Anda di halaman 1dari 20

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Penularan : Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Kesehatan Pesisir 4

Pemanfaatan jurnal elektronik sebagai sumber belajar bagi mahasiswa


Poltekkes Kemenkes Sumatera Utara

Abdi Mubarak Syam


Ilmu Perpustakaan, UIN Sumatera Utara
Korespondensi email :abdimubaraksyam@uinsu.ac.id

Melacak Abstrak
Catatan
Artikel
Demam tifoid merupakan masalah kesehatan global khususnya di negara-negara berkembang,
Diterima: salah satunya Indonesia. Kejadian resistensi penggunaan antibiotik pada pengobatan demam
Diterbitkan: tifoid dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dampak penerapan Clinical Pathways terhadap kualitas dan kuantitas penggunaan
antibiotik pada terapi tipus di RS FMC Bogor. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik
yang dilakukan secara retrospektif yang dianalisis menggunakan metode Gyssens dan ATC/DDD.
Data penelitian diambil dari rekam medis pasien periode Januari-Desember 2018 dan Januari-
Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 115
rekam medis pasien demam tifoid, ceftriaxone merupakan antibiotik yang paling banyak
digunakan untuk terapi tifoid. Kualitas penggunaan antibiotik sebanyak 40% dinyatakan rasional
sebelum penggunaan jalur klinis dan sebanyak 57,3% setelah penggunaan jalur klinis (kategori 0),
sedangkan 60% lainnya dinyatakan tidak rasional (kategori I-VI) dan setelah CP sebanyak 42,7%
masuk dalam kategori 0, sisanya masuk dalam kategori tidak rasional (Kategori I-VI) yang meliputi
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai interval pemberian, penggunaan antibiotik yang terlalu
lama, penggunaan antibiotik yang terlalu singkat, ada antibiotik lain yang lebih efektif, dan ada
antibiotik lain yang kurang toksik/aman. Jumlah penggunaan antibiotik dinyatakan melebihi
standar WHO yaitu penggunaan ceftriaxone sebanyak 81 DDD/100 pasien hari sebelum jalur klinis
dan 92,4 DDD/100 pasien hari setelah jalur klinis. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh 1)
Terdapat perbedaan kualitas penggunaan antibiotik antara sebelum dan sesudah penerapan
Clinical Pathway pada pasien rawat inap demam tifoid di RS FMC Bogor; 2) Terdapat perbedaan
kuantitas penggunaan antibiotik antara sebelum dan sesudah penerapan Clinical Pathway pada
pasien rawat inap demam tifoid di RS FMC Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan pihak rumah sakit sebagai bahan evaluasi dan perbaikan guna
meningkatkan rasionalitas penggunaan antibiotik.

Kata Kunci: Antibiotik, demam tifoid, Gyssens, ATC/DDD

PERKENALAN

Demam tifoid terjadi akibat infeksi sistemik bakteri Salmonella enterica serotipe Typhi.

Penyakit ini ditandai dengan demam dan, pada kasus yang parah, gangguan pencernaan

perdarahan, perubahan status mental, perforasi usus, dan kematian.Pusat Amerika Serikat

Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, 2019). Penyakit ini juga dikenal sebagai demam enterik
dan tifus perut. Penyakit ini dapat mempunyai manifestasi klinis yang parah karena

komplikasinya dan dapat menyebabkan karier. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas

perilaku hidup bersih dan sehat, sanitasi dan lingkungan yang buruk (Kementerian Kesehatan
124

Republik Indonesia, 2013).


Halaman
125
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

Data Global Burden of Disease (GBD) pada konsep Disability-Adjusted Life Year (DALY) yang

merupakan gambaran status kesehatan (pada prinsipnya semakin besar DALY maka semakin buruk status

kesehatannya). Pada tahun 2019 data yang diperoleh menunjukkan adanya perbaikan penyakit demam

tifoid yang ditunjukkan dengan penurunan posisi menjadi 12 dengan nilai 1251,52 DALYs per 100.000

(Maksura Ainil, 2020). Organisasi Kesehatan Dunia yaitu World Health Organization (WHO) menyebutkan

pada tahun 2019 terdapat 11 hingga 21 juta kasus demam tifoid di dunia dan 128.000 kasus.

hingga 161.000 kematian (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, 2019).

Kasus demam tifoid di Asia Tenggara mencapai 1.414.400 orang. Angka kematian akibat kasus ini

pada tahun 2017 mencapai 116.00 dan di Asia Tenggara mencapai 12.000 orang (Sutisna, NS, 2020).

Demam tifoid di Indonesia merupakan penyakit endemik dan menjadi masalah kesehatan

masyarakat. Angka kesakitan demam tifoid di Indonesia tercatat dalam buletin Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO) tahun 2008 yaitu 81,7 per 100.0005. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2013,

prevalensi kasus demam tifoid sebesar 5,13% dengan Case Fatality Rate sebesar 0,67%. Riset Kesehatan

Dasar Nasional tahun 2014 menunjukkan prevalensi penyakit demam tifoid di Jawa Tengah sebesar 1,61%

yang tersebar di seluruh kabupaten dengan prevalensi yang berbeda-beda di setiap tempat (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Data GBD Indonesia berdasarkan gender pada tahun 2019,

diperoleh nilai pasien laki-laki sebesar 187,06 DALYs per 100.000, sedangkan pasien perempuan sebesar

122,99 DALYs per 100.000. Khusus Provinsi Sulawesi Selatan diperoleh nilai sebesar 147,88 DALYs per

100.000 pada tahun 2019 (Maksura Ainil, 2019)

Pengobatan demam tifoid yang tepat adalah dengan menggunakan antibiotik. Pilihan

antibiotik lini pertama adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin (aman bagi pasien yang

sedang hamil), dan trimetoprim sulfametoksazol. Apabila salah satu antibiotik lini pertama dirasa

tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik lain atau dapat dipilih antibiotik lini kedua seperti

ceftriaxone, cefixime, quinolone. Di Indonesia, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan untuk

demam tifoid karena dinilai cukup efektif dan harga obatnya murah, namun kekurangan dari

kloramfenikol adalah tidak dapat mencegah kekambuhan atau pada pasien karier. Merajalela, NH

2013.)

Kasus resistensi terhadap kloramfenikol pada pasien demam tifoid dilaporkan pada tahun

1950an di Meksiko. Resistensi semakin berkembang terhadap antibiotik lain seperti ampisilin,

kotrimoksazol dan kuinolon (Multi Drug Resistance Salmonella Typhi/MDRST) (Rampengan, NH 2013).

