Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

Program Pengendalian Resistensi Antimikroba merupakan suatu gerakan


dalam rangka mengendalikan terjadinya kuman-kuman resisten terhadap antibiotik.
Berkembangnya masalah resistensi ini sangat erat berhubungan dengan
penggunaan antibiotik secara bijak dan penerapan pengendalian infeksi secara
benar. Penelitian Antimicrobial Resistance in Indonesia, Prevalence and
Prevention (AMRIN Study), merupakan penelitian kolaborasi Indonesia dan
Belanda yang telah dilaksanakan secara tervalidasi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
dan RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2000-2004, hasil penelitian ini
membuktikan sudah terdapat kuman multi-resisten, demikian pula telah muncul
bakteri multi-resisten yang membahayakan, seperti MRSA (Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus) dan bakteri penghasil ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamases), yang tidak hanya merupakan ancaman bagi lingkungan yang
berkaitan tetapi juga bagi masyarakat luas.1 Pada penilaian penggunaan antibiotik
secara bijak yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP. Dr.
Kariadi Semarang, mewakili Rumah Sakit pendidikan di Indonesia, terbukti 30%
sampai dengan 80% penggunaan antibiotik tidak berdasarkan indikasi (Hadi, 2009).
Penyakit demam Typhoid adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
gejala demam yang lama dan nyeri pada bagian abdominal. Penyakit ini disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphii. Secara epidemiologi,
angka kejadian penyakit ini sudah mulai berkurang di negara-negara berkembang
seiring dengan berkembangnya terapi antibiotika, baiknya dalam kebersihan
makanan dan air. Namun, tercatat di dunia pada tahun 2002 terdapat 22 juta kasus
dengan jumlah kematian 200000 ribu orang. Insidensi tertinggi (>100 per 100.000
orang) pada negara-negara Asia selatan dan insidensi sedang (10-100 kasus per
100.000orang) pada negara-negara Asia lainnya, amerika latin dan Ocenia.
Jumlah kasus demam Typhoid ini cukup banyak di Rumah Sakit
Pelabuhan Ratu. Pada tahun 2017 di ruang VVIP menduduki peringkat ke dua
setelah gastritis yaitu sebanyak 60 kasus, di ruang VIP menduduki peringkat
2

pertama yaitu sebanyak 84 kasus dan di ruang penyakit dalam menduduki peringkat
ke dua, yaitu sebanyak 193 kasus.
Penelitian yang dilakukan Chiou dkk pada tahun 2014 menyatakan
:”Beberapa Bakteri Salmonella typhi yang di isolasi dari Indonesia, Bangladesh,
Vietnam dan Taiwan ,memiliki genetik resisten antibiotik, sehingga menyebabkan
multidrug resisten”.6 Hal ini bisa disebabkan pemakaian antibiotika yang tidak
rasional.
Pemberian antibiotika harus mempertimbangkan keadaan dan penyakit
yang diderita pasien. Pada tahun 2006, Carmelli Yehuda membuat system skoring
untuk mengukur risiko terjadinya resistensi antimikroba berdasarkan tingkat
keparahan penyakit pasien.Sistem skoring ini terdiri dari adanya kontak dengan
petugas kesehatan, adanya penggunaan antibiotika dan umur penderita.7 Skor risiko
ini cukup baik digunakan untuk memprediksi pasien dengan resistensi antibiotika.8
Setelah pemberian terapi antibiotika baik empirik maupun definitif,
keberhasilan terapi ditinjau kembali. Monitoring ini meliputi penilaian klinis,
pemeriksaan lab, dan jika terjadi, penilaian sebab dari gagalnya terapi antibiotika.
Kegagalan terapi antibiotika bisa disebabkan faktor mikrobiologis sendiri,
antibiotika, kegagalan penetrasi antibiotika, atau adanya penyakit penyerta non
infeksi.
Perlu diingat bahwa suseptibilitas in vitro bisa berbeda dengan in vivo.
Juga diperkuat tidak adekuatnya konsentrasi antibiotika di darah atau pun jaringan,
terjadinya penurunan aktivitas antibiotika di jaringan, ataupun inaktivasi antibiotika
oleh obat lainnya. Bisa juga disebabkan oleh kondisi yang menyerupai demam
infeksi seperti pada SLE. Gejala klinis juga bisa tampak tidak membaik karena
terjadinya drug fever ataupun infeksi yang memang bukan disebabkan oleh bakteri.
Infeksi disebabkan oleh virus atau fungi.
Evaluasi terapi antibiotika untuk kualitas penggunaan antibiotika
berdasarkan dosis harian yang digunakan Pasien, sedangkan untuk kualitas
penggunaan antibiotika berdasarkan metode Gyssens. Gyssen dkk. Telah
mengembangkan penelitian penggunaan antibiotika secara kualitatif untuk menlai
ketepatan penggunaan antibiotika, berdasarkan pengelompokan kategori 0-6 yang
3

