Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Teknik pencitraan pada pasien dengan kecurigaan stroke akut merupakan topic
pembahasan yang penting untuk dipahami, baik oleh dokter yang bertugas di
bagian emergency, neurologis, dokter bedah saraf maupun neuroradiologis.
Seiring dengan peningkatan peran teknologi dalam dunia kesehatan, Magnetic
Resonance Imaging (MRI) semakin banyak digunakan untuk diagnosis dan
management stroke akut. Pemeriksaan ini sensitive dan relative spesifik dalam
mendeteksi perubahan yang terjadi akibat stroke. (Birenbaum, 2011; Sen, 2015)
Kelebihan MRI antara lain adalah kekuatan medan magnetnya yang tinggi
(1,5-3 T) menghasilkan gambar dengan resolusi yang lebih baik, sequences baru,
dan adanya open MRI untuk pasien dengan klaustrophobia atau overweight. Saat
ini, MRI dengan medan magnet 7,0 dan 9,4 T dengan rasio Signal to Noise (SNR)
dan Contras to Noise (CNR) dibandingkan dengan keluatan medan magnet yang
lebih rendah. (Sen, 2015)
MRI lebih sensitif dibandingkan dengan Computed Tomography (CT) sken
dalam mendeteksi perubahan awal akibat iskemik. Gambaran MRI khususnya
Diffusion-weighted images (DWI) dan Fluid-Attenuated Inversion Recovery
(FLAIR) sangat sensitive untuk mendeteksi infark parenkim otak pada fase akut.
Teknik ini efektif untuk menilai sistem sirkulasi anterior maupun posterior.
Dengan teknik ini, infark akut maupun lakunar di daerah white matter, ganglia
basalis, serebral maupun serebelum yang tidak terlihat di CT sken dapat dideteksi.
MRI juga dapat menunjukkan PIS secara akurat, khususnya pada gambaran echo-
planar dan gradient-echo susceptibility-weighted (GRE T2*). Adanya efek
massa, lokasi massa dan bentuk lesi pada MRI dapat membantu dalam
membedakan lesi hematom dan iskemik. (Caplan, 2009)
Bagaimanapun, keterbatasan seperti inhomogenitas medan magnet dan
kontraindikasi yang luas pada pasien yang akan direncanakan untuk pemeriksaan
menyebabkan terbatasnya aplikasi klinis MRI pada stroke akut. Selain itu MRI
memiliki keterbatasan lain seperti harganya yang relatif mahal, durasi
pemeriksaan yang cukup panjang dan rendahnya sensitifitas MRI dalam
mendeteksi PSA. (Sen, 2015)
Dalam makalah ini kami mencoba untuk memaparkan sequence MRI pada
penyakit serebrovaskular akut. Kami mencoba membahas tentang prinsip kerja
MRI secara umum, perubahan molekul air yang terjadi pada stroke akut serta
gambaran MRI yang terkait dengan stroke akut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

MRI kepala merupakan salah satu teknik pencitraan otak yang


revolusioner dalam bidang neurologi. Teknik ini tidak saja membantu klinisi
dalam memahami stroke beserta proses patologinya, tapi juga mempermudah
jalan untuk pemberian terapi yang efektif. Hal ini sangat bermakna untuk
penyakit-penyakit serebrovaskular karena terapi spesifik untuk stroke tidak
mungkin dilakukan tanpa penunjang diagnostik radiologi. (Audebert, 2015)

2.1. Prinsip Kerja MRI


Beberapa nucleus dalam tubuh manusia akan tereksitasi saat ditempatkan
dalam medan magnet yang kuat. Nukleus-nukleus ini menyerap energy
radiofrekuensi dari medan magnet dan kemudian melepaskannya kembali sampai
nucleus-nukleus ini benar-benar dalam kondisi rileks. Energi dilepaskan dari
jaringan yang tereksitasi dalam waktu singkat berdasarkan 2 konstanta relaksasi
yang dikenal dengan T1 dan T2, dan signal energy yang dipancarkan diubah
dalam bentuk gambar. Perbedaan warna pada gambar merupakan hasil dari
perbedaan intensitas energy yang dipancarkan ini, yang merupakan hasil dari
perbedaan konsentrasi nucleus dalam berbagai jaringan yang berbeda dalam
tubuh. (Sen, 2015)
Inti partikel Hidrogen (proton) merupakan nucleus dalam tubuh manusia
yang paling sering diamati dalam medan resonansi magnet. Nukleus ini juga
terdapat dalam berbagai jaringan tubuh dalam berbagai tingkat konsentrasi yang
berbeda. Pernah dilakukan pengamatan pada partikel lain, namun tidak
menghasilkan resolusi yang lebih baik dibandingkan hydrogen.
Berikut adalah teknik pencitraan MRI yang sering digunakan, antara lain:
 T1, dimana Liquor Cerebro-Spinal (LCS) memiliki signal intensitas lebih
rendah dibandingkan jaringan serebral.
 T2, dimana LCS memiliki signal intensitas yang lebih tinggi dibandingkan
jaringan serebral.