Pada tahun 2017 dilaporkan bakteri Salmonella typhi resisten terhadap ciprofloxacin sebesar 74% di

Amerika Serikat, sehingga pengobatan dengan antibiotik ini mulai dilakukan.


125

terbatas (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, 2019). Hal ini menunjukkan
Halaman

Jilid 4
126
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

bahwa kegagalan pengobatan dapat terjadi pada pasien yang diobati secara empiris dengan

fluoroquinolones. Penggunaan antibiotik azithromycin dan ceftriaxone untuk mengatasi demam enterik

semakin meningkat hingga pada tahun 2015, hanya terdapat satu isolat Typhi yang resisten terhadap

azithromycin dan tidak ada isolat Typhi yang resisten terhadap ceftriaxone (Grace D. Appiah, Michael J.

Hughes, Kevin Chatham -Stephen, 2020). Resistensi bakteri terhadap antibiotik telah menjadi masalah

kesehatan di seluruh dunia, untuk itu perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan antibiotik di

rumah sakit secara sistematis dan terstandar serta penggunaan antibiotik secara rasional.Sukmawati, Jaya,

dkk, 2020).

Evaluasi penggunaan antibiotik bertujuan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas

penggunaan antibiotik di rumah sakit secara sistematis dan terstandar serta menjadi indikator

mutu pelayanan rumah sakit. Evaluasi mutu penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui

rasionalitas penggunaan antibiotik dengan menilai keakuratan penggunaan antibiotik seperti:

keakuratan indikasi, keakuratan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan

spektrum. , lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian. Metode Gyssens

merupakan alat evaluasi kualitas penggunaan antibiotik yang telah banyak digunakan di

berbagai negara1. Evaluasi kuantitatif penggunaan antibiotik yang direkomendasikan WHO

menggunakan metode Anatomical Therapeutic Chemical dengan Defined Daily Dose atau

dikenal dengan ATC/DDD.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

Pelayanan rumah sakit harus mampu melaksanakan tata kelola klinis yang baik. Untuk memenuhi

tata kelola klinis tersebut maka standar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien harus

dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia dalam bentuk Pedoman Praktik

Klinik (PPK) dan memuat jalur klinis (Clinical Pathway)10. Clinical Pathway merupakan suatu konsep

pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan pelayanan

medis dan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu

selama berada di rumah sakit (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Penerapan Clinical Pathway perlu dilaksanakan untuk mewujudkan tata kelola yang
baik (Good Clinical Governance) dalam meningkatkan kualitas layanan dan menurunkan
biaya operasional. Clinical Pathway (CP) merupakan salah satu persyaratan dalam Standar
Akreditasi versi Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) 2012 dan Standar Akreditasi Rumah
Sakit Nasional (SNARS) 2017 edisi 1, sehingga setiap rumah sakit wajib menerapkan Clinical
Pathway khususnya pada rumah sakit. kategori risiko tinggi, sering terjadi, dan rawan
masalah. CP harus dimiliki Rumah Sakit dalam memenuhi Standar Akreditasi Rumah Sakit
126

versi KARS 2012 (Prih Sarnianto, dkk, 2019).


Halaman

Jilid 4
127
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

Rumah Sakit FMC (Family Medical Center) mendapatkan sertifikat akreditasi rumah sakit

dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) pada tahun 2019. Guna meningkatkan mutu dan

keselamatan pasien, rumah sakit FMC harus mengikuti ketentuan KARS. Pemanfaatan Clinical

Pathway pada rumah sakit ini merupakan salah satu wujud implementasi akreditasi rumah sakit

(Komite Akreditasi Rumah Sakit, 2017).

Demam tifoid termasuk dalam sepuluh besar penyakit di RS FMC Bogor menurut
sumber dari bagian Rekam Medis. Angka tersebut menggambarkan bahwa kasus demam
tifoid di RS FMC termasuk dalam kategori besar. Berdasarkan data tersebut dimungkinkan
adanya peningkatan jumlah kasus demam tifoid di RS FMC Bogor. Dari latar belakang diatas
peneliti ingin mengetahui dampak penerapan Clinical Pathway terhadap kualitas dan
kuantitas penggunaan antibiotik serta outcome klinis pada pasien demam tifoid yang
dirawat di RS FMC Bogor.
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotipe Typhi.

Penyakit ini juga dikenal sebagai demam enterik dan tifus perut. Demam tifoid banyak ditemukan pada

masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas

perilaku hidup bersih dan sehat, sanitasi dan lingkungan yang buruk.

Berdasarkan data rekam medis RS FMC, demam tifoid menduduki peringkat kedua dari sepuluh besar

penyakit pada tahun 2019. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti menggunakan demam tifoid sebagai kasus

penyakitnya. Terapi pengobatan yang digunakan untuk mengatasi penyakit ini adalah Antibiotik.

Berbagai penelitian menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak

tepat, antara lain untuk penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Dalam

penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai rumah sakit di Indonesia ditemukan 30%

hingga 80% tidak sesuai indikasi13. Angka kejadian Multi Drug Resistance Salmonella Typhi

(MDRST) khususnya terhadap ampisilin, kloramfeniol dan kotrimoksazol menjadi masalah global

saat ini. MDRST disebabkan oleh pemberian antibiotik untuk penatalaksanaan yang tidak

rasional (Nagshetty et al, 2010). Pada tahun 2017 dilaporkan bakteri Salmonella typhii resisten

terhadap ciprofloxacin sebesar 74% di Amerika Serikat, sehingga pengobatan dengan antibiotik

ini mulai dibatasi.

Tingginya peresepan antibiotik menjadi harapan para dokter terhadap antibiotik, terutama untuk mencegah

infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat mengakibatkan pengobatan

tidak efektif, meningkatkan morbiditas atau mortalitas pasien, dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Salah

satu cara untuk mengatasinya adalah dengan menerapkan jalur klinis3 yang sudah ada. Dan
127
Halaman

Jilid 4
128
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

langkah selanjutnya adalah mengevaluasi dampak penerapan jalur klinis berupa penggunaan

antibiotik secara kualitatif dan kuantitatif pada pasien demam tifoid.

