com
Melacak Abstrak
Catatan
Artikel
Demam tifoid merupakan masalah kesehatan global khususnya di negara-negara berkembang,
Diterima: salah satunya Indonesia. Kejadian resistensi penggunaan antibiotik pada pengobatan demam
Diterbitkan: tifoid dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dampak penerapan Clinical Pathways terhadap kualitas dan kuantitas penggunaan
antibiotik pada terapi tipus di RS FMC Bogor. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik
yang dilakukan secara retrospektif yang dianalisis menggunakan metode Gyssens dan ATC/DDD.
Data penelitian diambil dari rekam medis pasien periode Januari-Desember 2018 dan Januari-
Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 115
rekam medis pasien demam tifoid, ceftriaxone merupakan antibiotik yang paling banyak
digunakan untuk terapi tifoid. Kualitas penggunaan antibiotik sebanyak 40% dinyatakan rasional
sebelum penggunaan jalur klinis dan sebanyak 57,3% setelah penggunaan jalur klinis (kategori 0),
sedangkan 60% lainnya dinyatakan tidak rasional (kategori I-VI) dan setelah CP sebanyak 42,7%
masuk dalam kategori 0, sisanya masuk dalam kategori tidak rasional (Kategori I-VI) yang meliputi
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai interval pemberian, penggunaan antibiotik yang terlalu
lama, penggunaan antibiotik yang terlalu singkat, ada antibiotik lain yang lebih efektif, dan ada
antibiotik lain yang kurang toksik/aman. Jumlah penggunaan antibiotik dinyatakan melebihi
standar WHO yaitu penggunaan ceftriaxone sebanyak 81 DDD/100 pasien hari sebelum jalur klinis
dan 92,4 DDD/100 pasien hari setelah jalur klinis. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh 1)
Terdapat perbedaan kualitas penggunaan antibiotik antara sebelum dan sesudah penerapan
Clinical Pathway pada pasien rawat inap demam tifoid di RS FMC Bogor; 2) Terdapat perbedaan
kuantitas penggunaan antibiotik antara sebelum dan sesudah penerapan Clinical Pathway pada
pasien rawat inap demam tifoid di RS FMC Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan pihak rumah sakit sebagai bahan evaluasi dan perbaikan guna
meningkatkan rasionalitas penggunaan antibiotik.
PERKENALAN
Demam tifoid terjadi akibat infeksi sistemik bakteri Salmonella enterica serotipe Typhi.
Penyakit ini ditandai dengan demam dan, pada kasus yang parah, gangguan pencernaan
perdarahan, perubahan status mental, perforasi usus, dan kematian.Pusat Amerika Serikat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, 2019). Penyakit ini juga dikenal sebagai demam enterik
dan tifus perut. Penyakit ini dapat mempunyai manifestasi klinis yang parah karena
komplikasinya dan dapat menyebabkan karier. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas
perilaku hidup bersih dan sehat, sanitasi dan lingkungan yang buruk (Kementerian Kesehatan
124
Data Global Burden of Disease (GBD) pada konsep Disability-Adjusted Life Year (DALY) yang
merupakan gambaran status kesehatan (pada prinsipnya semakin besar DALY maka semakin buruk status
kesehatannya). Pada tahun 2019 data yang diperoleh menunjukkan adanya perbaikan penyakit demam
tifoid yang ditunjukkan dengan penurunan posisi menjadi 12 dengan nilai 1251,52 DALYs per 100.000
(Maksura Ainil, 2020). Organisasi Kesehatan Dunia yaitu World Health Organization (WHO) menyebutkan
pada tahun 2019 terdapat 11 hingga 21 juta kasus demam tifoid di dunia dan 128.000 kasus.
hingga 161.000 kematian (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, 2019).
Kasus demam tifoid di Asia Tenggara mencapai 1.414.400 orang. Angka kematian akibat kasus ini
pada tahun 2017 mencapai 116.00 dan di Asia Tenggara mencapai 12.000 orang (Sutisna, NS, 2020).
Demam tifoid di Indonesia merupakan penyakit endemik dan menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Angka kesakitan demam tifoid di Indonesia tercatat dalam buletin Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) tahun 2008 yaitu 81,7 per 100.0005. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2013,
prevalensi kasus demam tifoid sebesar 5,13% dengan Case Fatality Rate sebesar 0,67%. Riset Kesehatan
Dasar Nasional tahun 2014 menunjukkan prevalensi penyakit demam tifoid di Jawa Tengah sebesar 1,61%
yang tersebar di seluruh kabupaten dengan prevalensi yang berbeda-beda di setiap tempat (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Data GBD Indonesia berdasarkan gender pada tahun 2019,
diperoleh nilai pasien laki-laki sebesar 187,06 DALYs per 100.000, sedangkan pasien perempuan sebesar
122,99 DALYs per 100.000. Khusus Provinsi Sulawesi Selatan diperoleh nilai sebesar 147,88 DALYs per
Pengobatan demam tifoid yang tepat adalah dengan menggunakan antibiotik. Pilihan
antibiotik lini pertama adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin (aman bagi pasien yang
sedang hamil), dan trimetoprim sulfametoksazol. Apabila salah satu antibiotik lini pertama dirasa
tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik lain atau dapat dipilih antibiotik lini kedua seperti
ceftriaxone, cefixime, quinolone. Di Indonesia, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan untuk
demam tifoid karena dinilai cukup efektif dan harga obatnya murah, namun kekurangan dari
kloramfenikol adalah tidak dapat mencegah kekambuhan atau pada pasien karier. Merajalela, NH
2013.)
