Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Reading

Pemberian Resep Antibiotik pada Pasien Anak dengan Dengue :


Meningkatkan Resiko Resistensi Bakterial

Pembimbing :

dr. Susilorini, Sp.A

Oleh :

Jason

11-2016-276

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSIAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU

PERIODE 9 APRIL 2018 – 16 JUNI 2018

1
Pemberian Resep Antibiotik pada Pasien Anak dengan Dengue :
Meningkatkan Resiko Resistensi Bakterial

Dhanunjaya Sandopa, Sree Keerthi Nethi, Sai Charitha Sreeram, Narasimha Kumar
Godlaveti Vijay, Vyshnavi Biradavolu, Jagadeesh Vijay Kakimani

ABSTRAK

Latar Belakang

Penggunaan antibiotik untuk mengobati infeksi virus yang dapat sembuh sendiri seperti Demam
Dengue tanpa kondisi komorbid lainnya pada pasien anak merupakan praktek yang biasa
dilakukan di India, dan merupakan kontribusi besar pada penggunaan antibiotik yang tidak
sesuai di dalam Negara ini.

Objektif

Untuk memberikan analisis terhadap diagnosis, grading, dan meresepkan antibiotik pada pasien
anak dengan Demam Dengue pada rumah sakit perawatan tersier di India.

Metode

Data dari lembar kasus dari semua pasien anak dengan diagnose Demam Dengue tanpa kondisi
komorbid dikumpulkan dengan tujuan untuk mendiagnosis, mengukur tingkat, dan kesesuaian
penggunaan antibiotik berdasarkan Guideline WHO 2009, Guideline National VectorBorne
Disease Control Program (NVBDCP) India , dan Guideline Hospital Infection Society (HIS).

Hasil

Jumlah platelet menunjukkan (50% dari kasus) merupakan metode mayor untuk diagnostik
Dengue. Ketidaksesuaian tingkat Demam Dengue terlihat di sekitar 20% pasien. Hampir 75%
dari 370 kasus Dengue diresepkan antibiotik dengan tujuan untuk menghindari infeksi yang

2
didapat dari rumah sakit. Satu antibiotic diberikan pada 225 resep (60,81%), 2 antibiotik pada 33
kasus (8,91%), dan 3 antibiotik pada 9 kasus (2,43%).

Kesimpulan

Meresepkan satu atau lebih antibiotic untuk mengobati infeksi virus yang dapat sembuh sendiri
dipertimbangkan sebagai suatu ketidaksesuaian dan dapat menyebabkan resisten terhadap
banyak obat. Terlebih lagi, penggunaan berlebihan antibiotik pada masa bayi dapat menimbulkan
ketidakseimbangan pada usus dan mikrobiota, yang disebut dysbiosis, dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya penyakit lainnya seperti obesitas, diabetes, dan asma selanjutnya.
Penemuan ini dapat memberikan informasi pengembangan antibiotik dalam penatalaksanaan dari
Dengue.

