Anda di halaman 1dari 53

REFERAT

PENYAKIT AUTOIMUN NEUROLOGI

Oleh:

Hana Sulistia, S.Ked


NIM 712021065

Pembimbing:
IPDA dr. Irma Yanti, Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

Judul:
Penyakit Autoimun Neurologi

Disusun Oleh:

Hana Sulistia, S.Ked


NIM 712021065

Telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen SMF Ilmu Penyakit
Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, November 2022


Dosen Pembimbing

IPDA dr. Irma Yanti, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Penyakit Autoimun Neurologi” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen SMF Ilmu Penyakit Saraf di
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya
sampai akhir zaman. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :
1. IPDA dr. Irma Yanti, Sp.S selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen SMF Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan, arahan,
serta bimbingan selama penyusunan referat ini.
2. Orang tua dan saudara tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, November 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1. Sindrom Guillain Barre ............................................................................ 3
2.2. Myastenia Gravis .................................................................................... 18
2.3. Multiple Sklerosis................................................................................... 39
BAB III. PENUTUP ............................................................................................ 47
3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 48

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap antigen jaringan
sendir yang terjadi akibat kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan self tolerance atau dapat diartikan sebagai kegagalan pada
toleransi imunitas sendiri. Penyakit autoimun terjadi ketika respon autoimun
atau respon sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan kemudian
menyerang jaringan tubuh itu sendiri sehingga memunculkan kerusakan
jaringan atau gangguan fisiologis, padahal seharusnya sistem imun hanya
menyerang organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh.
Gangguan autoimun dapat dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan
organ yang diserang, yaitu organ tunggal dan sistemik. Organ tunggal berarti
sistem imun menyerang satu organ tertentu, sedangkan yang sistemik artinya
sistem imun menyerang beberapa organ atau sistem tubuh yang lebih luas.
Guillain Barre syndrome (GBS) merupakan penyakit autoimun dimana
sistem imun dari penderita menyerang sistem saraf perifer dan menyebabkan
kerusakan pada sel saraf. Berdasarkan ringkasan dari American Academy of
Neurology (AAN) guideline on Guillain-Barre syndrome, GBS terjadi pada 1
sampai 4 penderita per 100.000 populasi di seluruh dunia per tahunnya,
menyebabkan 25% penderita gagal napas sehingga membutuhkan ventilator,
4%-15% kematian, 20% kecacatan, dan kelemahan persisten pada 67%
penderita. GBS dapat diderita baik pria maupun wanita, berbagai usia, dan
tidak dipengaruhi oleh ras. Akan tetapi, kejadian GBS sebelumnya
menunjukkan bahwa penderita pria lebih banyak 1,5 kali dibanding wanita,
lebih sering terjadi pada pria berwarna kulit putih, dan angka insiden tertinggi
pada usia sekitar 30-50 tahun (usia produktif).
Myasthenia gravis (MG) adalah kelainan autoimun yang ditandai
dengan kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka yang disebabkan oleh

1
adanya autoantibodi terhadap reseptor acetylcholine (ACh) nikotinik pada
neuromuscular junction (NMJ).
Multiple sklerosis (MS) adalah penyakit radang myelin sistem saraf
pusat yang disebabkan karena proses autoimun dan faktor genetik lainnya.
Sekitar 400.000 orang di Amerika Serikat dan 2,5 juta orang di seluruh dunia,
dengan prevalensi sekitar 1 kasus per 1000 orang dalam populasi dan rasio
perempuan dengan laki-laki 2:1 menderita penyakit ini. Sekitar 85% pasien
dengan multiple sklerosis sering bersifat relaps atau hilang-timbul saja. Lebih
dari setengah dari pasien tersebut berkembang menjadi kecacatan dan
berlanjut dari serangan akut dan beralih ke progresif sekunder dalam waktu
10 hingga 20 tahun setelah terdiagnosis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Sindrom Guillain Barre


2.1.1 Definisi Sindrom Guillain Barre
Guillain-Barre syndrome (GBS) adalah penyakit sistem
saraf yang dimediasi oleh respon imun, beronset akut atau
subakut, dan biasanya ditandai dengan kelemahan progresif dari
ekstremitas, parestesia ekstremitas, dan arefleksia relatif atau
komplit. GBS dikenal sebagai penyakit autoimun yang dipicu
oleh infeksi bakteri atau infeksi virus antesenden, yang paling
sering yaitu infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi saluran
pencernaan. Campylobacter jejuni sebagai bakteri yang paling
berasosiasi dengan GBS, ditemukan pada 25 – 50% pasien
dewasa dengan frekuensi tinggi di negara-negara Asia.1

2.1.2 Epidemiologi Sindrom Guillain Barre


Meskipun jarang terjadi, tetapi ada laporan yang
menyatakan bahwa vaksinasi dan operasi dapat memicu GBS.
Pada tahun 1976 ketika vaksinasi untuk virus influenza A H1N1,
terdapat 1 dari 100.000 orang yang mengalami GBS. Kemudian
pada tahun 2009 terdapat 1-6 kasus per 1.000.000 orang yang
diberikan vaksin.1
GBS adalah neuropati demielinasi yang paling sering
terjadi, dengan angka insiden 0,6 hingga 1,9 kasus dalam
100.000 populasi. Insiden meningkat bertahap seiring
meningkatnya usia, namun penyakit ini dapat terjadi pada semua
umur. Laki-laki dan perempuan secara setara terpengaruh oleh
penyakit ini. Insiden meningkat pada pasien dengan penyakit
hodgkin, dan juga pada pasien hamil atau pasien dengan

3
tindakan bedah umum.2

2.1.3 Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa keadaan atau penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB antara lain infeksi, vaksinasi,
pembedahan. Penyakit sistematik seperti keganasan, systemic lupus
erythematosus, tiroiditis. Penyakit addison serta kehamilan atau
dalam masa nifas. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi
akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan
infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal.3

2.1.4 Klasifikasi GBS


Klasifikasi GBS berdasarkan jenis, gejala klinis dan
patofisiologinya dapat dilihat pada tabel berikut: 4,5
No Jenis Gejala Klinis Patofisiologi
1. AIDP (Acute Demielinisasi saraf Terjadi karena
Inflammatory motorik akibat makrofag menginvasi
Demyeliniting inflamasi, kerusakan selubung mielin
Polyradiculon akson sehingga menyebabkan
europathy) akson tidak
terselubung
2. AMAN (Acute Adanya gejala pada Makrofag menginvasi
Motor Axonal sistem respirasi akibat nodus Ranvier, masuk
Neuropathy) terganggunya saraf di antara akson dan
motorik pernapasan, aksolemma sel
degenerasi aksonal Schwann sehingga

4
primer membuat selubung
mielin menjadi intak
3. AMSAN Adanya gejala Hampir sama dengan
(Acute Motor disfungsi pernapasan AMAN dengan
and Sensory karenasaraf motorik keterlibatan jaras
Axonal dan sensorik ventral dan dorsal
Neuropathy) mengalami gangguan,
adanya degenerasi
aksonal primer dengan
prognosis buruk
4. MFS (Miller Oftalmoplegia, Sistem konduksi yang
Fisher ataksia, arefleksia abnormal akan tetapi
Syndrome) penyebabnya masih
belum jelas
5. APN (Acute Dapat disertai Kegagalan sistem saraf
Pandysautono ensefalopati (jarang) simpatis dan
mic parasimpatis
Neuropathy)

5
Gambar 1. AMAN yang disebabkan oleh Campilobacter 6

2.1.5 Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor
lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Sindrom
Guillain Barre masih belum diketahui secara pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti

6
bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan
jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 6
1. Didapatkannya antibody atau adanya respon kekebalan seluler
(celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf
tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari
peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan
proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada Sindrom Guillain Barre
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang
dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus.6

Gambar 2. Patogenesis dan Fase Klinikal Dari GBS

7
Gambar 3. Lokasi GBS yang Menyerang Sistem Nervus Perifer

Peran imunitas seluler


Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang
peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit
berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang
mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan
limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi
pada saraf tepi, antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4)
melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)
antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain
akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan
pada limfosit T (CD4). Setelah itu limfosit T tersebut menjadi aktif
karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2),
gamma interferon serta TNF-a.6
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam
membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan
pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease
yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF
dan komplemen.6

8
2.1.6 Manifestasi Klinis
Gejala neurodefisiensi biasanya muncul dalam 2-28 hari
pertama dari perjalanan penyakit. Relaps sering terjadi setelah
infeksi atau vaksinasi, bahkan bertahun-tahun (4-36) setelah episode
pertama.6
Gejalanya dapat berupa:6
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang
ascending dan simetris secara natural. Anggota tubuh bagian
bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot
proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih
distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh
juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin
ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama
beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan
ventilasi.

