Anda di halaman 1dari 38

Proposal Penelitian

ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SELAMA


PANDEMI COVID-19 PADA PASIEN DEWASA DI RUANG ICU RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH PALAGIMATA KOTA BAUBAU

Oleh :
Nur Hikmah
O1A118117

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut sebuah studi dari Akademi Sains Nasional (NAS) Amerika Serikat
penggunaan antibiotik dunia meningkat 65% dari tahun 2000 sampai 2015 (Yulia
dkk., 2019). Penelitian yang dilakukan oleh Klein menjelaskan bahwa proyeksi
total antibiotik global hingga 2030 diperkirakan akan meningkat 15% (Mahdiyah
dkk., 2021). Secara umum, penggunaan antibiotik dan peresepan antibiotik telah
tinggi dan sering suboptimal, tidak hanya di negara berkembang, namun juga di
negara maju (Purwaningsih dkk., 2015). Di negara maju 13%-37% dari seluruh
pasien yang dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara tunggal
maupun kombinasi, sedangkan di negara berkembang menunjukkan angka 30-
80% (Anggraini dkk., 2020). Khusus untuk kawasan Asia Tenggara, penggunaan
antibiotik sangat tinggi bahkan lebih dari 80% di banyak provinsi di Indonesia
(Yarza dkk., 2015).
Intensive Care Unit (ICU) merupakan breeding ground dari bakteri yang
multiresisten antibiotik (Adisasmito dan Tumbelaka, 2016). Infeksi merupakan
masalah yang sering ditemui pada pasien yang dirawat di ruang ICU. Infeksi
nosokomial juga ditemukan lebih banyak terjadi di ruang ICU (Anggriani dkk.,
2018). Dalam studi prevalensi pada satu hari yang melibatkan 1265 ICU dari 76
negara, 51% persen pasien didapatkan mengalami infeksi nasokomial (Anasa,
2015). Antibiotik merupakan obat yang sering digunakan untuk mengatasi
masalah infeksi ini (Yuniar dkk., 2016).
Penggunaan antibiotik di ruang ICU cukup tinggi. Penggunaan antibiotik
untuk berbagai kasus di rawat inap dewasa periode April-Juni 2018 di Rumah
Sakit Swasta Kabupaten Karawang diperoleh 141 (85,45%) pasien (Astuti dan
Arfania, 2018). Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Sutomo Surabaya dan
Rumah Sakit Kariadi Semarang, 84% pasien rawat inap termasuk pasien
bedah/kebidanan dan ICU mendapat antibiotik (Katarnida dkk., 2014). Pola
penggunaan antibiotik pada pasien ICU di Rumah Sakit Dr. Soedarso Pontianak
periode Januari–Juni 2019, antibiotik yang paling banyak digunakan adalah

1
antibiotik seftriakson tunggal (49,35%) dan kombinasi (15,59%) (Putri dkk.,
2019). Hal yang sama juga dijumpai pada penelitian di salah satu rumah sakit
swasta di Bandung bahwa antibiotik paling banyak digunakan di ruang ICU
adalah antibiotik seftriakson (42,10%) (Anggriani dkk., 2018).
Tingginya penggunaan antibiotik di ICU, ditambah sejak adanya pandemi
COVID-19 menyebabkan penggunaan antibiotik di ICU semakin meningkat.
Banyaknya pasien dengan COVID-19 yang kritis dan harus dirawat di ruang ICU
menyebabkan beban besar pada ICU. Hal ini menunjukkan bahwa selama
pandemi COVID-19 jumlah pasien yang dirawat di ruang ICU meningkat
(Wijayanti dkk., 2021). Sebuah telaah sistematik pada 24 studi individual yang
melibatkan 3.338 pasien COVID-19 menunjukkan antibiotik digunakan pada
71,9% pasien, meskipun koinfeksi bakteri dan infeksi sekunder oleh bakteri
didiagnosis hanya pada 3,5% dan 14,3% pasien secara berurutan (Sinto, 2020). Di
Indonesia, pada salah rumah sakit di Bandung, azitromisin adalah antibiotik yang
terbanyak digunakan (40,42%) untuk pengobatan pasien COVID-19, dan
kombinasi antibiotik terbanyak adalah azitromisin dan seftriakson (28,03%) (Lisni
dkk., 2021).
Penggunaan antibiotik yang tinggi berpotensi pada penggunaan antibiotik
yang tidak rasional. Berbagai studi menemukan sebanyak 40-62% peresepan
antibiotik di Indonesia tidak tepat (Yulia dkk., 2019). Hasil studi di Indonesia,
Pakistan dan India menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien diresepkan
antibiotik, dan hampir 90% pasien mendapatkan suntikan antibiotik yang
sebenarnya tidak diperlukan (Anasa, 2015).
Penelitian tentang kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah
sakit ditemukan 30-80% tidak didasarkan pada indikasi yang tepat. Penggunaan
antibiotik tanpa indikasi di RSUP Dr Kariadi menunjukkan angka 20-53%,
sedangkan pada terapi antibiotik profilaksis tanpa indikasi sebanyak 43-81%
(Anggraini dkk., 2020). Evaluasi di dua rumah sakit pendidikan di Indonesia
menunjukkan hanya 21% peresepan antibiotik yang tergolong rasional. Pada
penelitian oleh Purwaningsih dkk., (2015) hasil evaluasi penggunaan antibiotik
menggunakan metode Gyssens, 23,9% antibiotik rasional dan 76,1% antibiotik

2
tidak rasional (Purwaningsih dkk., 2015). Penelitian lainnya dengan metode yang
sama di salah satu rumah sakit pemerintah Provinsi Bali tahun 2019, ditemukan
sebanyak 40% penggunaan antibiotik termasuk dalam kategori rasional dan 60%
lainnya termasuk ke dalam penggunaan antibiotik yang tidak rasional (Sukmawati
dkk., 2020).
Menurut penelusuran data pasien yang dirawat di ruang ICU RSUD
Palagimata Kota Baubau, diperoleh pasien yang mendapatkan perawatan di ruang
ICU RSUD Palagimata Kota Baubau tahun 2021 berjumlah 146 pasien mulai dari
bayi sampai lansia. Tercatat dari 146 pasien, terdiri dari pasien bayi 25 orang,
pasien anak 15 orang, pasien remaja 4 orang, pasien dewasa 72 orang, dan pasien
lansia 30 orang (RSUD Palagimata Kota Baubau, 2021).
Tingginya penggunaan antibiotik secara tidak tepat dikalangan masyarakat
saat ini menyebabkan terjadinya masalah resistensi antibiotik. Permasalahan
resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang
menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan
lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi (Wowiling dkk.,
2013). WHO telah membuat perencanaan aksi global untuk memerangi resistensi
antibiotik dengan meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijak dan dengan
melakukan evaluasi penggunaan antibiotik. Evaluasi antibiotik dapat dilakukan
secara kuantitatif dengan menggunakan Anatomical Therapeutic
Chemical/Defined Daily Dose (ATC/DDD) dan secara kualitatif dengan metode
Gyssens (Pratama dkk., 2019). Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang analisis kerasionalan penggunaan antibiotik selama
pandemi COVID-19 pada pasien dewasa di ruang ICU RSUD Palagimata Kota
Baubau.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana gambaran penggunaan antibiotik selama pandemi COVID-19
pada pasien dewasa di ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau?

3
2. Bagaimana rasionalitas dan jumlah penggunaan antibiotik ditinjau dari
klasifikasi ATC/DDD dan metode DU 90% selama pandemi COVID-19 pada
pasien dewasa di ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau?
3. Bagaimana rasionalitas penggunaan antibiotik ditinjau dari metode Gyssens
selama pandemi COVID-19 pada pasien dewasa di ruang ICU RSUD
Palagimata Kota Baubau?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui gambaran penggunaan antibiotik selama pandemi COVID-
19 pada pasien dewasa di ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau.
2. Untuk mengetahui bagaimana rasionalitas dan jumlah penggunaan antibiotik
ditinjau dari klasifikasi ATC/DDD dan metode DU 90% selama pandemi
COVID-19 pada pasien dewasa di ruang ICU RSUD Palagimata Kota
Baubau.
3. Untuk mengetahui bagaimana rasionalitas penggunaan antibiotik ditinjau dari
metode Gyssens selama pandemi COVID-19 pada pasien dewasa di ruang
ICU RSUD Palagimata Kota Baubau.

