Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

EPIDEMOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar Epidemologi

Dosen Pengampu : A. Ulfiana Fitri, SKM., M. Kes.

Oleh :

KELOMPOK 6

Nur Indah Sari AS (210304502056)

Nur Anisa (210304502057)

Muhammad Fadhil (210304502058)

Dwi Zhafirah Rusli (210304502079)

Nur Fadillah Hasan (210304502080)

Wilia Marsryani (210304502081)

Devina Costantia (210304502082)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Epidemologi Penyakit Tidak Menular” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Dasar Epidemologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang masalah mengenai epidemologi penyakit tidak
menular bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu A. Ulfiana Fitri, SKM., M.


Kes, selaku dosen mata kuliah dasar epidemiologi yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 21 Mei 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 2
C. Tujuan ........................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Penyakit Tidak Menular ........................................... 4
B. Karakteristik Penyakit Tidak Menular ....................................... 5
C. Transisi Demografi Penyakit Tidak Menular ............................. 7
D. Transisi Epidemiologi Penyakit Tidak Menular ......................... 8
E. Pendekatan Epidemiologi Penyakit Tidak Menular ................... 9
F. Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular .................................... 10
G. Kegunaan Identifikasi Faktor Risiko ........................................ 11
H. Kriteria Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular ...................... 12
I. Upaya-Upaya Pencegahan Penyakit Tidak Menular ................ 13
J. Jenis-Jenis Penyakit Tidak Menular ......................................... 14
K. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular ..................................... 15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 37
B. Saran ........................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 39

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian
secara global. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang
terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua
pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. PTM juga
membunuh penduduk dengan usia yang lebih muda. Di negara-negara
dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang
terjadi pada orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan
oleh PTM, sedangkan di negara-negara maju, menyebabkan 13%
kematian. Proporsi penyebab kematian PTM pada orang-orang berusia
kurang dari 70 tahun, penyakit cardiovaskular merupakan penyebab
terbesar (39%), diikuti kanker (27%), sedangkan penyakit pernafasan
kronis, penyakit pencernaan dan PTM yang lain bersama-sama
menyebabkan sekitar 30% kematian, serta 4% kematian disebabkan
diabetes.
Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat Penyakit
Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia,
peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin.
Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat
penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke dan
diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta
jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa
dari 38 juta jiwa pada saat ini. Di sisi lain, kematian akibat penyakit
menular seperti malaria, TBC atau penyakit infeksi lainnya akan menurun,
dari 18 juta jiwa saat ini menjadi 16,5 juta jiwa pada tahun 2030.4 Pada
negara-negara menengah dan miskin PTM akan bertanggung jawab
terhadap tiga kali dari tahun hidup yang hilang dan disability dan hampir
lima kali dari kematian penyakit menular, maternal, perinatal dan masalah
nutrisi.

1
Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang cukup besar di dunia pada saat ini. Hal ini ditandai
dengan adanya transisi epidemiologi dari penyakit menular ke penyakit
tidak menular yang secara global meningkat di dunia. Peningkatan
Penyakit Tidak Menular (PTM) berhubungan dengan peningkatan faktor
risiko akibat perubahan gaya hidup seiring dengan perkembangan dunia
yang semakin modern, pertumbuhan populasi, dan peningkatan usia
harapan hidup. Kasus terbanyak dari penyakit tidak menular diantaranya
adalah penyakit Diabetes Melitus (DM) dan Penyakit Metabolik (PM) .
(Depkes, 2008).
Penyakit tidak menular dikaitkan dengan berbagai faktor risiko
seperti kurang aktivitas fisik, pola makan yang tidak sehat dan tidak
seimbang, gaya hidup yang tidak sehat, gangguan mental emosional
(stres), serta perilaku yang berkaitan dengan kecelakaan dan cedera. Selain
itu PTM juga terjadi karena beberapa hal lainnya seperti transisi
epidemiologi, transisi lingkungan, transisi demografis, perubahan sosial-
budaya, perubahan keadaan ekonomi dan perubahan keadaan politik.
PTM merupakan penyakit yang dapat dicegah bila Faktor risiko
dapat dikontrol. Hal ini menandakan bahwa kegagalan pengelolaan
program pencegahan dan penanggulangan akan memengaruhi perawatan
pasien PTM. Pencegahan dan penanggulangan PTM dinilai sebagai upaya
pemeliharaan kesehatan yang dilakukan oleh petugas dan individu yang
bersangkutan secara mandiri. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana
mengembangkan suatu sistem pelayanan yang dapat mendukung upaya
pemeliharaan kesehatan mandiri, dengan melakukan redefinisi peran dan
fungsi seluruh sarana pelayanan kesehatan, untuk menghubungkan
pelayanan medis dengan pendekatan promosi dan pencegahan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari penyakit tidak menular ?
2. Bagaimanakah karakteristik penyakit tidak menular ?

2
3. Bagaimana transisi demografi penyakit tidak menular ?
4. Bagaimana transisi epidemiologi penyakit tidak menular ?
5. Bagaimana pendekatan epidemiologi penyakit tidak menular ?
6. Apa saja faktor resiko penyakit tidak menular ?
7. Apakah kegunaan identifikasi faktor risiko ?
8. Bagaimana kriteria faktor risiko penyakit tidak menular ?
9. Apa sajakah upaya-upaya pencegahan penyakit tidak menular ?
10. Apa sajakah jenis-jenis penyakit tidak menular ?
11. Bagaiman epidemiologi penyakit tidak menular ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari penyakit tidak menular
2. Untuk mengetahui karakteristik penyakit tidak menular
3. Untuk mengetahui transisi demografi penyakit tidak menular
4. Untuk mengetahui transisi epidemiologi penyakit tidak menular
5. Untuk mengetahui pendekatan epidemiologi penyakit tidak menular
6. Untuk mengetahui faktor resiko penyakit tidak menular
7. Untuk mengetahui kegunaan identifikasi faktor risiko
8. Untuk mengetahui kriteria faktor risiko penyakit tidak menular
9. Untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan penyakit tidak menular
10. Untuk mengetahui apa sajakah jenis-jenis penyakit tidak menular
11. Untuk mengetahui bagaiman epidemiologi penyakit tidak menular

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penyakit Tidak Menular
Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyakit yang tidak
dapat ditularkan sehingga dianggap tidak mengancam kondisi orang lain.
PTM merupakan beban kesehatan utama di negara-negara berkembang
dan negara industri. WHO (World Health Organozation) menyebutnya
"Non Communicable Disease (NCD) is a disease that is not transmissible
directly from one person to another"; adalah penyakit yang tidak menular
langsung dari satu orang ke orang lain. Dominasi masalah kesehatan di
masyarakat saat ini mulai bergeser dari penyakit menular menjadi ke arah
penyakit tidak menular. Penyebab kematian utama penduduk semua
golongan umur pada saat ini disebabkan oleh PTM secara berurutan yaitu
stroke, hipertensi, diabetes mellitus, tumor ganas/kanker, penyakit jantung
dan pernafasan kronik. Istilah Penyakit Tidak Menular memiliki kesamaan
arti dengan :
1. Penyakit Kronik
Penyakit kronik juga merujuk pada PTM mengingat kasus PTM
yang umumnya bersifat kronik/menahun/lama. Akan tetapi, beberapa
PTM juga bersifat mendadak atau akut, misalnya keracunan.
2. Penyakit Non–Infeksi
Sebutan penyakit non-infeksi digunakan mengingat PTM
umumnya tidak disebabkan oleh mikro-organisme. Meskipun
demikian, mikro-organisme juga merupakan salah satu penyebab
PTM.
3. New Communicable Disease
Hal ini dikarenakan anggapan bahwa PTM dapat menular melalui
gaya hidup (Life Style). Gaya hidup saat ini bisa dikatakan sebagai
penyebab penularan berbagai penyakit, beberapa contoh di antaranya
yaitu pola makan, kehidupan seksual, dan komunikasi global.

4
Misalnya, asupan makan dengan kandungan kolestrol tinggi
merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya kasus penyakit
jantung.

