PENDAHULUAN
Teknik pencitraan pada pasien dengan kecurigaan stroke akut merupakan topic
pembahasan yang penting untuk dipahami, baik oleh dokter yang bertugas di
bagian emergency, neurologis, dokter bedah saraf maupun neuroradiologis.
Seiring dengan peningkatan peran teknologi dalam dunia kesehatan, Magnetic
Resonance Imaging (MRI) semakin banyak digunakan untuk diagnosis dan
management stroke akut. Pemeriksaan ini sensitive dan relative spesifik dalam
mendeteksi perubahan yang terjadi akibat stroke. (Birenbaum, 2011; Sen, 2015)
Kelebihan MRI antara lain adalah kekuatan medan magnetnya yang tinggi
(1,5-3 T) menghasilkan gambar dengan resolusi yang lebih baik, sequences baru,
dan adanya open MRI untuk pasien dengan klaustrophobia atau overweight. Saat
ini, MRI dengan medan magnet 7,0 dan 9,4 T dengan rasio Signal to Noise (SNR)
dan Contras to Noise (CNR) dibandingkan dengan keluatan medan magnet yang
lebih rendah. (Sen, 2015)
MRI lebih sensitif dibandingkan dengan Computed Tomography (CT) sken
dalam mendeteksi perubahan awal akibat iskemik. Gambaran MRI khususnya
Diffusion-weighted images (DWI) dan Fluid-Attenuated Inversion Recovery
(FLAIR) sangat sensitive untuk mendeteksi infark parenkim otak pada fase akut.
Teknik ini efektif untuk menilai sistem sirkulasi anterior maupun posterior.
Dengan teknik ini, infark akut maupun lakunar di daerah white matter, ganglia
basalis, serebral maupun serebelum yang tidak terlihat di CT sken dapat dideteksi.
MRI juga dapat menunjukkan PIS secara akurat, khususnya pada gambaran echo-
planar dan gradient-echo susceptibility-weighted (GRE T2*). Adanya efek
massa, lokasi massa dan bentuk lesi pada MRI dapat membantu dalam
membedakan lesi hematom dan iskemik. (Caplan, 2009)
Bagaimanapun, keterbatasan seperti inhomogenitas medan magnet dan
kontraindikasi yang luas pada pasien yang akan direncanakan untuk pemeriksaan
menyebabkan terbatasnya aplikasi klinis MRI pada stroke akut. Selain itu MRI
memiliki keterbatasan lain seperti harganya yang relatif mahal, durasi
pemeriksaan yang cukup panjang dan rendahnya sensitifitas MRI dalam
mendeteksi PSA. (Sen, 2015)
Dalam makalah ini kami mencoba untuk memaparkan sequence MRI pada
penyakit serebrovaskular akut. Kami mencoba membahas tentang prinsip kerja
MRI secara umum, perubahan molekul air yang terjadi pada stroke akut serta
gambaran MRI yang terkait dengan stroke akut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Spin density-Weighted imaging, dimana LCS memiliki densitas yang sama
dengan jaringan serebral.
Gradient echo imaging, yang memiliki sensitifitas paling tinggi dalam
mendeteksi perubahan komponen darah pada fase awal.
Diffusion-weighted imaging (DWI), yang menunjukkan gerak acak molekul
air secara mikroskopis.
Perfusion-weighted imaging (PWI), yang merupakan sequences MRI yang
menilai hemodinamik berdasarkan lintasan MR kontras melalui jaringan otak.
4
yang menimbulkan gradient intraseluler dan mengakibatkan terjadinya akumulasi
air intraseluler (edema sitotoksik).
