Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

Guillain Barre Syndrome

Oleh:
David Yohan
406192061

Pembimbing:
Dr. dr. Rini Andriani, Sp.S (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


PERIODE 13 APRIL 2020 – 18 APRIL 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :

Guillain Barre Syndrome

Disusun oleh :
David Yohan
406192061

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian


Kepaniteraan Ilmu Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Jakarta, April 2020

Dr. dr. Rini Andriani, Sp.S (K)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Guillain–Barré Syndrome (GBS) adalah penyakit langka dan parah1. Sindroma


Guillain Barre mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain dan Barré, yang
menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian
sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap
tahunnya2.
Guillain–Barré Syndrome (GBS) atau radang polineuropati demyelinasi akut merupakan
suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan
oleh autoimun, di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Biasanya penyakit ini adalah bentuk kelumpuhan
akut di daerah tubuh bagian bawah yang bergerak ke arah ekstremitas atas dan wajah. Secara
bertahap pasien kehilangan semua refleks lalu mengalami kelumpuhan tubuh lengkap.3
GBS merupakan penyakit neurologi yang sangat jarang, kejadiannya bervariasi antara 0.6
sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo
Clinic melakukan penelitian mendapatkan rata-rata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah
2 tahun.4
Penyakit ini merupakan suatu kelainan mengancam kehidupan dan memerlukan
perawatan yang tepat waktu dan perawatan suportif  dengan imunoglobulin intravena
atau plasmaferesis. Sayangnya banyak orang kehilangan nyawa mereka tanpa perawatan medis
yang tepat dan cepat. Dysautonomia dan komplikasi paru merupakan alasan dasar untuk
komplikasi kematian fatal lainnya.2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Guillain Barre syndrome


Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis
tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Penyakit ini merupakan kelainan sistem saraf akut
dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis,
yang biasanya timbul setelah suatu infeksi.1,2
2.2 Epidemiologi Guillain Barre syndrome
Gambaran epidemiologis sindrom Guillain-Barré (GBS) telah dilaporkan dari Amerika
Utara, Inggris, Islandia, dan Norwegia sebelum tahun 1979. Tingkat insiden populasi GBS yang
memenuhi kriteria NINCDS (Institut Nasional Neurologis dan Gangguan Komunikatif dan
Stroke) di AS, Kanada, Italia, Spanyol, dan Swedia berkisar dari 0,62 kasus hingga 2,66 kasus
per 100.000 orang-tahun di semua kelompok umur, dengan risiko relatif 1,78 untuk laki-laki.
Kejadian GBS meningkat 20% untuk setiap peningkatan 10 tahun. Di Jepang, kejadian GBS
adalah 1,15 per 100.000 orang. Laki-laki terkena 1,5 kali lebih sering daripada perempuan. Usia
rata-rata pasien dengan GBS adalah 39,1 ± 20,0 tahun, yang lebih rendah daripada di Amerika
Utara dan Eropa.5
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi di Indonesia Rata-rata pertahun 1-
3/100.000 populasi. Jumlah penderita wanita dan laki-laki hampir sama, perbandingan rasio
perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia. Insidensi terbanyak di Indonesia yaitu dibawah
usia 35 tahun.3
Pieter et al. melaporkan bahwa insidensi dari sindrom Guillain–Barré Syndrome bervarasi
antara 1.2-1.3 per 100.000 orang pertahun. Insidensi tertinggi pada bulan April sampai Mei dimana
terjadi pergantian musim hujan dan kemarau . Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-
15 tahun), dan menemukan angka kejadian setiap tahunnya menjadi antara 0,34 sampai
1.34/100.000. Kebanyakan penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara melaporkan
angka kejadian tahunan antara 0,84 sampai 1,91/100.000.3
2.3 Etilogi Guillain Barre syndrome
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain: Infeksi; vaksinasi,pembedahan;
penyakit sistematik, seperti keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis, penyakit
Addison, serta kehamilan atau dalam masa nifas. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi
akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -
80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal.6
Infeksi bakteri yang paling sering mencetuskan Guillain–Barré Syndrome adalah infeksi
Campylobacter jejuni. Bakteri dari genus Campylobacter diidentifikasi sebagai yang paling umum
menjadi sumber gastroenteritis bakteri di Amerika Serikat melebihi Salmonella dan Shigella. Pada
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, kultur dan serum menunjukkan
bukti adanya infeksi pendahulu Campylobacter jejuni pada 26-45% pasien Guillain–Barré
Syndrome. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan
dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang terbentuk terhadap kuman
ini bisa juga menyerang myelin.6,8
Menurut Seneviratne pada cohort study menunjukkan bahwa risiko Guillain–Barré
Syndrome meningkat pada beberapa bulan awal setelah melahirkan, sementara risikonya lebih
rendah selama masa kehamilan. Telah ditentukan bahwa tidak ada hubungan genetik secara langsung,
Guillain–Barré Syndrome dianggap sebagai respon imun idiosinkrasi terhadap infeksi
sebelumnya, dimana mungkin ada hubungan genetik yang mendasari.6,7
Tabel 1: Jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab GBS 9
2.4 Patofisiologi Guillain Barre syndrome
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada Guillain–Barré Syndrome masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah
melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:10
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell

mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran

pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses

demyelinisasi saraf tepi.

Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain–Barré Syndrome dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya..Dalam
sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag.
Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami
pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid danperedaran. Sebelum respon
imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4)
melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus,
allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen
(antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T
(CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan
substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.11,12
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T
dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein
myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.11,12
Gambar 1 : Lokasi SGB yang menyerang sistem nervus perifer

Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi
virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun
mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun,
seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi
bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung
myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.12
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis, berfungsi s ebagai
pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin,
yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan
melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf
yang ditransmisikan.12
Myelin tidak membungkus secara utuh, tetapi terdapat suatu jarak diantaranya,yang dikenal
sebagai Nodus Ranvier, dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal
saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi
sinyal akan semakin lambat 12
Gambar 2. Proses demielinisasi saraf tepi pada sindrom Guillain Barre

Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap.
Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau
terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot,
kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,termasuk berjalan10
Gambar 3. Perjalanan kerusakan sel saraf tepi pada poliradiculoneuritis

Limphosit bermigrasi & bertransformasi ke


dlm
serabut saraf, myelin & axon belum rusak.

Sel limphosit & sel makrofag >>, mulai terjadi


segmental demyelinisasi, axon belum rusak.

kerusakan selubung myelin & axon, Terjadi


kromatolisis sentral inti sel saraf atropi
& denervasi.

Kerusakan axon >> proximal, kerusakan


irreversible regenerasi sel saraf (-)
Gambar 4 : Patogenesis dan fase klinikal dari GBS

Pada Guillain–Barré Syndrome, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi
dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen
normal dari serabut myelin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh
virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini
didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein
membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter
jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan
adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama12
Gambar5. Patogenesis infeksi Campylobacter jejuni terhadap kerusakan

sel saraf tepi

Guillain–Barré Syndrome dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur, transmisi sinyal saraf
yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder;
hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf
akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada
area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare,
dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang
panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat (13).
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf
spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat11,12
2.5 Klasifikasi Guillain Barre syndrome
Sindroma Guillain Barre diklasifikasikan sebagai berikut:7
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis
paling umum ditemukan pada SGB, yang juga cocok dengan gejala asli dari sindrom
tersebut. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus facialis. Penelitian telah
menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi
segmental makrofag.

2. Acute Motor Axonal Neuropathy


Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas SGB
epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65% dari pasien SGB
merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas
degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang berkembang cepat
dan sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki
prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi
mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat
meningkatkan rangsangan neuron motorik.