PEMBAHASAN

Dalam ruang lingkup bidang kesehatan, peperangan antara bakteri dan manusia bisa
dijelaskan dalam tiga kata yaitu: Era pre-antibiotik, era antibiotik, dan era post-antibiotik. Pada
periode sebelum dikenalkannya obat-obatan jenis sulfa dan penisilin disebut “era pre-antibiotik”.
Bakteri mendominasi manusia dan infeksi bakteri merupakan penyebab kematian.1 Penemuan
dari penisilin oleh Sir Alexander Fleming pada tahum 1928 menjadi fondasi dan harapan dalam
mengkontrol infeksi bakteri. Sejak saat itu, “era antibiotic” telah ditemukannya banyak
antibiotik, dimana bertransformasi menjadi obat modern dan menyelamatkan banyak nyawa.2
Penemuan ini memberikan harapan bahwa manusia akan memegang kendali dari infeksi bakteri
selamanya. Namun, kekuatan pendorong utama untuk menemukan antibiotik yang lebih baru
adalah adanya perkembangan resistensi terhadap antibiotic yang sudah ada. Akhirnya,
pengembangan antibiotic mulai terhenti, karena industri farmasi mempertimbangkan bahwa
investasi dalam pembelajaran mengenai antibotik tidak menguntungkan, mengkhawatirkan
kemungkinan kurangnya hasil kembali yang didapatkan. Pendekatan yang dilakukan oleh
industri farmasi ini dikarenakan penggunaan antibiotic hanya dalam periode pendek
dibandingkan dengan obat-obatan lainnya untuk mengobati kelainan metabolic, jantung, dan
system saraf pusat. Oleh karena itu, resistensi bakteri terhadap antibiotik tidak bisa dihindari,
dimana antibiotik yang baru mungkin ketinggalan jaman dalam waktu yang dekat.2

3
Dalam merespon terhadap antibiotik, bakteri berubah untuk menurunkan atau
mengeliminasi keefektifan obat-obatan. Perubahan ini disebabkan oleh evolusi gen resisten
terhadap antibiotic oleh mutasi spontan dan selanjutnya dengan seleksi alam dari rantai-rantai
resisten dibandingkan yang sensitive terhadap dengan antibiotic.3 Sekalinya rantai yang resisten
berkembang, antibiotic yang dulunya efektif tidak akan efektif lagi untuk mengahmbat
pertumbuhan bakteri. Jika ini terus terjadi, manusia akan menghadapi suatu bencana. Dalam hal
ini, Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat mendeklarasi pada tahun
2013 bahwa manusia saat ini berada pada “era post-antibiotik”. Terlebih lagi, World Health
Organizaton (WHO) memperingatkan akan krisis resistensi antibiotic yang buruk.2 Situasi ini
sama dengan kondisi era pre-antibiotik, dimana penggunaan antibiotic yang irasional
menyebabkan munculnya dari rantai resisten dan infeksi dimana belum dikenali dan
kemunculan kembali bentuk virulen dari infeksi sebelumnya.1 Perkembangan resistensi sedang
dalam proses evolusi, dengan waktu yang tidak dapat diprediksi. Resistensi membutuhkan
bakteri yang terpapar oleh antibiotic secara terus-menerus. Dengan semakin besar paparan
bakteri dengan antibiotic maka semakin cepatnya evolusi resistensi.3

Dengue dan Chikungunya adalah penyakit monsoon paling sering ketiga dan keempat di
India. Penularan virus melalui nyamuk (Aedes aegypti) dikaitkan dengan lingkungan sekitarnya.
Manifestasi dengue dengan demam secara mendadak dan nyeri kepala yang berat; menunjukkan
penyebab syok dan perdarahan yang dapa menyebabkan kematian. Chikungunya memiliki
karakteristik dengan nyeri yang berlangsung selama 3 – 7 hari dan, dalam beberapa kasus,
menyebabkan artritis yang persisten. Penyakit-penyakit ini memiliki gejala yang sama yang
disebabkan oleh infeksi bacterial, dan menyebabkan penyalahgunaan pekerja kesehatan dalam
penggunaan antibiotic yang tidak perlu. Ditambah, praktisi kesehatan yang meresepkan antibiotic
menyebabkan peningkatan kondisi resistensi, dikarenakan diagnosis yang tidak sesuai, kurang
mengertinya bahaya dari penggunaan antibiotic yang tidak sesuai, harga, dan hasil dari terapi.4
Selama visit rumah sakit kami dalam kurikulum farmasi di bangsal pediatri, kita mengamati
penggunaan antibiotic untuk mengobati penyakit dimana merupakan penyakit yang dapat
sembuh sendiri, untuk menghindari infeksi yang didapatkan selama dirawat di rumah sakit di Sri
Venkateswara Ramnarayana Ruia Government General Hospital (SVRRGGH), Tirupathi. Oleh
karena itu, kita bertujuan untuk mengevaluasi ketidaksesuaian dalam meresepkan antibiotic
dalam mengobati Demam Dengue pada pasien anak-anak.

