Anda di halaman 1dari 45

2008

PENALAKSANAAN


TETANUS


PADA ANAK




































HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PANEL AHLI

dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A (K)
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RSCM
Jakarta
Prof. Dr. Alex Chairulfatah, Sp.A (K)
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA, FK UNPAD/ RSHS
Bandung
dr. Djatnika Setiabudi, Sp.A(K)
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA, FK UNPAD/ RS HS
Bandung
dr. Amar Widhiani, Sp.A(K)
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RSAB Harapan Kita
Jakarta
dr. Sri Kusumo Amdani, Sp.A(K)
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RSAB Harapan Kita
Jakarta
dr. Debby Latupeirissa, Sp.A
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RS Fatmawati
Jakarta
dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RSCM
Jakarta
dr. Pratiwi Andayani, Sp.A
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RS Fatmawati
Jakarta

UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN

Prof.DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC
Ketua
dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS
Anggota
Dr. Mulya A. Hasjmy, Sp. B. M. Kes
Anggota
dr. Suginarti, M.Kes
Anggota
dr. Diar Wahyu Indriati, MARS
Anggota
dr. Ririn Fristika Sari, MKM
Anggota
dr. Titiek Resmisari
Anggota
dr. Sad Widyanti Soekadi
Anggota
DAFTAR ISI


BAB I : PENDAHULUAN 4
1.1. Latar Belakang 4
1.2. Permasalahan 5
1.3. Tujuan 5

BAB II : METODOLOGI PENILAIAN 6
2.1. Strategi Penelusuran Kepustakaan 6
2.2. Level of Evidence dan Tingkat Rekomendasi 6

BAB III : TETANUS 7
3.1. Definisi 7
3.2. Etiologi 7
3.3. Epidemiologi 8
3.4. Patogenesis 9
3.5. Gejala Klinis 11
3.6. Penegakan Diagnosis 12
3.6.1. Anamnesis 12
3.6.2. Pemeriksaan Fisik 13
3.6.3. Pemeriksaan Penunjang 14
3.7. Diagnosis Banding 14
3.8. Komplikasi 15
3.9. Penatalaksanaan 16
3.9.1. Tatalaksana Umum 17
3.9.2. Tatalaksana Khusus 18
4.0. Asuhan Keperawatan 24
4.1. Prognosis 28
4.2. Pencegahan 29

BAB IV : DISKUSI 32

BAB V : ANALISIS BIAYA 34

BAB VI: REKOMENDASI 39

DAFTAR PUSTAKA 41
BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan
oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat
terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau
telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak
melakukan booster secara berkala.
1

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.
2
Selama 30 tahun terakhir,
hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai
pencegahan dan tata laksana tetanus.
3
Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus
tetanus yang dilaporkan ke WHO.
4
Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara
yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang
lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum
yang dilaporkan.
5
Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh
Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di
seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun.
6

Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan
peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak
memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program
imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk
perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal
imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusakmisalnya akibat perang dan
kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih
berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program
imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi
primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun
seiring berjalannya waktu.
3,7
Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan.
Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan
20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-
23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak
di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30%
kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya pada bayi <12 bulan.
1,8
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab
kematian pada anak.
9

Meskipun insidens tetanus saat ini sudah menurun, namun kisaran tertinggi
angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu, meskipun angka
kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum dapat
dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan secara
luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai
penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka kematian
penderita tetanus, khususnya pada anak.


1.2 Permasalahan
Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah begitu juga di
Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat disingkirkan dari
dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian imunisasi.
Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal tersebut
tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus meliputi pemberian
imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk mengontrol
spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk mengatasi
komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan yang cepat,
efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat menjadi lebih
optimal sehingga angka kematian dapat diturunkan.
Aspek lain yang juga sangat penting adalah pencegahan. Pencegahan dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pemberian imunisasi dan perawatan luka.
Saat ini imunisasi yang aman dan murah sudah tersedia di berbagai belahan dunia,
sehingga diharapkan cakupan imunisasi akan semakin luas, dan pada akhirnya akan
semakin menurunkan angka kejadian tetanus.


1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menurunkan insidens dan angka mortalitas pada penderita tetanus dengan cara
pencegahan serta penatalaksanaan yang lebih efisien dan efektif.
1.3.2 Tujuan Khusus
Terwujudnya rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan program
yang berkenaan dengan kesehatan anak khususnya tentang diagnosis,
tatalaksana dan pencegahan infeksi tetanus.
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN



2.1. Strategi Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik:
Communicable Diseases Centre (CDC), World Health Organization (WHO), e-
medicine, Journal of the American Academy of Pediatrics, Indian Journal of
Pediatrics, Textbook of Pediatric Infections, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, serta
Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, dalam dua puluh tahun terakhir (1988-
2008). Kata kunci yang digunakan adalah tetanus, tetanus in pediatric dan tetanus
pada anak.


2.2. Level of evidence dan Tingkat Rekomendasi
Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal)
berdasarkan kaidah evidence-based medicine, kemudian ditentukan levelnya.
Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat rekomendasinya. Level of
evidence dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari
Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
US Agency for Health Care Policy and Research.
Level of evidence
Ia. Meta-analisis randomized controlled trials
Ib. Minimal satu randomized controlled trials
IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials
IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol
IIIa. Studi cross-sectional
IIIb. Seri kasus dan laporan kasus
IV. Konsensus dan pendapat ahli
Tingkat rekomendasi
A. Evidence yang termasuk dalam level Ia atau Ib
B. Evidence yang termasuk dalam level IIa atau IIb
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb, atau IV
BAB III
TETANUS



3.1. Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini
bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin
(tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan
sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan
saraf otonom.
8,10


3.2. Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk
batang dengan sifat :
Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti
pemukul genderang
Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob)
dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela
Menghasilkan eksotoksin yang kuat
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi, kekeringan dan desinfektan.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan
hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan
tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam
bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan
dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam
lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8 F
(121C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan agen
kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara
fisik dan biologik.
1