B. Karakteristik Penyakit Tidak Menular


Penyakit tidak menular disebabkan oleh adanya interaksi antara agent
(Non living agent) dengan host yang dalam hal ini manusia (faktor
predisposisi, infeksi, dan lain-lain) sertalingkungan sekitar (source and
vehicle of agent).
1. Agent
a. Agent dapat merujuk pada non living agent, yakni kimiawi, fisik,
mekanik, psikis.
b. Agent penyakit tidak menular terdiri dari berbagai macam
karakteristik, mulai dari yang paling sederhana hingga yang
bersifat sangat komplek, contohnya molekul hingga zat dengan
ikatan yang kompleks.
c. Mengetahui spesifikasi dari agent diperlukan untuk memberikan
penjelasan lengkap tentang penyakit tidak menular.
d. Suatu agent tidak menular menyebabkan tingkat keparahan yang
bervariasi (dinyatakan dalam skala pathogenitas). Pathogenitas
Agent merujuk pada kemampuan / kapasitas agent penyakit dalam
menyebabkan sakit pada host.
e. Karakteristik lain dari agent tidak menular yang penting untuk
diperhatikan adalah:
1) Kemampuan menginvasi/memasuki jaringan
2) Kemampuan merusak jaringan : reversible dan irreversible
3) Kemampuan menimbulkan reaksi hipersensitif
2. Reservoir
a. Istilah ini dapat diartikan sebagai organisme hidup, benda mati
(tanah, udara, air batu, dan lain-lain) atau tempat di mana agent
dapat hidup, berkembang biak dan tumbuh dengan baik.

5
b. Pada kasus penyakit tidak menular secara umum, reservoir dari
agent adalah benda mati.
c. Pada penyakit tidak menular, orang yang terpapar dengan agent
sumber/reservoir tidak memiliki potensi ditularkan.
3. Patogenitas
a. Fase Kontak
Adanya kontak antara agent dengan host, tergantung :
1) Lamanya kontak
2) Dosis
3) Patogenitas
b. Fase Akumulasi pada jaringan
Fase ini terjadi jika terkena paparan dalam waktu lama dan terus-
menerus.
c. Fase Subklinis
Pada fase ini, gejala/sympton dan tanda/sign belum nampak.
Beberapa kerusakan telah terjadi pada jaringan, hal ini bergantung
pada:
1) Jaringan yang terkena
2) Kerusakan yang diakibatkannya (ringan, sedang dan berat)
3) Sifat kerusakan (reversible dan irreversible/ kronis, mati dan
cacat)
d. Fase Klinis
Agent penyakit telah menyebabkan reaksi pada host dengan
menimbulkan manifestasi (gejala dan tanda).
4. Karakteristik penyakit tidak menular :
a. Tidak ditularkan
b. Etiologi sering tidak jelas
c. Agent penyebab : non living agent d
d. Durasi penyakit panjang (kronis)
e. Fase subklinis dan klinis yang lama untuk penyakit kronis.

6
5. Rute Dari Keterpaparan
Paparan terjadi melalui sistem pernafasan, sistem digestiva, system
ntegumen/kulit dan sistem vaskuler.

C. Transisi Demografi Penyakit Tidak Menular


Teori mengenai transisi demografi didasarkan pada Negara Eropa
pada ababd ke-19. Peralihan keadaan demografi biasanya dibagi menjadi 4
tahap, sebagai berikut:
a. Tahap 1
Angka kelahiran dan kematian yang tinggi sekitar 40-50. Pada
tahap ini, kelahiran tidak terkendali, kematian bervariasi tiap tahunnya.
Kelaparan merajalela bersamaan dengan penyakit menular yang
menimbulkan kematian. Tahap ini identik dengan “masa penyakit pes”
dan kelaparan merajalela pada transisi epidemiologi.
b. Tahap 2
Angka kematian menurun akibat adanya penemuan obat baru dan
anggaran kesehatan diperbesar. Namun angka kelahiran tetap tinggi
sehingga pertumbuhan penduduk meningkat dengan pesat.
c. Tahap 3
Angka kematian terus menurun tetapi tidak secepat pada tahap 2.
Angka kelahiran mulai menurun akibat urbanisasi, pendidikan, dan
peralatan kontrasepsi yang makin maju tahap2 dan 3 identik dengan “
masa ketika pandemic dan penyakit menular mulai menghilang” pada
transisi epidemiologi.
d. Tahap 4
Angka kelahiran dan kematian mencapai tingkat rendah dan
pertumbuhan penduduk kembali ke tahap 1, yaitu mendekati nol.
Tahap ini identik dengan “masa penyakit degeneratif dan penyakit
buatan manusia”.

7
D. Transisi Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
Transisi epidemiologi memiliki dua pengertian, menurut Omran (1971):
1. Statis : interval waktu yang dimulai dari dominasi penyakit menular
dan diakhiri dengan dominasi penyakit tidak menular sebagai
penyebab kematian.
2. Dinamis : proses dinamis pola sehat sakit dari suatu masyarakat
berubah sebagai akibat dari perubahan demografi, sosial ekonomi,
teknologi dan politis Transisi epidemiologi atau transisi kesehatan
diawali oleh transisi demografi.
Mekanisme terjadinya transisi epidemiologi :
1. Penurunan fertilitas yang akan mempengaruhi insiden penyakit.
2. Perubahan faktor resiko yang akan mempengaruhi insiden penyakit.
Perubahan tersebut berimbas pada probabilitas menjadi sakit
mengingat pengaruh perubahan ini terhadap berbagai tipe risiko
biologis, lingkungan, pekerjaan, sosial dan perilaku yang
dikembangkan dengan proses modernisasi.
Modernisasi berkaitan dengan risiko kesehatan di mana pergeseran
dari dominasi produksi pertanian ke produksi industri terjadi. Hal ini
juga mengakibatkan pergeseran tempat tinggal dari desa ke kota.
Tranformasi secara kultural terjadi pada sektor perluasan pendidikan
dan peningkatan peran wanita dalam pekerjaan yang berkaitan dengan
perubahan pada dinamika keluarga dan masyarakat. Sementara itu,
perubahan ekonomi, sosial, dan kultur secara epidemiologi juga terjadi.
Perubahan pada aspek kultur yang dihubungkan dengan modrenisasi
mempunyai 2 akibat yang berlawanan; sebagian dampaknya
menurunkan tingkat kasus penyakit menular dan reproduksi, dan di
saat bersamaan mengakibatkan peningkatan penyakit tidak menular
dan kecelakaan.
3. Perbaikan organisasi dan teknologi pelayanan kesehatan yang
berpengaruh pada Crude Fatality Rate (CFR). Terjadi perubahan dalam
jumlah, distribusi, organisasi dan kualitas pelayanan kesehatan yang

8
mempengaruhi transisi epidemiologi dengan teknik diagnosis dan
terapi yang baik maka CFR dapat diturunkan.
4. Intervensi pengobatan.
Pengaruh dari aspek ini adalah berkurangnya kemungkinan
kematian penderita. Pada penderita penyakit kronis hal ini secara pasti
menyebabkan kenaikan angka kesakitan. Hal disebabkan oleh durasi
rata-rata sakit.

E. Pendekatan Epidemiologi Penyakit Tidak Menular


Epidemiologi bertujuan mengkaji distribusi dan faktor – faktor
yang mempengaruhi terjadinya PTM dalam masyarakat. Oleh karena itu,
pendekatan metodologik, yaitu dengan melaksanakan beberapa penelitian
dinilai sangat perlu. Penelitian untuk penyakit tidak menular juga dikenal
sebagai penelitian Observasional dan Eksperimental, sama halnya dengan
penelitian epidemiologi pada umumnya. Perbedaannya terletak pada
jangka waktu berlangsungnya yang lama sehingga penelitian PTM
umumnya merupakan penelitian observasional. Beberapa penelitian
terhadap PTM yang merupakan Penelitian Observasional antara lain:
1. Penelitian Cross-Sectional
Studi cross sectional adalah studi epidemiologi yang menganalisis
prevalensi, distribusi, maupun hubungan penyakit dan paparan dengan
cara observasional secara serentak pada beberapa individu dari suatu
populasi pada suatu saat. (Bhisma Murti, 2003).
2. Penelitian Kasus Kontrol
Studi kasus control merupakan kajian observasional yang menilai
hubungan paparan penyakit melalui penentuan sekelompok orang-
orang berpenyakit (kasus) dan yang tidak berpenyakit (kontrol).
Frekuensi paparan pada kedua kelompok tersebut kemudian
dibandingkan (Last, 2001).

9
3. Penelitian Kohort
Studi kohort adalah penelitian epidemiologik yang bersifat
observasional dengan membandingan antara kelompok yang terpapar
dengan yang tidak terpapar yang dilihat dari akibat yang ditimbulkan.
Dasar penelitian kohort adalah unsur akibat pada masa yang akan
datang. (Azrul A, 2002).

F. Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular


Faktor penyebab dalam Penyakit Tidak Menular dikenal dengan istilah
Faktor risiko (risk factor). Istilah ini berbeda dengan istilah etiologi pada
penyakit menular atau diagnosis klinis. Macam – macam Faktor risiko:
1. Menurut Dapat – Tidaknya Resiko itu diubah :
a. Unchangeable Risk Factors
Faktor risiko yang tidak dapat diubah. Misalnya : Umur, Genetik
b. Changeable Risk Factors
Faktor risiko yang dapat berubah. Misalnya : kebiasaan merokok,
olah raga.
2. Menurut Kestabilan Peranan Faktor risiko :
a. Suspected Risk Factors (Faktor risiko yg dicurigai)
Yaitu Faktor risiko yang belum mendapat dukungan
ilmiah/penelitian, dalam peranannya sebagai faktor yang
memengaruhi suatu penyakit. Misalnya merokok yang merupakan
penyebab kanker leher rahim.
b. Established Risk Factors (Faktor risiko yang telah ditegakkan)
Yaitu Faktor risiko yang telah mendapat dukungan
ilmiah/penelitian, dalam peranannya sebagai faktor yang
mempengaruhi kejadian suatu penyakit. Misalnya, rokok sebagai
Faktor risiko terjadinya kanker paru. Perlunya dikembangkan
konsep Faktor risiko ini dalam Epidemiologi PTM dikarenakan
beberapa alasan, antara lain :

10
1) Tidak jelasnya kausa PTM terutama dalam hal ada tidaknya
mikroorganisme dalam PTM.
2) Menonjolnya penerapan konsep multikausal pada PTM.
3) Kemungkinan terjadinya penambahan atau interaksi antar
resiko.
4) Perkembangan metodologik telah memungkinkan untuk
mengukur besarnya Faktor risiko.
Penemuan mengenai faktor risiko timbulnya penyakit tidak
menular yang bersifat kronis secara keseluruhan masih belum ada,
karena:
1) Untuk setiap penyakit, Faktor risiko dapat berbeda-beda
(merokok, hipertensi, hiperkolesterolemia).
2) Satu Faktor risiko merupakan penyebab timbulnya berbagai
macam penyakit, misalnya merokok yang dapat menimbulkan
kanker paru, penyakit jantung koroner, kanker larynx.
3) Untuk kebanyakan penyakit, faktor-Faktor risiko yang telah
diketahui hanya dapat menjelaskan sebagian kecil kasus suatu
penyakit, tetapi etiologinya belum diketahui secara pasti.
Faktor-Faktor risiko yang telah ditemukan serta memiliki kaitan
dengan penyakit tidak menular yang bersifat kronis antara lain :
1) Tembakau 7) Aktivitas
2) Alcohol 8) Stress
3) Kolestrol 9) Pekerjaan
4) Hipertensi 10) Lingkungan masyarakat
5) Diet sekitar
6) Obesitas 11) Life style

G. Kegunaan Identifikasi Faktor Risiko


Dengan mengetahui Faktor risiko dalam terjadinya penyakit maka dapat
digunakan untuk :

11
1. Prediksi
Untuk meramalkan kejadian penyakit. Misalnya: Perokok berat
beresiko 10 kali lebih besar untuk terserang Ca Paru daripada mereka
yang tidak merokok.
2. Penyebab
Kejelasan dan beratnya suatu Faktor risiko dapat dijadikan patokan
sebagai penyebab suatu penyakit. Akan tetapi, hal ini memerlukan
suatu kondisi di mana syarat yang ada telah menghapuskan faktor–
faktor pengganggu (Confounding Factors).
3. Diagnosis
Dapat membantu dalam menegakkan diagnosa.
4. Prevalensi
Jika suatu Faktor risiko adalah penyebab suatu penyakit, tindakan
pencegahan penyakit dapat segera dilaksanakan.

H. Kriteria Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular


Untuk memastikan bahwa status sebab layak disebut sebagai Faktor
risiko, 8 kriteria (menurut Austin Bradford Hill) harus dipenuhi. Kriteria
tersebut yaitu:
1. Kekuatan hubungan
Yaitu adanya resiko relatif yang tinggi.
2. Temporal
Kausa mendahului akibat.
3. Respon terhadap dosis
Makin besar paparan, makin tinggi kejadian penyakit.
4. Reversibilitas
Penurunan paparan akan diikuti penurunan kejadian penyakit.
5. Konsistensi
Kejadian yang sama akan terulang pada waktu, tempat dan penelitian
yang lain.

12
6. Kelayakan biologis
Sesuai dengan konsep biologi.
7. Specifitas
Satu penyebab menimbulkan Satu Akibat.
8. Analogi
Ada kesamaan untuk penyebab dan akibat yang serupa.

I. Upaya-Upaya Pencegahan
Prinsip upaya pencegahan lebih baik dari sebatas pengobatan.
Tingkatan pencegahan dalam Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
terbagi menjadi 4, yaitu :
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan ini bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi yang
menghalau penyakit untuk dapat berkembang di tengah masyarakat.
Hal ini dilakukan melalui perubahan kebiasaan, gaya hidup maupun
kondisi lain yang merupakan Faktor risiko untuk munculnya statu
penyakit, misalnya, menciptakan prakondisi dimana masyarakat yakin
bahwa merokok adalah perilaku tidak sehat sehingga mereka
memutuskan untuk tidak lagi merokok.
2. Pencegahan Tingkat Pertama
a. Promosi Kesehatan Masyarakat : Kampanye kesadaran masyarakat,
promosi kesehatan pendidikan kesehatan masyarakat.
b. Pencegahan Khusus : Pencegahan keterpaparan, pemberian
kemopreventif
3. Pencegahan Tingkat Kedua
a. Diagnosis Dini, misalnya dengan screening.
b. Pengobatan, misalnya dengan kemotherapi atau pembedahan
4. Pencegahan Tingkat Ketiga adalah dengan cara Rehabilitasi.

13
J. Jenis-Jenis Penyakit Tidak Menular
Penyakit tidak menular yaitu penyakit yang tidak dapat ditularkan
kepada orang lain. Penyakit tidak menular umumnya disebabkan oleh
faktor keturunan dan gaya hidup yang tidak sehat. Sesorang yang dekat
atau bersentuhan dengan penderita tetap tidak akan tertular penyakit
tersebut.
Penyakit tidak menular dijabarkan sebagai penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya organ manusia ataupun penyakit yang
termasuk dalam kategori penyakit degenerarif (faktor usia). Beberapa
contoh penyakit tidak menular adalah penyakit jantung, stroke, diabetes
dan penyakit lainnya. Penyakit tidak menular umumnya diderita oleh
seseorang yang tidak menjaga kesehatan dan tidak mampu menjaga pola
kesehatan tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang
yang mengalami sakit tidak menular tidak disebabkan oleh bakteri, virus,
maupun juga kuman. Oleh karena itu, pengidap penyakit tidak menular
tidak perlu cemas dalam menangani penyakitnya.
Saat ini di Indoneisa terdapat kurang lebih 30 jenis penyakit tidak menular
yaitu:
1. Hipertensi 16. Glukoma
2. Diabetes 17. Gagal Ginjal
3. Ashma Bronchiale 18. Alzheimer
4. Osteoporosis 19. Varises
5. Depresi 20. Keloid
6. Keracunan makanan/minuman 21. Usus Buntu
7. Sariawan 22. Varikokel
8. Rematik 23. Amandel
9. Stroke 24. Ambeien
10. Kanker 25. Asam Urat
11. Maag 26. Kolesterol
12. Asam Lambung 27. Migrain
13. Tukak Lambung 28. Vertigo

14
14. Obesitas 29. Katarak
15. Diabetes Melitus 30. Penyakit Jiwa
Berdasarkan jenis penyakit tidak menular diatas, maka terdapat
beberapa jenis penyakit tidak menular yang memiliki tingkat prevalensi
yang tinggi dan pada umumnya sering dialami oleh masyarakat, penyakit
tersebut adalah penyakit gagal jantung, Ashma bronchiale penyakit
Hipertensi, Kanker serviks, Diabetes mellitus, Gagal ginjal kronik
penyakit mata atau Katarak, penyakit Rematik, penyakit Obesitas dan
penyakit Jiwa.

K. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular


1. Epidemiologi Penyakit Gagal Jantung
a. Pengertian Penyakit Gagal Jantung
Gagal jantung (decompensatio cordis) adalah keadaan
patofisiologik yang sangat bervariasi dan kompleks. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya penyakit penyebab gagal jantung,
seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan sebagainya. Gagal jantung
dan respon kompensatoriknya menimbulkan kelainan pada tiga
faktor penentu utama dari fungsi miokardium, yaitu beban awal
(preload), kontraktilitas dan beban akhir (afterload).
Gagal jantung merupakan kondisi patofisiologik di mana
jantung sebagai pompa tidak dapat memenuhi kebutuhan darah
untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini
adalah definisi gagal relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh
sedangkan penekanan arti gagal merujuk pada fungsi pompa
jantung secara keseluruhan. Gagal jantung kongestif adalah
keadaan saat bendungan sirkulasi terjadi akibat gagal jantung dan
mekanisme kompensatoriknya.
Gagal jantung kongestif sangat berbeda dengan gagal
sirkulasi, yang menjelaskan ketidakmampuan sistem

15
kardiovaskuler dalam melakukan perfusi jaringan dengan
memadai.
b. Etiologi Penyakit Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi yang umum terjadi
dibandingkan segala jenis penyakit jantung kongenital. Mekanisme
fisiologis penyebab gagal jantung meliputi berbagai kondisi yang
meningkatkan beban awal, beban akhir, atau menurunkan
kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan
beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel,
sedangkan stenosis aorta dan hipertensi sistemik akan
meningkatkan beban akhir. Kontraktilitas miokardium dapat
menurun karena infark miokardium dan kardiomiopati.
Selain dari ketiga mekanisme fisiologis tersebut, ada beberapa
faktor fisiologis lain yang juga menimbulkan jantung tidak dapat
bekerja sebagai pompa, seperti stenosis katup atrioventrikularis
dapat mengganggu pengisian ventrikel, dan tamponade jantung
yang dapat mengganggu pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel.
Abnormalitas penghantaran kalsium di dalam sarkomer atau dalam
sintesisnya serta fungsi dari protein kontraktil diyakini sebagai
penyebab gangguan kontraktilitas miokardium yang dapat
mengakibatkan gagal jantung.
Faktor-faktor pemicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa:
1) Aritmia, hal ini mengganggu fungsi mekanis jantung dengan
mengubah rangsangan listrik yang memulai respon mekanis.
Respon mekanis yang tersinkronisasi dan efektif tidak akan
dihasilkan jika ritme jantung tidak stabil.
2) Infeksi sistemik dan infeksi paru-paru. Respon tubuh terhadap
infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme yang meningkat.

16
3) Emboli paru-paru, secara tidak terduga akan meningkatkan
resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan yang memicu
terjadinya gagal jantung kanan. Penanganan yang efektif
terhadap gagal jantung memerlukan pengenalan dan prosedur
terhadap faktor-faktor pemicu gagal jantung, tidak saja
terhadap mekanisme fisiologis dan penyakit yang
mendasarinya.
c. Faktor Risiko Penyakit Gagal Jantung
1) Faktor Presipitasi
Misalnya infark miokard, kelainan katub jantung, infeksi
(terutama infeksi saluran pernapasan), infark paru, aritmia
(misalnya fibrilasi atrium), terhentinya pengobatan penyakit
jantung, kelelahan, makan garam yang berlebihan, anemia.
2) Faktor diluar jantung (ekstra kardial)
Misalnya anemia, hipertensi, tirotoksikosis, miksedema,
fistulabarteriovenousa polisitemia vera dan penyakit paget juga
pengobatan endokarditis
d. Pathogenesa
Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang
menurun pada gagal jantung akan menyebabkan gangguan
kemampuan pengosongan ventrikel. Hal ini menyebabkan volume
residu ventrikel meningkat akibat berkurangnya stroke volume
yang diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut. Meningkatnya EDV (
End Diastolic Volume ), akan memicu peningkatan LVEDP (Left
Ventricle End Diastolic Pressure ), yang mana derajat
peningkatannya bergantung pada kelenturan ventrikel. Peningkatan
LVEDP akan meningkatkan LAP (Left Atrium Pressure) selama
diastol atrium dan ventrikel berhubungan langsung. Akibatnya,
tekanan kapiler dan vena paru-paru juga akan meningkat. Jika
tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik

17
vaskular, transudasi cairan ke interstitial akan terjadi. Kemudian,
edema paru terjadi jika cairan tersebut merembes ke dalam alveoli.
e. Diagnosa
Dekompensasio kordis dapat diketahui dengan munculnya
tanda dan gejala yang bisa muncul bertahap/ kronik, tetapi dapat
pula mendadak dengan tanda oedem paru akut maupun syok.
1) Anamnese untuk mengetahui gejala klinis dan faktor risiko
pencetus. Biasanya akut berupa sesak napas dyspnoe d‘effort,
paroxysmal noctural dyspnoe dan ortopnoe. Pernapasan cheyne
stokes, batuk mungkin hemoptu yang warna merah muda
dengan riak encer berbuih (frothy sputum), pingsan, nyeri dada,
gangguan gastrointestinal berupa anoreksia dan rasa kembung/
cepat kenyang, bengkakn pada kedua kaki, nyeri epigastrium/
perempat perut kanan atas.
2) Pemeriksaan fisik
Auskultasi didapati ronchi basah halus, tidak nyaring
didaerah basal paru, efusi pleura, kelainan jantung seperti
pembesaran, gallop, bising, takikardi, oedem pada pergelangan
kaki yang bersifat pitting, asites. Tekanan vena jugularis
meninggi, hepato-jugularis refluks, pulsasi positif. Pembesaran
hati yang mula-mula; lunak tepi tajam, nyeri tekan lama
kelamaan mengeras, tumpul, tidak nyeri tekan.
3) Pemeriksaan penunjang
Roentgen: hilli membesar dan di paru terlihat bayangan
garis lebih banyak dari biasa serta jantung membesar (CTR >
50%), bias tampak efusi pleura. Gangguan fungsi hati tapi
perbandingan albumin- globulin tetap. Dapat terjadi gangguan
ginjal: albuminuria (1+), silinder hialin, granuler, kadar ureum
meninggi (60-100/ mg%), kreatinin, oliguria, nokturia. Dapat
terjadi hiponatremia, hipokalemia, dan hipokloremia.
4) Kriteria risiko : Risiko rendah

18
Yang masuk pada kelompok risiko rendah apabila mulai
dari anamnesa, pemeriksaan fisik, identifikasi factor risiko dan
kalau memungkinkan pemeriksaan penunjang menunjukkan
adanya nilai atau hasil pemerikasaan yang tidak
mengkhawatirkan atau dalam batas normal, namun
mennjukkan adanya gej ala dini dari penyakit tersebut. Risiko
tinggi Sedangkan yang masuk kriteria risiko tinggi adalah
pemeriksaan yang dilakukan menunjukkan nilai diatas batas
normal, dengan keadaan fisik yang mengkhawatirkan.
f. Kemungkinan Komplikasi
Efek gagal jantung diklasifikasikan sebagai gagal jantung ke
depan (curah tinggi) dan gagal jantung ke belakang (curah rendah).
Gagal jantung curah rendah terjadi saat jantung tidak dapat
mempertahankan curah jantung sistemik normal. Jantung yang
tidak mampu mempertahankan curah jantung yang tinggi
disebabkan oleh kebutuhan yang meningkat disebut sebagai gagal
curah tinggi. Kedua kasus ini terdiri dari dominan sisi kiri dan
dominan sisi kanan.
Beberapa gambaran klinik gagal curah rendah kanan adalah
hepatomegali, peningkatan vena jugularis, kongesti sistemik pasif,
edema tungkai. Sedangkan edema paru, hipoksemia, dispnea,
hemoptisis, kongesti vena paru, dispnea waktu bekerja, PND,
hipertensi pulmonal, hipertrofi dan gagal ventrikel kanan
merupakan gambaran gagal curah rendah.
Gagal curah tinggi kanan juga meliputi kematian mendadak,
penurunan aliran arteri pulmonalis (efek klinis minimal). Curah
tinggi kiri mencakup kematian mendadak, syok kardiogenik,
sinkop, hipotensi, penurunan perfusi jaringan, vasokontriksi ginjal,
retensi cairan, edema.
Kemungkinan terjadi Efusi Pleura, penyebab terbanyak adalah
decompensatio cordis. Sementara itu, perikarditis konstriktiva, dan

19
sindroma vena kava superior diyakini sebagai penyebab lain kasus
tersebut. Patogenesisnya merujuk pada akibat terjadinya
peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding
dada. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan filtrasi pada
pleura parietalis. Di samping itu, tekanan kapiler pulmonal yang
meningkat akan berakibat pada penurunan kapasitas reabsorpsi
pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening (terhalang).
Akibatnya adalah peningkatan filtrasi cairan ke rongga pleura dan
paru-paru.
Meningkatnya tekanan hidrostatik pada seluruh rongga dada
juga merupakan penyebab efusi pleura yang bilateral. Akan tetapi,
penyebab kecenderungan terjadinya efusi pleuranya pada sisi
kanan masih sulit untuk dijelaskan.
Terapi bertujuan mengatasi penurunan kinerja jantung. Jika
kelainan jantungnya dapat diatasi dengan istirahat, digitalis,
diuretik dll, efusi pleura dapat segera dihilangkan. Torakosentesis
dapat dilakukan bila penderita amat sesa
g. Penatalaksanaan
1) Non Medikamentosa
Istirahat merupakan fokus dari pengobatan non-
medikamentosa. Dalam penatalaksanaanya, kerja jantung
dalam keadaan dekompensasi harus benar-benar dikurangi
dengan cara tirah baring (bed rest). Hal ini dikarenakan oleh
konsumsi oksigen yang relatif meningkat.
Beberapa gejala jantung seringkali jauh berkurang dengan
cara istirahat saja. Diet yang dilakukan umumnya meliputi
konsumsi makanan lunak dengan rendah garam. Konsumsi
jumlah kalori disesuaikan dengan kebutuhan. Penderita dengan
gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein.
Cairan diberikan sebanyak 80–100 ml/kgbb/hari dengan
maksimal 1500 ml/hari.