3
 Spin density-Weighted imaging, dimana LCS memiliki densitas yang sama
dengan jaringan serebral.
 Gradient echo imaging, yang memiliki sensitifitas paling tinggi dalam
mendeteksi perubahan komponen darah pada fase awal.
 Diffusion-weighted imaging (DWI), yang menunjukkan gerak acak molekul
air secara mikroskopis.
 Perfusion-weighted imaging (PWI), yang merupakan sequences MRI yang
menilai hemodinamik berdasarkan lintasan MR kontras melalui jaringan otak.

2.2. Kontraindikasi MRI


Beberapa kontraindikasi untuk MRI adalah:
 Implan bahan metalik
 Klaustrophobia
 Pengguna pacemakers
 Alergi kontras
 Berat badan (meja MRI memiliki batas kemampuan untuk menyangga beban)

Pasien dengan implant bahan metalik memiliki berbagai potensi


komplikasi, misalnya panas, gangguan fungsi pacemaker beserta segala akibatnya.
Untuk pasien dengan implant bahan metalik, perlu dilakukan pengecekan dengan
pabrik mengenai pengaruh medan magnet yang kuat terhadap alat tersebut.
Pasien dengan klaustrophobia mungkin tidak sanggup menyelesaikan
rangkaian sequence MRI. Pada pasien tertentu, sedasi ringan atau open MRI
mungkin dapat dicoba. Namun, sebagian besar open MRI menghasilkan kualitas
gambar yang lebih rendah. Pada keadaan dengan kontraindikasi, radiografi regular
dapat dikerjakan.

2.3. Perubahan Partikel Hidrogen Pada Stroke Akut


Iskemik pada neuron akan menghabiskan Adenosine Triphosphate (ATP),
yang akan menyebabkan kegagalan pembentukan membrane, kegagalan pompa
ion channel, dan pembentukan potensial aksi. Kelainan metabolism sel ini
mengakibatkan terjadinya akumulasi ion di intraseluler (termasuk ion kalsium),

4
yang menimbulkan gradient intraseluler dan mengakibatkan terjadinya akumulasi
air intraseluler (edema sitotoksik).
Sel-sel endotel serebral lebih resisten terhadap iskemik dibandingkan
neuron dan sel-sel neuroglia. Dalam 3-4 jam setelah onset iskemik, integritas
sawar darah otak melemah dan mengakibatkan protein plasma mampu berpindah
ke ruang ekstrasel. Cairan intravascular pun mengikuti saat terjadi reperfusi,
dimana proses ini terjadi mulai dari 6 jam setelah onset stroke dan mencapai
maksimum dalam 2-4 hari dari onset stroke. Reperfusi dapat juga disertai dengan
transformasi hemoragik dari daerah infark, yang biasanya berkaitan dengan
luasnya daerah dan lokasi infark, dan lebih sering terjadi pada infark di daerah
kortikal yang luas.

2.4. MRI pada Stroke Akut


Pemeriksaan MRI konvensional dapat dilakukan mulai dari jam pertama
onset sampai dengan fase komplit. Pemeriksaan ini tidak cukup baik dalam
mendeteksi edema sitotoksik ataupun interstitial yang terjadi pada fase akut atau
<24 jam onset stroke. Pencitraan MRI standar (T1 dan T2) dikatakan baik dalam
mendeteksi edema vasogenik yang terjadi pada fase subakut stroke dan terlihat
setelah 24 jam sampai dengan beberapa hari. Sequense fast spin echo T2-
weighted dapat menunjukkan area edema yang tidak terlihat pada CT sken dengan
jelas dan dapat membantu dalam mengidentifikasi stroke subakut. Sequences
Fluid Attenuated Inversion Recovery (FLAIR) dirancang untuk menekan signal
dari LCS sehingga akan tampak gelap. Pencitraan FLAIR memberikan gambaran
PSA yang mencolok. PSA tampak terang pada FLAIR sehingga terlihat dengan
mudah. (Birenbaum, 2011)
Stroke memiliki karakteristik tampilan pada MRI yang bervariasi sesuai
usia infark. Perubahan waktu stroke secara umum dibedakan menjadi hiperakut
(0-6 jm), akut (6-24 jm), subakut (24 jam-2 minggu), dan kronis (>2 minggu).
(Gonzalez, 2012)

5
2.4.1. Infark Hiperakut
Pada infark hiperakut, terjadi sumbatan atau slow flow pada pembuluh
darah yang mensuplai jaringan di daerah infark. Dalam hitungan menit, aliran
signal pada T2 menghilang. FLAIR, suatu sequence yang menekan signal LCS,
dapat menunjukkan signal intravascular yang tinggi yang dikelilingi signal rendah
dari ruang subarahnois di sekitarnya. Dalam sebuah penelitian, 65% infark yang
berumur <6 jam menunjukkan gambaran hiperintens di sepanjang pembuluh darah
pada FLAIR, dan pada beberapa kasus, gambaran seperti ini didahului oleh
perubahan pada DWI. (Gonzalez, 2012)

Gambar 1. Trombus pada Middle Cerebral Artery (MCA) kiri. (a) MCA kiri
menunjukkan signal hiperintens akibat klot intraluminal pada FLAIR (b) namun
menunjukkan signal hipointens pada Gradient recalled echo (GRE) T2* (c) Hal ini sesuai
dengan filling defect pada CT Angiogram.

