Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

STEP WISE UNTUK PENANGGULANGAN PTM

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 5

NUR RISKY ALJAATSYIAH (14120190002)

FAIDAH AZZAHRA JAYA (14120190008)

UMMUL ISTIQAMAH (14120190019)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2021
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan anugerah, kasih sayang,
petunjuk, dan kekuatan-Nya yang telah memberikan kami kekuatan sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas Epidemiologi Menular yang berjudul “STEP Wise Untuk Penanggulangan
PTM”. Tanpa pertolongan-Nya kami tidak dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Yang akan
memberikan manfaat dikemudian hari guna kemajuan ilmu pengetahuan.
Kami sangat berharap makalah yang dibuat ini dapat berguna dalam menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai STEP Wise Untuk Penanggulangan PTM. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa didalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang-orang yang
membacanya. Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun demi masa yang akan datang.
Makassar, 24 Februari 2021

Penulis
Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
b. Tujuan Pembuatan Makalah......................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN...................................................................................................................................7
A. Definisi Penyakit Tidak Menular...............................................................................................7
B. Definisi Stepwise penanggulangan Penyakit Tidak Menular.....................................................9
1. Stepwise Penanggulangan Vector Borne Disease................................................................16
2. Water and food born disease................................................................................................20
3. Stepwise Air borne Disease................................................................................................30
BAB III................................................................................................................................................32
PENUTUP...........................................................................................................................................32
A. Kesimpulan..............................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................33
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) adalah jenis penyakit yang tidak dapat ditularkan dari
orang ke orang melalui bentuk kontak apa pun. Meski demikian, beberapa macam penyakit
tidak menular tersebut memiliki angka kematian yang cukup tinggi. Angka kematian akibat
penyakit tidak menular tergolong tinggi. Berdasarkan data dari WHO di tahun 2018,
diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang meninggal akibat penyakit tidak menular setiap
tahunnya. Data tersebut menunjukkan bahwa hampir 71% angka kematian di seluruh dunia
disebabkan oleh penyakit tidak menular.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
diperkirakan sedikitnya ada 1,4 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit tidak
menular. Kebanyakan penyakit tidak menular bersifat menahun (penyakit kronis).
Stepwise approach to surveillance atau STEPS adalah kerangka kerja yang
dikembangkan WHO, terstandarisasi tetapi fleksibel bagi negara-negara untuk memantau
faktor risiko utama PTM (Penyakit Tidak Menular) melalui penilaian kuesioner, pengukuran
fisik dan biokimia. Ini dikoordinasikan oleh otoritas nasional negara pelaksana. Survei
STEPS umumnya berbasis rumah tangga dan dilakukan pewawancara, dengan sampel yang
dipilih secara ilmiah sekitar 5.000 peserta. Hasil. Hingga saat ini, 122 negara di 6 wilayah
WHO telah menyelesaikan pengumpulan data untuk survei yang selaras dengan STEPS.
Data STEPS digunakan untuk menginformasikan kebijakan PTM (Penyakit Tidak Menular)
dan melacak tren faktor risiko. Prioritas masa depan termasuk memperkuat hubungan ini
dari data ke tindakan pada PTM di tingkat negara, dan terus mengembangkan kapasitas
STEPS untuk memungkinkan siklus pengawasan faktor risiko yang teratur dan
berkelanjutan di seluruh dunia. (Riley et al., 2016)
Beban global penyakit kronis tidak menular (PTM) sebagian besar penyakit jantung,
stroke, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes meningkat dengan cepat dan akan
memiliki konsekuensi pada sektor sosial, ekonomi, dan kesehatan yang signifikan kecuali
jika segera ditangani. Pada tahun 2012, PTM menyumbang 63% dari semua kematian,
mewakili 38 juta kematian setahun. Delapan puluh persen dari kematian ini sudah terjadi di
negara berpenghasilan rendah dan menengah. Karena PTM sebagian besar dapat dicegah,
kematian ini dapat dikurangi secara signifikan. (Riley et al., 2016)
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia, yang merupakan
sebuah institusi pendidikan kesehatan yang mempunyai 7 (tujuh) peminatan salah satunya
adalah Epidemiologi. Melalui pembelajaran di mata kuliah Epidemiologi Penyakit menular
berupa kegiatan kerja kelompok dan berdiskusi, mahasiswa mampu memiliki keterampilan
untuk pemahaman mengenai materi Step Wise penanggulangan PTM.
Mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular memberikan pengetahuan dan
pemahaman konsep menganai penularan penyakit yang umumnya terjadi di masyarakat.
Pembahasan dalam perkuliahan meliputi pengertian konsep epidemiologi penyakit menular,
pencegahan dan penanggulangan penyakit menular, contoh kasus penyakit vector borne
disease, water and food borne disease, air born disease, sexual transmitted disease, PD3I,
new emerging disease, neglected disease.

b. Tujuan Pembuatan Makalah


- Tujuan Umum:
1. Meningkatkan pemahaman dan keterampilan mahasiswa tentang Step Wise untuk
penanggulangan PTM
2. Meningkatkan pemahaman mengenai faktor risiko Step Wise penanggulangan PTM
3. Mahasiswa mampu menyusun makalah dan power point.
- Tujuan dan Manfaat stepwise untuk penanggulangan PTM
a. Tujuan STEPwise WHO adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan informasi terhadap faktor risiko penyakit kronis penyakit tidak
menular untuk pembuat kebijakan dan perencanaan intervensi.
2. Terkumpulnya data faktor risiko yang sesuai standar dapat disesuaikan dengan
standar masing–masing negara.
3. Menyediakan sistem surveilans penyakit kronis untuk negara dengan pendapatan
rendah – menengah.
4. Membangun kapasitas masing –masing negara untuk monitoring faktor risiko
penyakit tidak menular.
5. Mengintegrasi pendekatan terpadu dengan biaya rendah.
b. Manfaat stepwise untuk penanggulangan PTM yaitu untuk :
1. Menyajikan data berupa prevalensi penyakit di setiap provinsi.
2. Melakukan analisis multivariat sehingga dapat diketahui proporsi responden.
3. Menunjukkan Nilai Prediktif Positif misalnya pada tahun 2000 sebanyak 972 juta
(26%) orang dewasa di dunia menderita penyakit tertentu.
4. Merencanakan program perencanaan dan penanggulangan penyakit dengan baik,
melalui strategi dan peranan masing-masing unit kerja.
5. Kegiatan epidemiologi dilakukan melalui pendekatan beberapa faktor yang
mempengaruhi hipertensi, misalnya faktor keturunan, stres, usia, jenis kelamin dan
lain-lain.
6. Melakukan inovasi program sesuai dengan kemajuan teknologi dan kondisi daerah
setempat (local area specifi).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Penyakit Tidak Menular


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kedokteran mendorong
para tenaga ahli selalu mengadakan riset terhadap berbagai penyakit termasuk salah satunya
adalah penyakit menular demi mengatasi kejadian penderitaan dan kematian akibat penyakit.
Berdasarkan perjalanannya penyakit dapat dibagi menjadi : Akut dan Kronis.
Berdasarkan sifat penularannya dapat dibagi menjadi : Menular dan Tidak Menular.
Proses terjadinya penyakit merupakan interaksi antara agen penyakit, manusia (Host) dan
lingkungan sekitarnya. Untuk penyakit menular, proses terjadinya penyakit akibat interaksi
antara : Agent penyakit (mikroorganisme hidup), manusia dan lingkungan sedangkan untuk
penyakit tidak menular proses terjadinya penyakit akibat interaksi antara agen penyakit (non
living agent), manusia dan lingkungan. Penyakit tidak menular dapat bersifat akut dapat juga
bersifat kronis. Pada Epidemiologi Penyakit tidak Menular terutama yang akan dibahas
adalah penyakit- penyakit yang bersifat kronis. (Darmawan, 2016)
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit yang tidak ditularkan dan tidak
ditransmisikan kepada orang lain dengan bentuk kontak apapun. Penyakit tidak menular,
khususnya penyakit kardiovaskuler, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes
merupakan ancaman utama bagi kesehatan danperkembangan manusia saat ini.
Terdapat empat faktor perilaku utama penyakit tidak menular yang menyebabkan
kematian dan membunuh sekitar 35 juta manusia setiap tahunnya, atau 60% dari seluruh
kematian secara global, dengan 80% pervalensi pada negara berkembang. WHO
memprediksikan total kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular akan
meningkat sampai 17% dalam 10 tahun. Penyakit tidak menular berhubungan dengan
genetic, lingkungan, dan yang paling penting adalah gaya hidup seperti merokok, konsumsi
alkohol, pola diet yang buruk, dan kurangnya aktifitas. (Warganegara & Nur, 2016)
Penyakit tidak menular merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi
perhatian nasional maupun global pada saat ini. Data WHO tahun 2008 menunjukan bahwa
dari 57 juta kematian yang terjadi, 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh
Penyakit Tidak Menular. Di negara dengan tingkat ekonomi rendah sampai menengah, 29%
kematian yang terjadi pada penduduk berusia kurang dari 60 tahun disebabkan oleh
PTM.1,2 Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple burden
diseases, yaitu penyakit menular yang masih menjadi masalah, kejadian re-emerging
diseases dan new emerging diseases yang masih sering terjadi, dan di sisi lain kejadian PTM
cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Menurut profil Penyakit Tidak Menular WHO tahun 2011, di Indoesia tahun 2008
terdapat 582.300 laki-laki dan 481.700 perempuan meninggal karena PTM. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995 dan 2001, tampak bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi
epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat,
sedangkan kematian karena penyakit menular semakin menurun. Fenomena ini diprediksi
akan terus berlanjut.2 Penyakit tidak menular diketahui sebagai penyakit yang tidak dapat
disebarkan dari seseorang terhadap orang lain. Terdapat empat tipe utama penyakit tidak
menular yaitu penyakit kardiovaskuler, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes.
(Warganegara & Nur, 2016)
Tiga kelompok utama penyakit menular
1. Penyakit yang sangat berbahaya karena angka kematian cukup tinggi
2. Penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan kematian dan cacat, walaupun
akibatnya lebih ringan dari yang pertama
3. Penyakit menular yang jarang menimbulkan kematian dan cacat tetapidapat
mewabah yang menimbulkan kerugian materi. (Darmawan, 2016).
B. Definisi Stepwise penanggulangan Penyakit Tidak Menular

