Oleh :
Nur Hikmah
O1A118117
1
antibiotik seftriakson tunggal (49,35%) dan kombinasi (15,59%) (Putri dkk.,
2019). Hal yang sama juga dijumpai pada penelitian di salah satu rumah sakit
swasta di Bandung bahwa antibiotik paling banyak digunakan di ruang ICU
adalah antibiotik seftriakson (42,10%) (Anggriani dkk., 2018).
Tingginya penggunaan antibiotik di ICU, ditambah sejak adanya pandemi
COVID-19 menyebabkan penggunaan antibiotik di ICU semakin meningkat.
Banyaknya pasien dengan COVID-19 yang kritis dan harus dirawat di ruang ICU
menyebabkan beban besar pada ICU. Hal ini menunjukkan bahwa selama
pandemi COVID-19 jumlah pasien yang dirawat di ruang ICU meningkat
(Wijayanti dkk., 2021). Sebuah telaah sistematik pada 24 studi individual yang
melibatkan 3.338 pasien COVID-19 menunjukkan antibiotik digunakan pada
71,9% pasien, meskipun koinfeksi bakteri dan infeksi sekunder oleh bakteri
didiagnosis hanya pada 3,5% dan 14,3% pasien secara berurutan (Sinto, 2020). Di
Indonesia, pada salah rumah sakit di Bandung, azitromisin adalah antibiotik yang
terbanyak digunakan (40,42%) untuk pengobatan pasien COVID-19, dan
kombinasi antibiotik terbanyak adalah azitromisin dan seftriakson (28,03%) (Lisni
dkk., 2021).
Penggunaan antibiotik yang tinggi berpotensi pada penggunaan antibiotik
yang tidak rasional. Berbagai studi menemukan sebanyak 40-62% peresepan
antibiotik di Indonesia tidak tepat (Yulia dkk., 2019). Hasil studi di Indonesia,
Pakistan dan India menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien diresepkan
antibiotik, dan hampir 90% pasien mendapatkan suntikan antibiotik yang
sebenarnya tidak diperlukan (Anasa, 2015).
Penelitian tentang kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah
sakit ditemukan 30-80% tidak didasarkan pada indikasi yang tepat. Penggunaan
antibiotik tanpa indikasi di RSUP Dr Kariadi menunjukkan angka 20-53%,
sedangkan pada terapi antibiotik profilaksis tanpa indikasi sebanyak 43-81%
(Anggraini dkk., 2020). Evaluasi di dua rumah sakit pendidikan di Indonesia
menunjukkan hanya 21% peresepan antibiotik yang tergolong rasional. Pada
penelitian oleh Purwaningsih dkk., (2015) hasil evaluasi penggunaan antibiotik
menggunakan metode Gyssens, 23,9% antibiotik rasional dan 76,1% antibiotik
2
tidak rasional (Purwaningsih dkk., 2015). Penelitian lainnya dengan metode yang
sama di salah satu rumah sakit pemerintah Provinsi Bali tahun 2019, ditemukan
sebanyak 40% penggunaan antibiotik termasuk dalam kategori rasional dan 60%
lainnya termasuk ke dalam penggunaan antibiotik yang tidak rasional (Sukmawati
dkk., 2020).
Menurut penelusuran data pasien yang dirawat di ruang ICU RSUD
Palagimata Kota Baubau, diperoleh pasien yang mendapatkan perawatan di ruang
ICU RSUD Palagimata Kota Baubau tahun 2021 berjumlah 146 pasien mulai dari
bayi sampai lansia. Tercatat dari 146 pasien, terdiri dari pasien bayi 25 orang,
pasien anak 15 orang, pasien remaja 4 orang, pasien dewasa 72 orang, dan pasien
lansia 30 orang (RSUD Palagimata Kota Baubau, 2021).
Tingginya penggunaan antibiotik secara tidak tepat dikalangan masyarakat
saat ini menyebabkan terjadinya masalah resistensi antibiotik. Permasalahan
resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang
menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan
lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi (Wowiling dkk.,
2013). WHO telah membuat perencanaan aksi global untuk memerangi resistensi
antibiotik dengan meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijak dan dengan
melakukan evaluasi penggunaan antibiotik. Evaluasi antibiotik dapat dilakukan
secara kuantitatif dengan menggunakan Anatomical Therapeutic
Chemical/Defined Daily Dose (ATC/DDD) dan secara kualitatif dengan metode
Gyssens (Pratama dkk., 2019). Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang analisis kerasionalan penggunaan antibiotik selama
pandemi COVID-19 pada pasien dewasa di ruang ICU RSUD Palagimata Kota
Baubau.
3
2. Bagaimana rasionalitas dan jumlah penggunaan antibiotik ditinjau dari
klasifikasi ATC/DDD dan metode DU 90% selama pandemi COVID-19 pada
pasien dewasa di ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau?
3. Bagaimana rasionalitas penggunaan antibiotik ditinjau dari metode Gyssens
selama pandemi COVID-19 pada pasien dewasa di ruang ICU RSUD
Palagimata Kota Baubau?
4
4. Bagi masyarakat, diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan dan kepuasan
pasien akan ketersediaan dan keterjangkauan obat yang dibutuhkan sehingga
kualitas kesehatan masyarakat meningkat.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
6
spiritual budaya dan politik, hal yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia (Hasibuan, 2020).
