Critical Appraisal
Disusun Oleh :
Giano Florian Rumbay (406182049)
Pembimbing :
dr. Ity Sulawati, Sp.A, M.Kes
Critical Appraisal:
Disusun oleh :
Giano Florian Rumbay (406182049)
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak
RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran UniversitasTarumanagara
Critical Appraisal:
Disusun oleh :
Giano Florian Rumbay (406182049)
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak
RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran UniversitasTarumanagara
Mengetahui
Kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak
Asma adalah salah satu penyakit tidak menular yang paling sering terjadi pada
anak-anak, dan eksaserbasi akut adalah salah satu fitur kunci dari asma. Sebagai
contoh, 36% pasien anak dilaporkan melakukan kunjungan perawatan darurat
yang tidak dijadwalkan, dan 18% melaporkan satu atau lebih kunjungan ruang
gawat darurat karena asma selama periode 12 bulan. Meskipun asma eksaserbasi
pada anak menurun di Jepang, namun masih stabil atau meningkat di negara-
negara lain.
Atas dasar temuan ini, peneliti melakukan randomized control trial untuk
menentukan apakah kemanjuran l-isoproterenol dosis rendah lebih unggul
daripada salbutamol dalam mengobati pasien anak dengan asma eksaserbasi akut
yang berat.
TELAAH KRITIS
Penelitian ini dilakukan di 21 rumah sakit dimana dapat mewakili seluruh sampel
yang tersebar, dan telah dicatat untuk masing-masing center setiap datanya
Subjek yang diteliti memiliki karakteristik demografi dan karakteristik dasar yang
seimbang antar kelompok perlakuan
Karena penelitian merupakan double blind dimana peneliti dan subjek sama
sekali tidak mengetahui apa jenis intervensi yang diberikan. Dalam hal ini obat
studi disiapkan untuk pasien dalam kotak bernomor yang mengandung salah satu
kombinasi (l-isoproterenol ditambah placebo yang sesuai dengan salbutamol atau
salbutamol ditambah placebo yang sesuai untuk l-isoproterenol)
Intervensi yang diberikan cukup jelas dan detail, serta ada penjelasan bagaimana
cara pemberiannya dan jenis alat yang digunakan
Disebutkan tentang jumlah pasien yang drop out
Disebutkan program analisis yang digunakan (SAS versi 9.4)
Sebelum memulai penelitian, semua peneliti menyelesaikan pelatihan
menggunakan perangkat lunak untuk MPIS, sehingga MPIS cukup dapat
diandalkan untuk menilai pasien anak dengan asma akut
Disebutkan analisis yang digunakan (t-test, chi-square, atau fisher exact test)
Dicantumkan kesalahan tipe 1 (a) sebsar 0,05
Outcome yang diinginkan oleh peneliti cukup detail
Analisis statistic yang dilakukan cukup jelas
Terdapat kriteri inklusi yang dinyatakan dalam penelitian, yaitu pasien anak yang
dirawat di rumah sakit yang berusia antara 2-17 tahun dengan salah satu kriteria
berikut:
o Skor indeks paru yang dimodifikasi (MPIS) 10 poin untuk mereka
yang menerima inhalasi SABA intermiten setidaknya dua kali
dalam 2 jam
o MPIS 15 poin untuk mereka yang menerima SABA kurang dari
dua kali.
o Pasien berusia 1 tahun atau mereka yang MPISnya 9 poin setelah
inhalasi SABA intermiten setidaknya dua kali
Karakteristik subjek dan data baseline t-test, chi square test, atau Fisher exact
test
Ditetapkan nilai signifikansi p = 0,003
Analisis menggunakan SAS ver 9.4 (SAS institute, Cary, NC)
Sampai saat ini, beberapa uji coba terkontrol secara acak menilai efisiensi
dan keamanan inhalasi kontinu l-isoproterenol. Meskipun penliti mencari laporan
MEDLINE, Embase, dan Cochrane Library yang diterbitkan dalam bahasa Inggris
atau Jepang, peneliti tidak dapat mengidentifikasi uji coba tersebut. Dalam
konteks ini, peneliti menemukan manfaat l-isoproterenol dosis rendah. Karena
masalah keamanan untuk l-isoproterenol, pedoman saat ini merekomendasikan
hanya menggunaan agonis-b2 selektif untuk pengobatan asma eksaserbasi akut
berat.
Subjek yang diteliti dalam penelitian adalah anak yang dirawat di rumah
sakit yang berusia 2-17 tahun dan memenuhi syarat berdasarkan MPIS di 21 pusat
penelitian di Jepang, yang kemudian dibagi menjadi 2 kelompok dan diberi terapi
inhalasi l-isoproternol atau salbutamol. Karakteristik subjek dalam penelitian ini
menyerupai keadaan subjek di Indonesia menginngat lokasi penelitian ini sama-
sama dilakukan di Asia dan telah dilakukan di 21 pusat penelitian yang berbeda,
sehingga mendapatkan sampel dengan karakteristik yang cukup bervariatif, dapat
mewakili dari keseluruhan populasi. Untuk saat ini, penelitian ini cukup sulit
diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pedoman tatalaksana asma di
Indonesia belum menggunakan l-isoproterenol dalam tatalaksana asma
eksaserbasi akut dan skor MIPS sebagai panduan untuk menilai derajat berat
ringannya eksaserbasi asma. Dengan adanya drop out pada penelitian hanya 3 dari
83 responden, maka penelitian dapat diterapkan pada sampel terpilih di Indonesia
(batas toleransi 20%). Hal ini menunjukkan bahwa compliance baik (cara
pemberian obat yang mudah, dan dapat dilakukan oleh klinisi).