Stepwise approach to surveillance atau STEPS adalah kerangka kerja yang


dikembangkan WHO, terstandarisasi tetapi fleksibel bagi negara-negara untuk memantau
faktor risiko utama PTM (Penyakit Tidak Menular) melalui penilaian kuesioner, pengukuran
fisik dan biokimia. Ini dikoordinasikan oleh otoritas nasional negara pelaksana. Survei
STEPS umumnya berbasis rumah tangga dan dilakukan pewawancara, dengan sampel yang
dipilih secara ilmiah sekitar 5.000 peserta. Hasil. Hingga saat ini, 122 negara di 6 wilayah
WHO telah menyelesaikan pengumpulan data untuk survei yang selaras dengan STEPS.
Data STEPS digunakan untuk menginformasikan kebijakan PTM (Penyakit Tidak
Menular) dan melacak tren faktor risiko. Prioritas masa depan termasuk memperkuat
hubungan ini dari data ke tindakan pada PTM di tingkat negara, dan terus mengembangkan
kapasitas STEPS untuk memungkinkan siklus pengawasan faktor risiko yang teratur dan
berkelanjutan di seluruh dunia. (Riley et al., 2016)
Beban global penyakit kronis tidak menular (PTM) sebagian besar penyakit jantung,
stroke, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes meningkat dengan cepat dan akan
memiliki konsekuensi pada sektor sosial, ekonomi, dan kesehatan yang signifikan kecuali
jika segera ditangani. Pada tahun 2012, PTM menyumbang 63% dari semua kematian,
mewakili 38 juta kematian setahun. Delapan puluh persen dari kematian ini sudah terjadi di
negara berpenghasilan rendah dan menengah.  Karena PTM sebagian besar dapat dicegah,
kematian ini dapat dikurangi secara signifikan. (Riley et al., 2016)
Beberapa faktor risiko yang umum dan dapat dicegah mendasari sebagian besar
PTM. Faktor risiko PTM ini adalah penyebab utama kematian dan beban kecacatan di
semua negara, terlepas dari status perkembangan ekonominya. Faktor risiko perilaku utama
untuk PTM adalah penggunaan tembakau, konsumsi alkohol berbahaya, diet tidak sehat
termasuk asupan garam dan natrium yang tinggi, aktivitas fisik, dan kelebihan berat badan
serta obesitas, dan faktor risiko fisiologis utama adalah peningkatan tekanan darah,
peningkatan glukosa darah, dan darah abnormal lemak. (Riley et al., 2016)
Menyadari kebutuhan global akan data faktor risiko pada faktor risiko utama
penyakit tidak menular (PTM) ini, WHO memulai pendekatan STEPwise untuk surveilans
(STEPS) pada tahun 2002.
Tujuan utama dari STEPS adalah untuk memandu pembentukan sistem surveilans
faktor risiko di negara dengan menyediakan kerangka kerja dan pendekatan; untuk
memperkuat ketersediaan data untuk membantu negara menginformasikan, memantau, dan
mengevaluasi kebijakan dan program mereka; untuk memfasilitasi pengembangan profil
populasi dari eksposur faktor risiko PTM; untuk memungkinkan perbandingan antar
populasi dan lintas kerangka waktu; dan untuk membangun kapasitas manusia dan
kelembagaan untuk surveilans penyakit tidak menular (PTM). (Riley et al., 2016)
Sejak awal, pendekatan STEPS telah menganjurkan bahwa sejumlah kecil data
berkualitas baik lebih berharga daripada sejumlah besar data berkualitas buruk. Pendekatan
STEPS mendukung pemantauan beberapa faktor risiko penyakit tidak menular yang dapat
dimodifikasi yang mencerminkan sebagian besar beban penyakit tidak menular (PTM) di
masa depan dan yang dapat menunjukkan dampak intervensi yang dianggap efektif dalam
mengurangi PTM.. 
Karena STEPS juga mempromosikan pengumpulan data tentang sejumlah faktor
risiko yang berbeda, maka STEPS memiliki keunggulan dibandingkan survei faktor risiko
tunggal karena memungkinkan pemahaman tentang bagaimana faktor risiko mengelompok
dalam suatu populasi dan menawarkan kesempatan bagi negara untuk memperkirakan
proporsi kecil. dari populasi dengan risiko keseluruhan tinggi dari kejadian kardiovaskular
untuk rujukan untuk kemungkinan pengobatan.  (Riley et al., 2016)
Kerangka kerja STEPS didasarkan pada konsep bahwa sistem pengawasan
memerlukan pengumpulan data standar, tetapi juga fleksibilitas yang memadai agar sesuai
dalam berbagai situasi dan pengaturan Negara. Elemen kunci dari kerangka kerja ini adalah
perbedaan antara berbagai tingkat penilaian faktor risiko yang memungkinkan tingkat detail
yang lebih besar atau lebih kecil, tergantung pada sumber daya yang tersedia, tanpa
mengorbankan komparabilitas data. (Riley et al., 2016)
Pada langkah 1, informasi tentang demografi dan faktor risiko perilaku (penggunaan
tembakau, konsumsi alkohol, perilaku diet seperti asupan buah dan sayuran dan asupan
garam dan natrium, dan aktivitas fisik, serta riwayat penyakit tidak menular seksual dan
kondisi terkait seperti peningkatan tekanan darah) , diabetes, peningkatan kolesterol,
penyakit kardiovaskular; cakupan skrining kanker serviks pada wanita; dan penyediaan
saran gaya hidup umum untuk mengatasi PTM) dikumpulkan melalui laporan sendiri.
Pada langkah 2, dilakukan pengukuran fisik tinggi dan berat badan untuk mengukur
indeks massa tubuh (didefinisikan sebagai berat dalam kilogram dibagi dengan tinggi
kuadrat dalam meter), lingkar pinggang, dan tekanan darah.
Pada langkah 3 terdiri dari pengukuran biokimia darah puasa glukosa, kadar
kolesterol total, dan natrium urin. (Riley et al., 2016)
- Pendekatan STEPwise untuk Pengambilan Sampel Pengawasan
Dasar dari surveilans faktor risiko STEPS adalah survei rumah tangga berbasis
populasi yang dilakukan secara cross-sectional. Pengambilan sampel kelompok multistage
digunakan di sebagian besar negara untuk menarik sampel yang mewakili secara nasional
orang dewasa berusia 18 hingga 69 tahun. Namun, strategi pengambilan sampel berbeda-
beda di setiap negara bergantung pada konteks lokalnya, dan luar. Ada beberapa negara
yang sangat kecil atau memiliki sumber daya yang baik yang telah melakukan pengambilan
sampel atau sensus acak sederhana.
Ukuran sampel untuk survei STEPS dihitung berdasarkan sejumlah faktor, termasuk
tingkat kepercayaan, margin kesalahan yang dapat diterima, perkiraan efek desain, perkiraan
tingkat dasar dari perilaku yang akan diukur, jumlah usia yang diinginkan– perkiraan jenis
kelamin, dan tingkat nonresponse yang diantisipasi. Survei STEPS biasanya mencakup
antara 5.000 dan 6000 peserta untuk dapat menghasilkan perkiraan usia dan gender yang
spesifik menurut strata yang relevan oleh negara pelaksana. (Riley et al., 2016)
- Pendekatan STEPS untuk Pengawasan Kerja Lapangan
Survei STEPS dilaksanakan di tingkat negara sebagai survei rumah tangga nasional
melalui pewawancara terlatih yang melakukan wawancara tatap muka di rumah tangga
dengan responden survei terpilih tentang faktor risiko perilaku dan pengukuran fisik seperti
tekanan darah dan pengukuran tinggi dan berat badan (langkah 1 dan 2 ). Penilaian biokimia
tahap-3 untuk glukosa darah, lipid darah, dan natrium urin biasanya dilakukan di klinik atau
pusat kesehatan setempat.
Dan, eSTEPS, seperangkat perangkat lunak yang memungkinkan untuk persiapan
dan implementasi pengumpulan data dengan handphone, telah digunakan secara luas sejak
2009.
Metode pengumpulan data ini telah terbukti menjadi peningkatan yang signifikan
pada Metode berbasis kertas sebelumnya yang memungkinkan pola lompatan otomatis
diprogram ke dalam kuesioner, melakukan pemeriksaan kesalahan langsung, menyediakan
cara yang disederhanakan dan didokumentasikan untuk memilih peserta dari dalam setiap
rumah tangga yang dipilih, dan tidak memerlukan pekerjaan entri data setelah pengumpulan
data .
Pengenalan eSTEPS memungkinkan pendekatan yang lebih efisien dan standar untuk
pengendalian kualitas dan secara substansial mengurangi waktu dari pengumpulan data
hingga produksi laporan akhir. eSTEPS dapat diadaptasi agar sesuai dengan survei apa pun
dan memungkinkan penerapan dalam banyak bahasa yang berbeda. Pada akhir 2015,
pengumpulan data eSTEPS juga dimungkinkan dengan perangkat Android seperti tablet dan
smartphone. (Riley et al., 2016)
- Koordinasi, Dukungan Teknis, dan Sumber Daya
Survei STEPS biasanya dimulai dan dikoordinasikan di tingkat negara oleh pejabat
kementerian kesehatan, bekerja sama dengan mitra teknis lokal. Sumber daya keuangan
untuk melakukan survei adalah tanggung jawab otoritas nasional. WHO memberikan
dukungan sumber daya dalam bentuk pinjaman peralatan seperti alat pengukur tekanan
darah, pendanaan awal dalam jumlah kecil, dan hubungan dengan calon donor internasional.
Dukungan teknis untuk penerapan STEPS disediakan di seluruh kantor pusat WHO,
kantor regional dan negara, dan bekerja sama dengan mitra teknis lainnya. Untuk
memberikan panduan menyeluruh tentang perencanaan dan implementasi STEPS, lokakarya
pelatihan STEPS dilakukan pada berbagai tahapan proses pengawasan: perencanaan dan
pelatihan, pengumpulan data, analisis data, dan pelaporan, serta pemanfaatan data. (Riley et
al., 2016)
Untuk setiap tahapan ini, alat survei dan materi pelatihan tersedia.  Misalnya, Manual
dan CD STEPS template untuk rencana implementasi dan persetujuan etis; alat pengambilan
sampel, seperti kalkulator ukuran sampel dan spreadsheet pengambilan sampel; berbagai
bentuk pengumpulan data; program analisis untuk beberapa paket statistik; dan template
pelaporan. (Riley et al., 2016)
- Hasil
Uji coba STEPS dimulai pada 2002 dan, setelah beberapa lokakarya regional,
beberapa negara melaksanakan putaran pertama pengumpulan data survei pada 2002 dan
2003.
Pada tahun 2005, 56 negara telah menghadiri 17 lokakarya regional atau nasional,
dan 52 negara (14 Wilayah Afrika WHO, 1 Wilayah Amerika WHO, 11 Wilayah
Mediterania Timur WHO, 9 Wilayah Asia Tenggara WHO, 17 Wilayah Pasifik Barat
WHO), termasuk 6 yang menyelaraskan STEPS dengan studi faktor risiko nasional mereka,
pada akhir tahun itu, telah menyelesaikan pengumpulan data. Dari survei ini, 28 adalah
survei nasional.
Hingga saat ini, 129 negara dari semua wilayah telah menghadiri total 166 lokakarya
regional atau nasional, dan 122 negara (42 Wilayah Afrika WHO, 21 Wilayah WHO di
Amerika, 16 Wilayah Mediterania Timur WHO, 6 Wilayah Eropa WHO, 11 WHO Wilayah