Sel-sel endotel serebral lebih resisten terhadap iskemik dibandingkan
neuron dan sel-sel neuroglia. Dalam 3-4 jam setelah onset iskemik, integritas
sawar darah otak melemah dan mengakibatkan protein plasma mampu berpindah
ke ruang ekstrasel. Cairan intravascular pun mengikuti saat terjadi reperfusi,
dimana proses ini terjadi mulai dari 6 jam setelah onset stroke dan mencapai
maksimum dalam 2-4 hari dari onset stroke. Reperfusi dapat juga disertai dengan
transformasi hemoragik dari daerah infark, yang biasanya berkaitan dengan
luasnya daerah dan lokasi infark, dan lebih sering terjadi pada infark di daerah
kortikal yang luas.
5
2.4.1. Infark Hiperakut
Pada infark hiperakut, terjadi sumbatan atau slow flow pada pembuluh
darah yang mensuplai jaringan di daerah infark. Dalam hitungan menit, aliran
signal pada T2 menghilang. FLAIR, suatu sequence yang menekan signal LCS,
dapat menunjukkan signal intravascular yang tinggi yang dikelilingi signal rendah
dari ruang subarahnois di sekitarnya. Dalam sebuah penelitian, 65% infark yang
berumur <6 jam menunjukkan gambaran hiperintens di sepanjang pembuluh darah
pada FLAIR, dan pada beberapa kasus, gambaran seperti ini didahului oleh
perubahan pada DWI. (Gonzalez, 2012)
Gambar 1. Trombus pada Middle Cerebral Artery (MCA) kiri. (a) MCA kiri
menunjukkan signal hiperintens akibat klot intraluminal pada FLAIR (b) namun
menunjukkan signal hipointens pada Gradient recalled echo (GRE) T2* (c) Hal ini sesuai
dengan filling defect pada CT Angiogram.
6
ekstraseluler merupakan penyebab adanya perubahan pada gambaran ADC. (Sen,
2015)
DWI sangat sensitive dan relative spesifik dalam mendeteksi stroke
iskemik akut. Gambaran DWI telah menunjukkan tingkat akurasi diagnostic yang
tinggi. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa infark lacunar kecil pada
batang otak mungkin tidak terdeteksi DWI. DWI telah terbukti mampu
menunjukkan abnormalitas difusi pada hamper 50% pasien dengan gejala klinis
Transient Ischemic Attacks (TIA). Jumlah ini cenderung meningkat seiring
dengan peningkatan interval waktu antara onset hingga saat timbul gejala stroke.
(Sen, 2015)
Gambar 2. MRI pada stroke akut. Kiri: DWI pada stroke iskemik akut yang dilakukan
35 menit setelah onset gejala klinis. Kanan: ADC pada pasien yang sama.
Teknik ini efektif untuk sistem sirkulasi anterior dan posterior. Infark akut
maupun lakunar di daerah white matter, ganglia basalis, serebral maupun
serebelum yang tidak terlihat di CT sken dapat terlihat DWI. Lokasi, pola, dan
aneka ragam lesi iskemik pada DWI dapat membantu dalam menentukan
mekanisme penyebab stroke. Gambaran positif pada DWI semakin menurun
hingga 7-10 hari dari onset stroke. Lesi yang terlihat pada DWI (dan dikonfirmasi
dengan ADC) biasanya tidak selalu berhubungan dengan daerah infark.
Terkadang daerah ini menunjukkan daerah iskemik yang reversible. Gambaran
iskemik yang telah komplit tampak lebih terang pada T2. Karena DWI juga
7
membawa beberapa T2 weighting, daerah infark juga tampak terang pada DWI.
Perlu diperhatikan bahwa gambaran terang pada DWI tidah menunjukkan lesi
yang sama dengan T2—disebut juga T2 shine-through. Dalam keadaan demikian,
gambaran ADC tidak menunjukkan daerah gelap yang sesuai dengan area yang
tampak pada DWI dan klinisi dapat menyimpulkan bahwa lesi ini tidak hiperakut.