2. Keterlibatan saraf cranial


Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien
dengan Sindrom Guillain Barre. Saraf kranial III-VII dan IX-XII
mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk
sebagai berikut; wajah drop (bisa menampakkan palsy Bell),
Diplopias, Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta
gangguan pada pupil.
Kelemahan waiah dan orofaringeal biasanya muncul setelah
tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari
Sindrom Guillain Barre adalah yang paling unik karena subtipe
ini dimulai dengan defisit saraf kranial.

3. Perubahan Sensorik

9
Geiala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus,
kehilangan sensori cenderung minimal dan variabel.
Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau
perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan
ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak
melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki.
Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal
dapat hadir.

4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan
Sindrom Guillain Barre, 89% pasien melaporkan nyeri yang
disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya.
Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu,
punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan
sedikit gerakan.
Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50%
dari pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias
sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau
sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah
daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tapa
batas waktu pada 5-10% pasien. Sindrom nyeri lainnya yang
biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai
berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait
dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus
dekubitus).

10
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam
sistem simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien
dengan GB. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut;
Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal,
Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin,
karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.

6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki
kelemahan pernafasan atau orofaringeal.
Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai
berikut: dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan,
bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan
pernapasan biasa teriadi pada hingga sepertiga dari pasien di
beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Skala disabilitas syndrome Guillain Barre menurut Hughes:
0 : Sehat
1 : Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan
pekerjaan manual
2 : Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat
melakukan pekerjaan manual
3 : Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4 : Kegiatan terbatas di tempat tidur/ kursi (bed/ chair bound)
5 : Membutuhkan bantuan ventilasi
6 : Kematian

2.1.7 Diagnosis GBS


Diagnosis GBS dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik dibantu dengan pemeriksaan penunjang
laboratorium. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pemeriksaan

11
neurologis meliputi sensibilitas, reflek fisiologis, refleks patologis
dan derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan profil CSF
(cerebrospinal fluid) melalui pungsi lumbal untuk melihat adanya
kenaikan protein dan jumlah sel. Profil CSF dapat menunjukkan
hasil normal pada 48 jam pertama onset GBS. Kenaikan akan terjadi
pada akhir minggu kedua sampai mencapai puncak dalam 4 -6
minggu.1
Pemeriksaan elektrofisiologis dilakukan menggunakan
Electromyogram (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV).
NCV akan menganalisa kecepatan impuls dan EMG akan merekam
aktivitas otot sehingga mampu mendeteksi kelemahan reflek dan
respon saraf.1
Kriteria diagnosis GBS yang sering dipakai adalah kriteria
menurut Gilroy dan Meyer, yaitu jika memenuhi lima dari enam
kriteria berikut:
1. Kelumpuhan flaksid yang timbul secara akut, bersifat difus dan
simetris yang dapat disertai oleh paralysis facialis bilateral.
2. Gangguan sensibilitas subyektif dan obyektif biasanya lebih
ringan dari kelumpuhan motoris.
3. Pada sebagian besar kasus penyembuhan yang sempurna
terjadi dalam waktu 6 bulan.
4. Peningkatan kadar protein dalam cairan otak secara progresif
dimulai pada minggu kedua dari paralisis, dan tanpa atau
dengan pleositosis ringan (disosiasi sito albuminemik)
5. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama
berlangsungnya kelumpuhan.
6. Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai
dengan kenaikan laju endap darah.1

12
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada Sindrom Guillain Barre sebagai
berikut:6
1. Pemeriksaan LCS
Pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein
(1 - 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini
oleh Guillain disebut sebagai disosiasi albumin sitologis.
Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama
penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar
protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menuniukkan
jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic
dissociation).

2. Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas
normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan
puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke
tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.

3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala.
MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equine yang
bertambah besar.

2.1.9 Tatalaksana
Plasmapharesis lebih awal dan terapi IVIG terbukti berguna
pada pasien GBS. Pemberian glukokortikoid tidak memendekkan
perjalanan penyakit ataupun memperngaruhi prognosis. Bantuan
nafas mekanik kadang dibutuhkan dan pencegahan terhadap aspirasi

13
makanan atau isi lambung harus dilakukan jika otot orofaring
terganggu. Paparan pada keratitis harus dicegah pada pasien dengan
diplegia wajah. Perawatan kegawatdaruratan pada GBS termasuk
monitoring respirasi dan kardiovaskular secara ketat. Bisa
didapatkan indikasi untuk dilakukan intubasi.2
Plasma exchange dan imunoglobulin intravena bisa menjadi
terapi yang efektif, namun pasien bisa membutuhkan intubasi dan
perawatan intensif yang lebih lama. Setelah keluar rumah sakit,
terapi selama rawat jalan dan terapi lewat aktivitas sehari-hari dapat
memberikan perbaikan pada pasien GBS untuk meningkatkan status
fungsional mereka. Sekitar setengah dari semua pasien penderita
GBS mengalami neuropati residual jangka panjang yang
mempengaruhi serabut syaraf bermyelin baik dengan ukuran besar
maupun sedang. Secara keseluruhan, pasien yang menderita GBS
cenderung berkurang kualitas hidup maupun fungsi fisiknya. Pada
kasus yang sangat langka, pasien dapat mengalami rekurensi GBS. 2
1. ABCs, Intubasi, and Monitoring
Perawatan sebelum masuk rumah sakit pada pasien dengan
sindroma Guillain-Barre (GBS) membutuhkan perhatian yang
ketat pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (ABCs).
Indikasi pemberian oksigen dan bantuan pernafasan dapat
ditemukan, bersamaan dengan pemasangan infus untuk
administrasi intravena. Petugas medis kegawatdaruratan harus
memonitor aritmia jantung dan mentransport pasien dengan
secepat mungkin. Pada departemen kegawatdaruratan (ED),
ABCs, IV, oksigen, dan bantuan pernafasan dapat tetap
terindikasi untuk dilanjutkan. Intubasi harus dilakukan pada
pasien yang mengalami kegagalan nafas derajat berapapun.
Indikator klinis untuk intubasi pada ED termasuk hipoksia,
fungsi respirasi yang menurun dengan cepat, batuk yang lemah,

14
dan curiga adanya aspirasi. Pada umumnya, intubasi terindikasi
pada saat Forced vital capacity (FVC) kurang dari 15 ml/kg. 2
Pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengetahui
perubahan tekanan darah, denyut jantung, dan aritmia. Terapi
jarang dibutuhkan untuk takikardia. Atropine direkomendasikan
untuk bradikardi simptomatik. Karena adanya labilitas dari
disautonomia, hipertensi paling baik diterapi dengan agen yang
bekerja jangka pendek, seperti beta-blocker jangka pendek atau
nitroprusside. Hipotensi dari diautonomia biasanya merupakan
respon yang timbul pada cairan intravena dan pemposisian
supinasi. Pacing secara temporer dapat dibutuhkan pada pasien
heart block derajat dua dan tiga. Konsultasikan dengan spesialis
neurologi jika ada ketidakpastian dan ketidakyakinan dalam
diagnosis. 2
Konsultasikan pada tim ICU untuk evaluasi butuh tidaknya
untuk dimasukkan ke ICU. Keputusan untuk melakukan intubasi
pada pasien GBS ditentukan berdasarkan kasus. Seperti kelainan
neuromuskular lain dengan potensi kelemahan diafragmatika,
tanda-tanda kolaps respiratori termasuk takipnea, penggunaan
otot-otot tambahan inspirasi, negative inspiratory force (NIF)
kurang dari 20 atau forced vital capacity (FVC) kurang dari
15cc/kg merupakan indikator untuk melakukan intubasi dan
pemberian ventilasi artifisial. Namun demikian, parameter
tersebut tidak dapat digunakan sekiranya adanya kelemahan
fasial dan ketidakmampuan untuk melakukan pengiraan pada
instrumen yang digunakan untuk mengukur. Sekresi tidak dapat
dikeluarkan dan resiko aspirasi merupakan indikasi lain untuk
intubasi, kelemahan pada tungkai biasanya merupakan petanda
awal bahwa adanya keterlibatan komponen respiratori. 2