Kasus resistensi terhadap kloramfenikol pada pasien demam tifoid dilaporkan pada tahun
1950an di Meksiko. Resistensi semakin berkembang terhadap antibiotik lain seperti ampisilin,
kotrimoksazol dan kuinolon (Multi Drug Resistance Salmonella Typhi/MDRST) (Rampengan, NH 2013).
Pada tahun 2017 dilaporkan bakteri Salmonella typhi resisten terhadap ciprofloxacin sebesar 74% di
terbatas (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, 2019). Hal ini menunjukkan
Halaman
Jilid 4
126
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
bahwa kegagalan pengobatan dapat terjadi pada pasien yang diobati secara empiris dengan
fluoroquinolones. Penggunaan antibiotik azithromycin dan ceftriaxone untuk mengatasi demam enterik
semakin meningkat hingga pada tahun 2015, hanya terdapat satu isolat Typhi yang resisten terhadap
azithromycin dan tidak ada isolat Typhi yang resisten terhadap ceftriaxone (Grace D. Appiah, Michael J.
Hughes, Kevin Chatham -Stephen, 2020). Resistensi bakteri terhadap antibiotik telah menjadi masalah
kesehatan di seluruh dunia, untuk itu perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan antibiotik di
rumah sakit secara sistematis dan terstandar serta penggunaan antibiotik secara rasional.Sukmawati, Jaya,
dkk, 2020).
penggunaan antibiotik di rumah sakit secara sistematis dan terstandar serta menjadi indikator
mutu pelayanan rumah sakit. Evaluasi mutu penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui
spektrum. , lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian. Metode Gyssens
merupakan alat evaluasi kualitas penggunaan antibiotik yang telah banyak digunakan di
menggunakan metode Anatomical Therapeutic Chemical dengan Defined Daily Dose atau
Pelayanan rumah sakit harus mampu melaksanakan tata kelola klinis yang baik. Untuk memenuhi
tata kelola klinis tersebut maka standar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien harus
dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia dalam bentuk Pedoman Praktik
Klinik (PPK) dan memuat jalur klinis (Clinical Pathway)10. Clinical Pathway merupakan suatu konsep
pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan pelayanan
medis dan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu
Penerapan Clinical Pathway perlu dilaksanakan untuk mewujudkan tata kelola yang
baik (Good Clinical Governance) dalam meningkatkan kualitas layanan dan menurunkan
biaya operasional. Clinical Pathway (CP) merupakan salah satu persyaratan dalam Standar
Akreditasi versi Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) 2012 dan Standar Akreditasi Rumah
Sakit Nasional (SNARS) 2017 edisi 1, sehingga setiap rumah sakit wajib menerapkan Clinical
Pathway khususnya pada rumah sakit. kategori risiko tinggi, sering terjadi, dan rawan
masalah. CP harus dimiliki Rumah Sakit dalam memenuhi Standar Akreditasi Rumah Sakit
126
Jilid 4
127
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
Rumah Sakit FMC (Family Medical Center) mendapatkan sertifikat akreditasi rumah sakit
dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) pada tahun 2019. Guna meningkatkan mutu dan
keselamatan pasien, rumah sakit FMC harus mengikuti ketentuan KARS. Pemanfaatan Clinical
Pathway pada rumah sakit ini merupakan salah satu wujud implementasi akreditasi rumah sakit
Demam tifoid termasuk dalam sepuluh besar penyakit di RS FMC Bogor menurut
sumber dari bagian Rekam Medis. Angka tersebut menggambarkan bahwa kasus demam
tifoid di RS FMC termasuk dalam kategori besar. Berdasarkan data tersebut dimungkinkan
adanya peningkatan jumlah kasus demam tifoid di RS FMC Bogor. Dari latar belakang diatas
peneliti ingin mengetahui dampak penerapan Clinical Pathway terhadap kualitas dan
kuantitas penggunaan antibiotik serta outcome klinis pada pasien demam tifoid yang
dirawat di RS FMC Bogor.
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotipe Typhi.
Penyakit ini juga dikenal sebagai demam enterik dan tifus perut. Demam tifoid banyak ditemukan pada
masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas
perilaku hidup bersih dan sehat, sanitasi dan lingkungan yang buruk.