20
2) Medikamentosa
Pengobatan dengan cara medikamentosa masih
menggunakan diuretik oral maupun parenteral yang dikenal
sebagai pengobatan andalan pada kasus gagal jantung. Sampai
edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor
atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat
diberikan setelah euvolemik hingga dosis optimal. Penyekat
beta dosis kecil sampai optimal juga dapat diberikan setelah
diuretik dan ACE-inhibitor tersebut dimulai. Digitalis diberikan
jika terdapat aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau
SVT lainnya). Digitalis memiliki peran utama dalam
menambah kekuatan dan kecepatan kontraksi otot. Jika ketiga
obat diatas belum memerikan hasil yang optimal, Aldosteron
antagonis digunakan guna memperkuat efek diuretik atau
diberikan untuk pasien dengan hipokalemia. Beberapa studi
telah menunjukkan penurunan mortalitas melalui pemberian
jenis obat ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti
Brain N atriuretic Peptide (Nesiritide) sedang dikaji satt ini.
Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac Resychronization
Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD
(Intra-Cardiac Defibrillator) sebagai alat pencegah mati
mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun
noniskemia dapat memulihkan status fungsional dan kualitas
hidup. Kendalanya adalah biaya yang terbilang mahal.
Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard juga belum
dapat dilakukan karena kendala pada minimalnya jumlah
miokard yang dapat ditumbuhkan untuk mengganti miokard
yang rusak. Di samping itu, metode ini juga masih perlu diteliti
lebih lanjut.

21
h. Upaya Pencegahan
1) Pencegahan Primordial
2) Pencegahan Primer/Tingkat
Pertama Pencegahan pada tingkat ini dimaksudkan dengan
melakukan promosi kesehatan seperti penyuluhan tentang
penyakit decompensasio cordis kepada masyarakat dan
diharapkan masyarakat paham dan mampu mencegah penyakit
tersebut melalui pola hidup sehat sebelum terkena penyakit
tersebut.
3) Pencegahan Sekunder/Tingkat Kedua
Pencegahan tingkat dua berupa melakukan deteksi dini
dengan pemeriksaan rutin tentang kerja jantung sehingga dapat
segera melakukan penanganan medis bila terdapat kelainan
atau ketidakstabilan kerja jantung yang menjurus pada gej ala
atau tanda-tanda penyakit decompensasio cordis.
4) Pencegahan Tersier/Tingkat Ketiga
Yaitu berupa pengobatan yang terdiri dari:
a) Pengurangan Kerja Jantung
Pembatasan aktivitas fisik yang ketat adalah
tindakan awal yang sederhana namun efektif dalam
penanganan gagal jantung. Penangangan ini tidak boleh
memaksakan larangan guna menghindari kelemahan otot-
otot rangka sebab hal ini dapat mengakibatkan intoleransi
terhadap latihan fisik. Tirah baring dan aktivitas yang
terbatas juga dapat menimbulkan flebotrombosis.
Pemberian antikoagulansia dibutuhkan pada pembatasan
aktivitas yang ketat guna mengendalikan gejala.
b) Pengurangan Beban Awal
Pembatasan garam dalam makanan bertujuan
mengurangi beban awal dengan melalui turunnya retensi
cairan. Jika gejala-gejala menetap dengan pembatasan

22
garam yang sedang, maka pemberian diuretik oral
dibutuhkan guna mengatasi retensi natrium dan air.
Rejimen diuretik umumnya diberikan maksimal sebelum
dilakukan pembatasan asupan natrium yang ketat. Diet
yang tidak mempunyai rasa dapat menurunkan nafsu makan
dan gizi yang buruk. Vasodilatasi dari anyaman vena
mampu menurunkan beban awal dengan cara redistribusi
darah dari sentral ke sirkulasi perifer. Venodilatasi
menyebabkan darah mengalir ke perifer dan sehingga alir
balik vena ke jantung berkurang. Pada situasi yang ekstrim,
pengeluaran cairan melalui hemodialisis mungkin
diperlukan untuk menunjang fungsi miokardium.
c) Peningkatan Kontraktilitas
Obat-obat inotropik meningkatkan kekuatan
kontraksi miokardium. Dua golongan obat inotropik yang
dapat dipakai adalah glikosida digitalis dan obat
nonglikosida. Obat-obat inotropik juga memulihkan fungsi
ventrikel melalui pergeseran seluruh kurva fungsi ventrikel
kiri ke atas dan ke kiri sehingga curah jantung lebih besar
pada volume dan tekanan akhir diastolik tertentu.
Peningkatan aliran ke depan mengakibatkan penurunan
dalam volume ventrikel residu (EDV). Dengan menurunnya
EDV, titik optimal padaa kurva fungsi ventrikel akan
dicapai, yang mana gejala-gej ala mereda dan curah jantung
dipertahankan.
d) Pengurangan Beban Akhir
Dua respons kompensatorik terhadap gagal jantung
yaitu aktivasi sistem saraf simpatik dan sistem renin-
angiotensinaldosteron, menghasilkan vasokonstriksi dan
kemudian meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel
dan beban akhir. Kinerja jantung bertambah dan curah

23
jantung menurun melalui peningkatan beban akhir.
Vasodilator arteria akan menekan efekefek negatif tersebut.
Vasodilator yang sering dipakai mengakibatkan dilatasi
anyaman vaskular melalui dua cara, yaitu dilatasi langsung
dari otot polos pembuluh darah atau menghambat enzim
konversi angiotensin.
Vasodilator arteria mengurangi tahanan terhadap
ejeksi ventrikel. Akibatnya ejeksi ventrikel dapat lebih
mudah dan lebih sempurna. Dengan kata lain, beban
jantung berkurang dan curah jantung meningkat. Dengan
penanganan yang optimal, tekanan arteria biasanya tidak
turun secara bermakna, karena peningkatan curah jantung
menghilangkan kemungkinan penurunan tekanan yang
biasanya timbul jika pasien hanya diberikan vasodilator
saja.
2. Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks
a. Pengertian Penyakit Kanker Serviks
Kanker serviks adalah keganasan yang berasal dari serviks.
Serviks yaitu sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris,
menonjol dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri
eksternum. Pengertian Kanker serviks adalah suatu proses
keganasan yang terjadi pada leher rahim, sehingga jaringan di
sekitarnya tidak dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya.
Keadaan tersebut biasanya disertai dengan adanya perdarahan dan
pengeluaran cairan vagina yang abnormal, penyakit ini dapat
terjadi berulang-ulang.
Kanker serviks dimulai dengan adanya suatu perubahan
dari sel leher rahim normal menjadi sel abnormal yang kemudian
membelah diri tanpa terkendali. Sel leher rahim yang abnormal ini
dapat berkumpul menjadi tumor. Tumor yang terjadi dapat bersifat
jinak ataupun ganas yang akan mengarah ke kanker dan dapat