15
2. Plasma Exchange and Imunoglobulin
Hanya terapi pertukaran plasma (PE) dan imunoglobulin
intravena (IVIG) yang terbukti efektif untuk sindroma Guillain-
Barre (GBS). Terapi tersebut dapat mengurangi produksi
autoantibodi dan meningkatkan kelarutan kompleks imun serta
melepaskan kompleks imun. Keduanya telah dibuktikan dapat
mempersingkat waktu penyembuhan hingga 50%. IVIG
administrasinya lebih mudah dan lebih sedikit komplikasinya
dibandingkan PE. Ditinjau dari harga dan efektivitas relatif
sama. 2
Pada penelitian randomized yang meneliti GBS yang parah
menunjukkan bahwa IVIG yang dimulai 4 minggu setelah onset
mempercepat proses penyembuhan yang hampir setara dengan
plasma exchange. Menggbungkan PE dengan IVIG tidak dapat
meningkatkan outcome ataupun lebih memendekkan durasi
penyakit. IVIG juga ditemukan lebih aman dan efektif pada
pasien pediatri dengan GBS. 2
Selain itu, IVIG adalah terapi yang lebih cocok pada pasien
dengan ketidakstabilan hemodinamik dan pada pasien yang
memiliki keterbatasan ambulansi (transportasi). Beberapa bukti
menunjukkan pada pasien yang tidak merespon pada IVIG pada
dosis inisial, dapat memberikan perbaikan pada pemberian dosis
kedua. Bagaimanapun hal ini masih belum menjadi standar
terapi dan perlu dilakukan penelitian lebih jauh terkait masalah
ini. 2
IVIG diterapkan dalam regimen 2 g/kgbb, biasanya 0,4
g/kgbb perhari selama lima hari berturut-turut. IVIG telah
menggantikan PE sebagai pengobatan pilihan di banyak pusat,
terutama karena kenyamanan dan ketersediaannya yang lebih
besar.2

16
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid tidak efektif sebagai monoterapi. Menurut
bukti bertingkat sederhana (moderate-quality evidence),
pemberian kortikosteroid sendiri tidak mempercepat
penyembuhan dari GBS atau mempengaruhi hasil jangka
panjang secara signifikan. Menurut bukti bertingkat rendah
(low-quality evidence), pemberian kortikosteroid secara oral
akan menunda penyembuhan. Diabetes yang membutuhkan
insulin secara signifikan lebih umum dan hipertensi dengan
pemberian kortikosteroid adalah tidak umum. Steroid oral dan
metilprednisolon intravena 500 mg/hari selama lima hari. Ada
bukti kuat yang menunjukkan bahwa pemberian
metilprednisolon secara IV tidak memberikan manfaat maupun
bahaya yang signifikan. Pemberian methilprednisolon secara IV
secara kombinasi dengan IVIG, dapat mempercepat
penyembuhan namun tidak signifikan untuk hasil jangka
panjang. 2

4. Manajemen Nyeri
Analgesik sederhana atau obat NSAID (nonsteroidal anti-
inflammatory) dapat digunakan namun tidak dapat memberikan
efek analgesik yang cukup. Dalam sebuah penelitian kecil yang
rawak, penggunaan gabapentin atau carbamazepine di unit
perawatan intensif untuk manajemen selama fase akut dari GBS
telah didukung. Terapi tambahan dengan antidepresan trisiklik,
tramadol, gabapentin, carbamazepine, atau mexiletine mungkin
dapat membantu dalam pengelolaan nyeri neuropatik jangka
panjang.2

17
2.1.10 Diagnosis Banding
a. Poliomielitis
Terjadi kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan gangguan
sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan cairan
cerebrospinal pada fase awal tidak normal dan dipatkan
peningkatan jumlah sel.6

b. Myositis akut
Ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal, didapatkan
kenaikan kadar CK (Creatinin Kinase), dan pada cairan
serebrospinal normal.6

2.1.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal nafas, aspirasi
makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan
resiko terjadinya infeksi, thrombosis vena dalam, paralisis
permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi. 6

2.1.12 Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik,
tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau
mempunyai gejala sisa.6

2.2.Myasthenia Gravis
2.2.1 Definisi Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan gejala kelemahan yang berfluktuasi yang melibatkan satu
atau beberapa otot skelet yang disebabkan oleh antibodi terhadap
reseptor asetilkolin nikotinik pada area postsynaptic pada
neuromuscular junction (NMJ).7

18
2.2.2 Epidemiologi Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis adalah kelainan pada NMJ yang paling
sering dijumpai. Insidensi tahunan dilaporkan sekitar 7.40 per satu
juta penduduk (wanita 7.14 dan laki-laki 7.66) dan tingkat
prevalensi sekitar 70.63 per satu juta penduduk (wanita 81.58 ; laki-
laki 59.39). Myasthenia gravis dapat dijumpai pada setiap usia,
namun dijumpai puncak bimodal, dengan insiden puncak pertama
adalah pada dekade ketiga (terutama mengenai wanita) dan puncak
kedua pada dekade keenam dan ketujuh (terutama mengenai laki-
laki).8
Suatu tinjauan meta analisis menunjukkan bahwa rentang
insidensi MG adalah 1.7 hingga 21.3 kasus per satu juta penduduk
per tahun, dengan rentang prevalensi adalah 15 hingga 179 per satu
juta penduduk. Insidensi pada kedua jenis kelamin meningkat
seiring pertambahan usia, dengan puncak 60-80 tahun, namun
terdapat kecenderungan jenis kelamin laki-laki pada kelompok usia
yang lebih tua.Tingkat mortalitas nya adalah 0.06 hingga 0.89 per
satu juta penduduk per tahun.8

2.2.3 Klasifikasi Myasthenia Gravis


Myasthenia gravis dapat diklasifikasikan berdasarkan usia saat
onset, dijumpai atau tidaknya anti-AChR antibodies, keparahan
penyakit
1. Usia saat onset
Myasthenia gravis dapat dibagi menjadi transient neonatal dan
adult autoimmune. Transient neonatal MG disebabkan oleh
transfer antibodi anti-AchR melalui plasenta yang kemudian
bereaksi dengan AChR pada neonatus. Hanya 10-15% bayi
dengan antibodi ini menunjukkan gejala MG (hipotonia,
menangis lemah, gangguan pernafasan, dll) dalam beberapa
jam pertama setelah lahir. Gejala biasanya menghilang dalam

19
1 – 3 minggu, namun terapi suportif sementara dan
pyridostigmine tetap diperlukan.9

2. Anti-AChR antibodies
Myasthenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi seropositive
danseronegative.9
a. Seropositif
Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak dari acquired
autoimmune MG. Hampir 85% penderita generalized MG
dan 50%- 60% penderita ocular myasthenia menunjukkan
hasil yang positif untuk anti-AChR antibody dengan
radioimmunoassay.9
b. Seronegatif
Sekitar 10% - 20% penderita acquired MG tidak
menunjukkan antibody anti-AChR melalui
radioimmunoassay. Seronegatif MG merupakan gangguan
autoimun yang melibatkan antibodi yang menyerang satu
atau lebih komponen sambungan saraf otot yang tidak
terdeteksi dengan anti-AChR radioimmunoassay. Selain
anti- MuSK antibodies, plasma dari pasien dengan MG
mengandung factor humoral lainnya.9

3. Keparahan Penyakit
Osserman mengklasifikasikan MG pada dewasa kedalam 4
kelompok, berdasarkan beratnya penyakit, yaitu :
1.Ocular Myasthenia, dimana hanya mengenai otot-otot
okular
2.Generalized Myasthenia gravis
3.Generalized Myasthenia gravis Berat
4.Myasthenia Krisis dengan gagal nafas
Pada tahun 1997 Medical Scientific Advisory Board (MSAB)

20
dari Myasthenia gravis Foundation of America (MGFA)
membentuk gugus tugas untuk membuat klasifikasi dan
penilaian outcome MG yang bertujuan mendapatkan
keseragaman dalam pencatatan dan pelaporan hasil studi atau
riset dari MG.9

Tabel 2.1 Klasifikasi Myasthenia berdasarkan klinis dari


MGFA

2.2.4 Etiologi Myasthenia Gravis


Terdapat 4 kelas berdasarkan etiologinya :
1. Acquired autoimmune
2. Transient neonatal disebabkan transfer maternal dari antibodi
anti-AchR.
3. Drug induced
D-penicillamine merupakan prototipe obat yang dapat
mencetuskan MG. Presentasi klinis tampaknya identik dengan
acquired autoimmune MG dan antibodi terhadap AchR dapat
dijumpai. Obat lain yang dapat menyebabkan kelemahan yang

21
menyerupai MG atau dapat mengeksaserbasi kelemahan MG
mencakup curare, aminoglikosida, quinine, procainamide, dan
calcium channel blocker.
4. Congenital myasthenic syndrome
Pada penggunaan penicillamine dapat dijumpai kejadian
myasthenia gravis dengan onset dalam beberapa hari hingga
bulan setelah paparan awal walaupun dapat dijumpai setelah
beberapa tahun. Sindrom ini dapat menghilang dalam 2-6 bulan
setelah penghentian obat. Penjelasan mengenai mekanisme drug-
induced myasthenia gravis kini berfokus pada perubahan
reaktivitas imunologis. Populasi limfosit B meningkat dan
memproduksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Hal ini
dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme :
(1) Keadaan antigenik reseptor Ach berubah yang dapat
menyulitkan ‘self- recognition’
(2) Hilangnya kontrol sel T supressor terhadap produksi
antibodi oleh sel B (3)Stimulasi langsung terhadap sel B, yang
menyebabkan peningkatan kadar antibodi. D-penicillamine
menstimulasi prostaglandin E1 synthetase untukmenghasilkan
prostaglandin E1, yang menempati allosteric site pada
reseptor Ach. Hal ini dapat mengganggu ikatan Ach dengan
reseptor.10