didasarkan atas ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan , berdasarkan efektivitas,


toksisitas, harga dan spektrum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang analisis kualitatif penggunaan antibiotika pada pasien-pasien
dewasa demam typhoid di ruang rawat inap penyakit dalam rumah sakit Pelabuhan
Ratu periode Maret-Mei 2018 dengan metode Gyssens dan stratifikasi diseases
severity Carmeli.
4

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Demam typhoid


Salmonella serotype typhi (S.typhi), adalah bakteri penyebab demam
typhoid. Bakteri ini ditransmisikikan melaui air dan makanan yang terkontaminasi
feses penderita demam typhoid atau penderita karier Salmonella typhi. Manusia
satu-satunya penjamu bakteri ini dan tidak memiliki reservoir. Pemberian antibiotik
yang efektif dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas demam typhoid ini.
Tanpa pengobatan, penyakit ini dapat berlangsung 3-4 minggu dan memiliki angka
case fatality rate 10%. Pemberian terapi antibiotik yang sesuai dapat menurunkan
gejala demam menjadi 5 hari dan menurunkan mortalitas 1%. Sekitar 10-20%
penderita menjadi relap dengan gejala penyakit yang minimal. Pada umumnya relap
terjadi setelah 1-2 minggu setelah pasien tidak demam walaupun pasien masih
diberikan antibiotik.
Bakteri ini dapat diisolasi dari darah pada 1-3 minggu pertama
demam.Bakteri ini ditemukan pada kultur feses sedikit pada minggu pertama dan
banyak ditemukan di kultur feses pada minggu ke 2-3. Pada minggu ke-4, bakteri
ini ditemukan pada kultur sumsum tulang. Bakteri ini dapat diisolasi pula dari
aspirasi duodenal, rose spots dan 25% ditemukan di urine.

2.2 Gejala demam typhoid


Gejala dari penyakit ini ditandai dengan adanya demam yang turun-naik
seperti tangga pada minggu pertama, kemudian demam yang menetap (continue)
atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama dirasakan sore/ malam hari
disertai nyeri kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.
Pemeriksaan fisik didapatkan demam, delirium, bradikardia relatif
(peningkatan suhu 10 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit, lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepid an ujung merah disertai tremor), hepatomegaly,
splenomegaly, nyeri abdomen dan reseolae.
5

2.3 Pemeriksaan laboratorium demam typhoid


Pemeriksaan laboratorium darah ditemukan leukopenia, lekositosis atau
bahkan jumlah lekosit normal. Terkadang juga ditemujkan anemia ringan,
trombositopenia, gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan empedu) positif atau
terdapat peningkatan titer uji Widal > 4x lipat setelah satu minggu. Hasil kultur
negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titer antibodi O
1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas mendukung diagnosis.
Diagnosis hepatitis tifosa ditegakkan jika memenuhi 3 atau lebih kriteria
Khosia (1990), yaitu: hepatomegaly, ikterik, kelainan laboratorium (bilirubin >
30,6 umol/L, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan indeks PT), kelainan
histopatologi.
Typhoid karier ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam
biakan feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang
setelah 1 tahun pasca demam typhoid.
Metode isolasi Salmonella dengan menggunakan biakan perbenihan
diferensial seperti EMB, Mac Conkey, atau deoksikolat memungkinkan deteksi
secara cepat bakteri bukan peragi laktosa (bukan hanya Salmonella dan Shigella,
tetapi juga Proteus, Serratia, Pseudomonas dan lain-lain). Organisme Gram positif
dihambat. Perbenihan bismuth sulfit memungkinkan deteksi S.typhi dengan cepat,
karena terbentuk koloni-koloni hitam akibat dihasilkan H2S. Banyak Salmonella
menghasilkan H2S. Perbenihan selektif ditanam pada lempeng agar SS
(Salmonella-Shigella), agar Enterik Hektoen atau agar Deoksikolat sitrat. Pada
media perbenihan ini, Salmonella dan Shigella akan tumbuh subur, melebihi
organisme Enterobacteriaceae lainnya.

