Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN NEUROLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2022


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

“NEUROLOGIS PADA AIDS”

OLEH
Aulia Sabrina Ramadhanty Monoarfa
105501102321

PEMBIMBING
dr. Imelda Farida Ahmad., Sp. N., M. Kes.

Dibawakan Dalam Rangka Kepaniteraan Klinik Bagian Neurologi

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Aulia Sabrina Ramadhanty Monoarfa


NIM : 105501102321

Judul Referat : Neurologis pada AIDS

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Desember 2022


Pembimbing,

dr. Imelda Farida Ahmad., Sp. N., M. Kes.

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan referat ini dapat diselesaikan.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi
Muhammad SAW. Karena beliaulah sebagai suritauladan dalam kehidupan dunia
ini.

Referat dengan judul “Neurologis pada AIDS” ini dapat terselesaikan


dengan baik dan tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Secara khusus
penulis menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada dr. Imelda Farida
Ahmad., Sp. N., M.Kes selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu
dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi
selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna adanya dan
memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak,
sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir kata, penulis berharap agar referat ini
dapat memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, Desember 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. 2

KATA PENGANTAR ............................................................................................. 3

DAFTAR ISI ............................................................................................................ 4

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 6

A Definisi ......................................................................................................... 6

B Epidemiologi ............................................................................................. 6

C Etiologi dan Faktor Risiko ........................................................................ 7

D Patogenesis ................................................................................................ 8

E Diagnosis ................................................................................................... 9

F Tatalaksana .............................................................................................. 16

BAB III KESIMPULAN ........................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 20

4
BAB I

PENDAHULUAN

Neuroinfeksi atau infeksi saraf terjadi ketika virus, bakteri, parasit, jamur,
atau prion menyerang otak dan/atau sumsum tulang belakang, yang efeknya dapat
berkisar dari penyakit ringan hingga gangguan serius dan bahkan kematian. Infeksi
pada sistem saraf dapat melibatkan ensefalitis, meningitis, atau keduanya. Jenis lain
dari infeksi saraf adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV), yang
menyebabkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dan memiliki efek
merusak pada sistem kekebalan tubuh serta otak. Patogen yang berbeda dapat
menyerang tubuh dan menginfeksi berbagai organ, termasuk sistem saraf pusat
(SSP).1
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah patogen neurotropik,
neuroinvasif, dan neurovirulen, yang dapat menyebabkan infeksi langsung pada
sistem saraf pusat (SSP) tetapi juga menjadi predisposisi berbagai infeksi saraf
lainnya melalui gangguan imunitas yang dimediasi sel-T. Diperkirakan bahwa di
era sebelum adanya terapi antiretroviral kombinasi (ART), sekitar 10% pasien yang
terinfeksi HIV pada awalnya mengalami gangguan neurologis, dan 30-50% dari
mereka mengembangkan komplikasi neurologis selama perkembangan penyakit
tersebut. Meskipun studi kohort dalam pengamatan besar baru-baru ini dari pasien
terinfeksi HIV telah melaporkan penurunan yang signifikan dalam kejadian
keseluruhan gangguan neurologis terkait HIV yang paling sering terjadi di era
cART , infeksi SSP tetap menjadi penyebab penting morbiditas dan mortalitas.2,3
Diagnosis infeksi SSP pada pasien yang terinfeksi HIV dapat menjadi
tantangan karena berbagai kondisi harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding,
dan mungkin disebabkan oleh spektrum patogen yang luas dengan manifestasi
klinis yang beragam dan tumpang tindih.4

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang
menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan
gejala yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
oleh HIV.5 Sindrom neurologis terkait HIV menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan secara global dan mungkin karena infeksi HIV
primer, sekunder akibat infeksi oportunistik atau pemulihan kekebalan, atau
terkait dengan pengobatan antiretroviral. HIV primer atau sekunder dapat
mempengaruhi semua bagian dari sistem saraf, termasuk otak, meninges,
sumsum tulang belakang, akar saraf, saraf tepi, dan otot.6

B. Epidemiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS terus menjadi masalah
kesehatan global yang besar meskipun upaya intensif dalam inisiatif
internasional dan lokal untuk mengatasi pandemi. UNAIDS memperkirakan
37,9 juta orang di dunia hidup dengan HIV. Sebagian besar berada pada usia
produktif 15-49 tahun. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 640.443 orang yang
hidup dengan HIV (ODHA) di Indonesia dengan 49.000-50.000 kasus infeksi
HIV baru pada tahun 2019. Kementerian Kesehatan melaporkan 377.564 kasus
pada tahun 2019 dan 86,5 persen kasus tersebut adalah usia produktif. Epidemi
HIV/AIDS di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1987 dan Indonesia
termasuk epidemi terkonsentrasi rendah pada populasi kunci. Namun, kasus
HIV di Indonesia kini tumbuh paling cepat di Asia dengan meningkatnya
jumlah penularan HIV di kalangan heteroseksual. Epidemi ini telah menyebar
ke seluruh Indonesia dan dilaporkan dari 34 provinsi dan 308 (61 persen) dari
504 kabupaten/kota.7,8

6
Penyakit neurologis adalah manifestasi pertama dari infeksi HIV bergejala
pada sekitar 10-20% individu, dan sekitar 60% pasien dengan HIV lanjut
memiliki bukti klinis disfungsi neurologis selama perjalanan penyakit mereka.
Mengingat peningkatan akses global ke cART, kondisi neurologis menjadi
lebih sering terjadi pada populasi lanjut usia yang terinfeksi HIV (HIV+)
dengan HIV yang sudah lama termasuk gejala sisa kognitif, penyakit
serebrovaskular, dan neuropati perifer.6

C. Etiologi dan faktor risiko


Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV adalah anggota genus lentivirus,
bagian dari keluarga Retroviridae. HIV adalah retrovirus, dengan dua subtipe:
HIV-1 dan HIV-2. Subtipe HIV-1 adalah yang paling umum dan bertanggung
jawab atas AIDS di sebagian besar dunia. HIV-2 ditemukan terutama di Afrika
Barat dan jauh lebih jarang.9 Human immunodeficiency virus (HIV) adalah
patogen neurotropik, neuroinvasif, dan neurovirulen, yang dapat menyebabkan
infeksi langsung pada sistem saraf pusat (SSP) tetapi juga menjadi predisposisi
berbagai infeksi saraf lainnya melalui gangguan imunitas yang dimediasi sel-
T. 2,3
Faktor yang berisiko terhadap kejadian HIV yaitu jenis kelamin laki-laki,
usia kurang dari 40 tahun, wanita usia pertama kali menikah kurang dari 20
tahun, status menikah, pendidikan rendah, pengetahuan rendah, riwayat
konsumsi alkohol, riwayat tindik jarum tidak steril, riwayat keluarga dan suami
HIV/AIDS, riwayat penyakit menular seksual, orientasi seksual (heteroseksual,
homoseksual, biseksual), melakukan hubungan seksual kombinasi (gabungan
oral, vagina, dan anal), mempunyai pasangan seksual lebih dari satu,
melakukan hubungan seksual tanpa kondom, penggunaan narkoba suntik yang
berganti-gantian.10
Human immunodeficiency virus (HIV) dapat ditularkan melalui pertukaran
berbagai cairan tubuh dari orang yang terinfeksi, seperti darah, ASI, air mani,
dan cairan vagina. HIV juga dapat ditularkan dari ibu ke anaknya selama

