyakit paru
lainnya menunjukan bahwa masih tingginya angka kejadian yang ada (Permenkes,
2015).

Pasien dengan kasus paru dan respirasi yang masuk di RS membutuhkan


penanganan yang baik dan tepat (Permenkes, 2015). Pelayanan pasien gawat darurat
memegang peranan penting bahwa waktu adalah nyawa (Time saving is life saving)
(Fadhilah, Harahap, & Lestari, 2015). Pada pasien dengan gangguan respirasi dapat
kehilangan nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas 2-3 menit pada
manusia dapat mengakibatkan kematian yang fatal (Dahliana, 2015). Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar
pelayanan minimal rumah sakit menyatakan ada beberapa indikator mutu pelayanan
rumah sakit khususnya dibagian Instalasi Gawat Darurat salah satunya yaitu waktu
tanggap atau response time (Kepmenkes 2008). Response Time adalah kecepatan
penanganan pasien, dihitung sejak pasien datang sampai dilakukan penanganan
(Kepmenkes 2011). Pasien gawat darurat harus ditangani 5 (lima menit) setelah
sampai di IGD (Kepmenkes, 2009). Melihat hal ini, membuat saya sebagai
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar terdorong untuk
mempelajari lebih lanjut guna kebermanfaatan dalam pembelajaran emergency dalam
bidang pernapasan yang mumpuni.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. COVID 19
Covid19 merupakan penyakit yang disebabkan corona virus jenis baru (SARSCoV-2)
di akhir tahun 2019, pada bulan desember, wabah ini pertama kali terdeteksi di Wuhan,
Provinsi Hubei, China. Sebagian besar pasien pneumonia ini berasal dari pedagang asongan
di pasar China Selatan di Wuhan. Pada 7 januari 2020, para peneliti berhasil menentukan
penyebab pneumonia ini, virus corona baru. Organisasi kesehatan dunia secara resmi
menamai penyakit ini COVID-19 (Coronavirus Disease 2019), dan nama virusnya adalah
SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2.

1. Pengertian

Virus corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARSCoV-2)


adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut
Covid 19. Virus corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi
paru- paru yang berat, hingga kematian. Severe acute respiratory syndrome corona virus 2
(SARS- CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama virus corona adalah jenis baru dari corona
virus yang menular ke manusia. Virus ini bisa menyerang siapa saja, baik bayi, anak-anak,
orang dewasa, lansia, ibu hamil, maupun ibu menyusui(Handayani, 2020). Corona virus
adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem pernapasan(Kemenkes, 2020).

2. Manifestasi Klinis

Gejala klinis umum yang terjadi pada pasien Covid19, diantaranya yaitu demam,
batuk kering, dispnea, fatigue, nyeri otot, dan sakit kepala (Lapostolle dkk, 2020).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk (2020), gejala klinis yang paling
sering terjadi pada pasien Covid19 yaitu demam (98%), batuk (76%), dan myalgia atau
kelemahan (44%). Gejala lain yang terdapat pada pasien, namun tidak begitu sering
ditemukan yaitu produksi sputum (28%), sakit kepala 8%, batuk darah 5%, dan diare 3%,
sebanyak 55% dari pasien yang diteliti mengalami dispnea.

Gejala klinis yang melibatkan saluran pencernaan juga dilaporkan oleh Kumar dkk
(2020). Sakit abdominal merupakan indikator keparahan pasien 8 dengan infeksi Covid19.
Sebanyak 2,7% pasien mengalami sakit abdominal, 7,8% pasien mengalami diare, 5,6%
pasien mengalami mual dan/atau muntah.

Computerised Tomographytoraks (CT toraks) pada pasien dengan Covid19 pada


umumnya memperlihatkan opasifikasi ground-glass dengan atau tanpa gabungan
abnormalitas. CT toraks mengalami abnormalitas bilateral, distribusi perifer, dan melibatkan
lobus bawah. Penebalan pleural, efusi pleura, dan limfadenopati merupakan penemuan yang
jarang didapatkan (Gennaro dkk, 2020).

Individu yang terinfeksi namun tanpa gejala dapat menjadi sumber penularan SARS-
CoV-2 dan beberapa diantaranya mengalami progres yang cepat, bahkan dapat berakhir pada
ARDS dengan case fatality rate tinggi (Meng dkk, 2020). Penelitian yang dilakukan oleh
Meng dkk tahun 2020 menunjukkan bahwa dari 58 pasien tanpa gejala yang dites positif
Covid19 pada saat masuk RS, seluruhnya memiliki gambaran CT-Scan toraks abnormal.
Penemuan tersebut berupa gambaran opasitas ground-glass dengan distribusi perifer, lokasi
unilateral, dan paling sering mengenai dua lobus paru. Setelah follow up dalam jangka waktu
singkat, 27,6% pasien yang sebelumnya asimptomatik mulai menunjukkan gejala berupa
demam, batuk, dan fatigue.

3. Penularan

Penularan ini terjadi umumnya melalui droplet dan kontak dengan virus kemudian
virus dapat masuk ke dalam mukosa yang terbuka. Suatu analisis mencoba mengukur laju
penularan berdasarkan masa inkubasi, gejala dan durasi antara gejala dengan pasien yang
diisolasi. Analisis tersebut mendapatkan hasil penularan dari 1 pasien ke sekitar 3 orang di
sekitarnya, tetapi kemungkinan penularan di masa inkubasi menyebabkan masa kontak pasien
ke orang sekitar penularan lebih lama sehingga risiko jumlah kontak tertular dari 1 pasien
mungkin dapat lebih besar (Handayani, 2020).

4. Patofisiologis

Kebanyakan Covid 19 menginfeksi hewan dan bersirkulasi di hewan. Covid 19


menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan kemampuannya menyebabkan
penyakit berat pada hewan seperti babi, sapi, kuda, kucing dan ayam. Covid 19 disebut
dengan virus zoonotik yaitu virus yang ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak hewan
liar yang dapat membawa patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular
tertentu. Kelelawar, tikus bambu, unta dan musang merupakan host yang biasa ditemukan
untuk Covid 19. Covid 19 pada kelelawar merupakan sumber utama untuk kejadian severe
acute respiratorysyndrome (SARS) dan Middle East respiratory syndrome (MERS)
(PDPI,2020).

Covid 19 hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. Virus tidak bisa hidup
tanpa sel host. Berikut siklus dari Covid 19 setelah menemukan sel host sesuai tropismenya.
Pertama, penempelan dan masuk virus ke sel host diperantarai oleh Protein S yang ada
dipermukaan virus.5 Protein S penentu utama dalam menginfeksi spesies host-nya serta
penentu tropisnya (Huang dkk, 2020). Pada studi SARS-CoV protein S berikatan dengan
reseptor di sel host yaitu enzim ACE-2 (angiotensin-converting enzyme 2). ACE-2 dapat
ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar,
kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel enterosit
usus halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos. Setelah berhasil masuk selanjutnya
translasi replikasi gen dari RNA genom virus. Selanjutnya replikasi dan transkripsi dimana
sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap
selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus (Huang dkk, 2020).

Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi di
sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran
napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat
berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa
inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7 hari (PDPI, 2020).

5. Diagnosis

A. Kasus Suspek
1) Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis dan salah satu kriteria
epidemiologis dan kriterian klinis. Kriteria Klinis: demam akut : ≥
380C)/riwayat demam dan batuk, atau terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut
berikut: demam/riwayat demam, batuk, kelelahan (fatigue), sakit kepala,
myalgia, nyeri tenggorokan, coryza/ pilek/ hidung tersumbat, sesak nafas,
anoreksia/mual/munta, diare, penurunan kesadaran. Kriteria Epidemiologis:
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memilikiriwayat tinggal atau
bekerja di tempat berisiko tinggi penularan;, atau pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau berpergian di
negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi local, atau pada 14 hari
terakhir sebelum timbul gejala bekerja difasilitas pelayanan kesehatan, baik
melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta petugas yang melaksanakan
kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak, pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi/probable Covid19 (Handayani, 2020).
2) Seseorang dengan infeksi saluran pernafasan atas berat
3) Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan indra
penciuman) atau ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa) dengan tidak
ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi (Handayani, 2020).

B. Kasus Probable

Kasus suspek yang meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan Covid 19
dan memiliki salah satu kriteria sebagai berikut: tidak dilakukan pemeriksaan
laboratorium RT-PCR, hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR satu kali negatif dan
tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium RT-PCR yang kedua (Handayani, 2020).

C. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus Covid19 yang dibuktikan dengan
pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2 yaitu Kasus
konfirmasi dengan gejala (simptomatik) dan Kasus konfirmasi tanpa gejala
(asimptomatik) (Handayani, 2020).

D. Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi Covid19.
Riwayat kontak yang dimaksud antara lain (Handayani, 2020):
1. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi
dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.
2. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
3. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau
konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
4. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko
lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat.