Teknik pemeriksaan DWI sensitive terhadap gerak proton molekul air,


nilai yang dikenal dengan apparent diffusion coefficient (ADC) diukur dan
tertangkap pada teknik pencitraan ini. Sejumlah penelitian telah menunjukkan
bahwa gambaran area iskemik pada ADC menurun sebanyak 50% atau lebih
dibandingkan area parenkim yang normal. Area iskemik ini tampak terang
(hiperintens) pada DWI. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan pada ADC
mulai dapat terlihat pada 10 menit onset iskemik. Perubahan ini perlahan kembali
normal dalam 5-10 hari dari onset iskemik.(Sen, 2015)
Edema sitotoksik terjadi akibat kegagalan pompa Na/K, yang merupakan
akibat dari kegagalan metabolisme. Proses ini terjadi dalam hitungan menit dari
onset iskemik dan mengakibatkan peningkatan jomlah cairan pada jaringan otak
sampai dengan 3-5%. Penurunan pergerakan molekul air pada intra dan

6
ekstraseluler merupakan penyebab adanya perubahan pada gambaran ADC. (Sen,
2015)
DWI sangat sensitive dan relative spesifik dalam mendeteksi stroke
iskemik akut. Gambaran DWI telah menunjukkan tingkat akurasi diagnostic yang
tinggi. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa infark lacunar kecil pada
batang otak mungkin tidak terdeteksi DWI. DWI telah terbukti mampu
menunjukkan abnormalitas difusi pada hamper 50% pasien dengan gejala klinis
Transient Ischemic Attacks (TIA). Jumlah ini cenderung meningkat seiring
dengan peningkatan interval waktu antara onset hingga saat timbul gejala stroke.
(Sen, 2015)

Gambar 2. MRI pada stroke akut. Kiri: DWI pada stroke iskemik akut yang dilakukan
35 menit setelah onset gejala klinis. Kanan: ADC pada pasien yang sama.

Teknik ini efektif untuk sistem sirkulasi anterior dan posterior. Infark akut
maupun lakunar di daerah white matter, ganglia basalis, serebral maupun
serebelum yang tidak terlihat di CT sken dapat terlihat DWI. Lokasi, pola, dan
aneka ragam lesi iskemik pada DWI dapat membantu dalam menentukan
mekanisme penyebab stroke. Gambaran positif pada DWI semakin menurun
hingga 7-10 hari dari onset stroke. Lesi yang terlihat pada DWI (dan dikonfirmasi
dengan ADC) biasanya tidak selalu berhubungan dengan daerah infark.
Terkadang daerah ini menunjukkan daerah iskemik yang reversible. Gambaran
iskemik yang telah komplit tampak lebih terang pada T2. Karena DWI juga

7
membawa beberapa T2 weighting, daerah infark juga tampak terang pada DWI.
Perlu diperhatikan bahwa gambaran terang pada DWI tidah menunjukkan lesi
yang sama dengan T2—disebut juga T2 shine-through. Dalam keadaan demikian,
gambaran ADC tidak menunjukkan daerah gelap yang sesuai dengan area yang
tampak pada DWI dan klinisi dapat menyimpulkan bahwa lesi ini tidak hiperakut.
(Caplan, 2009)
Penggunaan DWI dan PWI secara bersamaan dikatakan lebih baik
dibandingkan penggunaan MRI konvensional pada fase awal stroke sampai
dengan onset 48 jam. Kombinasi penggunaan DWI dan PWI sangat penting,
keduanya akan memberikan informasi tentang lokasi dan perluasan infark dalam
hitungan menit dari onset stroke. Jika kombinasi pemeriksaan ini dilakukan secara
serial, akan terlihat bagaimana pola evolusi dari lesi iskemik. Informasi ini akan
sangat bermanfaat dalam menentukan modalitas terapi yang sesuai serta untuk
memprediksi luaran dan prognosis pasien.(Sen, 2015)

Gambar 3. DWI menunjukkan gambaram hipointens pada teritori MCA kanan. Daerah
anterior dan posteriornya terdapat gambaran hiperintens yang menggambarkan infark
baru. Gambar di atas menunjukkan adanya perluasan dari infark yang sudah terjadi
sebelumnya.