(Caplan, 2009)
Penggunaan DWI dan PWI secara bersamaan dikatakan lebih baik
dibandingkan penggunaan MRI konvensional pada fase awal stroke sampai
dengan onset 48 jam. Kombinasi penggunaan DWI dan PWI sangat penting,
keduanya akan memberikan informasi tentang lokasi dan perluasan infark dalam
hitungan menit dari onset stroke. Jika kombinasi pemeriksaan ini dilakukan secara
serial, akan terlihat bagaimana pola evolusi dari lesi iskemik. Informasi ini akan
sangat bermanfaat dalam menentukan modalitas terapi yang sesuai serta untuk
memprediksi luaran dan prognosis pasien.(Sen, 2015)
Gambar 3. DWI menunjukkan gambaram hipointens pada teritori MCA kanan. Daerah
anterior dan posteriornya terdapat gambaran hiperintens yang menggambarkan infark
baru. Gambar di atas menunjukkan adanya perluasan dari infark yang sudah terjadi
sebelumnya.
8
didapatkan penyangatan di daerah parenkim otak karena sirkulasi kolateral yang
tidak adekuat menyebabkan aliran kontras tidak mampu menjangkau jaringan
yang infark. Terkadang, penyangatan parenkim otak fase awal dapat ditemukan
jika terdapat reperfusi awal atau system kolateral yang baik. (Gonzalez, 2012)
9
akut namun hanya dengan perkiraan tingkat sensitifitas sebesar 29% pada 6 jam
pertama.
10
2.4.3. Infark Subacut
Pada fase subakut infark (1 hari – 2 minggu), peningkatan edema
vasogenik tampak lebih jelas menunjukkan hiperintensitas di T2 dan FLAIR.
Pembengkakan parenkim otak bermanifestasi menjadi penebalan girus, sulkus dan
cisterna mulai menghilang, pendorongan ventrikel yang berdekatan dengan area
infark, midline shift, dan herniasi serebri. Edema mencapai maksimal dalam 2-3
hari mengalami perbaikan pada hari ke 7-10. Terdapat peningkatan signal T2 dan
FLAIR pada minggu pertama onset yang terkadang tampak seperti kabut. Hal ini
terjadi saat jaringan yang infark sulit terlihat karena perkembangan perubahan
intensitas signal MRI meneyerupai jaringan normal. Ini diperkirakan merupakan
akibat dari infiltrasi sel-sel inflamasi di jaringan infark. Sebuah penelitian
mendapatkan stroke di onset hari ke 7-10 hari mampu diidentifikasi 88% stroke
subakut pada gambaran T2. Selain itu penelitian ini juga menyatakan bahwa T2
dan FLAIR memiliki sensitifitas yang sama dalam mendeteksi infark berumur 10
hari.
Gambar 5. Edema kortikal pada infark subakut. (a) FLAIR potongan axial
menunjukkan gambaran hiperintens, pelebaran girus dan penipisan sulkus. (b) gambaran
hipointens halus dan pelebaran girus pada T1 potongan sagittal.
Pada fase subakut, puncak penyangatan arteri terjadi 1-3 hari. Infark yang
besar juga akan menunjukkan penyangatan meningen yang mungkin
menunjukkan reaktif hiperemi, yang memuncak pada 2-6 hari onset. Penyangatan
pada arteri maupun meningenumumnya membaik dalam 1 minggu. Sebagai
gantinya, timbul penyangatan pada parenkim otak di fase ini. Penyangatan grey
11
mater dapat tampak seperti pita ataupun gyriform. Ini merupakan akibat dari
kerusakan sawar darah otak dan perbaikan perfusi jaringan setelah rekanalisasi
oklusi atau aliran kolateral. Penyangatan parenkim dapat terlihat 2-3 hari onset,
tampak jelas hari ke-6 dan menetap selama 6-8 minggu. Infark di daerah
watershed dan nonkortikal mingkin akan tampak pada fase lebih dini. (Gonzalez,
2012)
12
menunjukkan degenerasi Wallerian, yang ditandai dengan gambaran hiperintens
pada T2 dan jaringan loss pada traktus kortiko-spinalis ipsilateral
13
iskemik; akan terlihat kompleks, tergantung dari durasi sejak awal timbul darah
dan pemilihan teknik MRI (Caplan, 2009).