6. Pengobatan
Pengobatan yang dapat dilakukan pada pasien corona virus disease masih
hanya sebatas memberikan obat sesuai dengan gejalanya. Jika gejalanya panas, maka
akan diberikan obat penurun panas. Sampai saat ini belum ditemukan obat untuk
menyembuhkan penyakit ini. salah satu cara agar terhindar dari virus ini adalah
dengan menjaga daya tahan tubuh agar tetap sehat (Burhan, 2020).

Rekomendasi terapi yang dapat diberikan adalah Nirmatrelvir-Ritonavir


(Paxlovid), Sotrovimab, Remdesivir, Molnupiravir. Pada kasus tertentu dengan
perburukan, pemberian reseptor IL-6 blocker, kortikosteroid, antibodi monoklonal
dan/atau albumin juga dinilai efektif mengurangi keparahan yang ditimbulkan. Selain
itu, meskipun terdapat mutasi pada spike protein yang menurunkan efektivitas
vaksinasi, pemberian vaksin dosis booster tetap direkomendasikan. Efektivitas vaksin
untuk menangkal varian Omicron ditemukan lebih tinggi pada penyintas COVID-19
yang telah memiliki antibodi sebelumnya.

7. Mutasi Virus

SARS-CoV-2 adalah virion berbentuk bulat dengan genom sepanjang 29.700


nukleotida. Dua pertiga dari genom dan poliprotein panjang ORF1ab, termasuk dalam bagian
ujung 5ˊ. Bagian ujung 3ˊ menyandi empat protein struktural utama, yaitu protein spike (S),
protein nukleokapsid (N), protein membran (M), dan protein envelope (E). Protein S terdiri
dari dua subunit fungsional, yaitu subunit S1 dan S2. Subunit S1 tersusun oleh N-terminal
domain (NTD) dan C-terminal domain (CTD). Subunit S1 terdiri dari domain S1A, S1B,
S1C, dan S1D. Domain S1A, bersinggungan dengan NTD, mengenali karbohidrat yang
dibutuhkan untuk perlekatan virus ke permukaan sel inang. Domain S1B merujuk kepada
receptor-binding domain (RBD) dari protein S SARSCoV-2, berinteraksi dengan reseptor
ACE2 manusia. RBD terletak di CTD. Domain yang terakhir berperan dalam proses
perlekatan virus ke reseptor sel inang. Sedangkan subunit S2 berfungsi dalam fusi membran.
Protein S adalah fragmen antigen potensial dalam pengembangan vaksin.

SARS-CoV-2 termasuk jenis virus RNA. Ketika beradaptasi dengan inang baru, yaitu
manusia, virus ini rentan terhadap evolusi genetik, atau dikenal dengan mutasi, sehingga
menghasilkan varian mutan yang berbeda karakter dari strain semula. Virus RNA
menggunakan polimerase RNA, yang secara intrinsik rentan terhadap kesalahan, dalam
proses replikasi sehingga tiap genom akan mengumpulkan berbagai mutasi setiap siklus
penyalinan. Maka dari itu, mutasi virus Corona bersifat masuk akal dan dapat diprediksi.
Mutasi adalah bagian dari siklus hidup virus RNA. Mutasi dapat membuat virus menjadi
lebih atau kurang virulen.
Beberapa kombinasi mutasi membentuk derivat atau turunan varian baru. Berikut
dibahas beberapa mutasi yang patut diperhatikan. Mutasi N501Y di RBD, mengakibatkan
afinitas lebih besar terhadap reseptor ACE2 manusia, yang dapat meningkatkan
transmisibilitas. Mutasi E484K dan E484Q dikaitkan dengan pelarian kekebalan. Mutasi
K417N dan K417T pada protein S terlibat dalam perubahan konformasi dan pelepasan
antibodi. Mutasi L452R di RBD mungkin terkait dengan transmisibilitas atau pelarian
kekebalan, terbukti dengan kekebalan virus dari terapi antibodi monoklonal bamlanivimab.
Sedangkan mutasi D69-70 dikaitkan dengan peningkatan infektivitas dan penurunan
netralisasi serum.

Variants of Concern (VoC) virus SARS-CoV-2 mengacu pada virus yang mengalami
peningkatan mutasi spike protein secara drastis. Peningkatan afinitas dalam kompleks domain
protein RBD dengan reseptor ACE2 pada manusia berkaitan dengan kecepatan penularan.

a) Alpha (B.1.1.7)
Sebanyak 47% dari perubahan genetik varian Alpha yang dilaporkan terjadi pada
protein S, termasuk RBD. Mutasi ini berperan dalam (i) mengubah interaksi
dengan reseptor ACE2 di manusia sehingga meningkatkan laju infeksi; (ii)
membahayakan efikasi dari antibodi penetralisir dan sel T spesifik yang
dikeluarkan saat infeksi maupun vaksinasi; atau (iii) mengubah sensitivitas
terhadap netralisasi oleh antibodi monoklonal atau serum dari pasien yang
sembuh, dan membahayakan efikasi dari pengobatan
b) Beta (B.1.351)

Varian Beta (B.1.351) memiliki kemampuan transmisi 1,5 kali lebih tinggi dari
strain referensi dan berpotensi meningkatkan laju fatalitas. Belum ada data terkait
gejala yang dijumpai pada varian ini. Secara demografis, varian ini dijumpai pada
pasien berusia muda. Satu studi menunjukkan reinfeksi oleh varian ini tidak
tergantung terhadap status serologi. Kemampuan mendeteksi materi virus oleh
RT-PCR maupun tes cepat diagnostik antigen tidak dipengaruhi oleh varian ini,
namun dilaporkan muatan viral varian ini cenderung tinggi.

c) Gamma (P.1)
Varian ini memiliki 17 mutasi non-sinonim: [L18F, T20N, P26S, D138Y, R190S,
K417T, E484K, N501Y, D614G, H655Y, T1027I, dan V1176F] pada protein S,
[S1188L, K1795Q, dan E5665D] di ORF1ab, [E92K] di ORF8, dan [P80K] di
protein N; 1 delesi: [SGF 3675-3677del] di ORF1ab; dan empat mutasi sinonim.
Gamma adalah varian SARS-CoV-2 yang mengakumulasi jumlah mutasi di
protein S terbanyak (12 mutasi). Varian ini diprediksi meningkatkan laju reinfeksi,
dan menurunkan efikasi dari terapi dan vaksin yang sudah tersedia sekarang.

d) Delta (B.1.617.2)
Terdapat mutasi D614G, substitusi pada posisi 614, yaitu substitusi asam aspartat
menjadi glisin, yang juga dimiliki oleh varian Alpha, Beta, dan Gamma. Mutasi
ini dikaitkan dengan angka transmisi yang tinggi. Mutasi L452R meningkatkan
afinitas protein S kepada reseptor ACE2 dan menurunkan kemampuan sistem
imun dalam mengenali virus. Mutasi P681R dapat meningkatkan infektivitas dari
varian.

e) Omicron (B.1.1.529)
Varian Omicron ditetapkan sebagai VoC karena Omicron memiliki beberapa
mutasi yang mungkin berdampak pada kecepatan penyebaran atau tingkat
keparahan penyakit yang ditimbulkan. Variasi protein spike ditentukan oleh 30
mutasi (15 diantaranya terjadi di RBD), 3 delesi, dan 1 minor insersi.

Karakteristik Variants Of Interests (VOI) dari SARS-COV-2

a) Lambda
Varian Lambda (C.37) memiliki mutasi delesi gen ORF1a (Δ3675-3677), yang
juga dijumpai pada varian Alpha, Beta, dan Gamma. Terdapat mutasi delesi baru
dan mutasi non-sinonim multipel pada protein S virus varian Lambda (Δ246-252,
G75V, T76I, L452Q, F490S, D614G, dan T859N).

b) Mu (B.1621)
Varian Mu (B.1.621) merupakan Variants of Interests dengan akumulasi berbagai
substitusi yang memengaruhi protein S, termasuk perubahan asam amino I95I,
Y144T, Y145S dan insersi 146 N pada NTD, R346K, E484K dan N501Y pada
RBD, serta P681H pada lokasi belahan S1/S2 di protein S. Peningkatan yang cepat
dengan frekuensi dan fiksasi dalam waktu relatif singkat di beberapa kota memberi
kesan dapat menimbulkan efek epidemiologis. Diperlukan studi lebih lanjut untuk
mengetahui efek varian ini secara biologis maupun epidemiologis.

Mutasi adalah hal yang tidak bisa dihindari pada virus, karena ia termasuk bagian dari
mekanisme pertahanan hidup virus. Sebagai konsekuensi dari mutasi, bermunculan berbagai
varian virus. Tidak semua mutasi meningkatkan kemampuan virus menginfeksi. Melihat
kondisi seperti ini, pandemi COVID-19 belumlah usai. Usaha terbaik yang dapat dilakukan
adalah mengurangi sirkulasi virus di lingkungan sekitar, dengan melakukan 5M (memakai
masker, mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, menjaga jarak, menghindari
kerumunan, dan mengurangi mobilisasi) serta memperluas cakupan vaksinasi COVID-19
agar tercapai kekebalan komunitas.