ICU merupakan unit di rumah sakit yang berfungsi untuk perawatan pasien
kritis, gawat, atau klien yang mempunyai risiko tinggi kegawatan, penyakit akut,
cedera atau penyakit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa
yang diharapkan masih reversibel (dapat pulih kembali) (Rosidawati dan Hodijah,
2019). Tujuan dari ICU antara lain yaitu menyelamatkan kehidupan; mencegah
terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui observasi dan monitoring
evaluasi yang ketat disertai kemampuan menginterpretasikan setiap data yang
didapat dan melakukan tindak lanjut; meningkatkan kualitas pasien dan
mempertahankan kehidupan; mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh
pasien; mengurangi angka kematian pasien kritis dan mempercepat proses
penyembuhan pasien (Suwardianto, 2020).
7
disebabkan oleh berbagai agen infeksi yang meliputi virus, bakteri, parasit,
maupun jamur. Agen infeksi biasanya ada di alam dan akan masuk ke dalam
tubuh sehingga menimbulkan penyakit pada tubuh, dengan gejala seperti demam,
muntah-muntah, diare, hilangnya nafsu makan, rasa sakit disekujur tubuh dan
lain-lain. Kematian dapat terjadi akibat penanganan yang tidak memadai (Besung,
2012).
Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan yang utama di beberapa
negara, khususnya di negara berkembang. Penyebab infeksi disebabkan oleh
sejumlah mikroorganisme seperti bakteri yang bersifat patogen yang biasa dikenal
dengan kuman penyakit (Pratiwi, 2017). Salah satu upaya masyarakat dalam
mengobati penyakit yang disebabkan oleh adanya infeksi bakteri adalah dengan
penggunaan antibiotik. Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam
penatalaksanaan penyakit infeksi yang bertujuan untuk membunuh atau
menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain. Pemilihan antibiotik
harus didasarkan pada pola kuman dan pola resistensi, karena mikroorganisme
dan sensitivitasnya terhadap antibiotik senantiasa berubah (Suryoputri dkk.,
2021).
8
memperhatikan dosis pemakaian dan peringatan maka dapat menimbulkan efek
yang berbahaya bagi tubuh, yaitu resistensi antibiotik (Yarza dkk., 2015).
Penggunaan antibiotik harus memperhatikan waktu, frekuensi dan lama
pemberian sesuai rejimen terapi dan memperhatikan kondisi pasien. Penggunaan
antibiotik lebih dari satu jenis dan dalam waktu lama seringkali untuk penanganan
komplikasi infeksi berat di rumah sakit yang merupakan salah satu faktor pemicu
terjadinya resistensi bakteri (Putri dkk., 2019).
9
2. Kloramfenikol, Tetrasiklin, Makrolida, Clindamisin dan Streptogramin
Golongan agen ini berperan dalam penghambatan sintesis protein bakteri
dengan cara mengikat dan mengganggu ribosom, antara lain:
kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida, klindamisin, streptogramin,
oksazolidinon.
3. Aminoglikosida
Golongan aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin,
kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomicin, etilmicin, dan
lain-lain.
4. Sulfonamida, Trimethoprim, dan Quinolones
Sulfonamida merupakan antibiotik yang bekerja secara kompetitif
menghambat sintesis dihidropteroat. Antibiotik golongan sulfonamida,
antara lain sulfasitin, sulfisoksazole, sulfamethizole, sulfadiazine,
sulfamethoksazole, sulfapiridin, dan sulfadoxine. Golongan trimethoprim
dan kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol merupakan antiobiotik yang
cara kerjanya menghambat bakteri melalui jalur asam dihidrofolat
reduktase dan menghambat aktivitas reduktase asam dihidrofolik
protozoa sehingga menghasilkan efek yang sinergis. Fluoroquinolon
adalah quinolones yang mempunyai mekanisme menghambat sintesis
DNA bakteri pada topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV.
Golongan obat ini adalah asam nalidiksat, asam oksolinat, sinoksasin,
siprofloksasin, levofloksasin, slinafloksasin, enoksasin, gatifloksasin,
lomefloksasin, moxifloksasin, norfloksasin, ofloksasin, sparfloksasin dan
trovafloksasin dan lain-lain.
b. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, penggolongan antibiotik dibagi menjadi
dua, yaitu (Yanty dan Oktarlina, 2018):
1. Obat-obat bakteriostatik bekerja dengan cara menahan pertumbuhan dan
replikasi bakteri pada kadar serum yang dapat dicapai oleh pasien,
sehingga menghambat penyebaran infeksi saat sistem kekebalan tubuh
menyerang, memindahkan, dan mengeleminasi patogen.
10
2. Obat-obat bakterisidal membunuh bakteri pada kadar obat dalam serum
yang dapat dicapai pasien.
c. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan menjadi dua, yaitu
(Yanty dan Oktarlina, 2018):
1. Antibiotik spektrum luas (broad spectrum) merupakan antibiotik yang
dapat menghambat atau membunuh bakteri golongan gram positif
maupun negatif. Termasuk golongan ini yaitu tetrasiklin dan derivatnya,
ampisilin, kloramfenikol, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain.