T1 dengan kontras menunjukkan penyangatan arterial pada 50% stroke


hiperakut. Penyangatan ini diduga akibat dari slow flow, aliran kolateral atau
hiperperfusi akibat rekanalisasi. Hal ini mungkin didapatkan pada 2 jam onset
stroke dan dapat bertahan hingga 7 hari. Selama periode ini, biasanya tidak

8
didapatkan penyangatan di daerah parenkim otak karena sirkulasi kolateral yang
tidak adekuat menyebabkan aliran kontras tidak mampu menjangkau jaringan
yang infark. Terkadang, penyangatan parenkim otak fase awal dapat ditemukan
jika terdapat reperfusi awal atau system kolateral yang baik. (Gonzalez, 2012)

Gambar 4. Penyangatan arteri pada infark hiperakut.


Pada T1 kontras tampak penyangatan pada MCA kiri

Gradient-echo susceptibility-weighted (T2*) dapat mendeteksi thrombus


intraluminal (deoxyhemoglobin) pada infark hiperakut, yang tampak berupa
gambaran hipointens. Sebuah penelitian yang melibatkan 30 pasien dengan
thrombus di daerah MCA, T2* memiliki sensitifitas sebesar 83% dalam
mendeteksi thrombus, dibandingkan dengan CT sken tanpa kontras yang memiliki
sensitifitas sebesar 52% dalam mendeteksi MCA sign. (Gonzalez, 2012)
Pada periode hiperakut (6 jam pertama), terjadi perpindahan air dari
extraseluler ke ruang interstitial namun hanya sedikit meningkatkan kadar air
dalam jaringan. Oleh karena itu, perubahan intensitas signal pada FLAIR atau T2
baru dapat terlihat dalam 2-3 jam onset stroke, MRI konvensional tidak cukup
sensitive untuk menilai infark pada fase hiperakut. Sebuah penelitian menemukan
T2 mampu mendeteksi infark pada 6 jam pertama onset dengan sensitifitas
sebesar 18% dan nilai false-negative 30-50%. FLAIR sedikit lebih sensitif
dibandingkan T2 dalam mendeteksi perubahan parenkim otak saat terjadi infark

9
akut namun hanya dengan perkiraan tingkat sensitifitas sebesar 29% pada 6 jam
pertama.

Tabel 1. Gambaran MRI Sesuai Perubahan pada Stroke Iskemik Akut

2.4.2. Infark Akut


Dalam 24 jam, seiring dengan peningkatan jumlah cairan pada sebagian
besar jaringan karena edema vasogenik yang diakibatkan oleh terganggunya sawar
darah otak, MRI konvensional menjadi lebih sensitive untuk mendeteksi infark di
parenkim otak. Perubahan signal selama 24 jam pertama paling baik dinilai pada
daerah kortikal dan grey matter yang dalam. Infark pada fase akut biasanya
menunjukkan gambaran hiperintense dengan sulkus yang tidak tampak jelas pada
area fokal atau sekelompok area yang disuplay. Dalam periode ini white matter
mungkin akan tampak hiperintens, namun dapat juga terlihat normal atau
hipointens. Etiologi dari hipointensitas white matter subkortikal diperkirakan
karena radikal bebas, endapan deoxygenated eritrosit dan besi (iron). Karena LCS
juga tampak hipointens, FLAIR memiliki kemampuan lebih untuk mendeteksi
infark kecil pada parenkim otak, misal korteks dan white matter periventrikel,
berbatasan dengan LCS. Dalam 24 jam, T2 dan FLAIR mampu mendeteksi 90%
infark. Peningkatan jumlah cairan dalam jaringan juga mengakibatkan tampaknya
gambaran hipointens pada T1. Bagaimanapun, pada fase akut, T1 relatif tidak
sensitive dalam mendeteksi perubahan parenkim otakjika dibandingkan dengan
T2. Dalam 24 jam, sensitifitasnya hanya sekitar 50%. (Gonzalez, 2012)

10
2.4.3. Infark Subacut
Pada fase subakut infark (1 hari – 2 minggu), peningkatan edema
vasogenik tampak lebih jelas menunjukkan hiperintensitas di T2 dan FLAIR.
Pembengkakan parenkim otak bermanifestasi menjadi penebalan girus, sulkus dan
cisterna mulai menghilang, pendorongan ventrikel yang berdekatan dengan area
infark, midline shift, dan herniasi serebri. Edema mencapai maksimal dalam 2-3
hari mengalami perbaikan pada hari ke 7-10. Terdapat peningkatan signal T2 dan
FLAIR pada minggu pertama onset yang terkadang tampak seperti kabut. Hal ini
terjadi saat jaringan yang infark sulit terlihat karena perkembangan perubahan
intensitas signal MRI meneyerupai jaringan normal. Ini diperkirakan merupakan
akibat dari infiltrasi sel-sel inflamasi di jaringan infark. Sebuah penelitian
mendapatkan stroke di onset hari ke 7-10 hari mampu diidentifikasi 88% stroke
subakut pada gambaran T2. Selain itu penelitian ini juga menyatakan bahwa T2
dan FLAIR memiliki sensitifitas yang sama dalam mendeteksi infark berumur 10
hari.