B. GAGAL NAPAS
Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal untuk melakukan
fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran karbondioksida.
Ketidakmampuan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan untuk memasukkan oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida. Gagal nafas akut adalah ketidakmampuan sistem pernafasan
untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh
yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal. Kriteria kadar gas darah arteri untuk gagal
respirasi tidak mutlak bisa ditentukan dengan mengetahui PO2 kurang dari 60mmHg dan
PCO2 diatas 50mmHg. Gagal nafas akut terjadi dalam berbagai gangguan baik pulmoner
maupun nonpulmoner.

1. Etiologi

Gagal nafas akut dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmonal dan ektrapulmonal.
Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran nafas bawah, sirkulasi pulmoner,
jaringan interstitial,kapiler alveolar. Kelainan ektrapulmonal merupakan kelainan pada pusat
nafas, neuromuskular, pleura maupun saluran nafas atas.

2. Patofisiologi

Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas akut merupakan hal yang sangat
penting di dalam hal penatalaksanaannya. Secara umum terdapat empat dasar mekanisme
gangguan pertukaran gas pada sistem pernafasan yaitu :

1. Hipoventilasi

2. Ketidakseimbangan ventilasi atau perfusi

3. Pintasan darah kanan ke kiri

4. Gangguan difusi. Kelainan ektrapulmonel menyebabkan hipoventilasi sedangkan


kelainan intrapulmonel dapat meliputi seluruh mekanisme tersebut.

Sesuai dengan patofisiologinya gagal nafas akut dapat dibedakan kedalam 2 bentuk
yaitu: hiperkapnia atau kegagalan ventilasi dan hipoksemia atau kegagalan oksigenasi. Gagal
nafas pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2,
disertai dengan penurunan pH yang abnormal, penurunan PaO2, dengan nilai perbedaan
tekanan O2 di alveoli-arteri (A-a)DO2 meningkat atau normal.

Kegagalan ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan


ektrapulmoner dan ketidakseimbangan V/Q yang berat pada kelainan intrapulmoner atau
terjadi kedua-duanya secara bersamaan. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan
ektrapulmoner disebabkan karena terjadinya penurunan aliran udara antara atmosfer dengan
paru tanpa kelainan pertukaran gas di parenkim paru. Dengan demikian akan didapatkan
peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dan nilai (A-a) DO2 normal. Kegagalan ventilasi pada
penderita penyakit paru terjadi sebagai berikut : sebagian alve5oli mengalami penurunan
ventilasi relatif terhadap perfusi, sedangkan sebagian lagi terjadi peningkatan ventilasi
relative terhadap perfusi. Awalnya daerah dengan ventilasi rendah dapat dikompesasi dengan
daerah terventilai tinggi sehingga tidak terjadi peningkatan PaCO2. Tetapi apabila
ketidakseimbangan ventilasi ini sudah semakin beratnya maka mekanisme kompensasi
tersebut gagal sehingga terjadi kegagalan ventilasi yang ditandai oleh peningkatan PaCO2,
penurunan PaO2, dengan peningkatan (A-a) DO2 yang bermakna.

Pada gagal nafas tipe hipoksemia, PaCO2 adalah normal atau menurun, PaO2 adalah
menurun dan peningkatan (A-a) DO2. Gagal nafas tipe ini terjadi pada kelainan pulmoner
dan ektrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia terjadi akibat ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi dan pintasan darah kanan-kiri, sedangkan gangguan difusi dapat merupakan
gangguan penyerta.

Indikator gagal nafas frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan
normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan
ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas
vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).

3. Klasifikasi

Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe. Tipe I
merupakan kegagalan oksigenasi atau hypoxemia arteri ditandai dengan tekanan parsial O2
arteri yang rendah. Tipe II yaitu kegagalan ventilasi atau hypercapnia ditandai dengan
peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti
secara simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2
masih tetap tidak berubah. Tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan
ventilasi ditandai dengan hipoksemia dan hiperkarbia penurunan PaO2 dan peningkatan
PaCO2.

4. Anamnesis
Gejala dan tanda gagal napas akut menggambarkan adanya hipoksemia atau
hiperkapnia, atau keduanya, disertai gejala dari penyakit yang mendasarinya. Sesak
merupakan gejala yang sering muncul. Penurunan status mental adalah gejala akibat
hipoksemia maupun hiperkapnia. Pasien mungkin mengalami disorientasi. Pada hiperkapnia
pasien dapat mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma. Sakit kepala sering
tedapat pada gagal napas hiperkapnia. Patogenesis dari sakit kepala adalah dilatasi pembuluh
darah cerebral akibat peningkatan PCO2.

Gejala hipoksemia bervariasi dan dapat melibatkan kelainan pada sistem saraf pusat
(confusion, gelisah, kejang), sistem kardiovaskular (aritmia, hipotensi, atau hipertensi),
sistem respirasi (disapnue, takipnue). Gejala hiperkapnia meliputi somnolen, letargi, dan
perubahan status mental. Bila terdapat asidosis respiratori yang berat, dapat terjadi depresi
miokard yang mengakibatkan hipotensi. Hipoksemia dan hiperkapnia dapat memperjelas
gejala disapnue. Karena hipoksemia dan hiperkapnia sering terjadi bersamaan maka
seringkali didapatkan kombinasi dari gejala ini. Asidosis laktat dapat terjadi bila terdapat
penyebab lain terjadinya reduksi distribusi oksigen yaitu cardiac output yang tidak adekuat,
anemia berat, atau redistribusi aliran darah.

Sering kali didapatkan gejala dan tanda sesuai penyakit yang mendasarinya. misalnya
batuk dan sputum pada pneumonia, nyeri dada pada tromboemboli pulmoner dengan infark.
Pada gagal napas yang dicetuskan karena adanya edema pulmoner kardiogenik, terdapat
riwayat disfungsi ventrikel kiri atau gangguan katup. Riwayat penyakit jantung sebelumnya,
nyeri dada akut, paroksismal nocturnal dispnu, dan ortopnu mengarahkan pada kecurigaan
edema pulmoner kardiogenik. Edema nonkardiogenik (ARDS) dapat timbul pada kasus
sepsis, trauma, pneumonia, pancreatitis, toksisitas obat ataupun transfusi multipel.

5. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan

1) Takipnue dan takikardi yang merupakan gejala nonspesifik


2) Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus paradoksus dapat
menandakan risiko terjadinya gagal napas
3) Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia atau vasodilatasi
cerebral
4) Pada paru ditemukan gejala yang sesuai dengan penyakit yang mendasari.
5) Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan membran mukosa.
Sianosis dapat diamati bila konsentrasi hemoglobin yang mengalami deoksigenasi
pada kapiler atau jaringan mencapai 5 g/dL
6) Disapnue dapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan stimuli kimia akibat
hipoksemia atau hiperkapnia
7) Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal napas. Mioklonus
dan kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat. Polisitemia merupakan komplikasi
lanjut dari hipoksemia
8) Hipertensi pulmoner biasanya terdapat pada gagal napas kronik. Hipoksemia alveolar
yang disebabkan oleh hiperkapnia menyebabkan konstriksi arteriol pulmoner.

Gagal nafas merupakan kondisi umum yang mengancam jiwa yang menuntut
diagnosis yang tepat dan penilaian serta pengelolaan yang tepat. Kegagalan untuk
memvisualisasikan kelainan yang jelas pada foto radiografi dalam kegagalan pernapasan
hipoksemia menunjukkan kemungkinan teradinya pintasan darah dari kanan-ke-kiri.
Sebagian besar pasien dalam kegagalan pernafasan akut akibat edema paru kardiogenik
menunjukkan penurunan preload dan afterload. Mereka dengan sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS) membutuhkan intubasi elektif lebih awal karena durasi kegagalan
pernafasan yang lebih lama.

Kegagalan pernapasan dapat berhubungan dengan berbagai manifestasi klinis namun,


ini tidak spesifik, dan kegagalan pernafasan yang sangat signifikan mungkin ada tanpa tanda-
tanda atau gejala yang signifikan. Pengukuran gas darah arteri pada semua pasien yang sakit
parah atau yang dicurigai gagal napas perlu dilakukan.

Analisis gas darah arteri harus dilakukan untuk memastikan diagnosis dan untuk
membantu dalam perbedaan antara bentuk akut dan kronis. Ini membantu menilai keparahan
kegagalan pernapasan dan membantu dalam penanganan.

Hitung darah lengkap ( CBC ) dapat menunjukkan anemia, yang dapat berkontribusi
terhadap hipoksia jaringan, sedangkan polisitemia mungkin menunjukkan kegagalan
pernafasan hipoksemia kronis.

