Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

DEMENSIA PADA PENDERITA HIV

Oleh:
M. Sofyan Faridi

Pembimbing:
dr. Ketut Widyastuti Sp.S

PROGRAM STUDI NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya,
sehingga Referat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Referat ini disusun untuk
memenuhi salah satu persyaratan dari Ilmiah Divisi Gangguan Tidur, dalam rangka mengikuti
Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf (PPDS) Universitas Udayana.
Referat ini berjudul : Demensia Pada Penderita HIV

Dalam penyusunan tinjauan Pustaka ini,penulis banyak memeperoleh bimbingan


dan petunjuk-petunjuk, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak dari dalam institusi
dan diluar institusi. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat :
1. dr. AABN Nuartha, SpS(K), Kepala Bagian SMF Neurologi.
2. Dr. dr. AAA Putri Laksmidewi,Sp.S(K), Ketua Program Studi Neurologi
3. dr.Ketut Widyastuti, Sp.S selaku pembimbing.
4. Senior Residen dan pihak lain yang tidak bisa saya ucapkan satu-persatu.
Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan ilimiah dalam masalah
kesehatan.

Denpasar, 10 Desember 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………. i

KATA PENGANTAR…………………………………………………... ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………. iii

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… iv

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………… 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………… 3

2.1 Definisi…………………………………………………………….. 3

2.2 Epidemiologi………………………………………………………. 3

2.3 Patogenesis Infeksi HIV…………………………………………… 5

2.4 Faktor Resiko Terjadinya Gangguan Kognitif…………………….. 7

2.5 Gangguan Neurokognitif pada Infeksi HIV ………………………... 9

2.6 Hubungan Limfosit T CD4+ dengan Gangguan Fungsi Kognitif ….... 19

BAB III KESIMPULAN ……………………………………………………… 21

DAFTAR PUSTAKA …………… ……………………………………………… 22


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme Trojan Horse………………………………………………… 9


Gambar 2. Demografi, klinis dan karakteristik laboratorium pada HAND……...…. 13
Gambar 3 Karakteristik MRI pada HAD gambaran pada FLAIR …………………. 14
Gambar 4. Central nervous system Penetration-Effectiveness score (CPE)………… 18
Gambar 5. Antiretroviral central nervous system neurotoxicity…………… ……….. 19
BAB I
PENDAHULUAN

HIV Associated Dementia (HAD)/ HIV Associated Neurocognitive Disorder


(HAND) adalah spektrum luas gangguan psikiatri dan neurologi dari infeksi HIV pada SSP.
HAD mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motorik, dan perilaku. Pada bagian akhir
spektrum yang parah ini terdapat AIDS Demensia Complex (ADC) satu kondisi yang dapat
mengakibatkan kerusakan SSP secara bermakna dan ini merupakan suatu penyulit dari
AIDS. Di sisi lain dari spektrum ini adalah Mild Neurocognitive Disorders (MND) terkait
HIV menggambarkan gejala yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk demensia
karena gejala ini tidak mengganggu kegiatan sehari-hari secara bermakna (Dorothy,
2017).

Pengenalan terapi kombinasi antiretroviral (cART) telah mengubah Human


Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dari
penyakit yang mengancam jiwa menjadi penyakit yang kronis. Sejak diperkenalkannya
cART, kelainan neurokognitif terkait HIV (HAND) telah mencegah komplikasi pada infeksi
HIV. Stabilitas keseluruhan ini sebagian dikaitkan dengan peningkatan umur yang terkait
dengan pemberian ART serta efek kronis HIV di otak. Meskipun demikian, stabilitas
keseluruhan bentuk HAD yang parah telah dilemahkan oleh cART dan saat ini lebih umum
ditemukan MND ( Kamminga, 2013)
Dengan harapan hidup yang berkepanjangan pada pasien berusia di atas 50 tahun,
usia juga merupakan faktor gangguan kognitif terkait HIV. Diperkirakan satu dari setiap
empat infeksi HIV yang baru didiagnosis terjadi pada orang dewasa yang lebih tua. Seiring
pasien usia dengan HIV, HAND diketahui menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan dan pada akhirnya mempercepat proses penuaan. Usia adalah faktor yang
diketahui dalam perkembangan seropositif HIV, dengan periode inkubasi yang menurun dari
paparan pengembangan gejala AIDS, menurunnya proliferasi limfosit-T, dan risiko HAND
yang signifikan (Watkins 2015).
HIV bereproduksi di mikroglia, sel kekebalan otak, menyebabkan peradangan sistem
saraf pusat (SSP) dan perubahan kognitif dan perilaku progresif. Meskipun definisi klinis
baru saja berubah, HAND dapat berkisar dari asymptomatic neurocognitive impairment
(ANI) hingga MND dengan sedikit masalah konsentrasi dan memori terhadap HAD dengan
gangguan kognitif global.

1
Meskipun agak kontroversial, ANI dan MND tampaknya terkait dengan disfungsi
glial dan didiagnosis melalui tes neuropsikologis, sementara HAD adalah diagnosis klinis
dan mungkin akibat kematian sel neuron. (Dorothy, 2017).

Selain usia, gangguan depresi mayor (MDD) dan HAND memiliki faktor risiko yang
sama, termasuk jenis kelamin perempuan, stadium penyakit HIV, penyakit komorbid seperti
Hepatitis B dan C, dan penggunaan narkoba suntikan. Penelitian pada orang dewasa yang
lebih tua dengan penelitian HIV mengumpulkan data laporan diri dari tahun 2005 sampai
2006 tentang gejala depresi dari lebih dari 1000 laki-laki dan perempuan HIV-positif dengan
HIV yang berusia di atas 50 tahun ke atas. Berdasarkan penelitian ini, tampaknya ada
korelasi yang signifikan dengan skor Skala Depresi, beban penyakit yang lebih tinggi, dan
gangguan kognitif (Watkins 2015).

Mengingat bahwa gangguan kognitif terkait HIV mencakup lingkup perubahan


emosional, perhatian, disfungsi eksekutif, dan memori, kami mengidentifikasi berbagai jenis
komplikasi neuropsikiatrik. Kami meninjau perubahan akut yang terkait dengan perubahan
status mental pada delirium dan gangguan neurobehavioral yang umumnya dikaitkan
dengan gangguan depresi mayor. Kami membahas spektrum memori dan memori demensia
yang mencakup ANI, gangguan neurokognitif motorik ringan, dan demensia HIV. Tujuan
kami adalah untuk memberikan pemahaman tentang prevalensi, tingkat keparahan,
diagnosis, dan pengelolaan kondisi ini dengan tujuan membantu klinisi mengidentifikasi dan
membedakan sindrom klinis ini pada pasien AIDS. (Watkins 2015)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dipakai sejak tahun 1986 sebagai nama
untuk retrovirus yang diusulkan pertama kalinya oleh Luc Montagnier sebagai penyebab
AIDS (Acquired Imunodeficiency Syndrome). HIV adalah anggota genus Lentivirus,
keluarga Retrovirus yang ditandai oleh suatu periode latensi panjang dan sebuah sampul
lipid dari sel induk yang mengelilingi sebuah pusat protein RNA. Dikenal dua spesies HIV
yang menginfeksi manusia yaitu HIV -1 dan HIV-2. HIV- 1 sendiri dianggap sebagai sumber
dari kebanyakan infeksi di seluruh dunia. (Dorothy, 2017).
HAND adalah kondisi neurologis yang menyebabkan kerusakan kognitif dan akibat
respon sistem kekebalan terhadap infeksi HIV dan ensefalopati metabolik. Mulai dari yang
paling kecil sampai yang paling parah, HAND mungkin mengacu pada gangguan
neurokognitif ringan (MND), ensefalopati HIV, HAD, atau demensia AIDS kompleks
(ADC). American Academy of Neurology menunjuk 2 kategori utama kerusakan kognitif
terkait HIV, termasuk demensia terkait HIV (HAD) dan gangguan motor kognitif minor
(MND). Secara umum, diagnosis HAD memerlukan kelainan yang didapat pada setidaknya
2 domain kognitif, dengan kelainan tambahan pada fungsi motorik atau motivasi dan / atau
kontrol emosional. Mewakili kelainan ringan, MND memerlukan setidaknya 2 gejala
kognitif dan / atau perilaku dan temuan akhir dari 1 kelainan kognitif atau motor yang
didapat. Keduanya mensyaratkan bahwa kesulitan kognitif mengurangi kemampuan untuk
menyelesaikan aktivitas atau pekerjaan sehari-hari. Menentukan kemunduran fungsional
akibat kognisi dapat menjadi masalah di antara pasien yang lebih tua yang sudah pensiun
atau mengalami penurunan beban kerja karena alasan medis dan mungkin tidak memiliki
wawasan yang masuk akal mengenai tingkat kinerja yang diharapkan. Masalah kerahasiaan
dan perancu kemampuan fungsional karena penyakit lain dapat menghasilkan penghalang
lebih lanjut untuk penilaian fungsional. Akibatnya, beberapa pusat menganjurkan penilaian
fungsi yang obyektif (Valcour 2006).