Berdasarkan data rekam medis RS FMC, demam tifoid menduduki peringkat kedua dari sepuluh besar
penyakit pada tahun 2019. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti menggunakan demam tifoid sebagai kasus
penyakitnya. Terapi pengobatan yang digunakan untuk mengatasi penyakit ini adalah Antibiotik.
Berbagai penelitian menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak
tepat, antara lain untuk penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Dalam
penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai rumah sakit di Indonesia ditemukan 30%
hingga 80% tidak sesuai indikasi13. Angka kejadian Multi Drug Resistance Salmonella Typhi
(MDRST) khususnya terhadap ampisilin, kloramfeniol dan kotrimoksazol menjadi masalah global
saat ini. MDRST disebabkan oleh pemberian antibiotik untuk penatalaksanaan yang tidak
rasional (Nagshetty et al, 2010). Pada tahun 2017 dilaporkan bakteri Salmonella typhii resisten
terhadap ciprofloxacin sebesar 74% di Amerika Serikat, sehingga pengobatan dengan antibiotik
Tingginya peresepan antibiotik menjadi harapan para dokter terhadap antibiotik, terutama untuk mencegah
infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat mengakibatkan pengobatan
tidak efektif, meningkatkan morbiditas atau mortalitas pasien, dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Salah
satu cara untuk mengatasinya adalah dengan menerapkan jalur klinis3 yang sudah ada. Dan
127
Halaman
Jilid 4
128
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
langkah selanjutnya adalah mengevaluasi dampak penerapan jalur klinis berupa penggunaan
METODE
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, untuk mengevaluasi dampak penerapan jalur klinis
terhadap kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid. Desain penelitian
crosssectional merupakan penelitian yang mempelajari korelasi antara paparan atau faktor risiko
(independen) dan dampak atau akibat (dependen). Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif
yang diambil dari rekam medis pasien demam tifoid tahun 2018 dan 2020 yang dirawat di RS.FMC
Bogor dan memenuhi kriteria inklusi, dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan
desain deskriptif analitik untuk mengetahui dampak penerapan jalur klinis pada kualitas dan
Populasi adalah seluruh unsur atau elemen yang menjadi objek penelitian21. Populasi
disini adalah seluruh subjek penelitian yang mempunyai karakteristik tertentu yang ditentukan
oleh peneliti yaitu X. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien terdiagnosis demam tifoid yang
sedang menjalani terapi antibiotik di RSFMC Bogor dan memenuhi kriteria inklusi tahun 2018
dan 2020.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan ciri-ciri yang dimiliki oleh populasi yang benar-
benar diteliti dan ditarik kesimpulannya23. Sampel berasal dari populasi pasien rawat inap
RSFMC Bogor tahun 2018 dan 2020 yang memenuhi kriteria inklusi. Untuk penelitian Cross
Sectional rumus perhitungan sampel yang digunakan adalah menggunakan dua proporsi (Imas
Masturoh, Nauri Anggita, 2018). Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
n=
Informasi:
n = jumlah sampel N
= jumlah populasi
Z = derajat kepercayaan (biasanya pada taraf 95% = 1,96)
Jilid 4
129
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
Jumlah populasi pasien rawat inap RSFMC Bogor bulan Januari sampai
Desember 2018 yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 164 orang. Jumlah sampel
yang dihitung dengan rumus dua proporsi adalah 115 orang.
n=
Jumlah populasi pasien rawat inap RSFMC Bogor bulan Januari sampai
Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 151 orang. Jumlah sampel
yang dihitung dengan rumus dua proporsi adalah 110 orang.
n=
Terapi Empiris
Terapimendefinisikanitif
metode Gyssens
ATC/DD
Sebelum CP Setelah CP
Hasil
129
Jilid 4
130
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
memenuhi kriteria inklusi yaitu masing-masing 115 rekam medis tahun 2018 dan 110 rekam
46-52 tahun 9 8% 10 9%
53-59 tahun 5 4% 7 6%
Catatan: Chi-Kuadrat
Tes
Dari tabel data V.1. Sebaran jenis kelamin pasien sebelum dilakukan Clinical Pathway sebanyak 115 pasien,
berdasarkan jenis kelamin pasien terdapat 56 pasien (49%) berjenis kelamin laki-laki dan 59 pasien (51%) berjenis
kelamin perempuan. Jenis kelamin pasien setelah dilakukan Clinical Pathway adalah 42 pasien (37%) laki-laki dan 68
pasien (59%) perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa pasien laki-laki lebih besar kemungkinannya menderita demam
130
tifoid dibandingkan pasien perempuan. Berdasarkan penelitian Etikasari tahun 2012 dijelaskan bahwa jenis kelamin
Halaman
bukan merupakan faktor risiko karena laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama.