Antibiotik berspektrum luas digunakan untuk mengobati penyakit infeksi
yang belum teridentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.
2. Antibiotik berspektrum sempit (narrow spectrum) efektif untuk melawan
satu jenis organisme. Contohnya eritromisin dan penisilin yang
digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram
positif.
11
Penggunaan antibiotik rasional adalah penggunaan antibiotik yang sesuai
dengan diagnosis penyakit, ketentuan pemilihan yang tepat sehingga tepat sasaran
dengan efek samping sangat minimal. Penggunaan antibiotik berdasarkan indikasi
adalah penggunaan antibiotik yang mempunyai manfaat bagi pasien dengan
pemberian secara profilaksis dan pemberian terapeutik. Pemberian profilaksis
adalah penggunaan antibiotik pada keadaan tidak ada atau belum terdapat gejala
infeksi, untuk mencegah infeksi pada pasien yang mempunyai risiko terjadi
infeksi bakteri. Pemberian antibiotik secara terapeutik apabila antibiotik
digunakan pada keadaan infeksi. Pemberian antibiotik secara terapeutik, dapat
dilakukan secara empiris dan definitif. Terapi empiris adalah pemberian antibiotik
pada keadaan infeksi sebelum didapat hasil kultur bakteri dan uji kepekaan
terhadap antibiotik. Terapi definitif dilakukan berdasarkan hasil biakan bakteri
dan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik (Katarnida dkk., 2014).
Dalam pemberian antibiotik harus tepat dosis sehingga dapat membunuh
bakteri secara menyeluruh, jika tidak tepat maka bakteri akan resisten terhadap
obat tersebut. Apabila pemakaian antibiotik kurang dari waktu yang ditentukan
akan terjadi kegagalan pengobatan, adanya bakteri resisten terhadap obat
antibiotik tersebut, sehingga akan meningkatkan biaya yang mahal karena untuk
penanggulangan dari efek pemakaian obat yang tidak sesuai aturan (Nugroho
dkk., 2019).
Pemberian antibiotik sebaiknya dilakukan secara tepat sesuai dengan
indikasi, dimana disesuaikan dengan bakteri penyebab infeksi agar tujuan
penggunaan antibiotik sesuai hasil terapi yang diharapkan. Keberhasilan
penggunaan antibiotik ditentukan oleh beberapa factor, seperti: ketepatan dosis,
cara pemberian, frekuensi pemakaian, dan lama pemberian dalam menggunakan
obatnya (Purwaningsih dkk., 2015).
12
kesehatan dan bahkan kematian (Nurkusuma dan Dewi, 2017). Resistensi
terhadap antibiotik adalah perubahan kemampuan bakteri hingga menjadi kebal
terhadap antibiotik. Bakteri yang resisten terhadap antibiotik tidak akan terbunuh
oleh antibiotik, lalu berkembang biak dan menyebar sehingga menjadi lebih
berbahaya (Fatisa, 2013).
Resistensi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: mikroorganisme
menghasilkan enzim yang merusak zat aktif, mikroorganisme mengubah
permeabilitas membran terhadap obat, perubahan struktur sasaran obat, perubahan
lintasan metabolisme, dan mikroorganisme mengubah enzim yang berfungsi
untuk metabolismenya menjadi kurang aktif terhadap obat (Lisni dkk., 2021).
Penyebab utama resistensi antibiotik ialah penggunaannya yang meluas dan
irasional (Wowiling dkk., 2013). Salah satu faktor penyebab resistensi antibiotik
adalah ketidakpatuhan pasien terhadap penggunaan antibiotik itu sendiri.
Ketidakpatuhan dan ketidakpahaman pasien dalam penggunaan antibiotik menjadi
penyebab gagalnya terapi obat antibiotik. Sedangkan faktor terjadinya
penyalahgunaan yang menggunakan antibiotik ialah kurangnya pengetahuan
pasien mengenai antibiotik (Anggraini dkk., 2020).
Resistensi tidak dapat dihilangkan namun dapat diperlambat dengan cara
menggunakan antibiotik dengan bijak. Berbagai cara perlu dilakukan untuk
menanggulangi masalah resistensi antimikroba ini baik di tingkat perorangan
maupun di tingkat institusi atau lembaga pemerintahan, dalam kerja sama antar-
institusi maupun antar-negara (Ridwan dkk., 2019).
13
Health Organization (WHO). WHO menetapkan metode spesifik dan
terstandarisasi untuk klasifikasi penggunaan antibiotik yaitu Anatomical
Therapeutic Chemical (ATC) dan pengukuran kuantitas antibiotik Defined Daily
Dose (DDD)/100 patient-days (Rukminingsih dan Apriliyani, 2021). Klasifikasi
ATC adalah sistem pengelompokan zat aktif sesuai tempat aksinya dan DDD
adalah sistem pengukuran yang terhubung dengan kode ATC. DDD merupakan
asumsi rata-rata dosis obat perhari pasien dewasa. ATC/DDD dapat
menggambarkan peresepan antibiotik di suatu populasi (Rachmawati dkk., 2020).
