Anda di halaman 1dari 17

Journal reading

Critical Appraisal

Low-Dose L-Isoproterenol Versus Salbutamol in Hospitalized


Pediatric Patients with Severe Acute Exacerbation Of Asthma : A
Double-Blind, Randomized Controlled Trial
Toshio Katsuma, Takao Fujsawa, Takanobu Maekawa, Kenichi Akashi,
Yukihiro Ohya, Yuichi Adchi, Koji Hashimoto, Mihoko Mizumo, Takanori
Imai, Mari S. Oba, Mayumi Sako, Yasuo Ohashi, Hidefumi Nakamura

Disusun Oleh :
Giano Florian Rumbay (406182049)

Pembimbing :
dr. Ity Sulawati, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
PERIODE 9 SEPTEMBER 2019 – 17 NOVEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TARUMANAGARA
LEMBAR PENGESAHAN

Critical Appraisal:

Low-Dose L-Isoproterenol Versus Salbutamol in Hospitalized


Pediatric Patients with Severe Acute Exacerbation Of Asthma : A
Double-Blind, Randomized Controlled Trial

Disusun oleh :
Giano Florian Rumbay (406182049)
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak
RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran UniversitasTarumanagara

Ciawi, November 2019

dr. Ity Sulawati, Sp.A, M.Kes


LEMBAR PENGESAHAN

Critical Appraisal:

Low-Dose L-Isoproterenol Versus Salbutamol in Hospitalized


Pediatric Patients with Severe Acute Exacerbation Of Asthma : A
Double-Blind, Randomized Controlled Trial

Disusun oleh :
Giano Florian Rumbay (406182049)
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak
RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran UniversitasTarumanagara

Mengetahui
Kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Ity Sulawati, Sp.dA, M.Kes


PENDAHULUAN

Asma adalah salah satu penyakit tidak menular yang paling sering terjadi pada
anak-anak, dan eksaserbasi akut adalah salah satu fitur kunci dari asma. Sebagai
contoh, 36% pasien anak dilaporkan melakukan kunjungan perawatan darurat
yang tidak dijadwalkan, dan 18% melaporkan satu atau lebih kunjungan ruang
gawat darurat karena asma selama periode 12 bulan. Meskipun asma eksaserbasi
pada anak menurun di Jepang, namun masih stabil atau meningkat di negara-
negara lain.

B2-agonis kerja pendek (SABA) digunakan sebagai pengobatan utama untuk


asma eksaserbasi akut, dan inhalasi kontinu menggunakan nebulizer adalah
pilihan yang banyak digunakan dalam perawatan anak-anak dengan asma
eksaserbasi akut yang berat. Di antara SABA yang tersedia, salbutamol adalah
obat yang paling banyak digunakan, dan dari tinjauan sistematis sebelumnya
menunjukkan bahwa inhalasi salbutamol secara terus menerus lebih baik daripada
inhalasi intermiten berulang. Hasilnya, pedoman klinis saat ini merekomendasikan
nebulisasi salbutamol secara terus menerus untuk mengobati pasien dengan asma
eksaserbasi akut yang berat di unit gawat darurat atau rumah sakit. Namun,
salbutamol, bahkan dalam dosis tinggi, tidak efektif pada sekitar sepertiga pasien
dan efek samping yang menyusahkan sering dilaporkan. Oleh karena itu, b-agonis
dengan efek samping lebih sedikit diperlukan.

