Anda di halaman 1dari 58

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme ataupun
zat sintetis (dibuat didalam laboratorium) yang dapat membunuh atau menghambat
perkembangan mikroba lain tanpa membahayakan hospes (mengatasi penyakit infeksi).1
Antibiotik secara luas digunakan dalam bidang medis, selain itu juga digunakan dalam bidang
pertanian, peternakan, dan makanan. Antibiotik merupakan golongan obat yang banyak dipakai
didunia untuk mengobati kejadian infeksi bakteri di bidang kesehatan manusia dan hewan
(prevensi penyakit, mengatasi infeksi, mempercepat pertumbuhan). 2,3

Resistensi antibiotik di Asia Tenggara masih banyak terjadi akibat pemakaian yang
kurang rasional seperti pemberian antibiotik pada ISPA yang disebabkan oleh virus, pemakaian
berlebihan pada kasus diare akut, kurangnya pengawasan terhadap penggunaan antibiotik
(antibiotik cenderung diperjual-belikan secara luas dan dapat dibeli tanpa resep dari dokter).

Resistensi Antibiotik terjadi ketika bakteri dapat beradaptasi dan berkembang biak saat
antibiotik masih digunakan.4,5 Resistensi antibiotik secara langsung dapat berpengaruh kepada
pasien berupa durasi kesakitan yang lebih lama, peningkatan jumlah kematian, durasi rawat inap
yang lebih lama, hilangnya proteksi pasien untuk mencegah infeksi saat melakukan prosedur
medis (operasi), meningkatnya biaya perawatan. Setiap tahun di Amerika Serikat, setidaknya ada
23.000 orang meninggal akibat resistensi antibiotik. Dibeberapa negara sudah kehabisan
antibiotik yang efektif. 6-8

Di Indonesia sendiri berdasarkan penelitian di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP
dr. Kariadi Semarang, terdapat kuman multi-resisten seperti MRSA (Methicillin Resistant
Staphylococcus Aureus) dan bakteri penghasil ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases).9,10

Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, adanya obat keras dan antibiotik untuk
swamedikasi menunjukkan penggunaan obat tidak rasional, sebanyak 35,2% RT (Rumah
Tangga) menyimpan obat (obat keras sebesar 35,7% dan antibiotik sebesar 27,8%), sedangkan
pembelian obat tanpa menggunakan resep sebesar 81,9% untuk obat keras dan 86,1% untuk obat
antibiotik, 47,2%nya menyimpan obat sisa (obat sisa resep dari dokter/obat sisa sebelumnya
yang sudah digunakan tapi tidak habis), ini akan menimbulkan kesalahgunaan/kadaluarsa.

1
Pemakaian antiobiotik harus digunakan secara rasional untuk mengurangi beban negara dan
beban pasien. Kerasionalan pemakaian antibiotik meliputi tepat indikasi, tepat penderita, tepat
obat, tepat dosis, dan waspada efek samping obat.2

Di negara Eropa, antibiotik sistemik banyak diresepkan untuk pasien rawat jalan,
terutama untuk pasien infeksi saluran pernafasan. Namun di Thailand sendiri hanya 7,9% Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang disebabkan oleh bakteri, di Indonesia sekitar 10 juta
kejadian ISPA pada anak terjadi setiap tahunnya, kejadian batuk dan pilek pada balita
diperkirakan terjadi 2-3 kali/tahun. Menurut Kemenkes, ISPA merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%).11,12

ISPA merupakan penyakit Infeksi (masuknya mikroorganisme virus/bakteri ke dalam


hospes yang menyebabkan gejala penyakit) yang melibatkan saluran pernapasan bagian atas
(dari rongga hidung sampai alveoli) atau bawah (jaringan paru-paru), dapat menimbulkan
berbagai spektrum penyakit dari ringan sampai berat, berjalan secara akut (dibawah 14 hari).13

Di Indonesia, ISPA menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi
dan balita, dan juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit, menurut
Subdit ISPA merupakan penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia pada tahun 2015
(22,30%) dari seluruh kematian balita. Menurut Data dan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016,
jumlah anak balita (1-4 tahun) di Jakarta sebanyak 755.548, data ini merupakan hasil dari
indikator pengembangan yang menandakan pencapaian status kesehatan masyarakat, menurut
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 terdapat 40 kematian anak balita (1-4
tahun) /1000 angka kelahiran hidup, secara keseluruhan 5% balita mengalami ISPA, sebanyak
75% dibawa ke fasilitas kesehatan, dan 39% mendapatkan terapi antibiotik. Periode prevalensi
(dalam kurun waktu 1 bulan terakhir) di Indonesia berdasarkan diagnosis dan keluhan/gejala
yang pernah diderita/sedang diderita pada penduduk adalah sebesar 25%, berdasarkan
karakteristik penduduk penyakit ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%),
tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Di DKI Jakarta sendiri periode
prevalensinya 12,5%. Di Jakarta Barat terdapat 75 Puskesmas.14-17

Berdasarkan Laporan Akuntabilitas Kinerja Puskesmas tahun 2017, persentase


puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar dengan capaian indikator
tahun 2016 adalah sebesar 45,39% dengan target sebesar 45%, sedangkan persentase

2
penggunaan obat rasional di puskesmas dengan capaian indikator tahun 2016 adalah sebesar
71,05% dengan target sebesar 64%.18

Dari hasil penelitian di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu, pemakaian antibiotik rawat
jalan sudah rasional dengan presentase 76,19%. Tetapi terdapat penelitian yang menyatakan
masih tingginya penggunaan antibiotik pada balita penderita ISPA non-pneumonia di Padang.
Pada penelitian proporsi penggunaan antibiotik pada kasus ISPA non-pneumonia di Puskesmas
se-kota Padang sebesar 24,3% pasien mendapat pengobatan antibiotik. Di Puskesmas Kediri II
pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2015, dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil
penggunaan antibiotika pada tahun 2013 sebesar 86,16%, pada tahun 2014 sebesar 88,61% dan
pada tahun 2015 sebesar 82,73%, dengan penggunaan Amoxycillin menduduki peringkat pertama
penggunaan antibiotika yaitu sebesar 92,76%, Cefadroxil 4,19%, Ciprofloxacin 1,34% dan
Cotrimoxazole 1,71%. 19-22

Pada hasil penelitian di Puskesmas Cengkareng (Jakarta) menunjukkan presentase


penggunaan antibiotika pada sampel sebesar 59,6% dimana antibiotika yang paling banyak
digunakan adalah amoksisilin, penggunaan antibiotik cukup tinggi dan kesesuaian penulisan
resep dengan pedoman Buku Bagan MTBS belum memadai, terdapat penggunaan Cotrimoxazole
untuk mengobati keluhan penyerta diare balita. 19-22

Di DKI Jakarta sendiri terdapat 340 puskesmas (30 puskesmas rawat inap dan 310
puskesmas non-rawat inap), namun hanya 179 atau dengan persentase 52,65% yang melakukan
Pelayanan Kefarmasian sesuai standar tahun 2016, sedangkan penggunaan obat rasional di
Puskesmas DKI Jakarta tahun 2016 hanya mencapai persentase 39% dengan jumlah 6
kabupaten/kota dengan persentase penggunaan antibiotik pada ISPA non-pneumonia sebesar
34,2%.14,18

Berdasarkan penelitian pola kuman dan pola resistensi bakteri terhadap antibiotik pada
penderita infeksi saluran pernafasan atas di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta tahun
2016, Enterobacter cloacae telah resisten terhadap antibiotik Cefotaxime, Amoxycillin, bakteri
Staphylococcus aureus resisten terhadap Trimethoprim, Cefotaxime, Ciprofloxacin, Tetracycline,
Erythromycin, Amoxycillin, Ceftazidim, Moxifloxacin dan 50% kasus Levofloxacin, bakteri
Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap Trimethoprim, Tetracycline, Erythromycin,
Amoxycillin, Ceftazidim, terhadap antibiotik Ciprofloxacin dan Moxifloxacin menunjukkan

3
resistensi sebesar 50%, bakteri Streptococcus sp. telah resisten terhadap Cefotaxime,
Tetracycline, Erythromycin, Amoxycillin, Ceftazidim. Berdasarkan penelitian Uji Sensitivitas
Beberapa Antibiotika Terhadap Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) di
RSUD Syech Yusuf Kab. Gowa semua sample positif Streptococcus pyogenes, presentase
resisten terhadap antibiotik Amoxycillin 81,81%, Erithromycin 81,81%, Cotrimoxazole 63,63%.
Berdasarkan penelitian Pengaruh Penggunaan Antibiotika Terhadap Lama Hari Sakit dan Lama
Kehilangan Hari Kerja pada Pasien Infeksi Pernapasan Akut Bagian Atas pada Pelayanan
Kesehatan Primer, jenis antibiotik terbanyak mengalami resistensi adalah Ampicilin,
Tetracycline, Benzylpenicillin, Amoxicillin/clavulinic acid, kesesuaian pemberian antibiotik
dengan hasil kultur bakteri ditemukan pada 56 pasien (56%).23-25

Berdasarkan data referensi yang penulis dapatkan, angka kematian balita masih tinggi
dan salah satunya disebabkan oleh angka kesakitan ISPA, pasien yang dibawa ke fasilitas
kesehatan sudah banyak dan sebagian mendapatkan terapi antibiotik, penggunaan antibiotik
dapat menguntungkan jika diresepkan secara rasional, namun masih didapatkan tingginya angka
penggunaan antibiotik dan juga terdapat kesesuaian penulisan resep yang masih belum memadai.
Penulis ingin mengetahui apakah puskesmas terutama di DKI Jakarta sudah menggunakan
antibiotik dengan tepat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, didapatkan bahwa yang menjadi rumusan
masalah, tingginya penggunaan antibiotik yang tidak rasional di pusat pelayanan primer dapat
merugikan pasien, dapat menyebabkan resistensi dan menambah beban biaya, dalam penelitian
ini adalah mencari tahu prevalensi Penggunaan Antibiotik pada Pengobatan ISPA Non-
Pneumonia pada Anak Usia 1-4 Tahun di Puskesmas Tanjung Duren.

1.3 Hipotesis

Masih tingginya penggunaan antibiotik untuk penyakit ISPA non-pneumonia di layanan


primer.

4
1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui prevalensi penggunaan antibiotik terhadap penyakit ISPA non-pneumonia


anak-anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Tanjung Duren.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka kesakitan ISPA non-pneumonia anak-anak usia 1-4 tahun di


Puskesmas Tanjung Duren.
2. Mengetahui Pengobatan yang diberikan kepada penderita ISPA non-pneumonia anak-
anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Tanjung Duren.
3. Mengetahui prevalensi penggunaan antibiotik terbanyak terhadap penyakit ISPA non-
pneumonia anak-anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Tanjung Duren.
4. Mengetahui penggunaan antibiotik terhadap penyakit ISPA non-pneumonia anak-anak
usia 1-4 tahun di Puskesmas Tanjung Duren sudah memenuhi kriteria rasional/belum.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Penelitian Bagi Peneliti
 Dapat menerapkan dan mengembangkan ilmu yang telah dipelajari saat kuliah.
 Dapat memperoleh pengalaman dan pengetahuan dalam melakukan penelitian.
 Dapat meningkatkan kemampuan dalam bersosialisasi kepada masyarakat.
 Dapat menelaah isi rekam medis.
 Dapat menambah wawasan mengenai bagaimana menggunakan antibiotik secara
bijak dan rasional terhadap penyakit ISPA non-pneumonia anak.
1.5.2 Manfaat Bagi Institusi Pelayanan Primer:

 Dapat menjadi bahan masukan atau referensi dalam meningkatkan promosi


kesehatan mengenai penggunaan antibiotik rasional.
 Mendukung program global dan pemerintah terhadap penggunaan antibiotik
yang rasional.
 Mendorong gagasan penelitian berikutnya mengenai penggunaan antibiotik yang
rasional.
 Sebagai feedback terhadap kinerja Puskesmas.

5
1.5.3 Manfaat Bagi Masyarakat:

 Sebagai bahan informasi mengenai dampak buruk dari penggunaan antibiotik


yang berlebihan dan dampaknya bagi anak.
 Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap penggunaan antibiotik yang
harus digunakan secara bijak.
1.5.4 Manfaat Bagi Peneliti Lain
 Dapat menjadi salah satu sumber informasi dan data yang dapat digunakan
untuk mengembangkan penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini.

6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ISPA

2.1.1 Definisi

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) meliputi tiga unsur, yaitu adanya infeksi
(masuknya mikroorganisme ke tubuh hospes, berkembang biak, menimbulkan gejala
klinis), saluran pernapasan (dimulai dari hidung hingga alveoli), infeksi akut (kurang dari
14 hari). ISPA dibagi menjadi dua, yaitu: infeksi saluran pernapasan atas (termasuk
hidung, laring, faring, trakea, sinus paranasal, dan telinga tengah) dan infeksi saluran
pernapasan bawah (termasuk bronkus, bronkiolus, dan alveolus). Infeksi saluran
pernapasan akut merupakan penyebab terbanyak kesakitan dan kematian pada anak-anak
usia dibawah lima tahun. 13,26-28
ISPA ditandai dengan inflamasi saluran pernapasan atas atau bawah yang meliputi
infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus,
serta perubahan fungsi siliare. Gejala klinisnya bervariasi mulai dari demam, pusing,
malaise, anoreksia, muntah, fotofobia, gelisah, batuk, keluar sekret dari hidung, stridor,
dyspnea, retraksi suprasternal, hipoksia, dan dapat berlanjut hingga gagal napas yang
mengakibatkan kematian. 13,26,27
Penularan melalui udara pernapasan atau percikan ludah (droplet) penderita.
Pencegahan dengan kondisi lingkungan yang bersih dan sehat (keadaan rumah termasuk
ventilasi, tidak membiarkan anak bersama dengan penderita ISPA, menghindari paparan
asap rokok dan asap pembakaran sampah serta zat polutan asap kendaraan bermotor),
selain itu menghindari tempat kotor (perhatikan jarak rumah terhadap TPA), perhatikan
kepadatan penghuni rumah. 13,26,27

2.1.2 Epidemiologi

Menurut Data dan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, jumlah anak balita (1-4
tahun) di Jakarta sebanyak 755.548, data ini merupakan hasil dari indikator
pengembangan yang menandakan pencapaian status kesehatan masyarakat. ISPA
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama pada bayi (0-11 bulan)
dan balita (1-4 tahun). Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012

7
terdapat 40 kematian anak balita (1-4 tahun) /1000 angka kelahiran hidup, secara
keseluruhan 5% balita mengalami ISPA, sebanyak 75% dibawa ke fasilitas kesehatan,
dan 39% mendapatkan terapi antibiotik. 14,15

Period prevalensi (dalam kurun waktu 1 bulan terakhir) di Indonesia berdasarkan


diagnosis pada penduduk adalah sebesar 25%, berdasarkan karakteristik penduduk
penyakit ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%), tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Di DKI Jakarta sendiri periode prevalensinya
12,5%. Di Jakarta Barat terdapat 202.419 balita, diperkirakan ada 20.242 balita penderita
pneumonia dan dengan jumlah 75 puskesmas.16,17,28