1.4 Manfaat Penelitian


Berdasarkan tujuan diatas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat antara lain:
1. Bagi peneliti, diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang analisis
rasionalitas penggunaan antibiotik.
2. Bagi institusi pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
referensi sebagai bahan penelitian lanjutan yang lebih mendalam pada masa
yang akan datang.
3. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, diharapkan menjadi bahan
pengembangan dalam penggunaan ilmu pengetahuan mengenai penggunaan
antibiotik.

4
4. Bagi masyarakat, diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan dan kepuasan
pasien akan ketersediaan dan keterjangkauan obat yang dibutuhkan sehingga
kualitas kesehatan masyarakat meningkat.

5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ICU (Intensive Care Unit)


2.1.1 Definisi ICU (Intensive Care Unit)
Intensive Care Unit (ICU) menurut WHO merupakan suatu bagian dari
rumah sakit yang mandiri, dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang
khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang
menderita penyakit akut, cedera atau penyakit-penyakit yang mengancam nyawa.
ICU merupakan area kegiatan medis yang dikondisikan dengan baik dan
disesuaikan untuk mengobati kondisi yang mengancam jiwa dan kritis (Hasibuan,
2020).
ICU adalah bagian dari bangunan rumah sakit dengan kategori pelayanan
kritis, selain instalasi bedah dan instalasi gawat darurat. ICU merupakan instalasi
pelayanan khusus di rumah sakit yang menyediakan pelayanan yang komprehensif
dan berkesinambungan selama 24 jam. Dalam rangka mewujudkan ICU yang
memenuhi standar pelayanan dan persyaratan mutu, keamanan dan keselamatan
perlu didukung oleh bangunan dan prasarana (utilitas) yang memenuhi
persyaratan teknis (Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2012).
ICU merupakan sebuah unit pelayanan perawatan, dalam kegiatannya selalu
padat menangani dan merawat pasien yang kondisinya kritis dengan
penatalaksaan bantuan hidup serta pengawasan intensif. Beban kerja yang sibuk di
ruang ICU sehingga perawat lebih memfokuskan pelayanan kepada pasien
dibandingkan ke keluarganya yang sedang menunggu di ruang tunggu (Pondi
dkk., 2020).

2.1.2 Tugas dan Fungsi ICU


Menurut Keputusan Kementrian Kesehatan No. 1778 (2010) disebutkan
bahwa ruang ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri dengan staf
dan perlengkapan yang khusus. Ruang ICU ditujukan untuk observasi dan terapi
pasien yang menderita penyakit mengancam nyawa, sehingga dibutuhkan
perawatan yang cepat tepat cermat dan aman baik secara jasmani, rohani, sosial

6
spiritual budaya dan politik, hal yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia (Hasibuan, 2020).
ICU merupakan unit di rumah sakit yang berfungsi untuk perawatan pasien
kritis, gawat, atau klien yang mempunyai risiko tinggi kegawatan, penyakit akut,
cedera atau penyakit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa
yang diharapkan masih reversibel (dapat pulih kembali) (Rosidawati dan Hodijah,
2019). Tujuan dari ICU antara lain yaitu menyelamatkan kehidupan; mencegah
terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui observasi dan monitoring
evaluasi yang ketat disertai kemampuan menginterpretasikan setiap data yang
didapat dan melakukan tindak lanjut; meningkatkan kualitas pasien dan
mempertahankan kehidupan; mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh
pasien; mengurangi angka kematian pasien kritis dan mempercepat proses
penyembuhan pasien (Suwardianto, 2020).

2.1.3 Kriteria Pasien ICU


Beberapa kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah pasien
berat, kritis, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan
ventilator, pemberian obat vasoaktif, melalui infus secara terus menerus,
contohnya gagal nafas berat dan syok septik. Pasien yang memerlukan
pemantauan intensif invasive atau non invasive sehingga komplikasi berat dapat
dihindari atau dikurangi, contohnya paska bedah besar, pasien dengan penyakit
jantung, paru, ginjal, atau lainnya. Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk
mengatasi komplikasi akut, sekalipun manfaat ICU sedikit, contohnya pasien
dengan tumor ganas metastatis dengan komplikasi (Suwardianto, 2020).

2.2 Antibiotik sebagai Antiinfeksi


2.2.1 Infeksi
Infeksi merupakan masalah kesehatan yang masuk ke dalam sepuluh
penyakit terbanyak di Indonesia. Infeksi merupakan kondisi masuknya organisme
patogen seperti virus, jamur, atau bakteri ke dalam tubuh dan menyebabkan
penyakit (Rachmawati dkk., 2020). Penyakit infeksi adalah penyakit yang

7
disebabkan oleh berbagai agen infeksi yang meliputi virus, bakteri, parasit,
maupun jamur. Agen infeksi biasanya ada di alam dan akan masuk ke dalam
tubuh sehingga menimbulkan penyakit pada tubuh, dengan gejala seperti demam,
muntah-muntah, diare, hilangnya nafsu makan, rasa sakit disekujur tubuh dan
lain-lain. Kematian dapat terjadi akibat penanganan yang tidak memadai (Besung,
2012).
Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan yang utama di beberapa
negara, khususnya di negara berkembang. Penyebab infeksi disebabkan oleh
sejumlah mikroorganisme seperti bakteri yang bersifat patogen yang biasa dikenal
dengan kuman penyakit (Pratiwi, 2017). Salah satu upaya masyarakat dalam
mengobati penyakit yang disebabkan oleh adanya infeksi bakteri adalah dengan
penggunaan antibiotik. Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam
penatalaksanaan penyakit infeksi yang bertujuan untuk membunuh atau
menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain. Pemilihan antibiotik
harus didasarkan pada pola kuman dan pola resistensi, karena mikroorganisme
dan sensitivitasnya terhadap antibiotik senantiasa berubah (Suryoputri dkk.,
2021).

2.2.2 Definisi Antibiotik


Antibiotik adalah zat yang secara alami dihasilkan oleh suatu
mikroorganisme untuk menghambat patogenisitas mikroorganisme yang lain.
Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia
harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin (Pratomo dan Dewi,
2018). Antibiotik merupakan zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi atau
bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil.
Turunan zat-zat yang dibuat secara semi sintesis tersebut juga termasuk kelompok
antibiotik, begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Pratiwi, 2017).
Antibiotik merupakan golongan obat keras yang hanya bisa didapatkan dengan
resep dokter dan diperoleh di apotek. Jika dalam menggunakan antibiotik tidak

8
memperhatikan dosis pemakaian dan peringatan maka dapat menimbulkan efek
yang berbahaya bagi tubuh, yaitu resistensi antibiotik (Yarza dkk., 2015).
Penggunaan antibiotik harus memperhatikan waktu, frekuensi dan lama
pemberian sesuai rejimen terapi dan memperhatikan kondisi pasien. Penggunaan
antibiotik lebih dari satu jenis dan dalam waktu lama seringkali untuk penanganan
komplikasi infeksi berat di rumah sakit yang merupakan salah satu faktor pemicu
terjadinya resistensi bakteri (Putri dkk., 2019).

2.2.3 Data Penggunaan Antibiotik


Tingginya penggunaan antibiotik untuk penyakit infeksi meningkatkan
risiko penggunaan antibiotik secara tidak tepat yang dapat mengakibatkan tujuan
terapi tidak tercapai. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40–62% antibiotik
digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya
tidak memerlukan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat
meningkatkan risiko resistensi yang berujung pada morbiditas bahkan mortalitas.
Resistensi menyebabkan dampak terhadap peningkatan jumlah kematian dan
beban ekonomi, karena perpanjangan lama rawat inap, penggunaan antibiotik
yang lebih mahal dan lebih lama (Farida dkk., 2020).

2.2.4 Penggolongan Antibiotik


Secara umum penggolongan antibiotik dapat dibagi dalam beberapa
klasifikasi yaitu berdasarkan struktur kimia, sifat toksisitas selektif, dan
aktivitasnya.
a. Penggolongan antibiotik berdasarkan struktur kimia, terdiri dari (Yanty dan
Oktarlina, 2018):
1. Senyawa Beta-laktam dan Penghambat Sintesis Dinding Sel Lainnya
Mekanisme aksi penisilin dan antibiotik yang mempunyai struktur mirip
dengan β-laktam adalah menghambat pertumbuhan bakteri melalui
pengaruhnya terhadap sintesis dinding sel. Dinding sel ini tidak
ditemukan pada sel-sel tubuh manusia dan hewan, antara lain: golongan
penisilin, sefalosporin dan sefamisin serta betalaktam lainnya.