7
kehamilan dan persalinan. Individu tidak dapat terinfeksi melalui kontak biasa
sehari-hari seperti berciuman, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda
pribadi, makanan atau air. Penting untuk dicatat bahwa orang dengan HIV yang
menggunakan ART dan mengalami penekanan virus tidak menularkan HIV ke
pasangan seksualnya. Oleh karena itu, akses awal ke ART dan dukungan untuk
tetap menjalani pengobatan sangat penting tidak hanya untuk meningkatkan
kesehatan orang dengan HIV tetapi juga untuk mencegah penularan HIV.5

D. Patogenesis
Meskipun tampaknya virus segera memasuki SSP, mekanismenya masih
kurang dipahami. Mekanisme masuk yang berbeda telah disarankan untuk
infeksi SSP, mulai dari masuknya virus bebas hingga masuk melalui perantara
seluler. Mekanisme infeksi yang sebenarnya mungkin melibatkan kombinasi
efek.11 HIV bersifat neuroinvasif (dapat memasuki sistem saraf pusat ((SSP)),
neurotrofik (dapat hidup di jaringan saraf), dan neurovirulen (menyebabkan
penyakit pada sistem saraf).3 HIV memasuki SSP dalam waktu 1-2 minggu
setelah infeksi sistemik. melalui mekanisme “Trojan Horse”, melintasi BBB
di dalam monosit yang terbawa darah yang kemudian berdiferensiasi menjadi
makrofag (Gambar 1).12 Monosit yang bersirkulasi (sel CD14 + CD16 − ) tidak
rentan terhadap infeksi HIV; namun, setelah berdiferensiasi (sel CD14 + CD16
+ ), sel ini menjadi sangat rentan terhadap infeksi HIV. Data menunjukkan
bahwa monosit yang terinfeksi HIV meningkatkan regulasi beberapa molekul
adhesi dan taut erat serta reseptor kemokin yang memfasilitasi transmigrasi dari
monosit yang terinfeksi HIV ini ke SSP.12,13
Setelah transmigrasi, makrofag yang terinfeksi HIV membangun tempat
tinggalnya di SSP yang mensekresi protein HIV termasuk HIV-Tat, HIV-
gp120, dan sitokin dan kemokin pro-inflamasi seperti Monocyte
Chemoattractant Protein-1 (MCP-1 atau CCL2), Tumor Necrosis Factor-α
(TNF-α), Interleukin-1β (IL-1β) dan Interferon-γ (IFN-γ) inducible Peptide-10
(IP-10 atau CXCL10), untuk membentuk gradien kemotaksis melintasi BBB,
yang merekrut lebih banyak monosit dari perifer ke SSP, memperkuat kaskade

8
peradangan saraf yang dimulai dari beberapa monosit yang
bertransmigrasi.12,14

Gambar 1. Model infeksi SSP HIV12


Jenis sel utama yang mendukung replikasi HIV di otak adalah makrofag
perivaskular dan mikroglia. Meskipun terbatas, infeksi astrosit oleh HIV
memiliki konsekuensi yang luas dalam mengubah lingkungan mikro otak
karena mewakili jenis sel otak yang paling banyak. Sementara sebagian besar
penelitian mendukung gagasan infeksi HIV yang terbatas atau laten pada
astrosit yang dapat dengan mudah diaktifkan kembali oleh TNF-α atau IFN-γ,
hanya sedikit yang mengamati infeksi HIV yang produktif juga. Beberapa studi
menunjukkan bahwa astrosit berfungsi sebagai reservoir HIV yang tidak
terdeteksi di otak. 12

E. Diagnosis
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi
klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan
surveilans epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIV positif dan
sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.15