4
METODE

Pengkajian cross-sectional dan observasi ini dilakukan selama 6 bulan (Juli sampai
Desember 2016) pada pasien departemen pediatri, SVRRGGH, Tirupathi, India. Jumlah minimal
sampel yang diperlukan (n=370) yang akan digunakan berdasarkan pengkajian yang dilakukan
pada awal minggu bulan Juli 2016 pada 50 pasien.

Pengkajian ini telah disetujui oleh Institusi Review Board, Sri Padmavathi School of
Pharmacy, Tiruchanoor, Tirupathi, India. Semua pasien anak dari SVRRGGH dengan demam
dengue selama periode pengkajian yang termasuk dalam kriteria pengkajian, kecuali bagi mereka
yang memiliki infeksi yang lain atau kondisi komorbid lainnya.

Pro forma yang didesain secara khusus digunakan untuk mengumpulkan data, termasuk
demografi pasien, riwayat kesehatan lalu, keluarga dan riwayat operasi, riwayat berpergian dan
transfuse, tanda dan gejala, diagnosis, dan obat-obatan yang diresepkan saat ini untuk setiap
pasien. Data didapatkan dari kasus profil pasien setelah mendapatkan inform consent dari orang
tua pasien. Semua data dianalisis dengan tujuan untuk mendiagnosis secara tepat,
pengklasifikasian, dan penggunaan antibiotik, berdasarkan Guideline WHO 20095 dan Guideline
India National Vector Borne Disease Control Programme (NVBDCP).6 Ditambah, kehadiran
penggunaan antibiotic yang sesuai untuk infeksi yang didapat dari rumah sakit juga dinilai
berdasarkan Guideline India Hospital Infection Society (HIS).7-9

HASIL

Dalam studi ini, kami mengamati lebih banyak kasus Demam Dengue pada anak-anak
dengan kelompok usia antara 5-10 tahun (52,97%), diikuti dengan kelompok 0-4 tahun (37,29%)
dan 11-15 tahun (9,23%).

Dari 370 kasus, 181 (48,91%) kasus didiagnosis berdasaran jumlah platelet, diikuti
dengan antigen NS1 (36,75%), antibodi IgM (12,7%) dan antibodi IgG (1,62%), sementara
hanya 4,4% dari seluruh kasus yang didiagnosis berdasarkan gejala (Tabel 2).

5
Dalam studi ini, 315 kasus (85,13%) diklasifikasi dengan tepat dan 72 kasus (19,45%)
diklasifikasikan dengan tidak tepat (Tabel 3). Dari 315 kasus yang diklasifikasikan dengan tepat,
Dengue ringan didapatkan pada 132 kasus (41,9%), dengue sedang pada 176 kasus (55,87%),
dan dengue berat pada 7 kasus (2,22%). Diantara kasus yang sedang dan berat, Prevalensi DHF
sekitar 49,45% (183 subjek) dimana DHF1 mengkontribusi persentase tertinggi (48,63%;89
kasus), diikuti dengan DHF2 (47,54%), dan DHF3 (3,82%).

Dari 370 yang dinyatakan kasus dengue, 267 (74,6%) kasus diresepkan antibiotic. Satu
jenis antibiotic pada 225 kasus ( 60,81% dari semua kasus), 2 antibiotik pada 33 (8,91%) kasus,
dan 3 antibiotik pada 9 (2,43%) kasus, pada saat yang sama (Gambar 1). Terapi Triple antibiotic
termasuk cefotaxime didalam semua resep dengan cefixime, azithromycin, amoxyclav,
doxycycline, dan ceftriaxone dalam kombinasi yang berbeda-beda. Antibiotik yang diberikan
sebagai terapi dual merupakan ceftriaxone dengan doxycycline, cefotaxime, atau cefixime, atau
metronidazole.