9
2. Kloramfenikol, Tetrasiklin, Makrolida, Clindamisin dan Streptogramin
Golongan agen ini berperan dalam penghambatan sintesis protein bakteri
dengan cara mengikat dan mengganggu ribosom, antara lain:
kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida, klindamisin, streptogramin,
oksazolidinon.
3. Aminoglikosida
Golongan aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin,
kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomicin, etilmicin, dan
lain-lain.
4. Sulfonamida, Trimethoprim, dan Quinolones
Sulfonamida merupakan antibiotik yang bekerja secara kompetitif
menghambat sintesis dihidropteroat. Antibiotik golongan sulfonamida,
antara lain sulfasitin, sulfisoksazole, sulfamethizole, sulfadiazine,
sulfamethoksazole, sulfapiridin, dan sulfadoxine. Golongan trimethoprim
dan kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol merupakan antiobiotik yang
cara kerjanya menghambat bakteri melalui jalur asam dihidrofolat
reduktase dan menghambat aktivitas reduktase asam dihidrofolik
protozoa sehingga menghasilkan efek yang sinergis. Fluoroquinolon
adalah quinolones yang mempunyai mekanisme menghambat sintesis
DNA bakteri pada topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV.
Golongan obat ini adalah asam nalidiksat, asam oksolinat, sinoksasin,
siprofloksasin, levofloksasin, slinafloksasin, enoksasin, gatifloksasin,
lomefloksasin, moxifloksasin, norfloksasin, ofloksasin, sparfloksasin dan
trovafloksasin dan lain-lain.
b. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, penggolongan antibiotik dibagi menjadi
dua, yaitu (Yanty dan Oktarlina, 2018):
1. Obat-obat bakteriostatik bekerja dengan cara menahan pertumbuhan dan
replikasi bakteri pada kadar serum yang dapat dicapai oleh pasien,
sehingga menghambat penyebaran infeksi saat sistem kekebalan tubuh
menyerang, memindahkan, dan mengeleminasi patogen.

10
2. Obat-obat bakterisidal membunuh bakteri pada kadar obat dalam serum
yang dapat dicapai pasien.
c. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan menjadi dua, yaitu
(Yanty dan Oktarlina, 2018):
1. Antibiotik spektrum luas (broad spectrum) merupakan antibiotik yang
dapat menghambat atau membunuh bakteri golongan gram positif
maupun negatif. Termasuk golongan ini yaitu tetrasiklin dan derivatnya,
ampisilin, kloramfenikol, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain.
Antibiotik berspektrum luas digunakan untuk mengobati penyakit infeksi
yang belum teridentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.
2. Antibiotik berspektrum sempit (narrow spectrum) efektif untuk melawan
satu jenis organisme. Contohnya eritromisin dan penisilin yang
digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram
positif.

2.2.5 Penggunaan Antibiotik


Antibiotik sebagai obat untuk menanggulangi penyakit infeksi,
penggunaannya harus rasional, tepat dan aman. Penggunaan antibiotik yang tinggi
di Indonesia memungkinkan terjadinya penggunaan yang berlebihan. Penggunaan
antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan dampak negatif, seperti
terjadinya kekebalan mikroorganisme terhadap beberapa antibiotik (resistensi
antibiotik), meningkatnya efek samping obat, meningkatnya morbiditas dan
mortalitas, beban biaya dan bahkan berdampak kematian. Penggunaan antibiotik
secara tidak tepat mengakibatkan tujuan terapi tidak tercapai dan terjadinya
resistensi terhadap antibiotik (Agistia dkk., 2017). Penggunaan antibiotik
dikatakan tepat bila efek terapi mencapai maksimal sementara efek toksik yang
berhubungan dengan obat menjadi minimum, serta perkembangan antibiotik
resisten seminimal mungkin (Pratiwi, 2017). Penggunaan antibiotik perlu
dimonitoring karena diketahui bahwa penggunaan antibiotik yang berlebihan
dapat meningkatkan terjadi resistensi (Pani dkk., 2015).

11
Penggunaan antibiotik rasional adalah penggunaan antibiotik yang sesuai
dengan diagnosis penyakit, ketentuan pemilihan yang tepat sehingga tepat sasaran
dengan efek samping sangat minimal. Penggunaan antibiotik berdasarkan indikasi
adalah penggunaan antibiotik yang mempunyai manfaat bagi pasien dengan
pemberian secara profilaksis dan pemberian terapeutik. Pemberian profilaksis
adalah penggunaan antibiotik pada keadaan tidak ada atau belum terdapat gejala
infeksi, untuk mencegah infeksi pada pasien yang mempunyai risiko terjadi
infeksi bakteri. Pemberian antibiotik secara terapeutik apabila antibiotik
digunakan pada keadaan infeksi. Pemberian antibiotik secara terapeutik, dapat
dilakukan secara empiris dan definitif. Terapi empiris adalah pemberian antibiotik
pada keadaan infeksi sebelum didapat hasil kultur bakteri dan uji kepekaan
terhadap antibiotik. Terapi definitif dilakukan berdasarkan hasil biakan bakteri
dan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik (Katarnida dkk., 2014).
Dalam pemberian antibiotik harus tepat dosis sehingga dapat membunuh
bakteri secara menyeluruh, jika tidak tepat maka bakteri akan resisten terhadap
obat tersebut. Apabila pemakaian antibiotik kurang dari waktu yang ditentukan
akan terjadi kegagalan pengobatan, adanya bakteri resisten terhadap obat
antibiotik tersebut, sehingga akan meningkatkan biaya yang mahal karena untuk
penanggulangan dari efek pemakaian obat yang tidak sesuai aturan (Nugroho
dkk., 2019).
Pemberian antibiotik sebaiknya dilakukan secara tepat sesuai dengan
indikasi, dimana disesuaikan dengan bakteri penyebab infeksi agar tujuan
penggunaan antibiotik sesuai hasil terapi yang diharapkan. Keberhasilan
penggunaan antibiotik ditentukan oleh beberapa factor, seperti: ketepatan dosis,
cara pemberian, frekuensi pemakaian, dan lama pemberian dalam menggunakan
obatnya (Purwaningsih dkk., 2015).

2.2.6 Resistensi Antibiotik


Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan dampak
negatif, seperti terjadi kekebalan/resistensi kuman terhadap satu atau beberapa
antibiotik, meningkatnya efek samping obat, pembengkakan biaya pelayanan

12
kesehatan dan bahkan kematian (Nurkusuma dan Dewi, 2017). Resistensi
terhadap antibiotik adalah perubahan kemampuan bakteri hingga menjadi kebal
terhadap antibiotik. Bakteri yang resisten terhadap antibiotik tidak akan terbunuh
oleh antibiotik, lalu berkembang biak dan menyebar sehingga menjadi lebih
berbahaya (Fatisa, 2013).
Resistensi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: mikroorganisme
menghasilkan enzim yang merusak zat aktif, mikroorganisme mengubah
permeabilitas membran terhadap obat, perubahan struktur sasaran obat, perubahan
lintasan metabolisme, dan mikroorganisme mengubah enzim yang berfungsi
untuk metabolismenya menjadi kurang aktif terhadap obat (Lisni dkk., 2021).
Penyebab utama resistensi antibiotik ialah penggunaannya yang meluas dan
irasional (Wowiling dkk., 2013). Salah satu faktor penyebab resistensi antibiotik
adalah ketidakpatuhan pasien terhadap penggunaan antibiotik itu sendiri.
Ketidakpatuhan dan ketidakpahaman pasien dalam penggunaan antibiotik menjadi
penyebab gagalnya terapi obat antibiotik. Sedangkan faktor terjadinya
penyalahgunaan yang menggunakan antibiotik ialah kurangnya pengetahuan
pasien mengenai antibiotik (Anggraini dkk., 2020).
Resistensi tidak dapat dihilangkan namun dapat diperlambat dengan cara
menggunakan antibiotik dengan bijak. Berbagai cara perlu dilakukan untuk
menanggulangi masalah resistensi antimikroba ini baik di tingkat perorangan
maupun di tingkat institusi atau lembaga pemerintahan, dalam kerja sama antar-
institusi maupun antar-negara (Ridwan dkk., 2019).