24
menyebar. Dari dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada leher rahim dengan
hiperplasi sel jaringan sekitar sampai menjadi sel yang membesar,
menjadi borok/luka yang mengeluarkan cairan yang berbau busuk.
b. Gejala Kanker Serviks
Gejala dini yang dapat dikategorikan kedalam klasifikasi kanker
serviks adalah:
1) Keputihan (fluor albus)
2) Contact bleeding (perdarahan yang terjadi ketika bersetubuh)
3) Merasakan sakit ketika sedang bersenggama
4) Terjadi perdarahan meski telah memasuki masa menopause
Dalam perjalannya, kanker serviks (kanker mulut rahim)
membutuhkan waktu yang cukup lama dari kondisi normal sampai
menjadi kanker. Dalam penelitian secara epidemiologic dan
labotorik ada beberapa factor yang berperan secara langsung
maupun tidak langsung. Dalam pemantauan perjalanan penyakit,
diagnosis displasia (pembentukan atau perkembangan sel secara
tidak beraturan) sering ditemukan pada usia 20 tahunan. Karsinoma
in situ (sel abnormal yang muncul pada organ pertama kali dan
belum menyebar ke balian lain) pada usia 25-35 tahun dan kanker
serviks invasive pada usia 40 tahun.
Kondisi prakanker sampai karsinoma in situ stadium awal
sering tidak menunjukkan gejala karena proses penyakitnya berada
didalam lapisan epitel dan belum menimbulkan perubahan yang
nyata dari mulut Rahim. Pada akhirnya gejala yang ditimbulkan
adalah keputihan, perdarahan setelah bersenggama dan
mengeluarkan cairan encer dari vagina. Kemudian jika sudah
memasuki masa invasive akan ditemukan gejala seperti perdarahan
spontan, perdarahan setelah bersenggama, keluarnya cairan
keputihan dan rasa tidak nyaman saat melakukan hubungan
seksual.

25
Penularan penyakit kanker ini dapat melalui hubungan seksual.
Ditemukan tingginya kejadian penyakit kanker serviks pada
perempuan lajang yang menikah pada usia muda. Terdapat pula
peningkatan dua kali lipat pada perempuan yang memulai
berhubungan seksual sebelum usia 16 tahun. Apabila seorang
perempuan menikah dengan laki-laki yang pernah mempunyai istri
yang menderita penyakit kanker serviks, maka kejadian penyakit
kanker pada sekelompok perempuan tersebut mengalami
peningkatan.
Dalam melakukan tahap pengobatan kanker serviks ditentukan
oleh tingkat keparahan penyakit kanker serviks tersebut. Umumnya
pada stadium awal tindakan operasi menjadi yang paling awal
dilakukan. Pilihan modalitas pengobatan lain seperti penyinaran
dan pemberian sitostatika (kemoterapi) dilakukan pada kasus yang
lanjut atau khusus. Ada juga tindakan pengobatan berupa gabungan
yang terdiri dari operasi dan radiasi; operasi dan kemoterapi;
radiasi dan kemoterapi; atau operasi, radiasi dan kemoterapi.
c. Faktor Risiko
Penyebab kanker serviks diketahui adalah virus HPV (Human
Papiloma Virus) sub tipe onkogenik, terutama sub tipe 16 dan 18.
Adapun factor risiko terjadinya kanker serviks antara lain: aktivitas
seksual pada usia muda, berhubungan seksual dengan multipartner,
merokok, mempunyai anak banyak, social ekonomi rendah,
pemakaian pil KB (dengan HPV negative atau positif), penyakit
menular seksual, dan gangguan imunitas.
d. Deteksi Dini
Deteksi lesi pra kanker terdiri dari berbagai metode:
1) Papsmear (konvensional atau liquid-base cytology /LBC)
2) Inspeksi visual asam asetat (IVA)
3) Inspeksi Visual Lugoliodin (VILI)
4) Tes DNA HPV (genotyping / hybrid capture)

26
e. Pengobatan Kanker Serviks
Ada beberapa pilihan penanganan yang bisa dilakukan. Antara lain
dengan operasi, radioterapi, dan kemoterapi sistemik. Hal tersebut
dapat dilakukan apabila sudah terlebih dahulu melakukan
informend consent.
1) Operasi
Metode operasi cocok diterapkan pada pasien kanker
serviks stadium awal, umumnya dilakukan operasi radikal,
yaitu pemotongan pada bagian serviks, sebagian vagina dan
beberapa jaringan rahim. Selain itu, metode ini juga dapat
membersihkan kelenjar getah bening di kedua sisi pelvis.
Kelebihan metode ini antara lain dapat membersihkan lesi
kanker dan durasi pengobatan singkat, namun ada beberapa
kekurangan yang juga perlu diperhatikan, seperti jangkauan
operasi luas, menimbulkan luka, serta rawan terjadi komplikasi,
seperti pendarahan, infeksi pelvis, kista pada limfa, infeksi
saluran kemih dan fistula vagina.
2) Radioterapi
Metode ini cocok diterapkan pada seluruh pasien kanker
serviks, termasuk pasien yang sudah memasuki stadium lanjut.
Bagi pasien usia lanjut dan gangguan jantung, radioterapi
adalah salah satu pengobatan yang umum dipilih. Namun,
radioterapi umumnya juga disertai dengan komplikasi, seperti
infeksi usus dan kandung kemih, sehingga diperlukan
pengobatan dan perawatan lanjutan untuk pemulihan. Pada
pasien stadium lanjut, radioterapi dapat menimbulkan fistula
vagina dan fistula usus.
3) Kemoterapi Sistemik
Pada pengobatan kanker serviks, kemoterapi adalah salah
satu metode pengobatan yang banyak digunakan. Karena
banyak pasien yang terdiagnosa saat sudah memasuki stadium

27
lanjut, sehingga mereka tidak lagi dapat menjalani operasi.
Namun harus diakui, obat kemoterapi umumnya memiliki efek
samping yang besar, selain membunuh sel kanker, obat juga
akan merusak jaringan dan fungsi normal sel-sel di sekitarnya,
sehingga sel imun tubuh pasien juga menurun drastis. Ini dapat
menyebabkan nafsu makan menurun, mual, muntah, diare,
rambut rontok dan sebagainya.
3. Epidemiologi Penyakit Diabetes Melitus
a. Pengertian Diabetes Melitus
Kata “Diabetes Melitus” berasal dari Bahasa latin yaitu
diabetes yang berarti penerusan, dan melitus berarti manis.
Penyakit Diabetes Melilitus (DM) adalah penyakit kronis yang
ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat
adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh. Gangguan
metabolisme tersebut disebabkan karena kurangnya produksi
hormon insulin yang diperlukan tubuh. Penyakit ini juga dikenal
sebagai penyakit kencing manis atau penyakit gula darah. Penyakit
diabetes merupakan penyakit endokrin yang paling banyak
ditemukan.4 Menurut WHO, pada tahun 2000 jumlah penderita
Diabetes Melitus yaitu 171 juta jiwa dan akan meningkat 2 kali,
366 juta pada tahun 2030. Di Indonesia, prevalensi penderita
Diabetes Melitus mencapai 8.426.000 dan diperkirakan pada tahun
2030 akan mencapai 21.257.000 jiwa.
b. Tipe Diabetes Melitus
Berdasarkan penyebab dasarnya, penyakit diabetes melitus dibagi
menjadi empat bagian yaitu sebagai berikut:
1) Diabetes Melitus tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 umumnya terjadi pada anak-anak
hingga remaja. Oleh karena itu tipe diabetes melitus ini disebut
juga dengan sebutan juvenile diabetes. Adapun penyebab dasar
dari diabetes tipe 1 ini adalah karena adanya kerusakan atau

28
kesalahan genetik pada sel pankreas sehingga sistem imun
terganggu sehingga tidak bisa menghasilkan hormon insulin.
Penderita diabetes tipe 1 ini sangat tergantung dengan insulin
dari luar sehingga disebut juga dengan insulin dependent
diabetes.
2) Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh tubuh tidak mampu
merespon hormon insulin sehingga tubuh tidak mampu
memanfaatkan insulin yang dihasilkan oleh organ pankreas.
Pankreas telah memproduksi insulin secara normal namun
hormon yang dihasilkan tidak bisa dimanfaatkan oleh tubuh
secara efektif. Tubuh bersifat resisten terhadap hormon insulin.
Ketidakmampuan tubuh dalam memanfaatkan hormon insulin
dikarenakan sel-sel tubuh bersaing berat dangan sel-sel lemak
dalam tubuh. Hormon insulin banyak dihisap oleh sel-sel lemak
yang menumpuk dalam tubuh. Inilah yang menjadi alasan
mengapa diabetes melitus tipe 2 lebih banyak terjadi pada
orang-orang yang memiliki pola hidup dan pola makan yang
buruk sehingga dapat mengakibatkan penimbunan lemak atau
kegemukan. Kegemukan akan mengganggu sistem kerja
pankreas juga mengganggu sistem metabolisme tubuh.
Diabetes tipe 2 ialah penyakit diabetes yang paling banyak
menimpa para penderita dibanding penyakit diabetes tipe
lainnya. Bahkan persentasenya bisa mencapai 90% dari
keseluruhan penderita diabetes melitus. Diabetes tipe 2
memiliki perkembangan yang sangat lambat yaitu biasa sampai
bertahun-tahun.
3) Diabetes Melitus Tipe 3
Diabetes Melitus Tipe 3 merupakan gabungan dari diabetes
tipe 1 dan tipe 2. Hal ini terjadi ketika penderita diabetes
melitus 1 secara terus menerus disuntik insulin, ada sebagian