Gambar 4. Tempat kerja D-penicillamine

22
2.2.5 Manifestasi Klinis Myasthenia Gravis
Penyakit-penyakit dengan gangguan transmisi neuromuskular,
terutama MG, memiliki gambaran klinis yang membedakannya dari
penyakit neuromuskular lain. Salah satunya adalah gambaran
kelemahan yang berfluktuasi dan pola kelemahan yang cukup khas
dimana sebagian besar menunjukkan kecenderungan untuk
mengenai otot yang diinervasi oleh saraf kranial. Dasar dari hal ini
tidak sepenuhnya dipahami tetapi, dalam kasus MG, tampaknya
terkait dengan perbedaan dalam jenis dan distribusi NMJ. Pola dan
intensitas kelemahan dalam MG bisa sangat bervariasi. Dapat
bersifat fokal, multifokal, atau difus. Setiap otot volunter dapat
terkena, meskipun otot yang paling rentan adalah otot yang
dikendalikan oleh saraf kranial motorik.10
Biasanya, pasien datang dengan riwayat kelemahan dan
kelelahan otot pada aktivitas berkelanjutan atau berulang-ulang
yang membaik setelah beristirahat. Gejala bervariasi dari hari ke
hari dan dari jam ke jam, biasanya meningkat menjelang malam.
Otot-otot yang paling sering terkena secara berurutan adalah : m.
Levator palpebra, otot ekstraokular, otot proksimal ekstremitas,
otot-otot ekspresi wajah, dan ekstensor leher. Sekitar setengah dari
pasien MG awalnya akan menunjukkan gejala okular saja. Ptosis,
yang sering bersifat parsial dan unilateral,merupakan gambaran
yang sering dijumpai dan bersifat fluktuatif.10
Kelemahan okular dengan ptosis asimetrik dan diplopia
binokular merupakan gejala awal yang peling sering dijumpai.
Ptosis merupakan gejala awal pada 50-90% pasien, sementara 15%
mengeluh penglihatan kabur atau diplopia. Jika tidak muncul
sebagai gejala awal, keterlibatan otot okular eksternal dijumpai
pada 90-95% dari pasien pada suatu waktu dalam perjalanan
penyakitnya. Ptosis dapat lebih jelas setelah upgaze berkelanjutan
dan merupakan manuver provokatif yang sering dilakukan. Ptosis

23
dapat berhubungan dengan kontraksi otot frontalis ipsilateral untuk
membantu mengkompensasi kelemahan otot levator palpebra.
Elevasi kelopak mata yang berlebihan atau tanda Cogan’s lid twitch
dapat dijumpai saat gaze diarahkan dari bawah ke atas. Lebih dari
tiga perempat pasien MG awalnya menunjukkan keluhan visual
berupa ptosis atau pandangan ganda, dan sekitar setengah pasien
dengan manifestasi okular akan menjadi general dalam enam
bulan.Sekitar 80% pasien MG akan menjadi general dalam dua
tahun dan sekitar 90% dalam tiga tahun. Beberapa studi
restrospektif menunjukkan bahwa terapi awal dengan prednisolone
oral dapat memperlambat onset dan tampaknya juga memperlambat
perkembanganpenyakit dari miastenia okular menjadi general.10
Wajah dapat terlihat tanpa ekspresi. Mulut dapat terbuka dan
pasien mungkin harus menyangga rahangnya dengan jari. Ketika
pasien berusaha untuk tersenyum, wajah tampak menyeringai.
Suara dapat hypophonic karena kelemahan pita suara atau otot
ekspirasi. Pasien dapat menunjukkan disartria sebagai akibat
kelemahan dari bibir, lidah, atau pipi. Kelemahan dapat tampak
lebih jelas dengan aktivitas otot. Disfonia dapat dijumpai sebagai
akibat dari kelemahan laring. Disfagia adalah gambaran umum
akibat kelelahan otot yang terlibat dalam mengunyah dan
menelan.10

2.2.6 Prosedur Diagnostik Myathenia Gravis


Prosedur diagnostik yang lazimnya digunakan untuk
diagnostik MG terlihat pada tabel 2.2 Diagnosis MG biasanya
ditegakkan terutama berdasarkan gambaran klinis dan hasil
pemeriksaan antibodi dan tes neurofisiologi.9

24
Tabel 2.2 Uji diagnostik pada myasthenia gravis

a) Uji Kuantitatif
Tes kuantitatif / quantitative MG scoring system (QMG) saat
ini merupakan pengembangan dan modifikasi tes
sebelumnya. Tes ini terdiri dari 13 butir yang masing-masing
dinilai 0 hingga 3 dimana 3 menunjukkan keadaan yang
paling berat. Tes ini direkomendasikan oleh Task Force
Myasthenia gravis Force of America (MGFA) untuk
digunakan pada studi-studi prospektif dari terapi MG.

b) Tes Tensilon
Tes edrofonium (tensilon) dapat membantu dalam
mendiagnosis MG. Edrofonium adalah antikolinesterase
short-acting,dengan onset kerja 30 detik dan efeknya akan
bertahan selama sekitar lima menit. Pemberiannya akan
menyebabkan peningkatan ketersediaan Ach sementara di
NMJ yang cukup untuk meningkatkan kekuatan secara

25
sementara. Untuk melakukan tes edrofonium, diperlukan
akses vena dan dimulai dengan pemberian edrofonium
dengan dosis 2 mg (0,2 ml), karena beberapa pasien sangat
sensitif dengan dosis rendah. Jika tidak ada respon setelah 30
detik, sisa 8 mg diberikan secara bertahap yaitu 2 mg setiap
10-15 detik. Tes ini dilaporkan positif jika ada perbaikan
kelemahan yang nyata.Oleh sebab itu, tes ini paling
bermanfaat pada pasien dengan ptosis yang signifikan atau
kelemahan otot ekstraokuler yang dapat dinilai secara
objektif. Tes edrofonium memiliki risiko yang serius berupa
bradikardi dan atau hipotensi. Oleh karena itu, tes ini harus
dilakukan hanya bila diagnosis myasthenia gravis sangat
mendesak dan ada fasilitas untuk resusitasi.1,2,7 Sensitivitas
tes edrofonium dilaporkan 86% pada MG okular dan 95%
untuk MG general.11

c) Ice pack test


Tes ini dapat digunakan jika dijumpai ptosis. Pemberian
kompres es pada kelopak mata yang terkena dampak
memperbaiki ptosis karena MG pada 80% kasus tetapi tidak
memperbaiki ptosis akibat etiologi lain. Respon dapat
dijelaskan atas dasar peningkatan safety factor pada NMJ
dengan pendinginan lokal yang mungkin disebabkan oleh
melambatnya kinetik AchR. Respon tidak sepenuhnya
disebabkan oleh istirahat. Tes ini jauh lebih sederhana
daripada tes edrofonium dan tidak memerlukan pemantauan
jantung.11

d) Uji serologis
Antibodi AchR dijumpai pada sebagian besar pasien MG.
Terdapat tiga tipe antibodi yang terdeteksi, yaitu AchR-

26
binding antibodies, AchR-modulating antibodies dan AchR-
blocking antibodies. Peningkatan kadar satu atau lebih dari
ketiga antibodi tersebut dijumpai pada 80-90% pasien MG.
Antibodi AchRbinding adalah antibodi yang paling sering
diuji dan diidentifikasi.10
Pengukuran antibodi AchR binding menggunakan AchR
skeletal manusia yang dimurnikan dan diinkubasi dengan
imunoglobulin serum pasien. Uji ini sangat spesifik. Antibodi
AchR binding dijumpai pada 80% pasien miastenia general
dan hanya pada 55% pasien dengan miastenia okular. Uji
antibodi AchR-modulating mengukur tingkat degradasi
labeled AchR. Antibodi AchR-blocking berkompetisi untuk
tempat pengikatan Ach atau menghambat ikatan antara α-
bungarotoxin, suatu antagonis kolinergik yang irreversible,
dengan AchR. Tes serologis kini dianggap sebagai baku emas
dalam diagnostik. Tes ini sangat spesifik untuk MG. Titer
antibodi tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit.1 Pada
pasien dengan gejala MG yang tidak menunjukkan antibodi
anti-AchR, uji serologis dapat ditujukan untuk mengetahui
adanya anibodi anti-MusK. Sekitar 5% pasien MG tidak
menunjukkan antibodi terhadap reseptor Ach maupun anti-
MuSK.10

e) Elektrofisiologi
Pemeriksaan konduksi sensorik dan motorik biasanya
normal. Terdapatnya variabilitas motor unit action potential
(MUAP) yang tidak stabil merupakan temuan yang sangat
membantu dalam diagnosis MG. Uji elektrodiagnostik yang
lazim digunakan untuk mengidentifikasi gangguan transmisi
neuromuskular postsynaptic adalah respon decremental
terhadap stimulasiberulang yang lambat, dengan frekuensi ≤ 5