3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy


Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang
berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik. Pasien
biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari
AMAN.

4. Miller Fisher Syndrome


Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy
mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi
terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada
saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
5. Acute Neuropatic panautonomic
Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada SGB.
Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat kematian
tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia. Gangguan berkeringat,
kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat pencahar atau
bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal
adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala
otonom termasuk ortostatik ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan
dengan intoleransi ortostatik, serta disfungsi pencernaan.

6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)


Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini ditandai dengan onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan
penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE
meskipun presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI memainkan
peran penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE telah dikaitkan dengan
SGB aksonal, dengan indikasi bahwa dua gangguan yang erat terkait dan membentuk
spectrum lanjutan.
Tabel 2. Klasifikasi Guillain–Barré Syndrome 8
2.6 Manifestasi Klinik Guillain Barre syndrome
Guillain–Barré Syndrome terjadi pada orang yang relatif sehat yang mengalami infeksi
beberapa hari sampai minggu sebelum timbul gejala Guillain– Barré Syndrome. Infeksi yang paling
sering dilaporkan pada kasus Guillain–Barré Syndrome adalah gastroenteritis dan infeksi saluran
pernapasan atas yang terjadi kira-kira 1-3 minggu sebelum gejala neurologi muncul. 6,11
Orang dengan Guillain–Barré Syndrome mengalami onset bertahap simetris dari parestesia
dan mati rasa yang dimulai di kaki dan naik pada tingkat yang bervariasi. Hal ini juga dapat mencakup
tangan dan kaki naik dari distal ke proksimal yang menyebabkan kelemahan motorik dan akhirnya
menjadi paralisis 6,11
Disfungsi sensoris dan somatik terlihat pada 2/3 dari kasus, tapi tidak selalu hadir pada
semua kasus. Gangguan otonom dapat bermanifestasi pada banyak variasi seperti
6,11
hipertensi/hipotensi, aritmia jantung, dan berbagai gejala lainnya
Gejala klinis pada penderita Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut:
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara natural.
Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal
mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat
terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan,
berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat
berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.11

2. Keterlibatan saraf kranial


Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial III-VII dan
IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah
droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta
gangguan pada pupil.
Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang
terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit
saraf kranial.11

3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori cenderung
minimal dan variabel.11
Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik
serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari
kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan
tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat
hadir.

4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien melaporkan
nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya.
Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat
terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut.
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit
mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi
shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias
dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami
oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit
yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).11

5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat mencakup
sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi
ortostatik, Anhidrosis dan / atau diaphoresis
Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus
dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan dan kegagalan
pernafasan yang parah.11

6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea saat
aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel
Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga
sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Perjalanan alamiah Guillain–Barré Syndrome, skala waktu dan beratnya kelumpuhan
bervariasi antara berbagai penderita Guillain–Barré Syndrome. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3
8,11
fase, yaitu
1. Fase progresif.

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampaigejala menetap,
dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan
sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita.
Kasus Guillain– Barré Syndrome yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan
Guillain–Barré Syndrome yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi
menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi
berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala
2.Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan
ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai
dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang
atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perludilakukan monitoring tekanan darah, irama
jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di
fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan
otot dan sendi;namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini
tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase
infeksi,sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan
3.Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan
terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan
otot yang

2.7 Diagnosis Guillain Barre syndrome


Diagnosis Guillain–Barré Syndrome terutama ditegakkan secara klinis. Kriteria diagnosis
yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative
6
Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu
1.Kelumpuhan progresif dari lengan dan tungkai. Mungkin diawali oleh kelumpuhan di ekstremitas
bawah saja, gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai
puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu dan 90% dalam 4 minggu.
2.Arefleksia (penurunan refleks tendon).