2.4 Antimikroba untuk demam typhoid


Pilihan antibiotika utama pada demam typhoid adalah Kloramfenikol
dengan dosis 4x500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam. Alternatif lain yaitu
Tiamfenikol 4x500 mg, Kotrimoksazol tablet 2x480mg selama 2 minggu,
Ampisilllin atau Amoksisilin 50-150 mg/KgBB selama 2 minggu. Sefalosporin
generasi II, yang terbukti efektif adalah ceftriaxone inj 3-4 gram dalam dekstrosa
100 cc selama 30 menit sekali sehari selama 3-5 hari. Dapat juga diberikan
6

cefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2x1 gram. Florokuinolon dapat


diberikan,yaitu: norfloksasin 2 x 400 mg selama 14 hari, ciprofloxacin 2x500 mg
selama 6 hari, Ofloxacin 2x400mg selama 7 hari, peflofloxacin 400 mg selama 7
hari dan flerofloxacin 400 mg selama 7 hari.

2.5 Pemilihan Antibiotika berdasarkan diseases severity Carmelli


Pemberian antibiotika harus mempertimbangkan keadaan dan penyakit
yang diderita pasien. Pemberian antibiotika tersingkat 3 hari dan terlama 7 hari.
Center of Diseases Control and Prevention (CDC) membuat stratifikasi risiko
pemberian antibiotika berdasarkan keadaan pasien. Berikut di bawah ini tabel 2.1
Antimicrobial Stewardship berdasarkan Diseases Severity Carmelli.

Tabel 2.1 Antimicrobial Stewardship berdasarkan Diseases Severity Carmeli


7

2.6 Evaluasi terapi antibiotika


Setelah pemberian terapi antibiotika baik empirik maupun definitif,
keberhasilan terapi ditinjau kembali. Monitoring ini meliputi penilaian klinis,
pemeriksaan lab, dan jika penilaian sebab dari gagalnya terapi antibiotika.
Kegagalan terapi antibiotika bisa disebabkan faktor mikrobiologis sendiri,
antibiotika, kegagalan penetrasi antibiotika, atau adanya penyakit penyerta non
infeksi.
Perlu diingat bahwa suseptibilitas in vitro bisa berbeda dengan in vivo.
Juga diperkuat tidak adekuatnya konsentrasi antibiotika di darah atau pun jaringan,
terjadinya penurunan aktivitas antibiotika di jaringan, ataupun inaktivasi antibiotika
oleh obat lainnya. Bisa juga disebabkan oleh kondisi yang menyerupai demam
infeksi seperti pada SLE. Gejala klinis juga bisa tampak tidak membaik karena
terjadinya drug fever ataupun infeksi yang memang bukan disebabkan oleh bakteri.
Infeksi disebabkan oleh virus atau fungi.
Evaluasi terapi antibiotika untuk kualitas penggunaan antibiotika
berdasarkan dosis harian yang digunakan Pasien, sedangkan untuk kualitas
penggunaan antibiotika berdasarkan metode Gyssens. Evaluasi dan monitoring
antibiotika di rumah sakit setidaknya di laksanakan 2 kali dalam satu tahun. Berikut
di bawah ini tabel 5 Metode Gyssens.
Tabel 2.5 Metode Gyssens
8

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Bentuk penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan pengambilan
data secara potong lintang (Cross sectional). Data yang diambil data sekunder hasil
rekam medic pada pasien-pasien yang telah didiagnosis demam typhoid di ruang
rawat inap penyakit dalam Rumah Sakit Pelabuhan Ratu periode Maret-Mei 2018.
Data dianalisis secara deskriptif

3.2 Batasan Operasional


1) Analisis kualitatif adalah penilaian terhadap kualitas dan ketepatan terapi
antibiotika dengan menggunakan kriteria disease severity dari Carmeli dan
metode Gyssen
2) Ketepatan terapi meliputi : tepat Pasien, tepat indikasi, tepat dosis dan tepat
rute.
3) Penilaian kualitas antibiotika yaitu dinilai berdasarkan total penggunaan
antibiotika yang digunakan setiap Pasien.
4) Data antibiotika yang digunakan adalah antibiotika yang tercatat pada data
rekam medik.
5) Evaluasi penggunaan antibiotika berdasarkan kriteria disease severity dari
Carmeli dan metode Gyssen, yaitu sebagai berikut:
9