Selatan- Wilayah Asia Timur, 26 WHO Wilayah Pasifik Barat) telah menyelesaikan
pengumpulan data termasuk 11 survei yang selaras dengan STEPS. Secara total, 93 negara
telah melaksanakan survei nasional. Sebanyak 48 negara telah melakukan lebih dari 1
STEPS atau survei yang sejalan dengan STEPS.  Dari 48 negara tersebut, 21 telah berpindah
dari subnasional ke nasional, atau melakukan beberapa survei STEPS subnasional, dan 24
telah melakukan 2 survei STEPS, dan 3 telah melakukan beberapa survei STEPS secara
sistematis dan berkelanjutan.
Lebih dari satu dekade telah berlalu sejak beberapa negara berpenghasilan rendah
dan menengah mulai menerapkan survei STEPS, dan kemajuan besar telah dibuat dalam
menghasilkan data faktor risiko khusus negara yang baru. Hampir 100 negara telah
mempublikasikan hasil survei STEPS mereka dalam bentuk ringkasan data, laporan negara,
atau artikel jurnal. Dari gambaran suram tentang sangat sedikit data yang tersedia pada tahun
2000 dari sebagian besar negara berpenghasilan rendah dan menengah, hingga 15 tahun
kemudian, kita dapat melihat dari pemetaan kegiatan STEPS bahwa banyak negara sekarang
memiliki data yang kuat tentang faktor risiko Penyakit Tidak Menular yang mereka gunakan
untuk melaporkan kemajuan mereka terhadap target nasional untuk PTM dan untuk
memandu kebijakan dan program mereka di PTM, seperti untuk pengembangan rencana aksi
PTM di Benin, Cabo Verde, Mauritania, dan Togo. Semakin banyak negara melaporkan
bahwa memiliki data mereka sendiri yang dapat diandalkan tentang faktor risiko mengarah
pada peningkatan kesadaran dan komitmen untuk menangani PTM, dan sangat penting
untuk menetapkan mekanisme evaluasi program PTM yang berarti di tingkat nasional.
(Riley et al., 2016)
Surveilans faktor risiko juga menjadi pintu masuk untuk mengembangkan program
untuk Penyakit Tidak Menular di sejumlah negara. Negara-negara telah memulai survei
awal dan dilanjutkan dengan pengembangan kebijakan dan program PTM nasional yang
melibatkan pemangku kepentingan utama untuk menetapkan target tindakan yang jelas dan
dapat dicapai berdasarkan data STEPS mereka. 
Lokakarya STEPS “Data to Action” telah membantu mempercepat proses ini dengan
berfokus pada bagaimana data STEPS dapat membantu suatu negara mempertimbangkan
apa yang mungkin menjadi prioritas pemrograman PTM berdasarkan data terkini yang
andal.
Di tingkat global, data yang dihasilkan melalui STEPS telah digunakan di sejumlah
proyek, termasuk pelaporan global tentang status faktor risiko, Proyek Beban Penyakit
Global, dan publikasi tentang tingkat global dan regional dari faktor risiko terpilih. 
Lebih dari satu dekade penerapan STEPS juga telah membuktikan bahwa metodologi
STEPS yang berkembang cukup fleksibel dan dapat beradaptasi untuk digunakan bahkan di
rangkaian yang paling terbatas sumber daya.
- Tantangan dan batasan
Terlepas dari kemajuan ini, sejumlah keterbatasan, tantangan, dan kendala
menghambat kemajuan yang lebih luas dalam memajukan surveilans faktor risiko Penyakit
tidak menular ini. Meskipun perhatian global telah meningkat, target dan indikator global
telah ditetapkan,  dan penerapannya di negara-negara tersebut telah dipantau, pengawasan
faktor risiko Penyakit tidak menular (PTM) ini masih belum dianggap sebagai prioritas di
banyak negara. Ada kemajuan yang tidak memadai dalam mengintegrasikan surveilans
faktor risiko Penyakit tidak menular (PTM) ke dalam sistem informasi kesehatan nasional.
Di tingkat negara, kemajuan dalam melembagakan pengawasan faktor risiko PTM
yang sedang berlangsung terhambat oleh sejumlah faktor. Ini termasuk seringnya pergantian
personel yang terlibat dalam pengawasan tinggi; kurangnya sumber daya yang tersedia di
tingkat negara untuk mendukung kegiatan pengawasan; kerangka pengambilan sampel yang
kedaluwarsa; kurangnya akses geografis di beberapa wilayah di beberapa
negara; infrastruktur yang lemah (misalnya, sistem perjalanan dan transportasi) yang
membuat survei rumah tangga menjadi sulit; kapasitas negara yang lemah dalam
pengelolaan data, analisis, dan penulisan laporan; dan masalah teknologi dengan pengukuran
langkah-3, untuk menyebutkan beberapa. Di sejumlah negara, keterbatasan ini
mengakibatkan kualitas data yang buruk.
Seringkali kesadaran yang ditimbulkan dengan melakukan survei STEPS di suatu
negara menyebabkan peningkatan permintaan akan layanan kesehatan preventif dan kuratif
— permintaan ini seringkali tidak terpenuhi oleh sistem kesehatan saat ini di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Tantangan lain termasuk ketergantungan pada WHO
untuk dukungan dan bantuan teknis, ketika WHO memiliki sedikit sumber daya dan
personel untuk membantu memenuhi permintaan ini.
Berbagai survei di tingkat nasional dan global juga semakin banyak dilaksanakan,
menangani beberapa faktor risiko yang telah ditangkap dalam STEPS. Survei masalah
tunggal yang didukung oleh WHO, termasuk survei tentang alkohol, nutrisi, tembakau, dan
cedera, cenderung memperoleh informasi serupa, yang menyebabkan survei kelelahan di
banyak negara. Karena STEPS dapat dianggap sebagai sumber data primer dari semua faktor
risiko PTM, survei lain harus mempertimbangkan ketersediaan hasil STEPS sebelum
memperkenalkan item atau indikator yang sama. (Riley et al., 2016)
- Arah Masa Depan
Kebutuhan akan data faktor risiko Penyakit tidak menular yang kuat dan dapat
dibandingkan di tingkat nasional, regional, dan global telah diperkuat lebih lanjut oleh
adopsi global dari 9 target sukarela untuk PTM dan Kerangka Pemantauan Global untuk
indikator PTM yang mencakup banyak dari faktor risiko yang dipantau oleh survei
STEPS. Dengan menerapkan survei STEPS, suatu negara akan memiliki data yang
diperlukan untuk memantau dan melaporkan 7 dari 9 target global untuk PTM (tembakau,
penggunaan alkohol yang berbahaya, aktivitas fisik, asupan garam dan natrium, diabetes dan
obesitas, hipertensi, pencegahan penyakit serangan jantung dan stroke) dan sejumlah
indikator lain yang termasuk dalam Kerangka Pemantauan Global (misalnya, kolesterol
total, skrining kanker serviks). 
Selain itu, Rencana Aksi Global untuk Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular yang diadopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia pada Mei 2013 menyerukan kepada
Negara Anggota WHO untuk melakukan pengumpulan data berkala tentang faktor risiko
perilaku dan metabolik (penggunaan alkohol yang berbahaya, aktivitas fisik, penggunaan
tembakau, diet tidak sehat, kelebihan berat badan dan obesitas, peningkatan tekanan darah,
peningkatan glukosa darah, dan hiperlipidemia).
Oleh karena itu, STEPS tetap menjadi pendekatan dan sumber daya utama untuk
membantu negara-negara memenuhi kewajiban ini. Masih ada kebutuhan yang kuat untuk
melanjutkan aspek pengembangan kapasitas dari dukungan teknis STEPS untuk membantu
membangun kapasitas nasional yang berkelanjutan untuk pengawasan faktor risiko PTM dan
dukungan kelembagaan untuk surveilans PTM. Upaya advokasi yang meningkat diperlukan
di tingkat negara untuk meningkatkan keterkaitan dengan data terkait PTM ke dalam sistem
informasi kesehatan nasional untuk memastikan bahwa data tersebut memiliki tempat yang
tidak terpisahkan.
Metodologi STEPS merekomendasikan pelaksanaan survei STEPS setiap 3 hingga 5
tahun, dan bahkan siklus ini terbukti menantang di negara-negara dengan sumber daya
rendah. Dukungan diperlukan untuk mendorong negara-negara beralih dari melakukan
survei dasar menjadi memiliki siklus pengawasan faktor risiko yang teratur dan
berkelanjutan yang tercermin dalam rencana aksi PTM nasional mereka. 
Demikian pula, negara-negara lain membutuhkan dorongan untuk beralih dari
implementasi survei STEPS di subnasional dan sedikit demi sedikit untuk mendapatkan data
prevalensi nasional yang lebih disukai.
Item kuesioner dan ukuran yang digunakan dalam STEPS dan indikator yang
dilaporkan dari survei STEPS perlu ditinjau secara berkala untuk menyesuaikan dengan
standar ilmiah terbaru dan kebutuhan kebijakan di negara. Diskusi baru-baru ini berfokus
pada apakah item seperti pengukuran objektif dari pola aktivitas fisik yang menggunakan
teknologi yang dapat dikenakan dapat ditangkap secara rutin dalam survei faktor risiko
berbasis populasi seperti STEPS. Demikian pula, pengukuran seperti hemoglobin A1c
sebagai indikator diabetes dapat dimasukkan jika dan ketika peralatan pengukur yang lebih
andal, hemat biaya, dan portabel dikembangkan.
Diperlukan upaya agar data yang dikumpulkan dari STEPS tersedia lebih luas,
sehingga dapat digunakan sepenuhnya untuk memperkuat pemrograman dan pembuatan
kebijakan PTM. Data agregat secara rutin dimasukkan ke dalam WHO Global InfoBase, 
tetapi ini bergantung pada negara-negara yang menyediakan laporan mereka yang
dipublikasikan ke WHO untuk tujuan ini. Mekanisme lebih lanjut diperlukan untuk
membuat data STEPS lebih tersedia dan idealnya dapat diakses melalui repositori atau portal
pusat. Partisipasi dalam mekanisme seperti itu harus disepakati pada awal survei.
Terakhir, upaya di masa depan untuk memperkuat hubungan dari data ke tindakan
terkait PTM di tingkat negara tetap menjadi prioritas utama. Salah satu metode yang
menjanjikan di bidang ini adalah pelaksanaan lokakarya percontohan di negara-negara
Afrika terpilih untuk memperkuat hubungan antara memiliki data STEPS dan bergerak ke
tindakan. Ada nilai yang sangat besar dalam mengaitkan data faktor risiko PTM nasional
yang baik dengan proses yang menginformasikan pembuatan kebijakan dan program di
tingkat negara dan membantu penetapan target dan pemantauan kemajuan. Bagaimanapun,
ini adalah salah satu tujuan utama pengawasan STEPS — untuk memperkuat ketersediaan
data untuk membantu negara menginformasikan, memantau, dan mengevaluasi kebijakan
dan program mereka — dan pekerjaan STEPS di masa depan harus tetap terfokus pada
tujuan ini. (Riley et al., 2016)