,11

Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka
mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus
juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus, abses
dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah,
terakhir 2003-2007 di RSCM, RSAB Har-Kit, RS Fatmawati, RSHS)
10


pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan.
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau
sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan
dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
1


3.3. Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah
populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan
peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak
tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan
imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat
perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.
10,12


Tabel 3.1. Data insidens tetanus menurut WHO
13





















Tabel 3.2. Jumlah Kasus Tetanus dan Kematian di Beberapa Rumah Sakit
Provinsi di Indonesia (asupan finalisasi: insidens tetanus 5 tahun

RSCM RSAB RSF RSHS
Tahun kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%)
2003 10 20 3 0 6 0 7 14,3
2004 12 8,3 1 0 2 0 4 25,0
2005 11 27,3 1 0 11 0 1 0
2006 8 0 1 100 4 0 6 16,7
2007 18 0 5 0 9 0 8 25,0
Tabel 3.3. Distribusi Kelompok Umur Kasus Tetanus Tahun 2003-2007
10


Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSAB = Rumah
Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan
Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)













Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSAB = Rumah
Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan
Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)

Tabel 3.4. Insidensi Tetanus Neonatorum Menurut WHO
12



















3.4. Patogenesis
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan
oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah
dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port dentree tak selalu dapat
diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :
10

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar
yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.
Kelompo
k
Umur
(Tahun)
RSCM RSAB RSF RSHS
kasus *m (%) kasu
s
*m (%) kasu
s
*m (%) kasu
s
*m (%)
<1 2 0 3 33,3 10 0 9 22,2
1-4 26 15,4 4 0 13 0 7 14,3
5-9 31 6,5 4 0 12 0 8 12,5
>10 0 0 - 0 2 0 2 0
Jumlah 59 21,9 11 9,1 37 0 26 15,4
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan
penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam
tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob),
sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini
tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin
yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua
eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis
tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh
tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf:
(1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada
beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum pada
manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu
milyar gram), atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg.
11,14

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor
end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan
menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh
limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut
motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus
menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin
diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial
membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif,
sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin
menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot,
sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin
meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar.
10

Dampak toksin antara lain :
10

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida
serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,
aritmia, heart block, atau takikardia.


3.5 Gejala Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau
hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari
tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP);
secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi
akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya kematian.
10,12

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1,10

1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.
Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher,
kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa
trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan
dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah,
hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot
punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin
karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan
berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4
minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta
memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum
dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa
minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat
Tabel 5. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus

mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya
sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus
umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya
buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada
negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian
neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang
terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi.
Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum
ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus
dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel 5).

Derajat Manifestasi Klinis
I : Ringan Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa spasme
atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan
II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang
dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan
III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju
napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia
berat
IV : Sangat
berat
(derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular)
Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan
hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut
dapat menetap
3.6 Penegakan Diagnosis
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan
laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus
meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-
100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).
15,16


3.6.1. Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:
10

Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang?
Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
Apakah pernah menderita gigi berlubang?
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi
yang terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

3.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
10,17

Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut
mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis
untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak
dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan
kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau
terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat spasme makin pendek
sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan
cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi
tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan
menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat
spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat
menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan
pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi
retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.
Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa
refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki
spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi
(94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).
18


3.6.3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
1,10,10

Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka
tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang
yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada
pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman
anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak
mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada
luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
Tabel 6. Komplikasi tetanus
1,8,10


EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati
setelah potensial aksi.
Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

3.7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
19

Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :
10

1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan
terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media
supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

3.8. Komplikasi Tetanus
Tabel 6 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus. Tabel 7
menggambarkan komplikasi tetanus di beberapa RS di Indonesia.

Sistem tubuh Komplikasi
Jalan napas Aspirasi*
Laringospasme/obstruksi*
Sedasi dihubungkan dengan obstruksi*
Respirasi Apnea*
Hipoksia
Tipe I* (ateletaksis, aspirasi, pneumonia) dan tipe II* gagal
napas (spasme laring, pemanjangan spasme batang tubuh,
sedasi berlebihan)
ARDS*
Komplikasi dari pemanjangan bantuan ventilasi (contoh :
* Komplikasi jangka panjang

pneumonia)
Komplikasi trakeostomi (contoh : stenosis trakea)
Emboli paru
Emfisema mediastinum
Penumotoraks
Spasme diafragma
Kardiovaskular Takikardia*, hipertensi*, iskemia*
Hipotensi*, bradikardia*
Takiaritmia, bradiaritmia*
Asistol*
Gagal jantung*
Ginjal Gagal ginjal : fase oligouria dan poliuria
Stasis urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis lambung
Ileus
Diare
Perdarahan*
Lain-lain Status konvulsivus
Dehidrasi
Penurunan berat badan*
Tromboemboli*
Sepsis dan gagal organ multipel*
Fraktur vertebra selama spasme
Avulsi tendon selama spasme
Tabel 7. Komplikasi tetanus tahun 2003-2007
10











Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSAB = Rumah
Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan
Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)

3.9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :
11,12

1. Penanganan spasme.
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan
dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah
diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan
bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin
berikatan di jaringan. Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam
dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian masih
dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman,
untuk memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus
neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena
biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan
spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum
akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia.
Komplikasi RSCM RSAB RSF RSHS
kas
us
*m (%) kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%)
Status
konvulsivus
0 0 2 1,5 0 0 5 40,0
Bronkopneumo
nia
1 0 2 0 0 0 2 0
Sepsis 2 0 1 0 0 0 4 50,0
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari
kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi,
mengatasi spasme, perawatan luka atau portd entree lain yang diduga seperti karies
dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik
dan serum anti tetanus.
9

3.9.1. Tatalaksana Umum
9

1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus
pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas
sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah
spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-
obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat
kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali
dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan
untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg
setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5
mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB 10
kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah
spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan
sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus
neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan
spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari
dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui
pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis
membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran
membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis
diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami
spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan
intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan
mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah
memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5
hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara bertahap (berkisar
antara 20% dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv
dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di
ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port dentree, maka diperlukan
konsultasi dengan dokter gigi/THT.