3.Ditemui hal-hal yang memperkuat prognosis:


a. Progresi dari gejala dalam 4 minggu atau kurang

b. Gejala relatif simetris

c. Ada gejala sensoris yang ringan

d. Ada keterlibatan saraf kranial. Gejala saraf kranial ±50% terjadi paresis

nervus VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya

yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan

e. Disfungsi otonom: takikardi, aritmia, hipotensi, hipertensi dan gejala

vasomotor

f. Nyeri biasanya sering terjadi

g. Terdapat protein dengan konsentrasi tinggi, serta kelainan pada CSF

yang khas. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong

diagnosis:

- Protein cairan serebrospinal: meningkat setelah gejala 1 minggu

atau terjadi peningkatan pada lumbal pungsi serial

- Jumlah sel cairan serebrospinal <10MN/m3

- Varian: tidak ada peningkatan protein cairan serebrospinal setelah

1 minggu gejala, jumlah sel cairan serebrospinal 11-50 MN/m3

h. Ada gambaran elektrodiagnosis yang spesifik. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok
pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

2.8 Pemeriksaan Neurologis Guillain Barre syndrome


Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan
paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi
mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Saraf kranial III-VII dan IX-XII
mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop
(bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta
gangguan pada pupil. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin
ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.11

2.9 Pemeriksaan Penunjang Guillain Barre syndrome


1.Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak
(> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi
sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset
penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3.
Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam
cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa
11
penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone)
2.Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Guillane Barre Syndrome merupakan suatu kelainan pada konduksi pada saraf dan EMG
dapat menjadi suatu penilaian yang baik untuk mengkonfirmasi diagnosis, identifikasi dari segmen
saraf yang rusak dan memperkirakan prognosis.
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis Guillain–Barré Syndrome adalah
kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang
kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal
dan radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga
berguna untuk menentukan prognosis penyakit , bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan
bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna.11
3.Pemeriksaan Darah Tepi
Dapat didapati polimorfonuclear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit
cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjaadi
limfositosis, eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah (LED) dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala11
4.Test hipersensitivitas
Dapat dijumpai hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG,
IgM, dan IgA, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.11
5.Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.
Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang
terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung
myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke
sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung
schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan
saraf tepi telah hancur
Asbury, dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit
yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti
demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian.11

2.11 Diagnosis Banding Guillain Barre syndrome


Gejala klinis Guillain–Barré Syndrome biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan
kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang- kadang harus dibedakan dengan
keadaan lain. Penyakit lain yang mungkin dapat menyebabkan kelemahan yang cepat dan progresif
harus disingkirkan dan dibedakan. Penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah12
a. Kelainan batang otak
- Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*
- Ensefalomielitis batang otak
b. Kelainan medulla spinalis
- Mielitis transversa.
- Mielopati nekrotik akut.
- Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnum.
- Mielopati akut lain.
c. Kelainan sel kornu anterior
- Poliomielitis
- Rabies
- Tetanus
d. Poliradikulopati.
- Difteri
- Paralisis Tick
- Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas.
- Keracunan organofosfat.
- Heksakarbon (neuropati penghirup lem).
- Perhexiline.
- Obat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoin.
- Critical illness polyneuropathy
e. Kelainan transmisi neuromuskuler
- Myastenia gravis
- Botulismus
- Hipermagnesemi
- Paralisis yang diinduksi antibiotika
- Bisa gigitan ular
f. Miopati
- Polimiositis
- Miopati akut lain, misalnya akibat induksi obat
g. Abnormalitas metabolik
- Hipokalemi
- Hipermagnesemia
- Hipofosfatemia
h. Lain-lain
- Histeri
- Malingering