Serum creatine kinase dengan fraksinasi dan troponin I membantu mengecualikan


infark miokard pada pasien dengan gagal napas. Tingkat creatine kinase meningkat dengan
tingkat troponin I yang normal dapat menunjukkan myositis, yang kadangkadang dapat
menyebabkan kegagalan pernafasan pada gagal napas hiperkapnia kronis, tingkat serum
thyroid- stimulating hormone ( TSH ) harus diukur untuk mengevaluasi kemungkinan
hipotiroidisme, yang berpotensi menyebabka kegagalan pernapasan.

Foto rontgen dada sangat penting. Echocardiography tidak rutin dilakukan tetapi
kadang kadang berguna. Tes fungsi paru jika memungkinkan, dapat membantu.
Elektrokardiografi (EKG) harus dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab
kardiovaskular sebagai kegagalan pernafasan, tetapi juga dapat mendeteksi disritmia akibat
hipoksemia berat atau asidosis.

Kriteria Gagal Nafas menurut Pontoppidan: Yaitu menentukan kriteria gagal nafas
berdasarkan “mechanic of breathing”, oksigenasi dan ventilasi seperti pada tabel 2 berikut ini.
Dari tabel di atas, kolom paling kanan menunjukkan gagal nafas yang harus dilakukan
intubasi endotrakeal atau trakeostomy dan bantuan ventilasi. Fisioterapi, oksigenasi dan
monitoring ketat perlu dilakukan pada gawat nafas sehingga pasien tidak jatuh ke tahap gagal
nafas. Kesemuanya ini hanyalah merupakan pedoman saja, yang paling penting adalah
mengetahui keseluruhan keadaan pasien dan mencegah agar pasien tidak mengalami gagal
nafas.

Kriteria Gagal Nafas menurut Shapiro (Rule of Fifty)

Kriteria gagal nafas akut menurut Shapiro bila:

1) Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan,


2) Tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg.

Kriteri Gagal Nafas menurut Petty.

Kriteria gagal nafas menurut Petty adalah:

1) Acute Respiratory failure: PaO2 < 50, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2
2) Acute Ventilatory Failure: PaCO2 > 50 mmHg

6. Penatalaksanaan

Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan kausatif/spesifik.


Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya. Penatalaksanaan non spesifik adalah
tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, seperti
pada tabel 2 berikut ini.
1) Atasi Hipoksemia

Terapi Oksigen

Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan
PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi
akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat
pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive.
Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe.

Pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan


oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur
dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan
menghindari toksisitas.

Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasienpasien
dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika
tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus
diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan.
Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping.

Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan
sistem arus tinggi. Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang
digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan
aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering. Alat oksigen arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer
blenders. Pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe hipoksemia, bernapas dengan mask ini
mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Sistem arus tinggi ini dapat
mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total
kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini
adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi
abnormal.

2) Atasi Hiperkapnia; Perbaiki Ventilasi

Jalan napas (Airway)

Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat
pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya
obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas buatan seperti endotracheal
tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas buatan dibandingkan jalan napas
alami.

Resiko jalan napas buatan adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan
respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya
resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas buatan adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obatobatan, memfasilitasi
ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi
fibreoptik.

Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada Tabel 2 di atas dan juga
tabel 4 berikut ini:
Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat
ventilasi tekanan positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan positif non invasif).

Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik Pada keadaan darurat bantuan
nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan
sungkup muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan memompa kantungnya untuk
memasukkan udara ke dalam paru.

Hiperkapnia mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari


turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan
dengan asidosis respiratoris. Pasien dengan pemulihan awal diharapkan, ventilasi mekanik
non invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif yang efektif.

Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas (Tabel 2 dan tabel
4) atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera teratasi).
Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter,
hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang
tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi
PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk
memasang ventilator harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang
dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang
terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah
sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara umum bantuan napas mekanik
(ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV),
dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non
Invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan
ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat tindakan
intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa
bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat.

Terapi suportif lainnya

Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum.
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien
diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan
menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif.
Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan
drainage postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan
bronkodilator.

Bronkodilator (beta-adrenergik agonis/simpatomimetik). Obat-obat ini lebih efektif


bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral,
karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi lebih sedikit
sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif mungkin
membutuhkan jumlah beta-adrenergik agonis dua hingga empat kali lebih banyak daripada
yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan
peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan.
Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping.
Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi
tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan
penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang
terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan
oleh perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap
stimulasi beta adrenergik.

Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik


tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada
asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis
kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan. Obat ini direkomendasikan
terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan bronkitis kronik. Antikolinergik pada pasien
gagal nafas harus selalu dikombinasikan dengan beta adrenergik agonis. Ipratropium bromida
tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek
samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urin.

Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan beta adrenergik


agonis. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik
(cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan
aktifitas anti inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang
lebih parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang.

Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas


tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah
didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik
distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau
parenteral. Efek samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi
natrium dan air, miopati steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun,
kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan kortikosteroid
bersama-sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan
otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.
C. PNEUMOTHORAX VENTIL / TENSION PNEUMOTHORAX

Tension pneumothorax adalah kondisi medis darurat ketika udara terperangkap di


rongga pleura antara paru-paru kiri dan kanan. seluruh bagian dari paru-paru dapat kolaps
sehingga dapat menyebabkan penurunan fungsi jantung dan organ tubuh lain. Kondisi ini
akan sangat berbahaya ketika udara terus menerus masuk ke dalam rongga pleura akan dapat
menekan paru-paru dan jantung sehingga dapat menyebabkan henti jantung (Malik, 2020).

1. Etiologi

Penyebab pneumothorax traumatic adalah trauma atau cedera akibat kecelakaan yang
mengenai dada. Salah satu penyebab yang paling umum adalah kerusakan atau patah tulang
rusuk akibat kecelakaan olahraga, luka tembak, luka tusuk, benturan, patah tulang rusuk, atau
prosedur medis seperti biopsy dan CPR. Selain itu, beberapa prosedur medis juga berpotensi
menyebabkan pneumothorax traumatic seperti memasukan kateter kedalam pembuluh darah
pada paru atau pengambilan sampel jaringan paru dan ketidakseimbangan tekanan udara di
dalam dada akibat penggunaan alat bantu pernafasan atau ventilator.

a) Menurut Gilbert & Mc Grath (1994), jenis trauma yang dapat menyebabkan
tention pneumothorax yaitu sebagai berikut.
b) Cedera abdominothoracic atau cedera pada dada eksternal dapat menyebabkan
pneumothoraks dengan angka mortalitas yang tinggi
c) Tulang rusuk atau tulang belakang dada yang menembus pleura dan paru-paru
d) Cedera tumpul pada perut dapat menyebabkan trauma hernia diafragma yang
kadang-kadang dapat menghubungkan antara viscera gastrointestinal usus
halus, usus besar, dan rongga pleura
e) Trauma kelahiran (cedera janin saat persalinan pervaginam atau section
cesarea)
f) CPR (Cardiopulmonary Recucitation)

2. Klasifikasi

Klasifikasi Tension Pneumothorax merupakan salah satu kegawatdaruratan cedera


pada dada. Keadaan ini terjadi akibat adalnya kerusakan yang menyebabkan udara masuk
kedalam rongga pleura dan udara tersebut tidak dapat keluar, udara yang terjebak didalam
rongga pleura dapat menyebabkan tekanan intrapleura meningkat akibatnya akan terjadi
kolaps pada paru-paru, sehingga dapat menggeser mediastinum ke bagian paru-paru
kontralateral, dan penekanan pada aliran vena balik sehingga dapat terjadi hipoksia. efek dari
pneumotoraks dapat menyebabkan terjadinya kolaps pada sistem kardiovaskular. Dikatakan
adanya pergeseran pada mediastinum menyebabkan adanya penekanan pada vena kava
anterior dan superior, disebutkan hipoksia juga menjadi dasar dari penyebabnya, hipoksia
yang memburuk menyebabkan terjadinya resitensi terhadap vaskular dari paru-paru yang
diakibatkan oleh vasokonstriksi. Jika gejala hipoksia tidak ditangani secepatnya, hipoksia ini
akan mengarah pada keadaan asidosis, dan penurunan curah jantung sehingga dapat
menyebabkan serangan jantung (Jalota and Sayad., 2021).

3. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya pneumotoraks terjadi akibat adanya trauma oleh benda tumpul
atau benda tajam yang menyebabkan terjadinya kebocoran di bagian paru yang berisi udara
melalui robekan/pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan bronkus, pelebaran
dari alveoli dan pecahnya septasepta alveoli yang kemudian membentuk suatu bulla dan bulla
pecah menembus pleura. Terbentuk hubungan langsung antara rongga pleura dengan udara
luar dan terjadi peningkatan tekanan positif intrapleura yang menyebabkan terjadi gangguan
ventilasi pada klien dengan pneumotoraks (Muttaqin, 2008). Menurut Jurnal Principles of
diagnosis and management of traumatic pneumothorax (2008) Tension pneumotoraks terjadi
ketika gangguan melibatkan visceral pleura dan pleura parietal. Gangguan dapat terjadi ketika
katup satu arah terbentuk, yang memungkinkan aliran udara masuk ke ruang pleura, dan
melarang aliran udara keluar. Volume udara intrapleural yang tidak terserap ini meningkat
dengan setiap inspirasi. Akibatnya, tekanan meningkat dalam hemitoraks yang terkena; paru
ipsilateral runtuh dan menyebabkan hipoksia. Tekanan lebih lanjut menyebabkan pergeseran
mediastinum ke arah sisi kontralateral dan menekan keduanya, paru kontralateral dan
pembuluh darah memasuki atrium kanan jantung. Hal ini menyebabkan hipoksia yang
memburuk dan gangguan aliran balik vena. Para peneliti masih memperdebatkan mekanisme
yang tepat dari kolaps kardiovaskular. Akan tetapi, umumnya kondisi ini dapat berkembang
dari kombinasi efek mekanis dan hipoksia. Efek mekanis bermanifestasi sebagai kompresi
vena cava superior dan inferior karena mediastinum menyimpang dan tekanan intrathoracic
meningkat. Hipoksia menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah paru melalui
vasokonstriksi. Jika tidak diobati, hipoksemia, asidosis metabolik, dan penurunan curah
jantung menyebabkan henti jantung dan kematian.

Mekanisme injuri tension pneumothorax pada kasus adalah pasien terjatuh dari atap
rumahnya kemudian dada pasien membentur batang besi. Benturan dada dan batang besi
mengakibatkan thorax mengalami cedera akibat dari gaya yang tercipta akibat benturan dada
dan batang besi melampaui ambang batas gaya yang dapat diterima oleh thorax.

Tension pneumotoraks terjadi akibat kerusakan yang menyebabkan udara masuk


kedalam rongga pleura dan udara tersebut tidak dapat keluar, keadaan ini disebut dengan
fenomena ventil (one-way-valve). Akibat udara terjebak di dalam rongga pleura sehingga
menyebabkan tekanan intrapleura meningkat yang mengakibatkan terjadinya kolaps pada
paru – paru, hingga menggeser mediastinum ke bagian paru – paru kontralateral, penekanan
pada aliran vena balik sehingga terjadi hipoksia. Adanya pergeseran pada mediastinum juga
dapat menyebabkan penekanan pada vena kava anterior dan superior. Hipoksia yang
memburuk menyebabkan terjadinya resitensi terhadap vascular dari paru – paru yang
diakibatkan oleh vasokonstriksi. Jika gejala hipoksia tidak ditangani secepatnya, hipoksia ini
akan mengarah pada keadaan asidosis, kemudian disusul dengan menurunnya cardiac output
sampai akhirnya terjadi keadaan henti jantung yang dapat menyebabkan kematian
(Punarbawa & Suarjaya, 2013).

Tension pneumotoraks terjadi akibat udara terperangkap di rongga pleura karena


pleura berfungsi seperti katup satu arah, sehingga udara bisa masuk, namun yang di dalam
tidak dapat keluar. Peningkatan tekanan ini akan menyebabkan paru kolaps pada sisi yang
terkena. Akibat peningkatan tekanan intrathorax, mediastinum dan trachea akan bergeser kea
rah paru yang normal dan menyebabkan gangguan venous return dan curah jantung. Hal ini
menyebabkan penurunan cardiac output dan hipotensi berat (Rini, Suharsono, Ulya,
Suryanto, N, & Fathoni, 2019).

4. Tanda Gejala

Gejala utama dari Tension Pneumotoraks berupa sesak dan nyeri dada pleuritik.
Temuan klinis pada pemeriksaan fisik yang khas meliputi pergerakan dada tertinggal satu
sisi, suara napas menurun atau bahkan tidak terdengar saat auskultasi (Malik, 2020).
Peningkatan tekanan udara di dalam pleura akan menghalangi paru-paru untuk mengembang
saat menarik napas. Akibatnya, dapat muncul gejala yaitu sebagai berikut.

a) Rasa nyeri konstan di dada


b) Napas pendek-pendek
c) Keringat dingin
d) Dada terasa sesak
e) Jari tangan, kuku, dan bibir kebiruan (sianosis)
f) Detak jantung sangat cepat
g) Batuk
h) Lemas

5. Pemeriksaan Penunjang

a) Foto Thorax PA

 Pleural line/garis pleura (+)


 Hiperlusens
 Jantung dan mediastinum terdorong kea rah paru sehat
 Diafragma terdorong ke bawah

b) Analisa Gas Darah

c) CT Scan

d) Pemeriksaan Endoskopi (toraskotomi), pemeriksaan endoskopi ini dibagi menjadi 4


derajat:

 Derajat I
 Derajat II
 Derajat III
 Derajat IV

6. Penatalaksanaan

Tindakan dekompresi yaitu membuat hubunganrongga pleura dengan udara luar,ada beberapa
cara:

a) Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk kerongga pleura, sehingga


tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
b) Membuat hubungan dengan udara luar melalu kontra ventil:
1) jarum infuset ditusukkan kedinding dada sampaimasuk ke rongga pleura.
2) abbocath: jarum abbocath no 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah
madrin dicabut,dihubungkan dengan infus set
3) WSD: pupa khusus yang steril dimasukkan kerongga pleura.

D. EFUSI PLEURA

Efusi pleura merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya penumpukan
cairan pada rongga pleura yang berada di permukaan pleura visceral dan pleura pariental.
Efusi pleura adalah penyakit primer yang termasuk jarang terjadi akan tetapi terhadap
penyakit lain efusi pleura merupakan penyakit sekunder. Selain berisi cairan, dalam efusi
pleura juga terdapat penumpikan pus dan darah. Efusi pleura merupakan salah satu penyakit
yang dapat mengancam jiwa (Saferi & Mariza, 2013).

Seorang pasien dapat di diagnosa efusi pleura apabila jumlah cairan didalam rongga
pleura berakumulasi melebihi absorbsi cairan pleura. Normalnya, cairan masuk mulai dari
kapiler hingga parietalis. Selain itu cairan juga dapat memasuki rongga pleura mulai dari
ruang intrestisium paru hingga ke pleura viseralis atau dari kavum paritonium melelui lubang
kecil yang ada di daerah diapraghma. Saluran limfe memiliki kemampuan penyerapan cairan
sebesar 20 kali lebih besar dari keadaan cairan yang dihasilkan dalam jumlah normal
(Tamsuri, 2008). Akumulasi jumlah cairan dirongga pleura dapat terjadi apabila adanya
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam darah seperti pada penyakit gagal jantung, atau
jika terjadi tekanan osmotic cairan pada darah seperti pada hipoalbuminemia. Efusi pleura
juga dapat terjadi jika tekanan dalam rongga pleura negative (turun) seperti pada atelectasis,
semua kelainan ini menimbulkan efusi pleura transudatif. Hal yang diperlukan di klinik jika
mencurigai adanya efusi pleura yaitu dengan kemampuan melakukan tindakan torakosentesis
dan kemampuan membedakan antara eksudat dan transudate (Darmanto, 2016).

1. Etiologi

a) Efusi pleura transudatif merupakan efusi pleura yang berjenis efusi transudate. Efusi
pleura transudatif dapat dibebakan berbagai faktor antara lain disebabkan oleh gagal
jantung kongestif, emboli pada paru, sirosis hati atau yang merupakan penyakit pada
intraabdominal, dialisis peritoneal, hipoalbuminemia, sindrom nefrotik,
glomerulonefritis akut, retensi garam maupun setelah pembedahan jantung.
b) Efusi pleura eksudatif merupakan jenis cairan eksudat yang terjadi akibat adanya
peradangan atau proses infiltrasi pada pleura maupun jaringan yang berdekatan
dengan pleura. Selain itu adanya kerusakan pada dinding kapiler juga dapat
mengakibatkan terbentuknya cairan yang mengandung banyak protein keluar dari
pembuluh darah dan berkumpul pada rongga pleura. Penyebab efusi pleura eksudatif
juga bisa di sebabkan oleh adanya bendungan pada pembuluh limfe. Penyebab lainnya
dari efusi pleura eksudatif yaitu adanya neoplasma, infeksi, penyakit jaringan ikat,
penyakit intraabdominal dan imunologik.
c) Efusi pleura hemoragis merupakan efusi pleura yang di sebakan oleh trauma, tumor,
infark paru maupun tuberkolosis
d) Penyebab efusi pleura dari lokasi terbentuknya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
unilateral dan bilateral. Jenis efusi pleura unilateral tidak ada kaitannya dengan
penyebab penyakit tetapi efusi pleura bilateral dapat ditemukan pada penyakit-
penyakit berikut seperti gagal jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark paru,
tumer dan tuberkolosis.
e) Cairan pleura secara maksroskopik diperiksa warna, turbiditas, dan bau dari
cairannya. Efusi pleura transudate cairannya biasanya jernih, transparan, berawarna
kuning jerami dan tidak memiliki bau. Sedangakan cairan dari pleura yang
menyerupai susu bisanya mengandung kilus (kilotoraks). Cairan pleura yang berbau
busuk dan mengandung nanah biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob. Cairan yang
berwarna kemerahan biasanya mengandung darah, sedangkan jika berwarna coklat
biasanya di sebabkan oleh amebiasis. Sel darah putih dalam jumlah banyak dan
adanya peningkatan dari kolesterol atau trigliserida akan menyebabkan cairan pleura
berubah menjadi keruh (turbid). Setelah dilakukan proses sentrifugasi, supernatant
empiema menjadi jernih dan berubah menjadi warna kuning, sedangkan jika efusi
disebabkan oleh kilotoraks warnanya tidak akan berubah tetap seperti berawan.
Sedangkan jika dilakukan sentripugasi. Penambahan 1 mL darah pada sejumlah
volume cairan pleura sudah cukup untuk menyababkan perubahan pada warna cairan
menjadi kemerahan yang di sebabkan darah tersebut mengandung 5000-10.000 sel
eritrosit. Efusi pleura yang banyak mengandung darah (100.000 eritrosit/mL) Memicu
dugaan adanya trauma, keganasan atau emboli dari paru. Sedangkan cairan pleura
yang kental dan terdapat darah biasanya disebabakn adanya keganasan. Jika
hematocrit cairan pleura melebihi 50% dari hematocrit dari darah perifer, termasuk
dalam hemotoraks.