3.9.2 Tatalaksana Khusus
1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)
10,11,21

Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000
IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus
anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah
anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG
(3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi,
dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan
secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin
tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous
Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan
jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian secara IM.
Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif.
Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :
HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-
30%).
Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.
Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.
Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi
yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan
labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat
diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin
diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta
menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat
memicu spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan
penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik
Tabel 8. Perbedaan Penisilin dan Metronidazol

harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin
dapat berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah
pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus
sangat kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif
dengan toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil.
Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak
mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum,
dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat.
8,11,14

Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus.
2. Antibiotika
10,14

a. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi
terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan
dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari.
Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk
vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin
dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8
tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini,
pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari
secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus
tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan
sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan
asam aminobutirat gama (GABA). Tabel 8 menggambarkan perbandingan
antara penisilin dan metronidazol.
Penisilin Metronidazol
Spektrum Spektrum luas, bakteri
Gram (+), anaerob
Spektrum sempit, obligat anaerob
(tidak dapat menginduksi
superinfeksi)
Mekanisme
kerja
Menghambat sintesis
dinding sel
Menghambat sisntesis DNA
Stabilitas Tidak stabil Stabil

b
.

J
i
k
a

t
e
r
jadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang
sesuai.
Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di tempat
luka yang dapat memproduksi toksin. Tabel 9 memaparkan beberapa pilihan
antibiotika yang dapat digunakan pada penatalaksanaan tetanus.
Reaksi alergi Sering Jarang
Resistensi Sering Jarang
Struktur Strukturnya menyerupai
GABA : menginduksi
spasme

Penetrasi ke
abses
Rendah Baik
Akses IM Oral, rektal, IV
Tabel 9. Perbandingan Antibiotika
1,20


HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm22/44




Nama Obat Deskripsi Dosis Kontraindikasi/ Perhatian
Metronidazole Efek antibakteri terhadap
klostridium. Obat ini tergolong
aman, memiliki penetrasi yang
efisien ke dalam luka dan
abses serta eksitasi terhadap
SSP dapat abaikan.
Neonatus
- Neonatus < 1200 gram: 7,5 mg/kgBB IV tiap
48 jam
- Neonatus 7 hari dan 1200 gram: 7,5-15
mg/kgBB/hari IV dibagi tiap 12-24 jam
- Neonatus > 7 hari dan 1200 gram: 15-30
mg/kgBB/hari IV dibagi tiap 12 jam
Bayi dan Anak: 15-30 mg/kg/hari IV dibagi tiap
8-12 jam; tidak melebihi 2 g/hari
KI : Hipersensitivitas
P: Hati-hati pada penggunaan
dengan diskrasia darah atau
gangguan fungsi hati; lakukan
pemantauan terhadap spasme
dan perkembangan neuropati
perifer.
Penisilin G Antibiotik bakterisid. Berikatan
dan menghambat ikatan
penisilin dengan protein,
dengan transpeptida yang
mengadakan ikatan silang
dengan peptidoglikan yang
merupakan tahap akhir pada
sintesis dinding bakteri.
Menghambat sintesis dinding
sel dan mengaktivasi enzim
autolitik yang berperan pada
kerja bakteri pada pembelahan
bakteri.
Anak :
100 000 U/kgBB/hari IV/IM dibagi tiap 4 jam,
tidak melebihi 24 juta U/hari
KI: Riwayat hipersensitivitas
Eritromisin Agen bakteriostatik yang
menghambat sintesis protein
dengan berikatan dengan
subunit 50S ribosom bakteri.
Bukan merupakan pilihan pada
tetanus tetapi dapat digunakan
pada tetanus karena beberapa
alasan.
Anak
15-50 mg/kg/hari IV dibagi tiap 6 jam; tidak
melebihi 4g/hari

HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm23/44
Klindamisin Agen bakteriostatik yang
berikatan dengan subunit 50S
ribosom bakteri dan bekerja
sebagai agen bakteriostatik.
Tidak digunakan untuk agen
tetanus. Dapat digunakan jika
pengobatan lain tidak tersedia.
Neonatus
- Neonatus 7 hari : 10-15 mg/kgBB/hari IV
dibagi tiap 8-12 jam
- Neonatus > 7 hari : 10-20 mg/kgBB/hari IV
dibagi tiap 6-12 jam
Bayi & anak
- 25-40 mg/kgBB/hari IV dibagi tiap 6-8 jam;
tidak melebihi 4800 mg/hari
KI : Riwayat hipersensitivitas;
enteritis regional; kolitis ulseratif;
gangguan hepatik; kolitis yang
berkaitan dengan antibiotik
Tetrasiklin Agen bakteriostatik yang
menghambat sintesis protein.
Tidak digunakan untuk agen
tetanus. Dapat digunakan jika
pengobatan lain tidak tersedia.
Dosis
8 tahun : 25-50 mg/kgBB/hari per oral dibagi
tiap 6 jam. Tidak melebihi 3g/hari
KI : Riwayat hipersensitivitas;
disfungsi hepatik berat; usia <8
tahun
Vankomisin Agen bakterisid yang
menghambat sintesis RNA dan
dinding sel. Tidak digunakan
untuk agen tetanus. Dapat
digunakan jika pengobatan lain
tidak tersedia.
Neonatus
- Neonatus 7 hari dan <1200 g: 15 mg/kgBB
IV dibagi dalam 24 jam
- Neonatus 7 hari dan 1200-2000 g: 10-15
mg/kgBB IV dibagi tiap 12-18 jam
- Neonatus 7 hari dan >2000 g: 10-15
mg/kgBB IV dibagi tiap 8-12 jam
- Neonatus > 7 hari dan <1200 g : 15 mg/kgBB
IV dibagi tiap 24 jam
- Neonatus > 7 hari dan 1200-2000 g : 10-15
mg/kgBB IV dibagi tiap 8-12 jam
- Neonatus > 7 hari dan >2000 g : 15-20
mg/kgBB IV dibagi tiap 8 jam
Bayi & Anak
10 mg/kgBB IV dibagi tiap 6 jam; lakukan
penyesuaian dosis terhadap fungsi ginjal dan
parameter farmakokinetik.
KI: Riwayat hipersensitivitas
Tabel 10. Pengelolaan Tetanus.

HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm24/44



Dari penjelasan sebelumnya, penatalaksanaan tetanus dapat digambarkan secara lebih ringkas dan sistematis seperti pada
tabel berikut ini.
Eradikasi
bakteri
penyebab
Pembersihan luka
Antibiotik Metronidazol 15-30 mg/kgBB/hari dibagi tiap 8-12 jam; tidak melebihi 2 g/hari
Antitoksin
netralisasi
terhadap luka
Antitoksin kuda atau
manusia
Human tetanus immune globulin
(3.000-6.000 IU /kg i.m)
Antitetanus serum (ATS) 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. (terlebih dahulu dilakukan
tes kulit) (untuk tetanus neonatorum 10.000 IU i.v.)
Terapi
suportif
selama fase
akut
Kontrol spasme otot Diazepam (iv bolus)
0,1-0,3 mg/kgBB/kali i.v. tiap 2-4 jam, tetanus neonatorum dosis awitan 0,1-0,2
mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40
mg/kgBB/hari
Dalam keadaan berat diazepam drip 20 mg/kgBB/hari dirawat di PICU/NICU.
Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 6-8 dosis
Midazolam (iv infus/bolus)
Vekuronium
Bila spasme sangat hebat pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB iv diikuti 0,05
mg/kgBB/dosis diberikan setiap 2-3 jam
Sedasi Diazepam (iv bolus)
Midazolam (iv infus/bolus)
Morfin (im/iv)
Klorpromazin
Pemeliharaan jalan
napas/ventilasi
Trakeostomi
Tekanan positif intermiten
Ventilasi
Pemeliharaan
hemodinamik
Penggantian volum yang cukup
Sedasi (seperti di atas)
Inotropik
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm25/44
Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan diberikan beta bloker seperti propanolol
atau alfa dan beta bloker (labetolol)
Rehabilitasi Nutrisi
Fisioterapi

Imunisasi Terapi primer penuh dari
tetanus toksoid

HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm26/44


4.0 Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan pada pasien tetanus dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1. Asuhan Keperawatan Umum, antara lain dengan intervensi sebagai berikut :
Bersihkan jalan napas yang tidak efektif diantaranya dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi yang terjadi akibat terkumpulnya air liur (lendir) didalam
mulut karena anak sukar menelan. Jika hal ini tidak sering-sering dihisap,
dapat menyebabkan aspirasi. Untuk menghindari pneumonia aspirasi, kepala
anak harus dimiringkan jika anak dalam keadaan telentang (untuk drainase).
Anak dengan kesulitan bernapas seharusnya dirawat di ruang intensif anak
(ICU). Status pernapasan dievaluasi dengan hati-hati terhadap adanya
tanda-tanda gawat napas dan peralatan emergensi harus selalu dalam
keadaan siap sedia dan mudah dijangkau.
23,24,21

Jika trismus sudah berkurang lebih lebar dari 3 cm, maka makanan dapat
diberikan per oral dalam bentuk makanan cair dan diberikan memakai
sedotan. Bila trismus makin berkurang, makanan diberikan lunak dengan
lauk cincang. Secara bertahap, bisa diberikan makanan lunak biasa. Susu
diberikan paling tidak dua kali sehari.
23

2. Asuhan Keperawatan Luka
Perawatan luka merupakan aspek penting dalam pencegahan tetanus selain
pemberian imunisasi. Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya luka
pada penderita luka sangat tergantung pada penilaian terhadap luka. Apakah
lukanya bersih atau kotor, luka bernanah, luka dengan slough/slaf, luka eskar,
luka nekrotik atau luka berukuran kecil atau besar, luka permukaan atau dalam,
dan sebagainya. Perawatan luka pada tetanus yang biasanya dilakukan selama
ini adalah dengan :
- Merawat dan membersihkan luka memakai teknik aseptik.
- Irigasi luka.
- Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan tindakan khusus/ruang
operasi. Tindakan debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) sangat
dibutuhkan untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menghalangi proses
penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri.
Saat ini, selain dengan melakukan tindakan debridement luka secara
pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada luka tetanus dapat
digunakan bahan terapi topikal modern yang lebih hemat biaya (seperti
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm27/44


hidrogel) yang berfungsi sebagai autolisis debridement. Autolisis debridement
adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh
sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus dalam keadaan lembab.
Pada keadaan lembab, enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan
nekrotik. Pada keadaan melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan
sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini, diharapkan dapat
mengurangi tindakan manipulasi terhadap terjadinya spasme/kejang pada
anak. Perawatan luka pada tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal
adalah sebagai berikut:
Dengan teknik aseptik, bersihkan luka/cuci luka dengan menggunakan cairan
fisiologis (normal saline/NaCl 0,9%). Dengan memperhatikan sifat luka
tetanus, dimana anak mudah terangsang mengalami spasme, teknik
pencucian luka tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi lembut. Bila
menggunakan metode semprot, gunakan jarum no. 18 dan jangan terlalu
kencang menyemprotnya untuk mencegah spasme dan mencegah resiko
perdarahan pada jaringan yang rapuh.
Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka pasien harus mudah
dicapai sehingga hidrogel dapat diolesi langsung kedalam luka.
Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit plester, tetapi tidak
terlalu rapat (karena hidrogel memerlukan balutan sekunder).
- Membuang benda asing dalam luka.
- Kompres dengan H2O2.
- Luka dibiarkan terbuka.
Tabel 11. Kategori Cairan Pencuci Luka dan Terapi Topikal Luka