2.3 Evaluasi Penggunaan Antibiotik


Salah satu cara untuk memastikan penggunaan antibiotik yang bijak dan
bertanggung jawab adalah dengan mengevaluasi penggunaan antibiotik
(Rachmawati dkk., 2020). Evaluasi penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan
dua metode yaitu secara kuantitatif dan kualitatif (Katarnida dkk., 2014).
Evaluasi kuantitatif dapat dilakukan dengan metode (Anatomical
Therapeutic Chemical/Defined Daily Doses) ATC/DDD. Metode DDD
merupakan metode evaluasi penggunaan obat yang dikembangkan oleh World

13
Health Organization (WHO). WHO menetapkan metode spesifik dan
terstandarisasi untuk klasifikasi penggunaan antibiotik yaitu Anatomical
Therapeutic Chemical (ATC) dan pengukuran kuantitas antibiotik Defined Daily
Dose (DDD)/100 patient-days (Rukminingsih dan Apriliyani, 2021). Klasifikasi
ATC adalah sistem pengelompokan zat aktif sesuai tempat aksinya dan DDD
adalah sistem pengukuran yang terhubung dengan kode ATC. DDD merupakan
asumsi rata-rata dosis obat perhari pasien dewasa. ATC/DDD dapat
menggambarkan peresepan antibiotik di suatu populasi (Rachmawati dkk., 2020).
Metode ATC/DDD merupakan metode klasifikasi dan pengukuran
penggunaan obat yang saat ini telah menjadi salah satu pusat perhatian dalam
pengembangan penelitian penggunaan obat. Penggunaan metode ATC/DDD dapat
diintegrasikan dengan DU (Drug Untilization) 90% untuk mengidentifikasi
segmen penggunaan terbanyak dalam studi penggunaan obat di suatu populasi.
Badan Kesehatan Dunia (WHO), sejak 1996 menganjurkan penggunaan ATC
(Anatomical Theraupetic Chemical) bersamaan dengan unit DDD (Defined Daily
Dose) sebagai standar untuk memperoleh data yang baku (Andriani dkk., 2020).
Sistem ATC/DDD dapat digunakan untuk mengukur intensitas obat yang
dikonsumsi secara luas di masyarakat sehingga penggunaan obat di suatu negara
atau wilayah dapat dimonitor dengan baik. Data tersebut berguna untuk
mengetahui perubahan penggunaan obat dari waktu ke waktu. Selain itu, data
tersebut dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi penggunaan obat yang salah
(misuse), kurang (underuse), dan berlebihan (overuse), dan untuk melakukan
perbandingan penggunaan obat. Evaluasi kuantitatif dengan menggunakan metode
DDD merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan penggunaan antibiotik secara
bijak (Pratama dkk., 2019).
Evaluasi kualitatif penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan menggunakan
metode Gyssens. Evaluasi penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens
bertujuan untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotik (Sukmawati dkk., 2020).
Evaluasi kualitatif penggunaan antibiotik pada pasien infeksi yaitu, (1) Tepat
indikasi, kriteria pengobatan yang sesuai dengan indikasi dinilai dari obat yang
diberikan kepada pasien sesuai dengan diagnosa dokter; (2) Tepat pasien, kriteria

14
pengobatan yang sesuai dengan ketepatan pasien adalah apabila pemberian obat
tidak mempunyai kontraindikasi terhadap pasien infeksi. Selain itu, kriteria lain
yang perlu dipertimbangkan saat menilai ketepatan pasien yaitu dengan melihat
kondisi penyakit penyerta yang diderita oleh pasien. Hal tersebut juga akan
memengaruhi penentuan kontraindikasi pengobatan antibiotik kepada pasien
infeksi; (3) Tepat obat, pengobatan dikatakan tepat obat jika pemberian obat
kepada pasien merupakan pilihan pertama (Drug of Choice) sesuai dengan
Permenkes No. 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik, dan
Antibiotik Guideline Jhon Hopkins 2015-2016; (4) Tepat dosis, pengobatan
dikatakan memenuhi kriteria ketepatan dosis jika pemberian sudah seusai dengan
parameter tepat besaran dosis, frekuensi pemberian, rute pemberian, dan durasi
penggunaan obat. Pasien yang tidak memenuhi keempat kriteria tersebut tidak
bisa dikatakan rasional dalam penggunaan obat (Dirga dkk., 2021).

2.4 Metode Kuantitatif dan Kualitatif


Metodologi secara umum didefinisikan sebagai ”a body of methods and
rules followed in science or discipline”. Sedangkan metode sendiri adalah ”a
regular systematic plan for or way of doing something”. Kata metode berasal dari
istilah Yunani methodos (meta+bodos) yang artinya cara (Somantri, 2004).
Metode penelitian adalah rangkaian prosedur kerja ilmiah yang dilakukan
sistematis, terarah dan objektif di dalam rangka memecahkan masalah penelitian.
Rangkaian yang dimaksud dimulai dari saat rancangan penelitian mulai disusun,
pengumpulan dan analisis data, pembuatan laporan hingga pada implikasi
(Zaluchu, 2020).
Penelitian kuantitatif mengacu pada jumlah dan ukuran. Sebaliknya,
Penelitian kualitatif akan mengacu pada: konsep dari makna, definisi,
karakteristik, metafora, simbol dan hal lain berkaitan dengan deskripsi. Dalam
memaknai hasil, penelitian kuantitatif mencoba mengurai keluasan hasil studi dan
menggeneralisasi sebagai kebenaran atau fakta empiris secara umum, sedangkan
penelitian kualitatif mengkaji kedalaman fakta atau kejadian, sehingga bersifat

15
lokal dan tidak dalam rangka generalisasi temuan empiris sebagai kejadian umum
(Firmansyah dkk., 2021).

2.4.1 Metode Kuantitatif ATC/DDD dan DU 90%


Evaluasi data secara kuantitatif menggunakan metode ATC/DDD yaitu
sistem klasifikasi obat berdasarkan anatomical therapeutic chemical dan
pengukuran penggunaan obat menggunakan defined dailiy dose berdasarkan
pedoman yang dikeluarkan oleh WHO Collaborating Centre for Drug Statistic
Methodology tahun 2011 dengan satuan DDD/100 patient days (Dirga dkk.,
2021). Sistem klasifikasi ATC digunakan untuk mengklasifikasikan obat. Sistem
ini dikontrol oleh WHO Collaborating Centre for Drug Statistic Methodology,
dan pertama kali dipublikasikan tahun 1976 (Destiani dkk., 2016).
Obat dibagi menjadi kelompok yang berbeda menurut organ atau sistem
dimana obat tersebut beraksi dan atau berdasarkan karakteristik terapeutik dan
kimianya. Obat diklasifikasikan menjadi kelompok-kelompok pada lima level
yang berbeda. Level pertama adalah kelompok yang paling luas, obat dibagi
menjadi 14 kelompok utama anatomi (Tabel 2.1). Level kedua adalah kelompok
utama farmakologi dan terdiri dari dua digit. Level ketiga adalah kelompok
farmakologi dan terdiri dari satu huruf. Level keempat adalah kelompok kimia
dan terdiri dari satu huruf. Level kelima adalah kelompok zat kimia dan terdiri
dari dua digit (Destiani dkk., 2016).

16
Tabel 2.1 Level pertama klasifikasi ATC (Nanni dkk, 2020)

Kode Keterangan

A Saluran pencernaan dan metabolism

B Darah dan organ pembentuk darah

C System kardiovaskular

D Dermatologis

G Hormon sistem urin dan hormon seks

H Persiapan hormonal sistemik, kecuali hormon seks dan insulin

J Antiinfeksi untuk penggunaan sistemik

L Agen antineoplastic dan imunomodulasi

M Sistem musculoskeletal

N Sistem saraf

P Produk antiparasit, insektisida, dan repellents

R Sistem pernapasan

S Organ sensorik

V Various

Kuantitas penggunaan antibiotik di rumah sakit dapat dihitung


menggunakan satuan DDD/100 patient days dengan rumus pembagi LOS (Length
of Stay). Antibiotik yang telah didata kemudian dikategorikan berdasarkan sistem
klasifikasi Anatomical Therapeutic Chemical (ATC). Informasi kuantitas
penggunaan antibiotik dapat menjadi prediksi kerasionalan maupun
ketidakrasionalan penggunaan obat (Dirga dkk., 2021).
Tujuan dari sistem ATC/DDD adalah sebagai sarana untuk penelitian
penggunaan obat dalam upaya meningkatkan kualitas penggunaan obat (Pani dkk.,

17
2015). Rumus untuk menghitung DDD/100 patient days adalah sebagai berikut
(Firdaus dkk., 2021):

𝐷𝐷𝐷 ⁄100 𝑝𝑎𝑡𝑖𝑒𝑛𝑡 𝑑𝑎𝑦𝑠 =


𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 (𝑔𝑟𝑎𝑚) 100
×
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑊𝐻𝑂 (𝑔𝑟𝑎𝑚) 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑜𝑆 (𝑙𝑎𝑚𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑟𝑎𝑤𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑎𝑝)

Keterangan :
1. Jumlah antibiotik yang digunakan pasien (gram) adalah penggunaan
antibiotik yang dinyatakan dalam gram yang dihitung dari perkalian dosis
setiap hari dikalikan frekuensi penggunaan dan lama pemberian antibiotik.
2. Standar DDD WHO dalam gram adalah nilai DDD setiap antibiotik yang
sudah ditetapkan oleh WHO dan dinyatakan dalam gram.
3. Total Length Of Stay (LOS) adalah total lama rawat inap seluruh pasien.