Metode ATC/DDD merupakan metode klasifikasi dan pengukuran
penggunaan obat yang saat ini telah menjadi salah satu pusat perhatian dalam
pengembangan penelitian penggunaan obat. Penggunaan metode ATC/DDD dapat
diintegrasikan dengan DU (Drug Untilization) 90% untuk mengidentifikasi
segmen penggunaan terbanyak dalam studi penggunaan obat di suatu populasi.
Badan Kesehatan Dunia (WHO), sejak 1996 menganjurkan penggunaan ATC
(Anatomical Theraupetic Chemical) bersamaan dengan unit DDD (Defined Daily
Dose) sebagai standar untuk memperoleh data yang baku (Andriani dkk., 2020).
Sistem ATC/DDD dapat digunakan untuk mengukur intensitas obat yang
dikonsumsi secara luas di masyarakat sehingga penggunaan obat di suatu negara
atau wilayah dapat dimonitor dengan baik. Data tersebut berguna untuk
mengetahui perubahan penggunaan obat dari waktu ke waktu. Selain itu, data
tersebut dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi penggunaan obat yang salah
(misuse), kurang (underuse), dan berlebihan (overuse), dan untuk melakukan
perbandingan penggunaan obat. Evaluasi kuantitatif dengan menggunakan metode
DDD merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan penggunaan antibiotik secara
bijak (Pratama dkk., 2019).
Evaluasi kualitatif penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan menggunakan
metode Gyssens. Evaluasi penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens
bertujuan untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotik (Sukmawati dkk., 2020).
Evaluasi kualitatif penggunaan antibiotik pada pasien infeksi yaitu, (1) Tepat
indikasi, kriteria pengobatan yang sesuai dengan indikasi dinilai dari obat yang
diberikan kepada pasien sesuai dengan diagnosa dokter; (2) Tepat pasien, kriteria
14
pengobatan yang sesuai dengan ketepatan pasien adalah apabila pemberian obat
tidak mempunyai kontraindikasi terhadap pasien infeksi. Selain itu, kriteria lain
yang perlu dipertimbangkan saat menilai ketepatan pasien yaitu dengan melihat
kondisi penyakit penyerta yang diderita oleh pasien. Hal tersebut juga akan
memengaruhi penentuan kontraindikasi pengobatan antibiotik kepada pasien
infeksi; (3) Tepat obat, pengobatan dikatakan tepat obat jika pemberian obat
kepada pasien merupakan pilihan pertama (Drug of Choice) sesuai dengan
Permenkes No. 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik, dan
Antibiotik Guideline Jhon Hopkins 2015-2016; (4) Tepat dosis, pengobatan
dikatakan memenuhi kriteria ketepatan dosis jika pemberian sudah seusai dengan
parameter tepat besaran dosis, frekuensi pemberian, rute pemberian, dan durasi
penggunaan obat. Pasien yang tidak memenuhi keempat kriteria tersebut tidak
bisa dikatakan rasional dalam penggunaan obat (Dirga dkk., 2021).
15
lokal dan tidak dalam rangka generalisasi temuan empiris sebagai kejadian umum
(Firmansyah dkk., 2021).
16
Tabel 2.1 Level pertama klasifikasi ATC (Nanni dkk, 2020)
Kode Keterangan
C System kardiovaskular
D Dermatologis
M Sistem musculoskeletal
N Sistem saraf
R Sistem pernapasan
S Organ sensorik
V Various
17
2015). Rumus untuk menghitung DDD/100 patient days adalah sebagai berikut
(Firdaus dkk., 2021):
Keterangan :
1. Jumlah antibiotik yang digunakan pasien (gram) adalah penggunaan
antibiotik yang dinyatakan dalam gram yang dihitung dari perkalian dosis
setiap hari dikalikan frekuensi penggunaan dan lama pemberian antibiotik.
2. Standar DDD WHO dalam gram adalah nilai DDD setiap antibiotik yang
sudah ditetapkan oleh WHO dan dinyatakan dalam gram.
3. Total Length Of Stay (LOS) adalah total lama rawat inap seluruh pasien.
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐷𝐷𝐷/𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘
Analisis data nilai DU 90% = × 100%
𝐷𝐷𝐷 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘
18
singkat, IVa tidak tepat karena ada antibiotik lain yang lebih efektif, IVb tidak
tepat karena ada antibiotik lain yang lebih aman, IVc tidak tepat karena ada yang
lebih murah, IVd tidak tepat karena ada spektrum yang lebih sempit, V tidak ada
indikasi antibiotik, VI catatan rekam medis tidak lengkap untuk dievaluasi
(Gambar 2.1). Pemberian antibiotik tepat apabila evaluasi sesuai dengan kategori
I, pemberian antibiotik tidak tepat apabila antibiotik termasuk kategori IIa, IIb,
IIc, IIIa, IIIb, IVa, IVb, IVc, IVd (II,III, IV) (Katarnida dkk., 2014).
Penelitian tim AMRIN (Antimicrobial Resistance in Indonesia Prevalence and
Prevention) digunakan sebagai standar untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik secara
kualitatif dan kuantitatif pada program pencegahan kejadian resistensi antibiotik. Evaluasi
kualitas antibiotik pada studi AMRIN menggunakan metode Van der Meer dan Gyssens
(Kategori 0-V) (Purwaningsih dkk., 2015).