2. Patofisiologi

Letak dari pleura viseralis dan pleura perietalis saling berhadapan dan hanya
dipisahkan oleh selaput tipis cairan serosa, lapisan cairan ini memperlihatkan adanya
keseimbangan antara transudasi dan kapilerkapiler pleura dan rearbsorbsi oleh vena viscelar
dan parietal dan juga saluran getah bening. Karena efusi pleura merupakan pengumpulan
cairan yang berada pada rongga pleura dalam jumlah yang berlebih di dalam rongga pleura
viseralis dan parietalis, sehingga masalah tersebut dapat menyebabkan ekspansi dari paru dan
menyebabkan pasien bernapas dengan cepat (takipnea) agar oksigen dapat diperoleh secara
maksimal. Dari masalah tersebut maka klien mengalami gangguan dalam keefektifan pola
pernapasannya. Ketidakefektifan pola napas merupakan suatu kondisi dimana pasien
mengalami penurunan dalam ventilasi yang actual atau potensial yang disebabkan oleh
perubahan pola napas. Umumnya kasus ini di tegakkan pada diagnosa hiperventilasi.
Ketidakefektifan pola napas di tandai dengan dyspnea, takipnea, perubahan kedalaman
pernapasan, sianosis dan perubahan pergerakan dinding dada (Somantri, 2012).

Efusi pleura dapat berupa eksudat maupun transudate. Transudat dapat disebabkan
jika adanya peningkatan tekanan vena pulmonalis misalnya pada penderita payah jantung
kongestif. Keseimbangan kekeuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh
Transudasi juha dapat menyebab kan hypoproteinemia sperti pada penyakit hati dan ginjal.
Jika efusi pleura mengandung nanah maka si sebut empyema. Empyema disebabkan oleh
perluasan infeksi dari struktur yang berdekatn dan merupakan komplikasi dari pneumonia
abses paru-paru maupun perporasi karsinoma kedalam rongga pleura. Jika empyema tida
tertangani dengan drainage maka akan membahayakan dinding thorak. Eksudat akibat
peradangan akan mengalami organisasi dan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura viseralis
dan parietalis di sebut dengan fibrothoraks. Jika fibrothoraks luas maka dapat menimbulkan
hambatan mekanisme yang berat pada jaringan-jaringan yang terdapat dibawahnya (Saferi &
Mariza, 2013).

3. Manifestasi Klinis

Menurut Saferi & Mariza (2013), tanda dan gejala yang ditimbulkan dari efusi pleura
yang berdasarkan dengan penyebabnya adalah:

1. Sesak napas

2. Rasa berat pada daerah dada

3. Bising jantung yang disebabkan payah jantung

4. Lemas yang progresif

5. Penurunan berat badan yang disebabkan neoplasma

6. Batuk disertai darah pada perokok yang disebabkan Ca bronkus

7. Demam subfebril yang disebabkan oleh TB Paru

8. Demam mengigil yang disebabkan empyema

9. Asites pada penderita serosis hati

10. Asites disertai tumor di daerah pelvis yang disebabkan oleh penderita sindrom
meig.

4. Pemeriksaan Penunjang

a) Kelainan pada foto rontgen PA baru akan terlihat jika akumulasi cairan pleura
mencapai 300 mL. Pada mulanya, cairan berkumpul pada dasar hemitoraks di antara
permukaan inferior paru dan diafragma terutama disebelah posterior, yaitu sinus
pleura yang dalam. Jika cairan pleura terus bertambah banyak, maka cairan akan
menuju ke atas yaitu ke daerah paru yang cekung dan mencapai ke bagian atas.
Diafragma dan sinus kostofrenikus tidak akan terlihat jika cairan pleura mencapai
1000 mL. jika pada foto PA efusi pleura tampak tidak jelas maka dapat dilakukan foto
lateral decubitus
b) Jika dalam cairan pleura disapatkan sel darah putih sebanyak >1000/mL, keadaan
tersebut menunjukan empyema. Neutrophil menunjukan kemungkinan adanya
pneumonia, infark paru, tuberculosis paru fase awal, atau pankreatitis. Limfosit dalam
jumlah banyak mengacu pada tuberculosis, limfoma maupun keganasan. Jika pada
torakosintesis di dapat banyak eosinophil maka tuberculosis dapat disingkirkan.
c) Selain pemeriksaan mikroskopik dan sitology dilakukan, pemeriksaan lainnya adalah
dengan pemeriksaan kimia dan pH. Yang di periksa adalah glukosa, amylase dan
enzim-enzim lainnya.

5. Penatalaksanaan

a) Memposisikan klien semi fowler. Yaitu dengan posisi setengah duduk dengan posisi
45o yang bertujuan untuk memberikan rasa nyaman.
b) Melakukan latihan napas dalam. Yang bertujuan untuk membebaskan dari gangguan
ventilasi
c) Memonitor pola napas, suara napas tambahan, kecepatan, kedalaman dan kesulitan
saat bernapas.
d) Berkolaborasi pemberian terapi obat Jika agen penyebab efusi pleura adalah kuman
atau bakteri maka dapat menggunakan antibiotik.
e) Perkusi toraks anterior dan posterior mulai dari apeks sampai basis paru.
f) Monitor keluhan sesak napas pasien termasuk kegiatan yang dapat meningkatkan rasa
sesak napas pada pasien.

6. Komplikasi

a) Fibrothoraks. Efusi pleura eksudat yang sudah tidak dapat ditangani oleh tindakan
drainase dengan baik maka akan menimbulkan perlekatan pada fibrosa antara pleura
viseralis dan pleura parietalis. Jika fibrothoraks meluas dapat menimbulkan hambatan
mekanis yang berat pada jaringan- jaringan yang berada dibawahnya dan harus segera
dilakukan pembedahan.
b) Atelectasis. Atelectasis merupakan pengembangan paru-peru yang tidak sempurna di
sebabkan karena adanya penekanan akibat efusi pleura.
c) Fibrosis. Fibrosis paru merupakan suatu keadaan patologis dimana terdapat jaringan
ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis dapat timbul akibat proses perbaikan
jaringan sebagai lanjutan dari sebuah penyakit paru yang menimbulkan peradangan.
Pada efusi pleura atelaktasis yang berkepanjangan dapat juga menyebabkan
pergantian jaringan baru yang terserang dengan jaringan fibrosis.
E. PPOK ( Penyakit Paru Obstruksi Kronis)

Menurut GOLD (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease), PPOK
adalah penyakit paru yang dapat dicegah diobati dengan beberapa efek ekstrapulmonal yang
signifikan berkontribusi terhadap tingkat keparahan penderita. Karakteristik penyakit ini
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Hambatan aliran udara tersebut biasanya bersifat progressif dan berhubungan dengan respon
inflamasi pulmonal terhadap partikel atau gas berbahaya.

1. Epidemiologi

Di seluruh dunia, PPOK menduduki peringkat keenam sebagai penyebab utama


kematian pada tahun 1990. Hal ini diproyeksikan menjadi penyebab utama keempat kematian
di seluruh dunia pada 2030 karena peningkatan tingkat merokok dan perubahan demografis di
banyak negara.

PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga di Amerika Serikat dan beban
ekonomi PPOK di AS pada tahun 2007 adalah 426 juta dollar dalam biaya perawatan
kesehatan dan kehilangan produktivitas.
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.

2. Faktor Resiko

Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting. Selain itu, terdapat
faktor-faktor resiko yang lain seperti riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat
kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran nafas berulang, dan defisiensi antitripsin
alfa-1. Di Indonesia defisiensi antitripsin alfa-1 sangat jarang terjadi.

Dalam pencatatan perlu diperhatikan riwayat merokok. Termasuk perokok aktif,


perokok pasif, dan bekas perokok. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun.
Kategori ringan 0-200, sedang 200-600, dan berat >600.