Di Jepang, inhalasi kontinu l-isoproterenol, b-agonis nonselektif, adalah


pengobatan yang direkomendasikan untuk pasien anak dengan eksaserbasi akut
berat. Karena Iikura dan rekan kerja menunjukkan kemanjuran terapi inhalasi di
atas pada anak-anak dengan eksaserbasi asma yang berat, terapi ini banyak
digunakan di Jepang. Dan pedoman Jepang untuk asma anak merekomendasikan
terapi inhalasi tanpa adanya cukup alasan. Meskipun penggunaan l-isoproterenol
tidak dianjurkan di sebagian besar negara karena masalah keamanan, dosisnya
(2000 µg / mL untuk dosis inhaler) terukur terlalu tinggi. Di Jepang, dosis yang
lebih rendah hingga 16 µg / mL telah digunakan untuk inhalasi kontinu, tanpa
masalah keamanan yang besar. Hal ini dapat menyebabkan efek bronkodilatasi
kuat bahkan dalam dosis rendah karena efisiensi b-agonis intrinsik dari l-
isoproterenol adalah 20 kali lebih tinggi daripada salbutamol. Inhalasi kontinu l-
isoproterenol mungkin memiliki keunggulan lain dibandingkan salbutamol.
Kenggulannya yaitu mengurangi detak jantung, yang merupakan pemeriksaan
fisik utama untuk menilai tingkat keparahan asma pada anak-anak. Sebaliknya,
tidak ada penurunan detak jantung yang bermakna yang diamati bahkan 72 jam
setelah pemberian salbutamol inhalasi kontinu.

Atas dasar temuan ini, peneliti melakukan randomized control trial untuk
menentukan apakah kemanjuran l-isoproterenol dosis rendah lebih unggul
daripada salbutamol dalam mengobati pasien anak dengan asma eksaserbasi akut
yang berat.
TELAAH KRITIS

1. Gambaran Umum Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian randomized controlled trial yang menguji
efisiensi l-isoproterenol dosis rendah dibandingkan dengan salbutamol dalam
mengobati asma eksaserbasi akut berat. Penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok
(1:1) yaitu kelompok yang mendapatkan inhalasi l-isoproterenol (10 µg/kg/jam)
dan kelompok yang mendapat inhalasi salbutamol (500 µg/kg/jam) dan kemudian
dilihat apakah terdapat perubahan MPIS dari awal hingga 3 jam dan 12 jam
setelah mulai inhalasi. Dari Desember 2009 hingga Oktober 2013, 83 pasien (42
pada kelompok l-isoproterenol dan 41 pada kelompok salbutamol) dilibatkan
dalam penelitian ini. Dari jumlah tersebut, 1 pasien dalam kelompok l-
isoproterenol tidak menerima obat studi karena gejalanya membaik. Pasien ini
dikeluarkan dari analisis akhir. Dari 82 pasien yang menerima obat studi, 1 pasien
dalam setiap kelompok pengobatan menghentikan penelitian karena eksaserbasi
gejala pernapasan. Sisa 80 pasien (40 dalam setiap kelompok) menyelesaikan
studi. Meskipun nilai-nilai untuk beberapa komponen MPIS pada 3 jam hilang
pada 1 pasien di setiap kelompok, data yang hilang ini tidak digantikan

Metode penelitian ini adalah cukup baik, karena

 Penelitian ini dilakukan di 21 rumah sakit dimana dapat mewakili seluruh sampel
yang tersebar, dan telah dicatat untuk masing-masing center setiap datanya
 Subjek yang diteliti memiliki karakteristik demografi dan karakteristik dasar yang
seimbang antar kelompok perlakuan
 Karena penelitian merupakan double blind dimana peneliti dan subjek sama
sekali tidak mengetahui apa jenis intervensi yang diberikan. Dalam hal ini obat
studi disiapkan untuk pasien dalam kotak bernomor yang mengandung salah satu
kombinasi (l-isoproterenol ditambah placebo yang sesuai dengan salbutamol atau
salbutamol ditambah placebo yang sesuai untuk l-isoproterenol)
 Intervensi yang diberikan cukup jelas dan detail, serta ada penjelasan bagaimana
cara pemberiannya dan jenis alat yang digunakan
 Disebutkan tentang jumlah pasien yang drop out
 Disebutkan program analisis yang digunakan (SAS versi 9.4)
 Sebelum memulai penelitian, semua peneliti menyelesaikan pelatihan
menggunakan perangkat lunak untuk MPIS, sehingga MPIS cukup dapat
diandalkan untuk menilai pasien anak dengan asma akut
 Disebutkan analisis yang digunakan (t-test, chi-square, atau fisher exact test)
 Dicantumkan kesalahan tipe 1 (a) sebsar 0,05
 Outcome yang diinginkan oleh peneliti cukup detail
 Analisis statistic yang dilakukan cukup jelas