METODE
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, untuk mengevaluasi dampak penerapan jalur klinis

terhadap kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid. Desain penelitian

crosssectional merupakan penelitian yang mempelajari korelasi antara paparan atau faktor risiko

(independen) dan dampak atau akibat (dependen). Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif

yang diambil dari rekam medis pasien demam tifoid tahun 2018 dan 2020 yang dirawat di RS.FMC

Bogor dan memenuhi kriteria inklusi, dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan

desain deskriptif analitik untuk mengetahui dampak penerapan jalur klinis pada kualitas dan

kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid.

Populasi adalah seluruh unsur atau elemen yang menjadi objek penelitian21. Populasi

disini adalah seluruh subjek penelitian yang mempunyai karakteristik tertentu yang ditentukan

oleh peneliti yaitu X. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien terdiagnosis demam tifoid yang

sedang menjalani terapi antibiotik di RSFMC Bogor dan memenuhi kriteria inklusi tahun 2018

dan 2020.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan ciri-ciri yang dimiliki oleh populasi yang benar-

benar diteliti dan ditarik kesimpulannya23. Sampel berasal dari populasi pasien rawat inap

RSFMC Bogor tahun 2018 dan 2020 yang memenuhi kriteria inklusi. Untuk penelitian Cross

Sectional rumus perhitungan sampel yang digunakan adalah menggunakan dua proporsi (Imas

Masturoh, Nauri Anggita, 2018). Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

n=

Informasi:
n = jumlah sampel N
= jumlah populasi
Z = derajat kepercayaan (biasanya pada taraf 95% = 1,96)

P = proporsi penduduk Asumsi keanekaragaman penduduk yang dimasukkan dalam

perhitungan adalah P(1-P), dimana P = 0,5


128
Halaman

Jilid 4
129
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

d = persentase toleransi ketidaktepatan populasi yang diinginkan dan masih dapat

ditoleransi adalah 5% (d = 0,05)

Jumlah populasi pasien rawat inap RSFMC Bogor bulan Januari sampai
Desember 2018 yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 164 orang. Jumlah sampel
yang dihitung dengan rumus dua proporsi adalah 115 orang.

n=

= = 115,14 ≈ 115 orang

Jumlah populasi pasien rawat inap RSFMC Bogor bulan Januari sampai
Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 151 orang. Jumlah sampel
yang dihitung dengan rumus dua proporsi adalah 110 orang.

n=

= = 108,59 ≈ 110 orang

Pasien Dengan Diagnosis


dari Demam Tifoid

Terapi Empiris
Terapimendefinisikanitif

metode Gyssens
ATC/DD

Sebelum CP Setelah CP

Hasil
129

Gambar III.1 Kerangka Konsep Penelitian


Halaman

Jilid 4
130
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

HASIL DAN DISKUSI


Penelitian ini dilakukan terhadap 225 rekam medis pasien demam tifoid yang

memenuhi kriteria inklusi yaitu masing-masing 115 rekam medis tahun 2018 dan 110 rekam

medis tahun 2020 di RS FMC Bogor.

A. Karakteristik Sosial Demografi Pasien


Karakteristik pasien demam tifoid yang dijadikan sampel diperoleh dari hasil
pencatatan lembar pengumpulan data yang dilakukan peneliti berdasarkan data rekam
medis. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan kondisi gender.
Tabel V.1.

Sosio-Demografi pasien rawat inap Demam Tifoid di RS FMC Bogor

Karakteristik sebelum CP (2018) setelah CP (2020)


Nilai-P
Jenis kelamin (N=115) (N=110)

Pria 56 49% 42 37%


0,112
Wanita 59 51% 68 59%

Kelompok usia (N=115) (N=110) Nilai-P

18-24 tahun 29 25% 35 30%

25-31 tahun 30 26% 24 21%

32-38 tahun 30 26% 18 16%


0,241
39-45 tahun 12 10% 16 14%

46-52 tahun 9 8% 10 9%

53-59 tahun 5 4% 7 6%

Catatan: Chi-Kuadrat
Tes
Dari tabel data V.1. Sebaran jenis kelamin pasien sebelum dilakukan Clinical Pathway sebanyak 115 pasien,

berdasarkan jenis kelamin pasien terdapat 56 pasien (49%) berjenis kelamin laki-laki dan 59 pasien (51%) berjenis

kelamin perempuan. Jenis kelamin pasien setelah dilakukan Clinical Pathway adalah 42 pasien (37%) laki-laki dan 68

pasien (59%) perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa pasien laki-laki lebih besar kemungkinannya menderita demam
130

tifoid dibandingkan pasien perempuan. Berdasarkan penelitian Etikasari tahun 2012 dijelaskan bahwa jenis kelamin
Halaman

bukan merupakan faktor risiko karena laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama.

Jilid 4
131
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

peluang yang sama untuk terkena demam tifoid25. Hasil analisis chi-square (Lampiran 5) gender tahun 2018 dan

2020 dengan P-value = 0,112 > 0,05. Kesimpulannya tidak terdapat perbedaan jenis kelamin sebelum dan

sesudah CP, sehingga Ho diterima.

Pada tabel V.1. Kelompok umur pasien sebelum dilakukan Clinical Pathway pada kelompok umur 18-24

tahun sebanyak 29 pasien (25%), kelompok umur 25-31 tahun sebanyak 30 pasien (26%), kelompok umur 32-38

tahun sebanyak 30 pasien. (26%), kelompok usia 39-45 tahun berjumlah 12 pasien (10%), kelompok usia 46-52

tahun berjumlah 9 pasien (8%) dan kelompok usia 53-59 tahun berjumlah 5 pasien (4%). Kemudian pada

kelompok umur pasien pasca Clinical Pathway pada kelompok umur 18-24 tahun sebanyak 35 pasien (30%),

kelompok umur 25-31 tahun sebanyak 24 pasien (21%), kelompok umur 32-38 tahun. berjumlah 18 pasien (16%),

kelompok usia 39-45 tahun sebanyak 16 pasien (14%), kelompok usia 46-52 tahun sebanyak 10 pasien (9%) dan

kelompok usia 53-59 tahun sebanyak 7 pasien (6 %).

Berdasarkan tabel diatas, penderita demam tifoid terbanyak berada pada rentang usia 25-38

tahun sebelum CP dan 18-24 tahun setelah CP. Hal ini disebabkan karena pada usia ini aktivitas yang

dilakukan individu lebih banyak dan pada periode tersebut sering mengonsumsi makanan dari luar

sehingga faktor risiko terinfeksi bakteri Salmonella typhi lebih besar6. Sekitar 85% pembawa demam

tifoid ditemukan pada wanita di atas 50 tahun. Secara umum angka kejadian demam tifoid

dilaporkan 75% ditemukan pada usia kurang dari 30 tahun. Dapat disimpulkan bahwa kelompok

umur 18-24 tahun baik sebelum maupun sesudah Clinical Pathway lebih banyak terdiagnosis demam

tifoid dibandingkan rentang umur lainnya.