2.1.3 Faktor Resiko

Faktor resiko seorang anak terkena ISPA terdiri dari 3 komponen, yaitu:28

1. Komponen hospes/manusia (host)


a. Umur

Sejumlah studi besar menunjukkan bahwa insiden ISPA melonjak pada bayi dan
usia dini anak-anak. Insiden ISPA tertinggi di Indonesia didapatkan pada usia anak 1-
4 tahun, usia kurang dari 12 minggu dan prematur.28

b. Berat badan lahir

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental
pada masa balita, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR, <2500 gram)
mempunyai resiko kematian yang lebih besar daripada bayi yang lahir dengan berat
badan normal, pada bulan-bulan pertama kelahiran terjadi pembentukan zat anti
kekebalan yang terjadi kurang sempurna pada BBLR, sehingga bayi akan lebih
mudah terkena infeksi yang lebih berat seperti infeksi pneumonia dan infeksi saluran
pernapasan lainnya.28

c. Status gizi
Masukan zat gizi pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi
oleh umur, keadaan fisik, kondisi kesehatan, kondisi fisiologis pencernaan, dan
tersedianya makanan serta aktivitas yang dijalani anak, pada penelitian anak dengan

8
gizi buruk sering menderita pneumonia, selain itu terdapat juga hubungan antara gizi
buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya (menurunkan imun
anak), infeksi juga menurunkan nafsu makan anak dan mengakibatkan anak kurang
gizi. Pada gizi kurang, anak akan lebih mudah terserang ISPA dan serangannya
cenderung lebih berat dan lama.28
d. Status ASI

ASI merupakan makanan yang paling baik untuk bayi sejak lahirnya bayi
disarankan untuk memberikan ASI, didukung juga oleh program pemerintah yaitu
IMD (Inisiasi Menyusui Dini), selain memberi nutrisi ASI juga memberikan faktor
imun terutama pada 1-4 hari pertama keluarnya ASI berupa colostrum yang kaya
akan IgA.28,29

e. Status imunisasi

Bayi dan balita yang sudah menjalani imunisasi dengan lengkap diharapkan
mendapatkan proteksi dari kuman, namun jika terkena penyakit diharapkan
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat, karena sistem imun telah
mengingat antigen dan memiliki kemampuan untuk melawan antigen didalam
vaksin.29

f. Status sosial dan ekonomi

Pendapatan orang tua atau Status sosial dan ekonomi keluarga yang berada pada
status sosial ekonomi menengah ke bawah berdampak pada status gizi balita.29

g. Keadaan khusus

Pada bayi yang terlalu kecil (dibawah 12 minggu) karena sistem imun yang belum
matang menyebabkan derajat keparahan penyakit lebih berat, terutama pada bayi
yang lahir prematur (usia kehamilan <37 minggu, resiko besar usia 12 minggu-5
tahun), resiko infeksi pernafasan yang darurat lebih tinggi dibandingkan bayi dengan
usia gestasi 40-42 minggu, bayi dengan kelainan penyakit jantung bawaan, penyakit
paru kronis (pada bayi prematur/kistik fibrosis), defisiensi imun (didapat/bawaan),
bayi yang membutuhkan terapi oksigen dirumah (bayi prematur dengan penyakit paru

9
kronis), kelainan neuromuskular (terutama dengan penurunan
kesadaran/ketidakmampuan untuk membuang sekret/membersihkan jalan napas),
mempunyai saudara yang berada di sekolah/tempat penitipan (membawa agen
infeksius ke rumah), penyakit GERD (Gastroesophageal Disease) yang berat.30

2. Komponen agent
Penyebab dapat menentukan ringan atau beratnya penyakit, penyebab dapat
berupa bakteri, virus, jamur, ataupun protozoa.29
3. Komponen lingkungan
a. Pencemaran udara

Asap rokok (perokok pasif terutama akibat orang tua yang merokok dekat anak),
asap kendaraan bermotor (hasil pembakaran), asap hasil pembakaran bahan bakar untuk
memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme imun paru, memudahkan
timbulnya ISPA. Hasil pembakaran kendaraan berupa karbon monoksida akan mengikat
sel darah merah karena afinitas karbon monoksida terhadap sel darah merah lebih tinggi
dibanding afinitas oksigen terhadap sel darah merah.29,31

b. Keadaan tempat tinggal berupa:


- Ventilasi rumah berfungsi untuk menjaga aliran udara didalam rumah,
untuk memenuhi keseimbangan oksigen, terlalu banyak kadar karbon
dioksida menjadi racun bagi penghuni rumah.29,31
- Pencahayaan (alami dan buatan) harus dapat menerangi ruangan minimal
intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan, kurangnya cahaya matahari
dapat membuat ruangan menjadi media yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bakteri dengan suasana yang lebih lembab juga. 29,31
- Kelembaban udara yang tinggi dapat meningkatkan daya tahan hidup
bakteri, kelembaban baik jika memenuhi kriteria 40-70%, kelembaban
udara tinggi memmungkinkan juga adanya tikus, kecoa, dan jamur (hewan
reservoir).29,31
- Kepadatan hunian, kesehatan perumahan (berdasarkan keputusan Menteri
Kesehatan tahun 1999 nomor 829) menetapkan bahwa luas ruang tidur
minimal 8 m2. Diharapkan dengan kriteria ini, dapat mencegah penularan

10
penyakit dan melancarkan aktivitas, jika ruangan rumah padat dapat
meningkatkan faktor polusi udara dalam rumah. 29,31
c. Dukungan pelayanan kesehatan

Sesuai dengan kartu pelayanan kesehatan yaitu Kartu Menuju Sehat (KMS), anak-
anak wajib dipantau tumbuh dan kembangnya, anak-anak wajib dibawa untuk
menimbang berat badan, imunisasi sesuai usia, memeriksakan kesehatan, memeriksa
status gizinya. Pemerintah telah menyediakan posyandu (pusat pelayanan terpadu)
dan puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) untuk menunjang program kesehatan
anak.28-31

2.1.4 Alur Diagnosa dan Klasifikasi ISPA

Pada saat pasien pertama kali datang perhatikan keadaan pasien dan tanda-tanda
vital, kategorikan pasien menjadi salah satu triase dari kategori emergensi/prioritas/tanpa
tanda emergensi dan prioritas. Tanda emergensi (memerlukan penanganan segera hingga
pasien dalam keadaan stabil) berupa konsep ABCD, yaitu: Airway (sumbatan jalan
napas/stridor), Breathing (kesulitan bernapas/sesak napas berat, terlihat retraksi dinding
dada, merintih, sianosis), Circulation (tanda syok berupa akral dingin, capillary refill test
>3 detik, nadi cepat dan lemah; dan juga consciousness, yaitu anak tidak sadar/coma,
kejang/convulsion, gelisah/confusion), Dehydration (tanda dehidrasi berat pada anak
dengan diare berupa lemah, mata cekung, turgor kulit menurun). Lalu periksa tanda
prioritas (harus diberikan prioritas dalam antrian, pemeriksaan dan pengobatan harus
dilakukan tanpa keterlambatan) dengan konsep 4T3PR MOB, yaitu: Tiny baby (bayi
kurang dari 2 bulan), Temperature (anak sangat panas), Trauma (trauma/kondisi yang
perlu tindakan bedah segera), Trismus, Pallor (sangat pucat), Poisoning (keracunan),
Pain (nyeri hebat), Respiratory Distress (distress pernapasan), Restless, irittable, or
lethargic (gelisah, mudah marah, dan lemah), Referral (rujukan segera), Malnutrition
(gizi buruk), Oedema (edema kedua punggung kaki), dan Burns (luka bakar luas). 32

Setelah penentuan triase, lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik termasuk


penilaian status imunisasi, status gizi, dan pemberian makan, buat daftar diagnosis
banding, pilih diagnosis utama dan sekunder, tentukan pasien harus dirawat jalan (atur
tindak lanjut jika diperlukan) atau dirawat inap (lanjutkan perawatan, lakukan

11
pemantauan apakah ada tanda perbaikan, komplikasi, gagal terapi. Jika perbaikan,
lanjutkan pengobatan dan rencanakan pemulangan pasien, atur perawatan lanjutan/tindak
lanjut di rumah sakit/masyarakat. Jika tidak ada perbaikan/ada masalah, lakukan
penilaian ulang terhadap penyebab gagal terapi, penetapan ulang diagnosis, ubah
tatalaksana, lakukan pemantauan terhadap tanda perbaikan/resiko komplikasi/gagal
terapi).32,33

Pada anak yang datang dengan batuk dan atau kesulitan bernapas, pada anamnesis
perhatikan keadaan batuk dan kesulitan bernapas berupa lama (hari), pola (malam/dini
hari), faktor pencetus, paroksismal dengan whoops/muntah/sianosis sentral, apakah ada
kontak dengan pasien TB (atau batuk kronik) dalam keluarga, gejala lain (demam,
wheezing, pilek, dll), riwayat tersedak atau gejala yang tiba-tiba, riwayat infeksi HIV,
riwayat imunisasi (BCG, DPT, campak, Hib), riwayat atopi (asma, eksem, rinitis, dll)
pada pasien atau keluarga. Pada pemeriksaan fisis umum carilah tanda sianosis sentral,
merintih/grunting, pernapasan cuping hidung, wheezing, stridor, kepala terangguk-
angguk (gerakan kepala yang sesuai dengan inspirasi menunjukkan adanya distres
pernapasan berat), peningkatan tekanan vena jugularis, telapak tangan sangat pucat, pada
pemeriksaan fisis rongga dada, lihat dan lakukan perhitungan frekuensi pernapasan
(hitung napas selama 1 menit ketika anak tenang), memenuhi kategori napas cepat jika:32

Umur Frekuensi pernapasan


<2 bulan >60x/menit
2-11 bulan >50x/menit
1-5 tahun >40x/menit
>5 tahun >30x/menit
Tabel 1. Kategori Pernapasan Cepat Berdasarkan Umur dan Frekuensi Pernapasan.32
Lalu lihat dan cari tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest-indrawing, terjadi ketika
dinding dada bagian bawah tertarik saat anak menarik napas. Bila hanya jaringan lunak antar iga
atau di atas klavikula yang tertarik pada saat anak bernapas, tidak menunjukkan tarikan dinding
dada bagian bawah), denyut apeks bergeser/trakea terdorong dari garis tengah, lakukan
Auskultasi dan cari crackles (ronki) atau suara napas bronkial, perhatikan irama derap pada
auskultasi jantung, pada perkusi cari tanda efusi pleura (redup) atau pneumotoraks (hipersonor),

12
pada pemeriksaan fisis rongga abdomen cari apakah ada masa abdominal (konsistensi
cair/padat), apakah ada pembesaran hati dan limpa. Lakukan pemeriksaan penunjang foto dada
pada anak dengan pneumonia berat yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan atau
dengan komplikasi, atau berhubungan dengan HIV dan pulse oxymetry untuk mengetahui saat
pemberian atau menghentikan terapi oksigen.
Diagnosis Gejala
Pneumonia - Demam
- Batuk dengan napas cepat
- Crackles (ronki) pada auskultasi
- Kepala terangguk-angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Merintih (grunting)
- Sianosis
Bronkiolitis - Episode pertama wheezing pada anak umur <
2 tahun
- Hiperinflasi dinding dada
- Ekspirasi memanjang
- Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
-Kurang/tidak ada respons dengan
bronkodilator
Efusi/empiema - Bila masif terdapat tanda pendorongan organ
intra toraks
- Pekak pada perkusi
Tuberkulosis (TB) - Riwayat kontak positif dengan pasien TB
dewasa
- Uji tuberkulin positif (≥ 10 mm, pada
keadaan imunosupresi
≥ 5 mm)
- Pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan
menurun
- Demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
- Batuk kronis (≥ 3 minggu)
- Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila,
inguinal yang
spesifik. Pembengkakan tulang/sendi
punggung, panggul,
lutut, falang
Pertusis - Batuk paroksismal yang diikuti dengan
whoop, muntah, sianosis atau apnu
- Bisa tanpa demam

13
- Imunisasi DPT tidak ada atau tidak lengkap
- Klinis baik di antara episode batuk
Pneumotoraks - Awitan tiba-tiba
- Hipersonor pada perkusi di satu sisi dada
- Pergeseran mediastinum
Tabel 2. Diagnosis Banding pada Pasien Anak Umur 2 bulan-5 tahun yang Datang dengan Batuk
dan atau Kesulitan Bernapas.32
Pneumonia biasanya disebabkan oleh virus atau bakteri, sebagian besar episode
yang serius disebabkan oleh bakteria, namun biasanya sulit untuk menentukan penyebab
spesifik melalui gambaran klinis atau gambaran foto dada. Dalam program
penanggulangan penyakit ISPA, pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia
berat/sangat berat (pasien harus dirawat inap, baik dengan atau tanpa gejala hipoksemia
dan dengan komplikasi), pneumonia/pneumonia ringan (berobat jalan) dan batuk bukan
pneumonia/non-pneumonia (infeksi respiratorik akut atas yang cukup diberi nasihat
untuk dirawat dirumah), berdasarkan ada tidaknya tanda bahaya, tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam dan frekuensi napas, dan dengan pengobatan yang spesifik untuk
masing-masing derajat penyakit.
Pada pneumonia ringan, selain batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat
napas cepat saja dan pastikan anak tidak mengalami gejala pneumonia berat, sedangkan
pada pneumonia berat, batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut ini: kepala terangguk-angguk, pernapasan cuping hidung, tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam, foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas,
konsolidasi, dll), selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini: napas cepat, suara
merintih (grunting) pada bayi muda, pada auskultasi terdengar crackles (ronki), suara
pernapasan menurun, suara pernapasan bronkial, dalam keadaan yang sangat berat dapat
dijumpai: tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya,
kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat.
Pada anak yang datang dengan batuk dan pilek, biasanya penyakit ini akibat
infeksi virus yang sembuh sendiri dan hanya memerlukan perawatan suportif (self limited
disease), antibiotik tidak perlu diberikan, wheezing atau stridor dapat terjadi pada
beberapa anak, terutama bayi. Hampir semua gejala tersebut hilang dalam 14 hari, bila
batuk berlangsung ≥ 3 minggu, bisa disebabkan oleh tuberkulosis, asma, pertusis atau
gejala dari infeksi HIV.