2. Penilaian Kesahihan / Validitas


Studi ini merupakan jenis randomized controlled trial, double blind, dan parallel-
group trial. Randomisasi dilakukan menggunakan program komputerisasi oleh
pusat data (Non-profit Organisation Japan Clinical Research Support Unit, Tokyo,
Japan). Studi dilakukan pada tanggal 24 Desember 2009 hingga 24 Oktober 2013.
Studi disetujui oleh komite etik China Medical University Hospital Review
Boards. Protokol penelitian dan revisinya disetujui oleh dewan peninjau
kelembagaan dari masing-masing pusat yang berpartisipasi. Wali pasien
memberikan persetujuan tertulis. Pasien remaja juga memberikan persetujuan
tertulis dan pasien yang lebih muda juga memberikan persetujuan. Terdapat 83
pasien (42 pada kelompok l-isoproterenol dan 41 pada kelompok salbutamol) dari
21 rumah sakit dilibatkan dalam penelitian ini. Dari jumlah tersebut, 1 pasien
dalam kelompok l-isoproterenol tidak menerima obat studi karena gejalanya
membaik. Pasien ini dikeluarkan dari analisis akhir. Dari 82 pasien yang
menerima obat studi, 1 pasien dalam setiap kelompok pengobatan menghentikan
penelitian karena eksaserbasi gejala pernapasan. Sisa 80 pasien (40 dalam setiap
kelompok) menyelesaikan studi. Meskipun nilai-nilai untuk beberapa komponen
MPIS pada 3 jam hilang pada 1 pasien di setiap kelompok, data yang hilang ini
tidak digantikan.

Intervensi yang diberikan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

 Semua pasien, setelah dirawat di rumah sakit, menerima metilprednisolon 1


mg/kg intravena.
 Setelah itu, pasien menerima inhalasi kontinu l-isoproterenol (1mL/kg [=
10 µg/kg/jam], maksimum 40 mL) atau salbutamol (1,5 mL / kg [= 500
µg/kg/jam], maksimum 30 mL) selama 12 jam menggunakan nebulizer
volume besar (Inspiron®, Japan Medicalnext Co., Ltd., Osaka, Jepang)
dengan kepadatan oksigen 70% dan laju aliran 8L/menot.
 Para peneliti menghitung dan mengukur dosis (mis., Volume) dari masing-
masing obat yang diteliti sesuai dengan berat badan pasien.
 Dosis obat A dan B yang terukur dicampur dan diencerkan dengan saline
untuk mencapai volume total 500 mL.
 Larutan yang sudah diencerkan diberikan melalui sungkup muka yang
terhubung ke nebulizer.
 Solusionya diganti pada 6 jam setelah mulai inhalasi, dan metilprednisolon
1 mg/kg diberikan secara intravena pada waktu yang sama (maks 70 mg).

Terdapat kriteri inklusi yang dinyatakan dalam penelitian, yaitu pasien anak yang
dirawat di rumah sakit yang berusia antara 2-17 tahun dengan salah satu kriteria
berikut:
o Skor indeks paru yang dimodifikasi (MPIS) 10 poin untuk mereka
yang menerima inhalasi SABA intermiten setidaknya dua kali
dalam 2 jam
o MPIS 15 poin untuk mereka yang menerima SABA kurang dari
dua kali.
o Pasien berusia 1 tahun atau mereka yang MPISnya 9 poin setelah
inhalasi SABA intermiten setidaknya dua kali

Kriteria eksklusi yang dimasukkan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

o Pasien dengan suhu tubuh 38,5°C atau lebih tinggi,


o Telah menerima antipiretik dalam waktu 6 jam,
o Terdapat wheezing bukan karena asma

Data yang diukur adalah :

 Perubahan MPIS dari awal hingga 3 jam setelah mulai inhalasi


 Perubahan MPIS pada 12 jam,
 Perubahan denyut jantung dan laju pernapasan pada 3 jam
 Physician’s global assessment (PGA) pada 3 dan 12 jam

Metode analisis penelitian adalah sebagai berikut :

 Karakteristik subjek dan data baseline  t-test, chi square test, atau Fisher exact
test
 Ditetapkan nilai signifikansi p = 0,003
 Analisis menggunakan SAS ver 9.4 (SAS institute, Cary, NC)