Jilid 4
131
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
peluang yang sama untuk terkena demam tifoid25. Hasil analisis chi-square (Lampiran 5) gender tahun 2018 dan
2020 dengan P-value = 0,112 > 0,05. Kesimpulannya tidak terdapat perbedaan jenis kelamin sebelum dan
Pada tabel V.1. Kelompok umur pasien sebelum dilakukan Clinical Pathway pada kelompok umur 18-24
tahun sebanyak 29 pasien (25%), kelompok umur 25-31 tahun sebanyak 30 pasien (26%), kelompok umur 32-38
tahun sebanyak 30 pasien. (26%), kelompok usia 39-45 tahun berjumlah 12 pasien (10%), kelompok usia 46-52
tahun berjumlah 9 pasien (8%) dan kelompok usia 53-59 tahun berjumlah 5 pasien (4%). Kemudian pada
kelompok umur pasien pasca Clinical Pathway pada kelompok umur 18-24 tahun sebanyak 35 pasien (30%),
kelompok umur 25-31 tahun sebanyak 24 pasien (21%), kelompok umur 32-38 tahun. berjumlah 18 pasien (16%),
kelompok usia 39-45 tahun sebanyak 16 pasien (14%), kelompok usia 46-52 tahun sebanyak 10 pasien (9%) dan
Berdasarkan tabel diatas, penderita demam tifoid terbanyak berada pada rentang usia 25-38
tahun sebelum CP dan 18-24 tahun setelah CP. Hal ini disebabkan karena pada usia ini aktivitas yang
dilakukan individu lebih banyak dan pada periode tersebut sering mengonsumsi makanan dari luar
sehingga faktor risiko terinfeksi bakteri Salmonella typhi lebih besar6. Sekitar 85% pembawa demam
tifoid ditemukan pada wanita di atas 50 tahun. Secara umum angka kejadian demam tifoid
dilaporkan 75% ditemukan pada usia kurang dari 30 tahun. Dapat disimpulkan bahwa kelompok
umur 18-24 tahun baik sebelum maupun sesudah Clinical Pathway lebih banyak terdiagnosis demam
7-9 hari 0 0% 0 0%
131
Catatan: Chi-Kuadrat
Tes
Halaman
Jilid 4
132
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
rumah sakit (Sukmawati, Jaya, dkk, 2020). Total LOS pada penelitian ini adalah 345 hari sebelum
penerapan CP dan 356 hari setelah penerapan CP dengan rata-rata lama rawat pasien 3 sampai 4
hari. Tabel V.2 menunjukkan hasil jumlah LOS pasien rawat inap Demam Tifoid di RS FMC Bogor,
dimana pada kategori long stay 1-3 hari terdapat 91 (79,1%) pada tahun 2018 dan 80 (72,7%) pada
tahun 2018. 2020 Sejumlah kecil lainnya memerlukan LOS selama 1-3 hari. Pasien demam tifoid
kategori dewasa idealnya akan mengalami perbaikan klinis dalam waktu 3-7 hari. LOS dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor klinis dari pasien antara lain efek samping penggunaan obat,
tingkat keparahan penyakit dan kemungkinan pasien sudah meminum obat sebelum masuk rumah
sakit. LOS yang pendek dapat disebabkan karena pasien kesulitan dalam berobat dan memperoleh
nutrisi yang baik sehingga mempercepat lama rawat pasien di rumah sakit. Semakin lama pasien
dirawat, maka semakin rentan pasien terhadap risiko infeksi nosokomial. Sehingga biaya yang
dikeluarkan untuk pemeliharaan semakin meningkat (Enjelina S, Adam MR, Erwin S, 2021).
Terapi antibiotik yang diberikan bersifat definitif yaitu penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi dimana jenis bakteri penyebabnya dan pola sensitivitasnya diketahui. Demam tifoid adalah
Tabel V.3.Pola Penggunaan Antibiotik pada Pasien Demam Tifoid Rawat Inap di FMC Bogor
RSUD
Karakteristik sebelum CP (2018) setelah CP (2020)
Jilid 4
133
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
Pada Tabel V.3. Pola penggunaan antibiotik pada pasien rawat inap demam tifoid terlihat bahwa
ceftriaxone merupakan jenis antibiotik yang mempunyai persentase tertinggi pada penelitian ini yaitu 82,6%
sebelum menggunakan CP dan 69,1% setelah menggunakan CP. Ceftriaxone mempunyai aktivitas antibakteri
gram negatif yang kuat, sehingga mempunyai kemampuan menghambat sintesis dinding sel Salmonella typhi.
Sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxone merupakan alternatif penggunaan untuk kasus-kasus seperti
resistensi multi-obat (resistensi terhadap kloramfenikol, amoksisilin, dan kotrimoksazol) (Vani R., Keri L., 2018).
sebelum CP setelah CP
Kategori
(2018) (2020)
0 44 40,0% 63 57,3%
SAYA 0 0 0 0
IIA 0 0 0 0
IIB 0 0 0 0
IIC 0 0 0 0
IVB 0 0 0 0
IVD 0 0 0 0
133
V 0 0 0 0
Halaman
Jilid 4
134
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
VI 0 0 0 0
Hasil evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens diperoleh hasil terapi
antibiotik pada pasien demam tifoid sebesar 40% sebelum penerapan CP dan 57,3% setelah
penerapan CP yang tergolong penggunaan rasional (kategori 0). Penggunaan antibiotik yang tidak
rasional didominasi oleh Kategori IIIA sebanyak 0,9% setelah penerapan CP karena terdapat
peresepan antibiotik dengan jangka waktu penggunaan yang melebihi pedoman yang digunakan.