Tabel 1. Diseases Severity Carmeli

Tabel 2. Metode Gyssen


10

Gambar 1. Algoritme Gyssen

3.3 Alat dan Bahan Penelitian

Alat penelitian yang digunakan adalah lembar formulir monitoring


antibiotika di IGD dan ruangan.
Bahan yang digunakan adalah data rekam medik, data hasil uji
laboratorium dan harga antibiotika yang berlaku di BLUD RSUD Palabuhanratu.

3.4 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah Pasien demam Typhoid dewasa yang
dirawat di ruang rawat inap penyakit dalam BLUD RSUD Palabuhanratu periode
Maret-Mei 2018.
Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini, yaitu:
1) Pasien-pasien dewasa dengan diagnosis demam Typhoid.
2) Pasien-pasien demam typhoid dewasa yang mendapatkan terapi antibiotika di
rawat inap penyakit dalam BLUD RSUD Palabuhanratu.
11

3) Pasien-pasien dewasa dengan hasil pemeriksaan widal antibodi O 1/320 atau


H 1/640 disertai gambaran klinis khas mendukung diagnosis.

Kriteria Ekslusi sampel pada penelitian ini, yaitu:


1) Pasien-pasien anak-anak
2) Pasien-pasien dewasa dengan hasil pemeriksaan widal antibodi O <1/320 atau
H <1/640

3.5 Teknik Sampling

Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif pada Pasien-pasien demam


Typhoid dewasa yang dirawat di ruang penyakit dalam BLUD RSUD Palabuhanratu
dengan menggunakan teknik purposive sample, yaitu cara pemilihan sampel
berdasarkan kriteria inklusi dengan sampel minimal 60 pasien.

3.6 Tempat Penelitian

Ruang rawat inap penyakit dalam BLUD RSUD Palabuhanratu.


12

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil evaluasi Tim program pencegahan resistensi antibiotika


(PPRA) dengan menulusuri alur data rekam medik pada bulan januari-mei 2018
pada pasien deman typhoid, diperoleh sampel sebanyak 60 pasien.

4.1 Hasil
4.1.1 Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.1 Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan jenis kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)


1 Laki-laki 40 67
2 Perempuan 20 33
Jumlah 60 100

Grafik 4.1
Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan jenis
kelamin

40
35
30
25
jumlah

20
15
10
5
0
laki-laki perempuan
Series1 40 20

Berdasarkan tabel dan grafik diatas diketahui bahwa : sebagian besar


pasien demam typhoid berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 40 orang atau
67%, dan hampir setengah pasien demam typhoid berjenis kelamin perempuan
yaitu sebanyak 20 orang atau 33%.
13

4.1.2 Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan umur

Tabel 4.2 Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan umur


No. Umur Jumlah Persentase (%)
1 15 – 24 22 36.7
2 25 – 34 2 3.3
3 35 – 44 7 11.7
4 45 - 54 10 16.7
5 55-64 13 21.7
6 65-74 5 8.3
7 ≥75 1 1.7
Jumlah 60 100

Grafik 4.2
Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan umur

25

20

15
jumlah

10

0
15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥ 75
Series1 22 2 7 10 13 5 1

Berdasarkan tabel dan grafik diatas diketahui bahwa : hampir setengahnya


pasien demam typhoid berumur antara 15-24 tahun yaitu sebanyak 22 orang atau
36,7%, sebagian kecil pasien demam typhoid berumur antara 25-34 tahun yaitu
sebanyak 2 orang atau 3,3%, sebagian kecil pasien demam typhoid berumur antara
35-44 tahun yaitu sebanyak 7 orang atau 11,7%, berumur antara 45-54 tahun yaitu
sebanyak 10 orang atau 16,7%, berumur antara 55-64 tahun yaitu sebanyak 13
orang atau 21,7%, berumur antara 65-74 tahun yaitu sebanyak 5 orang atau 8,3%,
dan berumur ≥75 tahun yaitu sebanyak 1 orang atau 1,7%
14

4.1.3 Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan cara pembayaran


Tabel 4.3 Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan cara
pembayaran

No. Cara pembayaran Jumlah Persentase (%)


1 BPJS 57 95.0
2 Tunai 3 5.0
Jumlah 60 100

Grafik 4.3
Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan
cara pembayaran

60
50
40
30
20
10
0
BPJS tunai

Berdasarkan tabel dan grafik diatas diketahui bahwa : Hampir seluruh


pasien demam typhoid melakukan pembayaran dengan BPJS yaitu sebanyak 57
orang atau 95,0%, dan sebagian kecil pasien demam typhoid melakukan
pembayaran dengan tunai yaitu sebanyak 3 orang atau 5,0%.