2.12 Penataklasanaan Guillain Barre syndrome


Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan
waktu perawatan yang cukup lama dan angka kec acatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit
dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral atau inravena dulu diercaya dapat mempercepat
penyembuhan GBS.Namun berjalannya waktu, beberapa studi menunjukan bahwa pemberian
kotikosteroid sebagai monoterapi tidak bermanfaat dan tidak mempercepat penyembuhan secara
signifikan.Selain itu pemberian kotrtikosteroid secara intravena yang berkombinasi dengan ivig
tidak menunujukan manfaat secara signifikan dalam waktu yang panjang.Kortikosteroid yang
pernah dipakai untuk GBS ini didalam penelitian adalah metilprednisolon,dimana dari hasil
penelitiannya menunjukan bahwa metilprednisolon intravena saja tidak menghasilkan manfaat
maupun bahaya yang signifikan. Dalam kombinasi dengan IVIG, metilprednisolon intravena
dapat mempercepat pemulihan tetapi tidak secara signifikan outcome dari pasien14,15

2) Plasmafaresis
Plasmafaresis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi
yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pertukaran plasma yang dilakukan dapat membantu
menghilangkan autoantibodi, kompleks imun, dan konstituen sitotoksik dari serum dan terbukti
mengurangi waktu pemulihan hingga 50%. Sebuah tinjauan terhadap 6 percobaan acak dan
terkontrol yang melibatkan 649 peserta menemukan bahwa pertukaran plasma membantu
mempercepat pemulihan dari GBS tanpa menyebabkan kerusakan, selain diikuti oleh risiko
relaps yang sedikit meningkat Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg
BB yang dilakukan sebanyak 5 x dalam 10 hari Plasmaparesis lebih memberikan efek yang
lebih baik jika dikerjakan saat onset awal penyakit.Selama plasmaparesis penting memonitoring
tekanan darah,nadi , jumlah cairan yang masuk dan keluar,CBC,dan elektrolit.14,16

3) Pengobatan imunosupresan:
 Imunoglobulin IV (IVIg)
Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih menguntungkan dibandingkan
dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan komplikasi yang sifatnya lebih ringan.
Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon humoral dalam menghambat autoantibody dan
menekan produksi autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh
komplemen dalam diredam. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan
fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali
dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade silam. Dalam studi ini, mereka
membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok
kontrol. Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh
lebih efektif dibandingkan plasmaparesisPenelitian yang dilakukan oleh Baubaker dkk,yaitu
membandingkan penggunaan ivig dan plasmaparesis pada pasien GBS yang dirawat di icu
dengan ventilasi mekanik menunjukan ivIg lebih bermanfaa daripada plasmapaesis.17 Untuk
kelompok IVIg, masa inap ICU lebih pendek, penyembuhan lebih cepat daripada kelompok
plasmaparesisPengobatan. Dilakukan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.14,18
 Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) azathioprine
c) cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.

4)Terapi Suportif

 Monitor respirasi, bila perlu lakukan trakeostomi. Penggunaan ventilator mekanik


menjadi suatu keharusan apabila diduga telahterjadi paralysis otot-otot respirasi.
Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti iniUmumnya pasien GBS
dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang pelayanan intermediet untuk memungkinkan
monitoring pernapasan dan fungsi otonom yang lebih intensif. Penurunan expiratory forced vital
capacities < 15 cc/kgBB ideal atau tekanan inspirasi negative dibawah 60 cmH 2O
mengindikasikan bahwa pasien memerlukan intubasi dan ventilator mekanik sebelum terjadi
hipoksemia14,19,20
 Pasang NGT, Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu
dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan
 Monitor EKG
 Fisioterapi aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan fungsi alat gerak,
menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan keseimbangan. Fisioterapi pasif setelah terjadi
masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot13

2.13 Komplikasi Guillain Barre syndrome


Guillain–Barré Syndrome merupakan salah satu penyebab terbanyak dari paralisis
neuromuskular. Kebanyakan pasien Guillain–Barré Syndrome meninggal dikarenakan gangguan
otonom; henti jantung menjadi penyebab paling sering, bertanggung jawab pada 20-30%
kematian.11