Diantara antiobiotik-antibiotik yang diresepkan, cefotaxime dan ceftriaxone merupakan


antibiotic yang paling banyak digunakan (97 kasus;30,50% untuk pengunaan setiap obat), diikuti
dengan doxycycline (17,92%), amoxyclav (10,06%), cefixime (3,77%), amikacin (2,83%),
azithromycin (2,51%), dan ciprofloxacin dan metronidazole (0,94%) (Tabel 4).

6
DISKUSI

Dalam studi ini kami menemukan bahwa dengue lebih sering ditemukan pada kelompok
usia antara 5-10 tahun. Hal ini bisa disebabkan karena anak-anak bermain pada tempat yang
kurang bersih dan terawat atau daerah dimana ada resiko untuk digigit oleh nyamuk. Tidak ada
alasan ilmiah untuk prevalensi tinggi untuk dengue pada anak-anak, tetapi angka kematian pada
pediatri tinggi dikarenakan infeksi sekunder, perkembangan imunitas, dan paparan rantai virulen,
sementara hampir semua anak-anak tetap asimptomatik.10

7
Penyakit Monoon paling sering di India adalah malaria, diare, dengue, chikungunya,
tifoid, infeksi virus, dan kolera. Mereka semua memiliki gejala yang sama dan menjadi suatu
tantangan bagi dokter. Antibiotik tidak berguna untuk manajemen dari dengue dan chikungunya,
dimana mereka merupakan infeksi virus. Berdasarkan WHO Clinical Guidelines5 and the 2014
NVBDCP Guidelines6 tidak ada obat pilihan untuk dengue yang tersedia, dimana obat yang ada
berlawanan dengan virus dengue.11 Oleh karena itu, terapi berdasarkan manajemen dari gejala.
Diagnosis yang akurat dari dengue bias dikonfirmasi berdasarkan serum yang positif untuk
antigen NS1, antibody IgM dan IgG. Antigen NS1 bisa ditentukan dengan ELISA, dimana
memiliki sensitifitas yang tinggi, spesifik,12 dan sangat membantu dalam mendiagnosis awal dari
infeksi akut. Di dalam studi kami, kami mengamati bahwa jumlah platelet hampir (50% kasus)
digunakan untuk mendiagnosis infeksi dengue. Pendekatan ini tidak sesuai karena
trombositopenia terjadi karena adanya destruksi dari platelet, dimediasi oleh antiplatelet-antibodi
yang diamati dari hari ke 3 sampai hari ke 7 selama sakit. Terlebih lagi, jumlah platelet mungkin
bias turun di dalam penyakit infeksi lainnya seperti HIV, HHV-6, ehrlichiosis, Rickettisia,
malaria, hepatitis-C, cytomegalovirus, Sindrom Epstein-Barr, Helicobacter pylori, dan E.coli.
Oleh karena itu, jumlah platelet tidak ideal untuk sebagai parameter diagnostic deman dengue.
Namun, hal itu bisa digunakan untuk melihat prognosis dari penyakit. Implementasi ini bisa
membuat dokter jelas dan percaya diri bahwa penggunaan antibiotic selanjutnya membuat dia
untuk mengikuti regimen ketat yang direkomendasikan oleh WHO da HIS dari India dan
mengurangi kebutuhan akan pengunaan antibiotik dan beban biaya dari pasien.