4.1.4 Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan kelas perawatan


Tabel 4.4 Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan kelas perawatan
No. Kelas Perawatan Jumlah Persentase (%)
1 III 39 65.0
2 II 8 13.3
3 I 7 11.7
4 VIP/VVIP 6 10.0
Jumlah 60 100
15

Grafik 4.4
Karakteristik pasien deman typhoid berdasarkan
kelas perawatan

40
35
30
Axis Title

25
20
15
10
5
0
III II I VIP/VVIP
Series1 39 8 7 6

Berdasarkan tabel dan grafik diatas diketahui bahwa : sebagian besar


pasien demam typhoid dirawat dikelas III yaitu sebanyak 39 orang atau 65,0%,
sebagian kecil pasien demam typhoid dirawat dikelas II yaitu sebanyak 8 orang atau
13,3%, dirawat dikelas I yaitu sebanyak 7 orang atau 11,7%, dan dirawat dikelas
VIP/VVIP yaitu sebanyak 6 orang atau 10,0%,

4.1.5 Sebaran Penggunaan antibiotik pada pasien demam typhoid periode


Januari-Mei 2018

Tabel 4.5 Sebaran Penggunaan antibiotik pada pasien demam typhoid


periode Januari-Mei 2018

Cara
No. Jenis antibiotik Jumlah Persentase (%)
pemberian
1 Ceftriaxon IV 47 63,5
2 Ciprofloxacin IV 3 4,1
3 Ceftizoxime IV 2 2,7
4 Meropenem IV 7 9.5
5 levofloxacin IV 2 2.7
6 Metronidazole IV 3 4,1
7 Cefotaxime IV 1 1,4
8 Ofloxacin IV 1 1,4
9 Azytromicin Oral 7 9,5
10 Cotrimoxazol Oral 1 1,4
Jumlah 74 100
16

Grafik 4.5
Sebaran Penggunaan antibiotik pada pasien demam typhoid
periode Januari-Mei 2018

50
40
30
20
10
0

Berdasarkan tabel dan grafik diatas diketahui bahwa : sebagian besar


pasien demam typhoid menggunakan antibiotik ceftriaxon yaitu sebanyak 47 orang
atau 63,5%, Sebagian kecil pasien demam typhoid menggunakan antibiotik
Ciprofloxacin yaitu sebanyak 3 orang atau 4,1%, antibiotik Ceftizoxime yaitu
sebanyak 2 orang atau 2,7%, antibiotik Meropenem yaitu sebanyak 7 orang atau
9,5%, antibiotik levofloxacin yaitu sebanyak 2 orang atau 2,7%, antibiotik
Metronidazole yaitu sebanyak 3 orang atau 4,1%, antibiotik Cefotaxime yaitu
sebanyak 1 orang atau 1,4%, antibiotik Ofloxacin yaitu sebanyak 1 orang atau
1,4%, %, antibiotik Azytromicin yaitu sebanyak 7 orang atau 9,5%, dan antibiotik
Cotrimoxazol yaitu sebanyak 1 orang atau 1,4%.

4.1.6 Lama penggunaan antibiotik


Tabel 4.6 Lama Penggunaan antibiotik pada pasien demam typhoid
periode Januari-Mei 2018

Lama Penggunaan
No. Jumlah Persentase (%)
Antibiotik
1 1 hari 7 11.7
2 2 hari 17 28.3
3 3 hari 23 38.3
4 4 hari 11 18.3
5 5 hari 0 0.0
6 6 hari 1 1.7
7 7 hari 1 1.7
8 ≥ 8 hari 0 0.0
Jumlah 60 100
17

Grafik 4.6
Lama Penggunaan antibiotik pada pasien demam typhoid
periode Januari-Mei 2018