2.2 Epidemiologi
Menurut Chin (2000), tidak diketahui adanya kekebalan orang terhadap infeksi
HIV/AIDS, tetapi kerentanan setiap orang terhadap HIV/AIDS diasumsikan bersifat umum,

3
tidak dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan kehamilan, sehingga setiap orang mungkin
untuk terserang HIV/AIDS (Zikriyah 2017).

Sejak dimulainya epidemi, 68 juta orang di seluruh dunia terinfeksi HIV, dan sekitar
30 juta meninggal karena AIDS. Sekitar 34 juta orang terinfeksi HIV dilaporkan pada tahun
2010, serta 2,7 juta infeksi baru dan 1,8 juta kematian akibat AIDS. Setiap 6 detik seseorang
di dunia tertular HIV dan setiap 9 detik seseorang meninggal akibat penyebab terkait AIDS.
Menurut Unit Epidemiologi National National Health Institute, sejak awal penelitian di
Polandia pada tahun 1985 sampai 30 Juni 2012 infeksi HIV ditemukan di 15.724 warga
sebanyak 2.763 kasus AIDS dilaporkan terjadi 1.162 pasien meningga. Pada saat yang sama
diyakini bahwa jumlah sebenarnya orang terinfeksi HIV di Polandia mungkin dua kali atau
bahkan tiga kali lebih besar daripada jumlah kasus yang didokumentasikan (Kalinowska
2013).
Penelitian Hall, dkk tahun 2005 dalam Journal Acquired Immune Deficiency
Sindrome (2009) di 33 negara bagian Amerika Serikat, diperoleh bahwa Ras Kulit hitam 9
kali berisiko menderita AIDS dibanding Ras Kulit putih dengan Resiko Relative (RR) 9,16
dan Ras Hispanik mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi daripada Ras Kulit Putih (RR 3,05).
Risiko menderita AIDS 2 kali lebih tinggi pada orang Indian Amerika/penduduk asli Alaska
dari pada orang Asia/Kepulauan Pasifik (RR 2,05). Di Canada, RR AIDS 5,5 kali lebih
tinggi pada Ras Kulit hitam dibandingkan pada Ras Kulit putih (RR 5,54) dan 4 kali lebih
tinggi pada orang Aborigin dibandingkan IR Ras Kulit putih (RR 4,36) ( Zikriyah 2017 ).
Berdasarkan data UNAIDS (2008), 67% infeksi HIV di dunia terdapat di Sub-Sahara
Afrika. Dari 2,7 juta kasus baru pada tahun 2008, 68% terdapat pada orang dewasa. Sebesar
6,4% prevalensi HIV terdapat pada perempuan.Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL
Depkes RI (2009), terdapat 19.973 jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat
pada kelompok umur 20-29 tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada
kelompok umur 40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,49% pada
kelompok umur 50-59 tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada kelompok
umur < 15 tahun dan 3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan
perempuan adalah 3:1.
Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2% penderita AIDS terdapat
pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU. Kumulatif kasus AIDS pada Pengguna
Napza Suntik di Indonesia hingga tahun 2009 adalah 7.966 kasus, 7.312 kasus adalah laki-
laki (91,8%), 605 kasus perempuan (7,6%) dan 49 kasus tidak diketahui jenis kelaminnya
(0,6%). 64,1% terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun, 27,1% pada kelompok umur 30-
39 tahun, 3,5% pada kelompok umur 40-49 tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun,
0,6% pada kelompok umur 50-59 tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun
masing-masing 0,1% dan 2,8% tidak diketahui kelompok umurnya. (Zikriyah, 2017)
Komplikasi neurologi pada penderita HIV dapat mengenai susunan saraf tepi dan
susunan saraf pusat. Komplikasi yang dapat mengenai susunan saraf pusat bermanifestasi
sebagai demensi terkait HIV (7% dari penderita HIV) dengan gejala didapatkan gangguan
kognitif, motorik, dan gangguan perilaku. Gangguan neurokognitif tersebut dikenal dengan
HIV- Associated Neurocognitive Disorder (HAND) berupa HIV-Associated Dementia
(HAD) atau AIDS Dementia Complex, Minor Cognitive Motor Disorder (MND), dan
Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI). Perkembangan pengobatan HIV dengan
menggunakan terapi kombinasi antiretroviral (ART) telah mengurangi insiden gangguan
neurokognitif tersebut dibandingkan sebelum era ART. Komplikasi gangguan neurokognitif
juga terjadi pada penderita HIV asimtomatik. Gangguan Kognitif pada penderita HIV –
AIDS dipengaruhi juga oleh obat antiretroviral,infeksi oportunistik, usia, merokok,
pendidikan (Dorothy, 2017).

2.3 Patogenesis Infeksi HIV


Menurut Kelly (2004) yang diperkuat oleh Matapalil et al (2006) fase perjalanan infeksi
HIV dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu : fase infeksi akut, kronik dan laten.

1. Fase Infeksi Akut


Fase ini terdapat 40-90% kasus yang merupakan keadaan klinis yang bersifat sementara
yang berhubungan dengan replikasi virus pada stadium tinggi dan ekspansi virus pada
respon imun yang spesifik. Proses replikasi tersebut menghasilkan virus -virus baru yang
jumlahnya jutaan dan menyebabkan terjadinya viremia yang memicu timbulnya sindroma
infeksi akut. Diperkirakan 50 -70% orang yang terinfeksi HIV mengalami sindroma infeksi
akut selama 3 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum seperti demam, faringitis,
limfadenopati, artralgia, mialgia letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare,
anoreksia, penurunan berat badan. HIV juga dapat menyebabkan kelainan sistem saraf
meskipun paparan HIV terjadi pada stadium infeksi masih awal. Fase ini terjadi penurunan
limfosit T yang cukup dramatis yang kemudian diikuti kenaikan limfosit T, meskipun
demikian tidak ada antibodi spesifik HIV yang dapat terdeteksi pada stadium awal infeksi
ini. Selama masa infeksi akut, HIV mereplikasikan dirinya secara terus -menerus, sehingga
mencapai level 100 juta kopi HIV RNA/ml. HIV tersebut mempunyai topisme pada berbagai
sel target, terutama pada sel -sel yang mampu mengekspresi CD4+, yaitu:
1. Sistem saraf: astrosit, mikroglia, dan oligodendroglia
2. Sirkulasi sistemik : limfosit T, limfosit B, monosit dan makrofag
3. Kulit: sellangerhans, fibroblast dan dendritik
Terjadi interaksi antara gp120 virus dengan reseptor CD4+ yang terdapat pada sel
limfosit T pada awal infeksi, interaksi tersebut menyebabkan tetjadinya ikatan dengan
reseptor kemokin yang bertindak sebagai koreseptor spesifik CXCR4 dan CCR5 yang juga
terdapat pada membran sel target. Proses internalisasi HIV pada membran sel target juga
memerlukan peran Glikoprotein 41 (gp41) yang terdapat pada selubung virus. Gp4l tersebut
berperan dalam proses fusi membran virus dengan membran sel target. Peran dari gp41
tersebut menebabkan seluruh komponen inti HIV dapat masuk dan mengalami proses
internalisasi yang ditandai dengan masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma.
2. Fase Infeksi Laten

Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik
folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan,
gejala akan hilang dan mulai memasuki fase laten. Fase ini jarang ditemukan virion di
plasma, sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan tetjadi replikasi di kelenjar
limfe sehingga di dalam darah jumlahnya menurun. Jumlah limfosit T CD4+ menurun
hingga sekitar 500-200 sel/mm3. Fase ini berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun setelah
terinfeksiHIV. Tahun ke 8 setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis seperti demam,
banyak keringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10% diare, 8 lesi pada
mukosa dan kulit yang berulang. Gejala -gejala tersebut merupakan awal tanda munculnya
infeksi oportunistik.