Hasil analisis chi-square (Lampiran 6) pada kelompok umur sebelum penerapan CP


tahun 2018 dan sesudah penerapan CP tahun 2020 dengan P-value = 0,241 > 0,05.
Kesimpulannya tidak terdapat hubungan antara kelompok umur sebelum penerapan CP
2018 dan sesudah penerapan CP 2020, maka Ho diterima.

B. Distribusi Lama Rawat Inap Pasien


Tabel V.2.Sebaran Lama Rawat Inap Penderita Demam Tifoid di Bogor
Rumah Sakit FMC

Lamanya Perawatan (N=115) (N=110) Nilai-P

1-3 hari 91 79,1% 80 72,7%

4-6 hari 24 20,9% 30 27,3% 0,261

7-9 hari 0 0% 0 0%
131

Catatan: Chi-Kuadrat
Tes
Halaman

Jilid 4
132
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

Lama tinggal(LOS) adalah lamanya waktu pasien tinggal di rumah sakit


berobat di rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan penyakitnya sampai pasien keluar dari

rumah sakit (Sukmawati, Jaya, dkk, 2020). Total LOS pada penelitian ini adalah 345 hari sebelum

penerapan CP dan 356 hari setelah penerapan CP dengan rata-rata lama rawat pasien 3 sampai 4

hari. Tabel V.2 menunjukkan hasil jumlah LOS pasien rawat inap Demam Tifoid di RS FMC Bogor,

dimana pada kategori long stay 1-3 hari terdapat 91 (79,1%) pada tahun 2018 dan 80 (72,7%) pada

tahun 2018. 2020 Sejumlah kecil lainnya memerlukan LOS selama 1-3 hari. Pasien demam tifoid

kategori dewasa idealnya akan mengalami perbaikan klinis dalam waktu 3-7 hari. LOS dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor klinis dari pasien antara lain efek samping penggunaan obat,

tingkat keparahan penyakit dan kemungkinan pasien sudah meminum obat sebelum masuk rumah

sakit. LOS yang pendek dapat disebabkan karena pasien kesulitan dalam berobat dan memperoleh

nutrisi yang baik sehingga mempercepat lama rawat pasien di rumah sakit. Semakin lama pasien

dirawat, maka semakin rentan pasien terhadap risiko infeksi nosokomial. Sehingga biaya yang

dikeluarkan untuk pemeliharaan semakin meningkat (Enjelina S, Adam MR, Erwin S, 2021).

Hasil analisis chi-square (Lampiran 7) pada kelompok LOS sebelum penerapan


CP tahun 2018 dan setelah penerapan CP tahun 2020 dengan P-value = 0,261 > 0,05.
Kesimpulannya tidak terdapat hubungan antara kelompok LOS sebelum pelaksanaan
CP 2018 dan sesudah pelaksanaan CP 2020, maka Ho diterima.

C. Pola Penggunaan Antibiotik

Terapi antibiotik yang diberikan bersifat definitif yaitu penggunaan antibiotik pada kasus

infeksi dimana jenis bakteri penyebabnya dan pola sensitivitasnya diketahui. Demam tifoid adalah

penyakit akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii.

Tabel V.3.Pola Penggunaan Antibiotik pada Pasien Demam Tifoid Rawat Inap di FMC Bogor
RSUD
Karakteristik sebelum CP (2018) setelah CP (2020)

Jenis Antibiotik (N=115) (N=110)

Ceftriaxone 95 82,6% 76 69,1%

sefotaksim 9 7,8% 0 0,0%


132

Levofloksasin 7 6,1% 10 9,1%


Halaman

Jilid 4
133
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

Ceftazidime 4 3,5% 2 1,8%

Ceftizoxime 0 0,0% 4 3,6%

sefuroksim 0 0,0% 18 16,4%

Pada Tabel V.3. Pola penggunaan antibiotik pada pasien rawat inap demam tifoid terlihat bahwa

ceftriaxone merupakan jenis antibiotik yang mempunyai persentase tertinggi pada penelitian ini yaitu 82,6%

sebelum menggunakan CP dan 69,1% setelah menggunakan CP. Ceftriaxone mempunyai aktivitas antibakteri

gram negatif yang kuat, sehingga mempunyai kemampuan menghambat sintesis dinding sel Salmonella typhi.

Sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxone merupakan alternatif penggunaan untuk kasus-kasus seperti

resistensi multi-obat (resistensi terhadap kloramfenikol, amoksisilin, dan kotrimoksazol) (Vani R., Keri L., 2018).

D. Evaluasi Kualitas Penggunaan Antibiotik


Tabel V.4. Evaluasi Kualitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Rawat Inap Demam Tifoid

menggunakan Metode Gyssens

sebelum CP setelah CP
Kategori
(2018) (2020)

Gissen (N=115) (N=110)

0 44 40,0% 63 57,3%

SAYA 0 0 0 0

IIA 0 0 0 0

IIB 0 0 0 0

IIC 0 0 0 0

AKU AKU AKU 0 0,0% 1 0,9%

IIIB 43 39,1% 12 10,9%

IVA 4 3,6% 24 21,8%

IVB 0 0 0 0

IVC 24 21,8% 10 9,1%

IVD 0 0 0 0
133

V 0 0 0 0
Halaman

Jilid 4
134
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

VI 0 0 0 0

Hasil evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens diperoleh hasil terapi

antibiotik pada pasien demam tifoid sebesar 40% sebelum penerapan CP dan 57,3% setelah

penerapan CP yang tergolong penggunaan rasional (kategori 0). Penggunaan antibiotik yang tidak

rasional didominasi oleh Kategori IIIA sebanyak 0,9% setelah penerapan CP karena terdapat

peresepan antibiotik dengan jangka waktu penggunaan yang melebihi pedoman yang digunakan.

Kategori IIIB sebesar 39,1% sebelum penerapan CP dan 10,9% setelah penerapan CP, disebabkan

oleh peresepan antibiotik dengan durasi penggunaan yang kurang dari pedoman yang digunakan.