HTA Indonesia_2008_ Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm28/44




Nama Cairan H2O2 (Hidrogen peroksida) NaCl 0,9% Hidrogel
Deskripsi Cairan antiseptik yang dapat berubah
menjadi oksigen dan air jika berkontak
dengan katalase, suatu enzim yang
ditemukan dalam darah dan sebagian
besar jaringan.
Cairan yang dapat dipergunakan
untuk membersihkan luka karena
isotonik terhadap jaringan tubuh,
tidak toksik terhadap jaringan,
tidak menghambat proses
penyembuhan luka dan tidak
menyebabkan reaksi alergi atau
merubah flora bakteri pada kulit,
dapat digunakan untuk
mengirigasi rongga tubuh dan
ekonomis.

7,8

Jenis terapi topikal berupa gel,
terdiri dari polyurethane carrier
film dan lapisan hydrogel.
Kandungan cairannya
menciptakan lingkungan yang
lembab pada luka.
Kelebihan - Oksigen bebas yang menimbulkan
efek berbusa dapat membantu
debridement mekanik terhadap debris
dari luka.
-Mempunyai efek germicidal yang
melawan bakteri anaerob karena
adanya pelepasan oksigen.
- Meningkatkan autolitik debride-
ment secara alami.
- Melunakkan dan
menghancurkan jaringan
nekrotik tanpa merusak jaringan
sehat, yang akan terserap ke
dalam struktur gel dan terbuang
bersama pembalut sekunder.
- Sebagai analgesik yang
mengurangi rasa sakit, karena
mempunyai efek pendingin.
- Menciptakan lingkungan yang
tetap lembab.
- Lembut dan fleksibel untuk
segala jenis luka.
- Transparan.
- Tidak menimbulkan trauma dan
rasa sakit saat penggantian
balutan.
Kekurangan -Efek berbusa dari H2O2 dapat Dalam pemakaiannya, hidrogel
HTA Indonesia_2008_ Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm29/44
mengangkat epitel yang baru
terbentuk.
- Memiliki efek sitotoksik pada fibroblast.
- Dilaporkan adanya kasus emboli O2
dan emfisema pembedahan setelah
irigasi dibawah tekanan atau irigasi
dalam rongga tertutup dengan H2O2.
-Dapat melarutkan bekuan dan
menyebabkan perdarahan.
memerlukan balutan sekunder,
maka luka tidak boleh terbuka.
Catatan - Disebabkan karena resiko terjadinya
emboli oksigen atau emfisema
pembedahan, penggunaan H2O2
dengan tekanan atau pada rongga
tertutup/dangkal tidak
direkomendasikan.
- Batasi penggunaannya untuk
pengangkatan debris dari luka.
- Pertimbangkan alternatif yang lebih
aman untuk mengangkat debris
misalnya kompres cairan normal
salin atau autolityc debriding
dressings (balutan yang dapat
mengangkat

debris

secara

autolitik)
8


- Untuk luka nekrotik permukaan
dan dalam
- Untuk luka permukaan dan
dalam dengan cairan sedikit
- Untuk luka berlubang, mengisi
luka dan mengurangi area
jaringan mati.
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm30/44


4.1 Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka
mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan
yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus.
Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status
imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin
buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka
dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis.
Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus
sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.
Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin
profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi
tetanus.
10,14

Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis tetanus
menurut sistem skoring Bleck:
22

Tabel 12. Sistem Skoring Bleck
Sistem skoring 1 0
Masa inkubasi < 7 hari 7 hari
Awitan penyakit < 48 jam 48 jam

Tempat masuk luka bakar, luka operasi,
bagian dari fraktur, aborsi
Selain tempat
tersebut

septik, tali pusat, atau
penyuntikan intramuskular
Spasme (+) (-)
Suhu

Aksilar
Rektal
> 38,4C
> 40C
38,4C
40C

Takikardia dengan (+) (-)

frekuensi lebih dari
120x/menit (pada
neonatus >150x/menit)
Tetanus umum (+) (-)


Adiksi narkotika (+) (-)
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm31/44

Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan
berikut ini:

Total Skor Derajat Keparahan Tingkat Mortalitas
0-1 Ringan <10%
2-3 Sedang 10-20%
4 Berat 20-40%
5-6 Sangat berat >50%
Tetanus sefalik selalu merupakan derajat berat atau sangat berat
Tetanus neonatorum selalu merupakan derajat sangat berat


4.2 Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal.
Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
1. Imunisasi aktif
10,11,14,23

Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang
sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali
diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan secara luas
pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang
tersedia adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid
tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan
toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular
sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-
12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin
pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.
Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah
dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu,
setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu
ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan
belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali
dengan jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS
kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang
bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama.
Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat
pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval
satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas
pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm32/44


dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup.
WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada
waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini
akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.
24

Tabel 13. Jadwal imunisasi
Vaksin Usia/Waktu

2
bula
n
4
bula
n
6
bula
n
18
bulan
5
tahu
n
12
tahun

Vaksin
dasar
DPT DPT DPT
Vaksin
booster
DPT DPT dT

Vaksin TT 1 TT 2 TT 3
untuk
wanita
hamil/ WUS

Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulan
bahwa kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang
lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang ditemukan kasus
tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun
setelah dosis terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi seumur
hidup atau pada sebagian besar orang memiliki kadar antitoksin yang minimal
setelah 10 tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin
dilakukan setiap 10 tahun.
11
Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan
imunisasi sangatlah penting. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan
bahwa kasus tetanus hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi
karena orang tua menolak memberikan vaksinasi.
25
Ibu yang mendapat TT 2
atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir
dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup
untuk memberi proteksi terhadap bayinya.
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan
guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing
harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm33/44


pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali
pusat selain dari imunisasi ibu.
10,11,26
Pada perawatan tali pusat, penting
diperhatikan hal-hal berikut ini :
27

- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun
ke dalam punting tali pusat
- Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak
dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab
3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan
harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU.
HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun :
4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak 7 tahun : 250 U IM dosis
tunggal.
10
Berikut ini adalah pedoman pemberian profilaksis terhadap tetanus.
Tabel. 14 Pedoman Profilaksis terhadap Tetanus

Riwayat
Pemberian
Luka Bersih dan Kecil J enis Luka Lainnya
1


(dosis)
Td atau
TdaP
2

TIG Td atau
TdaP
2

TIG
3


<3 atau lupa ya tidak ya Ya

>3
4
Tidak
5
tidak Tidak
6
Tidak

Keterangan : Td: difteri adult-type dan vaksin tetanus toksoid: TIG: tetanus immune
globulin; TdaP: booster tetanus toksoid, toksoid difteri dengan dosis lebih kecil dan
pertusis aselular

1
Antara lain (tidak terbatas hanya): luka yang terkontaminasi oleh kotoran/feses, tanah,
dan air liur; tusukan; avulsi; dan luka akibat tembakan, tabrakan, luka bakar, dan
frostbite
2
TdaP lebih baik dibandingkan Td untuk remaja yang belum pernah mendapat imunisasi
TdaP. Td lebih baik dibandingkan TT untuk remaja yang telah diimunisasi TdaP atau
TdaP memang tidak tersedia di Indonesia.
3
Imun globulin i.v. Diberikan bilamana TIG tidak tersedia. TIG: 250 U i.m. di sisi
ekstremitas lain dari pemberian tetanus toksoid
4
Bilamana telah diberikan 3 dosis toxoid fluid, dosis keempat tetap diberikan dan
sebaiknya berupa adsorbed toxoid
5
Ya, jika >10 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus
6
Ya, jika >5 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus dan tidak diperlukan
booster lagi
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm34/44


BAB IV
DISKUSI


Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan
laboratorium tidak spesifik. Penatalaksanaan pasien tetanus secara garis besar terdiri
atas tatalaksana umum dan khusus. Pada penatalaksanaan umum, hal-hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi.
2. Menjaga saluran napas agar tetap bebas.
3. Penanganan spasme. Pada penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan
pertama.
4. Mencari port dentreeI.
Penatalaksanaan khusus tetanus terdiri dari pemberian serum anti tetanus/HTIG dan
antibiotika. Tujuan pemberian ATS dan HTIG adalah untuk menetralisasi toksin yang
beredar di dalam darah dan dapat juga diberikan sebagai profilaksis. Berikut ini adalah
tabel perbandingan antara ATS dan HTIG.
Tabel 13. Perbandingan ATS dan HTIG
Indikasi Dosis Kontraindikasi Kekurangan
ATS ATS hanya 100.000 IU Berhati-hati akan Ketersediaan di
efektif pada luka
baru (kurang dari
6 jam) dan harus
segera
dilanjutkan
dengan
50.000 IU
im dan
50.000 IU
iv
reaksi anafilaksis pelayanan kesehatan
saat ini sulit di dapat
Masa kadaluarsa
pendek
dengan
imunisasi aktif
HTIG HTIG hanya 3.000- Riwayat Ketersediaan di
dapat
menghilangkan
6.000 IU hipersensitivitas
secara IM terhadap
pelayanan kesehatan
cukup
toksin tetanus
yang belum
berikatan
dengan ujung
dalam
dosis
tunggal
imunoglobulin atau
komponen human
immunoglobuline
sebelumnya
Masa kadaluarsa
lebih lama
saraf


Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi
pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan
secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan
interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm35/44


kuman C. tetani bentuk vegetatif. Tabel perbandingan setiap antibiotika dapat dilihat di
dalam tabel 9.
Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka dan pemberian
ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam memberikan proteksi
pada infeksi tetanus.
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm36/44


BAB V
ANALISIS BIAYA


Dalam menyusun suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct
cost, indirect cost dan intangible cost. Komponen direct cost dalam penatalaksanaan
tetanus di rumah sakit, meliputi:
1. Komponen Diagnostik : Karena diagnosis sepenuhnya didasarkan pada temuan
klinis, pemeriksaan penunjang relatif tidak perlukan.
2. Komponen Terapi
Pemberian Antibiotika
Pemberian ATS/HTIG
Perawatan umum lainnya
3. Jasa Tindakan Medik
Saat ini sedang disusun Sistem Case-mix dalam INA DRG (Indonesian Diagnosis
Regiment Group) oleh Departemen Kesehatan RI untuk Rumah Sakit Pemerintah
sehingga diharapkan di masa depan akan ada kesamaan biaya untuk suatu
penyakit tertentu dengan kategori atau kriteria yang sama.