Gambar 5. Edema kortikal pada infark subakut. (a) FLAIR potongan axial
menunjukkan gambaran hiperintens, pelebaran girus dan penipisan sulkus. (b) gambaran
hipointens halus dan pelebaran girus pada T1 potongan sagittal.

Pada fase subakut, puncak penyangatan arteri terjadi 1-3 hari. Infark yang
besar juga akan menunjukkan penyangatan meningen yang mungkin
menunjukkan reaktif hiperemi, yang memuncak pada 2-6 hari onset. Penyangatan
pada arteri maupun meningenumumnya membaik dalam 1 minggu. Sebagai
gantinya, timbul penyangatan pada parenkim otak di fase ini. Penyangatan grey
11
mater dapat tampak seperti pita ataupun gyriform. Ini merupakan akibat dari
kerusakan sawar darah otak dan perbaikan perfusi jaringan setelah rekanalisasi
oklusi atau aliran kolateral. Penyangatan parenkim dapat terlihat 2-3 hari onset,
tampak jelas hari ke-6 dan menetap selama 6-8 minggu. Infark di daerah
watershed dan nonkortikal mingkin akan tampak pada fase lebih dini. (Gonzalez,
2012)

2.4.4. Infark Kronis


Setelah 2 minggu, efek massa dan edema akibat infark menurun dan
parenkim mengalami jaringan loss dan gliosis. Pada periode ini, penyangatan
parenkim mencapai puncak dalam 1-4 minggu kemudian memudar secara
perlahan. Fase kronis infark terjadi dalam 6 minggu. Pada titik ini, jaringan
nekrosis dan edema diresorbsi kembali, reaksi gliotik telah selesai, sawar darah
otak intak dan terjadi reperfusi.

Gambar 6. Degenerasi Wallerian. T2 potongan koronal menunjukkan ensefalomalasia


pada lobus frontal dan temporal dan perluasan daerah hiperintense ke pedunkulus serebri
kanan.

Penyangatan parenkim, meningen ataupun pembuluh darah serta gambaran


hiperintens pada pembuluh darah tidak lagi tampak pada FLAIR di fase ini.
Terdapat jaringan loss dengan disertai pembesaran ventrikel, sulkus dan cisterna.
Terdapat peningkatan hipointens pada T1 akibat peningkatan jumlah air yang
berkaitan dengan kavitasi kistik. Adanya infark yang luas pada teritori MCA, akan

12
menunjukkan degenerasi Wallerian, yang ditandai dengan gambaran hiperintens
pada T2 dan jaringan loss pada traktus kortiko-spinalis ipsilateral

2.4.5. Transformasi Hemoragik


Transformasi hemoragik dari infark serebri menunjukkan perdarahan
sekunder pada jaringan iskemik, bervariasi mulai dari petechie hingga hematom
parenkim. Hal ini biasa terjadi pada 15-26% kasus pada minggu pertama onset
dan 43% pada onset 1 bulan setelah infark. Beberapa factor predisposisitermasuk
etiologi stroke (sering terjadi pada stroke emboli dengan hipertensi), reperfusi,
sirkulasi kolateral yang baik, hipertensi, terapi antikoagulan, dan terapi
trombolitik. Pada pasien dengan terapi antitrombolitik intra arteri, skor NIHSS
yang tinggi, durasi rekanalisasi yang lama, nilai platelet rendah dan glukosa yang
tinggi berkaitan dengan kejadian transformasi hemoragik. (Gonzalez, 2012)
Karena T1, T2 dan FLAIR tidak sensitive dalam mendeteksi produk darah
pada fase akut (deoxyhemoglobin), pilihan sequens yang digunakan untuk
mendeteksi perdarahan pada stroke akut adalah GRE T2*. Jenis sequence ini
memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap produk pecahan darah karena sifat
paramagnetiknya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa GRE sama sensitifnya
dengan CT sken untuk mendeteksi perdarahan parenkim pada fase akut stroke.
Penelitian lain mengamati bahwa dalam mendeteksi produk darah pada fase akut
stroke, GRE T2* lebih sensitive dibandingkan dengan T2, FLAIR, ataupun echo
planar T2.
Seiring dengan perubahan produk darah menjadi methemoglobin, T1
menjadi lebih sensitive dalam mendeteksi produk darah. Perdarahan kronis paling
baik dideteksi dengan GRE T2*.