Hal ini juga berdampak pada penggunaan antibiotik yang tidak rasional yang termasuk dalam

kategori IVA sebanyak 3,6% sebelum penerapan CP dan 21,8% setelah penerapan CP. Hal ini

disebabkan penggunaan antibiotik yang digunakan tidak sesuai dengan pedoman atau CP. Pada

kategori IVC sebesar 21,8% sebelum penerapan CP dan 9,1% setelah penerapan CP. Hal ini

disebabkan penggunaan antibiotik yang digunakan sesuai dengan pedoman dan CP namun jenis

obatnya menggunakan nama dagang.

1. Kategori VI
Kategori VI artinya data yang diperlukan untuk evaluasi tidak tersedia secara lengkap sehingga

tidak dapat dilakukan evaluasi lebih lanjut. Data lengkap pasien demam tifoid meliputi nama, umur, jenis

kelamin, lama rawat inap, data pemeriksaan laboratorium, dosis, obat antibiotik dan jumlah obat

antibiotik. Pada penelitian ini terdapat 225 sampel yang lolos kategori VI karena masuk kriteria inklusi

dengan memiliki data yang lengkap.

2. Kategori V
Kategori V bila tidak ada indikasi jelas pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik hanya

berdasarkan gejala klinis seperti demam tanpa adanya pemeriksaan laboratorium yang mendukung

diagnosis infeksi. Pada penelitian ini, sebanyak 225 sampel lolos kategori V karena dari hasil evaluasi

penelitian ini tidak ditemukan kasus peresepan antibiotik tanpa indikasi.

3. kategori IVA
Kategori IVA yaitu terdapat pilihan antibiotik lain yang lebih efektif bila antibiotik yang diberikan bukan

antibiotik lini pertama atau anjuran. Penggunaan antibiotik yang tidak efektif menyebabkan resistensi

antibiotik sehingga meningkatkan angka kesakitan, kematian dan biaya pengobatan yang lebih mahal.

Antibiotik yang termasuk dalam kategori IVA pada penelitian ini sebanyak 3,6% sebelum penerapan CP dan
134

21,8% setelah penerapan CP. Pasien demam tifoid tahun 2018 yang termasuk dalam kategori IVA adalah
Halaman

pasien dengan rekam medis 896, 3866, 3695, dan 9735 terlampir pada Lampiran 1.

Jilid 4
135
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

Pasien demam tifoid tahun 2020 yang masuk dalam kategori IVA adalah pasien dengan rekam

medis 4584, 9389, 3028, 8948, 456, 6504, 166, 3177, 5139, 289, 1645, 7127, 3950, 6783, 871,

4719, 9664, 8261, 9162, 7566, 9164, 32147, 32247, 32247, 32247, 3264 dan 3264 Lampiran 2.

Alasan dimasukkan dalam kategori IVA karena antibiotik yang diresepkan tidak ada dalam

Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013 dan Jalur Klinis

rumah sakit FMC 2020.

1. Kategori IVB
Kategori IVB yaitu antibiotik terpilih mempunyai toksisitas paling tinggi dan terdapat alternatif

antibiotik lain yang toksisitasnya lebih rendah. Pada penelitian ini terdapat 225 sampel yang lolos kategori

IVB karena hasil evaluasi pada penelitian ini tidak ditemukan kasus peresepan antibiotik dengan toksisitas

yang lebih aman.

2. kategori IVC
Kategori IVC berarti ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah. Harga antibiotik

menggunakan harga obat dari rumah sakit. Meresepkan antibiotik dengan merek paten atau

dengan nama dagang meskipun tersedia antibiotik generik. Antibiotik yang termasuk dalam

kategori IVC pada penelitian ini sebanyak 21,8% sebelum penerapan CP dan 9,1% setelah

penerapan CP. Pasien demam tifoid tahun 2018 termasuk dalam kategori IVC yaitu pasien

dengan rekam medis 9953, 5062, 4067, 67, 3032, 2261, 6684, 6167, 1853, 9943, 3831, 6405,

7112, 4884, 6928, 6612, 3515, 5554, 6277, 5369, 5802, 58085 dan 34 terlampir 1. Pasien demam

tifoid tahun 2020 yang termasuk dalam kategori IVC adalah pasien dengan rekam medis 635,

5906, 4816, 6720, 1968, 9562, 2513, 4967, 6224 dan 1528. Penggunaan obat dengan merek atau

nama dagang paten telah mendapat persetujuan dari pihak pasien.

3. kategori IVD
Kategori IVD merupakan antibiotik yang berspektrum luas, sedangkan alternatifnya

berspektrum lebih sempit. Pemilihan antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit didasarkan

pada hasil kultur atau dari pola sensitivitas antibiotik. Pada keadaan tertentu pemberian

antibiotik spektrum luas masih dibenarkan, namun setelah diperoleh hasil kultur bakteri perlu

dilakukan penyesuaian dan evaluasi. Hasil evaluasi berdasarkan metode Gyssens tidak

ditemukan kasus peresepan antibiotik untuk kategori IVD.

4. Kategori IIIA
Kategori IIIA adalah bila waktu pemberian antibiotik terlalu lama dibandingkan dengan waktu pemberiannya

terapi yang seharusnya. Penggunaan antibiotik dengan dosis yang terlalu lama menjadi salah satu penyebab terjadinya
135

resistensi antibiotik. Antibiotik yang termasuk dalam kategori IIIA pada penelitian ini sebanyak 0,9% setelahnya
Halaman

Jilid 4
136
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

penerapan CP karena terdapat resep antibiotik dengan durasi penggunaan melebihi pedoman

yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya di salah satu rumah sakit pemerintah di Provinsi

Bali pada tahun 2019, 40% masuk dalam kategori penggunaan antibiotik terlalu lama8. Pasien

yang masuk dalam kategori IIIA adalah pasien dengan rekam medis 7395, alasannya pemberian

ceftriaxone terlalu lama dari pedoman.Jalur KlinisRumah Sakit FMC.

5. Kategori IIIB
Kategori IIIB adalah bila waktu pemberian antibiotik terlalu singkat dibandingkan dengan waktu pemberiannya

terapi yang seharusnya. Penggunaan antibiotik dengan dosis yang terlalu pendek dapat menurunkan

efektivitas antibiotik sebagai pembunuh bakteri dan juga dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi

antibiotik. Antibiotik yang termasuk dalam kategori IIIB pada penelitian ini sebanyak 39,1% sebelum

penerapan CP dan 10,9% akibat peresepan antibiotik dengan durasi penggunaan yang terlalu singkat

berdasarkan pedoman yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya di RSUD Pemprov Bali tahun 2019,

terdapat 5% yang masuk dalam kategori penggunaan antibiotik terlalu lama. Pasien demam tifoid tahun

2018 yang masuk kategori IIB dengan rekam medis 8693, 3270, 7319, 7802, 1693, 8477, 6855, 4927, 8666,

297, 5012,8902, 6119, 2611, 5303, 4680, 7499, 6 667 , 6794, 9490, 8836, 3342 dan 3205.