Hasil yang didapatkan dari perhitungan diasumsikan sebagai dosis rata-rata


perhari penggunaan antibiotik pada pasien. Perhitung nilai DU (drug utilization)
90% dapat dilakukan setelah perhitungan DDD tersebut. DU 90% adalah metode
yang digunakan untuk menentukan jumlah obat yang digunakan dalam segmen
90%. Nilai DU 90% didapatkan dari melanjutkan perhitungan nilai DDD yang
telah dikelompokkan berdasarkan kode klasifikasi menurut WHO. Nilai DU 90%
menggambarkan dominasi obat yang sering dan jarang digunakan. Rumus untuk
menghitung DU 90% adalah sebagai berikut (Firdaus dkk., 2021):

𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐷𝐷𝐷/𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘
Analisis data nilai DU 90% = × 100%
𝐷𝐷𝐷 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘

2.4.2 Metode Kualitatif Gyssens


Evaluasi antibiotik secara kualitatif dilakukan dengan menilai ketepatan
penggunaan antibiotik dengan menggunakan alur Gyssens. Berdasarkan alur
Gyssens, penggunaan antibiotik diklasifikasikan dalam 6 kategori (Tabel 2.2),
yaitu kategori I penggunaan tepat, IIa tidak tepat dosis, IIb tidak tepat interval, IIc
tidak tepat rute, IIIa tidak tepat karena terlalu lama, IIIb tidak tepat karena terlalu

18
singkat, IVa tidak tepat karena ada antibiotik lain yang lebih efektif, IVb tidak
tepat karena ada antibiotik lain yang lebih aman, IVc tidak tepat karena ada yang
lebih murah, IVd tidak tepat karena ada spektrum yang lebih sempit, V tidak ada
indikasi antibiotik, VI catatan rekam medis tidak lengkap untuk dievaluasi
(Gambar 2.1). Pemberian antibiotik tepat apabila evaluasi sesuai dengan kategori
I, pemberian antibiotik tidak tepat apabila antibiotik termasuk kategori IIa, IIb,
IIc, IIIa, IIIb, IVa, IVb, IVc, IVd (II,III, IV) (Katarnida dkk., 2014).
Penelitian tim AMRIN (Antimicrobial Resistance in Indonesia Prevalence and
Prevention) digunakan sebagai standar untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik secara
kualitatif dan kuantitatif pada program pencegahan kejadian resistensi antibiotik. Evaluasi
kualitas antibiotik pada studi AMRIN menggunakan metode Van der Meer dan Gyssens
(Kategori 0-V) (Purwaningsih dkk., 2015).

Tabel 2.2 Kategori klasifikasi gyssens (Taher dk, 2020)

Kategori 0 Penggunaan antibiotik tepat waktu atau rasional

Kategori I Penggunaan antibiotik tidak tepat waktu

Kategori II A Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis

Kategori II B Penggunaan antibiotik tidak tepat interval

Kategori II C Penggunaan antibiotik tidak tepat cara atau rute pemberian

Kategori III A Penggunaan antibiotik terlalu lama

Kategori III B Penggunaan antibiotik terlalu singkat

Kategori IV A Ada antibiotik lain yang lebih efektif

Kategori IV B Ada antibiotik lain yang kurang toksik atau lebih aman

Kategori IV C Ada antibiotik lain yang lebih murah

Kategori IV D Ada antibiotik lain yang lebih spesifik

Kategori V Penggunaan antibiotik tanpa indikasi

Kategori VI Rekam medis tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi

19
Mulai

Data tidak VI STOP


ya Lengkap

AB tidak
V STOP
Diperlukan
ya

Ada AB lain ya
lebih efektif IVA
tidak

Ada AB lain
ya IVB
kurang toksik
tidak

Ada AB lain ya
lebih murah IVC

tidak

Ada AB lain ya IVD


spektrum lebih
tidak sempit

Pemberian tidak Pemberian


tidak Dosis tidak IIA
terlalu lama terlalu singkat
tepat
ya

ya ya

Interval tidak IIB


tepat
IIIB ya
IIIA

Rute tidak IIC


tepat
ya

Timing tidak I
tepat
ya

Tidak tergolong I-VI

Gambar 2.1. Alur Gyssens (Taher dkk, 2020).

20
2.5 Kerangka Konsep Penelitian

RSUD Palagimata Kota


Baubau

Pasien Dewasa yang


Karakteristik Pasien
1 Nama Menggunakan Antibiotik
2 Jenis Kelamin di Ruang ICU Selama
3 Usia Pandemi COVID-19
4 Diagnosis utama Tahun 2021

Data Rekam Medis

Evaluasi Penggunaan
Antibiotik

Kuantitatif Kualitatif

Metode ATC/DDD Alur Gyssens

DDD/100 patient days 1. Kelengkapan rekam


medis
2. Indikasi
3. Efektivitas
DU 90% 4. Keamanan antibiotik
5. Harga antibioik
6. Spektrum antibiotik
7. Lama pemberian
Segmen 90% Segmen 10% 8. Dosis pemberian
(tidak rasional) (rasional) 9. Interval pemberian
10. Cara/rute pemberian

Rasional Tidak Rasional


(kategori 0) (kategori I-VI)

Gambar 2.2 Kerangka konsep

21
BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di ruang rekam medis RSUD Palagimata Kota
Baubau pada bulan Mei - Agustus 2022.

3.2 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan pendekatan
retrospektif, yaitu menggunakan data sekunder melalui pengambilan data rekam
medis pasien dewasa yang menggunakan antibiotik selama pandemi COVID-19 di
ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau tahun 2021.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi pasien dewasa (18-60 tahun) di ruang ICU RSUD Palagimata Kota
Baubau tahun 2021 berjumlah 72 pasien. Besar sampel pada penelitian ini
ditentukan dengan menggunakan rumus Rumus Lemeshow:
𝑍1𝑧 − 𝑝(1 − 𝑝)𝑁
0,5𝛼
𝑛=
𝑑 2 (𝑁 − 1) + 𝑍1𝑧 − 𝑃(1 − 𝑃)
0,5𝛼

Keterangan:
n : jumlah sampel minimal hasil perhitungan yang akan diambil
N : jumlah target populasi
Z1-0,5α : derajat koefisien konfidensi 95% (1,96)
P : proporsi suatu kasus terhadap populasi. Ditetapkan 50% (0,50)
jika proporsi tidak diketahui
d : presentase kemungkinan kekeliruan dalam menentukan ukuran
sampel (5%)

Berdasarkan rumus di atas, maka dapat diketahui jumlah sampel minimal


yaitu:
𝑍1𝑧 − 𝑝(1 − 𝑝)𝑁
0,5𝛼
𝑛=
𝑑2 (𝑁 − 1) + 𝑍1𝑧 − 𝑃(1 − 𝑃)
0,5𝛼

22
1,96.0,50(1 − 0,50)72
𝑛=
(0,50)2 (72 − 1) + 1,96.0,50(1 − 0,50)
1,96.0,50.0,50.72
𝑛=
0,0025.71 + 1,96.0,50.0,50
35,28
𝑛=
0,1775 + 0,49
35,28
𝑛=
0,6675
𝑛 = 52,85
𝑛 = 53 sampel

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka sampel minimal yaitu sebanyak


53 pasien. Sampel penelitian ini adalah rekam medis pasien dewasa (18-60 tahun)
yang menggunakan antibiotik selama pandemi COVID-19 di ruang ICU RSUD
Palagimata Kota Baubau tahun 2021.
Data rekam medis pasien yang diambil yaitu:
1. Karakteristik pasien: nama, jenis kelamin, usia, dan diagnosis utama.
2. Karakteristik terapi: nama antibiotik, dosis, frekuensi pemberian, lama
pemberian, rute pemberian, interval pemberian, bentuk sediaan, indikasi dan
nama obat lain.