3. Fase lnfeksi Kronik


Selama fase ini terdapat peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi
sistemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun. Terjadi penurunan jumlah limfosit
T CD4+ hingga di bawah 300 sel/mm.
Penurunan ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap
berbagai macam penyakit sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong
ke arah AIDS (Dorothy, 2017).
Mekanisme HIV masuk ke SSP dan menginfeksi sel SSP

Cara utama HIV masuk ke SSP adalah melalui mekanisme "Trojan Horse" dimana monosit
yang terinfeksi melintasi sawar darah otak dan melepaskan virus di dalam SSP yang kemudian dapat
menginfeksi sel host (Gambar 1). Mekanisme lain yang diusulkan mencakup infeksi sel secara
langsung yang terdiri dari sawar darah otak, sel endotel dan astrosit, dan dipindahkan melalui sel-sel
ini dari perifer ke SSP, atau gerakan ekstraselular langsung virus melintasi penghalang darah-otak
yang terganggu. penting untuk mempertimbangkan mekanisme ini, karakteristiknya kurang baik,
dan kemungkinan merupakan kontributor kecil untuk infeksi SSP.

Di bawah kondisi fisiologis, transmigrasi leukosit melintasi sawar darah otak ke


parenkim SSP adalah proses yang dibatasi dan sangat diatur yang memerlukan mekanisme
interaksi leukosit sel endothelial dan jaringan. Interaksi ini melibatkan berbagai molekul
intraselular dan ekstraselular, termasuk kemokin, sitokin dan reseptornya, adhesi sel
molekul, tight junctions, adherens junction proteins pada sel endotel mikrovaskular otak dan
leukosit. Ekspresi yang menyimpang dari kemokin dan reseptor, molekul adhesi, dan
matriks metaloproteinase dalam konteks HIV berkontribusi pada transmigrasi leukosit
melintasi sawar darah otak, memperburuk peradangan SSP, dan replikasi HIV di dalam otak
(lihat Gambar 1).
Kemokin adalah mediator penting transmigrasi leukosit melintasi sawar darah-otak
yang memainkan peran penting dalam patogenesis HAND karena mereka memfasilitasi
transmigrasi leukosit dan pergerakan langsung sel host, seperti mikroglia / makrofag,
Lengan kemokin (CC) 2 (CCL2) paling banyak kemokin chemoattractant yang manjur untuk
monosit dan tingkat sel T yang diaktifkan. CCL2 meningkat pada cairan serebrospinal dan
jaringan otak individu dengan demensia terkait HIV, kelompok kami menunjukkan bahwa
CCL2 memainkan peran utama dalam peradangan serta neuroproteksi dalam konteks
HAND. CCL2 adalah kemokin penting dalam transmigrasi monosit dan limfosit yang
terinfeksi HIV di sawar darah otak. Kami menunjukkan bahwa infeksi HIV pada sel
mononuklear darah perifer meningkatkan transmigrasi mereka melintasi BBB manusia in
vitro dalam menanggapi CCL2. Peripheral blood mononuclear cells (PBMC) yang terinfeksi
HIV juga telah meningkatkan ekspresi reseptor kemokin (CC) reseptor 2 (CCR2), reseptor
untuk CCL2, yang dapat memfasilitasi transmigrasi yang meningkat ini (lihat Gambar 1) .
Peningkatan transmigrasi PBMC di seluruh darah dikaitkan dengan gangguan BBB dan
spesifik CCL2, mengingat tidak ada peningkatan transmigrasi sel yang terinfeksi HIV
ditemukan dengan CCL3, CCL4, atau CCL5.
Selain CCR2, laporan sebelumnya menunjukkan peningkatan ekspresi reseptor
kemokin CXCR4 dan CCR5 pada sel T yang terinfeksi HIV, menunjukkan bahwa infeksi
HIV mengubah ekspresi reseptor kemokin untuk memfasilitasi invasi dan juga infeksi.
Kemokin lain, fractalkine (CX3CL1), telah dikaitkan dengan migrasi transendothelial CD16
+ monosit yang disempurnakan pada kondisi normal dan inflamasi dan sel endotel yang
mengekspresikan pemicu fraksinasi CD16 + monosit untuk menghasilkan CCL2,
interleukin-6 (IL-6) dan matriks metaloproteinase-9 (MMP -9). Peran fractalkine dalam
transmigrasi monosit yang terinfeksi HIV belum diperiksa.

Selain meningkatkan reseptor kemokin dan mungkin meningkatkan respons


terhadap agen chemotactic, infeksi HIV terhadap leukosit juga mengubah ekspresi sejumlah
molekul adhesi yang kemungkinan memfasilitasi transmigrasi sel yang terinfeksi HIV
melintasi sawar darah otak. Telah ditunjukkan secara in vivo bahwa infeksi HIV terhadap
monosit manusia meningkatkan ekspresi fungsi antigen terkait lymphocyte-1 (LFA-1).
monosit yang terinfeksi HIV yang bersentuhan dengan sel endotel menginduksi ekspresi sel
E-selectin dan vaskular molekul adhesi-1 (VCAM-1).

Pemeriksaan imunohistokimia jaringan ensefalitis HIV menunjukkan peningkatan


ekspresi molekul adhesi interselular-1 (ICAM-1) dan VCAM-1 pada sel endotel dan astrosit.
Dilaporkan juga dalam studi lainnya bahwa ekspresi platelet / endotelial adhesi molekul-1
(PECAM-1) tidak diatur dalam PBMC primer manusia yang terinfeksi HIV. Biasanya
PECAM-1 terkonsentrasi di tempat-tempat kontak sel dan antibodi yang menghalangi
bagian ekstraselular PECAM-1 secara selektif mengurangi diapedesis, namun bukan
perekatan atau aktivasi sel monosit yang tidak terinfeksi. Dengan demikian, interaksi
homofilik antara protein PECAM-1 yang diekspresikan pada monosit dan sel endotel sangat
penting untuk diapedesis melalui persimpangan interendotel, menunjukkan bahwa PBMC
yang terinfeksi HIV menumpahkan PECAM-1 terlarut (sPECAM-1) dengan adanya
kemokin CCL2

Dengan menggunakan jaringan post mortem dari individu dengan demensia terkait
HIV ditemukan akumulasi sPECAM-1 di dalam SSP, menunjukkan bahwa CCL2
meningkatkan PECAM-1 pada permukaan sel endotel mikrovaskular otak (data yang tidak
dipublikasikan dari Roberts dkk) . Peningkatan kadar serum sPECAM-1 terdeteksi pada
individu dengan multiple sclerosis dan HIV, disarankan bahwa sPECAM-1 bersaing untuk
interaksi PECAM-1 homotipik antara dua sel endotel, yang menyebabkan destabilisasi
interaksi BBB dan transmigrasi yang meningkat. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa
HIV memasuki otak dengan transmigrasi monosit yang terinfeksi HIV melintasi sawar darah
otak sebagai respons terhadap kemokin gradien. Infeksi HIV meningkatkan ekspresi
reseptor kemokin spesifik pada permukaan leukosit yang terinfeksi, memungkinkan deteksi
jumlah kemokin lebih rendah dan mengakibatkan aktivasi dan transmigrasi leukosit ke otak.
HIV juga meningkatkan ekspresi sejumlah molekul adhesi, yang memudahkan pengikatan
dan diapedesis melintasi sawar darah otak ( Hazleton, 2010 ).

Gambar 1. Mekanisme Trojan Horse ( Hazleton, 2010 ).

Mekanisme kerusakan SSP yang dimediasi oleh HIV terjadi pada sel mononuklear
darah perifer terutama monosit menyebabkan peningkatan ekspresi molekul adhesi dan
reseptor kemokin seperti C-C Reseptor 2 (CCR2), hal ini menyebabkan peningkatan
transmigrasi sel yang terinfeksi. Begitu berada di dalam SSP, monosit yang terinfeksi dapat
berdiferensiasi menjadi makrofag dan mengeluarkan sejumlah mediator inflamasi, terutama
kemokin seperti CCL2 yang selanjutnya meningkatkan transmigrasi sel kekebalan tubuh
melintasi BBB. Infeksi HIV pada makrofag meningkatkan jumlah tunneling nanotubes
(TNT) yang terhubung dengan makrofag lainnya. Protein HIV dapat melakukan perjalanan
di dalam atau di TNT, memfasilitasi penyebaran virus, sel yang terinfeksi juga
mengeluarkan protein virus seperti gp120 dan tat yang beracun bagi neuron, HIV dapat
menginfeksi astrosit pada tingkat rendah. Astrocytes yang terinfeksi mentransfer sinyal ke
astrocytes dan neuron yang tidak terinfeksi. Sinyal ini ditransfer melalui persimpangan celah
(gap junction) dan menghasilkan apoptosis (X) pada astrosit dan neuron, astrosit diperlukan
untuk pemeliharaan metabolik neuron. Dengan demikian, kehilangan dan disfungsi astrosit
yang terjadi pada infeksi HIV juga mengakibatkan disregulasi metabolik dan toksisitas
neuronal ( Hazleton, 2010 ).