Penyerapan hemoglobin menimbulkan efek paramagnetic. Pencitraan
radiologi tergantung dari sifat dasar senyawa, oxihemoglobin, methemoglobin,
hemosiderin atau ferritin. Gambaran pada MRI juga dipengaruhi apakah ikatan
subtans hemoglobin berada di dalam sel ruang interstitial. Selama 12 jam pertama
PIS, hematom sebagian besar terdiri dari oxihemoglobin, yang bersifat tidak
paramagnetik. Gambaran hematom selama fase ini mayoritas menunjukkan
komponen air dan protein. Pada T1, hematom akut tampak berupa gambaran
isodense atau hipointens minimal (gelap) yang dikelilingi gambaran hipointens
yang lebih gelap di sekitarnya. Pada T2 sering tampak hiperintens (terang),
menunjukkan konten berupa air. Antara 12-48 jam setelah onset perdarahan,
deoxihemoglobin terbentuk pada eritrosit ekstravaskular, terutama di bagian
dalam hematom.
Gambar 7 menunjukkan berbagai gambaran MRI pada PIS akut. Pada
minggu berikutnya, terjadi oksidasi pada methemoglobin, dimulai dari daerah
perifer lesi. Pada hari ke 5-6, pada T1 tampak gambaran terang karena T1 yang
pendek dengan gambaran yang lebih gelap di sekeliling daerah hematom akibat
edema. Pada T2, bagian sentral sering kali tampak gelap dan dikelilingi oleh
gambaran terang. Perdarahan kronis membawa hemosiderin dalam makrofag dan
jaringan dan menunjukkan gambaran terang pada T2. Tabel 4-2 menunjukkan
rangkuman gambaran MRI pada pasien dengan PIS dalam berbagai tingkatan
waktu.
Gambar 7. Gambaran MRI pada pasien dengan perdarahan akut di lobus temporal
kanan.
(a) GRE T2* (b) T1 (c) T2
14
Ringkasnya, gambaran PIS pada MRI berbeda dengan CT sken dan membutuhkan
ketelitian lebih untuk interpretasinya terutama dengan berbagai teknik akuisisi.
Adanya efek massa, lokasi massa dan bentuk lesi pada MRI dapat membantu
dalam membedakan lesi hematom dan iskemik.
Tidak mudah untuk menilai pasien PSA dengan MRI. Pasien sering kali
kesulitan untuk tetap diam selama prosedur pemeriksaan untuk menghasilkan
gambar yang berkualitas. Waktu relaksasi dari darah yang telah tercampur dengan
LCS hampir menyerupai gambaran parenkim otak normal, khususnya pada T1. T2
sering kali menunjukkan gambaran hiperintens. Gambaran FLAIR pada pasien
PSA sering kali menunjukkan gambaran hiperintens yang berbatasan dengan
gambaran LCS yang berintensitas rendah. (Caplan,2009)
Salah satu keterbatasan sequence MRI (T1 dan T2) adalah dalam
mendeteksi perdarahan akut intraserebral. Sequence GRE dikatakan merupakan
memiliki sensitifitas yang paling tinggi dalam mendeteksi perdarahan
intraserebral kronis. Guideline terkini menyarankan penggunaan CT atau MRI
untuk menyingkirkan adanya perdarahan intraserebral sebelum dilakukan
trombolitik ataupun management intervensi.(Sen, 2015)
15
tiga dimensi (3D) dan MRA dengan kontras untuk Sirkulus Willisi. (Gonzalez,
2012)
16
MRA TOF 3D biasanya dilakukan di daerah kepala dengan sudut 20º.