3. Penilaian Kepentingan / Importance


 Secara umum, data baseline antar 2 kelompok adalah sama
o Usia rata-rata (SD) adalah 4,5 (2,6) tahun pada kelompok l-
isoproterenol dan 4,4 (3,1) tahun pada kelompok salbutamol, dan
o Rata-rata MPIS pada saat pendaftaran adalah 12,2 (2,5) pada
kelompok l-isoproterenol dan 12,2 (2,2) dalam kelompok
salbutamol
o MPIS awal sebelum memulai pengobatan studi juga serupa antara
kelompok perlakuan
 Dibandingkan dengan salbutamol, l-isoproterenol mengurangi MPIS lebih
cepat pada 3 jam, namun tidak berbeda secara signifikan pada 12 jam
o Perubahan nilai rata-rata (SD) dalam MPIS pada 3 jam adalah -2,9
(2,5) pada kelompok l-isoproterenol dan -0,9 (2,3) pada kelompok
salbutamol (perbedaan -2,0, 95% CI -3,1 hingga -0,9; P <0,001)
o Perubahan nilai rata-rata (SD) dalam MPIS pada 12 jam adalah
-4,1 (3,1) pada kelompok l-isoproterenol dan -3,1 (2,7) pada
kelompok salbutamol (perbedaan -1,0, 95% CI -2,3 hingga -0,3; P
=0,13)
 3 jam setelah memulai pengobatan, penurunan denyut jantung secara
signifikan lebih besar pada kelompok l-isoproterenol daripada kelompok
salbutamol (perbedaan -20,3; 95% CI, -26,2 hingga -14,4; P <0,001)
 3 jam setelah memulai pengobatan, penurunan tingkat pernapasan tidak
berbeda secara signifikan antara kelompok perlakuan (perbedaan -9,3;
95% CI, -19,4 hingga 0,8; P = 0,07).
 Menurut PGA, lebih banyak pasien dalam kelompok l-isoproterenol gejala
membaik pada 3 jam dibandingkan dengan mereka yang berada dalam
kelompok salbutamol (P = 0,02)
 Hanya 1 pasien (2%) memiliki efek samping (takipneu grade 1) pada
kelompok l-isoproterenol, sedangkan 11 pasien (27%) melaporkan
setidaknya 1 efek samping pada kelompok salbutamol (P = 0,003).
 Kadar kalium (SD) rata-rata pada 12 jam secara signifikan lebih rendah pada
kelompok salbutamol daripada pada kelompok l-isoproterenol (perbedaan -0,53
mEq/L; 95% CI, -0,78 hingga -0,27; P <0,001)
 Pada kelompok l-isoproterenol, kadar obat plasma di bawah batas deteksi
(<0,025 ng / mL) pada 12 jam pada semua pasien
 Pada kelompok salbutamol, tingkat rata-rata (SD) plasma R-salbutamol
adalah 0,46 (1,53) ng/mL sebelum memulai pengobatan dan 4,65 (3,22)
ng/mL pada 12 jam
 Pada kelompok salbutamol, tingkat rata-rata (SD) plasma S-salbutamol
adalah 1,43 (3,11) ng/mL sebelum memulai pengobatan dan 17,48 (12,91)
ng/mL pada 12 jam

4. Penilaian Kemampuan Terapan / Applicability


Penelitian ini ingin melihat apakah terdapat perubahan skor MPIS setelah
pemberian inhalasi l-isoproterenol (10 µg/kg/jam) atau salbutamol (500
µg/kg/jam) selama 12 jam melalui nebulizer. Penelitian ini merupakan penelitian
multicenter, randromized control trial yang dilaksanakan di 21 rumah sakit di
Jepang. Penelitian ini menggunakan l-isoproterenol dosis rendah dan salbutamol,
dimana penurunan MPIS pada 3 jam secara signifikan lebih besar pada kelompok
l-isoproterenol dibandingkan kelompok salbutamol. Dalam penilaian keamanan,
inhalasi kontinu l-isoproterenol dosis rendah dikaitkan dengan efek samping yang
secara signifikan lebih sedikit. Peningkatan kadar kreatin kinase serum,
hipokalemia, dan takikardia hanya diamati pada kelompok salbutamol. Fowler et
al. melaporkan hubungan linear antara kadar plasma salbutamol dan penurunan
kadar kalium. Oleh karena itu, kadar kalium mungkin meningkat sesuai dengan
penurunan kadar salbutamol selama perawatan dengan l-isoproterenol.