2.4 Faktor Resiko Terjadinya Gangguan Kognitif


Beberapa kondisi atau penyakit dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif,
antara lain:
1. Usia : Meningkatnya usia dapat terjadi perubahan fungsi kognitif yang sesuai dengan
perubahan neurokimiawi dan morfologi (proses degenerative)
2. Pendidikan : Banyak studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko
rendah menderita penyakit Alzheimer.
3. Genetik : Termasuk faktor genetic adalah faktor bawaahn, jenis kelamin, dan ras.
Penyakit genetic yang berhubungan dengan gangguan kognitif diantaranya Huntington,
Alzheimer, Pick, Fragile X, Duchenne Muscular Distrofi, dan sindroma Down.
4. Berbagai penyebab yang dapat mempengaruhi perkembangan otak pada masa prenatal
dan pasca natal.
5. Cedera kepala : Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan kognitif, biasanya jenis
cedera kepala tertutup. Gangguan kognitif yang dapat timbul pada cedera kepala antara lain
amnesia anterograd dan retrograde, fungsi memori, gangguan kemampuan konstruksi,
fungsi bahasa, persepsi, kemampuan motorik dan kemampuan psikiatrik.
6. Obat – obat toksik atau napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif). Beberapa zat
toksi yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif antara lain, karbonmonoksida,
logam berat, alcohol, obat – obatan (seperti kokain, mariyuana, halusinogen), amfetamin.
7. Infeksi susunan saraf pusat : Beberapa penyakit infeksi SSP seperti meningitis,
ensefalitis, maupun abses otak dapat mengakibatkan gejala sisa berupa gangguan kognitif.
8. Epilepsi : Frekuensi dan variasi gangguan kognitif yang terlihat pada penderita epilepsy
cukup tinggi, dan dampak psikologis maupun sosial juga tinggi. Obat – obat epilepsy sendiri
dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan kognitif.
9. Penyakit Serebrovaskuler : Gangguan kognitif yang timbul pada penyakit
serebrovaskuler dapat menjadi awal terjadinya demensia vaskuler
10. Tumor Otak : Tumor otak mengakibatkan perluasan lesi fokal yang dapat menimbulkan
satu atau kombinasi beberapa gejala kognitif. Gejala – gejala yang dapat timbul antara lain
afasia, disorientasi, kesulitan membaca, menulis, dan berhitugn, kebingungan, dan gejala
psikiatrik. Gejala lain dapat terjadi sesuai dengan lokasi tumor.
11. Nutrisi : Zat gizi yang dibutuhkan untuk perkembangan otak bukan hanya zat gizi
makro tetapi juga zat gizi mikro.
12. Hormon Tiroid : Defisit atau kelebihan hormon tiroid selama perkembangan dapat
berefek buruk pada fungsi neurologi. Karena laju produksi sel – sel pada berbagai region
otak berbeda– beda waktunya, maka periode kritis aksi hormone tiroid pada proliferasi sel
berbagai region otak tertentu akan berbeda – beda pula.
13. Stimulasi : Semakin banyak stimulasi yang diterima seseorang di lingkungan rumah
maupun yang formal akan mempengaruhi fungsi kognitif
14. Stress : Selain reaksi emosional, orang seringkali menunjukan gangguan kognitif yang
cukup berat jika berhadapan dengan stressor yang serius, akan sulit berkonsentrasi dan
mengorganisasikan pikiran secara logis.
15. HAART (Highly Active Antiretroviral therapy) : Penggunaan HAART (Highly Active
Antiretroviral Therapy) memperlihatkan angka harapan hidup penderita HIV/ AIDS
meningkat. Obat tersebut menyebabkan peningkatan supresi virus dalam peredaran darah
sistemik. Gangguan kognitif pada penderita HIV/AIDS menunjukkan penurunan sejak
penggunaan HAART. Perubahan patofisiologi di otak pada pasien dengan HIV-Associated
Neurocognitive Disorders (HAND) dapat berkurang berdasarkan penelitian Borjabad, dkk
setelah penggunaan ART.
16. Merokok : Merokok dapat menyebabkan gangguan kognitif terutama fungsi memori
Nikotin dalam rokok merupakan zat neurotoksik.
17. Diabetes Melitus : Kerusakan pembuluh darah otak karena komplikasi penyakit DM
sering menyebabkan infark lakuner yang dapat menimbulkan gangguan kognitif.
18. Penyakit Parkinson : Penyakit Parkinson dapat menyebabkan demensia Lewi’s Bodies
19. Gangguan Psikiatrik : Penderita dengan gangguan psikiatrik dapat terjadi pseudo
demensia dan sulit dinilai fungsi kognitifnya.

 Faktor risiko untuk mengembangkan kelainan neurokognitif terkait HIV adalah :


• Usia yang lebih tua
• Jenis kelamin wanita
• Penyakit HIV lanjut (termasuk jumlah CD4 <100 sel / μL, wasting sindrom )
• RNA HIV plasma tinggi (viral load)
• Kondisi komorbid (terutama anemia dan infeksi dengan cytomegalovirus, herpesvirus ,
dan virus JC)
• Riwayat penggunaan narkoba suntikan (terutama dengan kokain)
• Riwayat delirium (Antinori, 2007).

2.5 Gangguan Neurokognitif pada infeksi HIV


Infeksi HIV dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, bila otak yang
terkena dapat terjadi gangguan neurokognitif seperti :
 HIV Associated Neurocognitive Disorder (HAND) berupa HIV Associated
Dementia (HAD) atau AIDS dementia complex
 Mild Neurocognitive Disorder (MND)/ Minor cognitive motor disorder (MND)
 Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI).

1. HIV Associated Neurocognitive Disorder (HAND) berupa HIV Associated


Dementia (HAD) atau AIDS demensia complex (ADC)

Terjadi pada penderita yang sudah dalam fase AIDS sindrom yang terjadi pada HAD berupa
gangguan neurokognitif seperti :
 Mudah lupa
 Gangguan emosi (menyebabkan agitasi atau apatis)
 Disfungsi motorik (tremor, ataksia, spastisitas).
Gejala klinis demensia tersebut berbeda antara satu individu dengan individu lain, ada yang
mengalami perburukan dalam beberapa minggu atau dalam beberapa bulan.

 Kriteria HIV Associated Dementia (HAD) menurut American academy of Neurology:


1. Ditandai dengan penurunan fungsi kognitif yang melibatkan setidaknya dua domain
Biasanya gangguan tersebut ada di beberapa domain, terutama dalam pembelajaran
informasi baru, lambat dalam pemrosesan informasi dan perhatian / konsentrasi.
Kelemahan kognitif harus dipastikan dengan pengujian neuropsikologis dengan
setidaknya dua domain menjadi 2 standar deviasi atau lebih.
2. Kerusakan kognitif menghasilkan gangguan yang ditandai dengan fungsi sehari-hari
(pekerjaan, kehidupan rumah tangga dan aktivitas sosial).
3. Pola gangguan kognitif tidak memenuhi kriteria delirium.
4. Tidak ada bukti penyebab demensia lainnya sebelum ada demensia (misalnya,
infeksi SSP lainnya, neoplasma CNS, penyakit serebrovaskular, penyakit neurologis
yang sudah ada sebelumnya atau penyalahgunaan zat berat yang kompatibel dengan
gangguan SSP) (Antinori, 2007).

Pada tahun 1986 HAD dilaporkan mencapai dua pertiga pasien AIDS namun
sekarang jarang ditemukan pada pasien yang telah mendapat ART, HAD adalah bentuk
kerusakan kognitif dan demensia yang parah pada orang-orang yang lebih muda dari usia
60. Namun frekuensi pada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala atau jumlah sel T-helper
yang lebih dari 500 mungkin kurang dari 5% pada sampel masyarakat. Dalam suatu
penelitian kejadian HAD menurun 50% dari tahun 1990 sampai 1992 dan 1996 sampai 1998,
sebuah periode di mana terapi antiretroviral sangat efektif . Dengan meluasnya penggunaan
ART di negara-negara berkembang pada pertengahan tahun 1990an, terjadilah penurunan
tingkat keparahan AIDS secara dramatis dengan kasus-kasus yang biasanya dikaitkan
dengan faktor risiko spesifik termasuk jenis kelamin perempuan, lansia, titer virus HIV yang
lebih tinggi, kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah , penyalahgunaan zat, dan anemia
defisiensi besi. HAD umumnya diamati pada individu seropositif yang memiliki sel CD4 di
bawah 200 / mm3. (Dorothy 2017)
Tingkat kejadian dan prevalensi demensia HIV secara keseluruhan pada era pasca-
ART sangat bervariasi menurut geografi, pengobatan, dan faktor risiko yang diteliti, serta
apakah pasien dijadikan sampel di masyarakat, klinik, atau rumah sakit. Studi dari tahun
1996 sampai 2002 di Italia memperkirakan tingkat kerusakan kognitif dan demensia masing-
masing adalah 55% dan 10%. Di negara Georgia, diperkirakan 25% pasien HIV / AIDS telah
menderita demensia. Perempuan di Puerto Riko yang berisiko untuk pengembangan
demensia berdasarkan status HIV, 49% memiliki kerusakan kognitif dan 29% mengalami
demensia. Hal ini berbeda dengan apa yang diamati pada pasien HIV / AIDS yang dirawat
di rumah sakit di Kenya di mana demensia jarang terdeteksi. Faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap varians prevalensi dan tingkat kejadian, baik yang berkaitan dengan
penyakit, lingkungan, atau alat diagnostik yang digunakan, memerlukan penyelidikan lebih
lanjut (Watkins 2015).
Prevalensi Terkait dengan ART dan Penyalahgunaan zat

Studi yang lebih baru sekarang menunjukkan bahwa rejimen ART, dengan
penggunaan jangka panjang juga dapat menghasilkan gejala gangguan kognitif. Toksisitas
ART dapat menciptakan reservoir yang mengurangi tingkat keparahan infeksi oportunistik,
namun ART belum mengubah tingkat aktivasi mikroglial atau neuroinflamasi yang
dihasilkan oleh virus HIV. Sampai saat ini ART dikaitkan dengan pembengkakan di korteks
temporal dan hippocampus, sehingga menunjukkan hubungan dengan memori kerja.
Sebelum era ART peradangan terutama terlihat pada ganglia basal dan terkait dengan gejala
motorik lainnya, ART saat ini terkait dengan peningkatan produksi limfosit otak yang
menyebabkan gangguan motorik kognitif sementara yang terlihat seperti sklerosis lateral
amyotrophic (ALS). Sebagai tambahan, tampaknya ada efek sinergis antara HIV dengan
penyalahgunaan obat pada kompleks histokompatibilitas utama pada marker dan penanda
inflamasi CD68, yang menyebabkan peningkatan efek samping pada otak, pasien yang lebih
tua di era pasca-ART menjalani evaluasi patologis postmortem. Karena itu, diperlukan lebih
banyak penelitian tentang hubungan radang SSP terhadap terapi ART (Watkins 2015).

Patologi
Memahami mekanisme yang berkontribusi terhadap HAD akan membantu
identifikasi gejala dan pengelolaan klinis dengan lebih baik, pada suatu teori penelitian
melibatkan infeksi virus pada makrofag di otak dan mikroglia aktif di SSP, neuron astrosit
dan oligodendrosit tampaknya tidak terinfeksi langsung oleh virus, derajat kemokin dan
sitokin yang dimediasi oleh sel mikroglia yang diaktifkan menyebabkan kematian sel
melalui penurunan arborisasi pada neuron. Oleh karena itu, keterlibatan sistem kekebalan
tubuh dapat menjelaskan munculnya gejala klinis dan perkembangan demensia global
selama periode waktu tertentu (Watkins, 2015)

Gejala dan diagnosis banding


Gejala klinis yang menuntun ke arah diagnosis HAND atau demensia HIV adalah :
1. Serologi HIV positif
2. Terdapat gangguan yang bersifat progresif, kognitif, perilaku, memori, dan
perlambatan mental
3. Pemeriksaan neurologik : gambaran gejala neurologik yang bersifat difus,
perlambatan rapid eye movement dan motorik ekstremitas, hiperefleksia, hipertonia,
dan dijumpainya release sign.
4. Pemeriksaan neuropsikologi : impairmen pada dua jenis pemeriksaan yaitu fungsi
lobus frontal, kecepatan motorik dan memori verbal
5. Cairan otak : tidak dijumpai neurosifilis dan menigitis kriptokokus
6. Pemeriksaan radiologik : atrofi serebri dan disingkirkan adanya lesi fokal
7. Tidak dijumpai penyakit psikiatrik mayor dan intoksikasi
8. Tidak dijumpai gangguan metabolik, hipoksemia, sepsis, dan lain –lain
9. Tidak dijumpaiu penyakit oportunistik otak yang aktif

Pada tahap awal, keluhan utama HAD adalah kombinasi antara gangguan memori
jangka pendek, mood rendah, dan motorik yang melambat. Pada permulaan awal, seperti
MND, gejalanya tampak ringan, namun melibatkan beberapa gangguan pada rutinitas
sehari-hari yang normal dalam mengelola keuangan, mengikuti petunjuk, membaca,
mengingat nama dan tanggal, dan mengingat janji. Gejala-gejala ini sering tidak dapat
dibedakan dari jenis demensia lain, karena gejala menjadi lebih berat dan melibatkan banyak
area otak yang mengendalikan memori jangka panjang, pengenalan nama dan wajah,
ekspresi bahasa dan pemahaman, dan organisasi dan manajemen.

Komplikasi neuropsikiatri pada HIV / AIDS bisa juga didapatkan pada HAD seperti
depresi, kegelisahan, dan gangguan psikotik yang mungkin membingungkan dengan
penyakit otak lainnya. Gejala depresi berat dari suasana hati menyebabkan mudah
tersinggung, kehilangan semangat hidup , perubahan tidur, penurunan berat badan dan dapat
sampai menangis. Gejala dapat berkembang menjadi delusi paranoid, halusinasi visual atau
pendengaran, atau gejala tipe mania yang berkembang menjadi psikosis yang memerlukan
penanganan segera. Dengan perubahan mood, kognisi, dan persepsi realitas yang berubah,
beberapa orang percaya bahwa HAD mungkin merupakan faktor penyebab bunuh diri pada
pasien AIDS dan tampaknya cepat berkembang menjadi kompleks demensia AIDS dan
akhirnya berakhir pada kematian setelah 2 tahun diagnosis.

Pemeriksaan
Pemeriksaan Status Mini-Mental (MMSE) adalah alat skrining kognitif yang
terkenal, cepat, dan mudah untuk kerusakan kognitif secara umum, namun tampaknya
kurang sensitif pada demensia HIV. Skala Dementia HIV yang dimodifikasi (International
HIV Dementia Scale) telah terbukti sebagai alat penilaian paling spesifik dan valid yang
dapat diulang pada kesempatan serial untuk mengikuti tren gejala dan evolusi demensia pada
beberapa tipe populasi. Skala Penilaian Kognitif Montreal (Montreal Assessment Scale)
memiliki keuntungan karena bebas dan dapat mengevaluasi beberapa domain kognitif dalam
satu posisi, Skor kurang dari 26 menunjukkan rujukan untuk penilaian neuropsikologis
tambahan untuk defisit kognitif. Dalam pengujian neuropsikiatrik, pasien dengan tanda-
tanda demensia seringkali mengalami kesulitan dalam aktivitas tepat waktu dan berulang
terutama penilaian Grooved Pegboard assessmen dan oral Trail Making B task (Elbirt,
2015).

Gambar 2. Demografi, klinis dan karakteristik laboratorium pada HIV Associated


Neurocognitive Disorders (HAND) (Yakasai 2015).

Langkah selanjutnya adalah MRI kepala untuk mencari patologi reversibel yang
mungkin terjadi, temuan khas pada MRI pada populasi HIV / AIDS dengan HAD mencakup
lesi white matter yang signifikan serta atrofi kortikal dan subkortikal. Kelainan ini dapat
tampak sebagai fokus tersembunyi, sebagai daerah yang tidak lengkap atau tampak seperti
parenkim yang menyebar. Berbagai teknik neuroimaging fungsional seperti tomografi emisi
positron, tomografi emisi foton tunggal, dan spektroskopi resonansi magnetik telah
menunjukkan perubahan pada aliran darah serebral dan pola metabolisme pada otak orang
yang terinfeksi HIV. Sebagian besar penelitian ini dilakukan pada pasien dengan demensia
atau gangguan kognitif lainnya, namun penyelidikan spektroskopi resonansi magnetik
lainnya menunjukkan kelainan pada pasien tanpa defisit kognitif (Watkins 2015).

Gambar 3. Karakteristik MRI pada HAD gambaran pada FLAIR diperoleh perubahan white
matter yang menonjol ke seluruh otak terlihat pada penyakit yang lebih lanjut (Clifford,
2013).
Penatalaksanaan

Intensifikasi terapi antiretroviral (ART) dan kontrol viral load dikaitkan dengan
risiko penurunan progresif yang lebih rendah pada HAD, selanjutnya ART meningkatkan
pembelajaran dan ingatan pada pasien dengan HAD, masih menjadi kontroversi mengenai
lamanya pengobatan dengan outcome dari demensia pada HIV. Efek jangka panjang ART
pada perjalanan HAD tetap belum dapat menunjukkan perbaikan beberapa fungsi kognitif
meskipun lebih dari 3 tahun pengobatan dengan antiretroviral. (Watkins 2015)

Satu-satunya uji coba obat antiretroviral terkontrol lainnya membandingkan terapi


antiviral yang efektif dengan dan tanpa ditambah dengan obat lain. Abacavir dosis tinggi
pada penelitian tidak mendeteksi peningkatan kognitif lebih lanjut. Sebuah studi yang lebih
baru dapat menunjukkan beberapa perbaikan fungsi neurokognitif selama tahun pertama
setelah memulai terapi antiretroviral, namun hanya pada subyek terinfeksi HIV yang tidak
menentu. Agen antiretroviral dengan penetrasi CNS yang baik dikombinasikan dengan ART
tampaknya efektif dalam mengobati virus di CNS. Obat yang melintasi sawar darah otak
dan terakumulasi dalam cairan serebrospinal meliputi abacavir, stavudine, dan zidovudine
(nucleoside reverse transcriptase inhibitor) dan nevirapine non nukleosida, namun hanya ada
sedikit bukti yang menunjukkan hasil yang lebih baik untuk rejimen antiretroviral tertentu,
proporsi pasien HAD yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit AIDS lainnya
menunjukkan bahwa ART mungkin tidak efektif untuk mengobati HAD. (Watkins 2015)

Berbagai uji klinis telah mengevaluasi pengobatan neuroprotektif untuk HAD


termasuk nimodipin, antioksidan, antagonis faktor aktivasi platelet, T-peptida, dan
memantine, namun tidak ada yang terbukti berkhasiat. Agen penguat Dopamin, walaupun
diasosiasikan dengan gangguan gerakan pada HAD, tampaknya tidak menjadi terapi yang
efektif pada orang dewasa, meskipun sebelumnya berhasil pada pasien HIV anak dengan
gangguan gerak. Obat stimulan yang diuji pada beberapa pasien HIV telah menunjukkan
peningkatan kemampuan kognitif, namun ada juga yang menunjukkan percepatan HAD
bersamaan dengan terapi psikostimulan. Belum ada percobaan klinis yang dilaporkan baru-
baru ini dengan agonis dopamin atau stimulan.Risperidone dan clozapine telah dijelaskan
dalam laporan kasus HAD dengan psikosis. Pengobatan dengan agen antipsikotik ini
menunjukkan gejala gejala psikotik dan gejala motor ekstrapiramidal yang lebih sedikit.
Singkatnya, manajemen terbaik untuk HAD adalah menyediakan rejimen ART yang ideal,
menetapkan rencana kepatuhan pengobatan yang baik, dan dengan cepat mengelola gejala
terkait demensia HIV. (Watkins 2015)

Gambar 4. Central nervous system Penetration-Effectiveness score (CPE) (Elbirt 2015).


Penelitian intervensi observasional dan yang tidak terkontrol lainnya mendukung
konsep bahwa rejimen antiretroviral yang berhasil menembus SSP secara efektif cenderung
mengurangi tingkat viral load HIV di CSF. Namun, bukti bahwa rejimen antiretroviral yang
secara efektif menembus SSP juga melindungi otak dari cedera terkait HIV dan mencegah
atau membalikkan fungsi neurokognitif yang kontroversial. Sebagai contoh, dalam sebuah
penelitian terhadap 37 pasien, CPE yang lebih tinggi dari rejimen antiretroviral dikaitkan
dengan viral load CSF yang lebih rendah dan kinerja yang lebih baik dalam studi
neuropsikologis, dibandingkan pasien dengan rejimen dengan skor CPE lebih rendah. Di sisi
lain, penelitian lain gagal menunjukkan perbaikan pada pasien dengan gangguan kognitif
yang menerima rejimen dengan skor CPE yang lebih tinggi. Temuan ini mengangkat isu
toksisitas neurologis terkait antiretroviral (ART) dan menyoroti kebutuhan untuk
mempertimbangkan strategi pengobatan berdasarkan penetrasi CNS yang lebih baik. Tujuan
terapi antiretroviral pada pasien dengan HAND adalah untuk mencapai tingkat obat yang
memadai di SSP tanpa menyebabkan efek neurotoksin terkait obat. Jika kadar obat di CSF
terlalu rendah, risiko kerusakan lebih besar yang disebabkan oleh replikasi virus dan aktivasi
kekebalan yang terus berlanjut, serta potensi risiko resistensi obat. Jendela terapi
antiretroviral di SSP dapat didefinisikan sebagai kisaran konsentrasi obat SSP yang terkait
dengan menjaga kerusakan di bawah ambang kognitif klinis dan yang tidak mengekspos
pasien terhadap risiko neurotoksisitas yang berlebihan dari obat tersebut (Elbirt 2015).

Gambar 5. antiretroviral central nervous system neurotoxicity (Underwood, 2015)


Sebagian besar penelitian klinis sampai saat ini berfokus pada penetrasi obat dan
penekanan terhadap HIV replikasi di SSP. Namun demikian, ada beberapa studi klinis yang
menunjukkan bahwa ART mungkin terkait dengan toksisitas SSP. Efek samping kognitif
dan psikiatri obat-obatan telah dikenal dengan baik dalam praktik klinis, terutama dengan
penggunaan efavirenz, bila toksisitas dini telah dijelaskan dengan baik. Baru-baru ini,
bentuk neurotoksisitas yang lebih halus akibat penggunaan efavirenz jangka panjang telah
dikaitkan dengan fungsi kognitif yang lebih buruk dalam penelitian crosssectional.
(Underwood, 2015)
Dengan inisiasi cART modern mayoritas individu dengan HIV replikasi secara
efektif ditekan, oleh karena itu replikasi HIV diperkuat dan fungsi kognitif bisa membaik.
Dengan terapi berkepanjangan yang berpotensi neurotoksik, obat-obatan ART selama
beberapa dekade, menunjukkan penurunan sekunder dalam fungsi kognitif dapat diamati.
Sebagian besar penelitian tentang manfaat inisiasi cART pada fungsi kognitif dibatasi
hingga 48 minggu, dengan demikian studi tentang manfaat fungsi kognitif dengan cART
mempunyai jangka waktu yang pendek, tindak lanjut yang lebih lama jarang dilakukan
karena masalah biaya dan logistik, padahal ini sangat penting untuk menentukan efek
longitudinal dari paparan obat dan pengaruhnya terhadap fungsi kognitif. (Underwood,
2015).

2. Mild Neurocognitive Disorder (MND)

Gangguan neurokognitif ringan dan kelainan kognitif motor minor adalah istilah
serupa yang digunakan untuk tahap awal spektrum sindrom "demensia" yang terlihat pada
penyakit HIV, MND dapat hadir pada awal penyakit HIV. Namun, gejalanya tidak kentara
atau mungkin sulit dipahami. MND menyerupai HIV-demensia karena kehilangan ingatan,
kesulitan dengan fungsi eksekutif, menurunnya keterampilan motorik halus, dan gangguan
gaya berjalan. Ini biasanya merupakan keluhan yang terisolasi dan memiliki tingkat
kerusakan ringan. MND sekarang dianggap sebagai bagian dari spektrum HAD. Dengan
perubahan terminologi, deskripsinya sebagai "gangguan kognitif-motorik kecil" dalam
literatur telah gagal diterapkan MND tampaknya sering terjadi pada pasien AIDS dengan
tingkat prevalensi mendekati 60% pada populasi AIDS. Karena gejalanya dapat diabaikan,
tingkat kejadian dan tingkat kekambuhan sulit diperkirakan, terutama pada tahap awal.
Penelitian saat ini mencari apakah MND pasti mengarah pada demensia HIV. Studi awal
menunjukkan bahwa beberapa pasien tetap stabil dengan gejala kognitif dan motorik ringan
sementara yang lainnya maju ke demensia. Tidak ada penanda saat ini untuk memprediksi
hasil jangka panjang dari penyakit ini. (Antinori, 2007).
Berdasarkan American Academy of Neurology kriteria dari gangguan kognitif terkait
HIV/MND adalah :

Probable (harus ada semua gejala dibawah ini) :


1.Abnormalitas kognitif/motorik/perilaku yang di dapat, dipastikan oleh anamnesa yang
dipercaya dan pemeriksaan neurologik neuropsikologik
2.Mild impairment dari aktifitas sehari –hari
3.Tidak masuk kriteria demensia HIV atau myelopati HIV
4.Tidak disebabkan etiologi lain

Possible (harus ada salah satu gejala di bawah ini) :


- (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi ada alternatif etiologi lain dan
penyebab dari (1) tidak pasti.
- (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi etiologi dari (1) tidak dapat
ditentukan berdasarkan evaluasi yang inkomplit

Kriteria MND :
1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain
kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0 standar deviasi di bawah
ini, dari umur, pendidikan, norma yang cocok berdasarkan tes neuropsikologik yang
terstandarisasi. Penilaian neuropsikologik harus termasuk kemampuan:
verbal/bahasa, atensi/kecepatan proses abstrak/eksekutif, memori (pembelajaran,
mengingat), perseptual kompleks performa motorik, kemampuan motorik.
2. Gangguan kognitif menyebabkan sedikitnya gangguan ringan keterlibatan
fungsional sehari – hari ( paling sedikit satu dibawah ini) :
- Berkurangnya ketajaman mental diri sendiri, tidak efisien dalam bekerja, pekerjaan
rumah tangga atau fungsi sosial
- Pengamatan dari orang lain yang menyatakan bahwa individu tersebut telah
mengalami kemunduran ringan dari mental, dengan gabungan dari gejala tidak
efisien dalam bekerja, pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial
3. Gangguan kognitif didapatkan paling sedikit 1 bulan
4. Gangguan kognitif tidak termasuk kriteria untuk delirium atau demensia HIV
Tidak didapatkan bukti penyebab lain dari MND (infeksi susunan saraf pusat,
neoplasma, penyakit serebrovaskuler, penyakit neurologi yang telah ada, gangguan
psikiatrik, atau ketergantungan berat substansi tertentu. Prevalensi dan tingkat keparahan
Sifat kelainan neurokognitif terkait HIV telah berkembang dengan cepat dengan meluasnya
penggunaan pengobatan antiviral. Dengan kontribusi penuaan, reaktivasi kekebalan tubuh,
toksisitas mitokondria yang disebabkan antiviral, kebocoran usus, dan peradangan kronis,
karakteristik dari kondisi ini telah menjadi jauh lebih heterogen. Secara keseluruhan, kondisi
ini menjadi kurang "subkortikal" dan memiliki jalur yang lebih tidak terduga dengan
memburuknya dan membaiknya beberapa pasien dari waktu ke waktu.

Diagnosis banding
Gejala motorik MND meski tidak selalu terdeteksi sering hadir sebelum gejala
kognitif. Pasien HIV mungkin memperhatikan tremor halus, sulit mengetik, atau
mengulangi gerakan halus. Gangguan gaya berjalan di awal MND mungkin sedikit
mengocok saat berjalan atau goyangan saat berlari. Keterlibatan motorik mungkin salah
untuk terjadinya parkinson atau tremor akibat obat. Gambaran klinis yang menyerupai
penyakit Parkinson sering terjadi pada demensia HIV dan dikaitkan dengan terganggunya
jalur dopamin. Gejala motorik sering dikaitkan dengan efek samping dari obat HIV dan oleh
karena itu MND sering diabaikan. Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan tanda-tanda frontal
release sign, gerakan mata abnormal, dan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan cepat
dan bergantian, yang kesemuanya memperburuk perkembangan penyakit Infeksi
oportunistik pada AIDS, harus dikesampingkan dengan pencitraan otak (Watkins, 2015)
Tes neuropsikiatrik sangat membantu karena dapat mengambil tanda diskrit dari
kehilangan ingatan jangka pendek, kurangnya perhatian, dan kesulitan dengan aktivitas
kehidupan sehari-hari yang terkait dengan MND. Dengan diagnosis awal AIDS, dengan
sedikit atau tidak ada tanda-tanda masalah kognitif, penurunan kecepatan psikomotor telah
menjadi prediktor utama apakah pasien mengalami demensia dalam 2 tahun ke depan. Baru-
baru ini, pemeriksaan Penilaian Kognitif Montreal yang valid dan Tes skrining yang dapat
diandalkan untuk gangguan kognitif dini pada pasien lanjut usia, mampu mendeteksi
masalah kognitif ringan pada pasien HIV-positif dengan masalah kognitif yang dilaporkan
sendiri. Lebih dari 50% pasien ini benar-benar memiliki beberapa defisit minor pada
kemampuan kognitif mereka, tidak dicatat pada bagian lain dari pemeriksaan status fisik
atau mental mereka. Dengan beberapa dekade beberapa penelitian diperlukan umtuk
pengukuran yang lebih baru untuk mengidentifikasi masalah kognitif pada tahap awal HIV
AIDS (Watkins 2015).

Penatalaksanaan
Tidak ada terapi khusus untuk gangguan MND, psikostimulan juga telah dievaluasi untuk
pengobatan kelelahan, gangguan kognitif, dan depresi pada pasien dengan HIV. Beberapa
penelitian melaporkan tingkat respons mood 85% pada pasien dengan HAD yang memakai
methylphenidate dan tingkat respons mood 95% pada pria dengan AIDS yang menggunakan
dekstroamphetamine. Percobaan double blind menunjukkan respon yang signifikan terhadap
dekstroamphetamin dibandingkan dengan plasebo pada pasien dengan AIDS dan depresi
berat, subthreshold major depression, atau disthymia. Perbandingan antara methylphenidate,
pemoline, dan plasebo pada pasien dengan HIV (kebanyakan dengan AIDS) menemukan
perbaikan pada kedua gejala depresi dan kelelahan (Watkins 2015).

3. Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI).


Kriteria diagnosis ANI :
1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain
kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0 standar deviasi di bawah
ini, dari umur, pendidikan, perilaku yang cocok berdasarkan tes neuropsikologik
yang terstandarisasi.
2. Gangguan kognitif tidak menyebabkan gangguan fungsional sehari –hari
3. Gangguan kognitif tidak memenuhi kriteria delirium atau demensia
4. Tidak ada bukti yang menjadi penyebab lain dari ANI (Antinori, 2007).

2.6 Hubungan Limfosit T CD4+ dengan Gangguan Fungsi Kognitif

Hubungan limfosit T CD4+ dengan gangguan fungsi kognitif merupakan hubungan


tidak langsung yaitu melalui beberapa mekanisme. HIV memasuki tubuh manusia maka
akan menginfeksi limfosit T CD4+ dan kemudian menginfeksi makrofag. HIV menginfeksi
limfosit T CD4+ yang berpasangan dengan koreseptor kemokin CXCR4 atau CCR5. Tahap
awal ketika HIV menginfeksi limfosit T CD4+ dan makrofag, virus tersebut akan menyerang
sel tersebut dengan membentuk enzim virus reverse transcriptase yang akan mengubah RNA
virus menjadi DNA virus lalu menginsersi genetik sel dari penderita. Limfosit T CD4+ yang
diserang oleh HIV akan rusak sehingga jumlahnya akan menurun dan bila jumlah limfosit
T CD4+ berkurang di bawah 200 sel/mm3 selain rentan terhadap infeksi oportunistik, virus
akan menginduksi cedera jaringan otak yang akan menyebabkan HAD. HIV memasuki
sistem susunan saraf pusat melalui sawar darah otak dengan perantaraan limfosit T CD4+
dan makrofag. Protein Tat dari HIV akan menyebabkan stress oksidatif, menginduksi
apoptosis, dan merusak tight junction dari sel endotel. Sarung protein HIV gp160 yang
terbagi menjadi gp120 dan gp41, telah terbukti toksik terhadap neuron. Cedera neuronal dan
kematian sel terjadi melalui paparan protein virus tersebut dan molekul neurotoksik seperti
MMPs (matriks metalloproteinase) dan ROS (reactive oxygen species) seperti peroksinitrit,
dan juga NO. Di susunan saraf pusat HIV akan menginfiltrasi makrofag, microglia dan
astrosit tetapi tidak menginfeksi neuron, oligodendrosit, atau sel Schwan. Limfosit T CD4+
yang terinfeksi HIV mengaktivasi sitokin pro inflamasi dan kemokin (seperti MCP-1/CCL2,
MIP-1α/β) melalui makrofag atau microglia. Peningkatan sitokin di jaringan otak yang
terinfeksi HIV, seperti BDNF, GDNF, IGF, NGF, TNF-α, IL-8, IL-1β dan lain –lain akan
menyebabkan fungsi dari neuron dan astrosit terganggu. Sitokin 19 tersebut menghalangi
pengambilan glutamate oleh astrosit sehingga mengakibatkan akumulasi neurotransmitter
eksitatorik. Aktivitas yang berlebihan dari reseptor glutamate (NMDA/N-methyl-D-aspartat
atau AMPA/ alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxalopropionic acid) menyebabkan
eksitotoksisitas yang menuju apoptosis neuronal.
Kemokin akan menyebabkan penarikan makrofag ke jaringan otak yang telah
mengalami inflamasi sehingga proses inflamasi akan berlanjut. Infeksi lanjut pada HIV akan
menyebabkan ensefalitis, yang ditandai dengan sel raksasa multinukleus, terdeteksinya
antigen virus, kerusakan perivaskuler, dan kepucatan menyeluruh dari substansia alba atau
kerusakan sinaptodendritik dan inhibisi terhadap LTP (Long Term Potentiation). Kerusakan
sinaptodendritik adalah suatu perubahan struktural dan kimiawi yang mengganggu fungsi
hubungan neuronal. Fungsi kognitif bergantung pada integritas yang kompleks dari
hubungan sinaptodendritik, jadi bila ada kerusakan akan terjadi gangguan kognitif dan
perilaku ( Dorothy, 2017).
BAB III

KESIMPULAN

HIV Associated Dementia (HAD)/ HIV Associated Neurocognitive Disorder HAND


mencakup spektrum luas perwujudan psikiatri dan neurologi dari infeksi HIV pada SSP.
HAD mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motorik, dan perilaku. Pada bagian akhir
spektrum yang parah ini terdapat AIDS Demensia Complex (ADC) satu kondisi yang dapat
mengakibatkan kerusakan SSP secara bermakna dan ini merupakan suatu penyulit dari
AIDS. Infeksi HIV dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, bila otak yang
terkena dapat terjadi gangguan neurokognitif seperti HIV Associated Neurocognitive
Disorder (HAND) berupa HIV Associated Dementia (HAD) atau AIDS dementia complex
,Mild Neurocognitive Disorder (MND)/ Minor cognitive motor disorder (MND),
Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI). Gangguan fungsi kognitif yang
disebabkan oleh karena kerusakan sinaptodendritik di otak sehingga mengganggu fungsi
hubungan neuronal, diinduksi oleh proses inflamasi sebagai akibat masuknya HIV ke dalam
otak yang dibawa oleh limfosit T CD4+, monosit dan makrofag. Kematian neuron karena
proses inflamasi juga menghambat long term potentiation (LTP) pada proses memori.
Penelitian Valcour, dkk mendapatkan hasil bahwa jumlah lomfosit T CDD4+ yang rendah
dapat meningkatkan kejadian gangguan kognitif berupa HAD (HIV-associated dementia).
Berdasarkan hasil yang didapatkan adanya gangguan fungsi kognitif dengan nilai skor
MoCa-Ina yang semakin rendah dengan menurunnya jumlah limfosit T CD4+.Hasil analisis
uji Pearson jumlah limfosit total dan limfosit T CD4+ menunjukan semakin banyak HIV
bereplikasi di dalam tubuh makan semakin banyak sel limfosit T CD 4+ yang rusak sehingga
jumlahnya menurun dan menyebabkan jumlah limfosit total mengalami penurunan juga.
penelitian Daka telah menyimpulkan bahwa jumlah limfosit total < 1200 sel/mm3 dapat
memperkirakan jumlah limfosit T CD4+ < 200 sel/mm3. Faktor resiko dengan gangguan
fungsi kognitif memperlihatkan bahwa jumlah limfosit total, limfosit T CD4+ dan infeksi
oportunistik merupakan faktor risiko terjadinya gangguan fungsi kognitif. Ada teori yang
menyatakan penggunaan HAART (Highly Active Anti Retroviral Therapy) memperlihatkan
penurunan gangguan kognitif pada penderita HIV/AIDS karena beberapa faktor risiko
gangguan kognitif dan obat ARV yang mempunyai efek samping gangguan kognitif..
Pencegahan gangguan kognitif pada pasien HIV dapat dilakukan dengan minum obat secara
teratur dengan didampingi orang dekat pasien yang dapat mengingatkan jika penderita lupa
atau mengalami kebosanan dalam minum obat tersebut.

21
DAFTAR PUSTAKA

Antinori A.2007.Updated research nosology for HIV Associated Neurocognitive Disorders


Neurology ;69(18):1789-99.

Clifford D.2013. HIVAssociated Neurocognitive Disorder. Departments of Neurology and


Medicine Washington University. Lancet Infect Dis 2013; 13: 976–86

Dorothy K 2017. Demensia Pada Penderita HIV Available at


:https://id.scribd.com/doc/201966622/

Elbirt D.2015. Hiv Associated Neurocognitive Disorders. Clinical Immunology Allergy and
Neve-Or AIDS Center and Department of Internal Medicine B Kaplan Medical
Center Rehovot affiliated with Hebrew University Hadassah Medical School
Jerusalem Israel;7: 54-59
Hazleton J.2010. Novel mechanisms of central nervous system damage in HIV infection.
Department of Pathology and 2Department of Microbiology and Immunology,
Albert einstein College of Medicine, Bronx, NY, USA. HIV/AIDS - Research and
Palliative Care:2:39–49

Kalinowska.2013. HIV-associated neurocognitive disorders. Department and Clinic of


Psychiatry, Pomeranian Medical University of Szczecin, Poland Director: Prof. dr
hab. n. med. Jerzy Samochowiec. tom XLVII ;3 :453–462

Kamminga.2013.Validity of Cognitive Screens for HIV-Associated Neurocognitive


Disorder: A Systematic Review and an Informed Screen Selection Guide. Curr
HIV/AIDS Rep 10:342–355
Underwood J.2015.Could antiretroviral neurotoxicity play a role in the pathogenesis of
cognitive impairment in treated HIV disease? Wolters Kluwer Health. AIDS; 3:
253-261
Valcour V.2006. HIV Infection and Dementia in Older Adults.Hawaii AIDS Clinical
Research Program and the Department of Geriatric Medicine. Aging And Infectious
Disease p :1449-1454

Watkins C.2015. Cognitive impairment in patients with AIDS prevalence and severity.
HIV/AIDS Research and Palliative Care. The Memory Center in Neuropsychiatry,
Sheppard Pratt Health System, Department of Psychiatry and Behavioral Sciences,
The Johns Hopkins University School of Medicine Baltimore USA:35-47

Yakasai A. 2015.Prevalence and Correlates of HIV-Associated Neurocognitive Disorders


(HAND) in Northwestern Nigeria. Infectious and Tropical Diseases Unit, Public
Health and Diagnostic Institute, College of Medical Sciences, Northwest
University Kano Nigeria. Hindawi Publishing Corporation Neurology Research
International : 1-9

Zikriyah.2017. Penyakit Menular HIV available at :blogspot.co.id/2017/01/epidemiologi


penyakit menular hiv aids.html
22

23

Anda mungkin juga menyukai