Perhitungan biaya untuk pasien tetanus didasarkan pada berat ringannya
penyakit yang diderita. Untuk biaya perawatan dan jasa tindakan medik, tergantung dari
kebijaksanaan pemerintah daerah masing-masing. Perkiraan biaya yang akan
dikeluarkan oleh penderita tetanus yaitu :
Tetanus derajat ringan
Tetanus derajat sedang
Tetanus derajat berat
Tetanus derajat sangat berat
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm37/44



BIAYA PENATALAKSANAAN TETANUS DERAJAT RINGAN-SEDANG

No

Jenis tindakan

Banyaknya

Harga satuan
(RSCM)

Total
(RSCM)

Harga satuan
(RSHS)

Total
(RSHS)
1. Rawat inap
Ruang rawat kelas III

14 hari

85.000/hari

1.190.000

135.000/hari

1.890.000
2. Obat
Metronidazol
Diazepam
Diazepam 5 mg oral
ATS (20.000 unit) /
HTIG (250 unit)

1 flacon x 14 hr
1 ampul x 7 hr
3 x 5 mg x 7 hr
5 vial /
12 vial

25.000
11.000
500
588.300
213.000

350.000
77.000
10.500
2.941.500
2.556.000

25.300
12.400
300
507.812
217.800

354.200

86.800

6.300

2.539.060

2.613.600
3. Suportif
Oksigen
Kaen 3B
Infus set
Spuit 3 ml
NaCl 0,9% 500 ml
Abbocath 24
NGT
Feeding drip

1 tabung besar x 7
hr
2 kolf x 7 hr
1 buah/3 hr x 4
48 buah
10 kolf
5 buah
2 buah
1 buah

100.000
14.000
12.500
2.500
7.500
15.000
12.000
98.000

700.000
196.000
50.000
120.000
75.000
75.000
24.000
98.000

100.000
17.200
13.800
2.400
10.700
24.000
24.300
98.000

700.000

240.800

55.200

115.200

107.000

120.000
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm38/44

































Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung

48.600

98.000
4. Pemeriksaan Penunjang
- Darah Perifer Lengkap
- Biakan darah & uji
resistensi
- Biakan fokus infeksi& uji
resistensi
- Rontgen thoraks
- Urin lengkap

3x
1x
1x

2x
1x

45.000
179.500
179.500

75.000
20.000

135.000
179.500
179.500

150.000
20.000

58.000
175.000
192.000

47.500
18.750

174.000
175.000
192.000

95.000
18.750
5. Konsultasi
- Unit Rehabilitasi Medik
- Bagian Gigi & Mulut
- Bagian THT
- Bagian Bedah

3x
1x
1x
3x

50.000
50.000
50.000
100.000

150.000

300.000

80.000
80.000
80.000
80.000

240.000
80.000
80.000
240.000
7. Perawatan luka
H2O2
NaCl
Hidrogel
50.000
50.000
50.000

70.000
70.000
70.000

70.000
70.000
70.000
8. Imunisasi Tetanus 1x 78.000 - -
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm39/44



BIAYA PENATALAKSANAAN TETANUS DERAJAT BERAT-SANGAT BERAT

N
o

Jenis tindakan

Banyaknya

Harga satuan
(RSCM)

Total
(RSCM)

Harga satuan
(RSHS)

Total
(RSHS)
1. Rawat inap
Ruang rawat ICU
Ruang rawat kelas
III

7 hari
7 hari

1.400.000/hr
85.000/hr

9.800.000

1.190.000

2.000.000/hari
135.000/hari

14.000.000
1.890.000
2. Obat
Metronidazol
Cefalosporin
gen 3
Diazepam
Vecuronium
ATS (20.000
unit) /
HTIG (250 unit)

1 flacon x 14 hr
1 vial x 10 hr
8 vial x 7 hr
1 ampul x 7 hr
5 vial
12 vial

25.000
15.000
11.000
219.300
588.300
213.000

350.000
150.000
616.000
1.535.100
2.941.500
2.556.000

25.300
15.000
12.400
190.200
507.812
217.800

354.200
150.000
694.400
1.331.400
2.539.060
2.613.600
3. Suportif
Oksigen
Kaen 3B
Infus set
Spuit 3 ml
NaCl o,9% 500
ml
Abbocath 24
NGT
Feeding drip
Suction catheter
Urin catheter

1 tabung besar x 7
hr
2 kolf x 7 hr
1 buah/3 hr x 4
48 buah
10 kolf
5 buah
2 buah
1 buah
6 buah x 7 hr
1 buah/3 hr x 2

100.000
14.000
12.500
2.500
7.500
15.000
12.000
98.000

700.000
196.000
50.000
120.000
75.000
75.000
24.000
98.000

100.000
17.200
13.800
2.400
10.700
24.000
24.300
98.000
9.300
67.200

700.000
240.800
55.200
115.200
107.000
120.000
48.600
98.000
390.600
134.400
4. Pemeriksaan
Penunjang

3x

45.000

135.000

58.000

174.000
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm40/44






























Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung
- Darah Perifer
Lengkap
- Biakan darah & uji
resistensi
- Biakan fokus
infeksi& uji
resistensi
- Analisis Gas Darah
- Rontgen thoraks
- Urin lengkap
1x

1x

2 x 3 hr
2x
1x
179.500

179.500

115.000
75.000
20.000
179.500

179.500

690.000
150.000
20.000
175.000

192.000

58.000
47.500
18.750
175.000

192.000

285.000
95.000
18.750
5. Konsultasi
- Unit Rehabilitasi
Medik
- Bagian Gigi &
Mulut
- Bagian THT
- Bagian Bedah

3x
1x
1x
3x

50.000
50.000
50.000
100.000

150.000

300.000

80.000
80.000
80.000
80.000

240.000
80.000
80.000
240.000
6. Perawatan luka
H2O2
NaCl
Hidrogel

50.000
50.000
50.000

70.000
70.000
70.000

70.000
70.000
70.000
8. Imunisasi Tetanus 1x 78.000 - -
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm41/44