Sampai saat ini, beberapa uji coba terkontrol secara acak menilai efisiensi
dan keamanan inhalasi kontinu l-isoproterenol. Meskipun penliti mencari laporan
MEDLINE, Embase, dan Cochrane Library yang diterbitkan dalam bahasa Inggris
atau Jepang, peneliti tidak dapat mengidentifikasi uji coba tersebut. Dalam
konteks ini, peneliti menemukan manfaat l-isoproterenol dosis rendah. Karena
masalah keamanan untuk l-isoproterenol, pedoman saat ini merekomendasikan
hanya menggunaan agonis-b2 selektif untuk pengobatan asma eksaserbasi akut
berat.

Subjek yang diteliti dalam penelitian adalah anak yang dirawat di rumah
sakit yang berusia 2-17 tahun dan memenuhi syarat berdasarkan MPIS di 21 pusat
penelitian di Jepang, yang kemudian dibagi menjadi 2 kelompok dan diberi terapi
inhalasi l-isoproternol atau salbutamol. Karakteristik subjek dalam penelitian ini
menyerupai keadaan subjek di Indonesia menginngat lokasi penelitian ini sama-
sama dilakukan di Asia dan telah dilakukan di 21 pusat penelitian yang berbeda,
sehingga mendapatkan sampel dengan karakteristik yang cukup bervariatif, dapat
mewakili dari keseluruhan populasi. Untuk saat ini, penelitian ini cukup sulit
diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pedoman tatalaksana asma di
Indonesia belum menggunakan l-isoproterenol dalam tatalaksana asma
eksaserbasi akut dan skor MIPS sebagai panduan untuk menilai derajat berat
ringannya eksaserbasi asma. Dengan adanya drop out pada penelitian hanya 3 dari
83 responden, maka penelitian dapat diterapkan pada sampel terpilih di Indonesia
(batas toleransi 20%). Hal ini menunjukkan bahwa compliance baik (cara
pemberian obat yang mudah, dan dapat dilakukan oleh klinisi).
KETERBATASAN DAN KEKUATAN PENELITIAN
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tidak dicantumkan cara perhitungan sampel
2. Peneliti menggunakan levsalbutol sebagai obat referensi
3. Periode follow-up dari efek samping tidak cukup lama untuk mendeteksi
peristiwa serius, seperti toksisitas jantung atau kematian
4. Kurangnya perbandingan dengan penelitian-penelitian sebelumnya

Kekuatan penelitian ini adalah :


1. Penelitian ini merupakan penelitian multicenter, double-blind randomized control
trial
2. Kriteria inklusi penelitian cukup mudah dan cukup jelas (data kuantitatif)
3. Intervensi yang diberikan mudah diterapkan
4. Randomisasi telah dilakukan dan penyebarannya merata yang dibuktikan dengan
karakteristik demografi dan baseline kedua kelompok seimbang
5. Peneliti menemukan manfaat l-isoproterenol dosis rendah yang belum pernah
dilakukan penelitian sebelumnya
KESIMPULAN

Pada penelitan ini, peneliti tidak membandingkan hasil utama penelitian


dengan penelitan sebelumnya karena peneliti tidak menemukan penelitian serupa.
Namun pada jurnal ini peneliti memaparkan teori yang mendukung dari hasil
penelitian. Selain itu, peneliti juga memaparkan penelitian yang dilakkan oleh
Fowler et al yang melaporkan hubungan linear antara kadar plasma salbutmol dan
penurunan kadar kalium.

Sebagai kesimpulan, jurnal ini termasuk jurnal yang cukup baik karena
metodelogi penelitian yang digunakan sesuai dengan penelitian ini, outcome dan
hasil penelitian yang cukup jelas, dan analisis statistik yang cukup jelas.
Penelitian menunjukkan bahwa Inhalasi kontinu dosis rendah l-isoproterenol lebih
unggul daripada salbutamol dalam mengobati pasien anak dengan eksaserbasi
akut parah asma di departemen gawat darurat dan rumah sakit. Hal ini karena l-
isoproterenol memiliki efek yang lebih cepat dengan efek samping yang lebih
sedikit daripada salbutamol. Namun, untuk saat ini, penelitian ini cukup sulit
diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pedoman tatalaksana asma
eksaserbasi akut di Indonesia belum menggunakan l-isoproterenol dalam
tatalaksana asma eksaserbasi akut dan skor MIPS sebagai panduan untuk menilai
derajat berat ringannya eksaserbasi asma.
LEMBAR KERJA PENILAIAN STUDI
THERAPY STUDY: Are the results of the trial valid? (Internal Validity)
What question did the study ask?