2.4.6. Stroke Perdarahan


MRI juga dapat menunjukkan Perdarahan Intra Serebral (PIS) secara
akurat, khususnya pada gambaran echo-planar dan gradient-echo susceptibility-
weighted (T2*). Pemeriksaan ini juga dapat menunjukkan trombi pada arteri
intracranial, sinus dura dan vena. Gambaran PIS tampak cukup berbeda dengan

13
iskemik; akan terlihat kompleks, tergantung dari durasi sejak awal timbul darah
dan pemilihan teknik MRI (Caplan, 2009).
Penyerapan hemoglobin menimbulkan efek paramagnetic. Pencitraan
radiologi tergantung dari sifat dasar senyawa, oxihemoglobin, methemoglobin,
hemosiderin atau ferritin. Gambaran pada MRI juga dipengaruhi apakah ikatan
subtans hemoglobin berada di dalam sel ruang interstitial. Selama 12 jam pertama
PIS, hematom sebagian besar terdiri dari oxihemoglobin, yang bersifat tidak
paramagnetik. Gambaran hematom selama fase ini mayoritas menunjukkan
komponen air dan protein. Pada T1, hematom akut tampak berupa gambaran
isodense atau hipointens minimal (gelap) yang dikelilingi gambaran hipointens
yang lebih gelap di sekitarnya. Pada T2 sering tampak hiperintens (terang),
menunjukkan konten berupa air. Antara 12-48 jam setelah onset perdarahan,
deoxihemoglobin terbentuk pada eritrosit ekstravaskular, terutama di bagian
dalam hematom.
Gambar 7 menunjukkan berbagai gambaran MRI pada PIS akut. Pada
minggu berikutnya, terjadi oksidasi pada methemoglobin, dimulai dari daerah
perifer lesi. Pada hari ke 5-6, pada T1 tampak gambaran terang karena T1 yang
pendek dengan gambaran yang lebih gelap di sekeliling daerah hematom akibat
edema. Pada T2, bagian sentral sering kali tampak gelap dan dikelilingi oleh
gambaran terang. Perdarahan kronis membawa hemosiderin dalam makrofag dan
jaringan dan menunjukkan gambaran terang pada T2. Tabel 4-2 menunjukkan
rangkuman gambaran MRI pada pasien dengan PIS dalam berbagai tingkatan
waktu.

Gambar 7. Gambaran MRI pada pasien dengan perdarahan akut di lobus temporal
kanan.
(a) GRE T2* (b) T1 (c) T2

14
Ringkasnya, gambaran PIS pada MRI berbeda dengan CT sken dan membutuhkan
ketelitian lebih untuk interpretasinya terutama dengan berbagai teknik akuisisi.
Adanya efek massa, lokasi massa dan bentuk lesi pada MRI dapat membantu
dalam membedakan lesi hematom dan iskemik.

Tabel 2. Temuan Imaging pada Pasien Perdarahan Intraserebral dalam Berbagai


Tingkatan

Tidak mudah untuk menilai pasien PSA dengan MRI. Pasien sering kali
kesulitan untuk tetap diam selama prosedur pemeriksaan untuk menghasilkan
gambar yang berkualitas. Waktu relaksasi dari darah yang telah tercampur dengan
LCS hampir menyerupai gambaran parenkim otak normal, khususnya pada T1. T2
sering kali menunjukkan gambaran hiperintens. Gambaran FLAIR pada pasien
PSA sering kali menunjukkan gambaran hiperintens yang berbatasan dengan
gambaran LCS yang berintensitas rendah. (Caplan,2009)
Salah satu keterbatasan sequence MRI (T1 dan T2) adalah dalam
mendeteksi perdarahan akut intraserebral. Sequence GRE dikatakan merupakan
memiliki sensitifitas yang paling tinggi dalam mendeteksi perdarahan
intraserebral kronis. Guideline terkini menyarankan penggunaan CT atau MRI
untuk menyingkirkan adanya perdarahan intraserebral sebelum dilakukan
trombolitik ataupun management intervensi.(Sen, 2015)

2.5. MR Angiografi (MRA)


MRA merupakan serangkaian teknik pencitraan vascular yang mampu
menggambarkan sirkulasi intracranial dan ekstrakranial. Pada setting stroke akut,
teknik pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan etiologi stroke dan menilai
aliran (flow) vascular. Secara spesifik teknik ini bermanfaat untuk mengevaluasi
severitas stenosis at au oklusi serta aliran kolateral. Beberapa protocol
pemeriksaan pada stroke adalah Time of Flight (TOF) dua dimensi (2D) dan/atau

15
tiga dimensi (3D) dan MRA dengan kontras untuk Sirkulus Willisi. (Gonzalez,
2012)

2.5.1. MRA Nonkontras


Secara umum MRA dibagi menjadi teknik dengan kontas dan tanpa
kontras. MRA tanpa kontras dapat diperoleh dengan teknik Phase Contrast (PC)
atau TOF, dan keduanya dapat ditampilkan dalam irisan 2D atau 3D.