3. Patofisiologi dan Patogenesis

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,


terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama

- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan


terbanyak pada paru bagian bawah

- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
4. Manifestasi Klinis

Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk kronis dan terbentuknya
sputum kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul. Salah satu gejala yang
paling umum dari PPOK adalah sesak napas (dyspnea). Orang dengan PPOK umumnya
menggambarkan ini sebagai:. "Saya merasa kehabisan napas," atau "Saya tidak bisa
mendapatkan cukup udara.

Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada saat
melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar. Selama bertahun-
tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah parah secara bertahap sehingga dapat terjadi pada
aktivitas yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap
lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat menjadi begitu buruk yang terjadi selama istirahat dan
selalu muncul.

Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Ketika ini terjadi,
sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh kekurangan oksigen
dalam darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon dioksida dalam darah dapat menyebabkan sakit
kepala, mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah satu komplikasi dari PPOK parah adalah
cor pulmonale, kejang pada jantung karena pekerjaan tambahan yang diperlukan oleh jantung
untuk memompa darah melalui paru-paru yang terkena dampak. 4 Gejala cor pulmonale
adalah edema perifer, dilihat sebagai pembengkakan pada pergelangan kaki, dan dyspnea.

5. Uji Faal Paru

Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan diagnosis,
melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk
memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat.
Spirometri harus digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan
setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri juga harus
digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat
melakukan manuver di atas, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan (FEV1/FVC). Penderita
PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC. Adanya nilai
FEV1/FVC < 70% disertai dengan hasil tes bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 <
80% dari nilai prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur,
jenis kelamin, etnis, dan tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan
sebagai persentase dari nilai prediksi normal.

Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji bronkodilator juga
menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini adalah dengan memberikan bonkodilator
inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila
perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut).

Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator juga dapat


menentukan klasifikasi penyakit PPOK. Klasifikasi tersebut adalah

1. Stage I : Ringan
Pada stage I, hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator
menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 diperkirakan ≥ 80%
dari nilai prediksi.

2. Stage II : Sedang
Pada stage II, hasil rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara
50-80% dari nilai prediksi.

3. Stage III : Berat

Pada stage III, dengan rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1
diantara 30-50% dari nilai prediksi

4. Stage IV : Sangat Berat

Pada stage IV, rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari
30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.

6. Diagnosis

Diagnosis klinis untuk PPOK harus dicurigai jika pasien mengalami kesulitan
bernafas, batuk kronis atau terbentuknya sputum dan riwayat terkena faktor resiko penyakit
ini. Spirometri dibutuhkan untuk diagnosis klinis PPOK; adanya postbronchodilator
FEV1/FVC mengindikasikan adanya keterbatasan aliran udara dan PPOK.

7. Tata Laksana

Penghentian merokok mempunyai pengaruh besar untuk mempengaruhi riwayat dari


PPOK. Kita sebagai dokter harus bisa membuat pasien untuk berhenti merokok.

Konseling dengan dokter secara signifikan meningkatkan angka berhenti merokok, konseling
selama 3 menit dapat menghasilkan angka berhenti merokok hingga 5-10%. Terapi
penggantian nikotin (permen karet nikotin, inhaler, patch transdermal, tablet sublingual atau
lozenge) dan juga obat dengan varenicline, bupropion atau nortriptyline dengan baik
meningkatkan penghentian merokok jangka panjang dan pengobatan ini lebih efektif daripada
placebo.

Mendorong kontrol tembakau secara komprehensif dari pemerintah dan membuat


program dengan pesan anti merokok yang jelas, konsisten dan berulang. Aktivitas fisik sangat
berguna untuk penderita PPOK dan pasien harus didorong untuk tetap aktif.

Melakukan pencegahan primer, dapat dilakukan dengan baik dengan mengeleminasi


atau menghilangkan eksposur pada tempat kerja. Pencegahan sekunder dapat dilakukan
dengan baik dengan deteksi dini. Kita menghindari atau mengurangi polusi indoor berupa
pembakaran bahan bakar biomass dan pemanasan atau memasak diruangan yang ventilasinya
buruk, sarankan pasien untuk memperhatikan pengumuman publik tentang tingkat polusi
udara. Semua pasien PPOK mendapat keuntungan yang baik dari aktivitas fisik dan
disarankan untuk selalu aktif.

Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi keparahan


eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan. Setiap pengobatan harus spesifik terhadap
setiap pasien, karena gejala dan keparahan dari keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti frekuensi keparahan eksaserbasi, adanya gagal nafas dan status
kesehatan secara umum.

Bronkodilator adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK, terapi
inhalasi lebih dipilih dan bronkodilator diresepkan sebagai pencegahan/ mengurangi gejala
yang akan timbul dari PPOK. Bronkodilator inhalasi kerja lama lebih efektif dalam
menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat.
Agonis β-2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun saat diperlukan (as
needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun pemakaian pada PPOK tidak
dianjurkan apabila dengan dosis tinggi. Agonis β-2 kerja lama, durasi kerja sekitar 12 jam
atau lebih. Saat ini yang tersedia adalah formoterol dan salmeterol. Obat ini dipakai sebagai
ganti agonis β-2 kerja cepat apabila pemakaiannya memerlukan dosis tinggi atau dipakai
dalam jangka waktu lama. Efek obat ini dapat memperbaiki FEV1 dan volume paru,
mengurangi sesak napas, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kejadia eksaserbasi,
akan tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan besar penurunan faal paru. Agonis β-2
dengan durasi kerja 24 jam , preparat yang ada adalah indacaterol.

Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan FEV1 < 60%, pengobatan
regular dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi gejala, meningkatkan fungsi paru
dan kualitas hidup dan menurunkan frekuensi eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi
diasosiasikan dengan peningkatan pneumonia. Penghentian tiba-tiba terapi dengan
kortikosteroid inhalasi bisa menyebabkan eksaserbasi di beberapa pasien. Terapi monoterm
jangka Panjang dengan kortikosteroid inhalasi tidak direkomendasikan.

Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta2 agonist kerja lama lebih efektif
daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam peningkatan fungsi paru
dan mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan PPOK sedang sampai sangat berat.
Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
Kelompok A

Semua pasien diberi terapi bronkodilator berdasarkan efeknya terhadap sesak napas, bisa
berupa bronkodilator kerja singkat atau kerja Panjang. Terapi bisa dilanjutkan jika ditemukan
manfaat simtomatik.

Kelompok B

Terapi awal bronkodilator kerja panjang karena lebih unggul dibanding bronkodilator kerja
singkat. Terapi awal bronkodilator kerja panjang karena lebih unggul dibanding
bronkodilator kerja singkat. Tidak ada bukti rekomendasi salah satu bronkodilator kerja
panjang untuk terapi awal gejala. Pemilihan obat tergantung persepsi pasien. Jika sesak napas
menetap dengan monoterapi, direkomendasikan menggunakan dua bronkodilator. Untuk
sesak napas berat, dapat direkomendasikan terapi awal menggunakan dua bronkodilator. Jika
penambahan bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala, terapi dapat dikembalikan ke
bronkodilator tunggal, pada kelompok ini sebaiknya diperiksa kemungkinan komorbiditas
yang dapat menambah gejala dan mempengaruhi prognosis.

Kelompok C
Terapi awal bronkodilator kerja panjang tunggal. LAMA (long acting muscarinic antagonist)
lebih unggul dibanding LABA (long acting beta-2 agonist) dalam mencegah eksaserbasi,
sehingga LAMA lebih direkomendasikan untuk terapi awal kelompok ini. Penambahan
bronkodilator kerja panjang kedua (LABA/LAMA) atau kombinasi LABA dengan
corticosteroid inhalasi (ICS) dapat bermanfaat pada pasien dengan eksaserbasi menetap.
Mengingat ICS dapat meningkatkan risiko pneumonia, pilihan utama adalah kombinasi
LABA/ LAMA.