3.4 Subjek Penelitian


Pasien dewasa yang menggunakan antibiotik selama pandemi COVID-19 di
ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau tahun 2021.
1. Kriteria inklusi
Pasien dewasa yang menggunakan antibiotik selama pandemi COVID-19 di
ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau.
2. Kriteria eksklusi
Pasien dewasa yang tidak menggunakan antibiotik selama pandemi COVID-
19 di ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau.

23
3.5 Instrumen Penelitian
Alat penelitian yang digunakan yaitu lembar data pasien, lembar
penggunaan antibiotik, rekam medis pasien dan buku panduan mengenai
ketepatan penggunaan antibiotik.
1. Lembar data pasien (nama, nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, tanggal
masuk dan pulang, status pulang, diagnosis utama, dan status pasien
(BPJS/umum) dan lembar penggunaan antibiotik (nama antibiotik, dosis
pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian, rute pemberian, interval
pemberian, bentuk sediaan, indikasi dan nama obat lain).
2. Data rekam medis pasien lengkap meliputi identitas pasien (nama, nomor
rekam medis, usia, jenis kelamin, diagnosis utama) dan data penggunaan obat
(nama antibiotik, dosis pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian, rute
pemberian, interval pemberian, bentuk sediaan, indikasi dan nama obat lain)
dan data lab pasien (tanda vital).
3. Buku panduan berisi informasi mengenai ketepatan penggunaan antibiotik
diantara buku panduan yang digunakan adalah: Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan
Antibiotik; Antibiotik Guideline Jhon Hopkins 2015-2016; Dipiro,
Pharmacotheraphy Principles and Practice, Applied Therapeutics The
Clinical Use of Drugs 10th Edition; dan literatur pendukung lainnya.

3.6 Definisi Operasional


1. Antibiotik adalah obat yang digunakan oleh pasien infeksi di ruang ICU
RSUD Palagimata Kota Baubau.
2. Pasien dewasa adalah pasien dengan rentang usia 18-60 tahun yang menerima
perawatan medis di ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau.
3. Data rekam medis lengkap yaitu memuat identitas pasien, pemeriksaan,
diagnosis/masalah, persetujuan tindakan medis (bila ada),
tindakan/pengobatan, pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
4. Karateristik pasien yang menggunakan antibiotik adalah nama, jenis kelamin,
usia, dan diagnosis utama.

24
5. Karakteristik terapi yaitu nama antibiotik, dosis, lama pemberian, rute
pemberian, interval pemberian, bentuk sediaan, indikasi dan nama obat lain.
6. ATC (Anatomical Therapeutic Chemical) adalah sistem klasifikasi obat dari
WHO dengan prinsip produk obat dikelompokkan berdasarkan fungsi
terapeutik utama dari senyawa aktif dan satu kode ATC hanya untuk satu rute
administrasi.
7. DDD (Defined Daily Dose) adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan
antibiotik untuk indikasi tertentu pada orang dewasa.
8. DU 90% adalah metode yang digunakan untuk menjelaskan pola konsumsi
obat dan termasuk dalam segmen 90.
9. Jumlah gram antibiotik yang digunakan oleh pasien adalah perhitungan
jumlah gram antibiotik yang diterima pasien setiap hari selama di rawat di
ruang ICU.
10. LOS (Length of Stay) adalah lama hari rawat inap pasien dewasa yang
menggunakan antibiotik selama pandemi COVID-19 di ruang ICU RSUD
Palagimata Kota Baubau tahun 2021, dihitung mulai dari masuk sampai
keluar dari rumah sakit.
11. Nilai standar DDD WHO adalah standar yang digunakan untuk menghitung
nilai DDD/100 patient days antibiotik yang digunakan.
12. Alur Gyssens ialah analisis kualitatif dengan menggunakan kategori VI-0.
13. Kategori VI adalah kategori rasionalitas yang menilai tentang rekam medis
yang lengkap. Kelengkapan rekam medis meliputi identitas pasien (nama,
nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, tanggal masuk dan pulang, status
pulang, diagnosis utama, dan status pasien (BPJS/umum)) dan data
penggunaan obat (nama antibiotik, dosis pemberian, frekuensi pemberian,
lama pemberian, rute pemberian, interval pemberian, bentuk sediaan, indikasi
dan nama obat lain) dan data lab pasien (tanda vital).
14. Kategori V adalah kategori rasionalitas tentang ketidaktepatan indikasi
pasien.
15. Kategori IVA adalah kategori rasionalitas tentang ada tidaknya antibiotik lain
yang lebih efektif.

25
16. Kategori IVB adalah kategori rasionalitas tentang ada tidaknya antibiotik lain
yang kurang toksik atau lebih aman.
17. Kategori IVC adalah kategori rasionalitas tentang ada tidaknya antibiotik lain
yang lebih murah.
18. Kategori IVD adalah kategori rasionalitas tentang ada tidaknya spektrum
antibiotik lain yang lebih sempit.
19. Kategori IIIA adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik yang
terlalu lama.
20. Kategori IIIB adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik yang
terlalu singkat.
21. Kategori IIA adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik tidak
tepat dosis.
22. Kategori IIB adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik yang
tidak tepat interval pemberian.
23. Kategori IIC adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik yang
tidak tepat cara/rute pemberian.
24. Kategori I adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik tidak
tepat waktu.
25. Kategori 0 adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik
tepat/bijak.
26. Gambaran penggunaan antibiotik adalah penggunaan antibiotik berdasarkan
jenis dan golongan antibiotik, bentuk sediaan antibiotik, rute pemberian,
frekuensi pemberian, lama pemberian pada pasien dewasa selama COVID-19
di ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau tahun 2021.

3.7 Prosedur Penelitian


3.7.1 Persiapan
Pembuatan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Fakultas
Farmasi Universitas Halu Oleo yang kemudian diajukan kepada RSUD
Palagimata Kota Baubau.

26
3.7.2 Pengumpulan Data Penelitian
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan alur sebagai berikut:
1. Pengumpulan data pasien dewasa selama pandemi COVID-19 di ruang ICU
RSUD Palagimata Kota Baubau tahun 2021.
2. Pemilihan sampel yang masuk ke dalam kriteria inklusi.
3. Data rekam medis dari pasien tersebut kemudian ditulis ke dalam lembar data
pasien dan lembar penggunaan antibiotik.
4. Data dari rekam medis pasien diolah lebih lanjut.

3.7.3 Pengolahan Data


Pengolahan data dilakukan dengan cara:
1. Diperiksa kelengkapan data dari lembar data pasien dan lembar penggunaan
antibiotik dari rekam medis pasien dewasa di ruang ICU RSUD Palagimata
Kota Baubau selama 2021.
2. Diperiksa ulang data-data yang telah dimasukkan.

3.7.4 Analisis Data


Analisis data dilakukan secara analisis deskriptif yaitu dengan cara
menguraikan data-data yang didapatkan dari rekam medis untuk menggambarkan
pola penyakit infeksi dan pola penggunaan antibiotik. Data yang diperoleh
diperiksa kelengkapannya dan dipastikan tidak ada kekeliruan pemasukkan data.
Selanjutnya dilakukan evaluasi sesuai dengan metode ATC/DDD dan alur
Gyssens.
Proses evaluasi dengan metode ATC/DDD untuk menghitung kuantitas
penggunaan antibiotik pada pasien dewasa sebagai berikut:
1. Diklasifikasikan kode Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) suatu
antibiotik berdasarkan Guidelines for ATC and DDD Assignment WHO tahun
2022.
2. Diidentifikasi jenis antibiotik, baik tunggal maupun kombinasi yang
digunakan.