Kategori IIIB sebesar 39,1% sebelum penerapan CP dan 10,9% setelah penerapan CP, disebabkan
oleh peresepan antibiotik dengan durasi penggunaan yang kurang dari pedoman yang digunakan.
Hal ini juga berdampak pada penggunaan antibiotik yang tidak rasional yang termasuk dalam
kategori IVA sebanyak 3,6% sebelum penerapan CP dan 21,8% setelah penerapan CP. Hal ini
disebabkan penggunaan antibiotik yang digunakan tidak sesuai dengan pedoman atau CP. Pada
kategori IVC sebesar 21,8% sebelum penerapan CP dan 9,1% setelah penerapan CP. Hal ini
disebabkan penggunaan antibiotik yang digunakan sesuai dengan pedoman dan CP namun jenis
1. Kategori VI
Kategori VI artinya data yang diperlukan untuk evaluasi tidak tersedia secara lengkap sehingga
tidak dapat dilakukan evaluasi lebih lanjut. Data lengkap pasien demam tifoid meliputi nama, umur, jenis
kelamin, lama rawat inap, data pemeriksaan laboratorium, dosis, obat antibiotik dan jumlah obat
antibiotik. Pada penelitian ini terdapat 225 sampel yang lolos kategori VI karena masuk kriteria inklusi
2. Kategori V
Kategori V bila tidak ada indikasi jelas pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik hanya
berdasarkan gejala klinis seperti demam tanpa adanya pemeriksaan laboratorium yang mendukung
diagnosis infeksi. Pada penelitian ini, sebanyak 225 sampel lolos kategori V karena dari hasil evaluasi
3. kategori IVA
Kategori IVA yaitu terdapat pilihan antibiotik lain yang lebih efektif bila antibiotik yang diberikan bukan
antibiotik lini pertama atau anjuran. Penggunaan antibiotik yang tidak efektif menyebabkan resistensi
antibiotik sehingga meningkatkan angka kesakitan, kematian dan biaya pengobatan yang lebih mahal.
Antibiotik yang termasuk dalam kategori IVA pada penelitian ini sebanyak 3,6% sebelum penerapan CP dan
134
21,8% setelah penerapan CP. Pasien demam tifoid tahun 2018 yang termasuk dalam kategori IVA adalah
Halaman
pasien dengan rekam medis 896, 3866, 3695, dan 9735 terlampir pada Lampiran 1.
Jilid 4
135
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
Pasien demam tifoid tahun 2020 yang masuk dalam kategori IVA adalah pasien dengan rekam
medis 4584, 9389, 3028, 8948, 456, 6504, 166, 3177, 5139, 289, 1645, 7127, 3950, 6783, 871,
4719, 9664, 8261, 9162, 7566, 9164, 32147, 32247, 32247, 32247, 3264 dan 3264 Lampiran 2.
Alasan dimasukkan dalam kategori IVA karena antibiotik yang diresepkan tidak ada dalam
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013 dan Jalur Klinis
1. Kategori IVB
Kategori IVB yaitu antibiotik terpilih mempunyai toksisitas paling tinggi dan terdapat alternatif
antibiotik lain yang toksisitasnya lebih rendah. Pada penelitian ini terdapat 225 sampel yang lolos kategori
IVB karena hasil evaluasi pada penelitian ini tidak ditemukan kasus peresepan antibiotik dengan toksisitas
2. kategori IVC
Kategori IVC berarti ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah. Harga antibiotik
menggunakan harga obat dari rumah sakit. Meresepkan antibiotik dengan merek paten atau
dengan nama dagang meskipun tersedia antibiotik generik. Antibiotik yang termasuk dalam
kategori IVC pada penelitian ini sebanyak 21,8% sebelum penerapan CP dan 9,1% setelah
penerapan CP. Pasien demam tifoid tahun 2018 termasuk dalam kategori IVC yaitu pasien
dengan rekam medis 9953, 5062, 4067, 67, 3032, 2261, 6684, 6167, 1853, 9943, 3831, 6405,
7112, 4884, 6928, 6612, 3515, 5554, 6277, 5369, 5802, 58085 dan 34 terlampir 1. Pasien demam
tifoid tahun 2020 yang termasuk dalam kategori IVC adalah pasien dengan rekam medis 635,
5906, 4816, 6720, 1968, 9562, 2513, 4967, 6224 dan 1528. Penggunaan obat dengan merek atau
3. kategori IVD
Kategori IVD merupakan antibiotik yang berspektrum luas, sedangkan alternatifnya
berspektrum lebih sempit. Pemilihan antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit didasarkan
pada hasil kultur atau dari pola sensitivitas antibiotik. Pada keadaan tertentu pemberian
antibiotik spektrum luas masih dibenarkan, namun setelah diperoleh hasil kultur bakteri perlu