KETERBATASAN DAN KEKUATAN PENELITIAN
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tidak dicantumkan cara perhitungan sampel
2. Peneliti menggunakan levsalbutol sebagai obat referensi
3. Periode follow-up dari efek samping tidak cukup lama untuk mendeteksi
peristiwa serius, seperti toksisitas jantung atau kematian
4. Kurangnya perbandingan dengan penelitian-penelitian sebelumnya
Sebagai kesimpulan, jurnal ini termasuk jurnal yang cukup baik karena
metodelogi penelitian yang digunakan sesuai dengan penelitian ini, outcome dan
hasil penelitian yang cukup jelas, dan analisis statistik yang cukup jelas.
Penelitian menunjukkan bahwa Inhalasi kontinu dosis rendah l-isoproterenol lebih
unggul daripada salbutamol dalam mengobati pasien anak dengan eksaserbasi
akut parah asma di departemen gawat darurat dan rumah sakit. Hal ini karena l-
isoproterenol memiliki efek yang lebih cepat dengan efek samping yang lebih
sedikit daripada salbutamol. Namun, untuk saat ini, penelitian ini cukup sulit
diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pedoman tatalaksana asma
eksaserbasi akut di Indonesia belum menggunakan l-isoproterenol dalam
tatalaksana asma eksaserbasi akut dan skor MIPS sebagai panduan untuk menilai
derajat berat ringannya eksaserbasi asma.
LEMBAR KERJA PENILAIAN STUDI
THERAPY STUDY: Are the results of the trial valid? (Internal Validity)
What question did the study ask?
Patient : Pasien anak yang dirawat di rumah sakit berusia 2-17 tahun
yang memenuhi syarat
Intervention : Pemberian inhalasi i-isoproterenol dosis rendah
Comparison : Pemberian inhalasi salbutamol
Outcome : perubahan MPIS dari awal hingga 3 jam setelah mulai
inhalasi
1a. R- Was the assignment of patients to treatments randomised?
What is best? Where do I find the information?
Centralised computer randomisation is ideal The Methods should tell you how patients were
and often used in multi-centred trials. Smaller allocated to groups and whether or not
trials may use an independent person (e.g, the randomisation was concealed.
hospital pharmacy) to “police” the
randomization.
This paper: Yes √ No Unclear
Comment: : Pasien secara acak dibagi dengan rasio 1:1 untuk mendapatkan l-isoproterenol atau
salbutamol menggunakan metode milimalisasi dengan factor stratifikasi MPIS saat pendaftaran,
usa, dan institusi. Urutan alokasi dibuat berdasarkan computer pusat data (Non-profit Organisation
Japan Clinical Research Support Unit, Tokyo, Japan)
1b. R- Were the groups similar at the start of the trial?
What is best? Where do I find the information?
If the randomisation process worked (that is, The Results should have a table of "Baseline
achieved comparable groups) the groups should be Characteristics" comparing the randomized
similar. The more similar the groups the better it is.
groups on a number of variables that could
There should be some indication of whether
affect the outcome (ie. age, risk factors etc). If
differences between groups are statistically
not, there may be a description of group
significant (ie. p values).
similarity in the first paragraphs of the Results
section.
This paper: Yes √ No Unclear
Comment: Kriteria subjek pada kedua kelompok seragam
2a. A – Aside from the allocated treatment, were groups treated equally?
What is best? Where do I find the information?
Apart from the intervention the patients in the Look in the Methods section for the follow-up
different groups should be treated the same, schedule, and permitted additional treatments,
eg., additional treatments or tests. etc and in Results for actual use.
Absolute Risk Reduction (ARR) = risk The absolute risk reduction tells us the absolute
of the outcome in the control group - risk difference in the rates of events between the two
of the outcome in the treatment group. groups and gives an indication of the baseline risk
This is also known as the absolute risk and treatment effect. An ARR of 0 means that there
difference. is no difference between the two groups thus, the
treatment had no effect.
Relative Risk Reduction (RRR) = Relative Risk Reduction (RRR) adalah komplemen
absolute risk reduction / risk of the dari RR dan mungkin merupakan ukuran efek
outcome in the control group. An pengobatan yang paling sering dilaporkan. Ini
alternative way to calculate the RRR is to memberi tahu kita pengurangan tingkat hasil pada
subtract the RR from 1 (eg. RRR = 1 - kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok
RR) kontrol.
Number Needed to Treat (NNT) = The number needed to treat represents the number of
inverse of the ARR and is calculated as 1 / patients we need to treat with the experimental
ARR. therapy in order to prevent 1 bad outcome and
incorporates the duration of treatment. Clinical
significance can be determined to some extent by
looking at the NNTs, but also by weighing the NNTs
against any harms or adverse effects (NNHs) of
therapy.
Tidak ada dalam penelitian Tidak ada dalam penelitian
2. How precise was the estimate of the treatment effect?
Hasil penelitian ini cukup dapat dipercaya, karena terdapat penurunan nilai MPIS yang lebih cepat
dan nyata pada primary outcome yang diinginkan, (p<0.001)