29
penderita menjadi resisten terhadap hormon dari luar tersebut
sehingga dia menderita tipe 2 sekaligus. Diabetes melitus tipe 3
juga bisa terjadi karena penderita diabetes melitus tipe 2
mengkonsumsi obat-obatan yang merangsang produksi insulin
lebih banyak sehingga pankreas menjadi lelah dan lemas.
Dalam jangka panjang, pankreas akan rusak sehingga produksi
menjadi sangat sedikit atau terhenti sama sekali. Maka jadilah
tipe diabetes gabungan yaitu tipe 2 dan 1 yang dinamakan
diabetes melitus tipe 3.
4) Diabetes Melitus Gestational
Diabetes Melitus Gestational adalah diabetes melitus yang
terjadi karena dampak kehamilan.
c. Penyebab Penyakit Diabetes Melitus
Insulin dihasilkan oleh sel Beta Pulau Langrhans Pankreas
yang berfungsi untuk mempertahankan kadar gula normal dalam
darah dengan cara mengubah glukosa dalam darah menjadi
glikogen dan disimpan di dalam otot sebagai cadangan tenaga.
Berkurangnya insulin dapat mengakibatkan glukosa darah tinggi
(hiperglikemi) karena insulin tidak ada atau tidak cukup. Maka dari
itu, indikator utama Diabetes Melitus ialah kadar gula dalam darah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya gula darah yaitu
sebagai berikut:
1) Menurunnya produksi insulin
2) Meningkatnya penyerapan karbohidrat dari usus
3) Meningkatnya ambilan glukosa dari jaringan
4) Meningkatnya produk glukosa dari organ hati.
d. Faktor Risiko Diabetes Melitus
1) Genetik
Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko dari
penyakit Diabetes Melitus. Sekitar 50% penderita diabetes tipe
2 mempunyai orang tua yang menderita diabetes, dan lebih dari

30
sepertiga penderita diabetes mempunyai saudara yang
mengidap diabetes. Diabetes tipe 2 lebih banyak kaitannya
dengan faktor genetik dibanding diabetes tipe 1.
2) Ras atau etnis
Ras Indian di Amerika, Hispanik dan orang Amerika
Afrika, mempunyai risiko lebih besar untuk terkena diabetes
tipe Hal ini disebabkan karena ras-ras tersebut kebanyakan
mengalami obesitas sampai diabetes dan tekanan darah tinggi.
Pada orang Amerika di Afrika, usia di atas 45 tahun, mereka
dengan kulit hitam lebih banyak terkena diabetes dibanding
dengan orang kulit putih. Suku Amerika Hispanik terutama
Meksiko mempunyai risiko tinggi terkena diabetes 2-3 kali
lebih sering daripada non-hispanik terutama pada kaum
wanitanya.
3) Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko diabetes yang paling
penting untuk diperhatikan. Lebih dari 8 diantara 10 penderita
diabetes tipe 2 adalah orang yang gemuk. Hal disebabkan
karena semakin banyak jaringan lemak, maka jaringan tubuh
dan otot akan semakin resisten terhadap kerja insulin, terutama
jika lemak tubuh terkumpul di daerah perut. Lemak ini akan
menghambat kerja insulin sehingga gula tidak dapat diangkut
ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah.
4) Metabolic syndrome
Metabolic syndrome adalah suatu keadaan seseorang
menderita tekanan darah tinggi, kegemukan dan mempunyai
kandungan gul dan lemak yang tinggi dalam darahnya.
Menurut WHO dan NCEP-ATP III, orang yang menderita
metabolic syndrome adalah mereka yang mempunyai kelainan
yaitu tekanan darah tinggi lebih dari 140/90 mg/dl, kolesterol
HDL kurang dari 40 mg/dl, trigliserida darah lebih dari 150

31
mg/dl, obesitas sentral dengan BMI lebih dari 30, lingkar
pinggang lebih dari 102 cm pada pria dan 88 cm pada wanita
atau sudah terdapat mikroalbuminuria.
5) Pola makan dan pola hidup
Pola makan yang terbiasa dengan makanan yang banyak
mengandung lemak dan kalori tinggi sangat berpotensi untuk
meningkatkan resiko terkena diabetes. Adapun pola hidup
buruk adalah pola hidup yang tidak teratur dan penuh tekanan
kejiwaan seperti stres yang berkepanjangan, perasaan khawatir
dan takut yang berlebihan dan jauh dari nilai-nilai spiritual. Hal
ini diyakini sebagai faktor terbesar untuk seseorang mudah
terserang penyakit berat baik diabetes maupun penyakit berat
lainnya. Di samping itu aktivitas fisik yang rendah juga
berpotensi untuk seseorang terjangkit penyakit diabetes.
6) Usia
Pada diabetes melitus tipe 2, usia yang berisiko ialah usia
diatas 40 tahun. Tingginya usia seiring dengan banyaknya
paparan yang mengenai seseorang dari unsur-unsur di
lingkungannya terutama makanan.
7) Riwayat endokrinopati
Riwayat endokrinopati yaitu adanya riwayat sakit gangguan
hormone (endokrinopati) yang melawan insulin seperti
peningkatan glukagon, hormone pertumbuhan, tiroksin,
kortison dan adrenalin.
8) Riwayat infeksi pancreas
Riwayat infeksi pancreas yaitu adanya infeksi pancreas
yang mengenai sel beta penghasil insulin. Infeksi yang
menimbulkan kerusakan biasanya disebabkan karena virus
rubella, dan lain-lain

32
9) Konsumsi obat
Konsumsi obat yang dimaksud ialah riwayat mengonsumsi
obat-obatan dalam waktu yang lama seperti adrenalin,
diuretika, kortokosteroid, ekstrak tiroid dan obat kontrasepsi.
e. Komplikasi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus dapat menyerang hampir seluruh system
tubuh manusia, mulai dari kulit sampai jantung. Berikut ini bentuk-
bentuk komplikasi pada masing-masing sistem:
1) Sistem kardiovaskular, berupa hipertensi, infark miokard,
insufiensi koroner
2) Mata, berupa retinopati diabetika, dan katarak.
3) Saraf, berupa neropatika diabetika
4) Paru-paru, berupa TBC
5) Ginjal, berupa pielonefritis, dan glomeruloskelrosis
6) Hati, berupa sirosis hepatitis
Komplikasi ini ada bersifat akut dan ada yang bersifat kronik.
Komplikasi akut ditandai dengan infeksi (karbunkel, angren,
pielonefritis, dan lain-lain. Komplikasi kronik berkaitan dengan
kerusakan dinding pembuluh darah yang dapat menimbulkan
atherosclerosis kahs pada pembuluh darah kecil di bagian organ
yang disebut mikroangipati. Manifestasinya berupa retinopati,
glomeruloskelerosis dan neuropati.
Dibetes Melitus Tipe 2 memiliki komplikasi yang dibagi
menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut:
1) Komplikasi awal (early complication)
Komplikasi awal pada diabetes melitus tipe 2 meliputi
hiperalbuminuria, background retinopathy, neurophaty,
kalsifikasi artei medial dan hipertensi.