14
Gejala umum dapat ditemukan batuk, pilek, anak bernapas lewat mulut, dan
demam, namun tidak ditemukan gejala/tanda: napas cepat, tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam, stridor sewaktu anak dalam keadaan tenang, tanda bahaya umum,
Wheezing (suara pernapasan frekuensi tinggi nyaring yang terdengar di akhir ekspirasi,
disebabkan oleh penyempitan saluran respiratorik distal) dapat muncul pada anak kecil.
Periksa wheezing dengan meletakkan telinga didekat mulut anak dan dengarkan suara
napas sewaktu anak tenang, atau menggunakan stetoskop untuk mendengarkan wheezing
atau crackles/ ronki. Pada umur dua tahun pertama, wheezing pada umumnya disebabkan
oleh infeksi saluran respiratorik akut akibat virus, seperti bronkiolitis atau batuk dan
pilek. Setelah umur dua tahun, hampir semua wheezing disebabkan oleh asma. Kadang-
kadang anak dengan pneumonia disertai dengan wheezing. Diagnosis pneumonia harus
selalu dipertimbangkan terutama pada umur dua tahun pertama. 32
Pada anak yang datang dengan wheezing, tanyakan saat anamnesis: apakah
sebelumnya pernah terdapat wheezing, apakah pasien memberi respons terhadap
bronkodilator, apakah pernah terdiagnosis asma atau ada riwayat terapi asma jangka
panjang. Lakukan pemeriksaan dan cari wheezing pada saat ekspirasi, ekspirasi
memanjang, hipersonor pada perkusi, hiperinflasi dada, dan crackles/ronki pada
auskultasi. Respons terhadap bronkodilator kerja cepat dilakukan jika penyebab wheezing
tidak jelas, atau jika anak bernapas cepat atau terdapat tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam selain wheezing, beri bronkodilator kerja cepat dan lakukan penilaian setelah 20
menit. Berikan salbutamol nebulisasi/salbutamol dengan MDI (metered dose inhaler)
dengan spacer/ beri suntikan epinefrin (adrenalin) secara subkutan. Lihat respons setelah
20 menit. Tanda adanya perbaikan: distres pernapasan berkurang (bernapas lebih mudah),
tarikan dinding dada bagian bawah berkurang.32
Diagnosis Gejala

Asma - Riwayat wheezing berulang, kadang tidak


berhubungan
dengan batuk dan pilek
- Hiperinflasi dinding dada
- Ekspirasi memanjang
- Berespons baik terhadap bronkodilator

15
Bronkiolitis -Episode pertama wheezing pada anak umur <
2 tahun
- Hiperinflasi dinding dada
- Ekspirasi memanjang
- Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
- Respons kurang/tidak ada respons dengan
bronkodilator

Wheezing berkaitan dengan batuk atau pilek - Wheezing selalu berkaitan dengan batuk dan
pilek
- Tidak ada riwayat keluarga dengan
asma/eksem/hay fever
- Ekspirasi memanjang
- Cenderung lebih ringan dibandingkan dengan
wheezing
akibat asma
- Berespons baik terhadap bronkodilator

Pneumonia - Batuk dengan napas cepat


- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Demam
- Crackles/ ronki
- Pernapasan cuping hidung
- Merintih/grunting
Tabel 3. Diagnosis Banding pada Pasien anak yang Datang Disertai dengan Wheezing.32

Pada kondisi yang disertai dengan stridor tanyakan pada saat anamnesis apakah
episode stridor pertama atau berulang, riwayat tersedak, stridor ditemukan segera setelah
lahir. Pemeriksaan fisis cari adakah penampilan bull neck, sekret hidung bercampur
darah, stridor terdengar walaupun anak tenang, periksa bagian faring adakah membran
keabuan. Stridor adalah bunyi kasar saat inspirasi, karena penyempitan saluran udara
pada orofaring, subglotis atau trakea. Jika sumbatan berat, stridor juga bisa terjadi saat
ekspirasi. Penyebab utama stridor yang berat adalah viral croup, benda asing, abses
retrofaringeal, difteri dan trauma laring. 32
Diagnosis Gejala

Croup - Batuk menggonggong (barking cough)


- Suara serak
- Distres pernapasan
Abses retrofaringeal - Demam
- Kesulitan menelan

16
- Pembengkakan jaringan lunak

Benda asing - Riwayat tiba-tiba tersedak


- Distres pernapasan

Difteri - Imunisasi DPT tidak ada atau tidak


lengkap
- Sekret hidung bercampur darah
- Bull neck karena pembesaran kelenjar
leher dan edema
- Tenggorokan merah
- Membran putih-keabuan di faring/tonsil

Tabel 4. Diagnosis Banding Anak yang Datang disertai dengan Stridor.32

Berdasarkan lokasi anatomis, ISPA dibagi menjadi ISPA bagian atas dan ISPA
bagian bawah. ISPA bagian atas meliputi rhinitis, faringitis, tonsilitis, sinusitis dan otitis
media, laringitis, dan epiglotitis. ISPA bagian bawah termasuk bronkitis, bronkiolitis, dan
pneumonia. Sebagian besar ISPA hanya terbatas pada bagian atas saja, namun sekitar 5%
melibatkan laring dan saluran napas bagian bawah. Etiologinya berasal lebih dari 300
jenis bakteri, virus, maupun jamur. Namun banyak yang disebabkan oleh virus (>90%),
maka tidak membutuhkan antibiotik. Kecuali, epiglotitis dengan etiologi Haemophilus
influenzae (bakteri gram -). Bakteri penyebab ISPA adalah Streptococcus pneumoniae,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Bordetella, Corynebacterium. Virus penyebab ISPA adalah Rhinovirus, Respiratory
Syncitial Virus (RSV), Mixovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Mycoplasma,
Herpesvirus. 32,33

Gambar 1. Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan (Atas dan Bawah).33

17
2.1.5 Etiologi

Secara umum, virus langsung menginvasi sel epitel dari mukosa saluran
pernapasan, bermultiplikasi menggunakan DNA/RNA hospes dan menyebabkan
kematian sel hospes, sedangkan bakteri umumnya melakukan multiplikasi tanpa merusak
sel hospes, namun toksin dan enzim yang dikeluarkan akan menyebabkan kematian sel
hospes (membentuk eksudat), terlibatnya sistem imun berupa infiltrasi leukosit dan
sekresi mukus berlebihan, banyaknya sitokin, protein, dan immunoglobulin. Sitokin dan
mekanisme lainnya dapat menyebabkan gejala infeksi viral (batuk, pilek, dan terkadang
demam).

Gambar 2. Patogenesis Invasi Bakteri dan Virus.34

Streptococcus pneumoniae merupakan diplokokus gram positif, faktor virulensi


utamanya berupa kapsul polisakarida (tebal, hambat fagositosis) yang mempunyai
berbagai macam jenis antigen dan zat kimia, banyak serotipe. Tipe 3 paling virulen, tidak
menghasilkan enzim protease. Transmisi melalui droplet dan menular dari orang ke
orang. Hemolisa tipe alfa.34

Haemophilus influenza batang gram negatif pleomorfik, menggunakan sel darah


merah sebagai pertumbuhannya, faktor X (hemin/hematin) dan faktor V (NAD),
mempunyai IgA protease yang memecah protein jaringan hospes, serotipe B paling
invasif, kapsul + tidak adhesi pada sel epitel, invasif dan akan menyebar secara
hematogen menyebabkan gejala ekstrapulmoner berupa meningitis, selulitis, artritis, dan

18
epiglotitis, kapsul – adhesi pada sel epitel, menyebabkan infeksi lokal pada traktus
respiratorius berupa pneumonia dan sinusitis, LOS (Lipooligosakarida) menghambat
kerja sel epitel silia pada saluran napas.34

Mycoplasma pneumoniae dindingnya tidak kaku sehingga pleomorfik, pada


medium padat seperti gambaran fried egg, yaitu gambaran ditepi lusen, tengah opaque.
Hanya memiliki 1 serotipe, transmisi melalui inhalasi droplet, melalui reseptor melekat
pada epitel silia traktus repiratori.34

Chlamydia pneumoniae bakteri gram negatif, parasit obligat intrasel, badan


elementer sangat infeksius menempel pada sel target dan ekstraseluler, badan retikuler
intraseluler dan noninfeksius yang akan membentuk badan inklusi dapat dilihat dengan
mikroskop.34

Rhinovirus merupakan agen terbanyak penyebab infeksi saluran pernapasan atas,


biasanya terdapat pada sekret hidung, dapat juga ditemukan dalam sekret tenggorok dan
mulut. Termasuk dalam famili picornavirus, virionnya tidak stabil dibawah pH 5-6,
inaktivasinya lengkap pada pH 3,0 lebih termostabil dan bertahan selama berjam-jam di
permukaan lingkungan. Virus masuk lewat saluran napas atas, titer virus tinggi didalam
sekresi hidung (2-4 hari setelah pajanan), virus dapat terdeteksi dalam 3 minggu.
Replikasi terjadi diepitel permukaan mukosa hidung, pada biopsi ditemukan perubahan di
epitel permukaan dan submukosa berupa edema dan infiltrasi seluler ringan,
menyebabkan sekresi nasal bertambah banyak (kuantitas) serta konsentrasi protein.
Rhinovirus jarang menyebabkan infeksi saluran pernapasan bawah.34

Virus influenza masuk ke dalam famili Orthomyxoviridae, memiliki tiga jenis


imounologi, yaitu A,B, dan C. pada tipe A selalu tejadi perubahan antigen, virus
berbentuk sferis, pleomorfik, dengan diameter 80-120 nm, virus RNA, dengan 8 molekul
segmen, mengandung HA (hemaglutinin virus, akan mengikat partikel virus ke sel yang
rentan, antigen utama yang menjadi sasaran antibodi hospes) dan NA (protein
neuraminidase, pada ujung replikasi virus memudahkan pelepasan partikel virus dari
permukaan sel yang terinfeksi, membantu virus menembus lapisan musin untuk mencapai
sel epitel target). 34

19
2.1.6 Diagnosis dan Gejala Klinis ISPA Non-Pneumonia

1. Rhinitis (Common Cold/Flu/Salesma)

Rhinitis merupakan payung besar dengan sindrom klinis berupa hidung tersumbat,
rinorea, bersin, dan gatal, pasien tampak bernapas lewat mulut (>2 gejala klinis lebih dari
satu jam dalam durasi 2 hari atau lebih merupakan diagnosis rhinitis). Klasifikasi rhinitis:
alergi, infeksi (bakteri, virus, jamur), non-alergi dan noninfeksius (idiopatik/rhinitis
vasomotor, nonalergi rhinitis dengan gejala eosinofilia, dll). Rhinitis sering terjadi akibat
infeksi ataupun alergi. Rhinitis dapat juga disertai dengan asma, karena struktur anatomis
dan fungsional yang saling berkaitan antara mata, telinga tengah, dan tonsil adenoid
(cincin Waldeyer), maka dapat disertai konjungtivitis, otitis media, hipertrofi adenoid,
dan asma bronkial. 35,36

Rhinitis sering terjadi pada anak usia <2 tahun, rata-rata terjadi 5-8x/tahun, 30-
50% diperbolehkan untuk rawat jalan, dapat disertai dengan infeksi otitis media akut,
sinus, dan nasofaring. Etiologi terseringnya oleh virus (Rhinovirus) dan Mycoplasma
pneumoniae, penularan dapat terjadi melalui jalan napas/droplet terutama pada anak
dengan gizi kurang, dapat terjadi sepanjang tahun, manifestasi klinisnya berlangsung 2-4
hari, umumnya pada bayi gejala klinisnya lebih berat dibandingkan dengan anak besar.
Gejala klinis pada bayi meliputi demam subfebril, anak rewel, bersin, rhinorea, kongesti
hidung menyebabkan menyusu terganggu, kadang disertai batuk, diare, dan muntah. Pada
anak yang lebih besar, gejala klinis dapat berupa iritasi hidung/faring, bersin, hidung
tersumbat, batuk, nyeri kepala, dan anoreksia.35,36

Dapat dibedakan juga dengan rhinitis alergi, dengan tidak adanya demam, gatal
pada mata/hidung, frekuensi bersin lebih sering, mukosa hidung pucat, dapat diterapi
dengan antihistamin. Periksa juga apakah ada riwayat atopi lainnya pada anak seperti
eksim dan alergi terhadap makanan, obat, dan cuaca/serbuk sari.36,37

Pada rhinitis, produksi mukus yang berlebihan lewat stimulasi parasimpatis


melewati reseptor asetilkolin dan peptida intestinal vasoaktif menyebabkan produksi
mukus menyebabkan rinorea, pengendapan darah yang berlebih pada kapiler subepitel,
sinusoid vena, dan anastomosis arterivena di hidung menyebabkan hidung tersumbat

20
menurunnya tonus simpatis menyebabkan pembengkakan vaskular. Perubahan secara
histologi bervariasi, mulai dari tidak terjadi perubahan secara histologi, sampai terjadi
destruksi epitel, namun pasti terjadi vasodilatasi dan hipersekresi mukus. 37,38

Komplikasi tersering dari rhinitis adalah otitis media akut, sinusitis, dan infeksi
meluas ke saluran napas bawah.39

2. Faringitis
Faringitis merupakan iritasi pada faring dan atau tonsil (tonsilitis), sering terjadi
pada anak usia 4-7 tahun. Etiologi terseringnya yaitu virus, diikuti Streptococcus grup β
hemolitikus (Streptococcus pyogenes), dan Corynebacterium diphteriae. Gejala klinis
dapat berupa demam, serak, batuk, rhinitis, nyeri tenggorok, terkadang terdapat eksudat
pada tonsil (tonsil berbintik), dan faring tampak hiperemis.40-42
Pada faringitis viral, rhinovirus masuk elewati epitel bersilia, menyebabkan
edema dan hiperemis pada membran mukosa hidung, menyebabkan peningkatan aktivitas
sekresi kelenjar mukus, edema membran mukosa hidung, tuba eusthacius, dan faring.
Pada adenovirus, virus menginvasi mukosa faring dan terlihat efek sitopatik virus. Pada
infeksi Epstein-Barr Virus,terjadi edema dan hiperemis tonsil, mukosa faring, adanya
eksudat sel inflamasi, dan hiperplasia limfoid nasofaring. Pada influenza virus tipe A
menginvasi epitel menyebabkan nekrosis dan pasien menjadi lebih rentan terhadap
koinfeksi bakteri. Perubahan pada infeksi mukosa nasofaring, terjadi transformasi dan
deskuamasi epitel, terjadi sedikit abrasi dinding nasofaring.43,44
Pada faringitis bakterial, gejala klinis lebih berat seperti mual, muntah, demam,
nyeri tenggorok, hiperemis faring (ada eksudat), bengkak kelenjar getah bening leher,
ptekiae palatum mole, uvula bengkak, ruam kulit acarlatina. Penyebab utama faringitis
bakterial adalah Streptococcus β hemolitikus grup A (memiliki protein M reaksi silang
dengan protein hospes, kapsul asam hialuronat, eksotoksin, adhesin untuk melekat ke sel
hospes). Pada faringitis bakterial terapi menggunakan antibiotik seperti Penicillin dan
Erithromycin (bakteri gram +). Pada tonsilitis akut, perlu dipertimbangkan tonsilektomi
jika sering terjadi rekuren, pada kasus lainnya seperti hiperplasia tonsil, perlu
dipertimbangkan parsial tonsilektomi (resiko perdarahan dan nyeri setelah operasi lebih
rendah), pemeriksaan penunjang yang dapat diandalkan adalah swab.