25

20

15

10

0
1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7 hari ≥ 8 hari

Berdasarkan tabel dan grafik diatas diketahui bahwa : hampir setengahnya


pasien demam typhoid diberikan antibiotik selama 3 hari yaitu sebanyak 23 orang
atau 38,3%, diberikan antibiotik selama 2 hari yaitu sebanyak 17 orang atau 28,3%,
dan sebagian kecil diberikan antibiotik selama 4 hari yaitu sebanyak 11 orang atau
18,3%, selama 1 hari yaitu sebanyak 7 orang atau 11,7%, selama 6 & 7 hari yaitu
sebanyak 1 orang atau 1,7%, dan tidak satupun diberikan antibiotik selama ≥ 8 hari
yaitu sebanyak 0 orang atau 0%,

4.1.7 Hasil Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotik


4.1.7.1 Antibiotik Tunggal

Tabel 4.7 Analisa kualitatif penggunaan antibiotic tunggal pada pasien


deman typhoid periode Januari-Mei 2018

Kategori Jumlah Persentase


No. Keterangan
Gyssens Kasus (%)
1 Kategori 0 Penggunaan antibiotik tepat/bijak 46 76.7
2 Kategori I Penggunaan antibiotik tidak tepat
0 0.0
waktu
3 Kategori IIA Penggunaan antibiotik tidak tepat
0 0.0
dosis
4 Kategori IIB Penggunaan antibiotik tidak tepat
0 0.0
interval pemberian
5 Kategori IIC Penggunaan antibiotik tidak tepat
0 0.0
cara/rute pemberian
18

6 Kategori IIIA Penggunaan antibiotik terlalu


0 0.0
lama
7 Kategori IIIB Penggunaan antibiotik terlalu
0 0.0
singkat
8 Kategori IVA Ada antibiotik lain yang lebih
0 0.0
efektif
9 Kategori IVB Ada antibiotik lain yang kurang
0 0.0
toksik/lebih aman
10 Kategori IVC Ada antibiotik lain yang lebih
4 6.7
murah
11 Kategori IVD Ada antibiotik lain yang
0 0.0
spketrumnya lebih sempit
12 Kategori V Tidak ada indikasi penggunaan
6 10.0
antibiotik
13 Kategori VI Data rekam medik tidak lengkap
4 6.7
dan tidak dapat dievaluasi
Total Kasus 60 100.0

4.1.7.2 Antibiotik Kombinasi

Tabel 4.8 Analisa kualitatif penggunaan antibiotik kombinasi pada pasien


deman typhoid periode Januari-Mei 2018

Kategori Jumlah Persentase


No. Keterangan
Gyssens Kasus (%)
1 Kategori 0 Penggunaan antibiotik tepat/bijak 4 36.4
2 Kategori I Penggunaan antibiotik tidak tepat
0 0.0
waktu
3 Kategori IIA Penggunaan antibiotik tidak tepat
0 0.0
dosis
4 Kategori IIB Penggunaan antibiotik tidak tepat
0 0.0
interval pemberian
5 Kategori IIC Penggunaan antibiotik tidak tepat
0 0.0
cara/rute pemberian
6 Kategori IIIA Penggunaan antibiotik terlalu
0 0.0
lama
7 Kategori IIIB Penggunaan antibiotik terlalu
0 0.0
singkat
8 Kategori IVA Ada antibiotik lain yang lebih
0 0.0
efektif
9 Kategori IVB Ada antibiotik lain yang kurang
0 0.0
toksik/lebih aman
10 Kategori IVC Ada antibiotik lain yang lebih
0 0.0
murah
11 Kategori IVD Ada antibiotik lain yang
0 0.0
spketrumnya lebih sempit
19

12 Kategori V Tidak ada indikasi penggunaan


7 63.6
antibiotik
13 Kategori VI Data rekam medik tidak lengkap
0 0.0
dan tidak dapat dievaluasi
Total Kasus 11 100.0

