Guillain Barre Syndrome
Oleh:
David Yohan
406192061
Pembimbing:
Dr. dr. Rini Andriani, Sp.S (K)
Referat :
Guillain Barre Syndrome
Disusun oleh :
David Yohan
406192061
Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain–Barré Syndrome dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya..Dalam
sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag.
Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami
pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid danperedaran. Sebelum respon
imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4)
melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus,
allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen
(antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T
(CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan
substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.11,12
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T
dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein
myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.11,12
Gambar 1 : Lokasi SGB yang menyerang sistem nervus perifer
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi
virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun
mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun,
seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi
bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung
myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.12
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis, berfungsi s ebagai
pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin,
yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan
melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf
yang ditransmisikan.12
Myelin tidak membungkus secara utuh, tetapi terdapat suatu jarak diantaranya,yang dikenal
sebagai Nodus Ranvier, dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal
saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi
sinyal akan semakin lambat 12
Gambar 2. Proses demielinisasi saraf tepi pada sindrom Guillain Barre
Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap.
Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau
terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot,
kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,termasuk berjalan10
Gambar 3. Perjalanan kerusakan sel saraf tepi pada poliradiculoneuritis
Pada Guillain–Barré Syndrome, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi
dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen
normal dari serabut myelin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh
virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini
didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein
membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter
jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan
adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama12
Gambar5. Patogenesis infeksi Campylobacter jejuni terhadap kerusakan
Guillain–Barré Syndrome dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur, transmisi sinyal saraf
yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder;
hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf
akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada
area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare,
dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang
panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat (13).
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf
spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat11,12
2.5 Klasifikasi Guillain Barre syndrome
Sindroma Guillain Barre diklasifikasikan sebagai berikut:7
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis
paling umum ditemukan pada SGB, yang juga cocok dengan gejala asli dari sindrom
tersebut. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus facialis. Penelitian telah
menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi
segmental makrofag.
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori cenderung
minimal dan variabel.11
Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik
serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari
kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan
tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat
hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien melaporkan
nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya.
Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat
terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut.
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit
mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi
shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias
dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami
oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit
yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).11
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat mencakup
sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi
ortostatik, Anhidrosis dan / atau diaphoresis
Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus
dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan dan kegagalan
pernafasan yang parah.11
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea saat
aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel
Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga
sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Perjalanan alamiah Guillain–Barré Syndrome, skala waktu dan beratnya kelumpuhan
bervariasi antara berbagai penderita Guillain–Barré Syndrome. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3
8,11
fase, yaitu
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampaigejala menetap,
dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan
sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita.
Kasus Guillain– Barré Syndrome yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan
Guillain–Barré Syndrome yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi
menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi
berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala
2.Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan
ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai
dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang
atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perludilakukan monitoring tekanan darah, irama
jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di
fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan
otot dan sendi;namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini
tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase
infeksi,sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan
3.Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan
terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan
otot yang
d. Ada keterlibatan saraf kranial. Gejala saraf kranial ±50% terjadi paresis
nervus VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya
vasomotor
diagnosis:
h. Ada gambaran elektrodiagnosis yang spesifik. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok
pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral atau inravena dulu diercaya dapat mempercepat
penyembuhan GBS.Namun berjalannya waktu, beberapa studi menunjukan bahwa pemberian
kotikosteroid sebagai monoterapi tidak bermanfaat dan tidak mempercepat penyembuhan secara
signifikan.Selain itu pemberian kotrtikosteroid secara intravena yang berkombinasi dengan ivig
tidak menunujukan manfaat secara signifikan dalam waktu yang panjang.Kortikosteroid yang
pernah dipakai untuk GBS ini didalam penelitian adalah metilprednisolon,dimana dari hasil
penelitiannya menunjukan bahwa metilprednisolon intravena saja tidak menghasilkan manfaat
maupun bahaya yang signifikan. Dalam kombinasi dengan IVIG, metilprednisolon intravena
dapat mempercepat pemulihan tetapi tidak secara signifikan outcome dari pasien14,15
2) Plasmafaresis
Plasmafaresis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi
yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pertukaran plasma yang dilakukan dapat membantu
menghilangkan autoantibodi, kompleks imun, dan konstituen sitotoksik dari serum dan terbukti
mengurangi waktu pemulihan hingga 50%. Sebuah tinjauan terhadap 6 percobaan acak dan
terkontrol yang melibatkan 649 peserta menemukan bahwa pertukaran plasma membantu
mempercepat pemulihan dari GBS tanpa menyebabkan kerusakan, selain diikuti oleh risiko
relaps yang sedikit meningkat Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg
BB yang dilakukan sebanyak 5 x dalam 10 hari Plasmaparesis lebih memberikan efek yang
lebih baik jika dikerjakan saat onset awal penyakit.Selama plasmaparesis penting memonitoring
tekanan darah,nadi , jumlah cairan yang masuk dan keluar,CBC,dan elektrolit.14,16
3) Pengobatan imunosupresan:
Imunoglobulin IV (IVIg)
Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih menguntungkan dibandingkan
dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan komplikasi yang sifatnya lebih ringan.
Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon humoral dalam menghambat autoantibody dan
menekan produksi autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh
komplemen dalam diredam. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan
fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali
dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade silam. Dalam studi ini, mereka
membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok
kontrol. Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh
lebih efektif dibandingkan plasmaparesisPenelitian yang dilakukan oleh Baubaker dkk,yaitu
membandingkan penggunaan ivig dan plasmaparesis pada pasien GBS yang dirawat di icu
dengan ventilasi mekanik menunjukan ivIg lebih bermanfaa daripada plasmapaesis.17 Untuk
kelompok IVIg, masa inap ICU lebih pendek, penyembuhan lebih cepat daripada kelompok
plasmaparesisPengobatan. Dilakukan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.14,18
Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) azathioprine
c) cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.
4)Terapi Suportif
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guillain–Barré Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa
faktor pencetus yang terlibat, diantaranya infeksi virus, vaksinasi, dan beberapa penyakit sistemik.
Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko
komplikasi pencernaan. Tatalaksana untuk Guillain–Barré Syndrome diantaranya imunoterapi dan
terapi supportif saja, dikarenakan etiologi dari Guillain–Barré Syndrome yang belum jelas.
Prognosis ditentukan berdasarkan usia dan derajat kerusakan sel saraf tepi yang terkena
DAFTAR PUSTAKA
16. Raphael JC,Chevret S,Hughes RA,Annae D.Plasma exchange for guillain Barre
Syndrome. Syst Rev.2012 Jul 11.CD001798
17. CharraB,Hachimi A,Benslama A,Motaouakkil S.Intravenous immunoglobulin vs plasma
exchange in treatment of mechanically ventilated adult with guillain barre syndrome.2014
May 9
18. Hughes RA, Swan AV, van Doorn PA. Intravenous immunoglobulin for Guillain-Barré
syndrome. Cochrane Database Syst Rev. 2012 Jul 11;7:CD002063.
19. Umme SR,Nisa QKM,et al.Clinical Features indicating the need for mechanical ventilation
in patients with Guillain Barre Syndrome.Cureus.2019 aug 29