Sudut yang lebih kecil akan menurunkan saturasi artefak, dimana darah yang
mengalir akan terpapar pulse RF dan kehilangan signal. Sudut yang lebih kecil
juga menurunkan saturasi latar belakang.
Gambar 8. Gambaran MRA TOF 3D kepala tampak lateral dan frontal menunjukkan
pembuluh darah normal dengan (a) penyangatan yang menurun pada aliran darah di distal
Anterior Cerebri Arteri (ACA) dan (b) distal Medial Cerebral Artery (MCA)
17
Gambar 9. PC MRA normal dan abnormal pada Sirkulus Willisi. (a) PC MRA 2D
normal. Tampak terang pada aliran darah dari kanan ke kiri dan tampak gelap pada aliran
darah dari kiri ke kanan. (b) PC MRA 2D pada pasien dengan stenosis berat di Internal
Carotid Artery (ICA) menunjukkan aliran retrograde pada segmen A1 melalui Anterior
Communicating Artery (ACom)
18
BAB III
SIMPULAN
19
Sel-sel endotel serebral lebih resisten terhadap iskemik dibandingkan
neuron dan sel-sel neuroglia. Dalam 3-4 jam setelah onset iskemik, integritas
sawar darah otak melemah dan mengakibatkan protein plasma mampu berpindah
ke ruang ekstrasel. Cairan intravascular pun mengikuti saat terjadi reperfusi,
dimana proses ini terjadi mulai dari 6 jam setelah onset stroke dan mencapai
maksimum dalam 2-4 hari dari onset stroke. Reperfusi dapat juga disertai dengan
transformasi hemoragik dari daerah infark, yang biasanya berkaitan dengan
luasnya daerah dan lokasi infark, dan lebih sering terjadi pada infark di daerah
kortikal yang luas.
Stroke memiliki karakteristik tampilan pada MRI yang bervariasi sesuai
usia infark. Perubahan waktu stroke secara umum dibedakan menjadi hiperakut
(0-6 jm), akut (6-24 jm), subakut (24 jam-2 minggu), dan kronis (>2 minggu).
20
DAFTAR PUSTAKA
Audebert H.J.,& Fiebach J.B. 2015. Brain imaging in acute ischemic stroke—
MRI or CT? Curr Neurol Neurosci Rep, 15(6).
Birenbaum, D., Bancroft, L.W., & Felsberg, G.J. 2011. Imaging in acute stroke.
West J Emerg Med, 12(1):67-76.
Caplan, L. R., 2009. Imaging and laboratory diagnosis dalam Caplan, L. R. (ed.),
Stroke: A clinical approach 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Inc. page 87-132
Degnan, A.J., Gallagher, G., Teng, Z., Lu, J., Liu, Q., & Gillard, J.H. 2012. MR
angiography and imaging for the evaluation of middle cerebral artery
atherosclerotic disease. AJNR Am J Neuroradiol 33:1427–35.
Ernesto, R.V. & Mariana L.M. 2014. Current concepts on magnetic resonance
imaging (MRI) perfusion-diffusion assessment in acute ischaemic stroke: a
review & an update for the clinicians. Indian J Med Res 140: 717-728.
González, R. G., Vu, D., Schaefer, P.W. 2012. Conventional MRI and MR
angiography of stroke dalam González, R. G. (ed.), Acute ischemic
stroke : Imaging and intervention. Vanderbilt Univ : eBook Collection.
page 155-134
Irimia, P., Asenbaum, S., Brainin, M., Chabriat, H., Mart í nez - Vila, E.,
Niederkorn, K.,et al. 2011. Use of imaging in cerebrovascular disease
dalam Gilhus, N.E., Barnes, M. P., and Brainin, M. (eds.), European
handbook of neurological management volume 1, 2nd Ed. Blackwell
Publishing Ltd. page 19-26
Widisih, M. 2015. MRI brain imaging. Kuliah umum; Maret 2015; Denpasar.
21