2.5.1.1. Time of Flight (TOF)


MRA TOF merupakan sequence GRE yang menggambarkan aliran
vascular dengan memberikan pulse radio frekuensi (RF) berulang pada sejumlah
volume jaringan, diikuti dengan graden dephasing dan rephrasing. Jaringan yang
tidak bergerak akan tersaturasi dan relative memiliki signal rendah. MRA TOF 2D
sering kali dilakukan di daerah leher dengan sudut 60º. Darah yang mengalir tegak
lurus terhadap slice tergambar dengan baik karena tidak terpapar pulse RF yang
cukup untuk tersaturasi. MRA TOF 2D juga bergantung pada hubungan kontras
antara darah yang mengalir dan jaringan yang tidak bergerak. Teknik ini lebih
baik dibandingkan TOF 3D dalam menggambarkan daerah dengan aliran rendah
(slow flow).(Gonzales, 2012; Sen,2015)
Teknik MRA TOF 3D didasarkan pada penyangatan laju aliran darah. Ini
merupakan teknik MRA yang disukai. Namun, teknik ini memiliki beberapa
keterbatasan, terutama signal yang tidak tampak akibat turbulensi aliran pada
percabangan arteri dan segmen arteri yang mengalami stenosis. Hal ini
menyulitkan klinisi untuk menginterpretasi adanya stenosis pada daerah-daerah
percabangan arteri. Daerah-daerah percabangan merupakan predileksi umum dari
atherosclerosis. Penggunaan teknik ini dengan kontras memberikan informasi
yang lebih baik dibandingkan dengan teknik angiografi standar, khususnya dalam
mendeteksi stenosis pada pembuluh darah ektrakranial. Perlu diingat bahwa MRA
merupakan teknologi yang gambarannya bergantung pada aliran darah. Tidak
tampaknya signal pada MRA tidak serta merta menunjukkan adanya oklusi total,
namun menunjukkan aliran yang lebih rendah dari batas deteksi minimal.

16
MRA TOF 3D biasanya dilakukan di daerah kepala dengan sudut 20º.
Sudut yang lebih kecil akan menurunkan saturasi artefak, dimana darah yang
mengalir akan terpapar pulse RF dan kehilangan signal. Sudut yang lebih kecil
juga menurunkan saturasi latar belakang.

Gambar 8. Gambaran MRA TOF 3D kepala tampak lateral dan frontal menunjukkan
pembuluh darah normal dengan (a) penyangatan yang menurun pada aliran darah di distal
Anterior Cerebri Arteri (ACA) dan (b) distal Medial Cerebral Artery (MCA)

2.5.1.2. MRA Phase Contrast (PC MRA)


PC MRA 2D merupakan sequence GRE yang menggambarkan aliran
darah dengan menghitung perbedaan magnetisasi transverse antara jaringan yang
bergerak dan tidak bergerak. Ini merupakan teknik yang sangat membantu
khususnya dalam membedakan aliran rendah (slow flow) dan tidak adanya aliran
(absent flow) dari aliran normal. Teknik ini hanya memperlihatkan pembuluh
darah yang benar-benar paten (tidak mengalami oklusi). PC MRA juga terkadang
mengalami signal loss akibat turbulensi di daerah percabangan. Secara klinis,
teknik ini digunakan untuk mengevaluasi aliran kolateral intracranial di sisi distal
dari stenosis.

17
Gambar 9. PC MRA normal dan abnormal pada Sirkulus Willisi. (a) PC MRA 2D
normal. Tampak terang pada aliran darah dari kanan ke kiri dan tampak gelap pada aliran
darah dari kiri ke kanan. (b) PC MRA 2D pada pasien dengan stenosis berat di Internal
Carotid Artery (ICA) menunjukkan aliran retrograde pada segmen A1 melalui Anterior
Communicating Artery (ACom)

2.5.2. MRA dengan Penyangatan Kontras (Contrast-Enhanced MRA / CE


MRA)
CE MRA merupakan teknik pemeriksaan yang reliable untuk
menggambarkan pembuluh darah di daerah leher, namun dapat menunjukkan
artefak dari gerak pernafasan. Artefak ini menghalangi visualisasi percabangan
arteri besar seperti arteri komunikan kanan, arteri subklavian kanan dan arteri
vertebralis kanan dan kiri.
Pada kenyataannya, teknik ini secara rutin digunakan untuk
menggambarkan pangkal percabangan pembuluh darah besar dan leher. Secara
umum, teknik ini tidak banyak menilai percabangan arteri karotis dan stenosis lain
seperti teknik TOF karena CE MRA tidak mudah terpengaruh turbulensi sehingga
tidak mudah mengalami signal loss.