Kelompok D

Direkomendasikan terapi awal menggunakan kombinasi LABA/LAMA karena: Studi


menunjukkan LABA/LAMA lebih unggul dibanding obat tunggal. LAMA lebih dipilih untuk
mencegah eksaserbasi dibandingkan dengan LABA. Kombinasi LABA/LAMA lebih tunggul
dibanding kombinasi LABA/ICS dalam mencegah eksaserbasi. Pasien kelompok D
mempunyai risiko pneumonia lebih tinggi jika mendapat terapi ICS. Pada beberapa pasien,
pilihan pertama untuk terapi awal adalah kombinasi LABA/ICS, seperti pada riwayat dan/
atau penemuan yang menunjukkan tumpang tindih antara asma dengan PPOK. Tingginya
eosinofil darah juga dipertimbangkan sebagai parameter yang mendukung penggunaan ICS,
meskipun masih diperdebatkan.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Kondisi paru-paru gawat darurat adalah kondisi keadaan yang mengancam jiwa yang terjadi
ketika seseorang memiliki kesulitan bernapas secara normal. Pada kasus yang parah, pasien
mungkin tidak dapat bernapas sama sekali. Keadaan darurat seperti ini membutuhkan
perhatian medis segera untuk mencegah kegagalan organ penting vital. Kondisi paru-paru
gawat darurat dapat terjadi karena cedera atau perkembangan penyakit tertentu yang
mempengaruhi sistem pernapasan. Ini bisa menjadi akut (terjadi tiba-tiba), intermiten, atau
progresif (terus berkembang dari waktu ke waktu). Tujuan utama dari pengobatan untuk
gawat darurat parukondisi paru-paru gawat darurat adalah untuk memungkinkan orang untuk
bernapas senormal mungkin. Dalam beberapa kasus, alat bantu mungkin diperlukan jika
pasien tidak dapat bernapas dengan kemauannya sendiri. Pasien dengan kondisi gawat darurat
paru biasanya perlu tinggal di rumah sakit. Kebanyakan pasien perlu tinggal di ruang gawat
darurat sampai stabil dan ditransfer dipindahkan ke ruangan biasa. Setelah pasien stabil,
dokter akan mendiagnosa kondisinya dan membuat rujukan ke spesialis yang tepat untuk
diagnosis dan perawatan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rothan HA, Byrareddy SN. The epidemiology and pathogenesis of coronavirus


disease (COVID-19) outbreak. J Autoimmun. 2020;109:102433.

2. World Health Organization. SARS-CoV-2 Variants [Internet]. Geneva: WHO;


2022 [cited 12 October 2021]. Available from: https://www.who.int/emergencies/disease-
outbreak-news/ item/2020-DON305.

3. World Health Organization. Coronavirus (COVID-19) Dashboard [Internet].


Geneva: WHO; 2022 [cited 12 October 2021]. Available from: https://covid19.who.int/.

4. Worldometer. COVID live - Coronavirus Statistics - Worldometer [Internet].


Worldometers; 2022 [cited 30 January 2022]. Available from:
https://www.worldometers.info/coronavirus/.

5. KawalCOVID19. Informasi terkini COVID-19 di Indonesia [Internet].


Kawalcovid19; 2022 [cited 30 March 2022]. Available from: https://kawalcovid19.id/.

6. Boehm E, Kronig I, Neher RA, Eckerle I, Vetter P, Kaiser L; Geneva Centre for
Emerging Viral Diseases. Novel SARS-CoV-2 variants: the pandemics within the pandemic.
Clin Microbiol Infect. 2021;27(8):1109-17.

7. Janik E, Niemcewicz M, Podogrocki M, Majsterek I, Bijak M. The emerging


concern and interest SARS-CoV-2 variants. Pathogens. 2021;10(6):633.

8. Groves DC, Rowland-Jones SL, Angyal A. The D614G mutations in the SARS-
CoV-2 spike protein: Implications for viral infectivity, disease severity and vaccine design.
Biochem Biophys Res Commun. 2021;538:104-7.

9. Korber B, Fischer WM, Gnanakaran S, Yoon H, Theiler J, Abfalterer W, et al.


Tracking changes in SARS-CoV-2 spike: evidence that D614G increases infectivity of the
COVID-19 virus. Cell. 2020;182(4):812- 27.

10. Yewdell JW. Antigenic drift: understanding COVID-19. Immunity.


2021;54(12):2681-2687.

1. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic


obstructive pulmonary disease (2018 report) [Internet]. 2018 [cited 2018 Oct 1]. Available
from: https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2017/11/GOLD-2018-v6.0-FINAL-
revised-20-Nov_WMS.pdf

2. Young RJ, Murphy KR. Review of the 2009 Global initiative for chronic
obstructive lung disease (GOLD) guidelines for the pharmacological management of chronic

obstructive pulmonary disease [Internet]. 2009 [cited 2018 Oct 1]. Available from:
http://advanceweb.com/web/focus_on_copd/article2.html

3. PPOK. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru


Indonesia; 2011.

4. Swift D. COPD: 3.2 million deaths worldwide in 2015 [Internet]. 2017 [cited 2018
Oct 1] Available from: https://www.medscape.com/viewarticle/884400_print

5. Soeroto AY, Suryadinata H. Penyakit paru obstruktif kronik. Ina J Chest Crit
Emerg Med. 2014;1(2):83-8.

6. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di


Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2003.

7. Wong CS, Pavord ID, Williams J, Britton JR, Tattersfield AE. Bronchodilator,
cardiovascular, and hypokalaemic effects of fenoterol, salbutamol, and terbutaline in

asthma. Lancet 1991;336(8728):1396-9.

8. Calverley PM, Anderson JA, Celli B, Ferguson GT, Jenkins C, Jones PW, et al.
Salmeterol and fluticasone propionate and survival in chronic obstructive pulmonary

disease. N Engl J Med. 2007;356(8):775-89.

9. Vestbo J, Anderson JA, Brook RD, Calverley PM, Celli BR, Crim C, et al.
Fluticasone furoate and vilanterol and survival in chronic obstructive pulmonary disease with

heightened cardiovascular risk (SUMMIT): A double-blind randomised controlled


trial. Lancet. 2016;387(10030):1817-26. doi: 10.1016/S0140-6736(16)30069-1.

10. Yang IA, Clarke MS, Sim EH, Fong KM. Inhaled corticosteroids for stable
chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2012;7(7):CD002991.

11. Walters JA, Tan DJ, White CJ, Gibson PG, Wood-Baker R, Walters EH. Systemic
corticosteroids for acute exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease.
Cochrane Database Syst Rev 2014;(9):CD001288.

12. Manson SC, Brown RE, Cerulli A, Vidaurre CF. The cumulative burden of oral
corticosteroid side effects and the economic implications of steroid use. Respir Med.

2009;103(7):975-94.

13. Cazzola M, Molimard M. The scientific rationale for combining long-acting


beta2-agonists and muscarinic antagonists in COPD. Pulm Pharmacol Ther. 2010;23(4):257-
67.

14. Gross N, Tashkin D, Miller R, Oren J, Coleman W, Linberg S. Inhalation by


nebulization of albuterolipratropium combination (Dey combination) is superior to either

agent alone in the treatment of chronic obstructive pulmonary disease. Dey


Combination Solution Study Group. Respiration 1998; 65(5):354-62.

15. Tashkin DP, Pearle J, Iezzoni D, Varghese ST. Formoterol and tiotropium
compared with tiotropium alone for treatment of COPD. COPD 2009;6(1):17-25.

16. Mahler DA, Kerwin E, Ayers T, FowlerTaylor A, Maitra S, Thach C, et al.


FLIGHT1 and FLIGHT2: Efficacy and safety of qva149 (indacaterol/glycopyrrolate) versus
its

monocomponents and placebo in patients with chronic obstructive pulmonary disease.


Am J Respir Crit Care Med 2015;192(9): 1068-79,

17. Wedzicha JA, Banerji D, Chapman KR, Vestbo J, Roche N, Ayers RT, et al.
Indacaterol-glycopyrronium versus salmeterol-fluticasone for COPD. N Engl J Med.

2016;374(23):2222-34.

18. Nannini LJ, Lasserson TJ, Poole P. Combined corticosteroid and long-acting
beta(2)-agonist in one inhaler versus long-acting beta(2)-agonists for chronic obstructive

pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev. 2012;9(9): CD006829.

19. Nannini LJ, Poole P, Milan SJ, Kesterton A. Combined corticosteroid and long-
acting beta(2)-agonist in one inhaler versus inhaled corticosteroids alone for chronic

obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev. 2013;8(8):CD006826.


20. Calverley PM, Anderson JA, Celli B, Ferguson GT, Jenkins C, Jones PW, et al.
Salmeterol and fluticasone propionate and survival in chronic obstructive pulmonary

disease. N Engl J Med. 2007;356(8):775-89.

21. Vestbo J, Anderson JA, Brook RD, Calverley PM, Celli BR, Crim C, et al.
Fluticasone furoate and vilanterol and survival in chronic obstructive pulmonary disease with

heightened cardiovascular risk (SUMMIT): A double-blind randomised controlled


trial. Lancet 2016;387(10030):1817-26.

22. Singh D, Brooks J, Hagan G, Cahn A, O’Connor BJ. Superiority of ”triple”


therapy with salmeterol/fluticasone propionate and tiotropium bromide versus individual

components in moderate to severe COPD. Thorax 2008;63(7):592-8.

23. Aaron SD, Vandemheen KL, Fergusson D, Maltais F, Bourbeau J, Goldstein R, et


al. Tiotropium in combination with placebo, salmeterol, or fluticasone-salmeterol for

treatment of chronic obstructive pulmonary disease: A randomized trial. Ann Intern


Med 2007;146(8):545-55.

24. Vestbo J, Papi A, Corradi M, Blazhko V, Montagna I, Francisco C, et al. Single


inhaler extrafine triple therapy versus long-acting muscarinic antagonist therapy for

Anda mungkin juga menyukai