1. Stepwise Penanggulangan Vector Borne Disease


Vektor adalah organisme (paling sering artropoda) yang menularkan patogen
infeksius dari manusia atau hewan yang terinfeksi ke manusia yang tidak terinfeksi.
Organisasi Kesehatan Dunia mengidentifikasi penyakit bawaan vektor global seperti
malaria, demam berdarah, chikungunya, demam kuning, penyakit virus Zika, filariasis
limfatik, schistosomiasis, onchocerciasis, penyakit Chagas, leishmaniasis dan Japanese
ensefalitis. Penyakit yang ditularkan melalui vektor lainnya yang penting secara regional
termasuk trypanosomiasis Afrika, penyakit Lyme, ensefalitis tick-borne, dan demam West
Nile. (Rocklöv & Dubrow, 2020)
Penyakit vektor ditanggung (VBD), sendiri merupakan sekitar 17% dari beban global
diperkirakan dari semua penyakit menular manusia. Beberapa VBD utama termasuk
Malaria, Dengue, Chikungunya, Schistosomiasis, Human African trypanosomiasis,
Leishmaniasis, penyakit Chagas, Demam kuning, Japanese ensefalitis, penyakit Tick-borne
rickettsial dan Onchocerciasis. Serangga yang menularkan penyakit ini termasuk nyamuk,
kutu, dan kutu yang membawa patogen infektif seperti virus, bakteri, dan protozoa. Patogen
ini dapat ditransfer dari satu inang (pembawa) ke lainnya melalui vektor serangga. Yang
penting, negara-negara yang paling terpengaruh oleh VBD juga termasuk negara-negara
termiskin di dunia. Dalam dua dekade terakhir, banyak VBD penting telah muncul kembali
atau diperluas ke belahan dunia baru. Karena kemampuannya untuk menyebar secara global,
perubahan kondisi iklim, perubahan ekologi dan peningkatan migrasi orang dan barang,
peningkatan risiko VBD baru atau yang muncul kembali pada kesehatan masyarakat
manusia dan juga veteriner mulai terlihat Masalah ini meningkat karena fakta bahwa vaksin
untuk mayoritas VBD tidak tersedia dan evolusi serta penyebaran patogen yang resistan
terhadap obat dan vektor yang resistan terhadap insektisida telah muncul untuk banyak VBD
terkemuka. (Shyamsunder Singh et al., 2016)
Negara-negara tropis dan subtropis berpenghasilan rendah dan menengah
menanggung beban tertinggi penyakit yang ditularkan melalui vektor. Delapan penyakit
yang ditularkan melalui vektor dianggap sebagai penyakit tropis terabaikan. Manusia
menjadi inang utama untuk beberapa penyakit yang ditularkan melalui vektor, termasuk
malaria, dengue, chikungunya dan penyakit virus Zika, sedangkan penyakit yang ditularkan
melalui vektor lainnya memiliki dinamika penularan yang lebih kompleks, baik dari
manusia maupun non-manusia. Misalnya, untuk penyakit Lyme, mamalia kecil dan burung
berfungsi sebagai inang (reservoir) yang kompeten (mereka terinfeksi oleh vektor kutu dan
mereka dapat menginfeksi kutu); rusa dan mamalia berukuran besar dan sedang lainnya
berfungsi sebagai inang yang tidak kompeten (mereka memberi makan darah kepada kutu
dewasa tetapi tidak terinfeksi); dan manusia berfungsi sebagai inang buntu (mereka
terinfeksi oleh kutu tetapi tidak menginfeksi kutu). Untuk virus West Nile, berbagai spesies
burung berfungsi sebagai inang reservoir dengan berbagai kompetensi, sedangkan manusia,
kuda, dan mamalia lain berfungsi sebagai inang buntu.
Di antara penyakit yang ditularkan melalui vektor, malaria adalah pembunuh utama,
menyebabkan sekitar 620.000 kematian pada tahun 2017 (sebagian besar terjadi di Afrika),
diikuti oleh demam berdarah, dengan perkiraan 40.500 kematian (sebagian besar terjadi di
Asia) 6 . Perkiraan jumlah kasus insiden pada 2017 adalah 209 juta untuk malaria dan 105
juta untuk dengue 7. Meskipun sebagian besar penyakit tropis terabaikan yang ditularkan
oleh vektor jarang berakibat fatal, penyakit ini melibatkan infeksi kronis yang menyebabkan
kecacatan substansial. Pada 2017, diperkirakan 65 juta orang hidup dengan filariasis
limfatik, 143 juta dengan schistosomiasis, 21 juta dengan onchocerciasis, 6,2 juta dengan
penyakit Chagas dan 4,1 juta dengan leishmaniasis 7. (Darmawan, 2016)
Penyakit yang ditularkan melalui vector atau vector borne disease (VBD) sangat
penting bagi kesehatan manusia dan hewan. Dalam beberapa tahun terakhir, VBD telah
muncul atau muncul kembali di banyak wilayah geografis, mengkhawatirkan ancaman
penyakit baru dan kerugian ekonomi. Diagnosis yang tepat dari banyak penyakit ini masih
menjadi tantangan utama karena kurangnya data komprehensif yang tersedia tentang metode
diagnostik yang akurat dan andal. Di sini, kami melakukan tinjauan sistematis dan
mendalam dari teknik sebelumnya, saat ini, dan yang akan datang yang digunakan untuk
diagnosis VBD.
Vektor borne disease (VBD) adalah major pentingnya untuk kesehatan manusia dan
hewan. Vektor arthropoda hematofagus seperti nyamuk, kutu, dan lalat pasir bertanggung
jawab untuk menyebarkan bakteri, virus, dan protozoa di antara inang vertebrata,
menyebabkan penyakit seperti malaria, demam berdarah, dan demam berdarah Krimea-
Kongo.
Secara historis, penyakit seperti leishmaniasis dan malaria berdampak besar pada
kesehatan dan masih menjadi beban besar bagi kesehatan masyarakat di banyak Negara.
Hingga awal abad ke-20, VBD bertanggung jawab atas lebih banyak kematian pada manusia
daripada gabungan semua penyebab lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, VBD telah muncul atau muncul kembali di banyak
wilayah geografis, menyebabkan masalah kesehatan global bagi manusia, ternak, hewan
pendamping, dan satwa liar. Eko-epidemiologi VBD dipengaruhi oleh interaksi antara
faktor-faktor utama seperti patogen, inang (manusia, hewan), vektor, dan lingkungan.
Kontributor utama dalam penyebaran VBD termasuk perubahan eko-iklim, pengembangan
insektisida dan resistensi obat, globalisasi, dan peningkatan yang signifikan dalam
perdagangan dan perjalanan internasional. Secara keseluruhan,-ini faktorfaktormengatur
epidemiologi penyakit dan pola infeksi di banyak wilayah geografis. Misalnya, nyamuk
invasif telah berkembang biak secara luas di seluruh Eropa, mengakibatkan munculnya
malaria di Yunani dan virus West Nile (WNV) di seluruh bagian tenggara Eropa. Demikian
pula, prevalensi penyakit Lyme terus meningkat di seluruh Eropa, dan ensefalitis tick-borne
dan virus demam berdarah Krimea-Kongo telah mengubah distribusi geografisnya.
Baru-baru ini, Organisasi Kesehatan Dunia telah menyatakan bahwa virus Zika
merupakan keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional, dan
penyebarannya juga dapat diperkirakan di Eropa.
Dari perspektif kedokteran hewan, kemunculan virus Bluetongue dan Schmallenberg
telah menunjukkan bahwa Eropa utara sama-sama rentan terhadap penularan VBD,
meskipun periode musim dinginnya lebih lama dibandingkan dengan Eropa selatan.
Kurangnya informasi yang komprehensif tentang metode diagnostik yang ada dan
yang akan datang untuk VBD membuat diagnosis dan pengendalian penyakit menjadi rumit.
Secara umum, diagnosis laboratorium VBD dapat dibagi menjadi dua kategori: metode
langsung (mikroskop, kultur agen penyebab, deteksi asam nukleat, dll.) Dan metode tidak
langsung (misalnya, deteksi organisme spesifik. (Kuleš et al., 2017)
Malaria dan dengue merupakan penyakit yang ditularkan melalui vektor yang paling
mematikan dan tercepat di dunia, dengan peningkatan insiden / wabah penyakit selama 50
tahun terakhir. Keberhasilan penyebaran VBD tertentu tergantung pada efektivitas
“transmisi” nya dari satu host ke host lain. Mekanisme “pelarian” patogen (mikroorganisme
yaitu nematoda, protozoa, bakteri dan virus) dari inang atau reservoir infeksi untuk
dipindahkan ke inang baru berbeda pada penyakit yang berbeda.
Transmisi VBD dapat bersifat mekanis atau biologis melalui vektor. Transmisi
mekanis menyiratkan transfer dasar organisme melalui bagian vektor yang terkontaminasi
secara dangkal. Enterovirus, protozoa dan bakteri adalah beberapa patogen yang ditularkan
melalui vektor melalui jalur fekal / oral. Dalam hal ini, tidak ada replikasi atau perubahan
perkembangan yang terjadi pada  arthropoda. Transmisi biologis menjelaskan perkembangan
biologis dari patogen yang terjadi pada vektor. Penularan biologispenularan melalui vektor
dapat berupapropagatif, perkembangan siklode, siklopropagatif, penularan vertikal dan
langsung.
Arbovirus menjalani transmisi propagatif, di mana mereka membatasi diri hanya
untuk berkembang biak di jaringan vektor seperti nyamuk, lalat dan kutu dan ditransfer ke
inang melalui air liur yang terinfeksi. Patogen seperti Plasmodium mengalami transmisi
melaluicyclo proses propagatif. Dalam jalur transfer ini, mikroorganisme bereplikasi dan
berkembang biak dalam vektor seiring dengan perubahan dari satu tahap perkembangan ke
tahap lainnya. Penularan di mana patogen mengekang dirinya untuk menjalani hanya
perkembangan dari satu tahap ke tahap lainnya dalam vektor dicirikan sebagai tipe
perkembangan siklo. Nematoda seperti Filarioidea  menunjukkan pola penyebaran seperti
itu. Virus tertentu seperti rickettsia bergantung pada transmisi vertikal dari dirinya sendiri
melalui vector. (Shyamsunder Singh et al., 2016)