27
Hz, dimana 2 atau 3 Hz biasanya digunakan. Dalam
keadaan normal, compound muscle action potentials
(CMAPs) dengan amplitudo yang sama akan terjadi tanpa
batas karena safety margin dari EPP. Tes elektrofisiologi
yang lazim digunakan adalah RNS dan SFEMG. Pada
kelainan NMJ, safety factor mengalami penurunan dan
penurunan lebih lanjut oleh RNS menyebabkan EPP gagal
mencapai ambang depolarisasi. Ini menyebabkan kegagalan
untuk menimbulkan potensial aksi pada otot. Dengan
penurunan potensial aksi setrabut otot, CMAP menjadi
berkurang dalam hal amplitudo dan area dengan respon
decremental.11

f) Pencitraan
Computed tomography (CT) / manetic resonance imaging
(MRI) toraks digunakan untuk skrining adanya tumor timus.9

2.2.7 Penatalaksanaan
Terdapat berbagai modalitas terapi pada MG:
(1) Inhibitor AChE
(2) Imunomodulator
(3) Plasma exchange
(4) Timektomi.
Rejimen pengobatan bersifat individual bergantung pada
keparahan penyakit, usia, keadaan timus, masalah medis lainnya.
Tujuan terapi adalah untuk mencapai fungsi neuromuskular
senormal mungkin dengan efek samping yang minimal.11
Pengobatan MG dapat terdiri dari tiga langkah :
1. Pengobatan awal biasanya dengan penggunaan inhibitor
acetylcholinesterase. Namun, obat ini biasanya tidak cukup
untuk mengendalikan penyakit dan terapi tambahan diperlukan

28
pada sebagian besar pasien.
2. Sering diperlukan obat imunomodulator, berupa timektomi
atau kortikosteroid dosis tinggi.
3. Untuk jangka panjang, obat steroid-sparing biasanya
ditambahkan untuk memfasilitasi fase tapering.
Terapi jangka pendek yaitu,IVIg atau PEX mungkin efektif dalam
tahap awal pengobatan, sebelum timektomi, atau pada saat
eksaserbasi.9
Apakah pasien dengan gejala okular murni mendapat manfaat dari
terapi ini masih kontroversial, baik dalam hal perbaikan gejala atau
mempengaruhi perjalanan penyakit. Dasar bukti untuk membantu
menentukan keputusan ini masih terbatas. Beberapa ahli
berpendapat bahwa adanya temuan elektrofisiologi dapat
membenarkan pengobatan lebih agresif. Terapi konservatif
simptomatik dengan pyridostigmine dan pendekatan
nofarmakologis umumnya merupakan rekomendasi awal.10
Terapi imunomodulator pada ocular myasthenia dapat diberikan
pada pasien yang refrakter terhadap tindakan konservatif, yang
kualitasnya hidup dipengaruhi oleh gejala-gejala penyakit, dan
yang dapat memahami danmenerima risiko dan ketidakpastian yang
terkait dengan terapi ini. Dalam kasus-kasus seperti ini, prednison
dapat diberikan dengan peningkatan bertahap. Awalnya, dosis
prednison 20 mg sehari dan dosis ditingkatkan sebesar 5 mg setiap
3-5 hari sampai gejala menghilang. Dosis ini dipertahankan selama
satu bulan dan kemudian dosis perlahan diturunkan (tidak lebih
cepat dari 5 mg setiap 2 minggu hingga 20 mg per hari dan
kemudian dengan 2,5 mg setiap 2 minggu).10
Sebagian besar pasien tampaknya memerlukan terapi imunosupresif
jangka panjang untuk mengontrol gejala okular mereka. Dalam
kasus-kasus tersebut,upaya dilakukan untuk mempertahankan
mereka pada dosis prednison serendah mungkin (sebaiknya

29
berselang hari) dan / atau obat imunomdulasi lini kedua. Pada
pasien dengan general MG, pendekatannya dimulai dengan
pyridostigmine, prednison, serta agen imunomodulasi kedua
(misalnya, azathioprine)secara bersamaan. Strateginya adalah untuk
mengendalikan gejala dengan pyridostigmine, mencapai kontrol
yang lebih baik dan lebih tahan lama dalam beberapa minggu
dengan menggunakan prednison, dan akhirnya untuk
mempertahankan kontrol jangka panjang dengan azathioprine.
Setelah pasien mencapai remisi klinis dengan prednison, dosis
perlahan-lahan diturunkan (misalnya, 10 mg setiap 2 minggu)
dengan harapan munculnya efek azathioprine pada saat pasien
berada pada kondisi dosis steroid yang ‘chronically acceptable’ (20
mg per hari atau kurang). Jika ada keraguan tentang kemampuan
pasien untuk menelan,bernapas, atau menghindari aspirasi, pasien
sebaiknya dirawat di rumah sakit dan pemberian intravena
imunoglobulin atau plasma exchange dapatdipertimbangkan.10

1) Inhibitor asetilkolinesterase
Inhibitor AChE, pyridostigmine bromide(Mestinon),biasanya
akan memperbaiki kelemahan pada pasien dengan MG.
Dengan menghambat AchE pada metabolisme ACh secara
sementara, jumlah ACh dan durasi efeknya pada NMJ akan
meningkat. Hal ini memungkinkan interaksi ACh dengan
jumlah reseptor ACh yang cukup untuk menghasilkan EPP
suprathreshold pada NMJ.
Obat inhibitor AChE adalah obat pertama yang diberikan dalam
manajemen MG (good practice point). Inhibitor AChE
merupakan terapi simptomatik pada MG dan tidak
memperlambat proses autoimun pada NMJ. Peranan obat ini
adalah sebagai terapi pada miastenia ringan atau okular, pada
pasien yang tidak dapat mendapat imunosupresi dan sebagai

30
terapi tambahan pada pasien yang mendapat imunoterapi
dengan kelemahan yang masih ada. Pyridostigmine dimulai
pada orang dewasa dengan dosis 30 tiga kali sehari
dan dapat dinaikkan hingga 90 mg tiga hingga empat kali
sehari Pada anak-anak, pyridostigmine dimulai pada dosis 1,0
mg/kg. Dosis secara bertahap dititrasi sesuai keperluan untuk
mengontrol gejala myasthenia tanpa menghasilkan efek
samping yang tidak diinginkan. Sebagian besar pasien dewasa
memerlukan dosis 60-120 mg dalam setiap 4-6 jam. Dosis tidak
boleh melebihi 600 mg per hari pada dewasa dan 7 mg/kg pada
anak-anak. Keuntungan utama dari obat ini adalah onsetnya
yang cepat (dalam 15-30 menit) dengan durasi kerja sekitar
empat jam, dan efek puncak didapat dalam 45 menit.11
Efek samping inhibitor asetilkolinesterase berhubungan dengan
peningkatan aktivitas muskarinik dan termasuk mual, muntah,
kram perut, diare, peningkatan sekresi liur dan bronkial,
bradikardia.11
Pemberian pyridostigmine yang berlebihan dapat
mengakibatkan krisis kolinergik di mana akumulasi ACh di
reseptor ACh mendesensitisasi atau memblok reseptor yang
menyebabkan peningkatan kelemahan. Jenis krisis ini perlu
dibedakan dari krisis myasthenia.11
Krisis kolinergik ditandai dengan perburukan kelemahan,
hipersalivasi, nyeri abdominal dan diare. Penatalaksanaan
terdiri dari penurunan dosis dan terapi suportif.11
2) Imunosupresif
• Kortikosteroid
Agen imunosupresif yang paling sering digunakan adalah
kortikosteroid dan merupakan obat pilihan pertama jika
diperlukan pemberian obat imunosupresif pada MG (good
practice point). Berbagai percobaan telah menunjukkan

31
efektivitas kortikosteroid dalam pengobatan MG.
Pengobatan kortikosteroid menyebabkan perbaikan yang
nyata (45%) atau remisi (30%) pada sebagian besar pasien
dengan myasthenia.10
Perbaikan biasanya terlihat dalam 2-4 minggu dengan
manfaat maksimal terlihat pada 6-12 bulan atau lebih.
Walaupun mekanisme kerjanya belum diketahui dengan
pasti, kortikosteroid memliki berbagai efek pada sistem
imun mencakup penurunan produksi sitokin.10
Manfaat klinis steroid tampaknya berhubungan dengan
penurunan proliferasi dan diferensiasi limfosit, redistribusi
limfosit ke jaringan yang bukan merupakan tempat
imunoreaktivitas, perubahan ekspresi sitokin (terutama
TNF, Il-1, dan IL-2), inhibisi fungsi makrofag dan
presentasi antigen, dan mungkin juga peningkatan sintesis
reseptor ACh.10
Kortikosteroid sering digunakan sebagai imunoterapi awal
pada pasien dengan MG okular dan general, terutama pasa
pasien dengan respon ynag tidak memuaskan terhadap
inhibitor AChE. Obat ini memberikan perbaikan yang
cepat pada MG walaupun berhubungan dengan efek
samping yang nyata dan kadang kala menimbulkan
eksaserbasi yang serius dalam 2 minggu pertama terapi.
Terdapat dua strategi pengobatan dengan prednison yang
umumnya digunakan pada pasien dengan MG:
(1) Dosis-tinggi harian agresif pada awal pengobatan dan
(2)Pendekatan start low go slow.
Prednisone dimulai dengan dosis 1,5-2 mg/kg/hari atau
biasanya 60-80 mg/hari (sampai 100 mg) selama 2-4
minggu, kemudian kekuatan otot dinilai. Jika kekuatan
otot membaik, maka pasien kemudian dialihkan ke