9
10
Perkembangan sindrom neurologis yang dapat diidentifikasi pada orang
yang terinfeksi HIV adalah puncak dari rangkaian peristiwa, ditentukan oleh
sifat HIV itu sendiri, karakteristik genetik pejamu, dan interaksi dengan
lingkungan (termasuk pengobatan). Sindrom neurologis terkait HIV dapat
diklasifikasikan sebagai penyakit neurologis HIV primer (di mana HIV
diperlukan dan cukup untuk menyebabkan penyakit), penyakit neurologis
sekunder atau oportunistik (di mana HIV berinteraksi dengan patogen lain,
mengakibatkan infeksi oportunistik ((OI) ) dan tumor). 3
• Sindrom terkait HIV-1 pada infeksi primer
Infeksi HIV akut adalah periode dari infeksi awal hingga
serokonversi sempurna. Selama ini 40-90% individu menggambarkan
gejala mirip dengan influenza, atau mononucleosis. Gambaran yang paling
umum meliputi demam singkat, limfadenopati, keringat malam, sakit
kepala, dan/atau ruam. Infeksi SSP dini biasanya asimtomatik, tetapi cairan
serebrospinal (CSF) dan studi pencitraan dapat mendeteksi kelainan bahkan
selama periode "asimtomatik" yang menandakan kejadian neurologis
selanjutnya.3
Sindrom neurologis paling umum yang terkait dengan infeksi HIV
primer adalah meningitis aseptik (virus) akut atau meningoensefalitis.
Gejalanya mirip dengan meningitis virus lainnya, dengan demam, sakit
kepala, kaku leher, dan fotofobia. Cairan serebrospinal (CSF) menunjukkan
pleositosis limfositik ringan, protein total normal atau sedikit meningkat,
dan glukosa normal. HIV dapat dideteksi dengan tes antigen atau PCR.
Kebanyakan individu akan pulih dengan perawatan suportif. Beberapa akan
mengalami serangan berulang. 3
• HIV Associated Neurocognitive Disorders (HAND)
Manifestasi SSP yang paling umum dari HIV adalah kondisi
neurodegeneratif kronis yang ditandai dengan kelainan kognitif, motorik
sentral dan perilaku. Baru-baru ini, HIV Associated Neurocognitive
Disorder (HAND) telah menjadi nosologi yang diterima secara luas untuk

11
mengklasifikasikan individu dengan berbagai tingkat defisit neurokognitif
terkait HIV.3
HAND dikelompokkan menjadi 1) asymptomatic neurocognitive
impairment (ANI) 2) minor neurocognitive disorder (MND) and 3) HIV
Associated Dementia (HAD). ANI ditandai dengan penurunan subklinis
dalam kognisi. MND dicirikan sebagai penurunan ringan dalam kognisi
selain gangguan fungsi ringan sehari-hari yang memengaruhi aktivitas
kehidupan sehari-hari yang lebih sulit). HAD ditandai dengan penurunan
kognisi yang signifikan seiring dengan tingkat gangguan fungsional yang
signifikan yang memengaruhi aktivitas rutin. 3
HIV dapat memiliki efek mendalam pada sistem motorik piramidal
dan ekstrapiramidal. Manifestasi yang lebih ringan dari gangguan motorik
SSP termasuk ataksia, perlambatan motorik, inkoordinasi, dan tremor. Hal
ini dapat berkembang menjadi kelemahan melumpuhkan, kelenturan,
gangguan gerakan ekstrapiramidal, dan paraparesis Efek perilaku HAND
termasuk sikap apatis, lekas marah, dan retardasi psikomotor, yang dapat
disalahartikan sebagai depresi. 3
Timbulnya HAND dikaitkan dengan jumlah CD4+ yang rendah,
gejala AIDS lainnya, peningkatan viral load CSF, dan penanda aktivasi
kekebalan CSF yang meningkat (misalnya mikroglobulin beta 2 dan
neopterin). Pendekatan neuroimaging tradisional (di mana diagnosis dibuat
melalui pemeriksaan citra kualitatif) berguna untuk menyingkirkan proses
struktural atau peradangan, seperti abses, atau tumor, yang mungkin
menyerupai HAND, namun terbatas sebagai penanda diagnostik. Teknik
neuroimaging investigatif yang canggih menjanjikan sebagai biomarker
HAND. Pemetaan otak menunjukkan bahwa mungkin ada pola unik atrofi
di HAND yang membedakannya dari demensia lainnya. Ada laporan
tentang pembesaran ventrikel, atrofi kaudatus, putamen, nukleus akumbens,
dan daerah subkortikal lainnya yang dapat menjadi ciri HAND. Teknik lain
yang dapat mengidentifikasi HAND dan mengukur kemajuan atau