Apabila diagnosis dengue telah dikonfirmasi, pengklasifikasian bermain peran yang besar
dalam keberhasilan penatalaksanaan . Ketidaksesuaian pengklasifikasian dapat menyebabkan
kegagalan dalam terapi, dan kebutuhan untuk penilaian lebih lanjut dari komolikasi yang terjadi.
Manifestasi Demam Dengue bervariasi berdasarkan kalsifikasinya, berbeda pendekatan terapi
dibutuhkan, seperti yang telah disebutkan oleh Guideline WHO. Dengue ringan tidak
membutuhkan terap dengan cairan IV, sementara dengue sedang dan berat membutuhkan cairan
IV maintenance. Dengue sedang bisa diatasi dengan cairan IV dengan kecepatan 2 smapai 3
ml/Kg/jam, dengan penilaian dari darah lengkap untuk meningkatkan kecepatan pemberian
sampai dengan 5 sampai 10 ml/Kg/jam untuk 2 jam. Pada dengue berat, status hemodinamik dari
pasien membuuhkan penilaian, untuk menjadi dasar bagi dokter untuk menentukan antara
pemberian bolus 20 ml/Kg dalam 15 menit atau maintenance dengan cairan IV dengan kecepatan

8
pemberian 5 sampai 10 ml/Kg/jam selama 1 jam. Selain itu, Demam Dengue mungkin saja
bersifat fatal setelah memasuki fase seperti syok dan koma.5,6

Di dalam pengamatan kami, 75% dari seluruh kasus diberikan resep dengan antibiotic,
dibawah samara untuk menghindari terjadinya infeksi yang didapat dari rumah sakit. Namun,
antibiotic tidak diperlukan untuk mengobati dengue, menurut guideline yang ada. Antibiotik
empiric diberikan apabila ada suspek infeksi untuk mencegah terjadinya infeksi yang didapat
dari rumah sakit. Namun, penggunaan antibiotic empiris ini untuk mengobati infeksi nosocomial
harus sesuai dengan Guideline HIS. Ditambah, antibiotic seperti amikacin, doxycycline, dan
amoxyclav tidak boleh digunakan tanpa melakukan tes kerentanan, sementara ceftriaxone dan
cefixime tidak bisa digunakan untuk melakukan tes hipersensitivitas.13-16 Azithromycin,
ceftriaxone dan metronidazole hanya bisa digunakan untuk profilaksis dari endocarditis dan
Sexually Transmitted Diseases (STDs).17,18 Dengan tambahan, pengunaan amoxyclav pada
dengue bisa meningkatkan resiko perdarahan.14

Pemberian resep antibiotik merupakan suatu seni yang membutuhkan kemampuan dalam
menggunakan antibiotik secara tepat untuk infeksi tertentu. Penggunaan yang tidak tepat lebih
dari satu antibotik meningkatkan kemungkinan berkembangnya resistensi banyak obat, dimana
merupakan isu yang serius yang perlu dipertimbangkan. Meskipun banyak kebijakan yang
menjelaskan mengenai indikasi tepat untuk penggunaan antibiotic, obat-obat ini seringkali
digunakan secara tidak tepat. Terlebih lag, jika scenario ini berlanjut, daftar organisme yang
mengembangkan resistensinya akan bertambah. Antibiotik yang lebih kuat dan mahal harus
diberikan pada infeksi yang sederhana, dimana mungkin menyebabkan efek yang sebaliknya dan
bisa menyebabkan beban ekonomi untuk pasien.

Kesimpulannya, meresepkan satu atau lebih antibotik untuk mengobati infeksi virus yang
dapat sembuh sendiri dianggap tidak tepat, dan dapat menimbulkan resistensi banyak obat.
Terlebih lagi, penggunaan yang berlebihan dari antibiotik pada masa bayi dapat menginduksi
ketidakseimbangan dalam usus dan mikrobiota, yang disebut dysbiosis, dan akan meningkatkan
kemungkinan penyakit seperti obesitas, diabetes, dan asma lebih lanjutnya.19 Penemuan ini bisa
digunakan untuk meningkatkan penatagunaan antibiotik dalam pengobatan dengue.