21
Difteri merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae, dapat dicegah dengan imunisasi, difteri merupakan infeksi saluran respiratorik
atas atau nasofaring menyebabkan selaput berwarna keabuan dan bila mengenai laring
atau trakea dapat menyebabkan ngorok (stridor) dan penyumbatan, sekret hidung
berwarna kemerahan, toksin difteri dapat menyebabkan paralisis otot dan miokarditis,
yang berhubungan dengan tingginya angka kematian. Diagnosis secara hati-hati periksa
hidung dan tenggorokan anak (dapat mencetuskan obstruksi total saluran napas) terlihat
warna keabuan pada selaputnya,yang sulit dilepaskan. Pada anak dengan difteri faring,
terlihat jelas bengkak pada leher (bull neck), biasanya ditemukan riwayat imunisasi DPT
tidak ada atau tidak lengkap, sekret hidung bercampur darah, bull neck karena
pembesaran kelenjar leher dan edema, tenggorokan merah, terdapat membran putih-
keabuan di faring/tonsil. Komplikasinya miokarditis dan paralisis otot dapat terjadi 2-7
minggu setelah awitan penyakit. Tanda miokarditis meliputi nadi tidak teratur, lemah dan
terdapat gagal jantung.
Komplikasi lainnya dari faringitis adalah otitis, sinusitis, demam reumatik, dan
GNA (Glomerulo Nefritis Akut). 32,44

3. Laringitis
Laringitis biasanya terjadi pada anak kecil saat musim hujan, dikenal dengan
kelompok istilah “croup”. Gejala klinis terutama barking cough/batuk keras, serak,
stridor respiratori (akibat edema pita suara, seperti sesak, keluar napas tidak lancar). Pada
laringitis terjadi edema dan reaksi inflamasi yang akan mempromosikan sel-sel darah
putih untuk datang, vibrasi pita suara akan terganggu menyebabkan gejala klinis serak.
Laringitis dibagi dalam beberapa bagian yaitu laringitis akut, laringotrakeitis, spasmodik
croup, dan laringotrakeobronkitis (bakterial trakeitis). Laringitis akut terutama
menyerang anak besar disertai gejala klinis serak, pilek, nyeri tenggorok, dan demam,
etiologi terseringnya adalah virus, terapinya simptomatik sesuai dengan gejala klinis.
Terapinya dibutuhkan ketenangan (jika anak gelisah), humidifikasi, kortikosteroid (untuk
mengatasi inflamasi), epinefrin (nebulisasi untuk mengatasi edema), dan antibiotik (jika
gejala klinis berat dan suspek infeksi bakterial).45

22
Laringotrakeitis akut (croup) biasanya menyerang anak usia 1-3 tahun, penyebab
utamanya adalah virus (parainfluenzae, influenzae, dan RSV), gejala klinis utamanya
adalah influenzae, batuk, serak, takipnea, stridor, dengan gejala khasnya gejala akan
memburuk dimalam hari, indikasi untuk rawat inap adalah stridor berat, gelisah, retraksi,
dan sianosis. Croup (laringotrakeobronkitis viral) menyebabkan obstruksi/penyumbatan
saluran respiratorik atas, jika berat, dapat mengancam jiwa (paling berat terjadi pada
masa bayi). Berdasarkan derajat beratnya penyakit, croup dibagi menjadi croup ringan
yang ditandai dengan: demam, suara serak, batuk menggonggong, stridor yang hanya
terdengar jika anak gelisah dan croup berat ditandai dengan: Stridor terdengar walaupun
anak tenang, napas cepat dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. 32,45

Laringotrakeobronkitis (bakterial trakeitis) terjadi akibat sel inflamasi poten yang


diproduksi oleh epitel bronkial seperti Interleukin 8 (IL-8), netrofil, dan limfosit. Gejala
klinis, dari ringan sampai berat, yaitu batuk, barking cough, stridor inspiratori, panas
tinggi, distress pernapasan dan serak, etiologi terseringnya adalah Streptococcus grup A,
Haemophilus influenzae, dan Streptococcus viridans, sering menyerang anak pada usia 1-
2 tahun, reaksi inflamasi lebih berat karena terjadi inflamasi juga disubglotis dan dapat
juga disertai pneumonia. Terapi diperlukan untuk menjaga jalan napas, pemberian
antibiotik, dan intubasi jika terjadi obstruksi jalan napas. 45

4. Otitis Media Akut (Demam disertai tanda lokal)

Dalam keadaan anak datang dengan demam, lihat apakah ada tanda infeksi lokal,
pada infeksi telinga perlu dipikirkan Otitis Media Akut (OMA), diagnosis didasarkan
pada riwayat nyeri pada telinga atau adanya nanah yang keluar dari dalam telinga/otorea
(selama periode < 2 minggu). Pada pemeriksaan, pastikan terjadi otitis media akut dengan
otoskopi berupa warna membran timpani (MT) merah, meradang, dapat sampai terdorong
ke luar dan menebal (cembung keluar akibat desakan cairan/mukopus), atau terjadi
perforasi disertai nanah.32
5. Sinusitis Akut (Demam disertai tanda lokal)

Sinusitis merupakan keadaan inflamasi dari sinus paranasal, jika mukosa nasal
terlibat, maka akan menjadi rhinosinusitis. Sinusitis akut dapat terjadi akibat bakteri/virus
dalam waktu kurang dari 4 minggu. Dalam keadaan anak datang dengan demam, lihat apakah

23
ada tanda infeksi lokal, diagnosis akan mengarah ke sinusitis jika pada saat perkusi wajah
ada tanda radang pada daerah sinus yang terserang (nyeri di gigi/pipi/daerah frontal) dan
pasien mengeluhkan keluar cairan hidung yang berbau, postnasal discharge, hidung
tersumbat, penciuman berkurang (hiposmia), halitosis, mudah lelah, sakit kepala, anoreksia
(tidak spesifik dan tidak dapat dibedakan infeksi virus/bakterial), untuk diagnosa pasti, dapat
ditemukan salah satu kriteria: gejala persisten tanpa perbaikan (batuk/sekret dari hidung lebih
dari 10 hari, gejala klinis memburuk/ tiba-tiba terjadi demam, batuk, sekret dari hidung
setelah pemberian terapi ISPA viral, demam berat (≥39˚C), sekret purulen dari hidung ≥3
hari berturut-turut, tidak diperlukan pencitraan untuk kasus yang tidak berat.32,46-49
2.1.7 Tatalaksana
1. Batuk dan Pilek
Tatalaksana batuk dan pilek yaitu anak dirawat jalan, beri pelega tenggorokan dan
pereda batuk dengan obat yang aman seperti minuman hangat manis (dapat diberikan madu
untuk meredakan batuk nokturnal, tidak berbahaya pada anak usia >1 tahun dengan dosis 5-
10ml, pada anak <1 tahun dapat menyebabkan botulism), redakan demam yang tinggi (≥ 39˚
C) dengan parasetamol, apabila demam menyebabkan distres pada anak, bersihkan
sekret/lendir hidung anak dengan lap basah yang dipelintir menyerupai sumbu, sebelum
memberi makan. Jangan memberi antibiotik (tidak efektif dan tidak mencegah pneumonia),
obat yang mengandung atropin, kodein atau derivatnya, atau alkohol (obat ini mungkin
membahayakan), dan obat tetes hidung. Anjurkan ibu untuk: memberi makan/minum anak,
memperhatikan dan mengawasi adanya napas cepat atau kesulitan bernapas dan segera
kembali, jika terdapat gejala tersebut, harus kembali jika keadaan anak makin parah, atau
tidak bisa minum atau menyusu. 32,50
Dosis parasetamol untuk anak < 3 bulan (oral, ulang 4-6 jam, maksimal 4 dosis/24
jam) 10 mg/kgBB (bila ikterik : 5 mg/kgBB), anak usia 3 bulan – 1 tahun berikan 60– 125
mg; 1 – 5 tahun berikan 120 – 250 mg; 6 – 12 tahun: 250 – 500 mg, atau (rektal, ulang 4-6
jam, maksimal 4 dosis/24 jam) diberikan pada usia 1 – 5 tahun 125 – 250 mg; 6 – 12 tahun:
250 – 500 mg.51
2. Faringitis
Tatalaksana faringitis bakterial difteri, berikan antitoksin 40.000 unit ADS IM atau
IV sesegera mungkin, karena jika terlambat akan meningkatkan mortalitas (karena terdapat

24
risiko alergi terhadap serum kuda dalam ADS maka perlu dilakukan tes kulit untuk
mendeteksi reaksi hipersensitivitas dan harus tersedia pengobatan terhadap reaksi
anafilaksis). Antibiotik diberi penisilin prokain dengan dosis 50.000 unit/kgBB secara IM
setiap hari selama 7 hari. Hindari memberikan oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran
respiratorik. Tanda tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat dan gelisah
merupakan indikasi dilakukan trakeostomi (atau intubasi) daripada pemberian oksigen.
Penggunaan nasal prongs atau kateter hidung atau kateter nasofaring dapat membuat anak
tidak nyaman dan mencetuskan obstruksi saluran respiratorik. Oksigen harus diberikan, jika
mulai terjadi obstruksi saluran respiratorik dan perlu dipertimbangkan tindakan trakeostomi
(jika terjadi tanda obstruksi jalan napas disertai gelisah, harus dilakukan trakeostomi sesegera
mungkin). Orotrakeal intubasi oratrakeal merupakan alternatif lain, tetapi bisa menyebabkan
terlepasnya membran, sehingga akan gagal untuk mengurangi obstruksi. Perawatan
penunjang: Jika anak demam (≥ 39˚ C) yang tampaknya menyebabkan distres, beri
parasetamol, bujuk anak untuk makan dan minum, jika sulit menelan, beri makanan melalui
pipa nasogastrik, hindari pemeriksaan yang tidak perlu dan gangguan lain pada anak.
Pemantauan kondisi pasien, terutama status respiratorik, harus diperiksa oleh perawat
sedikitnya 3 jam sekali dan oleh dokter 2 kali sehari (ditempatkan dekat dengan perawat, jika
terjadi obstruksi jalan napas dapat dideteksi sesegera mungkin). Tindakan kesehatan
masyarakat rawat anak di ruangan isolasi dengan perawat yang telah diimunisasi terhadap
difteri, lakukan imunisasi pada anak serumah sesuai riwayat imunisasi, berikan eritromisin
pada kontak serumah sebagai tindakan pencegahan, lakukan biakan usap tenggorok pada
keluarga serumah. 42,49,50-53
Pada faringitis lainnya, dapat disertai dengan tonsilitis (penisilin merupakan terapi
pilihan pada tonsilitis atau dapat juga diberi cefuroxime, steroid, dan OAINS), dengan gejala
klinis tidak dapat dibedakan antara etiologi virus dan bakteri, anak dengan nyeri tenggorok
harus diperiksa rapid test antigen (jika >2 kriteria): tidak adanya batuk, ada demam, terdapat
pembengkakan/eksudat tonsil, adanya pembengkakan pada noduli limfatisi cervical anterior,
usia <15 tahun, pada anak dan remaja jika hasil rapid test negatif, lanjutkan dengan kultur
tenggorok (jika positif RADT tidak perlu kultur tenggorok), pada anak usia <3 tahun tidak
diperlukan rapid test (jarang infeksi disebabkan oleh Streptococcus grup A menyebabkan
faringitis dan demam rheumatik). Tatalaksana faringitis bakterialis: Amoxicillin dan

25
Penicillin V (terapi lini pertama) seiring dengan meningkatnya insidens infeksi bakteri
dengan enzim Betalactamase, Aminopenicillins lebih banyak digunakan, pada anak dengan
hipersensitifitas yang bukan tipe 1 terhadap Penicillin, berikan Cephalexin, Cefadroxil
(dengan hipersensitifitas tipe 1 tidak boleh menggunakan golongan Cephalosporins) atau
Azithromycin. Pada faringitis viral, terapi bersifat suportif, seperti analgesik/antipiretik
(asetaminofen/ibuprofen) untuk meredakan demam dan nyeri tenggorokan. Dosis ibuprofen:
(tidak direkomendasi untuk anak < 7 kg, oral saat/sesudah makan), pada usia < 1 tahun : 20 –
30 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi, 1 – 2 tahun : 50 mg 3 – 4 kali sehari, 3 – 7 tahun : 100
mg 3 – 4 kali sehari, 8 – 12 tahun : 200 mg 3 - 4 x sehari. 42,49,50-53
Dosis Penicillin V (oral, 10 hari) pada anak < 27kg berikan 400.000 U (250mg) 2-
3x/hari, pada anak >27 kg, remaja, dan dewasa berikan 800.000 U (500mg) 2-3x/hari atau
amoxicillin (oral, 10 hari) dengan dosis 50mg/kgBB 1x/hari. Jika alergi dengan Penisilin,
berikan Azithromycin (oral, 5 hari) dengan dosis 12mg/kgBB/hari 1x/hari (maximal
500mg).54

3. Laringitis/croup

Pada croup ringan dapat ditangani di rumah dengan perawatan penunjang, meliputi
pemberian cairan oral, pemberian ASI atau pemberian makanan yang sesuai. Pada anak
dengan croup berat harus dirawat di rumah sakit untuk perawatan, berikan steroid dosis
tunggal deksametason (0.6 mg/kgBB IM/oral dapat diulang dalam 6-24, epinefrin (adrenalin)
2 ml adrenalin 1/1.000 ditambahkan ke dalam 2-3 ml garam normal, diberikan dengan
nebulizer selama 20 menit, antibiotik tidak efektif dan seharusnya tidak diberikan. Pada anak
dengan croup berat yang memburuk, dipertimbangkan pemberian: oksigen (jika terjadi
obstruksi saluran respiratorik), tanda tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat
dan gelisah merupakan indikasi dilakukan trakeostomi (atau intubasi lakukan sedini mungkin
atau rujuk dengan cepat) daripada pemberian oksigen, penggunaan nasal prongs atau kateter
hidung atau kateter nasofaring dapat membuat anak tidak nyaman dan mencetuskan, pada
perawatan penunjang hindari manipulasi yang berlebihan yang dapat memperberat obstruksi
(misalnya pemasangan infus yang tidak perlu), jika anak demam (≥ 39˚ C) yang tampaknya
menyebabkan distres, berikan parasetamol, pemberian ASI dan makanan cair, bujuk anak
untuk makan, segera setelah memungkinkan, pantau keadaan anak terutama status

26
respiratorik harus diperiksa oleh perawat sedikitnya 3 jam sekali dan oleh dokter 1 kali
sehari.32,38

4. Otitis Media Akut

Tatalaksana pada otitis media akut, berikan pengobatan rawat jalan kepada anak,
berhubung penyebab tersering adalah Streptococus pneumonia, Hemophilus influenzae dan
Moraxella catharrhalis, diberikan Amoxycillin (15 mg/kgBB/kali 3 kali sehari) atau Co-
trimoxazole oral (24 mg/kgBB/kali dua kali sehari) selama 7–10 hari, jika ada nanah
mengalir dari dalam telinga, tunjukkan pada ibu cara mengeringkannya dengan wicking
(membuat sumbu dari kain atau tisyu kering yang dipluntir lancip), nasihati ibu untuk
membersihkan telinga 3 kali sehari hingga tidak ada lagi nanah yang keluar, nasihati ibu
untuk tidak memasukkan apa pun ke dalam telinga anak, kecuali jika terjadi penggumpalan
cairan di liang telinga, yang dapat dilunakkan dengan meneteskan larutan garam normal,
larang anak untuk berenang atau memasukkan air ke dalam telinga, jika anak mengalami
nyeri telinga atau demam tinggi (≥ 38,5°C) yang menyebabkan anak gelisah, berikan
parasetamol. Antihistamin tidak diperlukan untuk pengobatan OMA, kecuali jika terdapat
juga rinosinusitis alergi, untuk tindak lanjut minta ibu untuk kunjungan ulang setelah 5 hari,
jika keadaan anak memburuk yaitu MT menonjol keluar karena tekanan pus, mastoiditis
akut, sebaiknya anak dirujuk ke spesialis THT, jika masih terdapat nyeri telinga atau nanah,
lanjutkan pengobatan dengan antibiotik yang sama sampai seluruhnya 10 hari dan teruskan
membersihkan telinga anak, kunjungan ulang setelah 5 hari. 32
Setelah kunjungan ulang (5 hari lagi) bila masih tampak tanda infeksi, berikan
antibiotik lini kedua: Erithromycin dan Sulfa, atau Amoxycillin/clavulinic acid (dosis
disesuaikan dengan komponen amoksisilinnya). Infeksi mungkin karena kuman penghasil
betalaktamase (misalnya H. influenzae) atau karena terdapat penyakit sistemik, misalnya
alergi, rinosinusitis, hipogamaglobulinemia. Bila dengan antibiotik lini kedua juga gagal,
dapat dirujuk untuk kemungkinan tindakan miringotomi dengan atau tanpa pemasangan
grommet. OMA sembuh bila tidak ada lagi cairan di kavum timpani dan fungsi tuba
eustakius sudah normal (cek dengan timpanometer). Kesembuhan yang tidak sempurna,
dapat menyebabkan berulangnya penyakit atau meninggalkan otitis media efusi kronis
dengan ketulian ringan sampai berat.32

