ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN
KEJANG DEMAM
DISUSUN OLEH KELOMPOK 2:
1. RAHAYU GUSTIANA (22.0603.0005)
2. ADILA AWANI F (22.0603.0047) 3. DIMAS ANGGORO PUTRO (22.0603.0048) 4. RYANDA FIKRI H (22.0603.0053) 5. NUR UMAYAH (22.0603.0055) 6. SAFIRA NAFI’AH (22.0603.0057) 7. FIKRI DWI ANDRIYANTO (22.0603.0058) 8. RINI LISTYOWATI (22.0603.0060)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1)
FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG TAHUN 2022 A. Konsep Dasar Penyakit 1. Pengertian Kejang Demam Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38℃) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Baranan dan Jaumar, 2013). Kejang demam merupakan gangguan transien pada anak-anak yang terjadi bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan kelainan neurulogik yang paling sering dijumpai pada masa kanak-kanak dan menyerang sekitar 4% anak (Sodikin, 2012). 2. Klasifikasi Secara Klinis, klasifikasi kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam simpleks/sederhana (Simple Febrile Seizure) dan kompleks (Complex Febrile Seizure) (Wulandari dan Erawati, 2015). a. Kejang demam simpleks Kejang demam yang berlangsung singkat kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik, dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam. b. Kejang demam kompleks Kejang demam dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Kejang lama >15 menit. 2) Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum kejang parsial. 3) Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. (Nugroho, 2011) 3. Etiologi Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu sehingga mengganggu fungsi normal otak dan juga dapat terjadi karena keseimbangan asam basa atau elektrolit yang terganggu. Kejang sendiri dapat juga menjadi manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan. Penyebab dari kejang demam: a. Faktor-faktor perinatal, malformasi otak kongenital b. Faktor genetika. Faktor keturunan memegang penting untuk terjadinya kejang demam 20-50% anak yang mengalami kejang memiliki anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali. c. Penyakit infeksi Bakteri: penyakit pada Traktus Respiratorius (pernapasan), Paringitis (radang tenggorokan), Tonsilitis (amandel), Ootitis media (infeksi telinga). Virus: Varicella (cacar), Morbili (campak), Dengue (virus penyebab demam berdarah). d. Demam Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan demam atau pada waktu demam lagi. e. Gangguan metabolisme Gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, kadar gula darah kurang dari 30 mg% pada neonatus cukup bulan dan kurang dari 20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir rendah atau Hiperglikemia. f. Trauma Kejang berkembang minggu pertama setalah cedera kepala. g. Gangguan sirkulasi. h. Penyakit degeneratif susunan saraf. i. Neoplasma Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia berapapun, tetapi mereka merupakan penyebab sangat penting dari kejang pada usia pertengahan dan kemudian ketika insiden penyakit neoplastik meningkat (Nugroho, 2011). 4. Manifestasi klinis Kejang selalu didahului oleh naiknya suhu tubuh dengan cepat. Pada kejang demam simpleks, tipe kejang berupa kejang umum klonik atau tonik-klonik. Adanya tanda kejang demam fokal atau parsial selama maupun sesudah kejang (misalnya pergerakan satu tungkai saja, atau satu tungkai terlihat lebih lemah dibandingkan yang lain) menunjukan kejang demam kompleks. Tanda dan gejala dari kejang demam adalah: a. Kejang demam mempunyai insiden yang tinggi pada anak, yaitu 3-4%. b. Kejang biasanya singkat, berhenti sendiri, terjadi lebih banyak pada laki-laki. c. Kejang timbul dalam 24 jam setelah naiknya suhu badan akibat infeksi diluar susunan saraf misalnya otitis media akut, bronkitis, dan sebagainya. d. Bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau atonik. e. Takikardi: pada bayi, frekuensi sering diatas 150-200 per menit (Markam, 2009). 5. Patofisiologi Mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dengan perantara fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu Lifoid dan permukaan luar yaitu Ionic. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran neuron. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh: perubahan konsentrasi ion diruang ekstraselular, rangsanagan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri dari penyakit atau keturunan. (Wulandari dan Erawati,2016) Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsillitis, otitis media akut, bronchitis penyebab terbanyaknya adalah bakteri yang bersifat toksik.Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen. Penyebaran toksis ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan menaikan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot. Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit dan jaringan tubuh yang lain akan disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion Natrium, ion Kalium dengan cepat dari luar sel menuju kedalam sel. Peristiwa inilah yang menaikan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang. Serangan yang cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan respon kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasme sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan spasme bronkus (Riyadi & Sukarmin, 2013). 6. Pathway 7. Pemeriksaan diagnostic Pemeriksaan penunjang kejang demam pada anak (Arief, 2015) a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lainnya misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula darah. b. Pungsi Lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis adalah 0,6- 6,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada: 1) Bayi kurang dari 12 bulan - sangat dianjurkan 2) Bayi antara 12-18 bulan - dianjurkan 3) Bayi >18 bulan - tidak rutin bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. c. Elektroensefalografi Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak direkomendasi karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya pada kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal. d. MRI Magnetic Resonance Imaging (MRI) diketahui memiliki sensivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang local sekunder. Foto X-ray kepala seperti Computed Tomography, scan (CT-scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti: 1) Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparesis) 2) Paresis nervus VI 3) Papiledema 8. Penatalaksanaan Riyadi dan Sukarmin menyatakan bahwa penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien saat berada di rumah sakit antara lain: 1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlaan dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5- 0,75 mg/kg BB, di atas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/kali pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskular. 2) Pembebasan jalan nafas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. 3) Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan. 4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuan dan mempermudah dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake dan output cairan dalam 24 jam perlu dilakukan, karena pada penderita yang berisiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial juga pemberian cairan yang mengandung natrium (NaCl) perlu dihindari. Kebutuhan cairan rata-rata untuk anak terlihat pada table sebagai berikut : 5) Pemberian kompres air es untuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan metode konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat yang tinggi (suhu tubuh) ke benda yang mempunyai derajat lebih rendah (kain kompres). Kompres diletakan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti nyaman kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah yang besar seperti leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari (terbagi dalam 3 kali pemberian). 6) Apabila terjadi peningkatan tekanan intracranial maka perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi edem otak seperti deksametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik. Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebi tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan cara menaikan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang lebih 15o (posisi tubuh pada garis lurus). 7) Pengobatan penyebab. Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah kenaikan suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik yang cocok diberikan pada pasien anak dengan kejang demam. Menurut, (Riyadi &Sukarmin, 2013), menyatakan bahwa penatalaksanaan pemberian tindakan awal pada anak yang mengalami kejang demam di rumah. Tindakan awal itu antara lain: 1) Saat timbul serangan kejang segera pindahkan anak ke tempat yang aman seperti di lantai yang diberi alas lunak tapi tipis, jauh dari benda-benda berbahaya seperti gelas, pisau. 2) Posisi kepala anak hiperekstensi, pakaian dilonggarkan. Kalua takut lidah anak menekuk atau tergigit maka diberikan tongue spatel yang di bungkus dengan kassa atau kain, kalua tidak ada dapat diberikan sendok makan yang dibalut dengan kassa atau kain bersih. 3) Ventilasi ruangan harus cukup. Jendela dan pintu di buka supaya terjadi pertukaran oksigen lingkungan. 4) Kalau anak mulutnya masih dapat dibuka sebagai pertolongan awal dapat diberikan antipiretik seperti aspirin dengan dosis 60mg/tahun/kali (maksimal sehari 3 kali). 5) Kalau memungkinkan sebaiknya orang tua atau pengasuh di rumah menyediakan diazepam (melalui dokter keluarga) peranus sehingga saat serangan kejang anak dapat segera diberikan. Dosis peranus 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg, kalau berat badan lebih dari 10 kg maka dapat diberikan dosis 10 mg. untuk dosis rata-rata pemberian peranus adalah 0,4-0,6 mg/kgBB. 6) Keluar beberapa menit kemudian tidak membaik atau tidak tersedianya diazepam maka segera bawa anak ke rumah sakit. B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian bertujuan untuk mendapatkan data dasar tentang kesehatan klien baik fisik, psikososial, maupun emosional. Data dasar ini digunakan untuk menetapkan status kesehatan klien, menemukan masalah aktual ataupun potensial serta sebagai acuan dalam memberikan edukasi pada klien (Ode Debora, 2013). Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi, dan dokumentasi data (informasi) yang sistematis dan bersinambungan yang dilakukan pada semua fase proses keperawatan, misalnya pada fase evalusi, pengkajian, dilakukan untuk menentukan hasil strategis keperawatan dan mengevaluasi pencapaian tujuan (Kozier, 2011). Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian pada anak dengan kejang demam adalah: a. Biodata/ Identitas pasien Biodata pasien mencakup nama, umur, jenis kelamin. Sedangkan biodata orang tua perlu ditanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat. b. Keluhan utama Meliputi keluhan paling utama yang dialami oleh pasien, biasanya keluhan yang dialami pasien kejang demam adalah anak mengalami kejang pada saat panas diatas > 37,5-39,5oC. c. Riwayat penyakit sekarang 1) Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan, apakah betul ada kejang. Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar mengetahui kejang yang dialami oleh anak. 2) Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah terdapat infeksi. Infeksi mempengaruhi penting dalam terjadinya bangkitan kejang pada anak. 3) Lama serangan Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu berlangsung lama. Dari lama bangkitan kejang dapat kita ketahui respon terhadap prognosa dan pengobatan. 4) Pola serangan Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik atau klonik. Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum. 5) Frekuensi serangan Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin kurang baik apabila timbul kejang pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering terjadi. 6) Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudahnya kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya. 7) Riwayat penyakit sekarang yang menyertai Apakah muntah, diare, trauma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain- lain. d. Riwayat penyakit dahulu Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kalinya. Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, OMA dan lain-lain. e. Riwayat penyakit keluarga Adakah keluarga yang memiliki penyakit kejang demam seperti pasien (25 % penderita kejang demam mempunyai faktor turunan). Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit saraf atau lainnya. Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam. f. Riwayat kehamilan dan persalinan Kelainan ibu sewaktu hamil per trisemester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma perdarahan pervagina sewaktu hamil, penggunakan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep/ vakum), perdarahan ante partum, asfiksia dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau netek dan kejang kejang. g. Riwayat imunisasi Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang. h. Riwayat perkembangan Kemampuan perkembangan Anak meliputi: 1) Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial): berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya. 2) Motorik halus: berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda dan lain-lain. 3) Motorik kasar: berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh. 4) Bahasa: kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan. i. Riwayat sosial Untuk mengetahui perilaku pada anak dan keadaan emosionalnya yang perlu dikaji siapakah yang mengasuh anak. Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya. 1) Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis. Bagaimana pandangan tehadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama. 2) Pola nutrisi Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak, ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak, makanan apa saja yang disukai dan yang tidak, bagaimana selera makan anak, berapa kali minum, jenis dan jumlahnya perhari. 3) Pola eliminasi BAK: ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau khas, dan terdapat darah, serta tanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing. BAB: ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak, bagaimana konsistensinya lunak, keras, cair atau berlendir. 4) Pola aktivitas dan latihan Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya, berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam, aktivitas apa yang disukai. 