4.2 Pembahasan
Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan sebagian besar penderita demam typhoid
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 40 orang atau 67%, dan hampir setengah
pasien demam typhoid berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 20 orang atau
33%, Hal ini sesuai dengan penelitian public health untuk demam enteric diseluruh
negara berkembang yang menyatakan rasio penderita demam enteric antara pria
dengan wanita adalah 2,3:1.13
Berdasarkan tabel 4.2 bahwa sebagian besar penderita demam typhoid adalah
berkisar usia 15-24 , yaitu 36,7%. Rentang usia tersebut adalah rentang usia pelajar
dan mahasiswa, seringkali pada usia tersebut makan dan minum sembarangan tanpa
melihat kebersihan tempat makan tersebut.
Berdasarkan tabel 4.3 bahwa sebagian besar (95%) penderita typhoid fever
adalah pasien-pasien dengan BPJS dibanding VIP dan 65% adalah pasien-pasien
dengan ruang perawatan kelas III. Hal ini sesuai dengan epidemiologi penderita
typhoid fever berada pada penderita dengan social ekonomi yang rendah dengan
sanitasi dan hygiene yang buruk. 4
Berdasarkan tabel 4.5 bahwa sebagian besar pasien demam typhoid
menggunakan antibiotik ceftriaxon yaitu sebanyak 47 orang atau 63,5 %, Sebagian
kecil pasien demam typhoid menggunakan antibiotik Ciprofloxacin yaitu sebanyak
3 orang atau 4,1%, antibiotik Ceftizoxime yaitu sebanyak 2 orang atau 2,7%,
antibiotik Meropenem yaitu sebanyak 7 orang atau 9,5%, antibiotik levofloxacin
yaitu sebanyak 2 orang atau 2,7%, antibiotik Metronidazole yaitu sebanyak 3 orang
atau 4,1%, antibiotik Cefotaxime yaitu sebanyak 1 orang atau 1,4%, antibiotik
Ofloxacin yaitu sebanyak 1 orang atau 1,4%, %, antibiotik Azytromicin yaitu
sebanyak 7 orang atau 9,5%, dan antibiotik Cotrimoxazol yaitu sebanyak 1 orang
atau 1,4%. Penggunaan antibiotik cephalosporin generasi ke-2 dan golongan
kuinolon dikatakan tepat mengingat pasien-pasien dengan demam typhoid ini
20

berada pada usia muda yaitu usia 15-24 tahun. Berdasarkan klasifikasi diseases
severity dari Carmeli, pasien-pasien usia muda tanpa ada penyulit lainnya diberikan
antibiotik cephalosporin generasi 1-2, penisilin spektrum sempit dan kuinolon
spektrum sempit. Terdapat 6 kasus menggunakan meropenem walaupun pada usia
muda dengan tanpa penyulit lainnya, dikatakan tidak tepat. Satu kasus
menggunakan meropenempada usia muda, namun pasien ini sudah sering keluar
masuk rumah sakit dengan diagnosis typhoid sehingga dicurigai sebagai pasien-
pasien dengan typhoid yang relaps dan resisten terhadap antibiotik golongan
cephalosporin (ESBL). Pada pasien ini dinyatakan tepat pemberian antibiotic
dengan meropenem. Terdapat 3 kasus menggunakan antibiotic kombinasi dengan
metronidazole dikarenakan pasien diare.Pada pasien-pasien ini, pemberian
metronidazole dinyatakan tidak tepat karena tidak ada bukti hasil pemeriksaan feses
yang menyatakan pasien dengan infeksi disentri amoeba atau riwayat pasien dengan
buang air besar berdarah.
Berdasarkan tabel 4.6 lama pemberian antibiotik rata-rata pasien dengan typhoid
yaitu hampir setengahnya pasien demam typhoid diberikan antibiotik selama 3 hari
yaitu sebanyak 23 orang atau 38,3%, diberikan antibiotik selama 2 hari yaitu
sebanyak 17 orang atau 28,3%, dan sebagian kecil diberikan antibiotik selama 4
hari yaitu sebanyak 11 orang atau 18,3%, selama 1 hari yaitu sebanyak 7 orang atau
11,7%, selama 6 & 7 hari yaitu sebanyak 1 orang atau 1,7%, dan tidak satupun
diberikan antibiotik selama ≥ 8 hari yaitu sebanyak 0%. Sebagian besar lama
pemberian antibiotic pada pasien-pasien dengan demam typhoid sudah tepat yaitu
2-7 hari, tetapi terdapat 7 orang dengan lama pemberian antibiotic yang terlalu
pendek yaitu 2 hari. Penggunaan antibiotik yang terlalu pendek di RS karena pasien
menginginkan pengobatan di rumah dan diganti pemberian antibiotic dengan secara
peroral untuk di rumah.
Berdasarkan tabel 4.7 tabel Gyssens untuk pemberian antibiotic yang pertama,
sebagian besar sudah dinyatakan tepat pemberian dan tepat indikasi (76,7%).
Namun, masih ditemukan sebagian kecil yang berhenti pada kategori IVC yaitu ada
alternatif lebuh murah (6,7%) dan berhenti pada kategori VI C yaitu data rekam
medic tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi (6,7%). Pada data yang berhenti di
kategori VI C
21

Sebagian besar disebabkan data laboratorium yang tidak lengkap.