32
rejimen hari berselang.10
Hal ini dapat dilakukan dengan mempertahankan dosis
tinggi pada hari-hari ganjil dan ke nol pada hari-hari
genap. Peralihan dapat juga dicapai dengan menurunkan
dosis pada hari berselang, misalnya, 100 mg pada hari-hari
ganjil dan 80 mg pada hari genap. Dosis yang lebih tinggi
dipertahankan sampai kekuatan telah normal atau
mencapai perbaikan menetap. Selanjutnya, prednison
diturunkan perlahan, misalnya, dengan mengurangi 5 mg
setiap 2-3 minggu sampai 20 mg qod tercapai. Setelah 20
mg qod, penurunan umumnya berlangsung lebih lambat,
dengan penurunan 1-2,5 mg. Biasanya pada dosis rendah
inilah pasien kambuh sehingga kebanyakan pasien akan
memerlukan tambahan obat obatan imunosupresif.
Tujuannya adalah untuk menemukan dosis terendah untuk
mempertahankan kekuatan otot.10

3) Azathioprine
Azathioprine adalah agen imunomodulasi lini kedua yang
paling sering digunakan digunakan dalam pengobatan pasien
dengan MG. Pada pasien dimana dibutuhkan terapi
imunosupresi jangka panjang, azathioprine direkomendasikan
bersama dengan steroid untuk memungkinkan penurunan dosis
steroid ke dosis minimal (rekomendasi level A). Beberapa
percobaan telah menunjukkan efektivitas azathioprine sendiri
atau dalam kombinasi dengan prednison. Perbaikan dijumpai
pada 70-90% dari pasien dengan myasthenia diobati dengan
azathioprine. Pasien yang diobati dengan azathioprine juga
dapat dipertahankan pada prednison dosis rendah (yaitu,
steroid-sparing effect).10
Azathioprine bekerja dengan menghambatsintesis

33
nukelotida dan proliferasi limfosit T dan B.2,4 Seperti
dijelaskan di atas, azathioprine dapat digunakan pada awalnya
di samping prednison dalam upaya untuk membatasi
penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Pada orang
dewasa, azathioprine biasanya dimulai pada dosis 50 mg/hari
pada pasien dewasa dan secara bertahap ditingkatkan selama 1-
2 bulan hingga dosis total 2-3 mg/kg/hari.10

4) Siklosporin
Siklosporin terutama menghambat respon imun yang T-cell
dependent dan telah terbukti efektif dalam pengobatan pasien
dengan MG. Awalnya diberikan dosis 3-4 mg/kg/hari dalam
dua dosisterbagi dan secara bertahap ditingkatkan dengan dosis
maksimum 6 mg/kg/hari sesuai keperluan. Dosis siklosporin
dititrasi untuk mempertahankan kadar 100-200 ng/mL.

5) Mycophenylate mofetil
Mycophenylate mofetil adalah agen imunomodulasi yang
relatif baru yang menghambat proliferasi limfosit T dan B
limfosit dengan menghambat sintesis purin secara selektif
dalam limfosit. Pasien yang diberikan mycophenolate mofetil
telah dilaporkan dapat menurunkan dosis agen imunomodulasi
lainnya tanpa kehilangan efek tetapi hanya beberapa pasien
yang membaik jika menggunakannya sebagai pengobatan
tunggal. Perbaikan dilaporkan sejak 2 minggu dan sering dalam
3 bulan pertama setelah memulai pengobatan.Manfaatnya
dapat tertunda sampai 12 bulan. Dosis yang digunakan adalah
1-2 g/hari dalam dua dosis. Dosis lebih tinggi dapat digunakan,
namun jumlah darah harus dimonitor untuk kelainan
hematologi, yang mungkin terjadi pada dosis yang lebih tinggi.

34
6) Tacrolimus dan Sirolimus
Seperti halnya siklosporin, obat ini adalah dua
agenimunomodulasi yang dikembangkan untuk transplantasi
organ. Tacrolimus memiliki toksisitas yang serupa dengan
siklosporin tetapi telah dilaporkan bermanfaat pada beberapa
orang yang telah gagal menunjukkan respon atau menjadi
refrakter terhadap efek siklosporin. Sirolimus memiliki profil
toksisitas berbeda dari siklosporin atau tacrolimus, terutama
dalam hal fungsi ginjal.10

7) Metotreksat
Agen ini tidak sering digunakan pada MG karena seperti halnya
untuk miopati autoimun. Pengalaman menunjukkan bahwa
metotreksat dapat efektif. Onset kerjanya yang lebih cepat
memberikan keuntungan lebih dari azathioprine. Obat ini dapat
dimulai secara oral 7,5 mg/minggu diberikan dalam tiga dosis
terbagi. Dosis secara bertahap ditingkatkan 2,5 mg setiap
minggu sampai 25 mg/minggu. Efek samping utama
metotreksat adalah alopesia, stomatitis, interstisial penyakit
paru, teratogenisitas, oncogenicity, risiko infeksi, dan fibrosis
paru, dan toksisitas sumsum tulang, ginjal, dan toksisitas hati.7

8) Siklofosfamid
Terdapat beberapa laporan tentang penggunaan siklofosfamid
dalam pengobatan segala bentuk MG, termasuk pasien dengan
antibodi MuSK. Karena efek samping yang signifikan (yaitu,
gangguan pencernaan, toksisitas sumsum tulang, alopesia,
hemoragik sistitis, teratogenisitas, sterilisasi, dan peningkatan
risiko infeksi dan keganasan sekunder), sebagian besar ahli
menghindari siklofosfamid untuk MG jika mungkin.

35
Siklofosfamid dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
MG berat yang refrakter terhadap imunoterapi MG yang lain.
Suatu tinjauan metaanalisis menunjukkan bahwa pada MG
general, bukti terbatas dari beberapa uji acak klinis
menunjukkan bahwa siklosporin, sebagai monoterapi ataupun
bersama dengan kortikosteroid, atau siklofosfamid dengan
kortikosteroid, memperbaiki gejala MG secara signifikan. 10

9) Intravenous immunoglobulin (IVIg)


Pemberian IVIg dapat menyebabkan perbaikan klinis pada
beberapa pasien dengan MG. Beberapa penelitian telah
menemukan bahwa IVIg setara dengan PEX dalam pengobatan
pasien, sedangkan penelitian lain menunjukkan bahwa PEX
lebih efektif. IVIg belum pernah dibandingkan agen
imunosupresif standar (misalnya, kortikosteroid, azathioprine,
dan siklosporin) dalam penelitian. Intravenous immunoglobulin
diberikan pada pasien dengan general myasthenia yang berada
dalam krisis myasthenia yang refrakter terhadap PEX atau
kortikosteroid atau sebagai agen untuk meningkatkan kekuatan
pasien sebelum timektomi. Mekanisme kerja IVIg cukup
kompleks dan mencakup inhibisi sitokin, kompetisi dengan
autoantibodi, inhibisi deposisi komplemen, intervensi dengan
pengikatan reseptor Fc pada makrofag dan reseptor Ig pada sel
B dan intervensi terhadap pengenalan antigen oleh sel T yang
tersensitisasi. Dosis yang biasa digunakan adalah 400
mg/kgBB selama lima hari berturut-turut. Penggunaan IVIg
kronis biasanya terbatas pada pasien dengan penyakit yang
telah gagal untuk merespon terhadap kortikosteroid,
azathioprine, mycophenylate, atau siklosporin. Dalam situasi
ini, IVIg (2 g/kg) diberikan dalam 2-5 dosis terbagi. Infus
ulangan diberikan dengan interval bulanan selama 3 bulan.