Kategori IV B Ada antibiotik lain yang kurang toksik atau lebih aman
19
Mulai
AB tidak
V STOP
Diperlukan
ya
Ada AB lain ya
lebih efektif IVA
tidak
Ada AB lain
ya IVB
kurang toksik
tidak
Ada AB lain ya
lebih murah IVC
tidak
ya ya
Timing tidak I
tepat
ya
20
2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Evaluasi Penggunaan
Antibiotik
Kuantitatif Kualitatif
21
BAB III METODE PENELITIAN
Keterangan:
n : jumlah sampel minimal hasil perhitungan yang akan diambil
N : jumlah target populasi
Z1-0,5α : derajat koefisien konfidensi 95% (1,96)
P : proporsi suatu kasus terhadap populasi. Ditetapkan 50% (0,50)
jika proporsi tidak diketahui
d : presentase kemungkinan kekeliruan dalam menentukan ukuran
sampel (5%)
22
1,96.0,50(1 − 0,50)72
𝑛=
(0,50)2 (72 − 1) + 1,96.0,50(1 − 0,50)
1,96.0,50.0,50.72
𝑛=
0,0025.71 + 1,96.0,50.0,50
35,28
𝑛=
0,1775 + 0,49
35,28
𝑛=
0,6675
𝑛 = 52,85
𝑛 = 53 sampel
23
3.5 Instrumen Penelitian
Alat penelitian yang digunakan yaitu lembar data pasien, lembar
penggunaan antibiotik, rekam medis pasien dan buku panduan mengenai
ketepatan penggunaan antibiotik.
1. Lembar data pasien (nama, nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, tanggal
masuk dan pulang, status pulang, diagnosis utama, dan status pasien
(BPJS/umum) dan lembar penggunaan antibiotik (nama antibiotik, dosis
pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian, rute pemberian, interval
pemberian, bentuk sediaan, indikasi dan nama obat lain).
2. Data rekam medis pasien lengkap meliputi identitas pasien (nama, nomor
rekam medis, usia, jenis kelamin, diagnosis utama) dan data penggunaan obat
(nama antibiotik, dosis pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian, rute
pemberian, interval pemberian, bentuk sediaan, indikasi dan nama obat lain)
dan data lab pasien (tanda vital).
3. Buku panduan berisi informasi mengenai ketepatan penggunaan antibiotik
diantara buku panduan yang digunakan adalah: Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan
Antibiotik; Antibiotik Guideline Jhon Hopkins 2015-2016; Dipiro,
Pharmacotheraphy Principles and Practice, Applied Therapeutics The
Clinical Use of Drugs 10th Edition; dan literatur pendukung lainnya.
24
5. Karakteristik terapi yaitu nama antibiotik, dosis, lama pemberian, rute
pemberian, interval pemberian, bentuk sediaan, indikasi dan nama obat lain.
6. ATC (Anatomical Therapeutic Chemical) adalah sistem klasifikasi obat dari
WHO dengan prinsip produk obat dikelompokkan berdasarkan fungsi
terapeutik utama dari senyawa aktif dan satu kode ATC hanya untuk satu rute
administrasi.
7. DDD (Defined Daily Dose) adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan
antibiotik untuk indikasi tertentu pada orang dewasa.
8. DU 90% adalah metode yang digunakan untuk menjelaskan pola konsumsi
obat dan termasuk dalam segmen 90.
9. Jumlah gram antibiotik yang digunakan oleh pasien adalah perhitungan
jumlah gram antibiotik yang diterima pasien setiap hari selama di rawat di
ruang ICU.
10. LOS (Length of Stay) adalah lama hari rawat inap pasien dewasa yang
menggunakan antibiotik selama pandemi COVID-19 di ruang ICU RSUD
Palagimata Kota Baubau tahun 2021, dihitung mulai dari masuk sampai
keluar dari rumah sakit.
11. Nilai standar DDD WHO adalah standar yang digunakan untuk menghitung
nilai DDD/100 patient days antibiotik yang digunakan.
12. Alur Gyssens ialah analisis kualitatif dengan menggunakan kategori VI-0.
13. Kategori VI adalah kategori rasionalitas yang menilai tentang rekam medis
yang lengkap. Kelengkapan rekam medis meliputi identitas pasien (nama,
nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, tanggal masuk dan pulang, status
pulang, diagnosis utama, dan status pasien (BPJS/umum)) dan data
penggunaan obat (nama antibiotik, dosis pemberian, frekuensi pemberian,
lama pemberian, rute pemberian, interval pemberian, bentuk sediaan, indikasi
dan nama obat lain) dan data lab pasien (tanda vital).
14. Kategori V adalah kategori rasionalitas tentang ketidaktepatan indikasi
pasien.
15. Kategori IVA adalah kategori rasionalitas tentang ada tidaknya antibiotik lain
yang lebih efektif.
25
16. Kategori IVB adalah kategori rasionalitas tentang ada tidaknya antibiotik lain
yang kurang toksik atau lebih aman.
17. Kategori IVC adalah kategori rasionalitas tentang ada tidaknya antibiotik lain
yang lebih murah.
18. Kategori IVD adalah kategori rasionalitas tentang ada tidaknya spektrum
antibiotik lain yang lebih sempit.
19. Kategori IIIA adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik yang
terlalu lama.
20. Kategori IIIB adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik yang
terlalu singkat.