dilakukan penyesuaian dan evaluasi. Hasil evaluasi berdasarkan metode Gyssens tidak
4. Kategori IIIA
Kategori IIIA adalah bila waktu pemberian antibiotik terlalu lama dibandingkan dengan waktu pemberiannya
terapi yang seharusnya. Penggunaan antibiotik dengan dosis yang terlalu lama menjadi salah satu penyebab terjadinya
135
resistensi antibiotik. Antibiotik yang termasuk dalam kategori IIIA pada penelitian ini sebanyak 0,9% setelahnya
Halaman
Jilid 4
136
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
penerapan CP karena terdapat resep antibiotik dengan durasi penggunaan melebihi pedoman
yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya di salah satu rumah sakit pemerintah di Provinsi
Bali pada tahun 2019, 40% masuk dalam kategori penggunaan antibiotik terlalu lama8. Pasien
yang masuk dalam kategori IIIA adalah pasien dengan rekam medis 7395, alasannya pemberian
5. Kategori IIIB
Kategori IIIB adalah bila waktu pemberian antibiotik terlalu singkat dibandingkan dengan waktu pemberiannya
terapi yang seharusnya. Penggunaan antibiotik dengan dosis yang terlalu pendek dapat menurunkan
efektivitas antibiotik sebagai pembunuh bakteri dan juga dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi
antibiotik. Antibiotik yang termasuk dalam kategori IIIB pada penelitian ini sebanyak 39,1% sebelum
penerapan CP dan 10,9% akibat peresepan antibiotik dengan durasi penggunaan yang terlalu singkat
berdasarkan pedoman yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya di RSUD Pemprov Bali tahun 2019,
terdapat 5% yang masuk dalam kategori penggunaan antibiotik terlalu lama. Pasien demam tifoid tahun
2018 yang masuk kategori IIB dengan rekam medis 8693, 3270, 7319, 7802, 1693, 8477, 6855, 4927, 8666,
297, 5012,8902, 6119, 2611, 5303, 4680, 7499, 6 667 , 6794, 9490, 8836, 3342 dan 3205.
6. Kategori IIA
Kategori IIA adalah pemberian antibiotik yang tidak sesuai dosis dari yang seharusnya. Dosis
antibiotik yang tidak tepat disebabkan oleh pemberian dosis yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Dosis
yang terlalu rendah akan mengakibatkan tidak tercapainya tingkat efektif minimum, namun bila dosis
yang diberikan terlalu tinggi dikhawatirkan dapat menimbulkan toksisitas. Hasil evaluasi berdasarkan
7. Kategori IIB
Kategori IIB adalah pemberian antibiotik dengan interval yang tidak tepat dari yang
seharusnya. Hasil evaluasi berdasarkan metode Gyssens tidak ditemukan kasus peresepan antibiotik
kategori IIB.
8. kategori IIC
Kategori IIC merupakan rute pemberian antibiotik dengan rute pemberian yang
tidak tepat, tidak sesuai rute yang dianjurkan atau tidak sesuai dengan kondisi pasien. Cara
pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat dan tujuan penggunaan obat sehingga
dapat memberikan efek terapeutik yang tepat. Hasil evaluasi berdasarkan metode Gyssens
tidak ditemukan kasus peresepan antibiotik kategori IIC
136
Halaman
Jilid 4
137
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
9. Kategori I
Kategori I adalah penggunaan antibiotik dianggap tidak tepat waktu apabila waktunya tidak tepat
setiap hari. Hasil evaluasi berdasarkan metode Gyssens tidak ditemukan kasus peresepan antibiotik
kategori I
10. Kategori 0
Penggunaan antibiotik yang tepat, yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum yang
sempit, dalam kondisi yang ketat dengan dosis, interval, dan durasi pemberian yang tepat. Hasil
evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens diperoleh hasil terapi
antibiotik pada pasien demam tifoid sebesar 40% sebelum penerapan CP dan 57,3% setelah
penerapan CP yang tergolong penggunaan rasional (kategori 0). Pada penelitian sebelumnya di
RSUD Pemprov Bali tahun 2019, sebanyak 40% masuk dalam kategori penggunaan antibiotik
rasional.
sebelum
setelah CP
HasilKlinis CP Nilai-P
(2020)
(2018)
Irasional 71 47
0,004
Rasional 44 63
Hasil Uji Pearson menunjukkan P-value sebesar 0,004 < 0,05. Disimpulkan
terdapat perbedaan rasionalitas sebelum dan sesudah prestasi, maka Ho ditolak.