27
3. Diidentifikasi Defined Daily Dose (DDD) untuk masing-masing antibiotik
berdasarkan Guidelines for ATC and DDD Assignment WHO tahun 2022.
4. Dihitung jumlah kekuatan antibiotik (dalam gram) yang digunakan.
5. Dihitung jumlah hari rawat inap (total Length of Stay, LOS) pasien dewasa
yang menggunakan antibiotik selama pandemi COVID-19 di ruang ICU RSUD
Palagimata Kota Baubau tahun 2021.
6. Dihitung DDD/100 patient days untuk masing-masing jenis antibiotik atau
kombinasi.
7. Nilai DDD/100 patient days yang didapatkan dibedakan berdasarkan jenis
antibiotiknya kemudian nilai tersebut dibandingkan untuk melihat jenis
antibiotik yang paling banyak digunakan berdasarkan DU 90%.
Proses evaluasi dengan alur Gyssens untuk menilai ketepatan penggunaan
antibiotik pada pasien dewasa sebagai berikut:
1. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI.
Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada
halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat dievaluasi.
Pemeriksaan penunjang/laboratorium tidak harus dilakukan karena mungkin
tidak ada biaya, dengan catatan sudah direncanakan pemeriksaannya untuk
mendukung diagnosis. Diagnosis kerja dapat ditegakkan secara klinis dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila data rekam medis tidak lengkap maka
berhenti dikategori VI. Bila data rekam medis lengkap, dilanjutkan pada
kategori V.
2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotik, berhenti dikategori V.
Bila antibiotik sesuai indikasi, lanjutkan dengan kategori IVA. Data yang
dianalisis dikategori V berasal dari data diaktegori VI dan data yang dianalisis
dikategori IVA adalah data yang lulus di kategori V.
3. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti dikategori IVA.
Data yang dianalisis dikategori IVA adalah data yang lulus dari kategori VI
dan V. Bila tidak, lanjutkan dengan kategori IVB.
4. Bila ada pilihan antibiotik lain yang kurang toksik, berhenti dikategori IVB.

28
Data yang dianalisis dikategori IVB adalah data yang lulus dari kategori IVA.
Bila tidak, lanjutkan dengan kategori IVC dan lanjutkan dengan pertanyaan
dibawahnya, apakah ada alternatif lebih murah.
5. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah, berhenti dikategori IVC.
Data yang dianalisis dikategori IVC adalah data yang lulus dari kategori IVB.
Bila tidak, lanjutkan dengan kategori IVD dan lanjutkan dengan pertanyaan
apakah ada alternatif lain yang spektrumnya lebih sempit.
6. Bila ada pilihan antibiotik lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti
dikategori IVD.
Data yang dianalisis dikategori IVD adalah data yang lulus dari kategori IVC.
Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit, lanjutkan dengan kategori
IIIA.
7. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu panjang, berhenti dikategori IIIA.
Bila tidak, dilanjutkan dengan kategori IIIB dan diteruskan dengan
pertanyaan apakah durasi antibiotik terlalu singkat. Data yang dianalisis
dikategori IIIA adalah data yang lulus dari kategori IVD.
8. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu singkat, berhenti dikategori IIIB.
Bila tidak, diteruskan dengan kategori IIA. Data yang dianalisis dikategori
IIIB adalah data yang lulus dari kategori IIIA.
9. Bila dosis pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti dikategori IIA.
Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan kategori IIB. Data yang dianalisis
dikategori IIA adalah data yang lulus dari kategori IIIB.
10. Bila interval pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti dikategori IIB.
Bila intervalnya tepat, lanjutkan dikategori IIC. Data yang dianalisis
dikategori IIB adalah data yang lulus dari kategori IIA.
11. Bila rute pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti dikategori IIC.
Bila rute tepat, lanjutkan ke kategori I penggunaan antibiotik tepat atau bijak.
Data yang dianalisis dikategori IIC adalah data yang lulus dari kategori IIB.
12. Bila antibiotik tidak tepat waktu pemberian berhenti dikategori I.
Bila waktu tepat dilanjutkan ke kategori 0.
13. Kategori 0 tepat atau bijak.

29
3.8 Jadwal Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diperkirakan akan berlangsung selama 4 bulan
dengan jadwal penelitian dipaparkan pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Pelaksanaan Penelitian

Bulan ke-
Kegiatan
1 2 3 4

Observasi

Pengambilan data awal

Pengumpulan Data

Pengolahan Data

Analisis Data

30
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, A. W. dan Tumbelaka A. R., 2016, Penggunaan Antibiotik


Khususnya pada Infeksi Bakteri Gram Negatif di ICU Anak RSAB Harapan
Kita, Sari Pediatri, 8(2), 127. https://doi.org/10.14238/sp8.2.2006.127-34

Agistia, N., Mukhtar H., dan Nasif H., 2017, Efektivitas Antibiotik pada Pasien
Ulkus Kaki Diabetik, Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 4(1), 43-48,
https://doi.org/10.29208/jsfk.2017.4.1.144

Anasa, R. B., 2015, Pengaruh Penggunaan Antibiotik Irrasional t erhadap Angka


Resistensi Bakteri pada Ruang Rawat Intensif, Jurnal Agromed Unila, 2(4),
485–492.

Andriani, Y., Meirista I., dan Aprio Y., 2020, Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Dengan Metode Atc/Ddd Dan Du 90% Di Puskesmas Kebun Handil Kota
Jambi Periode 2018 Dan 2019, Journal of Healthcare Technology and
Medicine, 6(2), 700. https://doi.org/10.33143/jhtm.v6i2.976

Anggraini, W., Puspitasari M. R., Ramadhani R., Atmaja D., dan Sugihantoro H.,
2020, Pengaruh Pemberian Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan Pasien
Rawat Jalan Tentang Penggunaan Antibiotik Di RSUD Kanjuruhan
Kabupaten Malang, Pharmaceutical Journal of Indonesia, 6(1), 57–62.

Anggriani A., Lisni I., dan Kusnandar K., 2018, Kajian Rasionalitas Penggunaan
Antibiotik Di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Di Salah Satu Rumah Sakit
Swasta Di Bandung, PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia
(Pharmaceutical Journal of Indonesia), 15(2), 171.
https://doi.org/10.30595/pharmacy.v15i2.3061

Astuti, D., dan Arfania M., 2018, Analisis Penggunaan Antibiotika Dengan
Metoda ATC/DDD Di Rumah Sakit Swasta Kab Karawang, Pharma
Xplore : Jurnal Ilmiah Farmasi, 3(2), 194–202.
https://doi.org/10.36805/farmasi.v3i2.467

Besung, I. N. K., 2012, Pegagan (Centella asiatica) sebagai Alternatif Pencegahan


Penyakit Infeksi pada Ternak, Buletin Veteriner Udayana, 1(2), 61–67.

31
Destiani, D. P., Rina S., Eli H., Ellin F., dan Syahrul N., 2016, Evaluasi
Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Rawat Jalan di Fasilitas
Kesehatan Rawat Jalan Pada Tahun 2015 Dengan Metode ATC/DDD,
Farmaka, 14(2), 19–25.

Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2012, Ruang Perawatan Intensif


Rumah Sakit, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Dirga D., Khairunnisa S. M., Akhmad A. D., Setyawan I. A., dan Pratama A.,
2021, Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Rawat Inap di Bangsal
Penyakit Dalam RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung, Jurnal
Kefarmasian Indonesia, 11(1), 65–75.
https://doi.org/10.22435/jki.v11i1.3570

Farida Y., Putri V. W., dan Hanafi M., 2020, Profil Pasien dan Penggunaan
Antibiotik pada Kasus Community-Acquired Pneumonia Rawat Inap di
Rumah Sakit Akademik Wilayah Sukoharjo, Journal of Pharmaceutical
Science and Clinical Research, 2, 151–164.
https://doi.org/10.20961/jpscr.v5i2.39763

Fatisa, Y., 2013, (Nephelium mutabile) Terhadap Staphylococcus aureus dan


Escherichia coli Secara In Vitro, Jurnal Peternakan, 10(1), 31–38.

Firdaus, Y. V., Jaelani A. K., Herawati F., dan Yulia R., 2021, Evaluasi
Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pasien Bedah Ortopedi di Rumah
Sakit Bangil, Intisari Sains Medis, 12(2), 407.
https://doi.org/10.15562/ism.v12i2.948

Firmansyah, M., Masrun M., dan Yudha S. I. D. K., 2021, Esensi Perbedaan
Metode Kualitatif Dan Kuantitatif, Elastisitas - Jurnal Ekonomi
Pembangunan, 3(2), 156–159. https://doi.org/10.29303/e-jep.v3i2.46

Hasibuan, A. M. B., 2020, Pengkajian Keperawatan di Ruangan ICU, E-Journal


Osf.Id, 1–11.