6. Kategori IIA
Kategori IIA adalah pemberian antibiotik yang tidak sesuai dosis dari yang seharusnya. Dosis

antibiotik yang tidak tepat disebabkan oleh pemberian dosis yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Dosis

yang terlalu rendah akan mengakibatkan tidak tercapainya tingkat efektif minimum, namun bila dosis

yang diberikan terlalu tinggi dikhawatirkan dapat menimbulkan toksisitas. Hasil evaluasi berdasarkan

metode Gyssens tidak ditemukan kasus peresepan antibiotik kategori IIA

7. Kategori IIB
Kategori IIB adalah pemberian antibiotik dengan interval yang tidak tepat dari yang

seharusnya. Hasil evaluasi berdasarkan metode Gyssens tidak ditemukan kasus peresepan antibiotik

kategori IIB.

8. kategori IIC
Kategori IIC merupakan rute pemberian antibiotik dengan rute pemberian yang
tidak tepat, tidak sesuai rute yang dianjurkan atau tidak sesuai dengan kondisi pasien. Cara
pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat dan tujuan penggunaan obat sehingga
dapat memberikan efek terapeutik yang tepat. Hasil evaluasi berdasarkan metode Gyssens
tidak ditemukan kasus peresepan antibiotik kategori IIC
136
Halaman

Jilid 4
137
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

9. Kategori I
Kategori I adalah penggunaan antibiotik dianggap tidak tepat waktu apabila waktunya tidak tepat

setiap hari. Hasil evaluasi berdasarkan metode Gyssens tidak ditemukan kasus peresepan antibiotik

kategori I

10. Kategori 0
Penggunaan antibiotik yang tepat, yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum yang

sempit, dalam kondisi yang ketat dengan dosis, interval, dan durasi pemberian yang tepat. Hasil

evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens diperoleh hasil terapi

antibiotik pada pasien demam tifoid sebesar 40% sebelum penerapan CP dan 57,3% setelah

penerapan CP yang tergolong penggunaan rasional (kategori 0). Pada penelitian sebelumnya di

RSUD Pemprov Bali tahun 2019, sebanyak 40% masuk dalam kategori penggunaan antibiotik

rasional.

Tabel V.5.Hubungan Kualitas Antibiotik Sebelum dan Sesudah Penggunaan CP

sebelum
setelah CP
HasilKlinis CP Nilai-P
(2020)
(2018)

Irasional 71 47
0,004
Rasional 44 63

Hasil Uji Pearson menunjukkan P-value sebesar 0,004 < 0,05. Disimpulkan
terdapat perbedaan rasionalitas sebelum dan sesudah prestasi, maka Ho ditolak.

Dalam dokumen rekam medis sebelum adanya Clinical Pathway, terdapat beberapa

tindakan yang belum dilakukan sebelumnya, yaitu tidak adanya pemeriksaan fungsi hati dan

pemeriksaan widal. Dan masih ada pemeriksaan lainnya yaitu urine dan feses. Kondisi ini

mempengaruhi kualitas antibiotik yang diberikan. Setelah diterapkan Clinical Pathway, angka

rasionalnya meningkat menjadi 63 atau sekitar 75% dibandingkan sebelum diterapkan Clinical

Pathway. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Adiwisastra dkkpenerapan CP dapat

meningkatkan rasionalitas antibiotik, mengurangi kuantitas antibiotik yang digunakan dan

mengurangi lama rawat inap tanpa mempengaruhi hasil klinis.

Jalur Klinismenguraikan metode atau instrumen yang digunakan dalam diagnosis dan pengobatan

pasien yang meliputi urutan kegiatan dan waktu yang dilakukan oleh dokter, perawat, dan seluruh
137

tenaga medis. Metode ini telah banyak digunakan di rumah sakit di seluruh Amerika
Halaman

Jilid 4
138
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

Amerika, Australia dan Inggris.Jalur Klinisdiciptakan melalui upaya kolaboratif dokter, perawat,

apoteker, fisioterapis dan profesional kesehatan terkait lainnya dengan tujuan meningkatkan kualitas

pelayanan pasien.Jalur Klinistelah terbukti mengurangi variasi yang tidak perlu dalam perawatan

pasien, mengurangi penundaan pemulangan melalui perencanaan pemulangan yang lebih efisien,

dan meningkatkan efektivitas biaya layanan klinis. Pendekatan dan tujuan jalur klinis konsisten

dengan manajemen kualitas total dan peningkatan kualitas berkelanjutan, dan pada dasarnya

merupakan penerapan prinsip-prinsip ini di samping tempat tidur pasien.

E. Evaluasi Kuantitas Penggunaan Antibiotik


Tabel V.5.Evaluasi Kuantitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Rawat Inap Demam Tifoid

menggunakan Metode ATC/DDD sebelum Clinical Pathway

Jenis dari HHH/10


DD Total
Antibiotik Total Penggunaan DDD 0
ATC SIAPA*) Panjang
(sabar)** Sabar
mengusir

e (gram/pati
Penggunaan
kode*)
)
jam dari
(gram) hari***
Tinggal
)
tidak)

Ceftriaxone J01DD04 P 559 2 279.5 345 81.0

sefotaksim J01DD01 P 44 4 11 345 3.2

Levofloksasin J01MA12 P 12 0,5 24 345 7.0

Ceftazidime J01DD02 P 28 4 7 345 2.0

Ceftizoxime J01DD07 P 0 4 0 345 0,0

sefuroksim J01DC02 P 0 3 0 345 0,0

Informasi
:
P: Parenteral *) diperoleh dari pedoman WHO 2021 **) Total pemakaian/DDD WHO ***) Pemakaian DDD x 100/LOS

Tabel V.6. Evaluasi Kuantitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Rawat Inap Demam Tifoid

menggunakan Metode ATC/DDD setelah Clinical Pathway

Total
DDD SIAPA*) HDD/100
Jenis dari ATC Jumlah Penggunaan Penggunaan DDD Panjang
Sabar
mengusir
(gram/pasien
Antibiotik kode*) e (gram) (sabar)**)
T)
jam dari
hari***)
Tinggal
138