27
5. Sinusitis Akut
Indikasi untuk terapi antibiotik pada sinusitis akut adalah sinusitis akut persisten,
sinusitis akut yang berat, penampilan anak toksik dengan suspek komplikasi. Tatalaksana
observasi hingga 3 hari pada anak dengan gejala persisten, berikan antibiotik jika sinusitis
akut dengan etiologi bakterial yang memburuk/berat, berikan antibiotik
Amoxicillin/Amoxicillin-clavulanate (terapi lini pertama), dapat diganti jika alergi Penicillin,
jika anak tidak bisa menerima obat peroral (muntah/tidak sadar) berikan dosis tunggal
Ceftriaxon dan ganti dengan antibiotik oral jika keadaan sudah membaik. 48,58
Dosis pada anak lebih dari 2 tahun derajat ringan sampai moderate tanpa penggunaan
antibiotik selama 1 bulan terakhir yaitu Amoxycillin (oral, 10 hari) 45mg/kgBB/hari 2x/hari,
pada derajat moderat sampai berat dan juga pada anak kurang dari 2 tahun, dan pernah
mendapat terapi antibiotik selama 1 bulan terakhir diberikan Amoxycillin-clavulanate (oral,
10 hari) 80-90mg/kgBB/hari (Amoxycillin + clavulanate 6,4mg/kg/hari) dibagi 2x/hari,
maksimal 2g/dosis. Pottasium clavulanate dengan dosis yang cukup dapat menginhibisi
bakteri yang memproduksi enzim betalaktmase seperti H. influenzae dan M.
catarrhalis.50,51,55
2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian Antibiotik pada ISPA Non-Pneumonia

Sistem imun sangat diperlukan oleh tubuh untuk melawan infeksi, pada beberapa
keadaan sistem imun dapat terganggu (immunocompromised) akibat kelainan
bawaan/didapat, yaitu:56

1. Kelainan kongenital/bawaan
 Syndrome
 Defek sel B (predisposisi sering terjadinya infeksi sinus-paru dan infeksi saluran
pernapasan, infeksi virus non-enveloped, parvovirus B19, dan Rotavirus)
 Defek sel T (predisposisi infeksi Candida, Mycobacterium avium-intracellulare
complex, Herpesvirus, dan P. jiroveci)
 Defek sel B dan sel T (predisposisi hampir semua infeksi, S. pneumoniae, P.
aeruginosa, L.pneumophilla, EBV, dan lainnya, pasien biasanya datang dengan
gagal tumbuh dan oral thrush, infeksi P.jiroveci)
 Defek makrofag, sitokin, dan lainnya

28
 Defisiensi/disfungsi fagosit
 Defisiensi komplemen (rekuren infeksi sinus-paru dan infeksi yang invasif
disebabkan bakteri berkapsul seperti S. pneumoniae, H. influenzae, N.
meningitidis)
 Hemoglobinopati (dikaitan dengan keadaan asplenia didapat/kongenital, sering
dihubungkan dengan infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, dan Neisseria sp.)
 Kondisi lainnya (asplenia kongenital, diskinesia siliaris, sindrom kartagener,
lymphedema kongenital, kelainan anatomis mid line dermal sinus, defek telinga
dalam mondini, fistula, kista, trisomy 21/Down Syndrome)
2. Kelainan didapat
 Malnutrisi (mudah terkena HIV, diare, dan pneumonia)
 Infeksi HIV, asma, DM (infeksi meningkat seiring dengan menurunnya fungsi
imun)
 Trauma (luka bakar, luka laserasi)
 Kondisi medis lainnya (kehamilan, keganasan, transfusi darah, sedang dalam
pengobatan leukemia/limfoma, transplantasi sel punca/sumsum tulang,
transplantasi organ, sedang dalam penobatan autoimun/kelainan infalamsi,
inhibitor TNF-α, pengobatan monoklonal antibodi/molekul kecil lainnya)
 Asplenia didapat. 56

Keadaan immunocompromised ini sangat memengaruhi seorang anak akan lebih mudah
terkena infeksi. Pada beberapa keadaan dimana anak membutuhkan antibiotik karena infeksi
saluran pernafasan yang ringan dapat berkembang menjadi infeksi sistemik pada pasien
immunocompromised. Pada pasien immunocompromised dengan HSV faringitis, infeksi RSV,
dan CMV pertimbangkan untuk terapi antivirus. Untuk infeksi HSV dapat diterapi dengan
acyclovir, famciclovir, atau valacyclovir. Untuk infeksi CMV pertimbangkan foscarnet atau
ganciclovir, untuk infeksi RSV ribavirin. Beberapa keadaan dengan keadaan imun yang
suboptimal, membutuhkan penanganan khusus (tindak lanjut) dan antibiotik yang sesuai, yaitu: 57

1. Pasien dengan tidak adanya limpa (splenektomi/malformasi kongenital)


2. Pasien dengan infeksi HIV (infeksi meningkat seiring menurunnya fungsi imun)

29
3. Pasien dengan keganasan/terapi kanker
4. Pasien yang menjalani dialisis
5. Pasien yang menjalani transplantasi organ/sel punca/sumsum tulang
6. Pasien dengan imunodefisiensi bawaan
7. Pasien dengan trauma (luka bakar)
8. Pasien dengan komorbid seperti bronkitis kronis (batuk berdahak lebih dari 4
minggu, akan membutuhkan antibiotik 2-3 minggu, Co-amoxiclav selama 2 minggu
mungkin efektif/3 minggu Co-amoxiclav atau Azithromycin)
9. Pasien dengan autoimun
10. Pasien dengan konkuren penyakit otitis media akut, faringitis bakterialis, pneumonia,
sinusitis kronis, sinusitis akut, infeksi saluran kemih, selulitis, dan bakteremia
(bersamaan dengan ISPA selama 7 hari sebelum/sesudah), terutama pada anak usia 0-
5 tahun pada penelitian di Pensylvannia menyatakan penggunaan antibiotik
meningkat bersamaan dengan konkuren ISPA dan penyakit otitis media akut,
faringitis bakterialis, sinusitis akut dan kronis, dan pneumonia.57,58

Pada penelitian faktor yang memengaruhi peresepan antibiotik untuk ISPA oleh
dokter kegawatdaruratan berdasarkan tanda dan gejala klinis pasien adalah durasi
lamanya penyakit merupakan faktor tertinggi (>14 hari), diikuti dengan kenaikan
temperatur (>101,5˚F/>38,6˚C), batuk produktif dengan sputum kekuningan, drainage
nasal berwarna, gejala pada sinus (nyeri dan rasa tertekan). Selain itu terdapat faktor
lainnya yaitu dari pasien berupa permintaan pasien, pengalaman pasien memakai
antibiotik untuk mengatasi penyakitnya, susahnya akses untuk tindak lanjut, pasien
mengetahui derajat keparahan penyakit.59

Pada penelitian di RRC, peresepan antibiotik banyak digunakan di rumah sakit


kota daripada rumah sakit tingkat provinsi ataupun desa (karena kurangnya edukasi
tambahan/lanjutan yang didapat tenaga medis mengenai penggunaan antibiotik dan
kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan antibiotik akan mempercepat proses
penyembuhan, dan juga permintaan pasien untuk meresepkan antibiotik).60

Pada penelitian di Mesir, terdapat angka yang tinggi terhadap peresepan antibiotik
pada common cold/rhinitis, faktor yang memengaruhi pada orang dewasa adalah

30
keinginan untuk diresepkan antibiotik. Pada anak dibawah 18 tahun, faktor yang
memengaruhi peresepan antibiotik adalah gejala klinis seperti demam, batuk,
anoreksia, nyeri tenggorokan, dan permintaan keluarga untuk meresepkan antibiotik.
Selain itu kepercayaan dan pola pikir masyarakat memengaruhi peresepan antibiotik
seperti: pasien percaya dosis, bentuk sediaan, dan harga dari antibiotik berhubungan
dengan efektivitas dan kecepatan penyembuhan (harga yang murah akan lebih tidak
efektif), pasien percaya antibiotik dapat mencegah penyakit (banyak yang menyatakan
menyimpan antibiotik di rumah yang akan digunakan saat timbul gejala minor
ISPA). 61

Berdasarkan penelitian di Singapur, faktor tertinggi yang memengaruhi


pemberian antibiotik pada ISPA non-pneumonia adalah pasien dengan usia ekstrim
(kelompok usia pediatris dan geriatri), pasien dengan komorbid (seperti : diabetes
melitus, PPOK, CKD/penyakit ginjal kronis), dan pasien yang datang kembali dengan
62
gejala klinis yang sama.

Berdasarkan panduan NIH, pemberian antibiotik untuk pasien sebaiknya


dilakukan setelah anamnesis, pemeriksaan fisik, inform consent dan beritahu pasien untuk
menyetujui alur strategi pemberian antibiotik (tidak diberikan antibiotik, akan diberikan
nanti/menunda pemberian antibiotik, dan langsung diberikan antibiotik). Minta pasien
untuk setuju dengan tidak diberikan antibiotik/menunda pemberian antibiotik pada pasien
dengan diagnosis otitis media akut, nyeri tenggorok akut/faringitis/tonsilitis akut, rhinitis,
rhinosinusitis akut/batuk akut/bronkitis akut.
Pada pasien yang tidak diberikan antibiotik, edukasi pasien bahwa peresepan
antibiotik akan memberikan sedikit efek pada perubahan gejala yang dialami, beritahu
pasien efek samping yang akan muncul pada penggunaan antibiotik seperti diare, muntah,
dan bercak kemerahan (rash), dan beritahu pasien berdasarkan rekomendasi review medis
dengan pemberian antibiotik penyakit akan bertambah lama/parah.
Pada pasien dengan pemberian antibiotik yang ditunda, edukasi pasien bahwa
peresepan antibiotik akan memberikan sedikit efek pada perubahan gejala yang dialami,
nanti akan diresepkan jika gejala klinis tidak membaik dan penyakit bertambah parah,

31
boleh melakukan konsul ulang jika gejala klinis bertambah parah, resep boleh diambil
sekarang/diambil saat nanti konsul ulang.
Pertimbangkan pemberian langsung antibiotik berdasarkan kebutuhan pasien
(derajat beratnya penyakit), terutama pada pasien dengan kondisi khusus yaitu pada anak
usia <2 tahun dengan otitis media akut bilateral, anak dengan diagnosis otorea dan
menderita otitis media akut, pasien dengan nyeri tenggorok akut/tonsilitis akut dengan ≥3
kriteria Centor positif (adanya eksudat tonsilar, limfadenopati cervical bagian
depan/limfadenitis, adanya riwayat demam, dan tidak adanya gejala batuk)
Berikan resep antibiotik langsung (dengan pemeriksaan penunjang dan dengan
atau tanpa tatalaksana lanjutan) pada pasien dengan keadaan umum yang buruk, pasien
dengan gejala klinis penyakit serius dengan atau tanpa komplikasi (pneumonia,
mastoiditis, abses peritonsilar, selulitis peritonsilar, komplikasi intraorbital/intrakranial),
dan dalam resiko tinggi komplikasi serius karena adanya komorbid (termasuk pasien
dengan penyakit jantung, paru, ginjal, hati, dan neuromuskular, anak dengan
immunosupressed, kistik fibrosis, anak yang kecil terutama usia <12 minggu dengan
riwayat kelahiran prematur).

Edukasi semua pasien untuk penggunaan antipiretik dan analgetik


untukpengobatan supportif (menurunkan demam/meredakan sakit), edukasi pasien akan
penyakitnya dan lama rata-rata penyakit yang dideritanya:

1. Otitis media akut biasanya berlangsung selama 4 hari


2. Nyeri tenggorok/faringitis akut/tonsilitis akut biasanya berlangsung selama 1 minggu
3. Rhinitis/common cold biasanya berlangsung selama 1,5 minggu
4. Rhinosinusitis akut biasanya berlangsung selama 2,5 minggu
5. Batuk akut/bronkitis akut biasanya berlangsung selama 3 minggu. 30

32
Gambar 3. Alur Peresepan Antibiotik pada Pasien dengan Diagnosis ISPA.30

2.3 Golongan antibiotik

1. Senyawa β-lactam:

a. Golongan penicillin
Memiliki cincin tiazolidin melekat ke sebuah cincin β lactam yang membawa
gugus amino sekunder (RNH-). Jika terjadi hidrolisis cincin β lactam oleh β lactamase
bakteri akan menghasilkan asam penisiloat (tidak memiliki aktivitas antibakteri).
Substituen gugus asam 6-aminopenisilanat menentukan sifat farmakologik dan
antibakteri molekul yang terbentuk.
Mekanisme kerjanya menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengganggu
reaksi transpeptidasi sintesis dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri terdiri dari ikatan
silang kompleks polipeptida, polisakarida (mengandung asam gula amino, N-
asetilglukosamin, dan asam N-asetil-muramat), dan peptidoglikan/murein/mukopeptida.
Terdapat peptida 5 asam amino dihubungkan ke gula asam N-asetilmuramat, berakhir di
D-alanin-D-alanin. Protein pengikat penisillin mengeluarkan alanin terminal dalam
mencegah proses pembentukan ikatan silang (proses yang dibutuhkan dinding sel untuk
mendapatkan rigiditas struktural dengan cara berikatan dengan peptida disekitarnya) yang
secara kovalen mengikat tempat aktif PBP (Penisillin Binding Protein), sehingga akan

33
menghambat reaksi transpeptidasi, menghentikan sintesis peptidoglikan, dan
menyebabkan kematian sel. 52,63
Penisillin digolongkan menjadi 3 kelompok:

1. Penisillin (contoh: Penisillin G)


Aktivitas terbesar untuk organisme gram positif, kokus gram negatif, dan bakteri
anaerob yang bukan penghasil β laktamase), kurang aktif untuk batang gram negatif
dan penghasil β laktamase. Penisillin G merupakan obat pilihan untuk infeksi
Streptokokus, meningokokus, beberapa enterokokus, stafilokokus (bukan penghasil β
laktamase) dan pneumokokus sensitif penisilin, dosisnya tergantung kebutuhan antara
4-24 juta unit/hari. Penisillin V merupakan bentuk oral penisillin untuk infeksi minor,
pemberiannya perlu dilakukan 4x/hari (tidak praktis) dan spektrum antibakterinya
sempit (sering digunakan amoksisillin untuk penggantinya).
2. Penisillin antistafilokokus (contoh: Nafsilin).5264
Aktivitas terhadap stafilokokus dan streptokokus serta resisten terhadap β laktamase
stafilokokus, tetapi tidak terhadap enterokokus, bakteri anaerob, serta kokus dan
batang gram negatif.52
3. Penisillin spektrum luas (contoh: Ampisillin dan Penisillin anti-pseudomonas,
Amoksisillin)
Memiliki aktivitas spektrum antibakteri penisillin dan memiliki aktivitas terhadap
organisme gram negatif, rentan terhadap enzim β laktamase bakteri. Penyerapan
amoksisilin lebih baik, dengan dosis 250-500mg sehari 3x akan sama jumlahnya
dengan ampisillin dengan dosis yang sama diberikan 4x/hari. Amoksisillin diberikan
peroral untuk infeksi saluran kemih, sinusitis, otitis, ISPA bagian bawah. Ampisillin
dan Amoksisillin paling aktif untuk pneumokokkus.