Dalam dokumen rekam medis sebelum adanya Clinical Pathway, terdapat beberapa
tindakan yang belum dilakukan sebelumnya, yaitu tidak adanya pemeriksaan fungsi hati dan
pemeriksaan widal. Dan masih ada pemeriksaan lainnya yaitu urine dan feses. Kondisi ini
mempengaruhi kualitas antibiotik yang diberikan. Setelah diterapkan Clinical Pathway, angka
rasionalnya meningkat menjadi 63 atau sekitar 75% dibandingkan sebelum diterapkan Clinical
Pathway. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Adiwisastra dkkpenerapan CP dapat
Jalur Klinismenguraikan metode atau instrumen yang digunakan dalam diagnosis dan pengobatan
pasien yang meliputi urutan kegiatan dan waktu yang dilakukan oleh dokter, perawat, dan seluruh
137
tenaga medis. Metode ini telah banyak digunakan di rumah sakit di seluruh Amerika
Halaman
Jilid 4
138
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
Amerika, Australia dan Inggris.Jalur Klinisdiciptakan melalui upaya kolaboratif dokter, perawat,
apoteker, fisioterapis dan profesional kesehatan terkait lainnya dengan tujuan meningkatkan kualitas
pelayanan pasien.Jalur Klinistelah terbukti mengurangi variasi yang tidak perlu dalam perawatan
pasien, mengurangi penundaan pemulangan melalui perencanaan pemulangan yang lebih efisien,
dan meningkatkan efektivitas biaya layanan klinis. Pendekatan dan tujuan jalur klinis konsisten
dengan manajemen kualitas total dan peningkatan kualitas berkelanjutan, dan pada dasarnya
e (gram/pati
Penggunaan
kode*)
)
jam dari
(gram) hari***
Tinggal
)
tidak)
Informasi
:
P: Parenteral *) diperoleh dari pedoman WHO 2021 **) Total pemakaian/DDD WHO ***) Pemakaian DDD x 100/LOS
Tabel V.6. Evaluasi Kuantitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Rawat Inap Demam Tifoid
Total
DDD SIAPA*) HDD/100
Jenis dari ATC Jumlah Penggunaan Penggunaan DDD Panjang
Sabar
mengusir
(gram/pasien
Antibiotik kode*) e (gram) (sabar)**)
T)
jam dari
hari***)
Tinggal
138
Jilid 4
139
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
Informasi :
P: Parenteral *) diperoleh dari pedoman WHO 2021 **) Total pemakaian/DDD WHO ***) Pemakaian DDD x 100/LOS
Pada Tabel V.5 dan V.6 tentang evaluasi kuantitas penggunaan antibiotik dengan metode
ATC/DDD menunjukkan bahwa penggunaan ceftriaxone mempunyai nilai DDD/100 Pasien hari
tertinggi baik sebelum maupun sesudah penerapan CP. Dimana pada tahun 2018 berjumlah 81,
artinya dari 100 pasien setiap hari terdapat 81 pasien, dan pada tahun 2020 terdapat 92,4 yang
berarti dari 100 pasien setiap hari terdapat 92-93 pasien yang mendapat ceftriaxone 2 gram per
hari. . Data kuantitas penggunaan antibiotik menyatakan bahwa semakin besar nilai DDD/100 pasien
Kuantitas penggunaan antibiotik ceftriaxone mempunyai nilai yang tinggi, sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sukmawati pada tahun 2020 di RSUD Pemprov Bali menunjukkan
ceftriaxone merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan untuk terapi penyakit tipes dengan nilai
83,80 DDD/100 Pasien8. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Enjelina pada tahun 2021 diketahui pula
bahwa antibiotik ceftriaxone paling banyak digunakan di RSUD Samarinda dengan nilai DDD/100 Patient
Penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan nilai DDD yang tinggi dan
dipengaruhi oleh banyaknya nilai gram antibiotik yang digunakan. Beberapa faktor yang diduga
mempengaruhi kuantitas penggunaan antibiotik, antara lain tingginya frekuensi penggunaan antibiotik
dan durasi penggunaan antibiotik yang melebihi standar pedoman penggunaan antibiotik.