5) Pola tidur/istirahat Berapa jam sehari tidur, berangkat tidur jam berapa. Bangun tidur jam berapa, kebiasaan sebelum tidur, serta bagaimana dengan tidur siang. a. Data objektif 1) Pemeriksaan Umum Pertama kali perhatikan keadaan umum vital: tingkat kesadaran, tekanan darah, respirasi, nadi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedang kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi. 2) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan secara menyeluruh dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk mendapatkan data objektif tentang kondisi pasien (Perry, 2005). a) Kepala Tanda-tanda mikro atau makro sepali, adakah dispersi bentuk kepala, apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum. b) Rambut Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien. c) Muka/Wajah Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah: sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus, apakah ada gangguan nervus cranial. d) Mata Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Bagaimana keadaan sklera, konjungtiva. e) Telinga Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran. f) Hidung Adakah pernafasan cuping hidung, polip yang menyumbat jalan nafas, apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya jumlahnya. g) Mulut Adakah tanda-tanda sardonicus, bagaimana keadaan lidah, adakah stomatitis, berapa jumlah gigi yang tambah, apakah ada carries gigi. h) Tenggorokan Adakah tanda-tanda peradangan tonsil, adakah tanda-tanda infeksi faring. i) Leher Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembasaran kelenjar tyroid, adakah pembesaran vena jugularis. j) Thorax Pada inspeksi amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernafasan, frekuensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi dada. Pada auskultasi adakah suara nafas tambahan. k) Jantung Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya, adakah bunyi tambahan, adakah bradicardi atau tachycardia. l) Abdomen Adakah distensi abdomen serta kekakuan otot pada abdomen, bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus, adakah tanda meteorismus, adakah pembesaran hepar. m) Kulit Bagaimana keadaan kulit, baik kebersihan maupun wamanya, apakah terdapat oedema, hemangioma, bagaimana keadaan turgor kulit. n) Ekstremitas Apakah terdapat kulit baik kebersihan maupun wamanya, apakah terdapat oedema, hemangioma, bagaimana keadaan turgor kulit. o) Genetalia Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi. 2. Diagnose Diagnosa keperawatan yang dapat diambil pada kasus kejang demam adalah hipertermia, yang berhubungan dengan proses penyakit(SDKI, 2016) 3. Intervensi 4. Implementasi Implementasi adalah tahap ke empat dari proses keperawatan . tahap ini muncul jika perencanaan yang dibuat di aplikasikan pada klien. Tindakan yang dilakukan mungkin sama mungkin juga berbeda dengan urutan yang telah di buat pada perencanaan. Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibelitas dan kreatifits perawat. Sebelum melakukan suatu tindakan, perawat harus mengetahui tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan tindakan yang sudah direncanakan, dilakukan dengan rencana yang tepat,aman,serta sesuai dengan kondisi pasien (Ode Debora, 2013). Adapun implementasi yang dapat dilakukan sesuai dengan intervensi yaitu: a. Mengidentifikasi penyebab hipertermia (missal: dehidrasi, terpapar lingkungan panas). b. Memonitor suhu tubuh. c. Memonitor pengeluaran urine. d. Menyediakan lingkungan yang dingin. e. Melonggarkan atau lepaskan pakaian. f. Memberikan obat oral. g. Membasahi dan kipasi permukaan tubuh. h. Melakukan pendinginan eksternal (missal: kompres dingin pada dahi, dan aksilla). i. Mengajurkan tirah baring j. Mengkolaborasikan pemberian cairan elektrolit dan intravena 5. Evaluasi Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah diatasi seluruhnya, hanya sebagian, atau belum teratasi semuanya. Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan yaitu suatu proses yang digunakan untuk mengukur dan memonitor kondisi klien untuk mengetahui kesesuaian tindakan keperawatan, perbaikan tindakan keperawatan, kebutuhan klien saat ini, perlunya dirujuk pada tempat kesehatan lain dan perlu menyusun ulang prioritas diagnosa supaya kebutuhan klien bisa terpenuhui atau teratasi (Ode Debora, 2013). Evaluasi dinilai berdasarkan respon pasien terhadap implementasi yang telah dilakukan, sehingga kriteria hasil yang diharapkan: a. Menggigil menurun. b. Suhu tubuh membaik menjadi 36,5⁰C - 37,5⁰C. c. Kejang menurun. d. Suhu kulit membaik. e. Takikardia menurun. f. Takipnea menurun. g. Kulit merah menurun. DAFTAR PUSTAKA
Arief, R, F. (2015). Penatalaksanaan Kejang Demam. Cermin Dunia Kedokteran-232,42(9),
658-659. http://jurnal.ac.id/jurnal/index.php/HealthyTadulako/article/download/ 8333/6614. Ariffudin Adhar. (2016). Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Tadulako,2(2), 61. Deliana, M. (2016). Tata Laksana Kejang Demam Pada Anak. Sari Pediatri,4(2), 59. https://doi.org/10.14328/sp4.2.2002.59-62. Ismet, I. (2017). Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Melayu, 1(1), 41. https://doi.org/10.26891/jkm.vlil.13. Labir, K., & Mamuanya, N, L., S. S. (2017). Pertolongan Pertama Dengan Kejadian Kejang Demam Pada Anak. Journal Nursing, 1-7. http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JURNAL GEMA KEPERAWATAN/DESEMBER/2014. ARTIKEL Ketut Labir dkk,.pdf Susanti, Yurika Elizabeth & Wahyudi, T. (2020). Di Rumah sakit Baptis Batu Clinical Characteristics of Children With Febrile Seizure in The Baptist Hospital Batu. Journal of Medicine, 19(2), 91-98. Wulandari. M & Ernawati. M. (2016). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar