Oleh:
M. Sofyan Faridi
Pembimbing:
dr. Ketut Widyastuti Sp.S
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya,
sehingga Referat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Referat ini disusun untuk
memenuhi salah satu persyaratan dari Ilmiah Divisi Gangguan Tidur, dalam rangka mengikuti
Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf (PPDS) Universitas Udayana.
Referat ini berjudul : Demensia Pada Penderita HIV
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………. i
KATA PENGANTAR…………………………………………………... ii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… iv
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………… 1
2.1 Definisi…………………………………………………………….. 3
2.2 Epidemiologi………………………………………………………. 3
1
Meskipun agak kontroversial, ANI dan MND tampaknya terkait dengan disfungsi
glial dan didiagnosis melalui tes neuropsikologis, sementara HAD adalah diagnosis klinis
dan mungkin akibat kematian sel neuron. (Dorothy, 2017).
Selain usia, gangguan depresi mayor (MDD) dan HAND memiliki faktor risiko yang
sama, termasuk jenis kelamin perempuan, stadium penyakit HIV, penyakit komorbid seperti
Hepatitis B dan C, dan penggunaan narkoba suntikan. Penelitian pada orang dewasa yang
lebih tua dengan penelitian HIV mengumpulkan data laporan diri dari tahun 2005 sampai
2006 tentang gejala depresi dari lebih dari 1000 laki-laki dan perempuan HIV-positif dengan
HIV yang berusia di atas 50 tahun ke atas. Berdasarkan penelitian ini, tampaknya ada
korelasi yang signifikan dengan skor Skala Depresi, beban penyakit yang lebih tinggi, dan
gangguan kognitif (Watkins 2015).
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dipakai sejak tahun 1986 sebagai nama
untuk retrovirus yang diusulkan pertama kalinya oleh Luc Montagnier sebagai penyebab
AIDS (Acquired Imunodeficiency Syndrome). HIV adalah anggota genus Lentivirus,
keluarga Retrovirus yang ditandai oleh suatu periode latensi panjang dan sebuah sampul
lipid dari sel induk yang mengelilingi sebuah pusat protein RNA. Dikenal dua spesies HIV
yang menginfeksi manusia yaitu HIV -1 dan HIV-2. HIV- 1 sendiri dianggap sebagai sumber
dari kebanyakan infeksi di seluruh dunia. (Dorothy, 2017).
HAND adalah kondisi neurologis yang menyebabkan kerusakan kognitif dan akibat
respon sistem kekebalan terhadap infeksi HIV dan ensefalopati metabolik. Mulai dari yang
paling kecil sampai yang paling parah, HAND mungkin mengacu pada gangguan
neurokognitif ringan (MND), ensefalopati HIV, HAD, atau demensia AIDS kompleks
(ADC). American Academy of Neurology menunjuk 2 kategori utama kerusakan kognitif
terkait HIV, termasuk demensia terkait HIV (HAD) dan gangguan motor kognitif minor
(MND). Secara umum, diagnosis HAD memerlukan kelainan yang didapat pada setidaknya
2 domain kognitif, dengan kelainan tambahan pada fungsi motorik atau motivasi dan / atau
kontrol emosional. Mewakili kelainan ringan, MND memerlukan setidaknya 2 gejala
kognitif dan / atau perilaku dan temuan akhir dari 1 kelainan kognitif atau motor yang
didapat. Keduanya mensyaratkan bahwa kesulitan kognitif mengurangi kemampuan untuk
menyelesaikan aktivitas atau pekerjaan sehari-hari. Menentukan kemunduran fungsional
akibat kognisi dapat menjadi masalah di antara pasien yang lebih tua yang sudah pensiun
atau mengalami penurunan beban kerja karena alasan medis dan mungkin tidak memiliki
wawasan yang masuk akal mengenai tingkat kinerja yang diharapkan. Masalah kerahasiaan
dan perancu kemampuan fungsional karena penyakit lain dapat menghasilkan penghalang
lebih lanjut untuk penilaian fungsional. Akibatnya, beberapa pusat menganjurkan penilaian
fungsi yang obyektif (Valcour 2006).
2.2 Epidemiologi
Menurut Chin (2000), tidak diketahui adanya kekebalan orang terhadap infeksi
HIV/AIDS, tetapi kerentanan setiap orang terhadap HIV/AIDS diasumsikan bersifat umum,
3
tidak dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan kehamilan, sehingga setiap orang mungkin
untuk terserang HIV/AIDS (Zikriyah 2017).
Sejak dimulainya epidemi, 68 juta orang di seluruh dunia terinfeksi HIV, dan sekitar
30 juta meninggal karena AIDS. Sekitar 34 juta orang terinfeksi HIV dilaporkan pada tahun
2010, serta 2,7 juta infeksi baru dan 1,8 juta kematian akibat AIDS. Setiap 6 detik seseorang
di dunia tertular HIV dan setiap 9 detik seseorang meninggal akibat penyebab terkait AIDS.
Menurut Unit Epidemiologi National National Health Institute, sejak awal penelitian di
Polandia pada tahun 1985 sampai 30 Juni 2012 infeksi HIV ditemukan di 15.724 warga
sebanyak 2.763 kasus AIDS dilaporkan terjadi 1.162 pasien meningga. Pada saat yang sama
diyakini bahwa jumlah sebenarnya orang terinfeksi HIV di Polandia mungkin dua kali atau
bahkan tiga kali lebih besar daripada jumlah kasus yang didokumentasikan (Kalinowska
2013).
Penelitian Hall, dkk tahun 2005 dalam Journal Acquired Immune Deficiency
Sindrome (2009) di 33 negara bagian Amerika Serikat, diperoleh bahwa Ras Kulit hitam 9
kali berisiko menderita AIDS dibanding Ras Kulit putih dengan Resiko Relative (RR) 9,16
dan Ras Hispanik mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi daripada Ras Kulit Putih (RR 3,05).
Risiko menderita AIDS 2 kali lebih tinggi pada orang Indian Amerika/penduduk asli Alaska
dari pada orang Asia/Kepulauan Pasifik (RR 2,05). Di Canada, RR AIDS 5,5 kali lebih
tinggi pada Ras Kulit hitam dibandingkan pada Ras Kulit putih (RR 5,54) dan 4 kali lebih
tinggi pada orang Aborigin dibandingkan IR Ras Kulit putih (RR 4,36) ( Zikriyah 2017 ).
Berdasarkan data UNAIDS (2008), 67% infeksi HIV di dunia terdapat di Sub-Sahara
Afrika. Dari 2,7 juta kasus baru pada tahun 2008, 68% terdapat pada orang dewasa. Sebesar
6,4% prevalensi HIV terdapat pada perempuan.Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL
Depkes RI (2009), terdapat 19.973 jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat
pada kelompok umur 20-29 tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada
kelompok umur 40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,49% pada
kelompok umur 50-59 tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada kelompok
umur < 15 tahun dan 3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan
perempuan adalah 3:1.
Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2% penderita AIDS terdapat
pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU. Kumulatif kasus AIDS pada Pengguna
Napza Suntik di Indonesia hingga tahun 2009 adalah 7.966 kasus, 7.312 kasus adalah laki-
laki (91,8%), 605 kasus perempuan (7,6%) dan 49 kasus tidak diketahui jenis kelaminnya
(0,6%). 64,1% terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun, 27,1% pada kelompok umur 30-
39 tahun, 3,5% pada kelompok umur 40-49 tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun,
0,6% pada kelompok umur 50-59 tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun
masing-masing 0,1% dan 2,8% tidak diketahui kelompok umurnya. (Zikriyah, 2017)
Komplikasi neurologi pada penderita HIV dapat mengenai susunan saraf tepi dan
susunan saraf pusat. Komplikasi yang dapat mengenai susunan saraf pusat bermanifestasi
sebagai demensi terkait HIV (7% dari penderita HIV) dengan gejala didapatkan gangguan
kognitif, motorik, dan gangguan perilaku. Gangguan neurokognitif tersebut dikenal dengan
HIV- Associated Neurocognitive Disorder (HAND) berupa HIV-Associated Dementia
(HAD) atau AIDS Dementia Complex, Minor Cognitive Motor Disorder (MND), dan
Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI). Perkembangan pengobatan HIV dengan
menggunakan terapi kombinasi antiretroviral (ART) telah mengurangi insiden gangguan
neurokognitif tersebut dibandingkan sebelum era ART. Komplikasi gangguan neurokognitif
juga terjadi pada penderita HIV asimtomatik. Gangguan Kognitif pada penderita HIV –
AIDS dipengaruhi juga oleh obat antiretroviral,infeksi oportunistik, usia, merokok,
pendidikan (Dorothy, 2017).
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik
folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan,
gejala akan hilang dan mulai memasuki fase laten. Fase ini jarang ditemukan virion di
plasma, sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan tetjadi replikasi di kelenjar
limfe sehingga di dalam darah jumlahnya menurun. Jumlah limfosit T CD4+ menurun
hingga sekitar 500-200 sel/mm3. Fase ini berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun setelah
terinfeksiHIV. Tahun ke 8 setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis seperti demam,
banyak keringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10% diare, 8 lesi pada
mukosa dan kulit yang berulang. Gejala -gejala tersebut merupakan awal tanda munculnya
infeksi oportunistik.
Cara utama HIV masuk ke SSP adalah melalui mekanisme "Trojan Horse" dimana monosit
yang terinfeksi melintasi sawar darah otak dan melepaskan virus di dalam SSP yang kemudian dapat
menginfeksi sel host (Gambar 1). Mekanisme lain yang diusulkan mencakup infeksi sel secara
langsung yang terdiri dari sawar darah otak, sel endotel dan astrosit, dan dipindahkan melalui sel-sel
ini dari perifer ke SSP, atau gerakan ekstraselular langsung virus melintasi penghalang darah-otak
yang terganggu. penting untuk mempertimbangkan mekanisme ini, karakteristiknya kurang baik,
dan kemungkinan merupakan kontributor kecil untuk infeksi SSP.
Dengan menggunakan jaringan post mortem dari individu dengan demensia terkait
HIV ditemukan akumulasi sPECAM-1 di dalam SSP, menunjukkan bahwa CCL2
meningkatkan PECAM-1 pada permukaan sel endotel mikrovaskular otak (data yang tidak
dipublikasikan dari Roberts dkk) . Peningkatan kadar serum sPECAM-1 terdeteksi pada
individu dengan multiple sclerosis dan HIV, disarankan bahwa sPECAM-1 bersaing untuk
interaksi PECAM-1 homotipik antara dua sel endotel, yang menyebabkan destabilisasi
interaksi BBB dan transmigrasi yang meningkat. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa
HIV memasuki otak dengan transmigrasi monosit yang terinfeksi HIV melintasi sawar darah
otak sebagai respons terhadap kemokin gradien. Infeksi HIV meningkatkan ekspresi
reseptor kemokin spesifik pada permukaan leukosit yang terinfeksi, memungkinkan deteksi
jumlah kemokin lebih rendah dan mengakibatkan aktivasi dan transmigrasi leukosit ke otak.
HIV juga meningkatkan ekspresi sejumlah molekul adhesi, yang memudahkan pengikatan
dan diapedesis melintasi sawar darah otak ( Hazleton, 2010 ).
Mekanisme kerusakan SSP yang dimediasi oleh HIV terjadi pada sel mononuklear
darah perifer terutama monosit menyebabkan peningkatan ekspresi molekul adhesi dan
reseptor kemokin seperti C-C Reseptor 2 (CCR2), hal ini menyebabkan peningkatan
transmigrasi sel yang terinfeksi. Begitu berada di dalam SSP, monosit yang terinfeksi dapat
berdiferensiasi menjadi makrofag dan mengeluarkan sejumlah mediator inflamasi, terutama
kemokin seperti CCL2 yang selanjutnya meningkatkan transmigrasi sel kekebalan tubuh
melintasi BBB. Infeksi HIV pada makrofag meningkatkan jumlah tunneling nanotubes
(TNT) yang terhubung dengan makrofag lainnya. Protein HIV dapat melakukan perjalanan
di dalam atau di TNT, memfasilitasi penyebaran virus, sel yang terinfeksi juga
mengeluarkan protein virus seperti gp120 dan tat yang beracun bagi neuron, HIV dapat
menginfeksi astrosit pada tingkat rendah. Astrocytes yang terinfeksi mentransfer sinyal ke
astrocytes dan neuron yang tidak terinfeksi. Sinyal ini ditransfer melalui persimpangan celah
(gap junction) dan menghasilkan apoptosis (X) pada astrosit dan neuron, astrosit diperlukan
untuk pemeliharaan metabolik neuron. Dengan demikian, kehilangan dan disfungsi astrosit
yang terjadi pada infeksi HIV juga mengakibatkan disregulasi metabolik dan toksisitas
neuronal ( Hazleton, 2010 ).
Terjadi pada penderita yang sudah dalam fase AIDS sindrom yang terjadi pada HAD berupa
gangguan neurokognitif seperti :
Mudah lupa
Gangguan emosi (menyebabkan agitasi atau apatis)
Disfungsi motorik (tremor, ataksia, spastisitas).
Gejala klinis demensia tersebut berbeda antara satu individu dengan individu lain, ada yang
mengalami perburukan dalam beberapa minggu atau dalam beberapa bulan.
Pada tahun 1986 HAD dilaporkan mencapai dua pertiga pasien AIDS namun
sekarang jarang ditemukan pada pasien yang telah mendapat ART, HAD adalah bentuk
kerusakan kognitif dan demensia yang parah pada orang-orang yang lebih muda dari usia
60. Namun frekuensi pada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala atau jumlah sel T-helper
yang lebih dari 500 mungkin kurang dari 5% pada sampel masyarakat. Dalam suatu
penelitian kejadian HAD menurun 50% dari tahun 1990 sampai 1992 dan 1996 sampai 1998,
sebuah periode di mana terapi antiretroviral sangat efektif . Dengan meluasnya penggunaan
ART di negara-negara berkembang pada pertengahan tahun 1990an, terjadilah penurunan
tingkat keparahan AIDS secara dramatis dengan kasus-kasus yang biasanya dikaitkan
dengan faktor risiko spesifik termasuk jenis kelamin perempuan, lansia, titer virus HIV yang
lebih tinggi, kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah , penyalahgunaan zat, dan anemia
defisiensi besi. HAD umumnya diamati pada individu seropositif yang memiliki sel CD4 di
bawah 200 / mm3. (Dorothy 2017)
Tingkat kejadian dan prevalensi demensia HIV secara keseluruhan pada era pasca-
ART sangat bervariasi menurut geografi, pengobatan, dan faktor risiko yang diteliti, serta
apakah pasien dijadikan sampel di masyarakat, klinik, atau rumah sakit. Studi dari tahun
1996 sampai 2002 di Italia memperkirakan tingkat kerusakan kognitif dan demensia masing-
masing adalah 55% dan 10%. Di negara Georgia, diperkirakan 25% pasien HIV / AIDS telah
menderita demensia. Perempuan di Puerto Riko yang berisiko untuk pengembangan
demensia berdasarkan status HIV, 49% memiliki kerusakan kognitif dan 29% mengalami
demensia. Hal ini berbeda dengan apa yang diamati pada pasien HIV / AIDS yang dirawat
di rumah sakit di Kenya di mana demensia jarang terdeteksi. Faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap varians prevalensi dan tingkat kejadian, baik yang berkaitan dengan
penyakit, lingkungan, atau alat diagnostik yang digunakan, memerlukan penyelidikan lebih
lanjut (Watkins 2015).
Prevalensi Terkait dengan ART dan Penyalahgunaan zat
Studi yang lebih baru sekarang menunjukkan bahwa rejimen ART, dengan
penggunaan jangka panjang juga dapat menghasilkan gejala gangguan kognitif. Toksisitas
ART dapat menciptakan reservoir yang mengurangi tingkat keparahan infeksi oportunistik,
namun ART belum mengubah tingkat aktivasi mikroglial atau neuroinflamasi yang
dihasilkan oleh virus HIV. Sampai saat ini ART dikaitkan dengan pembengkakan di korteks
temporal dan hippocampus, sehingga menunjukkan hubungan dengan memori kerja.
Sebelum era ART peradangan terutama terlihat pada ganglia basal dan terkait dengan gejala
motorik lainnya, ART saat ini terkait dengan peningkatan produksi limfosit otak yang
menyebabkan gangguan motorik kognitif sementara yang terlihat seperti sklerosis lateral
amyotrophic (ALS). Sebagai tambahan, tampaknya ada efek sinergis antara HIV dengan
penyalahgunaan obat pada kompleks histokompatibilitas utama pada marker dan penanda
inflamasi CD68, yang menyebabkan peningkatan efek samping pada otak, pasien yang lebih
tua di era pasca-ART menjalani evaluasi patologis postmortem. Karena itu, diperlukan lebih
banyak penelitian tentang hubungan radang SSP terhadap terapi ART (Watkins 2015).
Patologi
Memahami mekanisme yang berkontribusi terhadap HAD akan membantu
identifikasi gejala dan pengelolaan klinis dengan lebih baik, pada suatu teori penelitian
melibatkan infeksi virus pada makrofag di otak dan mikroglia aktif di SSP, neuron astrosit
dan oligodendrosit tampaknya tidak terinfeksi langsung oleh virus, derajat kemokin dan
sitokin yang dimediasi oleh sel mikroglia yang diaktifkan menyebabkan kematian sel
melalui penurunan arborisasi pada neuron. Oleh karena itu, keterlibatan sistem kekebalan
tubuh dapat menjelaskan munculnya gejala klinis dan perkembangan demensia global
selama periode waktu tertentu (Watkins, 2015)
Pada tahap awal, keluhan utama HAD adalah kombinasi antara gangguan memori
jangka pendek, mood rendah, dan motorik yang melambat. Pada permulaan awal, seperti
MND, gejalanya tampak ringan, namun melibatkan beberapa gangguan pada rutinitas
sehari-hari yang normal dalam mengelola keuangan, mengikuti petunjuk, membaca,
mengingat nama dan tanggal, dan mengingat janji. Gejala-gejala ini sering tidak dapat
dibedakan dari jenis demensia lain, karena gejala menjadi lebih berat dan melibatkan banyak
area otak yang mengendalikan memori jangka panjang, pengenalan nama dan wajah,
ekspresi bahasa dan pemahaman, dan organisasi dan manajemen.
Komplikasi neuropsikiatri pada HIV / AIDS bisa juga didapatkan pada HAD seperti
depresi, kegelisahan, dan gangguan psikotik yang mungkin membingungkan dengan
penyakit otak lainnya. Gejala depresi berat dari suasana hati menyebabkan mudah
tersinggung, kehilangan semangat hidup , perubahan tidur, penurunan berat badan dan dapat
sampai menangis. Gejala dapat berkembang menjadi delusi paranoid, halusinasi visual atau
pendengaran, atau gejala tipe mania yang berkembang menjadi psikosis yang memerlukan
penanganan segera. Dengan perubahan mood, kognisi, dan persepsi realitas yang berubah,
beberapa orang percaya bahwa HAD mungkin merupakan faktor penyebab bunuh diri pada
pasien AIDS dan tampaknya cepat berkembang menjadi kompleks demensia AIDS dan
akhirnya berakhir pada kematian setelah 2 tahun diagnosis.
Pemeriksaan
Pemeriksaan Status Mini-Mental (MMSE) adalah alat skrining kognitif yang
terkenal, cepat, dan mudah untuk kerusakan kognitif secara umum, namun tampaknya
kurang sensitif pada demensia HIV. Skala Dementia HIV yang dimodifikasi (International
HIV Dementia Scale) telah terbukti sebagai alat penilaian paling spesifik dan valid yang
dapat diulang pada kesempatan serial untuk mengikuti tren gejala dan evolusi demensia pada
beberapa tipe populasi. Skala Penilaian Kognitif Montreal (Montreal Assessment Scale)
memiliki keuntungan karena bebas dan dapat mengevaluasi beberapa domain kognitif dalam
satu posisi, Skor kurang dari 26 menunjukkan rujukan untuk penilaian neuropsikologis
tambahan untuk defisit kognitif. Dalam pengujian neuropsikiatrik, pasien dengan tanda-
tanda demensia seringkali mengalami kesulitan dalam aktivitas tepat waktu dan berulang
terutama penilaian Grooved Pegboard assessmen dan oral Trail Making B task (Elbirt,
2015).
Langkah selanjutnya adalah MRI kepala untuk mencari patologi reversibel yang
mungkin terjadi, temuan khas pada MRI pada populasi HIV / AIDS dengan HAD mencakup
lesi white matter yang signifikan serta atrofi kortikal dan subkortikal. Kelainan ini dapat
tampak sebagai fokus tersembunyi, sebagai daerah yang tidak lengkap atau tampak seperti
parenkim yang menyebar. Berbagai teknik neuroimaging fungsional seperti tomografi emisi
positron, tomografi emisi foton tunggal, dan spektroskopi resonansi magnetik telah
menunjukkan perubahan pada aliran darah serebral dan pola metabolisme pada otak orang
yang terinfeksi HIV. Sebagian besar penelitian ini dilakukan pada pasien dengan demensia
atau gangguan kognitif lainnya, namun penyelidikan spektroskopi resonansi magnetik
lainnya menunjukkan kelainan pada pasien tanpa defisit kognitif (Watkins 2015).
Gambar 3. Karakteristik MRI pada HAD gambaran pada FLAIR diperoleh perubahan white
matter yang menonjol ke seluruh otak terlihat pada penyakit yang lebih lanjut (Clifford,
2013).
Penatalaksanaan
Intensifikasi terapi antiretroviral (ART) dan kontrol viral load dikaitkan dengan
risiko penurunan progresif yang lebih rendah pada HAD, selanjutnya ART meningkatkan
pembelajaran dan ingatan pada pasien dengan HAD, masih menjadi kontroversi mengenai
lamanya pengobatan dengan outcome dari demensia pada HIV. Efek jangka panjang ART
pada perjalanan HAD tetap belum dapat menunjukkan perbaikan beberapa fungsi kognitif
meskipun lebih dari 3 tahun pengobatan dengan antiretroviral. (Watkins 2015)
Gangguan neurokognitif ringan dan kelainan kognitif motor minor adalah istilah
serupa yang digunakan untuk tahap awal spektrum sindrom "demensia" yang terlihat pada
penyakit HIV, MND dapat hadir pada awal penyakit HIV. Namun, gejalanya tidak kentara
atau mungkin sulit dipahami. MND menyerupai HIV-demensia karena kehilangan ingatan,
kesulitan dengan fungsi eksekutif, menurunnya keterampilan motorik halus, dan gangguan
gaya berjalan. Ini biasanya merupakan keluhan yang terisolasi dan memiliki tingkat
kerusakan ringan. MND sekarang dianggap sebagai bagian dari spektrum HAD. Dengan
perubahan terminologi, deskripsinya sebagai "gangguan kognitif-motorik kecil" dalam
literatur telah gagal diterapkan MND tampaknya sering terjadi pada pasien AIDS dengan
tingkat prevalensi mendekati 60% pada populasi AIDS. Karena gejalanya dapat diabaikan,
tingkat kejadian dan tingkat kekambuhan sulit diperkirakan, terutama pada tahap awal.
Penelitian saat ini mencari apakah MND pasti mengarah pada demensia HIV. Studi awal
menunjukkan bahwa beberapa pasien tetap stabil dengan gejala kognitif dan motorik ringan
sementara yang lainnya maju ke demensia. Tidak ada penanda saat ini untuk memprediksi
hasil jangka panjang dari penyakit ini. (Antinori, 2007).
Berdasarkan American Academy of Neurology kriteria dari gangguan kognitif terkait
HIV/MND adalah :
Kriteria MND :
1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain
kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0 standar deviasi di bawah
ini, dari umur, pendidikan, norma yang cocok berdasarkan tes neuropsikologik yang
terstandarisasi. Penilaian neuropsikologik harus termasuk kemampuan:
verbal/bahasa, atensi/kecepatan proses abstrak/eksekutif, memori (pembelajaran,
mengingat), perseptual kompleks performa motorik, kemampuan motorik.
2. Gangguan kognitif menyebabkan sedikitnya gangguan ringan keterlibatan
fungsional sehari – hari ( paling sedikit satu dibawah ini) :
- Berkurangnya ketajaman mental diri sendiri, tidak efisien dalam bekerja, pekerjaan
rumah tangga atau fungsi sosial
- Pengamatan dari orang lain yang menyatakan bahwa individu tersebut telah
mengalami kemunduran ringan dari mental, dengan gabungan dari gejala tidak
efisien dalam bekerja, pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial
3. Gangguan kognitif didapatkan paling sedikit 1 bulan
4. Gangguan kognitif tidak termasuk kriteria untuk delirium atau demensia HIV
Tidak didapatkan bukti penyebab lain dari MND (infeksi susunan saraf pusat,
neoplasma, penyakit serebrovaskuler, penyakit neurologi yang telah ada, gangguan
psikiatrik, atau ketergantungan berat substansi tertentu. Prevalensi dan tingkat keparahan
Sifat kelainan neurokognitif terkait HIV telah berkembang dengan cepat dengan meluasnya
penggunaan pengobatan antiviral. Dengan kontribusi penuaan, reaktivasi kekebalan tubuh,
toksisitas mitokondria yang disebabkan antiviral, kebocoran usus, dan peradangan kronis,
karakteristik dari kondisi ini telah menjadi jauh lebih heterogen. Secara keseluruhan, kondisi
ini menjadi kurang "subkortikal" dan memiliki jalur yang lebih tidak terduga dengan
memburuknya dan membaiknya beberapa pasien dari waktu ke waktu.
Diagnosis banding
Gejala motorik MND meski tidak selalu terdeteksi sering hadir sebelum gejala
kognitif. Pasien HIV mungkin memperhatikan tremor halus, sulit mengetik, atau
mengulangi gerakan halus. Gangguan gaya berjalan di awal MND mungkin sedikit
mengocok saat berjalan atau goyangan saat berlari. Keterlibatan motorik mungkin salah
untuk terjadinya parkinson atau tremor akibat obat. Gambaran klinis yang menyerupai
penyakit Parkinson sering terjadi pada demensia HIV dan dikaitkan dengan terganggunya
jalur dopamin. Gejala motorik sering dikaitkan dengan efek samping dari obat HIV dan oleh
karena itu MND sering diabaikan. Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan tanda-tanda frontal
release sign, gerakan mata abnormal, dan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan cepat
dan bergantian, yang kesemuanya memperburuk perkembangan penyakit Infeksi
oportunistik pada AIDS, harus dikesampingkan dengan pencitraan otak (Watkins, 2015)
Tes neuropsikiatrik sangat membantu karena dapat mengambil tanda diskrit dari
kehilangan ingatan jangka pendek, kurangnya perhatian, dan kesulitan dengan aktivitas
kehidupan sehari-hari yang terkait dengan MND. Dengan diagnosis awal AIDS, dengan
sedikit atau tidak ada tanda-tanda masalah kognitif, penurunan kecepatan psikomotor telah
menjadi prediktor utama apakah pasien mengalami demensia dalam 2 tahun ke depan. Baru-
baru ini, pemeriksaan Penilaian Kognitif Montreal yang valid dan Tes skrining yang dapat
diandalkan untuk gangguan kognitif dini pada pasien lanjut usia, mampu mendeteksi
masalah kognitif ringan pada pasien HIV-positif dengan masalah kognitif yang dilaporkan
sendiri. Lebih dari 50% pasien ini benar-benar memiliki beberapa defisit minor pada
kemampuan kognitif mereka, tidak dicatat pada bagian lain dari pemeriksaan status fisik
atau mental mereka. Dengan beberapa dekade beberapa penelitian diperlukan umtuk
pengukuran yang lebih baru untuk mengidentifikasi masalah kognitif pada tahap awal HIV
AIDS (Watkins 2015).
Penatalaksanaan
Tidak ada terapi khusus untuk gangguan MND, psikostimulan juga telah dievaluasi untuk
pengobatan kelelahan, gangguan kognitif, dan depresi pada pasien dengan HIV. Beberapa
penelitian melaporkan tingkat respons mood 85% pada pasien dengan HAD yang memakai
methylphenidate dan tingkat respons mood 95% pada pria dengan AIDS yang menggunakan
dekstroamphetamine. Percobaan double blind menunjukkan respon yang signifikan terhadap
dekstroamphetamin dibandingkan dengan plasebo pada pasien dengan AIDS dan depresi
berat, subthreshold major depression, atau disthymia. Perbandingan antara methylphenidate,
pemoline, dan plasebo pada pasien dengan HIV (kebanyakan dengan AIDS) menemukan
perbaikan pada kedua gejala depresi dan kelelahan (Watkins 2015).
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
Elbirt D.2015. Hiv Associated Neurocognitive Disorders. Clinical Immunology Allergy and
Neve-Or AIDS Center and Department of Internal Medicine B Kaplan Medical
Center Rehovot affiliated with Hebrew University Hadassah Medical School
Jerusalem Israel;7: 54-59
Hazleton J.2010. Novel mechanisms of central nervous system damage in HIV infection.
Department of Pathology and 2Department of Microbiology and Immunology,
Albert einstein College of Medicine, Bronx, NY, USA. HIV/AIDS - Research and
Palliative Care:2:39–49
Watkins C.2015. Cognitive impairment in patients with AIDS prevalence and severity.
HIV/AIDS Research and Palliative Care. The Memory Center in Neuropsychiatry,
Sheppard Pratt Health System, Department of Psychiatry and Behavioral Sciences,
The Johns Hopkins University School of Medicine Baltimore USA:35-47
23