Tabel V.7.Analisis Jenis Antibiotik dengan hasil DDD/100 pasien hari sebelum CP
dan karenanyasudah CP
sebelum
Jenis dari setelah CP
Kode ATC CP Nilai-P Nilai-P
Antibiotik (2020)
(2018)
139
Halaman
Jilid 4
140
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
HDD/100 HDD/100
Sabar Sabar
hari hari
Tabel V.8 Analisis DDD/100 hari pasien sebelum CP dan sesudah CP (Hubungan
HDD/100
P-
Sabar N Cara
nilai-nilai
hari
terdapat perbedaan nilai DDD/100 pasien hari sebelum dan sesudah penerapan Clinical Pathway,
maka Ho ditolak (Lampiran 4 ). Artinya DDD/100 hari pasien pada tahun 2020 akan bertambah
sebesar 123,38 jika DDD/100 hari pasien pada tahun 2018 bertambah setiap satu tahun. Nilai
140
tersebut menunjukkan penggunaan DDD/100 hari pasien setiap tahunnya meningkat, hal yang
seharusnya tidak terjadi. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan DDD tinggi
Halaman
Jilid 4
141
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
nilai dan dipengaruhi oleh banyaknya nilai gram antibiotik yang digunakan22. Dampak
penerapan jalur klinis terhadap kuantitas penggunaan antibiotik sangat signifikan dengan
penerapan di lapangan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan kualitas penggunaan antibiotik antara sebelum dan sesudah
penerapan Clinical Pathway pada pasien rawat inap demam tifoid di RS FMC Bogor. Hal
ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
A. Pemberian antibiotik di RS FMC Bogor tahun 2018 sebelum CP sebanyak 60%
penggunaan antibiotik rasional (kategori 0) dan sebanyak 43,7% masuk dalam
kategori tidak rasional (Kategori I-VI) yang didominasi oleh kategori IIIA, IIB, IVA,
dan IVC.
B. Pemberian antibiotik di RS FMC Bogor tahun 2020 pasca CP sebanyak 40% penggunaan
antibiotik rasional (kategori 0) dan sebanyak 57,3% masuk dalam kategori irasional
(Kategori I-VI) yang didominasi oleh kategori IIIA , IIB, IVA, dan IVC.
REFERENSI
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat. Ancaman Resistensi Antibiotik
di Amerika Serikat 2019. Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat;
2019,H. 101-102
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Sistematis Demam Tifoid
Pengendalian 2013. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta 2013. jam 42-20
Ainil Maksura. Angka Kejadian Demam Tifoid Berdasarkan Pemeriksaan Serologis di PT
RS Universitas Hasanuddin Makassar, Puskesmas Tamalanrea Jaya dan
141
Jilid 4
142
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
Jeffrey, Robert, dkk. Beban Global Demam Tifoid dan Paratifoid: sebuah sistematik
analisis Global Burden of Disease Study 2017. Global Burden Amerika Serikat;
2017.hal 380-369
Pieter Hazmen, Shirly Kumala, Prih Sarnianto. Analisis Biaya Pengobatan Demam Tifoid
BerdasarkanJalur Klinisdi Rumah Sakit Ibu Harapan. Jurnal Profesi
Kedokteran. 2019; 13(2): 81-74.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan No.34 Tahun
2006 tentang Demam Tifoid. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2006. jam 28-3.
Grace D. Appiah, Michael J. Hughes, Kevin Chatham-Stephens. Buku Kuning CDC 2020.
Amerika Serikat: Bab 4 Penyakit Menular Terkait Perjalanan Demam Tifoid
dan Paratifoid: hal 5-1. [diakses 15 Juni 2022]. Diakses dari:https://
wwwnc.cdc.gov/travel/ yellowbook/2020/travel-related-infectiousdiseases/
typhoid-and-paratyphoid-fever
Sukmawati, Jaya, dkk. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien tipes rawat inap di a
RSUD Pemprov Bali menggunakan metode Gyssens dan ATC/DDD. Jurnal
Farmasi Udayana, Bali; 2020. hal 43-37
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan No
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2015.hlm 26-320
Jilid 4
143
Gandes Winarni, dkk/ Majalah Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Pesisir 4(2),2022, halaman 260-279
Vani R., Keri L., Ulasan: Penatalaksanaan Terapi Demam Tifoid: Farmakologis dan 2018
Studi Terapi Non Farmakologis. Jawa Barat: Suplemen Farmakologis 16 (1);
2018.hal 184-195
Gyssens, IC, 2005, Audit Pemantauan Kualitas Resep Antimikroba, Dalam: Gould,
IM, Van der Meer, Editor, Kebijakan Antibiotik: Teori dan Praktek Kluwer Academic
Publishers, New York: hal 192-208
Rampengan, NH 2013. Terapi Antibiotik Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada
Anak 2013. Manado: Sari Pediatri Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
2013; 14(5). hal 276-271
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006, Standar Pelayanan Medis, PB
PABDI, Jakarta.
Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis. Prinsip Internal Harrison
Kedokteran (edisi ke-16), 897-900.
Adiwisastra, Nuzul Gyanata, dkk. 2019.Efektifitas Penerapan Clinical Pathway di
Pasien Anak Gastroenteritis Akut (GEA) dengan Dehidrasi Dirawat Inap di RS
Permata Bekasi. Jurnal Profesi Kedokteran.Jilid 1, No.3 (2019) Firmansyah, Yohanes
dan Widjaja Gunawan. 2022. Penerapan Clinical Pathway dalam Kesehatan
Perawatan dan Akibat Hukumnya. Jurnal Kedokteran Hutama. Jil. 3 No.2
143
Halaman
Jilid 4