Berdasarkan tabel 4.8 pemberian antibiotic kombinasi dengan antibiotic
pertama sebagian besar dinyatakan tidak tepat (63,6%) dan berhentidi kategori V,
yaitu tidak ada indikasi pemberian antibiotik. Pada kasus ini tidak ada bukti
pemeriksaan penunjang yang mendukung untuk pemberian kombinasi antibiotik ke
dua.
22

BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Sebagian besar pemberian antibiotic untuk pasien-pasien demam typhoid
dewasa di rumah sakit Pelabuhan Ratu sudah dinyatakan tepat indikasi dan tepat
dosis.

5.2 Saran
- Perlu penelitian yang lebih luas dengan pengambilan sampel yang lebih banyak
- Diagnosis typhoid dengan pemeriksaan laboratorium yang lebih akurat, bukan
berdasarkan pemeriksaan Widal saja
- Perlu dilakukan penelitian kultur dan resistensi antibiotic untuk pasien-pasien
demam typhoid
23

DAFTAR PUSTAKA

1. Triyono EA. Clinical Microbiology and Infection : the official of the Eur Soc
Clin Microb and Inf Dis CDK. 2013;9(40):674-8.
2. Hadi. Audit of antibiotic prescribing in two governmental teaching hospital in
Indonesia. . Clinical Microbiology and Infection : the official of the Eur Soc
Clin Microb and Inf Dis 2009;14(7):698-707.
3. Kasper DL, S.Fauci A. Harrison’s Infectious Diseases. Dalam: Kasper, Fauci,
braunwald, Hauser, Longo, Jaameson, et al., editor. Harrison's Manual of
Medicine. New York: McGraw Hill; 2013. hlm. 456-8.
4. Bennet. Principles and Practice of Infectious Diseases. Edisi ke-8. Bennet,
Mandell, Douglas, editor. Philadelphia: Elsevier Saunders;2015.
5. Medical R. Jumlah Kasus Penyakit Rs Pelabuhan Ratu Sukabumi tahun 2017.
Pelabuhan Ratu: RS Pelabuhan Ratu; 2017.
6. Chiou CS, Lauderdale TL, Phung DC, Watanabe H, Kuo JC, Wang PJ, et al.
Antimicrobial resistance in Salmonella enterica Serovar Typhi isolates from
Bangladesh, Indonesia, Taiwan, and Vietnam. Antimicrobial agents and
chemotherapy. 2014 Nov;58(11):6501-7.
7. Yehuda C. antimicrobial resistance and patient outcomes:the hazards of
adjustment. Crit care. 2006;10(5):62-4.
8. Georgescu C, C.Arbune M. Antibiotic susceptibility of Escherichia coli
isolated from urine cultures at The Galati Infectious Diseases hospital. Eur
Biomed J. 2013;8(11):59-63.
9. Gyssens, Broek Vd, Kullberg, Hekster, Meer Vd. Optimizing antimicrobial
therapy. A method for antimicrobial drug use evaluation. J Antimicrob
Chemotherapy. 1992;30(5):724-77.
10. Cunha. Antibiotics Essentials. Edisi ke-12. Burlington: Jones & Bartlet
Learning;2013.
11. Wells J, E.Dowell S. Manual For The Laboratory Identification and
Antimicrobial Susceptibillity Testing Of Bacterial Pathogen of Public Health
Importance In The Developing World. Geneva: Worl Health
Organization;2003. hlm. 103-118.
12. Ernest Jawetz M, PhD, Joseph L.Melnick P, Edward A.Adelbrg P. Enteric
Negatif Rods Bacteria (Enterobacteriaceae). Dalam: Brooks GF, S.Butel J,
Ornston LN, editor. Medical Microbiology. Edisi ke-20. San Francisco:
Appleto & Lange; 1996. hlm. 243-7.
13. Chandrashekar SC, Kumar Ms. A Study of Antibiotic Susceptibility Pattern of
Salmonella typhi and Salmonella paratyphi A. IntJCurrMicrobiolappSci.
2018;7:658-62.

Anda mungkin juga menyukai