Patient : Pasien anak yang dirawat di rumah sakit berusia 2-17 tahun
yang memenuhi syarat
Intervention : Pemberian inhalasi i-isoproterenol dosis rendah
Comparison : Pemberian inhalasi salbutamol
Outcome : perubahan MPIS dari awal hingga 3 jam setelah mulai
inhalasi
1a. R- Was the assignment of patients to treatments randomised?
What is best? Where do I find the information?
Centralised computer randomisation is ideal The Methods should tell you how patients were
and often used in multi-centred trials. Smaller allocated to groups and whether or not
trials may use an independent person (e.g, the randomisation was concealed.
hospital pharmacy) to “police” the
randomization.
This paper: Yes √ No  Unclear 
Comment: : Pasien secara acak dibagi dengan rasio 1:1 untuk mendapatkan l-isoproterenol atau
salbutamol menggunakan metode milimalisasi dengan factor stratifikasi MPIS saat pendaftaran,
usa, dan institusi. Urutan alokasi dibuat berdasarkan computer pusat data (Non-profit Organisation
Japan Clinical Research Support Unit, Tokyo, Japan)
1b. R- Were the groups similar at the start of the trial?
What is best? Where do I find the information?
If the randomisation process worked (that is, The Results should have a table of "Baseline
achieved comparable groups) the groups should be Characteristics" comparing the randomized
similar. The more similar the groups the better it is.
groups on a number of variables that could
There should be some indication of whether
affect the outcome (ie. age, risk factors etc). If
differences between groups are statistically
not, there may be a description of group
significant (ie. p values).
similarity in the first paragraphs of the Results
section.
This paper: Yes √ No  Unclear 
Comment: Kriteria subjek pada kedua kelompok seragam
2a. A – Aside from the allocated treatment, were groups treated equally?
What is best? Where do I find the information?
Apart from the intervention the patients in the Look in the Methods section for the follow-up
different groups should be treated the same, schedule, and permitted additional treatments,
eg., additional treatments or tests. etc and in Results for actual use.

This paper: Yes √ No  Unclear 


Comment: Kedua kelompok mendapat perlakuan yang sama pada awal sebelum terapi dimulai
(pasien menerima metilprednisolon 1 mg/kg intravena) Setelah itu, pasien menerima inhalasi
kontinu l-isoproterenol (1mL/kg [= 10 µg/kg/jam], maksimum 40 mL) atau salbutamol (1,5 mL /
kg [= 500 µg/kg/jam], maksimum 30 mL) selama 12 jam menggunakan nebulizer. Dan kemudian
dilakukan waktu follow-up dan pemantauan yang sama setelah terapi
2b. A – Were all patients who entered the trial accounted for? – and were they analysed
in the groups to which they were randomised?
What is best? Where do I find the information?
Losses to follow-up should be minimal – The Results section should say how many
preferably less than 20%. However, if few patients were randomised (eg., Baseline
patients have the outcome of interest, then even Characteristics table) and how many patients
small losses to follow-up can bias the results. were actually included in the analysis. You will
Patients should also be analysed in the groups need to read the results section to clarify the
to which they were randomised – ‘intention-to- number and reason for losses to follow-up.
treat analysis’.

This paper: Yes √ No  Unclear 


Comment: Analisa ini menggunakan analisa ITT, subjek yang drop out (tidak mengikuti penelitian
hingga selesai dimasukan dalam hasil akhir), dan kriteria drop out pada pemelitian ini hanya 3
orang (<20%)
3. M - Were measures objective or were the patients and clinicians kept “blind” to which
treatment was being received?
What is best? Where do I find the information?
It is ideal if the study is ‘double-blinded’ – that First, look in the Methods section to see if there
is, both patients and investigators are unaware is some mention of masking of treatments, eg.,
of treatment allocation. If the outcome is placebos with the same appearance or sham
objective (eg., death) then blinding is less therapy. Second, the Methods section should
critical. If the outcome is subjective (eg., describe how the outcome was assessed and
symptoms or function) then blinding of the whether the assessor/s were aware of the
outcome assessor is critical. patients' treatment.