18
BAB III
SIMPULAN

MRI lebih sensitive dibandingkan dengan CT sken dalam mendeteksi


perubahan awal akibat iskemik. Gambaran MRI khususnya Diffusion-weighted
images (DWI) dan Fluid-Attenuated Inversion Recovery (FLAIR) sangat sensitive
untuk mendeteksi infark parenkim otak pada fase akut. Teknik ini efektif untuk
menilai sistem sirkulasi anterior maupun posterior. Dengan teknik ini, infark akut
maupun lakunar di daerah white matter, ganglia basalis, serebral maupun
serebelum yang tidak terlihat di CT sken dapat dideteksi. MRI juga dapat
menunjukkan PIS secara akurat, khususnya pada gambaran echo-planar dan
gradient-echo susceptibility-weighted (GRE T2*). Adanya efek massa, lokasi
massa dan bentuk lesi pada MRI dapat membantu dalam membedakan lesi
hematom dan iskemik.
MRI secara umum bekerja dengan memanfaatkan medan magnet dan sifat
inti partikel (nukleus) hydrogen. Nukleus hydrogen ini dalam tubuh manusia akan
tereksitasi saat ditempatkan dalam medan magnet yang kuat. Nukleus-nukleus ini
menyerap energy radiofrekuensi dari medan magnet dan kemudian
melepaskannya kembali sampai nucleus-nukleus ini benar-benar dalam kondisi
rileks. Energi dilepaskan dari jaringan yang tereksitasi dalam waktu singkat
berdasarkan 2 konstanta relaksasi yang dikenal dengan T1 dan T2, dan signal
energy yang dipancarkan diubah dalam bentuk gambar. Perbedaan warna pada
gambar merupakan hasil dari perbedaan intensitas energy yang dipancarkan ini,
yang merupakan hasil dari perbedaan konsentrasi nucleus dalam berbagai jaringan
yang berbeda dalam tubuh. (Sen, 2015)
Iskemik pada neuron akan menghabiskan Adenosine Triphosphate (ATP),
yang akan menyebabkan kegagalan pembentukan membrane, kegagalan pompa
ion channel, dan pembentukan potensial aksi. Kelainan metabolism sel ini
mengakibatkan terjadinya akumulasi ion di intraseluler (termasuk ion kalsium),
yang menimbulkan gradient intraseluler dan mengakibatkan terjadinya akumulasi
air intraseluler (edema sitotoksik).

19
Sel-sel endotel serebral lebih resisten terhadap iskemik dibandingkan
neuron dan sel-sel neuroglia. Dalam 3-4 jam setelah onset iskemik, integritas
sawar darah otak melemah dan mengakibatkan protein plasma mampu berpindah
ke ruang ekstrasel. Cairan intravascular pun mengikuti saat terjadi reperfusi,
dimana proses ini terjadi mulai dari 6 jam setelah onset stroke dan mencapai
maksimum dalam 2-4 hari dari onset stroke. Reperfusi dapat juga disertai dengan
transformasi hemoragik dari daerah infark, yang biasanya berkaitan dengan
luasnya daerah dan lokasi infark, dan lebih sering terjadi pada infark di daerah
kortikal yang luas.
Stroke memiliki karakteristik tampilan pada MRI yang bervariasi sesuai
usia infark. Perubahan waktu stroke secara umum dibedakan menjadi hiperakut
(0-6 jm), akut (6-24 jm), subakut (24 jam-2 minggu), dan kronis (>2 minggu).

20
DAFTAR PUSTAKA

Audebert H.J.,& Fiebach J.B. 2015. Brain imaging in acute ischemic stroke—
MRI or CT? Curr Neurol Neurosci Rep, 15(6).

Birenbaum, D., Bancroft, L.W., & Felsberg, G.J. 2011. Imaging in acute stroke.
West J Emerg Med, 12(1):67-76.

Caplan, L. R., 2009. Imaging and laboratory diagnosis dalam Caplan, L. R. (ed.),
Stroke: A clinical approach 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Inc. page 87-132

Degnan, A.J., Gallagher, G., Teng, Z., Lu, J., Liu, Q., & Gillard, J.H. 2012. MR
angiography and imaging for the evaluation of middle cerebral artery
atherosclerotic disease. AJNR Am J Neuroradiol 33:1427–35.

Ernesto, R.V. & Mariana L.M. 2014. Current concepts on magnetic resonance
imaging (MRI) perfusion-diffusion assessment in acute ischaemic stroke: a
review & an update for the clinicians. Indian J Med Res 140: 717-728.

González, R. G., Vu, D., Schaefer, P.W. 2012. Conventional MRI and MR
angiography of stroke dalam González, R. G. (ed.), Acute ischemic
stroke : Imaging and intervention. Vanderbilt Univ : eBook Collection.
page 155-134

Irimia, P., Asenbaum, S., Brainin, M., Chabriat, H., Mart í nez - Vila, E.,
Niederkorn, K.,et al. 2011. Use of imaging in cerebrovascular disease
dalam Gilhus, N.E., Barnes, M. P., and Brainin, M. (eds.), European
handbook of neurological management volume 1, 2nd Ed. Blackwell
Publishing Ltd. page 19-26

Sen, S. (2015). Magnetic Resonance Imaging in Acute Stroke. Retrieved from


Medscape Reference website
http://emedicine.medscape.com/article/1155506

Wechsler, L.R. 2011. Imaging evaluation of acute ischemic stroke. Stroke,


42[suppl 1]:S12-S15.

Widisih, M. 2015. MRI brain imaging. Kuliah umum; Maret 2015; Denpasar.

21

Anda mungkin juga menyukai