9
REFERENSI

1. Yoneyama H, Katsumata R. Antibiotic resistance in bacteria and its future for novel
antibiotic development. Biosci Biotechnol Biochem. 2006;70:1060-75.C.
2. Ventola CL. The antibiotic resistance crisis: part 1: causes and threats. P T. 2015;40:277-
83.
3. Read AF, Woods RJ. Antibiotic resistance management. Evol Med Public Health.
2014;2014:147.
4. Eandi M, Zara GP, Della Pepa C. Application of pharmacoeconomics to the use of
antibiotics. Clin Microbiol Infect. 2000;6:90-2.
5. World Health Organization. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control. Geneva: World Health Organization; 2009. p.1-147.
6. National vector borne disease control programme. National guidelines for clinical
management of dengue fever. 2014 Dec; [cited 2016 March 17] Available from:
https://www.scribd.com/document/347257604/Dengue-National-Guidelines-2014-
Compressed.
7. Hospital Infection Society guidelines. Nosocomial Infection – Prevention and
Management. 1-10; [cited 2016 March 15]. Available from:
http://www.apiindia.org/pdf/pg_med_2008/Chapter-08.pdf.
8. World Health Organization. Prevention of hospital-acquired infections: a practical guide.
Malta: WHO; 2002. p.1-64.
9. Mohammed M, Mohammed A, Mirza M, Ghori A. Nosocomial infections: an overview.
Int Res J Pharm. 2014;5:7-12.
10. Murray NE, Quam MB, Wilder-Smith A. Epidemiology of dengue: past, present and
future prospects. Clin Epidemiol. 2013;5:299-309
11. Ghazala Z, Anuradha HV, Shivamurthy MC. Pattern of management and outcome of
dengue fever in pediatric in-patients in a tertiary care hospital: a prospective
observational study. International Journal of Basic & Clinical Pharmacology. 2014;
3:534-8. DOI: http://dx.doi.org/10.5455/2319-2003.ijbcp20140623.
12. Bisordi I, Rocco IM, Suzuki A, Katz G, Silveira VR, Maeda AY, et al. Evaluation of
dengue NS1 antigen detection for diagnosis in public health laboratories, São Paulo State,
2009. Rev Inst Med Trop São Paulo. 2011;53:315-20.
13. HL Sharma, KK Sharma. Penicillins, cephalosporins and other b-lactam antibiotics. In:
Kothari Divyesh A, editors. Principles of pharmacology. 2nd ed. New Delhi: Paras
Medical Publisher; 2103. p. 722-8.
14. Sharma HL, Sharma KK. Aminoglycosides. In: Kothari Divyesh A, editor. Principles of
pharmacology. 2nd ed. New Delhi: Paras medical publisher; 2103. p. 738.
15. Harvey RA. Protein synthesis inhibitors. In: Clark MA, editor. Pharmacology. 6th ed.
New Delhi: Lippincott's Illustrated Reviews Series; 2012. p. 395-404.
16. Sharma HL, Sharma KK. Broad spectrum antibiotics: tetracyclines and chloramphenicol.
In: Kothari Divyesh A, editor. Principles of pharmacology. 2nd ed. New Delhi: Paras
medical publisher; 2103. p. 748-50.
17. Sharma HL, Sharma KK. Macrolides, ketolides, lincosamides, oxazolidones and other
antibacterial drugs. In: Kothari Divyesh A, editor. Principles of pharmacology. 2nd
edition. New Delhi: Paras medical publisher; 2103. p. 741-3.

10
18. Sharma HL, Sharma KK. Antiamoebic and other antiprotozoal drugs. In: Kothari
Divyesh A, editor. Principles of pharmacology. 2nd ed. New Delhi: Paras Medical
Publisher; 2103. p. 819-21.
19. Vangay P, Ward T, Gerber JS, Knights D. Antibiotics, pediatric dysbiosis, and disease.
Cell Host Microbe. 2015;17:553-64.

11

Anda mungkin juga menyukai