12
peningkatannya, adalah spektroskopi resonansi magnetik (MRS) (Gambar
2) 3

Gambar 2. Gliosis yang jelas pada materi putih adalah temuan


umum pada pasien HIV+ pada otopsi dan mungkin mendasari perubahan
yang terlihat sebelum kematian dengan spektroskopi resonansi magnetik
(MRS). Pewarnaan imunoperoksidase (coklat) untuk penanda astrositik,
protein asam fibrillar glial (GFAP).
• HIV-Associated Vacuolar Myelopathy (HIV VM)
Presentasi klinis HIV VM adalah kelemahan kaki progresif lambat,
yang mungkin asimetris pada awalnya, spastisitas, kehilangan sensori
kolom dorsal (getaran, posisi), gaya berjalan ataxic, dan frekuensi dan
urgensi buang air kecil. Disfungsi ereksi adalah tanda awal pada pria.
Parestesia di kaki sering terjadi tetapi nyeri neuropatik jarang meningkat ke
tingkat yang terlihat pada neuropati perifer. Terdapat hiper-refleks yang
menonjol, dan respon plantar ekstensor. Pada kasus lanjut, pasien dapat
menjadi terikat kursi roda dan mengalami inkontinensia ganda. Diagnosis
harus dipertanyakan jika gejala muncul secara akut, pengaruh pada lengan,
ada tingkat sensorik, atau jika ada nyeri punggung. 3
Pemeriksaan yang paling penting adalah MRI tulang belakang,
untuk menyingkirkan abses atau tumor. Dalam banyak kasus VM HIV, MRI
normal. Beberapa akan memiliki area hyperintense sinyal tinggi pada
pencitraan T2, terutama di daerah toraks dan mempengaruhi columna

13
posterior, yang tidak meningkat dengan kontras; area ini berkorelasi dengan
vakuolasi pada histopatologi. Pungsi lumbal penting untuk mengecualikan
infeksi yang dapat diobati atau meningitis karsinomatosa. Potensi yang
ditimbulkan oleh somatosensori berguna untuk mengurai kasus-kasus di
mana terdapat VM HIV dan neuropati sensorik. 3
• HIV associated peripheral neuropathies
Gejala yang paling sering dilaporkan adalah parestesia, yang hampir
selalu dimulai di kaki, karena ini adalah neuropati yang bergantung pada
panjang. Pasien mengeluh terbakar, mati rasa, sensasi panas atau dingin, dan
sensasi seperti sengatan listrik episodik. Beberapa mengeluh tentang
perasaan bahwa mereka berjalan di atas pasir, atau kaca. Banyak yang tidak
tahan memakai sepatu. Gejalanya meningkat seiring waktu, hingga ke paha,
dan juga akan melibatkan tangan seperti sarung tangan. Kram dan fasikulasi
dapat terjadi pada ekstremitas. Sebagian besar pasien tidak mengalami
kelemahan motorik atau pengecilan otot dan ini terbatas pada ekstremitas
distal . Temuan fisik yang paling umum adalah penurunan atau tidak adanya
sentakan pergelangan kaki, berkurangnya sensasi getar di kaki, dan
peningkatan ambang suhu dan pinprick (alternatifnya, beberapa pasien
mengalami hiperestesi). 3
Pada sebagian besar kasus, elektromiogram (EMG) dan studi
konduksi saraf (NCS) tidak diperlukan untuk mendiagnosis HIV DSPN.
Jika studi elektrodiagnostik dilakukan, itu akan menunjukkan temuan yang
mirip dengan neuropati degeneratif lainnya, terutama aksonal, seperti
potensi aksi yang berkurang atau tidak ada. Beberapa pasien memiliki studi
yang tampaknya normal. Mereka kemungkinan besar memiliki neuropati
serat kecil, dan pengujian sensorik kuantitatif dapat membantu jika ada
alasan untuk mendokumentasikan diagnosis klinis. Penting untuk mencari
proses yang dapat meniru atau memperburuk DSPN HIV, termasuk sifilis,
diabetes, defisiensi B12 atau folat, penyakit tiroid, virus hepatitis C, dan
obat neurotoksik apa pun. 3