Langkah-langkah proses penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dalam


dua model yang berbeda.
a) Model yang meminta penularan gejala, di mana penyakitpenularan tergantung
pada gejala pasien dalam populasi (model konvensional).
b) Penularan penyakit dengan model transmisi asimtomatik, dimana VBD
ditularkan secara "diam-diam" tanpa ketersediaan individu yang bergejala dalam
populasi. (Shyamsunder Singh et al., 2016).

2. Water and food born disease


Menurut WHO, Water food borne disease mencakup spektrum yang luas dari
penyakit dan masalah kesehatan masyarakat yang berkembang di seluruh dunia. Mereka
adalah hasil dari kontak dengan air dan konsumsi bahan makanan yang terkontaminasi
dengan mikroorganisme atau bahan kimia. Kontaminasi makanan dapat terjadi pada setiap
tahap dalam proses dari produksi pangan untuk konsumsi dan dapat hasil dari pencemaran
lingkungan, termasuk polusi air, tanah atau udara.
Setiap hari ribuan orang meninggal disebabkan oleh water-food borne disease yang
sebetulnya dapat dicegah Menjaga rumah kita dari water-food borne disease dimulai tidak
hanya saat kita di rumah, tapi sejak di supermarket, toko kelontong, atau tempat lain di mana
kita membeli makanan yang kita rencanakan untuk disimpan dan disajikan
Perkembangan water-food borne disease ditemukan tidak hanya pada saat
pemenuhan kebutuhan mendasar tentang air dan makanan dalam keseharian. Sebuah
penelitian tentang water-food borne disease di Amerika justru dikaitkan dengan kondisi air
pada tempat tempat rekreasi. Mukono mengatakan air kolam renang dapat menjadi sumber
penyakit seperti: scabies, dermatitis, impetigo, iritasi mata, muntaber, tifus, hepatitis,
poliomelitis, dan kecelakaan. Menilai bahwa pemanfaatan rekreasi air telah melibatkan
risiko untuk penyakit sepanjang hampir semua sejarah manusia. Hal ini dibuktikan dengan
schistosomiasis, penyakit parasit yang hanya terjadi bila koiya memiliki kontak dengan air
yang terkontaminasi, dapat ditemukan pada mumi Mesir yang telah berusia berusia sekitar
3.000 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun 2003-2004, total ada 62 kasus
water-food borne disease terkait dengan rekreasi air yang dilaporkan oleh 27 wilayah.
Penyakit ini terjadi pada 2698 orang, berobat pada 58 rumah sakit dan menjadi penyebab
satu kasus kematian.
World Health Organization, mendefinisikan water-food borne disease, atau penyakit
yang ditularkan melalui air dan makanan, adalah penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme patogen yang paling sering ditularkan di air tawar yang terkontaminasi. Hal
ini disebabkan karena air yang tercemar. Pemerintah dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
no. 173/Menkes/VII/77 menyatakan bahwa pencemaran air adalah peristiwa masuknya zat
ke dalam air yang mengakibatkan kualitas (mutu) air tersebut menurun sehingga dapat
mengganggu atau membahayakan kesehatan masyarakat. Hal ini dipertegas melalui
Peraturan Pemerintah RI no. 20 tahun 1990 bahwa pencemaran air adalah masuknya atau
dimasukkannya makluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh
kegiatan manusia sehingga membahayakan bagi manusia. Infeksi umumnya terjadi selama
mandi, mencuci, minum, dalam mempersiapan makanan, atau saat mengkonsumsi makanan
yang telah terinfeksi.
Gejala water-food borne disease yang paling sering adalah masalah gastrointestinal,
misalnya diare dan kram perut. Water-food borne disease ini juga bisa kita dapatkan karena
berenang di air yang terkontaminasi atau dari kontak dekat dengan orang lain yang sakit .
Water-food borne disease juga dapat memiliki gejala neurologis, ginekologi, imunologi dan
gejala lainnya. Kegagalan multiorgan dan bahkan kanker mungkin akibat dari konsumsi air
dan bahan makanan yang terkontaminasi, sehingga juga mereprentasikan beban terhadap
kecacatan dan juga kematian.
Gejala secara gastrointestinal dapat terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa
minggu dan sering menyajikan dirinya sebagai gejala flu, seperti orang yang sakit mungkin
mengalami gejala seperti mual, muntah, diare, atau demam. Karena gejala sering seperti flu,
banyak orang mungkin tidak menyadari bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri
berbahaya atau patogen lainnya dalam makanan .
Contoh yang paling sering dan menonjol adalah berbagai bentuk penyakit diare yang
ditularkan melalui air. Hal ini sangat berpengaruh terutama anak-anak di negara
berkembang. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit diare diperkirakan
mencapai sekitar 3,6% dari total DALY (Disability-Adjusted Life Year) beban global
penyakit, dan menyebabkan sekitar 1,5 juta kematian manusia setiap tahunnya. DALY
adalah ukuran dari beban penyakit secara keseluruhan, dinyatakan sebagai jumlah tahun
yang hilang akibat gangguan kesehatan, cacat atau kematian dini). WHO memperkirakan
bahwa 58% dari beban itu, atau sekitar 842.000 kematian per tahun, disebabkan oleh
masalah pasokan air yang tidak aman, masalah sanitasi dan kebersihan.
Etiologi/penyebab water-food borne disease dapat berupa mikroorganinsme patogen
dan non patogen dalam air yang tercemar. Mikroorganisme dapat berupa protozoa, parasit,
bakteri, virus, dan alga. Berikut ini akan digambarkan berbagai penyakit, penyebab, dan
manifesitasi kliniknya.
- Penyakit Water-Food Borne yang Lazim di Indonesia dan Penatalaksanaannya
a. Infeksi E. Coli
Kaper, Nataro & Mobley mengatakan secara patogenesis ada lima kelas E. coli yang
menghasilkan penyakit yang diklasifikasikan berdasarkan patogenesisnya: 1) racun
(enterotoksigenik), 2) invasif (enteroinvasive), 3) hemoragik (enterohemorrhagic), 4)
patogen (enteropathogenic), 5) agregatif (penggumpalan atau enteroaggregative).
Patogenesis kelima kelas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
1. E. Coli Enterotoksigenik (ETEC)
Penyebab diare pada bayi dan traveler terutama di daerah sanitasi yang buruk.
Penyakit membutuhkan kolonisasi dan ekskresi dari satu atau lebih racun yang dihasilkan
oleh E. Coli. Racun ini menyebabkan sekresi cairan dan mengakibatkan diare mulai dari
tingkat ringan sampai berat sekali. E. Coli Enterotoksigenik (ETEC) menjadi penyebab yang
sering bagi wisatawan sehingga dikenal sebagai ”diare wisatawan”. Selain itu menjadi
menyebabkan diare pada bayi di negara berkembang.Faktor kolonisasi ETEC yang spesifik
untuk menimbulkan pelekatan ETEC pada sel epitel usus kecil. Lumen usus terengang oleh
cairan dan mengakibatkan hipermortilitas serta diare, dan berlangsung selama beberapa hari.
Beberapa strain ETEC menghasilkan eksotosin tidak tahan panas.
ETEC menggunakan fimbrial adhesi (penonjolan dari dinding sel bakteri) untuk
mengikat sel-sel enterocit di usus halus. ETEC dapat memproduksi 2 proteinous
enterotoksin: dua protein yang lebih besar, LT enterotoksin sama pada struktur dan fungsi
toksin kolera hanya lebih kecil, ST enterotoksin menyebabkan akumulasi cGMP pada sel
target dan elektrolit dan cairan sekresi berikutnya ke lumen usus. ETEC strains tidak
invasive dan tidak tinggal pada lumen usus. Pemberian prokfilaksis antimikroba dapat
efektif mencegah terjadinya diare tetapi bisa menimbulkan peningkatan resistensi antibiotic
pada bakteri sehingga tidak direkomendasikan secara luas. Pemberian antibiotic dapat secara
efektif mempersingkat lamanya penyakit pada saat timbulnya diare.
2. E. Coli Enteroinvansif (EIEC)
Strain ini mirip dengan Shigellosis dalam hal timbulnya penyakit. Bakteri jenis ini
menembus dinding sel dari usus besar dan menyebabkan kehancuran sel dan diare
ekstrim. Menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan shigellosis. Penyakit
sering terjadi pada anak-anak di negara berkembang dan para wisatawan yang
menuju ke negara tersebut.