Ceftriaxone J01DD04 P 658 2 329 356 92.4


Halaman

Jilid 4
139
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

sefotaksim J01DD01 P 0 4 0 356 0,0

Levofloksasin J01MA12 P 17 0,5 34 356 9.6

Ceftazidime J01DD02 P 5 4 1.25 356 0,4

Ceftizoxime J01DD07 P 17 4 4.25 356 1.2

sefuroksim J01DC02 P 61 3 20.3 356 5.7

Informasi :
P: Parenteral *) diperoleh dari pedoman WHO 2021 **) Total pemakaian/DDD WHO ***) Pemakaian DDD x 100/LOS

Pada Tabel V.5 dan V.6 tentang evaluasi kuantitas penggunaan antibiotik dengan metode

ATC/DDD menunjukkan bahwa penggunaan ceftriaxone mempunyai nilai DDD/100 Pasien hari

tertinggi baik sebelum maupun sesudah penerapan CP. Dimana pada tahun 2018 berjumlah 81,

artinya dari 100 pasien setiap hari terdapat 81 pasien, dan pada tahun 2020 terdapat 92,4 yang

berarti dari 100 pasien setiap hari terdapat 92-93 pasien yang mendapat ceftriaxone 2 gram per

hari. . Data kuantitas penggunaan antibiotik menyatakan bahwa semakin besar nilai DDD/100 pasien

hari maka semakin besar pula penggunaan antibiotik tersebut.

Kuantitas penggunaan antibiotik ceftriaxone mempunyai nilai yang tinggi, sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Sukmawati pada tahun 2020 di RSUD Pemprov Bali menunjukkan

ceftriaxone merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan untuk terapi penyakit tipes dengan nilai

83,80 DDD/100 Pasien8. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Enjelina pada tahun 2021 diketahui pula

bahwa antibiotik ceftriaxone paling banyak digunakan di RSUD Samarinda dengan nilai DDD/100 Patient

day sebesar 81,21.

Penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan nilai DDD yang tinggi dan

dipengaruhi oleh banyaknya nilai gram antibiotik yang digunakan. Beberapa faktor yang diduga

mempengaruhi kuantitas penggunaan antibiotik, antara lain tingginya frekuensi penggunaan antibiotik

dan durasi penggunaan antibiotik yang melebihi standar pedoman penggunaan antibiotik.

Tabel V.7.Analisis Jenis Antibiotik dengan hasil DDD/100 pasien hari sebelum CP
dan karenanyasudah CP

sebelum
Jenis dari setelah CP
Kode ATC CP Nilai-P Nilai-P
Antibiotik (2020)
(2018)
139
Halaman

Jilid 4
140
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

HDD/100 HDD/100
Sabar Sabar
hari hari

Ceftriaxone J01DD04 81.01 92.4

sefotaksim J01DD01 3.19 0,0

Levofloksasin J01MA12 6.96 9.6


0,011 0,000
Ceftazidime J01DD02 2.03 0,4

Ceftizoxime J01DD07 0,00 1.2

sefuroksim J01DC02 0 5.7

Tabel V.8 Analisis DDD/100 hari pasien sebelum CP dan sesudah CP (Hubungan

Antara Jumlah Antibiotik Sebelum dan Sesudah Penggunaan CP)

HDD/100
P-
Sabar N Cara
nilai-nilai
hari

tahun 2018 115 103.07


0,019
tahun 2020 110 123.38

Pada tabelV.7AnalisisDDD/100 pasien hari sebelum CP dan sesudah CP


dilakukan uji T independen dengan syarat data berdistribusi normal dan homogen.
Hasil uji normalitas dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov diperoleh nilai P-
values= 0,001 < 0,05 yang berarti data berdistribusi normal. Kemudian diuji
homogenitasnya dan diperoleh nilai P-values= 0,000 < 0,05 yang berarti data tidak
homogen. Karena data berdistribusi normal dan tidak homogen, maka syarat uji T
independen tidak terpenuhi, sehingga alternatifnya menggunakan uji Man Whitney
pada tabel V.8.
Hasil analisis pada lampiran 8 menunjukkan p-value sebesar 0,019 < 0,05 yang berarti

terdapat perbedaan nilai DDD/100 pasien hari sebelum dan sesudah penerapan Clinical Pathway,

maka Ho ditolak (Lampiran 4 ). Artinya DDD/100 hari pasien pada tahun 2020 akan bertambah

sebesar 123,38 jika DDD/100 hari pasien pada tahun 2018 bertambah setiap satu tahun. Nilai
140

tersebut menunjukkan penggunaan DDD/100 hari pasien setiap tahunnya meningkat, hal yang

seharusnya tidak terjadi. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan DDD tinggi
Halaman

Jilid 4
141
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

nilai dan dipengaruhi oleh banyaknya nilai gram antibiotik yang digunakan22. Dampak
penerapan jalur klinis terhadap kuantitas penggunaan antibiotik sangat signifikan dengan
penerapan di lapangan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan kualitas penggunaan antibiotik antara sebelum dan sesudah
penerapan Clinical Pathway pada pasien rawat inap demam tifoid di RS FMC Bogor. Hal
ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
A. Pemberian antibiotik di RS FMC Bogor tahun 2018 sebelum CP sebanyak 60%
penggunaan antibiotik rasional (kategori 0) dan sebanyak 43,7% masuk dalam
kategori tidak rasional (Kategori I-VI) yang didominasi oleh kategori IIIA, IIB, IVA,
dan IVC.
B. Pemberian antibiotik di RS FMC Bogor tahun 2020 pasca CP sebanyak 40% penggunaan

antibiotik rasional (kategori 0) dan sebanyak 57,3% masuk dalam kategori irasional

(Kategori I-VI) yang didominasi oleh kategori IIIA , IIB, IVA, dan IVC.

2. Terdapat perbedaan kuantitas penggunaan antibiotik antara sebelum dan sesudah


penerapan Clinical Pathway pada pasien rawat inap demam tifoid di RS FMC Bogor.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut
A. Jumlah rata-rata antibiotik yang digunakan sebelum penerapanjalur klinis(tahun 2018)DDD/100

hari pasien sama besarnya dengan 103,07

B. Jumlah rata-rata penggunaan antibiotik setelah aplikasijalur klinis(tahun 2020)DDD/100 hari

pasien sama besarnya dengan 123,38.