14
• Infeksi oportunistik
Banyak IO SSP merupakan kondisi terdefinisi AIDS dengan risiko
kematian tinggi, termasuk Progressive Multifocal Encephalopathy (PML),
CNS cytomegalovirus (CMV), SSP tuberkulosis (TB), cryptococcal
meningitis, dan toksoplasmosis serebral. IO SSP paling sering terjadi ketika
jumlah CD4 adalah ≤200 sel/µl, dan pada 15% pasien yang terinfeksi HIV,
IO sistem saraf pusat muncul secara bersamaan. Sayangnya, manifestasi
klinis OI SSP seringkali tidak spesifik (sakit kepala, demam, delirium,
kejang, defisit neurologis fokal) dan perbedaan yang agak luas mungkin
hanya sedikit dipersempit dengan pencitraan dan analisis CSF. Diagnosis
banding dapat dipandu lebih lanjut oleh tingkat imunosupresi pada pejamu
, karena lesi massa SSP paling sering terjadi pada pasien imunosupresi akut
dengan jumlah CD4 ≤200 sel/µl. Namun pada kenyataannya, pasien AIDS
lanjut yang datang dengan demam dan sakit kepala dapat menderita
toksoplasmosis, TB, limfoma, sifilis, atau PML, atau kombinasi lebih dari
satu IO ini secara bersamaan.3,6
• CNS-Immune Reconstitution Syndrome
Meskipun penggunaan cART secara nyata meningkatkan fungsi
kekebalan dan prognosis pada pasien yang terinfeksi HIV, Immune
Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) merupakan komplikasi yang
signifikan dari inisiasi ARV. IRIS mempengaruhi seperempat pasien yang
memulai ARV, dan meskipun CNS-IRIS adalah fenomena yang jarang
dibandingkan dengan keterlibatan sistem organ lainnya (termasuk sistem
limfatik dan paru), IRIS memiliki morbiditas dan mortalitas terkait
tertinggi.3,6
Tuberkulosis, Cryptococcus, dan PML adalah patogen yang paling
sering dikaitkan dengan CNS-IRIS, meskipun sejumlah penyebab lain dari
CNS-IRIS telah diidentifikasi. Tuberculosis-associated-IRIS (TB-IRIS)
adalah bentuk IRIS yang paling umum di rangkaian koinfeksi HIV/TB yang
tinggi, dengan keterlibatan neurologis hingga 30% kasus.6