EIEC menyebabkan fermentasi laktosa dengan lambat dan tidak bergerak. EIEC
menimbulkan penyakit melalui invasinya ke sel epitel mukosa usus. Diare ini
ditemukan hanya pada manusia dan tidak terjadi pada binatang seperti E. Coli
Enterotoksigenik.
3. E. Coli Enteropatogenik (EPEC)
E. coli jenis ini menyebabkan diare berair. Diare dan gejala lainnya mungkin
disebabkan oleh invasi sel host dan interferensi dengan proses seluler disertai dengan
produksi racun. EPEC merupakan penyebab penting diare pada bayi, khususnya di
negara berkembang. EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil yang diperantarai
oleh kromosom yang menimbulkan pelekatan yang kuat. Akibat dari infeksi EPEC
adalah diare cair yang biasanya sembuh sendiri tetapi dapat juga kronik. Lamanya
diare EPEC dapat diperpendek dengan pemberian anibiotik. Diare terjadi pada
manusia, kelinci, anjing, kucing dan kuda.
Seperti ETEC, EPEC juga menyebabkan diare tetapi mekanisme molekular dari
kolonisasi dan etiologi adalah berbeda. EPEC memiliki sedikit fimbria, ST dan LT
toksin, tetapi EPEC menggunakan adhesin yang dikenal sebagai intimin untuk
mengikat inang sel usus. Sel EPEC invasive (jika memasuki sel inang) dan
menyebabkan radang.
4. E. Coli Enteroagregatif (EAEC)
Strain ini berhubungan dengan diare persisten pada anak-anak dan menyebabkan
diare berdarah dan non- peradangan. Hal ini mungkin berkaitan dengan produksi
toksin. Menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di negara berkembang.
Bakeri ini ditandai dengan pola khas pelekatannya pada sel manusia. EAEC
menproduksi hemolisin dan ST enterotoksin yang sama dengan ETEC.
5. E. Coli Enterohemoragik (EHEC)
E. Coli jenis ini tidak menginvasi mukosa usus tetapi menghasilkan dua racun
yang hampir identik dengan toksin Shiga. Racun berperan dalam respon inflamasi
dan diperkuat oleh deficiency besi. Jenis ini menghasilkan verotoksin, dinamai
sesuai efek sitotoksinya pada sel Vero, suatu sel hijau dari monyet hijau Afrika.
Terdapat sedikitnya dua bentuk antigenic dari toksin. EHEC berhubungan dengan
cholitis hemoragik, bentuk diare yang berat dan dengan sindroma uremia hemolitik,
suatu penyakit akibat gagal ginja akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan
trombositopenia. Banyak kasus EHEC dapat dicegah dengan memasak daging
sampai matang. Diare ini ditemukan pada manusia, sapi, dan kambing.
Kelima jenis E. Coli diatas dapat di obati dengan berbagai antibiotik dan obat
simtomatik lainya sebagai berikut
a. Racecordil
Anti diare yang ideal harus bekerja cepat, tidak menyebabkan konstipasi,
mempunyai indeks terapeutik yang tinggi, tidak mempunyai efek buruk
terhadap sistem saraf pusat, dan yang tak kalah penting, tidak menyebabkan
ketergantungan.
b. Loperamide
Loperamide merupakan golongan opioid yang bekerja dengan cara
memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler
dan longitudinal usus. Obat diare ini berikatan dengan reseptor opioid
sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan
reseptor tersebut. Efek samping yang seringdijumpai adalah kolik abdomen
(luka di bagian perut), sedangkan toleransi terhadap efek konstipasi jarang
sekali terjadi.
c. Nifuroxazide Nifuroxazide
adalah senyawa nitrofuran memiliki efek bakterisidal terhadap Escherichia
coli, Shigella dysenteriae, Streptococcus, Staphylococcus dan Pseudomonas
aeruginosa. Nifuroxazide bekerja local pada saluran pencernaan. Obat diare
ini diindikasikan untuk diare akut, diare yang disebabkan oleh E. coli dan
Staphylococcus, kolopatis spesifik dan non spesifik, baik digunakan untuk
anak-anak maupun dewasa.
d. Dioctahedral smectite
Dioctahedral smectite (DS), suatu aluminosilikat nonsistemik berstruktur
filitik, secara in vitro telah terbukti dapat melindungi barrier mukosa usus dan
menyerap toksin, bakteri, serta rotavirus. Smectite mengubah sifat fisik
mukus lambung dan melawan mukolisis yang diakibatkan oleh bakteri. Zat
ini juga dapat memulihkan integritas mukosa usus seperti yang terlihat dari
normalisasi rasio laktulosemanitol urin pada anak dengan diare akut.
e. Zat penekan peristaltik
Sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk resorpsi air dan elektrolit
oleh mukosa usus seperti derivat petidin (difenoksilatdan loperamida),
antokolinergik (atropine, ekstrak belladonna).
f. Adstringensia
Menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak (tannin) dan
tannalbumin, garam-garam bismuth dan alumunium.
g. Adsorbensia (adsorpsi)
Zat-zat beracun (toksin) yang dihasilkan oleh bakteri atau yang adakalanya
berasal dari makanan (udang, ikan). Termasuk di sini adalah juga zat-zat
lendir yang menutupi selaput lendir usus dan lukalukanya dengan suatu
lapisan pelindung seperti kaolin, pektin (suatu karbohidrat yang terdapat
antara lain sdalam buah apel) dan garam- garam bismuth serta alumunium.
h. Spasmolitik
Zat-zat yang dapat melepaskan spasme otot yang seringkali mengakibatkan
nyeri perut pada diare antara lain papaverin dan oksifenonium.
Selain diare, E. coli juga dapat menyebabkan beberapa penyakit yang bisa juga
disebabkan beberapa bakteri lain, antara lain penyakitnya sebagai berikut:
1. Infeksi saluran kemih Penyebab yang paling lazim dari infeksi saluran kemih dan
merupakan penyebab infeksi saluran kemih pertama pada kira – kira 90% wanita
muda. Gejala yang muncul sering kencing, disuria, hematuria, dan piura.
Kebanyakan infeksi ini disebabkan oleh E. coli dengan sejumlah tipe antigen O.
2. Sepsis Bila pertahanan inang normal tidak mencukupi, E. coli dapat memasuki aliran
darah dan menmyebabkan sepsis. Bayi yang baru lahir dapat sangat rentan terhadap
sepsis E. coli karena tidak memiliki antibody IgM. Sepsis dapat terjadi akibat infeksi
saluran kemih.
3. Meningitis E. coli merupakan salah satu penyebab utama meningitis pada bayi. E.
coli dari kasus meningitis ini mempunyai antigen KI. Antigen ini bereaksi silang
dengan polisakarida simpai golongan B dari N meningtidis. Mekanisme virulensi
yang berhubungan dengan antigen KI tidak diketahui.
4. Salmonella Typhi
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi
oleh feses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Bruner & Sudart, 1994).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
thypi dan salmonella para thypi A,B,C. Penyakit ini juga dikenal adalah Typhoid dan
paratyphoid abdominalis.
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejalagejala sistemik
yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara
faecal-oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer, 1999). Penularan
salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food
(makanan), Fingers (jari tangan / kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Faeces.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada
orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan
hinggap dimakanan yang akan dimakan oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut
kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang
tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut.
Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan
limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah
dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan
kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk
limpa, usus halus dan kandung empedu.
5. Vibrio Cholerae
Kolera adalah penyakit akibat bakteri Vibrio Cholerae yang biasanya menyebar
melalui air yang terkontaminasi. Penyakit ini dapat menyebabkan dehidrasi akibat diare
yang parah. Kolera bisa berakibat fatal dalam hitungan jam saja jika tidak segera diatasi.
Penyakit ini biasa mewabah di daerah yang padat penduduk tanpa sanitasi yang baik.
Penyebab infeksi kolera adalah bakteri bernama Vibrio cholerae. Bakteri kolera