36
Pengobatan selanjutnya bersifat individual untuk
mengidentifikasi dosis terkecil dengan interval terpanjang yang
menyebabkan efek yang diinginkan. Beberapa pasien
tampaknya memerlukan pengobatan (0,4-2g/kg) setiap minggu,
sedangkan yang lain mungkin memerlukan interval beberapa
bulan antar pemberian IVIg. Suatu tinjauan meta analisis
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signofikan
antara IVIg dan PEX dalam penatalaksanaan eksaserbasi MG.
Efek dosis 1gr/kg pada dua hari berturut-turut tidak lebih baik
secara signifikan dibanding dosis tunggal 1 g/kg Tidak terdapat
bukti yang menunjukkan penggunaan IVIg untuk MG yang
moderat atau berat akan memperbaiki fungsi atau menurunkan
kebutuhan steroid.10

10) Timektomi
Ada dua aspek timektomi pada pasien MG :
(1) Timektomi untuk tumor timus pada pasien MG
(2) Timektomi untuk pengobatan MG itu sendiri. Pada indikasi
pertama, timektomi mutlak harus dilakukan, karena tumor
timus berpotensi invasif lokal. Timektomi sebagai pengobatan
MG (tanpa adanya timoma) telah dilakukan selama beberapa
tahun terakhir. Kini secara umum disepakati bahwa pasien
dengan MG general yang berusia antara remaja dan sekitar 60
tahun harus dipertimbangkan timektomi,karena hampir 80% -
85% pasien akhirnya mengalami perbaikan setelah timektomi.
Manfaat dari timektomi biasanya muncul beberapa bulan atau
tahun setelah operasi. Mekanisme kerja timektomi yang tepat
tidak diketahui, meskipun penjelasan yang mungkin
termasuk menyingkirkan sumber antigen, menghilangkan sel B
yang mensekresi antibodi anti AChR, dan imunomodulasi.
Timektomi secara umum direkomendasikan pada pasien

37
dengan timoma dengan harapan untuk mencegah morbiditas
dan mortalitas dari penyebaran lokal dan potensi penyebaran
metastasis. Keuntungan yang berkaitan dengan kontrol
myasthenic merupakan pertimbangan sekunder Peran
timektomi pada pasien dengan MG tanpa timoma kurang
jelas.10

2.2.8 Prognosis
Kebanyakan pasien mengalami gejala awal berupa kelemahan
otot ekstraokular dengan ptosis asimetri dan diplopia. Perjalanan
penyakitnya sangat bervariasi, khususnya dalam tahun pertama
penyakit. Hampir 85% pasien dengan gejala awal okular
berkembang menjadi kelemahan bulbar dan ekstremitas dalam tiga
tahun pertama. Keparahan penyakit maksimum tercapai dalam
tahun pertama pada hampir dua-pertiga dari pasien. Di awal
perjalanan MG, gejala dapat berfluktuasi dan sesekali mengalami
remisi, meskipun remisi tersebut jarang permanen. Terdapat tiga
tahap utama MG. Tahap yang aktif ditandai dengan kambuh dan
remisi yang berlangsung sekitar tujuh tahun diikuti oleh tahap tidak
aktif berlangsung sekitar 10 tahun. Tahap tidak aktif ditandai
dengan kurangnya kekambuhan penyakit, meskipun pasien
mungkin mengalami eksaserbasi yang berhubungan dengan
penyakit lain, kehamilan, atau paparan terhadap obat yang
mengganggu transmisi neuromuskular. Pada tahap akhir dari
penyakit, kelemahan yang tidak diterapi dapat menetap dan
berhubungan dengan atrofi otot. Sebelum meluasnya penggunaan
imunomodulator, prognosis untuk pasien dengan MG cukup buruk
dengan angka kematian sekitar 30% Seiring dengan kemajuan
dalam ventilasi mekanik dan perawatan intensif, imunoterapi telah
menjadi salah satu dari faktor utama yang berkontribusi terhadap
hasil yang lebih baik di MG, dan mortalitasnya kurang dari 5%.

38
2.3.Multiple Sclerosis
2.3.1 Definisi
Multiple sklerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak
dan sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba
dan merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda.
Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses
autoimun. Focal lymphocytic infiltration atau sel T bermigrasi
keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi menembus sawar darah
otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju lokasi dan
melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat
seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya inflamasi, kerusakan pada myelin
(demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan proses
degenerative. Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang efisien
dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan oleh
neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat
'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam
mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu di berbagai
bagian tubuh.12

2.3.2 Epidemiologi
Serangan Penyakit biasanya terjadi pada dewasa muda,
umumnya terjadi pada wanita, dan mempunyai prevalensi mencakup
antara 2 sampai 150 setiap 100,000 tergantung pada negara atau
populasi spesifik. Menurut National Multiple Sclerosis Society, kira-
kira 400,000 orang Amerika tercatat menderita Multipel Sklerosis,
dan pada setiap minggunya sekitar 200 orang didiagnosis MS. Di
seluruh dunia, Multipel Sklerosis mungkin diderita 2.5 juta individu.
Umumnya serangan terjadi dalam dekade ketiga dan keempat,
walaupun penyakit ini bisa mulai dalam masa kanak-kanak dan juga

39
di atas usia 60 tahun. Secara keseluruhan, Multipel Sklerosis terjadi
lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki, dengan
perbandingan adalah kira-kira 2:1. 12

2.3.3 Etiologi
Penyebab Multipel Sklerosis belum diketahui secara pasti
namun ada dugaan berkaitan dengan virus dan mekanisme autoimun.
Ada juga yang mengaitkan dengan factor genetic.

Ada beberapa factor pencetus, antara lain :


1) Kehamilan
2) Infeksi yang disertai demam
3) Stress emosional
4) Cedera 13

2.3.4 Patofisiologi
Multiple sclerosis adalah penyakit inflamasi, autoimun dan
demielinisasi pada sistem saraf pusat. Sclerosis berarti plak yang
merupakan daerah demielinisasi, multiple menunjukkan bahwa plak
tidak hanya terdapat satu dibagian SSP. Patogenesis dari MS belum
sepenuhnya dipahami. MS melibatkan proses inflamasi dan non-
inflamasi, proses inflamasi melibatkan sel T, sel B dan komponen
imunologi sedangkan prosesn non-inflamsi melibatkan degenerasi
dari sel pembentuk myelin di SSP. Secara imunopatologi terdapat
empat subtipe imunopatologi dari MS :
1) Tipe I melibatkan perivenular, dominan sel T
2) Tipe II melibatkan perivenular, sel T, sel B, immunoglobulin
dan komplemen
3) Tipe III distropi oligodendrosit
4) Tipe IV apoptosis oligodendrosit
Tipe ke II merupakan tipe yang paling sering ditemui dari
patogenesis MS. MS merupakan penyakit autoimun dimana sistem

40
imun berubah menjadi patologis dan salah mengenali bagian dari
host yang kemudian infasi ke SSP dan menyebabkan kerusakan
neurologis di SSP. Kerusakan neruorologis tersebut dapat berupa
pemecahan mielin ataupun destruksi daripada oligodendrosit sebagai
sel pembentuk mielin. Sel T dan sel B menjadi reaktif terhadap
protein dasar dari myelin sehingga memicu terjadinya reaksi
inflamasi yang membebaskan sitokin serta sel-sel sitotoksisitas. Dan
reaksi inflamasi yang terjadi sangat beragam sehingga gejala klinis
yang muncul pun beragam mulai dari gejala yang kambuh-
kambuhan sampai gejala yang terus progresif.14
Selubung mielin memiliki fungsi yang sangat penting terhadap
proses penyaluran inpuls saraf. Dengan cara meningkatkan potensial
aksi pada serat akson sehingga mempercepat penyaluran inpuls dari
satu neuron ke neuron lain, selain itu mielin juga meningkatan
keamanan transmisi inpuls. Pada keadaan demielinisasi proses
transmisi inpuls di akson mengalami gangguan, mulai dari
penurunan kecepatan transmisi inpuls sampai terjadi block. 14

2.3.5 Diagnosis Multiple Sclerosis


Lokasi lesi menentukan manifestasi klinisnya. Segala bentuk
kombinasi tanda dan gejala berikut ini dapat terjadi : 15
1. Gangguan Sensorik
Parestesia (baal, perasaan geli, perasaan “mati” “tertusuk-
tusuk jarum dan peniti”) atau hipestesia (mati rasa atau rasa
kebas). Jika lesi terdapat pada kolumna posterior medulla
spinalis servikalis, fleksi leher menyebabkan sensasi seperti
syok yang berjalan ke bawah medulla spinalis (tanda Lhermitte).
Gangguan proprioseptif sering menimbulkan ataksia sensorik
dan inkoordsinasi lengan. Sensasi getar seringkali menghilang.
Keterlibatan serebelum menimbulkan ataksia gaya berjalan dan
ekstremitas. Dalam MS tingkat lanjut, sering ditemukan disartria