15
F. Tatalaksana
Tatalaksana bersifat simtomatik, antibiotik digunakan pada koinfeksi
bakteri, dan asiklovir digunakan untuk HIV-1 atau HIV-2. Pengobatan
simtomatik dan terapi antiretroviral (ART) yang sangat aktif adalah
pengobatan standar. penatalaksanaan meningitis aseptik HIV terbatas pada
laporan kasus. Memulai pengobatan dengan cART, atau mengubah dan
mengintensifkan rejimen untuk memasukkan lebih banyak obat yang
menembus SSP, dapat menekan gejala. Selain itu, mengalami meningitis
berulang ketika mereka menghentikan terapi antiretroviral kombinasi (cART),
misalnya selama penghentian pengobatan terstruktur.3,16
ARV dapat menyebabkan spektrum efek samping yang luas di sepanjang
sumbu saraf, kadang-kadang menyebabkan masalah kepatuhan, perubahan
rejimen, atau penghentian terapi.(tabel 3)16
Nucleoside analogues (NAs) didanosine (ddI), stavudine (d4T), dan
zalcitabine (ddC) paling sering dikaitkan dengan neuropati perifer, dan sebagai
akibatnya sebagian besar telah dihapus dalam pengaturan sumber daya tinggi.
Namun , dalam banyak rangkaian terbatas sumber daya obat ini tetap
digunakan. Zidovudine (AZT) dan Abacavir keduanya tetap menjadi landasan
terapi di banyak rangkaian terbatas sumber daya, dan memiliki hubungan
minimal dengan neuropati perifer, meskipun keduanya dilaporkan
menyebabkan miopati dan gejala psikiatri pada beberapa pasien.16
NNRTI Efavirenz memiliki tingkat efek samping SSP tertinggi,
mempengaruhi lebih dari 50% pasien dalam beberapa penelitian. Efek samping
termasuk insomnia, kebingungan, mimpi buruk, dan gejala kejiwaan termasuk
kecemasan dan depresi. Sebaliknya, nevirapine tampaknya memiliki sedikit
efek samping SSP. Etravirine NNRTI yang lebih baru juga dikaitkan dengan
neuropati perifer, meskipun pada tingkat yang lebih rendah daripada NA yang
lebih tua. Rilpivirine tampaknya memiliki efek samping SSP yang relatif
sedikit, meskipun depresi, sakit kepala, dan insomnia telah dilaporkan.16

16
Tabel 3. Efek neurologis utama terkait dengan ARV.16

Inhibitor protease sebagian besar telah dianggap memiliki efek samping


SSP minimal, meskipun data in vitro menunjukkan bahwa setidaknya ada
risiko teoritis neurotoksisitas. Selain itu, protease inhibitor menginduksi
hiperlipidemia secara teoritis dapat menginduksi kejadian stroke, meskipun hal
ini belum dibuktikan dalam penelitian. 16
Inhibitor integrase (Raltegravir, Dolutegravir, Elutegravir) baru-baru ini
tersedia di banyak rangkaian terbatas sumber daya, dan terutama digunakan di
rangkaian tersebut sebagai terapi lini ketiga atau terapi penyelamatan.
Meskipun profil efek samping SSP serupa dengan yang dilaporkan untuk
Efavirenz (gangguan tidur, kebingungan, dan perubahan kejiwaan),
kejadiannya jauh lebih rendah dan dalam praktek penghentian karena efek
samping jarang terjadi dengan obat ini. 16
Semakin banyak bukti bahwa SSP adalah reservoir virus, aspek penting lain
dari terapi ARV adalah kemampuannya untuk melewati sawar darah otak dan

17
menembus parenkim otak SSP. SSP adalah kompartemen istimewa kekebalan
dan hanya sedikit ARV yang efisien dengan penetrasi yang efektif. Agen
terapeutik yang lebih baru dengan penetrasi SSP yang baik dan neurotoksisitas
minimal menarik tetapi seringkali tidak tersedia di rangkaian terbatas sumber
daya di mana ARV generasi lama tetap menjadi andalan pengobatan karena
biaya.16