BAB VI
REKOMENDASI


I. Bahwa tetanus masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena data
RISKESDAS 2007 menunjukkan tetanus masih merupakan salah satu dari 10
penyebab kematian pada anak. [Rekomendasi C]
II. HTA (Health Technology Assessment) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
RI dengan melibatkan berbagai mitra bestari (Stake holder) berusaha untuk
melakukan penilaian dan kajian dari berbagai aspek terutama aspek teknologi
kedokteran sesuai dengan kondisi negara Republik Indonesia yang diharapkan
dapat memberi manfaat dalam penanggulangan masalah tetanus, meliputi :
[Rekomendasi C]
1. Penegakan diagnosis
2. Penatalaksanaan
3. Pencegahan
III. Penegakan diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis karena
tidak mudah dilakukan pemeriksaan penunjang yang spesifik. [Rekomendasi C]
IV. Penatalaksanaan tetanus dibagi menjadi penatalaksanaan umum dan khusus.
[Rekomendasi C]
Penatalaksanaan umum terdiri dari :
Menjaga saluran napas agar tetap bebas
Penanganan spasme.
Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi.
Mencari port dentre
Penatalaksanaan khusus terdiri dari :
Pemberian serum anti tetanus/HTIG
Pemberian HTIG dibandingkan dengan serum anti tetanus adalah sbb :
- HTIG memilki efektivitas yang sama dengan ATS
- Kejadian efek samping HTIG lebih jarang dibandingkan ATS yang berasal
dari kuda
- HTIG dari segi cost effectiveness lebih baik daripada ATS
Antibiotika. Metronidazol merupakan pilihan pertama dalam pemberian
antibiotika.
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm42/44


V. Pencegahan melalui imunisasi sangatlah penting mengingat perawatan tetanus
sangat mahal dan sulit. Imunisasi dapat memberikan proteksi pada infeksi tetanus
hingga 100%. [Rekomendasi C]
VI. HTIG dapat diberikan juga untuk profilaksis tetanus pada luka kotor. [Rekomendasi
C]
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm43/44


DAFTAR PUSTAKA

1
Tolan Jr RW. Tetanus. Available in: www.emedicine.com Last updated Feb 1, 2008. [Tingkat
Pembuktian IV].
2
Bleck TP. Clostridium tetani (tetanus). In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, eds. Man-dell,
Douglas, and Bennett's principles and practice of infectious diseases. Philadelphia: Churchill
Livingstone, 2000: 2537-43.
3
Thwaites CL, Farrar JJ. Preventing and treating tetanus. The challenge continues in the face of
neglect and lack of research. BMJ 2003;326: 117-8.
4
World Health Organization. Vaccine-preventable diseases:monitoring system. Geneva:WHO,
2001:18-19. (WHO/V&B/01.34)
5
World Health Organization. Progress towards the global elimination of neonatal tetanus.1990-
1998. Wkly Epidemiol Rec 1999;74:73-80 [Medline].
6
Stanfield JP, Galazka A. A neonatal tetanus is the world today. Bull World Health
Organ.1984;62:647-9 [Medline].
7
Reid PM, Brown D, Coni N, Sama A, Waters M. Tetanus immunization in the elderly
population. J Accid emerg Med 1996;13:184-5 {Abstract].
8
Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP, et al. Tetanus. Standar
Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I 2004. hal 99-108.

9
Riskesdas 2007

10
Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan penyakit Tropis :
Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008
11
CDC. Tetanus.
12
Tetanus (Lockjaw).2006 (1).RedBook

13


14


15
WHO Immunization surveillance, assessment and monitoring . Diunduh pada 15 Agustus 2008
dari http://www.who.int/vaccines/globalsummary/immunization/timeseries/tsincidencente.htm
Cherry JD, Harrison RE. Tetanus in Textbook of Pediatric Infections Diseases, 5
th
ed., Vol.2.
Sauders. 2004;1766-76.
Dolin R, ed. Principles and practice of infectious disease. 4
th
ed New York: Churchill

Livingstone, 1995:2173.
16
Band JD, Bennet JV. Tetanus. In:Hoeprich PD, ed. Infectious disease. Philadelphia: Harper and
Row, 1983:1107.




17




18
HTA Indonesia_2008_Penatalaksanaan Tetanus pada Anak _hlm44/44



Hotez P, Wilfert C. Tetanus (Lockjaw) and Neonatal Tetanus. Dalam:Gershon AA,
Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugmans Infectious Diseases of Children. Edisi ke-
11. USA: Mosby; 2004. h. 655-62
Nitin M. Apte and ilip R. karnad (1995-10)Short report: The spatula test: A simple Bedside

Test to Diagnose Tetanus (http:www.ajtmh.org/cgi/content/abstract/53/4/386).Am J
Trop.Med.Hyg.pp 386-7. Retrieved on 2007-10-11.
19
Wassilak, SGF, Orenstein WA, Sutter RW: Tetanus toxoid.In Plotkin, SA and Mortimer, EA
(eds): Vaccines. 2
nd
ed. Philadelphia, WB Saunders, 1994, pp 57-90

20

21

22
Dire DJ. Tetanus. Available in: www.emedicine.com Last updated Jul 25, 2008.
Diunduh dari http://forum.dudung.net/index.phptopic=2111.0
Bleck TP, Brauner JS. Tetanus. In: Scheld WM, Whitley RJ, Dirack DT. Infections of the

central nervous system. 2
nd
ed. Philadelphia, PA: Lippincott-Raven Publishers;1997:629-53.
23
Miranda-Filho DB, Ximenes RA, Barone AA, Vaz LV, et al. Randomised controlled trial of
tetanus treatment with antitetanus immunoglobulin by the intrathecal or intramuscular route
BMJ 2004;328:615. [Tingkat Pembuktian Ib].
24
Tetanus neonatorum. Departemen Kesehatan RI Subdirektoraat Surveilans Epidemiologi
Diunduh dari http://www.surveilans.org/general.php?tpl=en&id=12 tanggal 16 Februari 2009.
25
Fair E, Murphy TV, Golaz A, Wharton M. Philosophic Objection to Vaccination as a Risk for
Tetanus Among Children Younger Than 15 Years. Pediatrics 109 (1)2002,pp.e2.

26
Roper MH, Vandelaer JH, Gasse FL. Maternal and neonatal tetanus. Lancet 2007; 370:1947-59.

27
Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal. Revisi 2008. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Jakarta 2008;126.

Anda mungkin juga menyukai