21. Kategori IIA adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik tidak
tepat dosis.
22. Kategori IIB adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik yang
tidak tepat interval pemberian.
23. Kategori IIC adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik yang
tidak tepat cara/rute pemberian.
24. Kategori I adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik tidak
tepat waktu.
25. Kategori 0 adalah kategori rasionalitas tentang penggunaan antibiotik
tepat/bijak.
26. Gambaran penggunaan antibiotik adalah penggunaan antibiotik berdasarkan
jenis dan golongan antibiotik, bentuk sediaan antibiotik, rute pemberian,
frekuensi pemberian, lama pemberian pada pasien dewasa selama COVID-19
di ruang ICU RSUD Palagimata Kota Baubau tahun 2021.
26
3.7.2 Pengumpulan Data Penelitian
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan alur sebagai berikut:
1. Pengumpulan data pasien dewasa selama pandemi COVID-19 di ruang ICU
RSUD Palagimata Kota Baubau tahun 2021.
2. Pemilihan sampel yang masuk ke dalam kriteria inklusi.
3. Data rekam medis dari pasien tersebut kemudian ditulis ke dalam lembar data
pasien dan lembar penggunaan antibiotik.
4. Data dari rekam medis pasien diolah lebih lanjut.
27
3. Diidentifikasi Defined Daily Dose (DDD) untuk masing-masing antibiotik
berdasarkan Guidelines for ATC and DDD Assignment WHO tahun 2022.
4. Dihitung jumlah kekuatan antibiotik (dalam gram) yang digunakan.
5. Dihitung jumlah hari rawat inap (total Length of Stay, LOS) pasien dewasa
yang menggunakan antibiotik selama pandemi COVID-19 di ruang ICU RSUD
Palagimata Kota Baubau tahun 2021.
6. Dihitung DDD/100 patient days untuk masing-masing jenis antibiotik atau
kombinasi.
7. Nilai DDD/100 patient days yang didapatkan dibedakan berdasarkan jenis
antibiotiknya kemudian nilai tersebut dibandingkan untuk melihat jenis
antibiotik yang paling banyak digunakan berdasarkan DU 90%.
Proses evaluasi dengan alur Gyssens untuk menilai ketepatan penggunaan
antibiotik pada pasien dewasa sebagai berikut:
1. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI.
Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada
halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat dievaluasi.
Pemeriksaan penunjang/laboratorium tidak harus dilakukan karena mungkin
tidak ada biaya, dengan catatan sudah direncanakan pemeriksaannya untuk
mendukung diagnosis. Diagnosis kerja dapat ditegakkan secara klinis dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila data rekam medis tidak lengkap maka
berhenti dikategori VI. Bila data rekam medis lengkap, dilanjutkan pada
kategori V.
2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotik, berhenti dikategori V.
Bila antibiotik sesuai indikasi, lanjutkan dengan kategori IVA. Data yang
dianalisis dikategori V berasal dari data diaktegori VI dan data yang dianalisis
dikategori IVA adalah data yang lulus di kategori V.
3. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti dikategori IVA.
Data yang dianalisis dikategori IVA adalah data yang lulus dari kategori VI
dan V. Bila tidak, lanjutkan dengan kategori IVB.
4. Bila ada pilihan antibiotik lain yang kurang toksik, berhenti dikategori IVB.
28
Data yang dianalisis dikategori IVB adalah data yang lulus dari kategori IVA.
Bila tidak, lanjutkan dengan kategori IVC dan lanjutkan dengan pertanyaan
dibawahnya, apakah ada alternatif lebih murah.
5. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah, berhenti dikategori IVC.
Data yang dianalisis dikategori IVC adalah data yang lulus dari kategori IVB.
Bila tidak, lanjutkan dengan kategori IVD dan lanjutkan dengan pertanyaan
apakah ada alternatif lain yang spektrumnya lebih sempit.
6. Bila ada pilihan antibiotik lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti
dikategori IVD.
Data yang dianalisis dikategori IVD adalah data yang lulus dari kategori IVC.
Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit, lanjutkan dengan kategori
IIIA.
7. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu panjang, berhenti dikategori IIIA.
Bila tidak, dilanjutkan dengan kategori IIIB dan diteruskan dengan
pertanyaan apakah durasi antibiotik terlalu singkat. Data yang dianalisis
dikategori IIIA adalah data yang lulus dari kategori IVD.
8. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu singkat, berhenti dikategori IIIB.
Bila tidak, diteruskan dengan kategori IIA. Data yang dianalisis dikategori
IIIB adalah data yang lulus dari kategori IIIA.
9. Bila dosis pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti dikategori IIA.
Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan kategori IIB. Data yang dianalisis
dikategori IIA adalah data yang lulus dari kategori IIIB.
10. Bila interval pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti dikategori IIB.
Bila intervalnya tepat, lanjutkan dikategori IIC. Data yang dianalisis
dikategori IIB adalah data yang lulus dari kategori IIA.
11. Bila rute pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti dikategori IIC.
Bila rute tepat, lanjutkan ke kategori I penggunaan antibiotik tepat atau bijak.
Data yang dianalisis dikategori IIC adalah data yang lulus dari kategori IIB.