18
BAB III

KESIMPULAN

• Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang


menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan
gejala yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
oleh HIV
• Human immunodeficiency virus (HIV) adalah patogen neurotropik,
neuroinvasif, dan neurovirulen, yang dapat menyebabkan infeksi langsung
pada sistem saraf pusat (SSP) tetapi juga menjadi predisposisi berbagai infeksi
saraf lainnya melalui gangguan imunitas yang dimediasi sel-T.
• Sindrom neurologis terkait HIV dapat diklasifikasikan sebagai penyakit
neurologis HIV primer (di mana HIV diperlukan dan cukup untuk
menyebabkan penyakit), penyakit neurologis sekunder atau oportunistik (di
mana HIV berinteraksi dengan patogen lain, mengakibatkan infeksi
oportunistik ( (OI) ) dan tumor).
• Memulai pengobatan dengan cART, atau mengubah dan mengintensifkan
rejimen untuk memasukkan lebih banyak obat yang menembus SSP, dapat
menekan gejala. Selain itu, mengalami meningitis berulang ketika mereka
menghentikan terapi antiretroviral kombinasi (cART), misalnya selama
penghentian pengobatan terstruktur.
• ARV dapat menyebabkan spektrum efek samping yang luas di sepanjang
sumbu saraf, kadang-kadang menyebabkan masalah kepatuhan, perubahan
rejimen, atau penghentian terapi

19
DAFTAR PUSTAKA
1. Novitski, J., Elverman, K., Kwan, D., Schulze, E. & Grote, C.
Neuroinfection. in (ed. Han, D. (Dan) Y.) (Springer Publishing Company,
2016). doi:10.1891/9780826131379.0005

2. Kaul, M. & Lipton, S. A. Mechanisms of neuronal injury and death in HIV-


1 associated dementia. Curr. HIV Res. 4, 307–318 (2006).

3. Singer, E. J., Valdes-Sueiras, M., Commins, D. & Levine, A. Neurologic


presentations of AIDS. Neurol. Clin. 28, 253–275 (2010).

4. Sheybani, F., van de Beek, D. & Brouwer, M. C. Suspected Central Nervous


System Infections in HIV-Infected Adults. Front. Neurol. 12, 741884
(2021).

5. World Health Organization. HIV. (2022).

6. Thakur, K. T. et al. Global HIV neurology: a comprehensive review. AIDS


33, (2019).

7. International Labour Organization. HIV/AIDS Programme in the World of


Work in Indonesia. (2022). Available at:
https://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/projects/WCMS_737618/lang--
en/index.htm#:~:text=In Indonesia%2C there were an,cases are the
productive ages.

8. UNAIDS. Country factsheets. Available at:


https://www.unaids.org/en/regionscountries/countries/indonesia.

9. Vaillant, A. A. J. & Gulick, P. G. HIV Disease Current Practice. (2022).


Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534860/#_NBK534860_pubdet_.

10. Rohmatullailah, D. & Fikriyah, D. Faktor Risiko Kejadian HIV Pada


Kelompok Usia Produktif di Indonesia. 2, 45–59 (2021).

11. Zayyad, Z. & Spudich, S. Neuropathogenesis of HIV: from initial

20
neuroinvasion to HIV-associated neurocognitive disorder (HAND). Curr.
HIV/AIDS Rep. 12, 16–24 (2015).

12. Malik, S. & Eugenin, E. A. Mechanisms of HIV Neuropathogenesis: Role of


Cellular Communication Systems. Curr. HIV Res. 14, 400–411 (2016).

13. Williams, D. W. et al. Mechanisms of HIV entry into the CNS: increased
sensitivity of HIV infected CD14+CD16+ monocytes to CCL2 and key roles
of CCR2, JAM-A, and ALCAM in diapedesis. PLoS One 8, e69270–e69270
(2013).

14. González-Scarano, F. & Martín-García, J. The neuropathogenesis of AIDS.


Nat. Rev. Immunol. 5, 69–81 (2005).

15. Rahmayanti, R. R. M. A. U. A. U. S. R. Manifestasi Klinik Gangguan


Neurologis Terkait HIV. Medica Hosp. J. Clin. Med. Nov 2019 (2019).

16. Uwishema, O. et al. Neurological disorders in HIV: Hope despite challenges.


Immunity, Inflamm. Dis. 10, e591–e591 (2022).

21

Anda mungkin juga menyukai