Katarnida S. S., Murniati D., dan Katar Y., 2014, Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Secara Kualitatif di RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta, Sari
Pediatri, 15(6), 369–376.

32
Lisni, I., Mujianti D., dan Anggriani A., 2021, Profil Antibiotik untuk Pengobatan
Pasien Covid-19 Di Suatu Rumah Sakit Di Bandung, Jurnal Ilmiah
Farmako Bahari, 12(2), 99. https://doi.org/10.52434/jfb.v12i2.1196

Mahdiyah, D. F., Mayasari, D., dan Kuncoro H., 2021, Analisa Tingkat
Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Terhadap Penggunaan Antibiotik di
Kelurahan Dawi-Dawi, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi
Sulawesi Tenggara, Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals
Conferences, 366–374.

Nanni, L., Sheryl B., dan Gianluca M., 2020, Anatomical Therapeutic Chemical
Classification (ATC) With Multil-Label Learners and Deep Features,
International Journal of Natural Computing Research, 9(3), 16-17.

Nugroho, F., Pri I. U., dan Ika Y., 2019, Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada
Penyakit Pneumonia Di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga,
Pharmacy, 1(01), 105–112.

Nurkusuma, D. D., dan Dewi A., 2017, Efisiensi Penggunaan Antibiotik


Profilaksis Sefalosporin pada Kasus Operasi Bersih di Rumah Sakit Umum
Daerah Temanggung, Proceeding Health Architecture, 1(1), 67–73.

Pani, S., Barliana M. I., Halimah E., Pradipta I. S., dan Annisa N., 2015,
Monitoring Penggunaan Antibiotik dengan Metode ATC / DDD dan DU 90
%: Studi Observasional di Seluruh Puskesmas Kabupaten Gorontalo Utara,
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 4(4).
https://doi.org/10.15416/ijcp.2015.4.4.280

Pondi, M., Fauzan S., dan Yulanda N. A., 2020, Gambaran Kualitas Pelayanan
Keperawatan Dan Pemenuhan Kebutuhan Keluarga Pasien Di Icu:
Literature Review, Tanjungpura Journal of Nursing Practice and
Education, 2(2). https://doi.org/10.26418/tjnpe.v2i2.45666

Pratama, N. Y. I., Suprapti B., Ardiansyah A. O., dan Shinta D. W., 2019,
Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Rawat Inap Bedah dengan
Menggunakan Defined Daily Dose dan Drug Utilization 90 % di Rumah
Sakit Universitas Airlangga, Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 8(4).
https://doi.org/10.15416/ijcp.2019.8.4.256

33
Pratiwi, R. H., 2017, Mekanisme Pertahanan Bakteri Patogen Terhadap
Antibiotik, Journal Pro-Life, 4(2), 418–429.

Pratomo, G. S., dan Dewi N. A., 2018, Tingkat Pengetahuan Masyarakat Desa
Anjir Mambulau Tengah terhadap Penggunaan Antibiotik, Jurnal Surya
Medika, 4(1), 79–89. https://doi.org/10.33084/jsm.v4i1.354

Purwaningsih, A. E. D. A., Rahmawati F., dan Wahyono D., 2015, Evaluasi


Penggunaan Antibiotik pada Pasien Pediatri Rawat Inap, Jurnal Manajemen
Dan Pelayanan Farmasi, 5(3), 211–218.

Putri, S. C., Eka K. U., dan Yuswar M. A., 2019, Profil Antibiotik pada Pasien
Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit Dr. Soedarso Pontianak Periode
Januari–Juni 2019, Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran
UNTAN, 5(2), 293–303.

Rachmawati, S., Masito D. K., dan Rachmawati E., 2020, Evaluasi Penggunaan
Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Inap di RSD Dr. Soebandi Jember,
Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy) (e-Journal),
6(2), 212–220. https://doi.org/10.22487/j24428744.2020.v6.i2.14976

Ridwan, A., Narulita L., Widyadi E. D., dan Suharjono S., 2019, Analisis
Penggunaan Antibiotika pada Pasien Penyakit Dalam di RSUD Dr. H.
Slamet Martodirdjo Pamekasan dengan Metode ATC/DDD, Jurnal Sains
Farmasi & Klinis, 6(3), 237. https://doi.org/10.25077/jsfk.6.3.237-242.2019

Rosidawati, I., dan Hodijah, S, 2019, Hubungan Antara Lama Rawat Dengan
Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien Di Ruang Intensive Care Unit RSUD
Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya, Jurnal Keperawatan Muhammadiyah
Bengkulu, 7(1), 33–38. https://doi.org/10.36085/jkmu.v7i1.308

RSUD Palagimata Kota Baubau, 2021, Formulir Surveilans Harian Infeksi RSUD
Kota Baubau Tahun 2021 di Ruang ICU, RSUD Palagimata Kota Baubau,
Baubau.

Rukminingsih, F., dan Mangunwijaya P. K., 2021, Analysis of The Use of


Antibiotics in Children Patients in Theresia Ward St . Elisabeth Hospital
Semarang Using ATC/DDD Method, Jurnal Riset Kefarmasian Indonesia,

34
3(1), 26-34.

Sinto, R., 2020, Peran Penting Pengendalian Resistensi Antibiotik pada Pandemi
COVID-19, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(4), 2020–2021.

Somantri, G. R., 2004, Memahami Metode Kualitatif, Makara Sosial Humaniora,


9(5), 57-65.

Sukmawati, I. G. A. N. D., Jaya M. K. A., dan Swastini D. A., 2020, Evaluasi


Penggunaan Antibiotik pada Pasien Tifoid Rawat Inap di Salah Satu Rumah
Sakit Pemerintah Provinsi Bali dengan Metode Gyssens dan ATC / DDD,
Jurnal Farmasi Udayana, 9(1), 37–44.

Suryoputri, M. W., Ekowati H., Mustikaningtias I., Maharani L., E, N. E., dan
Ilma D. L., 2021, Edukasi Pada Kader Pkk Dalam Pengelolaan Dan
Penggunaan Antibiotik Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat di
Desa Bojongsari Banyumas, Jurnal Pengembangan Sumber Daya
Perdesaan Dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X, 417–426.
http://jurnal.lppm.unsoed.ac.id/ojs/index.php/Prosiding/article/view/1442

Suwardianto, H., dan VItaria W.A., 2020, Buku Ajar Keperawatan Kritis:
Pendekatan Evidence Base Practice Nursing, Chakra Brahmanda Lentera,
Jakarta.

Taher, P., Poetry O., dan Siti R. A., 2020, Rasionalitas Penggunaan Antibiotika
pada Pasien Poli Gigi Salah Satu Rumah Sakit Pendidikan di Jakarta, Jurnal
Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi, 16(2), 51-56.

Wijayanti, N., Wahyuningsih Y. T., dan Mirwant R., 2021, Dampak Pandemi
COVID-19 Bagi Kesehatan Mental Perawat ICU, Nusantara: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, 8(2), 1243–1256.

Wowiling, C., Lily R. G., dan Gayatri C., 2013, Pengaruh Penyuluhan
Penggunaan Antibiotika Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat di Kota
Manado, Pharmacon, 2(03), 25.

Yanty, dan Oktarlina, 2018, Pengaruh Penggunaan Antibiotik Terhadap Kasus

35
Stevens Johnson Syndrome, Jurnal Ilmiah Bakti Farmasi, 3(2), 23–28.

Yarza, H. L., Yanwirasti Y., dan Irawati L., 2015, Hubungan Tingkat
Pengetahuan dan Sikap dengan Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep Dokter,
Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), 151–156.
https://doi.org/10.25077/jka.v4i1.214

Yulia, R., Putri R., dan Wahyudi R., 2019, Study of Community Knowledge of
Antibiotic Use in Puskesmas Rasimah Ahmad Bukittinggi, Journal of
Pharmaceutical and Sciences, 2(2), 43–48.

Yuniar, I., Karyanti M. R., Tambunan T., dan Rizkyani N. A., 2016, Evaluasi
Penggunaan Antibiotik dengan Kartu Monitoring Antibiotik Gyssens, Sari
Pediatri, 14(6), 384. https://doi.org/10.14238/sp14.6.2013.384-90

Zaluchu, S. E., 2020, Strategi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif di Dalam


Penelitian Agama, Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga
Jemaat, 4(1), 28–38.

36

Anda mungkin juga menyukai