33
2) Komplikasi lanjut (late complication)
Komplikasi lanjut pada diabetes melitus tipe 2 meliputi
gagal ginjal (rebal failure), proliferative retinopathy, gangrene
dan amputasi, coronary hart disease, dan diabetesrelated death.
f. Pencegahan Penyakit Diabetes
Dalam upaya pencegahan diabetes, kunci utamanya ada tiga
yaitu pengendalian berat badan, olahraga dan pola makan yang
sehat. Bentuk pengendalian ini dilakukan dengan menurunkan
berat badan yaitu 5-7% dari total berat badan, disertai dengan 30
menit olahraga sebanyak 5 kali dalam seminggu, sambil makan
secukupnya yang sehat. Pencegahan diabetes sepenuhnya meliputi:
1) Pencegahan premordial
Pencegahan primordial ditijukan kepada masyarakat yang sehat
yaitu upaya untuk menghidarkan diri dari risiko penyakit
Diabetes Melitus seperti tidak merokok, makanan bergizi, diet
dan membatasi diri terhadap makanan tertentu dan kegiatan
jasmani yang memadai.
2) Promosi kesehatan
Promosi kesehatan ditujukan pada kelompok berisiko untuk
mengurangi atau menghilangkan risiko yang ada.
3) Pencegahan khusus
Pencegahan khusus ditujukan pada kelompok yang berisiko
tinggi untuk melakukan pemeriksaan agar tidak jatuh pada
penyakit Diabetes Melitus. Upaya ini dapat berupa konsultasi
gizi atau lainnya.
4) Diagnosis awal
Diagnosis awal dilakukan dengan penyaringan (screening)
yaitu pemeriksaan kadar gula darah kelompok yang berisiko.
5) Pengobatan yang tepat

34
Ada berbagai macam upaya dan pendekatan pengobatan yang
dapat dilakukan pada penderita agar tidak jatuh pada Diabetes
yang lebih berat atau komplikasi.
6) Pembatasan kecacatan (Disability limitation)
Pembatasan kecacatan ditujukan pada upaya maksimal dalam
mengatasi dampak komplikasi Diabetes Melitus agar tidak
menjadi lebih berat.
7) Rehabilitasi, sosial maupun medis.
Rehabilitasi merupakan suatu upaya memperbaiki keadaan
yang terjadi akibat komplikasi atau kecacatan yang terjadi
karena Diabetes Melitus.
g. Pengobatan Diabetes Melitus
Penyakit Diabetes belum diketahui obat penyembuhannya
secara total. Kadar gula yang berlebihan di dalam darah memang
bisa dikembalikan pada kadar normalnya namun kondisi tidak
normal akan mudah kembali terjadi disebabkan hormon insulin
didalam tubuh yang sudah tidak dapat diproduksi dalam jumlah
cukup. Diabetes mellitus membutuhkan perawatan seumur hidup,
kedisplinan pola makan dan gaya hidup.
1) Perawatan Diabetes Mellitus Tipe 1
Insulin harus ditambahkan setiap hari karena pankreas
kesulitan dalam menghasilkan insulin. Penambahan insulin
pada umunya dilakukan dengan cara suntikan insulin. Cara lain
adalah dengan memperbaiki fungsi kerja pankreas. Jika
pancreas kembali berfungsi dengan normal maka pankreas bisa
memenuhi kebutuhan insulin yang dibutuhkan tubuh.
2) Perawatan Diabetes Mellitus Tipe 2
Penatalaksanaan pengobatan dan penanganan penderita
diabetes mellitus tipe 2 difokuskan pada pola makan gaya
hidup dan aktifitas fisik. Pada penderita diabetes tipe 2
pengontrolan kadar gula darah dapat dilakukan dengan

35
beberapa tindakan seperti diet, penurunan berat badan dan
berolahraga. Jika hal ini tidak mencapai hasil yang diharapkan
maka pemberian obat tablet diabetik akan diperlukan bahkan
pemberian suntikan insulin turut diperlukan apabila tablet
diabetik tidak berhasil mengatasi pengontrolan kadar gula
darah. Obat anti diabetic (OAD) diberikan sesuai dengan peran
masing-masing obat, yaitu sebagai berikut:
a) Obat yang merangsang sel-sel beta untuk mengeluarkan
insulin (insulin secretagogue) seperti sulphonylurea.
b) Obat yang bekerja di perifer pada otot dan lemak,
mensensitifkan otot seperti metformin.
c) Obat yang mencegah penyerapan glukosa di usus dengan
menghambat kerja enzim alpha glucosidase, seperti
acarbosein.

36
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyakit yang tidak menular
dan bukan disebabkan oleh penularan vektor, virus atau bakteri, namun
lebih banyak disebabkan oleh perilaku dan gaya hidup.
2. Faktor risiko penyakit tidak menular dapat dibedakan menjadi :
a. Unchangeable Risk Factors
Faktor risiko yang tidak dapat diubah. Misalnya : Umur, Genetik
b. Changeable Risk Factors
Faktor risiko yang dapat berubah. Misalnya : kebiasaan merokok,
olah raga.
3. Contoh penyakit yang termasuk penyakit tidak menular, yaitu penyakit
gagal jantung, Ashma bronchiale penyakit Hipertensi, Kanker serviks,
Diabetes mellitus, Gagal ginjal kronik penyakit mata atau Katarak,
penyakit Rematik, penyakit Obesitas, penyakit jiwa dan masih banyk
lagi.
4. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit tidak
menular, yaitu :
a. Perilaku hidup sehat seperti : tidak merokok, konsumsi sayur dan
buah, menjaga pola makan, makan makanan yang kaya akan gizi,
aktifitas fisik minimal 30 menit per hari sebanyak 3-5 kali per
minggu, tidak mengonsumsi alkohol dan kendalikan stres.
b. Lingkungan yang sehat : bebas polusi udara, kendaraan yanglayak
jalan, fasilitas umum untuk aktifitas fisik seperti tempat bermain
dan olahraga.
c. Menjaga kondisi tubuh seperti : berat badan ideal, gula darah
normal, kolesterol dan tekanan darah normal.

37
B. Saran
Untuk mengurangi dampak dari PTM pada individu dan
masyarakat, diperlukan pendekatan komprehensif dari semua sektor,
termasuk kesehatan maupun pendidikan, dan lain sebagainya. Perilaku
sehat adalah sifat pribadi seperti kepercayaan, motif, nilai, persepsi dan
elemen kognitif lainnya yang mendasari tindakan yang dilakukan individu
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan
penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah
raga dan makanan bergizi. Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yang
merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-
betul sehat. Untuk itu diharapkan agar setiap individu dapat menerapkan
pola hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari guna mencegah angka
penyebaran penyakit tidak menular maupun menular.

38
DAFTAR PUSTAKA
User. (2012). https://krakataumedika.com/info-media/artikel/penyakit-tidak-
menular-ptm-penyebab-dan-pencegahannya. Diakses pada 21 Mei 2022,
pukul 16.46.
Septyarini, Putri. 2015. “Survei Beberapa Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular
Di Kabupaten Rembang (Studi Pada Sukarelawan)” dalam Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 3(1), 36-46.
Kusmayani, Ningrum. Dkk. 2018. “Epidemiologi Penyakit Tidak Menular Dalam
Posbindu Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambulu Kabupaten Jember”,
dalam Jurnal Kesehatan.
Warganegara, Efrida. 2016. “Faktor Risiko Perilaku Penyakit Tidak Menular”,
dalam Jurnal Kesehatan, 5(2). 88-94.
Yarmaliza. Zakiyuddin. 2019. ”Pencegahan Dini Terhadap Penyakit Tidak
Menular (Ptm) Melalui Germas”, dalam Jurnal Pengabdian Masyarakat
Multidisiplin, 2(3), 168-175
Rehani Monica. 2019. Pendidikan Kesehatan Tentang Penyakit Tidak Menular.
Makalah
Intan Darendra. 2017. Penyakit Tidak Menular. Makalah
Utama, Feranita. Dkk. 2018. “Gambaran Penyakit Tidak Menular Di Universitas
Sriwijaya”, Jurnal Kesehatan, 11(2), 76-97
Djafri, Defriman. 2015. “Pemodelan Epidemiologi Penyakit Tidak Menular”,
Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(1), 1-2
Darmawan, Armaidi. 2016. “Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak
Menular, Jurnal Kesehatan, 4(2), 195-202.
Sudayasa, I Putu. 2020. “Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular
Pada Masyarakat Desa Andepali Kecamatan Sampara Kabupaten
Konawe”, Junal of Community Engagement in Health, 3(1), 60-66.
Muslimin, Irma. Dkk. 2021. Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak
Menular. Jawa Timur : Duta Media Publishing.
Ade Sutisno. 2017. Penyakit Tidak Menular. Makalah
Secret. 2018. Penyakit Tidak Menular. Makalah

39
Susanti, Nofi. 2019. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Buku Ajar
Irwan. 2019. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Buku Ajar
Universitas Muhammadiyah. 2013. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular.
Makalah.
Rahmiwati, Anita. 2018. “Gambaran Penyakit Tidak Menular Universitas
Sriwijaya”. Jurnal Kesehatan, 11(2), 61-76
Kemenkes. 2022. Manajemen Penyakit Tidak Menular.
http://p2ptm.kemenkes.go.id. Diakses pada tanggal 21 Mei 2022 pukul 17.
48
Pusdatin.(2016).https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/13010200029/penyakit
-tidak-menular.html. Diakses pada 21 Mei 2022, pukul 17.50.

40

Anda mungkin juga menyukai