Resistensi terhadap obat golongan β laktam diakibatkan oleh salah satu dari 4
mekanisme: inaktivasi antibiotik oleh β laktamase (produksi oleh bakteri dan merupakan
mekanisme yang paling umum terjadi), modifikasi PBP sasaran, gangguan penetrasi obat
ke PBP sasaran, dan efluks.52

Secara farmakokinetik, amoksisillin bersifat stabil asam dan relatif diserap dengan
baik (diberikan peroral, relatif diserap baik), menghasilkan konsentrasi serum 4-

34
8mcg/mL (setelah 1 dosis 500mg). Nafsillin tidak baik penyerapannya disaluran cerna,
sehingga tidak baik sesuai diberikan peroral. Penisillin G lebih baik IV daripada IM
karena iritasi dan nyeri lokal (terutama dalam dosis besar). Penisillin cepat diekskresikan
oleh ginjal. Pemakaian klinis penisillin sebaiknya 1-2 jam sebelum/sesudah makan, jika
diberikan bersama makanan akan mengurangi pengikatan protein ke makanan dan
inaktivasi asam. Reaksi silang dan sensitisasi silang sering menyebabkan alergi karena
determinan antigenik (berupa produk penguraian penisillin) terutama asam penisiloat dan
produk hidrolisis alkalis yang terikat ke protein pejamu.52

Efek samping obat golongan ini meliputi reaksi alergi karena menimbulkan
sensitisasi silang, (reaksi ruam kulit, urtikaria, demam, pembengkakan sendi sampai shok
anafilaktik setelah 7-12 hari pajanan), lesi mulut, demam, nefritis interstisial (reaksi
autoimun terhadap kompleks penisilin-protein), eosinofilia, anemia hemolitik, dan
vaskulitis. Pada pasien gagal ginjal, penisilin dosis tinggi dapat menimbulkan kejang,
nafsilin dapat menyebabkan netropenia, oksasilin dapat menimbulkan hepatitis, dan
metisilin dapat menyebabkan nefritis interstisial (sekarang sudah tidak digunakan). Dosis
besar penisilin peroral dapat menyebabkan gangguan pencernaan (mual, muntah, dan
diare), ampisilin berhubungan dengan kolitis pseudomembranosa serta dapat terjadi
infeksi sekunder misalkan kandidiasis vagina. Ampisilin dan amoksisilin dapat
menyebabkan ruam kulit yang bersifat non-alergik (terutama jika tidak tepat diberikan
untuk suatu infeksi virus).

b. Golongan sefalosporin

Serupa dengan penisillin, namun lebih stabil terhadap banyak β laktamase bakteri.
Struktur kimianya terdiri dari asam 7-aminosefalosporanat (bagian nukleusnya).
Golongan ini dibagi menjadi 4 generasi:

1. Generasi pertama (sefazolin, sefadroksil, sefaleksin, sefalotin, sefapirin, dan


sefradin).
Sangat aktif terhadap pneumokokus, streptokokus, dan stafilokokus, kokus
anaerob (peptokokus, peptostreptokokus). Sefaleksin, sefadril, dan sefadroksil
diserap dari usus. Dosis oral 500mg memiliki kadar serum 15-20mcg/mL, ekskresi
melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus dalm urin. Sefazolin diberikan secara

35
parentral intravena 1 g kadar puncak 90-120mcg/mL, dapat juga diberikan
intramuskulus, ekskresi melalui ginjal (sesuaikan dosis pada gangguan fungsi ginjal).
Secara klinis obat peroral dapat digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih
serta infeksi streptokokus dan stafilokokus, termasuk selulitis dan abses jaringan
lunak, namun sefalosporin tidak dapat diandalkan untuk mengobati penyakit sistemik
yang serius. 52
2. Generasi kedua (sefaklor, sefamandol, sefonisid, sefuroksim, sefprozil, lorakarbef,
dan seforanid, dan sefamisin yaitu sefoksitin, sefmetazol, dan sefotetan).
Memiliki aktifitas terhadap anaerob, gram negatif, Klebsiella sp. Sefamandol,
sefuroksim, sefaklor aktif terhadap H. influenzae. Sefaklor, sefuroksim asetil,
sefprozil dapat diberikan peroral anak perlu diberi 20-40mg/kg/hari maksimal 1g/hari,
dapat juga diberikan intravena, hindari intramuskulus. Sediaan oral generasi kedua
ini, aktif terhadap H. influenzae penghasil β laktamase, terutama digunakan untuk
mengobati sinusitis, otitis, dan infeksi saluran napas bawah. Sefuroksim banyak
digunakan untuk pneumonia yang didapat dimasyarakat, aktif terhadap H. influenzae
atau K. pneumoniae penghasil β laktamase.52
3. Generasi ketiga (sefoperazon, seftriakson, sefdinir, seftibuten, dan seftizoksim)
Cakupan gram negatif lebih luas daripada generasi kedua, sebagian mampu
menembus sawar darah otak. Seftriakson memiliki waktu paruh 7-8 jam, dapat
disuntikan 1x/hari. Ekskresi melalui saluran empedu (seftriakson dan sefoperazon),
lainnya diekskresikan oleh ginjal. Pemakaian klinis umumnya utuk mengobati infeksi
serius yang resisten terhadap obat lain. Seftriakson dan sefotaksim paling aktif
diantara golongan seftriakson terhadap pneumokokus yang tidak rentan penisilin,
dianjurkan untuk terapi empiris infeksi serius yang disebabkan oleh galur ini.52
4. Generasi keempat (sefepim)
Obat ini lebih resisten terhadap penghasil β laktamase kromosomal. Aktifitas baik
terhadap P. aeruginosa, Enterobacteriaceae, S. aureus, S.pneumoniae dan sangat
aktif terhadap Haemophilus dan Neisseria sp. Waktu paruhnya 2 jam dan eksresinya
oleh ginjal.

Efek samping obat golongan ini adalah alergi (termasuk anafilaksis, demam, ruam
kulit, nefritis, granulositopenia, dan anemia hemolitik), toksisitas lokal berupa iritasi

36
lokal setelah injeksi intramuskular dan tromboflebitis setelah injeksi intravena,
nefritis interstisialis dan nekrosis tubulus (menyebabkan penarikan sefaloridin),
sefalosporin dengan gugus metiltiotetrazol (sefamandol, sefmetazol, sefotetan, dan
sefoperazon) dapat menyebabkan hipoprotrombinemia dan gangguan perdarahan
(dapat diatasi dengan pemberian vitamin K1 10mg, 2x/hari untuk mencegah hal ini),
hindari penggunaan alkohol dan obat-obatan yang mengandung alkohol.
c. Golongan beta laktam lainnya
Inhibitor β laktamase (asam klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam), efek
antibakteri sangat lemah, namun merupakan inhibitor poten yang melindungi penisillin
dari inaktivasi oleh enzim-enzim β laktamase bakteri, dapat digunakan asal disebabkan
oleh destruksi β laktamase dan inhibitor aktif terhadap β laktamase bakteri. Sebaiknya
diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat golongan β laktam lainnya seperti
penggunaannya dalam amoxiclav (amoksisillin + asam klavulanat).

Indikasinya hanya digunakan untuk terapi empirik infeksi spektrum luas patogen
potensial (pada pasien imunodefisiensi/imunokompeten), serta tatalaksana infeksi
campuran aerob dan anaerob. Obat kurang larut air tetapi mudah larut dalam pelarut
organik, cepat kehilangan aktifitas pada 20˚C dan pada pH asam. Biasanya dibuat dalam
bentuk ester dan garam, mekanisme kerjanya inhibitorik atau bakterisidal dalam
konsentrasi tinggi, aktifitas meningkat pada pH basa.

Inhibisi sintesis protein melalui pengikatan ke RNA ribosom 50S, tempat


pengikatan dekat dengan pusat peptidiltransferase dan pemanjangan rantai peptida
(transpeptidasi) dicegah dengan menghambat saluran keluar polipetida, peptidil tRNA
terlepas dari ribosom dan menghambat pembentukan subunit ribosom. Aktif terhadap
gram positif pneumokokus, streptokokus, stafilokokus, dan korinebakteri, serta gram
negatif seperti Neisseria sp. 52

d. Golongan makrolid
Golongan makrolid ditandai dengan sebuah cincin lakton makrosiklik (biasanya
mengandung 14 atau 16 atom), tempat gula-gula deoksi melekat, obat prototipenya
adalah eritromisin yang diperoleh dari Streptomyces erytheus, sedangkan klaritromisin
dan azitromisin adalah turunan semisintetik eritromisin.

37
a. Eritromisin
Eritromisin terdiri dari cincin makrolid dan gula desosamin dan kladinosa,
mempunyai efek inhibitorik atau bakterisidal terutama pada konsentrasi tinggi bagi
organisme yang rentan, aktivitas meningkat pada pH basa, inhibisi sintesis protein terjadi
melalui pengikatan ke RNA ribosom 50S, tempat pengikatan terletak dekat dengan pusat
peptidiltransferase dan pemanjangan rantai peptida (yaitu transpeptidasi) dicegah dengan
menghambat saluran keluar polipeptida, paptidil-tRNA terlepas dari ribosom, dan juga
eritromisin menghambat pembentukan subunit ribosom 50S.
Eritromisin efektif untuk kuman gram positif khususnya pneumokokus,
streptokokus, stafilokokus dan korinebakteri. Juga memberikan efek terhadap
Mycoplasma pneumoniae, L. pneumophila, Chlamydia trachomatis, Chlamydia psittaci,
Chlamydia pneumoniae, H. pylorii, Listeria monocytogenes, Mycobacterium kansasii,
Mycobacterium scrofulaceum. Organisme gram negatif yang rentan terhadap antibiotik
ini adalah Neisseria sp., Bordetella pertussis, Bartonella henselae, dan Bartonella
quintana serta beberapa spesies Rickettsia, Treponema pallidum, dan Campylobacter sp.
Eritromisin merupakan obat pilihan pada infeksi korinebakterium (difteria, sepsis
korinebakteri, eritrasma), infeksi klamidia di sistempernapasan, neonatus, mata/genital,
dan dalam pengobatan pneumonia yang didapat dimasyarakat, dan juga untuk pengganti
penisilin pada orang yang alergi penisilin.
Resistensi biasanya disandi oleh plasmid, melalui 3 mekanisme: berkurangnya
permeabilitas membran sel atau efluks aktif, pembentukan (oleh Enterobacteriaceae)
esterase yang menghidrolisis makrolid, dan modifikasi tempat pengikatan di ribosom
(proteksi ribosom) oleh mutasi kromosom/oleh metilase yang terbentuk secara
konstitutif/akibat induksi makrolid, pada organisme gram positif mekanisme yang enting
adalah efluks dan produksi metilase. Farmakokinetik eritromisin basa dihancurkan asam
lambung dan harus diberikan bersama salut enterik, garam lauril dari ester propionil
paling baik penyerapannya (PO).
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, anoreksia, dan diare, intoleransi
saluran cerna akibat kerja langsung pada motilitas lambung, eritromisin estolat dapat
menyebabkan hepatitis kolestatik akut yang merupakan reaksi hipersensitifitas (demam,
ikterus, gangguan fungsi hati), reaksi alergik demam, eosinofilia, dan ruam. Metabolitnya

38
menghambat enzim P450 meningkatkan konsentrasi serum obat teofilin, warfarin,
siklosporin, dan metilprednisolon.
b. Azitromisin
Azitromisin merupakan senyawa cincin makrolid lakton 15 atom, mekanisme
kerja, aktivitas, dan pemakaian klinisnya hampir sama dengan eritromisin, azithromisin
aktif terhadap M. avium kompleks dan T. gondii, sedikit kurang aktif terhadap
stafilokokus dan streptokokus dibandingkan dengan eritromisin, dan sedikit lebih aktif
terhadap H. influenzae, sangat aktif terhadap Chlamydia sp. Dosis 500mg menghasilkan
konsentrasi serum 0,4mcg/mL namun mampu menembus jaringan (kecuali cairan
serebrospinal) dan sel fagositik dengan sangat baik dengan konsentrasi jaringan melebihi
konsentrasi serum 10-100x lipat. Waktu paruh 2-4 hari, dapat diberikan 1x/hari,
pneumonia didapat dimasyarakat juga dapat diobati dengan azitromisin selama 5 hari,
cepat diserap dan ditoleransi, berikan 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan, antasida
akan menunda penyerapan dan mengurangi konsentrasi serum puncak. Azitromisin tidak
menginaktifkan enzim sitokrom P450, bebas dari interaksi obat yang terjadi dengan
eritromisin dan klaritromisin.
e. Golongan campuran trimetoprim-sulfametoksazol/kotrimoksazol (Obat antifolat)

Sulfametoksazol merupakan obat analog sintetik asam nalidiksat yang berfluor,


aktif terhadap beragam gram positif dan negatif, Nocardia sp., Chlamydia trachomatis,
dan beberapa protozoa, strukturnya mirip dengan PABA (asam p-aminobenzoat).
Mekanisme kerjanya menghambat dihidropteroat sintase dan produksi folat. Kombinasi
dengan inhibitor dihidrofolat reduktase (trimetoprim atau prirmetamin) menghasilkan
aktivitas sinergistik karena inhibisi sekuensial sintesis folat.

Resistensi dapat terjadi akibat mutasi yang menyebabkan produksi berlebihan


PABA, produksi enzim pembentuk asam folat yang afinitasnya terhadap sulfonamid
rendah, atau mengganggu permeabilitas terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintase
sering disandi oleh plasmid yang dapat dipindahkan dan menyebar secara cepat dan luas,
pemakaian klinis jarang sebagai obat tunggal karena banyak terjadi resistensi
(meningokokus, pneumokokus, stafilokokus, streptokokus, dan gonokokus), namun

39
kombinasi dengan trimetoprim-sulfametoksazol menjadi obat pilihan untuk infeksi
karena pneumonia Pneumocystis jiroveci, toksoplasmosis, dan nokardiosis.

Efek samping tersering obat sulfametoksazol ini adalah demam, ruam kulit,
dermatitis eksfoliativ, fotosensitivitas, urtikaria, mual, muntah, diare, dan gangguan
saluran kemih (dapat mengendap di urin terutama pada pH asam dan netral,
menimbulkan kristaluria, hematuria, atau bahkan obstruksi, atasi kristaluria dengan
pemberian cairan dan natrium bikarbonat), gangguan hematopoietik seperti anemia
hemolitik (terutama pada pasien G6PD)/aplastik, granulositopenia, trombositopenia, atau
reaksi leukemoid, jika diminum sebelum akhir kehamilan beresiko kernikterus pada
neonatus.

Mekanisme kerja trimetoprim secara selektif menghambat asam dihidrofolat


reduktase bakteri (berperan mengubah asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat),
merupakan suatu langkah dalam pembentukan purin dan akhirnya DNA. Resistensi dapat
terjadi akibat kurangnya permeabilitas sel (karena mutasi/enzim yang disandi oleh
plasmid bakteri), pembentukan berlebihan dihidrofolat reduktase, atau pembentukan
suatu reduktase berbeda yang daya ikatnya ke obat berkurang.

Efek samping obat trimetropim disebabkan oleh efek antifolatnya, adalah anemia
megaloblastik, leukopenia, dan granulositopenia, kadang terjadi mual dan muntah,
demam obat, vaskulitis, kerusakan ginjal, dan gangguan susunan saraf pusat, pasien
dengan AIDS dan pneumonia pneumositis menunjukkan frekuensi efek samping yang
tinggi terhadap trimetropim-sulfametoksazol yaitu demam, ruam, leukopenia, diare,
peningkatan aminotransferase hati, hiperkalemia, dan hiponatremia.