This paper: Yes √ No  Unclear 


Comment: Pada metodelogi dituliskan jika peneltiian adalah double-blind, dan dirincikan dalam
penelitian, menggunakan kotak beromor yang berisi salah satu obat (l-isoproterenol atau
salbutamol) yang diberi label “Obat A” atau “Obat B”

What were the results?


1. How large was the treatment effect?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :

 L-isoproterenol mengurangi MPIS lebih cepat dibandingkan salbutamol (p<0,001) pada 3


jam setelah mulai inhalasi
- Kelompok l-isoproterenol : perubahan nilai rata-rata (SD) MIPS pada 3 jam  2,9
(2,5)
- Kelompok salbutamol : perubahan nilai rata-rata (SD) MIPS pada 3 jam  0,9 (2,3)
 perubahan pada 12 jam tidak berbeda secara signifikan antara kelompok l-
isoproterenol dan salbutamol (p = 0,13)
 penurunan rata-rata skor denyut jantung dan laju pernapasan secara signifikan
lebih besar dari l-isoproterenol daripada kelompok salbutamol (p<0,0001 dan p =
0,02)
 Terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok
What is the measure? What does it mean?
Perubahan MPIS dari awal hingga 3 jam setelah pemberian l-isoproterenol atau salbutamol

Absolute Risk Reduction (ARR) = risk The absolute risk reduction tells us the absolute
of the outcome in the control group - risk difference in the rates of events between the two
of the outcome in the treatment group. groups and gives an indication of the baseline risk
This is also known as the absolute risk and treatment effect. An ARR of 0 means that there
difference. is no difference between the two groups thus, the
treatment had no effect.

Tidak ada dalam penelitian Tidak ada dalam penelitian

Relative Risk Reduction (RRR) = Relative Risk Reduction (RRR) adalah komplemen
absolute risk reduction / risk of the dari RR dan mungkin merupakan ukuran efek
outcome in the control group. An pengobatan yang paling sering dilaporkan. Ini
alternative way to calculate the RRR is to memberi tahu kita pengurangan tingkat hasil pada
subtract the RR from 1 (eg. RRR = 1 - kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok
RR) kontrol.

Pada jurnal ini : Pada jurnal ini :


Tidak ada dalam penelitian Tidak ada dalam penelitian

Number Needed to Treat (NNT) = The number needed to treat represents the number of
inverse of the ARR and is calculated as 1 / patients we need to treat with the experimental
ARR. therapy in order to prevent 1 bad outcome and
incorporates the duration of treatment. Clinical
significance can be determined to some extent by
looking at the NNTs, but also by weighing the NNTs
against any harms or adverse effects (NNHs) of
therapy.
Tidak ada dalam penelitian Tidak ada dalam penelitian
2. How precise was the estimate of the treatment effect?
Hasil penelitian ini cukup dapat dipercaya, karena terdapat penurunan nilai MPIS yang lebih cepat
dan nyata pada primary outcome yang diinginkan, (p<0.001)

Will the results help me in caring for my patient? (External Validity/Applicability)


The questions that you should ask before you decide to apply the results of the study to your
patient are:
 Is my patient so different to those in the study that the results cannot apply? No
(Karakteristik subjek serupa dengan kondisi di Indonesia)
 Is the treatment feasible in my setting? No (sulit dilaksanakan, pedoman di Indonesia
belum menggunakan l-isoproterenol dalam tatalaksana asama dan MPIS dalam menilai
derajat berat ringannya eksaserbaasi asma)
 Will the potential benefits of treatment outweigh the potential harms of treatment for my
patient? Yes (Pada penelitian ini efikasi lebih tinggi pada l-isoproterenol dosis rendah
dalam mengurangi MPIS dan efek sampingnya lebih rendah)

Anda mungkin juga menyukai