2.14 Prognosis Guillain Barre syndrome


Pada umumnya, sekitar 3% sampai 5% pasien tidak dapat bertahan dengan penyakitnya,
tetapi pada sebagian kecil penderita dapat bertahan dengan gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan
tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain pada pemeriksaan NCV-
EMG relatif normal, mendapat terapi plasmaparesis sejak awal onset gejala, progresifitas
penyakit lambat dan pendek, dan terjadi pada penderita berusia 30-60 tahun.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guillain–Barré Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa
faktor pencetus yang terlibat, diantaranya infeksi virus, vaksinasi, dan beberapa penyakit sistemik.
Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko
komplikasi pencernaan. Tatalaksana untuk Guillain–Barré Syndrome diantaranya imunoterapi dan
terapi supportif saja, dikarenakan etiologi dari Guillain–Barré Syndrome yang belum jelas.
Prognosis ditentukan berdasarkan usia dan derajat kerusakan sel saraf tepi yang terkena

DAFTAR PUSTAKA

1. Evil Science. 2008. Available from : http://www.guillainbarresyndrome.net


2. Erasmus MC. Gullain-Barre Syndrome. Professor Marianne de vissers, Editor. University
Medical Center Rotterdam. Netherlands; 2004
3. McGrogan A, Gemma C.M, Helen E.S, Corinne S.V. The epidemiology of guillane-barre
syndrome worldwide. Neuroepidemiology 2009; 32: 150- 163.
4. Evidence Center. 2011 [12/03/2013]. Available from:
http://bestprice.bmj.com/best-practice/monograph/basics/epidemiology.html

5. Yoshikawa H.Epidemiology of guillane barre syndrome.brainnerve. Japan.2015.


6. Mantay KC, E Armeau, T Parish. Recognizing Guillain-Barré Syndrome in the primary care
setting. The Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice 2007; 5(1): 1-8..
7. Fauci AS, DL Kasper, DL longo, et al. Harrison’s principles of internal medicine 17th Ed. New
York: McGraw-Hill, 2008
8. Dr Iskandar J, Guillain Barre Syndrome. Universitas Sumatera Utara ; 2005
9. Burns TM. Guillain-Barre’ syndrome. Thieme Medical Journal 2008; 28(2): 152-167
10. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in clinical practice:
the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann; 1996.p.1911-16.
11. Van Doorn PA, L Ruts, B Jacobs. Clinical features, pathogenesis and treatment of Guillain-
Barre syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939-950.
12. Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation. In: Selzer ME,
Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH. Textbook of neural repair and
rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006.
p.49- 55
13. Greenberg D.A,Aminof M.J,Simon R.P.Clinical Neurology 8th
edition.NewYork.Lange.2012 :312-54
14. Medscape. Guillain–Barré syndrome. January 2017 [cited 2020 13 April]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview

15. Hughes RA,Swan AV,Van Doorn PA.Corticosteroid for Guillain Barre


Syndrome.Cochrane Database.Syst Rev.2010 Feb 17.CD001446

16. Raphael JC,Chevret S,Hughes RA,Annae D.Plasma exchange for guillain Barre
Syndrome. Syst Rev.2012 Jul 11.CD001798
17. CharraB,Hachimi A,Benslama A,Motaouakkil S.Intravenous immunoglobulin vs plasma
exchange in treatment of mechanically ventilated adult with guillain barre syndrome.2014
May 9

18.  Hughes RA, Swan AV, van Doorn PA. Intravenous immunoglobulin for Guillain-Barré
syndrome. Cochrane Database Syst Rev. 2012 Jul 11;7:CD002063. 

19. Umme SR,Nisa QKM,et al.Clinical Features indicating the need for mechanical ventilation
in patients with Guillain Barre Syndrome.Cureus.2019 aug 29

20. Sharshar T, Chevret S, Bourdain F, Raphaël JC: Early predictors of mechanical


ventilation in Guillain-Barré syndrome. Crit Care Med. 2003, 31:278-
283. 10.1097/00003246-200301000-00044

Anda mungkin juga menyukai