Kombinasi kedua obat ini efektif untuk pneumonia P. jiroveci, shigelosis, infeksi
salmonella sistemik, infeksi saluran kemih, prostatitis, dan beberapa infeksi mikobakteri
non-tuberkulosa, obat ini juga aktif terhadap sebagian besar galur Staphylococcus,
patogen saluran napas seperti pneumokokus, Haemophilus sp., Moraxella catarrhalis,
dan K. pneumoniae, dosis anak untuk otitis media atau infeksi saluran kemih adalah
8mg/kg trimetropim dan 40 mg/kg sulfametoksazol setiap 12 jam. Infeksi P. jiroveci dan
beberapa patogen lainnya dapat dicegah pada pasien immunosupresi dengan satu tablet
daya-ganda setiap hari atau 3x seminggu.

40
2.3 Kriteria Penggunaan Obat yang Rasional pada ISPA Non-Pneumonia

Pada pelayanan primer (dipuskemas), Persentase Penggunaan Obat Rasional di


Puskesmas diperoleh dengan menghitung jumlah presentase capaian masing-masing
indikator peresepan (jumlah penggunaan antibiotik pada ISPA non-pneumonia, diare non-
spesifik, injeksi pada myalgia, dan rerata obat yang diresepkan), dibagi 4 dan akan
menghasilkan Persentase Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas. 14
Penggunaan antibiotika pada ISPA non pneumonia maksimal 20 % pada indikator
peresepan, dengan menggunakan rumus: 14

Persentase penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia = Jumlah penggunaan


antibiotik pada ISPA non Pneumonia / Jumlah kasus ISPA non Pneumonia × 100%. Jika a
≤20%, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100%.14

Gambar 4. Perhitungan Persentase Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas dan


Jumlah Penggunaan Antibiotik untuk kasus ISPA non-Pneumonia.14

41
Penggunaan obat rasional dinilai berdasarkan tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit
(spektrum terapi spesifik), tepat pemilihan obat (efek terapi sesuai dengan spektrum
penyakit), tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama
pemberian, waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien, obat harus efektif
dan aman dengan mutu terjamin serta tersedia setiap saat dan harga terjangkau, tepat
informasi, tepat tindak lanjut (pasien tidak sembuh/ada efek samping), tepat penyerahan obat,
pasien taat dalam pengobatan.64

Ciri penggunaan obat yang tidak rasional:

1. Peresepan berlebih (overprescribing), termasuk memberikan obat tidak diperlukan untuk


penyakit yang bersangkutan. (penggunaan antibiotik pada ISPA non-pneumonia yang
umumnya disebabkan oleh virus, dosis lebih besar daripada yang dianjurkan, jumlah obat
yang lebih dari yang diperlukan.
2. Peresepan kurang (underprescribing), termasuk dalam hal tidak diresepkan obat yang
diperlukan dalam penyakit, dosis, jumlah, dan lama pemberian yang kurang
3. Peresepan majemuk (multiple prescribing), termasuk memberikan beberapa obat untuk
satu indikasi penyakit yang sama (padahal dapat disembuhkan dengan 1 jenis obat)
4. Peresepan salah (incorrect prescribing), termasuk dalam keliru indikasi, efek samping
yang lebih besar, pasien berada dalm kondisi yang termasuk kontraindikasi pengobatan,
informasi keliru pada pasien,
5. Pemberian obat untuk pasien yang tidak memerlukan obat (memberikan obat perangsang
nafsu makan).
6. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit
7. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan.
8. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat lain
dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.
9. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu yang sama
dan harga lebih murah tersedia
10. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan keamanannya.
11. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau persepsi yang
keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.

42
Indikator penggunaan Obat Rasional:

1. Indikator Inti:
a. Indikator peresepan
 Rerata jumlah item dalam tiap resep.
 Persentase peresepan dengan nama generik.
 Persentase peresepan dengan antibiotik.
 Persentase peresepan dengan suntikan.
 Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial.
b. Indikator Pelayanan
 Rerata waktu konsultasi.
 Rerata waktu penyerahan obat.
 Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.
 Persentase obat yang dilabel secara adekuat.
c. Indikator Fasilitas
 Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.
 Ketersediaan Daftar Obat Esensial.
 Ketersediaan key drugs.
2. Indikator Tambahan:
a. Persentase pasien yang diterapi tanpa obat.
b. Rerata biaya obat tiap peresepan.
c. Persentase biaya untuk antibiotik.
d. Persentase biaya untuk suntikan.
e. Peresepan yang sesuai dengan pedoman pengobatan.
f. Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan.
g. Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses kepada informasi yang
obyektif.65
Cara pengisian form pada modul POR:

- Diagnosis harus tunggal, tidak ada penyakit lain/keluhan lain


- Tulis rincian obat untuk puyer dan obat kombinasi
- Imunisasi tidak termasuk injeksi

43
- Antibiotik termasuk kemoterapi dan antiamoeba
- Pengobatan sesuai EBM (jurnal terbaru), dapat juga disupervisi oleh pengajar.

Tabel 5. Formulir Indikator Peresepan.64

Tabel 6. Presentase Penggunaan Antibiotik.64

44
Pneumonia Berat
2.4 Kerangka Teori
Gejala Klinis
dan Diagnosa
Anak ISPA Alur Diagnosis Pneumonia
dan Klasifikasi Etiologi
ISPA ISPA Bukan
pneumonia/Non- Epidemiologi
Pneumonia/ISPA
Faktor Resiko atas Komplikasi

Tatalaksana

Faktor yang Memengaruhi Antibiotik Non-


Pemberian Antibiotik antibiotik

Golongan
2.5 Kerangka Konsep Antibiotik

ISPA Non-Pneumonia Pengobatan

Jenis Obat Non-antibiotik


Isi Obat
Balita (1-4 tahun)
Antibiotik
Dosis

Frekuensi
Kriteria Penggunaan
Obat yang Rasional Jenis Sediaan
pada ISPA Non-
Pneumonia
Lama
Pengobatan

Rasional Tidak Rasional

45
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian secara observasional cross-sectional dengan pendekatan waktu retrospektif.


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian observasional, yakni
sebuah penelitian yang hanya melakukan observasi mengenai fenomena yang ditemukan.
Apabila didasarkan pada waktu, penelitian ini termasuk penelitian cross-sectional, melakukan
observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu.65

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Puskesmas Tanjung Duren dari Agustus sampai Oktober
2018.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan Agustus 2018 sampai dengan bulan Oktober 2018.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian merupakan sejumlah besar subjek yang mempunyai karakteristik


tertentu.65 Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang mendapat pengobatan, dengan
penyakit ISPA non-pneumonia di Puskesmas Tanjung Duren, anak tersebut berusia antara 1-4
tahun. Menggunakan rekam medik pasien rawat jalan yang terdiagnosis ISPA.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel merupakan bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga
dianggap dapat mewakili populasinya. Sampel yang ingin diteliti telah memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi dan terpilih melalui suatu cara pemilihan sampel.65

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

Kriteria Inklusi dari penelitian ini adalah Anak usia 1-4 tahun yang datang ke Puskesmas
Tanjung Duren dengan gejala klinis batuk dan pilek, dengan diagnosis tunggal ISPA non-

46
pneumonia (common cold/rhinitis/flu, faringitis akut dan atau tonsilitis, laringitis akut/croup,
atitis media akut, sinusitis akut), data rekam medis dan resep lengkap dan dapat diidentifikasi
(data obat sesuai dengan register, ada penulisan resep sesuai, status dan resep dapat terbaca
dengan jelas). Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien anak dengan diagnosa
penyerta/konkuren penyakit (otitis media akut, faringitis bakterialis, pneumonia, sinusitis kronis,
sinusitis akut, infeksi saluran kemih, selulitis, dan bakteremia (bersamaan dengan ISPA selama 7
hari sebelum/sesudah)), pasien anak dengan komorbid (bronkitis kronis, HIV, penyakit
kongenital, menjalani dialisis, menjalani transplantasi organ/sel punca/sumsum tulang, dengan
keganasan/sedang menjalani terapi keganasan), dan terdapat ketidaksesuaian data register dengan
status dan resep obat, tulisan tidak terbaca, data tidak lengkap, pasien anak dengan malnutrisi.

3.4 Sampling

Sampling merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mendapatkan sampel yang
representatif terhadap populasi penelitian. Cara yang paling baik untuk memperoleh sampel
adalah probability sampling, di mana setiap subjek dalam populasi yang dapat dijangkau
mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel penelitian,
tetapi tidak menjadi keharusan dalam memperoleh sampel. Salah satu jenis probability sampling
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simple random sampling, di mana setiap
subjek diberi nomor dan akan dipilih dengan bantuan tabel angka random.65,66

Perkiraan besar sampel dapat dihitung dengan rumus dari Snedecor dan Cochran sebagai
berikut:

*Keterangan:
n = besarnya sampel
zα2 = simpangan rata-rata distribusi normal standar pada derajat kemaknaan alfa
p = proporsi variabel yang dikehendaki
q = 1-p
d2 = kesalahan sampling yang masih dapat ditoleransi
Berdasarkan rumus tersebut, maka besar sampel yang diperlukan adalah sebagai berikut:

47
(1,96)2 . 0,125. 0,875
𝑛=
(0,1)2
n = 42,0175 dibulatkan menjadi 42 orang
3.5 Teknik Pengambilan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yakni data yang
mempunyai informasi yang dapat dikombinasikan dengan data yang dikumpulkan untuk
penelitian untuk memperkaya analisis.66

Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah data rekam medis (status
pasien) dan Lembar Resep, serta data resep Kamar Obat Puskesmas terhadap pasien anak yang
datang ke Puskesmas Tanjung Duren dengan diagnosis ISPA non-pneumonia, yang mendapat
terapi (antibiotik maupun obat lainnya).

3.6 Variabel Penelitian

Variabel merupakan karakteristik subjek penelitian yang berubah dari satu subjek
ke subjek yang lain. Menurut fungsinya, terdapat beberapa jenis variabel, yakni variabel
independen (merupakan variabel yang memengaruhi/menyebabkan perubahan terhadap
variabel dependen) dan variabel dependen (merupakan variabel yang terpengaruhi oleh
variabel independen).65

 Variabel dependen (variabel terikat): anak dengan ISPA non-pneumonia


 Variabel independen (variabel bebas): usia, jenis kelamin, Jenis ISPA non-pneumonia, Isi
Obat, Jenis Sediaan, Lama pengobatan, Dosis, dan Frekuensi
3.7 Dana Penelitian
Biaya Print dan fotokopi untuk proposal, alat dan bahan, penyusunan skripsi : Rp
800.000-,

3.8 Analisis Data

Analisis univariat merupakan cara analisis untuk variabel tunggal, dengan


menganalisis distribusi ukuran kasus sampel dari variabel tunggal.66

Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan prevalensi variabel dependen


berupa anak/pasien dengan penyakit ISPA non-Pneumonia pada variabel independen berupa

48
pengobatan yang diberikan pada pasien (termasuk usia, jenis kelamin, jenis ISPA, jenis obat,
isi obat, jenis sediaan, lama pengobatan, dosis, frekuensi).

3.9 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur


Jenis Obat Obat yang digunakan dalam resep Data Rekam Data sekunder diambil dari
digolongkan menjadi Antibiotik Medik rekam medis
(digunakan lebih dari 5 hari)/Non-
Antibiotik
ISPA non- Diagnosis tunggal ISPA non- Data Rekam Data sekunder diambil dari
pneumonia pneumonia (Common cold/Faringitis Medik rekam medis
Akut/Laringitis Akut/Otitis Media
Akut/Sinusitis Akut), dapat
menimbulkan berbagai spektrum
penyakit dari ringan sampai berat,
berjalan secara akut (dibawah 14
hari).
Usia Usia anak antara 1-4 tahun Data Rekam Data sekunder diambil dari
Medik rekam medis
Jenis Perbedaan orang berdasarkan seks Data Rekam Data sekunder diambil dari
Kelamin digolongkan laki-laki/perempuan Medik rekam medis
Isi Obat Isi Obat yang digunakan untuk terapi Data Rekam Data sekunder diambil dari
penyakit (golongan dan nama Medik rekam medis
antibiotik)
Jenis sediaan Sediaan yang digunakan dalam Data Rekam Data sekunder diambil dari
terapi (pulveres/syrup/tablet) Medik rekam medis
Lama Durasi/lama waktu pengobatan yang Data Rekam Data sekunder diambil dari
Pengobatan diberikan minimal untuk 3 hari Medik rekam medis
Dosis Dosis anjuran sesuai guideline dan Data Rekam Data sekunder diambil dari
juga berat badan anak Medik rekam medis
Frekuensi Frekuensi yang diberikan Data Rekam Data sekunder diambil dari
berdasarkan pengukuran berat Medik rekam medis
badan, dosis anjuran, dan sediaan
yang tersedia.

49
3.10 Jadwal Penelitian

Bulan (Tahun 2018)


No Kegiatan
Mei Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des
1 Studi pustaka X X

2 Revisi proposal X
3 Pengajuan etik X X
4 Persiapan alat dan bahan X
5 Sampling dan Penelitian X
6 Penulisan Hasil X X X

3.11 Implikasi Etik Penelitian

Data rekam medis yang akan peneliti gunakan pada penelitian ini akan peneliti jaga
kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian ini. Persetujuan
penggunaan data didapatkan dengan surat izin kepada Sudin Jakarta Barat dan Puskesmas
Tanjung Duren.

50
Daftar Pustaka

1. Departemen Farmakologi FK UKRIDA. Farmakoterapi aplikasi. 1st ed. Jakarta: FK


UKRIDA; 2016.
2. WHO International. WHO advisory group on integrated surveillance at antimicrobial
resistance. 1st ed. Geneva; 2015.
3. EM Sutrisna. Penggunaan antibiotika secara rasional. Presentation presented at:
Grobogan; 2012.
4. World Health Organization (WHO). Global action plan on microbial resistance. 1st ed.
Geneva, Switzerland; c2015. [diakses 9 Feb 2017]. WHO Document Production
Services, [sekitar 5 h.]. Diakses dari:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/193736/1/9789241509763_eng.pdf
5. Holloway K. Promoting the rational use of antibiotics. Regional Health Forum WHO
[serial di internet]. 2011 [diakses 9 Feb 2017];15(1):[sekitar 5 h.]. Diakses dari:
http://www.searo.who.int/publications/journals/regional_health_forum/media/2011/V15
n1/rhfv15n1p122.pdf?ua=1
6. U.S. Department of Health and Human Services; Central Disease Centre (CDC).
Antibiotic resistance threats in the United States [pdf]. 1st ed. United States; c2013.
[diakses 13 Feb 2017]. H.13. Diakses dari: https://www.cdc.gov/drugresistance/threat-
report-2013/pdf/ar-threats-2013-508.pdf#page=13
7. O'Neill. J. Review on antimicrobial resistance: Tackling a crisis for the healthand
wealth of nations [pdf]. 1st ed. United Kingdom: the Wellcome Trust and the UK
Government; 2014 [diakses 13 Feb 2017]. h.7-15. Diakses dari: https://amr-
review.org/sites/default/files/AMR%20Review%20Paper%20-
%20Tackling%20a%20crisis%20for%20the%20health%20and%20wealth%20of%20nati
ons_1.pdf
8. Murray M. AMR and rational use of antibiotics workshop. Presentasi dibawakan di
United States; 2016.
9. Febiana T. Kajian rasionalitas penggunaan antibiotik di bangsal anak RSUP Dr. Kariadi
Semarang periode agustus-desember 2011 [pdf]. Semarang; c2012. [diakses 12 Maret
2018].h.12-65.