41
(bicara terputus-putus). Karena gangguan sensorik tak dapat
diperagakan secara obyektif, maka gejala-gejala tersebut
disalahduga sebagai hysteria.
2. Gangguan Penglihatan
Gejala inti dari penyakit demielinasi, manifestasi awal yang
paling sering ditemukan adalah gangguan visual. Dapat terjadi
penglihatan kabur dan nyeri pada mata (neuritis optikus),
diplopia(penglihatan ganda). Diskus optikus mungkin terlihat
membengkak (papilitis) dan suatu fenomena Gunn dimana
dilatasi pupil bila terpajan dengan cahaya langsung setelah
konstriksi oleh cahaya tidak langsung mungkin dapat dideteksi
dengan tes lampu senter yang digoyang-goyangkan.
3. Kelemahan spastik anggota gerak
Keluhan yang sering didapatkan adalah kelemahan satu
anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris
pada keempat anggota gerak. Kelemahan ekstremitas mungkin
terjadi secara tersembunyi sebagai kelelahan pada saat olah
raga, kesulitan dalam memanjat tangga atau hilangnya
kemampuan (dexterity) yang berkaitan dengan meningkatnya
tonus otot. Pasien mungkin melaporkan cedera dan luka ibu jari
kaki akibat foot drop yang samar-samar juga mengeluh merasa
lelah dan berat pada satu tungkai dan pada waktu berjalan
terlihat jelas kaki yang sebelah terseret maju dan pengotrolannya
kurang sekali. Pasien dapat mengeluh tungkainya kadang-
kadang seakan-akan meloncat secara spontan terutama apabila
ia sedang berada di tempat tidur. Keadaan spastic yang lebih
berat disertai dengan spasme otot yang nyeri. Reflek tendon
mungkin hiperaktif dan reflex abdominal tidak ada. Respon
plantar berupa ekstensor (tanda babinski). Tanda-tanda ini
merupakan indikasi terserangnya lintasan kortikospinal.
4. Tanda-tanda Serebelum

42
Gejala-gejala lain yang juga sering ditemukan adalah
nistagmus (gerakan osilasi bola mata yang cepat dalam arah
horizontal atau vertical) dan ataksia serebelar dan ini
menunjukkan bahwa traktus serebelaris dan traktus
kortikospinalis juga ikut terserang. Ataksia serebelar
dimanifestasikan oleh gerakan-gerakan voluntary, intention
tremor, gangguan keseimbangan dan disartria (bicara dengan
kata terputus-putus menjadi suku-suku kata dan tersendat-
sendat).
5. Disfungsi Kandung Kemih
Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menimbulkan
gangguan pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan,
frekuensi dan urgensi yang menunjukkan berkurangnya
kapasitas kandung kemih yang spastic. Kecuali itu juga timbul
retensi akut dan inkontinensia.
6. Gangguan Suasana Hati
Banyak pasien menderita euphoria, suatu perasaan senang
yang tidak realistic. Ini diduga disebabkan terserangnya
substansia alba lobus frontalis. Tanda lain gangguan serebral
dapat berupa hilangnya daya ingat dan demensia. 15

MS didiagnosis berdasarkan temuan klinis dan bukti pendukung


dari pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tersebut meliputi:
1. Magnetic resonance imaging (MRI) : Prosedur pencitraan
pilihan untuk mengkonfirmasikan MS dan pemantauan
perkembangan penyakit pada SSP
2. Potensi membangkitkan: Digunakan untuk mengidentifikasi lesi
subklinis; hasilnya tidak spesifik untuk MS
Lumbal pungsi: Bermanfaat jika MRI tidak tersedia. Pada
analisis CSF untuk MS seringkali disertai peningkatan leukosit dan
protein (khususnya mielin berdasar protein dan antibodi

43
immunoglobulin G). Prosedur lab yang disebut elektroforesis yang
memisahkan dan menggambar protein ini, seringkali
mengidentifikasi adanya pola khusus dalam MS yang disebut “pita
oligoklonal”. 16
Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria
McDonald yang menekankan adanya pemisahan menurut
waktu/disseminated in time (dua serangan atau lebih) dan pemisahan
oleh ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang
berbeda). Seseorang dinyatakan definite menderita MS bila terjadi
pemisahan waktu dan ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila
bukti secara klinis tidak lengkap tetapi didukung oleh pemeriksaan
penunjang (MRI, LCS atau VEP).

Tabel 3.1. Kriteria Mc Donald 16

Tabel 3.2. Kriteria Mc Donald 16

44
2.3.6 Tatalaksana
Pengobatan multiple sclerosis (MS) memiliki 2 aspek, yaitu
terapi imunomodulator (IMT) untuk gangguan kekebalan yang
mendasari, dan terapi untuk meringankan atau memodifikasi gejala.
Pengobatan relaps akut MS adalah sebagai berikut: 17
1. Methylprednisolone dapat mempercepat pemulihan dari
eksaserbasi akut MS.
2. Plasmaferesis dapat digunakan jangka pendek untuk serangan
yang parah jika steroid tidak efektif atau terdapat kontraindikasi
terhadap steroid.
3. Deksametason umumnya digunakan untuk mielitis transversa
akut dan ensefalitis diseminata akut
Selain itu, agen berikut digunakan untuk pengobatan MS agresif:
1. Dosis tinggi siklofosfamid (Cytoxan) telah digunakan untuk
terapi induksi
2. Mitoxantrone disetujui untuk mengurangi kecacatan neurologis
dan atau frekuensi kambuh klinis pada pasien dengan secondary
progressive MS (SPMS), progressif relapsing MS (PRMS), atau
relapsing-remitting MS (RRMS) yang memburuk .17

45
2.3.7 Komplikasi
1. Dapat terkena infeksi saluran kemih
2. Gangguan koordinasi dan keseimbangan
3. Kelumpuhan biasanya pada kaki
4. Kelainan fungsi seksual
5. Depresi . 17

46
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Guillain-Barre syndrome (GBS) adalah penyakit sistem saraf yang
dimediasi oleh respon imun. Penegakan diagnosis GBS berdasarkan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis sensibilitas, reflek fisiologis,
refleks patologis dan derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan
cerebrospinal fluid untuk melihat kenaikan kadar protein dan jumlah sel.
Myasthenia gravis (MG) adalah kelainan autoimun yang ditandai
dengan kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka yang disebabkan oleh
adanya autoantibodi terhadap reseptor acetylcholine (ACh) nikotinik
pada neuromuscular junction (NMJ).
Multiple sklerosis (MS) adalah penyakit radang myelin sistem
saraf pusat yang disebabkan karena proses autoimun dan faktor genetik
lainnya. Multiple sklerosis terjadi suatu peradangan yang terjadi di otak
dan sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan
merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Wahyu, Fadlan Fadilah. 2018. Guillain-Barré Syndrome: Penyakit Langka


Beronset Akut yang Mengancam Nyawa. Medula Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung.
2. Kurniawan, S. N. 2013. Sindroma Guillain-Barre dalam Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan II Neurologi Malang. 2013. PT Danar Wijaya,
Malang. p27-42.
3. Seneviratne U MD(SL), MRCP. 2013. Guillain-Barre Syndrome:
Clinicopathological Types and Electrophysiological Diagnosis. Departement
of Neurology, National Neuroscience Institute, SGH Campus.
4. Mayo Clinic, Guillain Barre Syndrome [Internet]. US: Mayo Clinic; 2017
Tersedia dari: http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/guillain-
barresyndrome/basics/definition/con-20025832.
5. NIH, Guillain Barre Syndrome [Internet]. US: NIH; 2017. Tersedia dari:
https://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs /detail_gbs.htm.
6. Fitriany, Julia dan Heriyani, Netty. 2018. Sindrome Guillain Barre.
J.Ked.N.Med. Fakultas Kedokteran, Universitas Malikussaleh. Diakses pada
http://www.jknamed.com/jknamed/article/view/7/8
7. Romi F, Gilus NE, Aarli JA. Myasthenia gravis: clinical,imunological, and
therapeutic advances.Acta Neurol Scand 2015;111:134-141.
8. Carr AS, Cardwell CR, McCarron PO, et al. A systematic review of
population based epidemiological studies in Myasthenia gravis. BMC
Neurology 2016;10:46.
9. Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J
2017;80:690-700.
10. Katz LJ, Lesser RL, Merikangas JR, et al. Ocular myasthenia gravis after
Dpenicillamine administration. British journal of ophtalmology 2017; 73:
1015-1018
11. Juel VC, Massey JM. Myasthenia gravis. Orphanet Journal of Rare Diseases
2017; 2:44.

48
12. Voskuhl RR, Gold SM (2012). Sex-related Factors in Multiple Sclerosis:
Genetic, Hormonal and Environmental Contributions. Nat Rev Neurol, 8(5):
225-263.
13. Riise T, Mohr DC, Munger KL, Edwards JW, Kawachi I, Ascherio A (2011).
Stress and the Risk of Multiple Sclerosis. Departement of Public Health and
Primary Health Care, University of Bergen, Norway.
14. Joe Sa, M. 2012. Physiopathology of symptoms and signs in multiple
sclerosis. Arq Neuropsiquitar. 70(9):733-740.
15. Price SA dan Wilson LM (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
16. Barkhof F, Smithuis R, dan Hazewinkel M (2013). Multiple Sclerosis.
Radiology Department of the 'Vrije Universiteit' Medical Center, Amsterdam
and the Rijnland Hospital
17. Luzzio C (2014). Multiple Sclerosis
http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview.

49

Anda mungkin juga menyukai