12. Bila antibiotik tidak tepat waktu pemberian berhenti dikategori I.
Bila waktu tepat dilanjutkan ke kategori 0.
13. Kategori 0 tepat atau bijak.
29
3.8 Jadwal Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diperkirakan akan berlangsung selama 4 bulan
dengan jadwal penelitian dipaparkan pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Pelaksanaan Penelitian
Bulan ke-
Kegiatan
1 2 3 4
Observasi
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Analisis Data
30
DAFTAR PUSTAKA
Agistia, N., Mukhtar H., dan Nasif H., 2017, Efektivitas Antibiotik pada Pasien
Ulkus Kaki Diabetik, Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 4(1), 43-48,
https://doi.org/10.29208/jsfk.2017.4.1.144
Andriani, Y., Meirista I., dan Aprio Y., 2020, Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Dengan Metode Atc/Ddd Dan Du 90% Di Puskesmas Kebun Handil Kota
Jambi Periode 2018 Dan 2019, Journal of Healthcare Technology and
Medicine, 6(2), 700. https://doi.org/10.33143/jhtm.v6i2.976
Anggraini, W., Puspitasari M. R., Ramadhani R., Atmaja D., dan Sugihantoro H.,
2020, Pengaruh Pemberian Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan Pasien
Rawat Jalan Tentang Penggunaan Antibiotik Di RSUD Kanjuruhan
Kabupaten Malang, Pharmaceutical Journal of Indonesia, 6(1), 57–62.
Anggriani A., Lisni I., dan Kusnandar K., 2018, Kajian Rasionalitas Penggunaan
Antibiotik Di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Di Salah Satu Rumah Sakit
Swasta Di Bandung, PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia
(Pharmaceutical Journal of Indonesia), 15(2), 171.
https://doi.org/10.30595/pharmacy.v15i2.3061
Astuti, D., dan Arfania M., 2018, Analisis Penggunaan Antibiotika Dengan
Metoda ATC/DDD Di Rumah Sakit Swasta Kab Karawang, Pharma
Xplore : Jurnal Ilmiah Farmasi, 3(2), 194–202.
https://doi.org/10.36805/farmasi.v3i2.467
31
Destiani, D. P., Rina S., Eli H., Ellin F., dan Syahrul N., 2016, Evaluasi
Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Rawat Jalan di Fasilitas
Kesehatan Rawat Jalan Pada Tahun 2015 Dengan Metode ATC/DDD,
Farmaka, 14(2), 19–25.
Dirga D., Khairunnisa S. M., Akhmad A. D., Setyawan I. A., dan Pratama A.,
2021, Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Rawat Inap di Bangsal
Penyakit Dalam RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung, Jurnal
Kefarmasian Indonesia, 11(1), 65–75.
https://doi.org/10.22435/jki.v11i1.3570
Farida Y., Putri V. W., dan Hanafi M., 2020, Profil Pasien dan Penggunaan
Antibiotik pada Kasus Community-Acquired Pneumonia Rawat Inap di
Rumah Sakit Akademik Wilayah Sukoharjo, Journal of Pharmaceutical
Science and Clinical Research, 2, 151–164.
https://doi.org/10.20961/jpscr.v5i2.39763
Firdaus, Y. V., Jaelani A. K., Herawati F., dan Yulia R., 2021, Evaluasi
Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pasien Bedah Ortopedi di Rumah
Sakit Bangil, Intisari Sains Medis, 12(2), 407.
https://doi.org/10.15562/ism.v12i2.948
Firmansyah, M., Masrun M., dan Yudha S. I. D. K., 2021, Esensi Perbedaan
Metode Kualitatif Dan Kuantitatif, Elastisitas - Jurnal Ekonomi
Pembangunan, 3(2), 156–159. https://doi.org/10.29303/e-jep.v3i2.46
Katarnida S. S., Murniati D., dan Katar Y., 2014, Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Secara Kualitatif di RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta, Sari
Pediatri, 15(6), 369–376.
32
Lisni, I., Mujianti D., dan Anggriani A., 2021, Profil Antibiotik untuk Pengobatan
Pasien Covid-19 Di Suatu Rumah Sakit Di Bandung, Jurnal Ilmiah
Farmako Bahari, 12(2), 99. https://doi.org/10.52434/jfb.v12i2.1196
Mahdiyah, D. F., Mayasari, D., dan Kuncoro H., 2021, Analisa Tingkat
Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Terhadap Penggunaan Antibiotik di
Kelurahan Dawi-Dawi, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi
Sulawesi Tenggara, Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals
Conferences, 366–374.
Nanni, L., Sheryl B., dan Gianluca M., 2020, Anatomical Therapeutic Chemical
Classification (ATC) With Multil-Label Learners and Deep Features,
International Journal of Natural Computing Research, 9(3), 16-17.
Nugroho, F., Pri I. U., dan Ika Y., 2019, Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada
Penyakit Pneumonia Di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga,
Pharmacy, 1(01), 105–112.
Pani, S., Barliana M. I., Halimah E., Pradipta I. S., dan Annisa N., 2015,
Monitoring Penggunaan Antibiotik dengan Metode ATC / DDD dan DU 90
%: Studi Observasional di Seluruh Puskesmas Kabupaten Gorontalo Utara,
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 4(4).
https://doi.org/10.15416/ijcp.2015.4.4.280
Pondi, M., Fauzan S., dan Yulanda N. A., 2020, Gambaran Kualitas Pelayanan
Keperawatan Dan Pemenuhan Kebutuhan Keluarga Pasien Di Icu:
Literature Review, Tanjungpura Journal of Nursing Practice and
Education, 2(2). https://doi.org/10.26418/tjnpe.v2i2.45666
Pratama, N. Y. I., Suprapti B., Ardiansyah A. O., dan Shinta D. W., 2019,
Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Rawat Inap Bedah dengan
Menggunakan Defined Daily Dose dan Drug Utilization 90 % di Rumah
Sakit Universitas Airlangga, Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 8(4).
https://doi.org/10.15416/ijcp.2019.8.4.256
33
Pratiwi, R. H., 2017, Mekanisme Pertahanan Bakteri Patogen Terhadap
Antibiotik, Journal Pro-Life, 4(2), 418–429.
Pratomo, G. S., dan Dewi N. A., 2018, Tingkat Pengetahuan Masyarakat Desa
Anjir Mambulau Tengah terhadap Penggunaan Antibiotik, Jurnal Surya
Medika, 4(1), 79–89. https://doi.org/10.33084/jsm.v4i1.354
Putri, S. C., Eka K. U., dan Yuswar M. A., 2019, Profil Antibiotik pada Pasien
Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit Dr. Soedarso Pontianak Periode
Januari–Juni 2019, Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran
UNTAN, 5(2), 293–303.
Rachmawati, S., Masito D. K., dan Rachmawati E., 2020, Evaluasi Penggunaan
Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Inap di RSD Dr. Soebandi Jember,
Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy) (e-Journal),
6(2), 212–220. https://doi.org/10.22487/j24428744.2020.v6.i2.14976
Ridwan, A., Narulita L., Widyadi E. D., dan Suharjono S., 2019, Analisis
Penggunaan Antibiotika pada Pasien Penyakit Dalam di RSUD Dr. H.
Slamet Martodirdjo Pamekasan dengan Metode ATC/DDD, Jurnal Sains
Farmasi & Klinis, 6(3), 237. https://doi.org/10.25077/jsfk.6.3.237-242.2019
Rosidawati, I., dan Hodijah, S, 2019, Hubungan Antara Lama Rawat Dengan
Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien Di Ruang Intensive Care Unit RSUD
Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya, Jurnal Keperawatan Muhammadiyah
Bengkulu, 7(1), 33–38. https://doi.org/10.36085/jkmu.v7i1.308
RSUD Palagimata Kota Baubau, 2021, Formulir Surveilans Harian Infeksi RSUD
Kota Baubau Tahun 2021 di Ruang ICU, RSUD Palagimata Kota Baubau,
Baubau.
34
3(1), 26-34.
Sinto, R., 2020, Peran Penting Pengendalian Resistensi Antibiotik pada Pandemi
COVID-19, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(4), 2020–2021.
Suryoputri, M. W., Ekowati H., Mustikaningtias I., Maharani L., E, N. E., dan
Ilma D. L., 2021, Edukasi Pada Kader Pkk Dalam Pengelolaan Dan
Penggunaan Antibiotik Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat di
Desa Bojongsari Banyumas, Jurnal Pengembangan Sumber Daya
Perdesaan Dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X, 417–426.
http://jurnal.lppm.unsoed.ac.id/ojs/index.php/Prosiding/article/view/1442
Suwardianto, H., dan VItaria W.A., 2020, Buku Ajar Keperawatan Kritis:
Pendekatan Evidence Base Practice Nursing, Chakra Brahmanda Lentera,
Jakarta.
Taher, P., Poetry O., dan Siti R. A., 2020, Rasionalitas Penggunaan Antibiotika
pada Pasien Poli Gigi Salah Satu Rumah Sakit Pendidikan di Jakarta, Jurnal
Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi, 16(2), 51-56.
Wijayanti, N., Wahyuningsih Y. T., dan Mirwant R., 2021, Dampak Pandemi
COVID-19 Bagi Kesehatan Mental Perawat ICU, Nusantara: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, 8(2), 1243–1256.
Wowiling, C., Lily R. G., dan Gayatri C., 2013, Pengaruh Penyuluhan
Penggunaan Antibiotika Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat di Kota
Manado, Pharmacon, 2(03), 25.
35
Stevens Johnson Syndrome, Jurnal Ilmiah Bakti Farmasi, 3(2), 23–28.
Yarza, H. L., Yanwirasti Y., dan Irawati L., 2015, Hubungan Tingkat
Pengetahuan dan Sikap dengan Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep Dokter,
Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), 151–156.
https://doi.org/10.25077/jka.v4i1.214
Yulia, R., Putri R., dan Wahyudi R., 2019, Study of Community Knowledge of
Antibiotic Use in Puskesmas Rasimah Ahmad Bukittinggi, Journal of
Pharmaceutical and Sciences, 2(2), 43–48.
Yuniar, I., Karyanti M. R., Tambunan T., dan Rizkyani N. A., 2016, Evaluasi
Penggunaan Antibiotik dengan Kartu Monitoring Antibiotik Gyssens, Sari
Pediatri, 14(6), 384. https://doi.org/10.14238/sp14.6.2013.384-90
36