51
10. Severin JA, Lestari ES, Kuntaman K, Melles CD, Pastink M, Peeters JK, et al.
Unusually high prevalence of panton-valentine leukocidin genes among methicillin-
sensitive Staphylococcus aureus strains carried in the Indonesian population. J Clin
Microbiol [serial di internet]. 2008 Jun [di akses 15 Maret 2018];46(6):1989-95. diakses
dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18434555
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penggunaan Antibiotik Bijak dan Rasional
Kurangi Beban Penyakit Infeksi [laman di internet]. Indonesia: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2015 [diakses 18 Maret 2018]. Diakses dari:
http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=15081100001
12. Sumpradit N, Chongtrakul P. Antibiotics Smart Use: a workable model for promoting
the rational use of medicines in Thailand [laman di internet]. Who.int; c2012 [diakses 18
Maret 2018]. Diakses dari: http://www.who.int/bulletin/volumes/90/12/12-105445/en/
13. Masriadi. Epidemiologi Penyakit Menular. 2nd ed. Depok: Rajawali pers; 2017.
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Data dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia 2016 [pdf]. 1st ed. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017
[diakses 25 April 2018]. Diakses dari: www.depkes.go.id/folder/view/01/...data-pusat-
data-dan-informasi.html
15. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Survei demografi dan
kesehatan indonesia 2012 [pdf]. Indonesia: Kementerian Kesehatan; 2012 [diakses 16
Maret 2018]. Diakses dari: http://chnrl.org/pelatihan-demografi/SDKI-2012.pdf.
16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013 [pdf].
Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013 [diakses 18 Maret 2018].
Diakses dari:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf
17. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Profil kesehatan provinsi DKI Jakarta [pdf]. 1st
ed. Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta; 2014 [diakses 8 April 2018].
Diakses dari:
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2014/11
_DKI_Jakarta_2014.pdf
18. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Laporan akuntabilitas kinerja 2016 [pdf]. 1st ed. Jakarta: Direktorat Jenderal

52
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016
[diakses 10 April 2018]. Diakses dari:
http://www.depkes.go.id/resources/download/LAKIP2017/6%20LKj%20Es%202%2020
16/4%20LKj%20Es%202%20Farmalkes/Laporan%20Kinerja%20Dit_Pelayanan%20Ke
farmasian%20Tahun%202016.pdf
19. Muchson, Oktavyaningtyas Y, Wandira A. Kerasionalan penggunaan antibiotik pada
anak penderita ISPA di instalasi rawat jalan RSU PKU Muhammadiyah
Delanggu. CERATA Journal of Pharmacy Science [serial di internet] 2015 [diakses 15
April 2018]; 1(1):h.42-53. Diakses dari:
http://ejournal.stikesmukla.ac.id/index.php/cerata/article/view/10
20. Siswati S. Analisis penggunaan antibiotika yang tidak rasional pada balita penderita
bukan pneumonia di Kota Padang. SAINSTEK [serial di internet] 2009 Sep [diakses 18
April 2018]; 12(1):h.73-80.
21. Putra IMAS, Wardani IGAAK. Profil penggunaan antibiotika untuk pengobatan ISPA
nonpneumonia di Puskesmas Kediri II tahun 2013 sampai dengan 2015. Medicamento
[serial di internet] 2017 [diakses 20 April 2018]; 3(1):h.1-5. Diakses dari:
journal.farmasisaraswati.ac.id/.../mento/article/download/ISPA/pdf_11
22. Sauriasari R, Aulia AH, Swastika A. Evaluasi kesesuaian penulisan resep pada kasus
ISPA non pneumonia di poli MTBS Puskesmas Kecamatan Cengkareng, Jakarta.
Pharmaceutical Sciences and Research [serial di internet] 2017 Aug [diakses 25 April
2018]; 4(2):h.81-86. Diakses dari: http://psr.ui.ac.id/index.php/journal/article/view/3770
23. Asriadi. Uji Sensitivitas Beberapa Antibiotika Terhadap Bakteri Penyebab Infeksi
Saluran Pernafasan Atas (ISPA) di RSUD Syech Yusuf Kab. Gowa. UIN Allaudin
Makassar [serial di internet] 2012 [diakses 1 Juli 2018]:h.vii-61. Diakses dari:
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/3203/1/ASRIADI.pdf
24. Kusuma BA. Pola kuman dan pola resistensi bakteri terhadap antibiotik pada penderita
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta
bulan januari-maret 2016. Universitas Muhammadiyah Surakarta [serial di internet] 2016
[diakses 1 Juli 2018]:h. 1-10. Diakses dari:
http://eprints.ums.ac.id/45820/14/naskah%20publikasi%20.pdf

53
25. Gunawan, Suwarto S, Rumende CM, Harimurti K. Pengaruh penggunaan antibiotika
terhadap lama hari sakit dan lama kehilangan hari kerja pada pasien infeksi pernapasan
akut bagian atas pada pelayanan kesehatan primer. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia
[serial di internet] 2014 Juli [diakses 1 Juli 2018]; 1(1):h. 41-50. Diakses dari:
jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/download/36/33
26. LaRocque RC, Ryan ET. Respiratory infections [laman di internet]. Wwwnc.cdc.gov.
c.2017 [diakses 28 April 2018]. Diakses dari:
https://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2018/the-pre-travel-consultation/respiratory-
infections
27. Jamison DT, Breman JG, Measham AR, Alleyne G, Claeson M, Evans DB, et al.,
editors. Disease Control Priorities in Developing Countries. 2nd ed. New York: Oxford
University Press; 2006
28. Cahyani DE, Anggrainingsih R. sistem deteksi dini diagnosa ISPA (infeksi saluran
pernapasan akut) pada anak dengan metode cosine similarity. ITSmart Jurnal [serial di
internet] 2012 [diakses 26 April 2018];1(2):[sekitar 8 h.]. diakses dari :
https://jurnal.uns.ac.id/itsmart/article/view/602
29. Sudanto EW. Hubungan kebiasaan merokok anggota keluarga dan kondisi lingkungan
rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas II rakit Kabupaten
Banjarnegara. Universitas Muhammadiyah Purwokerto [serial di internet] 2017 [sekitar
2 h.]. diakses dari :
http://repository.ump.ac.id/4000/3/EGA%20WIDYA%20SUDANTO%20BAB%20II.pd
f
30. Paul PS, Wilkinson R, Routley C. Management of respiratory tract infections in
children. Nursing : Research and Treatment Journal [serial di internet] 10 Juli 2014
[diakses 27 April 2018];2014(4):h. 135-48. Diakses dari:
https://www.dovepress.com/management-of-respiratory-tract-infections-in-children-
peer-reviewed-fulltext-article-NRR#F5a
31. Noviyanti V. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada balita di
sekitar wilayah tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) Tamangapa kota Makassar
tahun 2012. UIN Alauddin Makassar [serial di internet] 2012 [sekitar 3 h.]. diakses dari :
repositori.uin-alauddin.ac.id/3196/1/full.pdf

54
32. Department of Child and Adolescent Health and Development (CAH) World Health
Organization. Buku Saku Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. 1st ed. Jakarta;
c2009. [diakses 28 April 2018]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. P. 2,83-123.
33. World Health Organization (WHO). Handbook Integrated Management of Childhood
Illness. 1st ed. Geneva, Switzerland; c2005. [diakses 28 April 2018]. WHO Document
Production Services, p.6-131. Diakses dari:
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/42939/9241546441.pdf;sequence=1
34. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA, Nugroho AW, editors et al.
Jawetz, Melnick, & Adelberg : Mikrobiologi Kedokteran. 25th ed. Jakarta: EGC; 2012.
35. Chapter 93, Infections of the Respiratory System Respiratory System [laman di internet].
Bethesda (MD): National Library of Medicine (US). c.2016 [diakses 30 April 2018].
Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK8142/figure/A4990/?report=objectonly
36. CM Nascimento. Outpatient antibiotic therapy as a predisposing factor for bacterial
resistance: a rational approach to airway infections. Journal de Pediatria [serial di
internet]. 2006 [diakses 30 April 2018];82(5). Diakses dari:
http://www.scielo.br/pdf/jped/v82n5s0/en_v82n5s0a04.pdf
37. Roberts G, Xatzipsalti M, Borrego LM, Custovic A, Halken S, Hellings PW, et al.
Paediatric rhinitis. European Academy of Allergy and Clinical Immunology [serial di
internet]. 2013 [diakses 2 April 2018];68(9):1. Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23952296
38. Rotiroti G, Roberts G, Scadding GK. Rhinitis in children: common clinical presentations
and differential diagnoses. Pediatr Allergy Immunol [serial di internet]. 2015 [diakses 30
April 2018];26.p.103–110.
39. Sin B, Togias A. Pathophysiology of allergic and nonallergic rhinitis. ATS Journals
[serial di internet]. 2011 [diakses 2 April 2018];8(1). Diakses dari:
https://www.atsjournals.org/doi/abs/10.1513/pats.201008-057RN
40. Simon H. Pediatric pharyngitis: background, pathophysiology and etiology,
epidemiology [laman di internet]. Emedicine.medscape.com; c.1994-2018 [diakses 2 Mei
2018]. Diakses dari: https://emedicine.medscape.com/article/967384-overview

55
41. Aung K. Viral pharyngitis clinical presentation: history, physical, causes [laman di
internet]. Emedicine.medscape.com; c.1994-2018 [diakses 2 Mei 2018]. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/225362-clinical
42. Sidell D, Shapiro NL. Acute Tonsilitis. Infect Disord Drug Targets [serial di internet].
Agustus 2012 [diakses 3 Mei 2018];12(4):271-6. Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22338587
43. Carrillo-Marquez M. Bacterial pharyngitis: background, pathophysiology, epidemiology
[laman di internet]. Emedicine.medscape.com; c.1994-2018 [diakses 2 Mei 2018].
Diakses dari: https://emedicine.medscape.com/article/225243-overview#a5
44. Acerra J. Pharyngitis: practice essentials, background, pathophysiology [laman di
internet]. Emedicine.medscape.com; c.1994-2018 [diakses 2018 Mei 2]. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/764304-overview
45. Shah R. Acute laryngitis: practice essentials, pathophysiology, epidemiology [laman di
internet]. Emedicine.medscape.com; c.1994-2018 [diakses 2018 Mei 2]. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/864671-overview#a6
46. Brook I, Benson BE, Riauba L, Bronze MS, Cunningham M, Davidoff TQ, et al.
editors,. Acute sinusitis [laman di internet]. Emedicine.medscape.com; c.1994-2018
[diakses 2 Mei 2018]. Diakses dari: https://emedicine.medscape.com/article/232670-
overview
47. Tewfik TL, Talavera F, Batuello SG, Meyers DA, Coleman JA, Schloss MD, et al,.
Medical treatment for acute sinusitis [laman di internet]. Emedicine.medscape.com;
c.1994-2018 [diakses 2 Mei 2018]. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/861646-overview
48. Ramadan HH, Talavera F, Tewfik TL, Meyers AD, Brown KR, Lippincott L. Medical
treatment of pediatric sinusitis treatment & management [laman di internet].
Emedicine.medscape.com; c.1994-2018 [diakses 2 Mei 2018]. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/873149-treatment
49. U.S. Department of Health and Human Services; Central Disease Centre (CDC).
Paediatric treatment recommendations [laman di internet]. 1st ed. United States; c2017.
[diakses 21 Mei serial di internet2018]. pp.13. Diakses dari:

56
https://www.cdc.gov/antibiotic-use/community/for-hcp/outpatient-hcp/pediatric-
treatment-rec.html
50. Kliegman MR, Stanton BF, Schor NF, St. Geme JW, Behrman RE, Gatsch M, et al,.
Nelson Textbook of Pediatrics. Part XIX Respiratory System. Edisi 20. Vol.2.p. 2013-34
Philadelphia: Elsevier;2016.
51. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Formularium Spesialistik 2013. 1st ed. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2012.
52. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, Pendit BU. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi 12
Vol.2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010.
53. Simon HK, Windle ML, Steele RW, Barton LL, Johann-Liang R, Wilkes G, et al,.
Pediatric pharyngitis treatment & management [laman di internet].
Emedicine.medscape.com; c.1994-2018 [diakses 2 Juni 2018]. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/967384-treatment
54. Regoli M, Chiappini E, Bonsignori F, Galli L, Martino MD. Update on the management
of acute pharyngitis in children. Ital J Pediatr [serial di internet]. 2011 [diakses 5 Juni
2018];37:10. Diakses dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3042010/
55. American Academy of Pediatrics. Clinical practice guideline for the management of
acute bacterial sinusitis in children aged 1 to 18 years. [serial on the internet]. 2013
[diakses 1 Juli 2018]. Diakses dari:
http://pediatrics.aappublications.org/content/pediatrics/early/2013/06/19/peds.2013-
1071.full.pdf
56. Schreier R, Chatterjee A, Windle ML, Domachowske J, Steele RW, Brook I, et al.,
Infections in the immunocompromised host [laman di internet].
Emedicine.medscape.com; c.1994-2018 [diakses 2 Mei 2018]. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/973120-overview#a5
57. Meneghetti A, Mosenifar Z, Rutecki GW, Talavera F. Upper respiratory tract infectio
treatmen & management [laman di internet]. Emedicine.medscape.com; c.1994-2018
[diakses 2 Mei 2018]. Diakses dari: https://emedicine.medscape.com/article/302460-
treatment#d12
58. Zuckerman IH, Perencevich EN, Harris AD. Concurrent acute illness and comorbid
conditions poorly predict antibiotic use in upper respiratory tract infections: a cross-

57
sectional analysis. BMC Infect Dis [serial di internet]. 2007 [diakses 2 Mei 2018];7:47.
Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1892779/
59. Safdar N, Tape TG, Fox BC, Svenson JE, Wigton RS. Factors affecting antibiotic
prescribing for acute respiratory infection by emergency physicians. SciRes [serial di
internet]. 2014 [diakses 1 Juli 2018];6:774-80. Diakses dari:
https://pdfs.semanticscholar.org/3158/794047ab80e08de3ca3dfd4048bc30b2efa0.pdf
60. Zhang Z, Hu Y, Zou G, Lin M, Zeng J, Deng S. Antibiotic prescribing for upper
respiratory infections among children in rural China: a cross-sectional study of
outpatient prescriptions. Glob Health Action [serial di internet]. 2017 [diakses tanggal 1
Juli 2018];10(1). Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5496075/
61. Kandeel A, El-Shoubary W, Hicks LS, Fattah MA, Dooling KL, Lohiniva AL, et al,.
Patient attitudes and beliefs and provider practices regarding antibiotic use for acute
respiratory tract infections in Minya, Egypt. Antibiotics [serial di internet]. 2014
[diakses tanggal 1 Juli 2018];3(4):632-644, diakses dari: http://www.mdpi.com/2079-
6382/3/4/632/htm
62. Lee TH, Wong JGX, Lye DCB, Loh VWK, Leo YS, Lee LK, et al., Medical and
psychosocial factors associated with antibiotic prescribing in primary care: survey
questionnaire and factor analysis. British Journal of General Practice [serial di internet].
2017 [diakses tanggal 1 Juli 2018];67(656):e168-77. Diakses dari:
http://bjgp.org/content/67/656/e168
63. Departemen Farmakologi FK UKRIDA. Farmakoterapi Aplikasi. 1st ed. Jakarta: FK
UKRIDA; 2016.
64. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Modul Penggunaan Obat Rasional. 1st ed.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.
65. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Ed 5. Jakarta:
Sagung Seto; 2014. h. 89, 90, 95, 107-8, 301-2, 365.
66. Lapau B. Metode penelitian kesehatan metode ilmiah penulisan skripsi, tesis, dan
disertasi. Ed 2. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; 2013. h. 63-4, 103.

58

Anda mungkin juga menyukai