REFERENSI
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat. Ancaman Resistensi Antibiotik
di Amerika Serikat 2019. Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat;
2019,H. 101-102
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Sistematis Demam Tifoid
Pengendalian 2013. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta 2013. jam 42-20
Ainil Maksura. Angka Kejadian Demam Tifoid Berdasarkan Pemeriksaan Serologis di PT
RS Universitas Hasanuddin Makassar, Puskesmas Tamalanrea Jaya dan
141

Puskesmas Tamalanrea Tahun 2019-2020 (Tesis). Makassar: Fakultas Kedokteran


Universitas Hasanuddin Makassar; 2021, hal 2-33
Halaman

Jilid 4
142
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

Jeffrey, Robert, dkk. Beban Global Demam Tifoid dan Paratifoid: sebuah sistematik
analisis Global Burden of Disease Study 2017. Global Burden Amerika Serikat;
2017.hal 380-369
Pieter Hazmen, Shirly Kumala, Prih Sarnianto. Analisis Biaya Pengobatan Demam Tifoid
BerdasarkanJalur Klinisdi Rumah Sakit Ibu Harapan. Jurnal Profesi
Kedokteran. 2019; 13(2): 81-74.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan No.34 Tahun
2006 tentang Demam Tifoid. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2006. jam 28-3.
Grace D. Appiah, Michael J. Hughes, Kevin Chatham-Stephens. Buku Kuning CDC 2020.
Amerika Serikat: Bab 4 Penyakit Menular Terkait Perjalanan Demam Tifoid
dan Paratifoid: hal 5-1. [diakses 15 Juni 2022]. Diakses dari:https://
wwwnc.cdc.gov/travel/ yellowbook/2020/travel-related-infectiousdiseases/
typhoid-and-paratyphoid-fever
Sukmawati, Jaya, dkk. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien tipes rawat inap di a
RSUD Pemprov Bali menggunakan metode Gyssens dan ATC/DDD. Jurnal
Farmasi Udayana, Bali; 2020. hal 43-37
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan No
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2015.hlm 26-320

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan No


Republik Indonesia Nomor 1438 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Medis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010, hal 5-2.
Komite Akreditasi Rumah Sakit. Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1 Tahun
2018. Jakarta: Komite Akreditasi Rumah Sakit; 2017. jam. 389-65
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2406 Tentang
Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. hlm
60–5
Nagshetty dkk. Kecurigaan antimikroba Salmonella Typhi di India. Jurnal dari
Infeksi Di Negara Berkembang. India: 2010; 4 (2) jam. 73-70.
Sutisna, NS Pentingnya Clinical Pathway Bagi Fasilitas Kesehatan [Internet]. {diakses
22 Desember 2020}. Diakses dari:https://www.alomedika.com/pentingnya-clinicalpathway-
untuk fasilitas kesehatan
Paul UK, Bandyopadhyay A. Demam tifoid: ulasan. Jurnal Internasional Kemajuan di
Obat-obatan. Maret-April 2017;4(2):300-306
Sumarno, Herry, dkk. Semua. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua, 2008.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.hal 346-338
Zulfiqar A.Bhutta. Konsep Arus Demam Tifoid. Departemen Pediatri dan Anak
Kesehatan, Pakistan; 2006.hal 271-266
Lusy Noviani. Panduan Praktis Apoteker dalam Penerapan Pengendalian Resistensi Antibiotik
Program di Rumah Sakit. Jakarta: Penerbitan ISFI; 2019.hal 90-9.
Sunarjati, Mekanisme Resistensi Antibiotik pada Infeksi Bakteri. Departemen
Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Indonesia; 2015.
Gould IM, Lebih Baik JWM van der. Kebijakan antibiotik: Teori dan praktik. Penerbit Akademik Kluwer
Baru. New York; 2005, hal 1–766.
WHO, 2022. Pedoman Klasifikasi ATC dan Penugasan DDD 20021. Oslo: WHO
Kolaborasi Pusat Metodologi Statistik Obat Oslo, Institut Kesehatan Masyarakat
142

Norwegia: Oslo; 2022. hal 149-10


Halaman

Jilid 4
143
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan Kefarmasian bagi


Terapi Antibiotik 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2011.hal 40-27
Imas Masturoh, Nauri Anggita, Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi 1: Perkembangan dan
Badan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan : Jakarta; 2018. hlm 193-104
Rumah Sakit FMC. Jalur Klinis Demam Tifoid RS FMC 2020: Bogor; 2020. h 24-19 Etikasari, R.,
Andayani, TM dan Mukti, AG2012. Analisis Biaya dan Kesesuaian Penggunaan
Antibiotik pada Demam Tifoid di RSUD Kota Yogyakarta. Jurnal Manajemen dan
Pelayanan Farmasi. 2(2); 2012.hal 147-153.
Enjelina S, Adam MR, Erwin S. Evaluasi Penggunaan Kuantitatif dan Kualitatif
Antibiotik pada Pasien Bedah Pencernaan di RS Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda. Hasil Penelitian dan Pengembangan Farmasi “Farmasi Tropis” Tahun
2021. Samarinda : Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman; 2021, hal 220-214

Vani R., Keri L., Ulasan: Penatalaksanaan Terapi Demam Tifoid: Farmakologis dan 2018
Studi Terapi Non Farmakologis. Jawa Barat: Suplemen Farmakologis 16 (1);
2018.hal 184-195
Gyssens, IC, 2005, Audit Pemantauan Kualitas Resep Antimikroba, Dalam: Gould,
IM, Van der Meer, Editor, Kebijakan Antibiotik: Teori dan Praktek Kluwer Academic
Publishers, New York: hal 192-208
Rampengan, NH 2013. Terapi Antibiotik Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada
Anak 2013. Manado: Sari Pediatri Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
2013; 14(5). hal 276-271
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006, Standar Pelayanan Medis, PB
PABDI, Jakarta.
Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis. Prinsip Internal Harrison
Kedokteran (edisi ke-16), 897-900.
Adiwisastra, Nuzul Gyanata, dkk. 2019.Efektifitas Penerapan Clinical Pathway di
Pasien Anak Gastroenteritis Akut (GEA) dengan Dehidrasi Dirawat Inap di RS
Permata Bekasi. Jurnal Profesi Kedokteran.Jilid 1, No.3 (2019) Firmansyah, Yohanes
dan Widjaja Gunawan. 2022. Penerapan Clinical Pathway dalam Kesehatan
Perawatan dan Akibat Hukumnya. Jurnal Kedokteran Hutama. Jil. 3 No.2

143
Halaman

Jilid 4

Anda mungkin juga menyukai