memproduksi CTX atau racun berpotensi kuat di usus kecil. Dinding usus yang ditempeli
CTX akan mengganggu aliran mineral sodium dan klorida hingga akhirnya menyebabkan
tubuh mengeluarkan air dalam jumlah besar (diare) dan berakibat kepada kekurangan
elektrolit dan cairan. Ada dua siklus kehidupan yang berbeda pada bakteri kolera, yaitu di
dalam tubuh manusia dan lingkungan. Bakteri kolera di tubuh manusia ditularkan melalui
tinja yang mengandung bakteri. Bakteri kolera bisa berkembang biak dengan subur jika
persediaan air dan makanan telah terkontaminasi dengan tinja tersebut. Selain itu bakteri
kolera juga dapat berkembang di lingkungan sekitar manusia tinggal. Perairan pinggir pantai
yang memiliki krustasea kecil bernama copepoda merupakan tempat alami munculnya
bakteri kolera. Plankton dan alga jenis tertentu merupakan sumber makanan bagi krustasea,
dan bakteri kolera akan ikut bersama inangnya, yaitu krustasea, mengikuti sumber makanan
yang tersebar di seluruh dunia.
Tidak semua penderita kolera memiliki gejala, sehingga tidak sadar bahwa mereka
telah terinfeksi Vibrio cholera dan hanya 10 persen saja yang menunjukkan gejala. Penderita
yang tidak memiliki gejala masih bisa menularkan kepada orang lain melalui air yang
terkontaminasi akibat bakteri kolera yang menyebar melalui tinja selama 1-2 minggu. Kolera
yang telah menyebabkan gejala selama beberapa jam bisa mengakibatkan dehidrasi atau
tubuh kekurangan cairan. Dehidrasi parah terjadi jika tubuh kehilangan cairan lebih dari 10
persen total berat tubuh. Selain itu perlu diketahui bahwa diare akibat kolera bisa
menyebabkan hilangnya cairan tubuh dengan cepat, yaitu sekitar 1 liter per jam, dan muncul
secara tiba-tiba. Orang yang terjangkit bakteri kolera akan merasa mual dan muntah selama
beberapa jam pada tahap awal terinfeksi.
Ada beberapa gejala dehidrasi akibat kolera sebagai berikut: mulut terasa kering,
aritmia, iritabilitas, merasa kehausan, hipotensi, penurunan kesadaran, oliguria dan kulit
berkerut dan kering. Dehidrasi bisa menyebabkan ketidakseimbangan kadar elektrolit atau
hilangnya sejumlah besar mineral dalam darah yang berguna menjaga keseimbangan cairan
dalam tubuh. Ketidakseimbangan elektrolit bisa menyebabkan oksigen dan tekanan darah
menurun drastis serta kram otot. Anak-anak yang terjangkit bakteri kolera lebih rentan
terkena hipoglisemia atau gula darah rendah yang bisa menyebabkan kejang, hilang
kesadaran, dan bahkan koma. Diagnosis dilakukan untuk mengatasi kolera dan menentukan
perawatan yang tepat.
Satu-satunya cara untuk memastikan diagnosis kolera adalah dengan menguji sampel
tinja untuk keberadaan bakteri. Kini petugas medis di daerah terpencil bisa menggunakan tes
untuk mendiagnosis kolera lebih cepat dan mengurangi dampak fatal yang bisa terjadi.
Dampak paling fatal akibat kolera adalah kematian yang dapat terjadi dalam hitungan jam
saja. Itu sebabnya pasien membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Langkah-langkah
penanganan darurat dapat berupa:
a. Pemberian oralit untuk menggantikan cairan dan elektrolit yang hilang. Oralit
tersedia dalam bentuk bubuk yang bisa dicampur dengan air mineral botol
atau air yang dimasak hingga mendidih.
b. Pemberian infus untuk orang yang mengalami dehidrasi parah.
c. Pemberian suplemen seng untuk meredakan diare pada anak-anak penderita
kolera.
d. Pemberian antibiotik untuk mengurangi jumlah bakteri, sekaligus
mempersingkat diare akibat kolera. (Umm, n.d.)
- Pencegahan Water-Food Borne Disease
Ada beberapa cara pencegahan yang dapat kita lakukan untuk menghindari water-food
borne disease. Berikut adalah cara-cara pencegahan yang telah disarikan dari beberapa
sumber yaitu:
1. Lakukan pengelolaan lingkungan yang baik. Menyiram atau membuang tinja di toilet
dan area yang bersih sekitarnya. Penggunaan disinfektan berbasis klorin sangat
dianjurkan.
2. Praktik personal hygiene yang baik. Biasakan untuk selalu bersih. Sering mencuci
tangan sangat penting pada semua kelompok umur. Praktik mencuci tangan pada
anak-anak harus diawasi. Cuci tangan dengan sabun untuk setidaknya 20 detik, dan
menggosok semua permukaan. Cuci tangan pakai sabun dilakukan setelah
melakukan hal-hal berikut:
a. Cuci tangan setelah menggunakan toilet, mengganti popok atau menceboki
anak yang telah buang air besar, dan juga sebelum dan sesudah merawat
seseorang yang sakit dengan diare.
b. Cuci tangan setelah memegang hewan, membersihkan kotoran hewan, dan
juga setelah berkebun.
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah menyiapkan makanan atau makan.
3. Mengambil tindakan pencegahan keamanan pangan dengan belajar tentang dasar-
dasar keamanan pangan sehingga dapat melindungi diri sendiri, teman, keluarga dan
orang-orang di komunitas Anda.
a. Cuci dan atau mengupas semua sayuran dan buah-buahan sebelum dimakan,
terutama bila dimakan mentah.
b. Periksa semua kemasan makanan beku, pilih makanan beku yang tahan lama,
dan pilih telur segar dengan hati-hati.
c. Minum dan makan produk susu hanya yang telah melalui proses pasteurisasi
(susu, keju, yoghurt dan es krim).
d. Memasak semua daging dengan benar (daging, unggas dan makanan laut).
Misalnya, daging sapi harus dimasak dengan suhu internal 71°C/160° F.
e. Makanan aman dimasak saat mencapai suhu internal yang cukup tinggi untuk
membunuh bakteri berbahaya yang menyebabkan penyakit bawaan makanan.
Dinginkan makanan dengan cepat, karena suhu dingin memperlambat
pertumbuhan bakteri berbahaya.
f. Cuci tangan serta membersihkan semua permukaan berkenaan dengan dapur
dan peralatan setelah kontak dengan daging mentah atau unggas.
g. Cuci tangan sebelum memegang makanan, termasuk ketika menangani antar
makanan yang berbeda.
h. Mencegah kontak antara makanan yang telah selesai dimasak dengan
makanan mentah (misalnya, daging mentah, dan unggas).
i. Membersihkan semua peralatan (talenan, counter kerja, dan lain-lain)
sebelum dan setelah digunakan. Usahakan menggunakan air panas dan
deterjen untuk membersihkan, kemudian bilas dengan air panas.
j. Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain saat kita memiliki gejala
minimal selama 48 jam setelah pulih.
4. Meminum hanya air yang telah diolah dengan benar (safe water). Air dari pasokan
air swasta harus secara rutin diuji harus dua kali setahun untuk Total Coliform dan
E.coli. Analisis anorganik pada pasokan air swasta sebaiknya dilakukan setiap dua
sampai tiga tahun
Tindakan pencegahan yang lain adalah dengan melakukan monitoring kualitas pada air.
mengatakan ada beberapa tingkatan pengambilan sampel air yang terkontaminasi meliputi:
grab samples, composite samples, timed cycle samples, flow proportional samples, indicator
samples. Grab samples dilakukan dengan mengambil sampel air satu kali saja yang
mempersentasikan waktu yang tepat untuk karakteristik limbah. Composite samples
dilakukan secara seri dari masing-masing lokasi yang dianggap tepat. Timed cycle samples
dengan tehnik mengambil sampel dengan volume yang sama pada interval waktu tertentu.
Flow proportional samples diambil dengan aliran badan air. Indikator samples dapat
menggunakan kontaminan biologi. (Umm, n.d.)
3. Stepwise Air borne Disease
Airborne Diseases bila diterjemahkan secara bebas adalah penyakit-penyakit
yang dapat ditularkan melaui udara. Penyakit di udara mengacu pada setiap
penyakit yang disebabkan oleh agen mikroba patogen dan ditularkan melalui udara.
Virus-virus dan bakteri dapat ditransmisikan melalui batuk, bersin, tertawa atau
melalui kontak pribadi yang dekat. Patogen ini melekat pada partikel debu atau
droplet pernapasan dan dapat tetap melayang di udara dan atau mampu berpindah
jarak melalui arus udara. Selain itu Airborne diseases juga dapat disebabkan
oleh bahan kimia, seperti asbes, Volatile Organic Compounds (VOC),
formaldehyde, juga senyawa- senyawa kimia yang terkandung dalam asap rokok.
Beberapa penyakit airborne disease antara lain Enteritis, Enterokolitis, Pneumonia,
Brusellosis, Pertusis, Sinusitis, Laringo trakheitis, Meningitis, Kholesistis,
Tuberculosa, Campak, SARS, Difteri, dll. (Disease, 2012)
Penyakit yang ditularkan melalui udara dapat menyebar bila penderita infeksi
tertentu seperti batuk, bersin, muntahan nasal talk, dan sekresi tenggorokan ke udara.
Beberapa bakteri atau virus menggantung di udara atau mendarat di orang lain atau di
permukaan. Saat menghirup organisme patogen yang terbawa udara, bertempat tinggal di
dalam individu, saat menyentuh permukaan, menyentuh mata, hidung, atau mulutnya
sendiri. Penyakit yang ditularkan melalui udara ini menyebar di udara, tidak dapat
dikendalikan. Karenanya ini menyebabkan penyakit menular dari satu orang ke orang lain.
(Gude, 2021)
Udara dikenal sebagai medium penyebaran penyakit virus menular yang menyerang
sistem pernapasan manusia seperti Tuberculosis (TBC), Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS), dan yang saat ini sedang ramai dibicarakan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19). Virus ini dalam bentuk partikel yang lebih kecil menyebar melalui udara dapat
menginfeksi manusia pada jarak lebih dari 1 meter. Akibatnya, virus penyakit menular ini
lebih mematikan dan beresiko tinggi bagi manusia di dalam ruangan tertutup dimana
terdapat batasan jarak dan sirkulasi udara yang buruk. (Dwiana et al., 2019)
Beberapa himbauan telah dilakukan untuk melindungi manusia, seperti menghindari
keramaian dan beraktivitas dari rumah secara online. Namun tidak semua bisa menerapkan
hal tersebut, sehingga beberapa kantor menerapkan kebijakan dengan system shift untuk
mengurangi kepadatan orang di dalam bangunan. Meski begitu, hal tersebut tetap tidak
mengurangi resiko penyebaran penyakit di dalam ruangan secara signifikan jika
penyebarannya melalui udara. (Dwiana et al., 2019).
Penyakit yang ditularkan melalui udara ini menyebar di udara, tidak dapat
dikendalikan. Karenanya ini menyebabkan penyakit menular dari satu orang ke orang lain.
Beberapa penyakit yang menyebar melalui udara, antara lain 
- Coronavirus atau COVID-19 
Virus yang cepat menyebar, Coronavirus, SARS-CoV-2, dan penyebab penyakit
tersebut, COVID-19, telah menyebabkan jutaan infeksi dan ribuan kematian global pada
tahun 2020. 
SARS-CoV-2 menyebar melalui tetesan pernafasan setelah seseorang batuk atau
bersin, tetapi tetesan ini lebih besar daripada yang dianggap melalui udara. 
Gejala COVID-19 termasuk batuk, demam, sesak napas, dan kelelahan. 
- Pilek 
Jutaan kasus terjadi flu biasa setiap tahun. Penyebab flu adalah rhinovirus. Ada
beberapa virus yang dapat menyebabkan pilek, tetapi biasanya virus rhino. 
- Cacar Air
Cacar Air disebabkan oleh virus, virus varicella-zoster. Diperlukan waktu hingga
21 hari agar penyakit berkembang setelah terpapar. 
Kebanyakan orang terkena cacar air hanya sekali seumur hidup.
- Influenza 
Menyebar sangat mudah karena menular sehari sebelum Anda melihat gejala
penyakit dan menetap selama 5 sampai 7 hari. Ada banyak jenis penyakit yang dapat
menyebabkan flu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari Makalah ini adalah
1. Tujuan utama dari STEPS adalah untuk memandu pembentukan sistem surveilans
faktor risiko di negara dengan menyediakan kerangka kerja dan pendekatan; untuk
memperkuat ketersediaan data untuk membantu negara menginformasikan,
memantau, dan mengevaluasi kebijakan dan program mereka; untuk memfasilitasi
pengembangan profil populasi dari eksposur faktor risiko PTM; untuk
memungkinkan perbandingan antar populasi dan lintas kerangka waktu; dan untuk
membangun kapasitas manusia dan kelembagaan untuk surveilans penyakit tidak
menular (PTM).
2. Pendekatan STEPS mendukung pemantauan beberapa faktor risiko penyakit tidak
menular yang dapat dimodifikasi yang mencerminkan sebagian besar beban
penyakit tidak menular (PTM) di masa depan dan yang dapat menunjukkan
dampak intervensi yang dianggap efektif dalam mengurangi PTM.. Karena
STEPS juga mempromosikan pengumpulan data tentang sejumlah faktor risiko
yang berbeda, maka STEPS memiliki keunggulan dibandingkan survei faktor
risiko tunggal karena memungkinkan pemahaman tentang bagaimana faktor risiko
mengelompok dalam suatu populasi dan menawarkan kesempatan bagi negara
untuk memperkirakan proporsi kecil.
3. Dari gambaran suram tentang sangat sedikit data yang tersedia pada tahun 2000
dari sebagian besar negara berpenghasilan rendah dan menengah, hingga 15 tahun
kemudian, kita dapat melihat dari pemetaan kegiatan STEPS bahwa banyak
negara sekarang memiliki data yang kuat tentang faktor risiko Penyakit Tidak
Menular yang mereka gunakan untuk melaporkan kemajuan mereka terhadap
target nasional untuk PTM dan untuk memandu kebijakan dan program mereka di
PTM, seperti untuk pengembangan rencana aksi PTM di Benin, Cabo Verde,
Mauritania, dan Togo.
4. Dengan menerapkan survei STEPS, suatu negara akan memiliki data yang
diperlukan untuk memantau dan melaporkan 7 dari 9 target global untuk PTM
(tembakau, penggunaan alkohol yang berbahaya, aktivitas fisik, asupan garam dan
natrium, diabetes dan obesitas, hipertensi, pencegahan penyakit serangan jantung
dan stroke) dan sejumlah indikator lain yang termasuk dalam Kerangka
Pemantauan Global (misalnya, kolesterol total, skrining kanker serviks).
5. Menurut WHO, Water food borne disease mencakup spektrum yang luas dari
penyakit dan masalah kesehatan masyarakat yang berkembang di seluruh dunia.
6. Mereka adalah hasil dari kontak dengan air dan konsumsi bahan makanan yang
terkontaminasi dengan mikroorganisme atau bahan kimia.
7. Kontaminasi makanan dapat terjadi pada setiap tahap dalam proses dari produksi
pangan untuk konsumsi dan dapat hasil dari pencemaran lingkungan, termasuk
polusi air, tanah atau udara.
8. Setiap hari ribuan orang meninggal disebabkan oleh water-food borne disease
yang sebetulnya dapat dicegah Menjaga rumah kita dari water-food borne disease
dimulai tidak hanya saat kita di rumah, tapi sejak di supermarket, toko kelontong,
atau tempat lain di mana kita membeli makanan yang kita rencanakan untuk
disimpan dan disajikan Perkembangan water-food borne disease ditemukan tidak
hanya pada saat pemenuhan kebutuhan mendasar tentang air dan makanan dalam
keseharian.
9. World Health Organization, mendefinisikan water-food borne disease, atau
penyakit yang ditularkan melalui air dan makanan, adalah penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang paling sering ditularkan di air
tawar yang terkontaminasi.
10. Gejala secara gastrointestinal dapat terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa
minggu dan sering menyajikan dirinya sebagai gejala flu, seperti orang yang sakit
mungkin mengalami gejala seperti mual, muntah, diare, atau demam.
11. Contoh yang paling sering dan menonjol adalah berbagai bentuk penyakit diare
yang ditularkan melalui air.
12. Penyakit Water-Food Borne yang Lazim di Indonesia dan Penatalaksanaannya a.
Infeksi E. Coli Kaper, Nataro & Mobley mengatakan secara patogenesis ada
lima kelas E. coli yang menghasilkan penyakit yang diklasifikasikan berdasarkan
patogenesisnya:
1. Racun (enterotoksigenik),
2. Invasif (enteroinvasive),
3. Hemoragik (enterohemorrhagic),
4. Patogen (enteropathogenic),
5. Agregatif (penggumpalan atau enteroaggregative).
13. Diare dan gejala lainnya mungkin disebabkan oleh invasi sel host dan interferensi
dengan proses seluler disertai dengan produksi racun.
14. Obat diare ini diindikasikan untuk diare akut, diare yang disebabkan oleh E. coli
dan Staphylococcus, kolopatis spesifik dan non spesifik, baik digunakan untuk
anak-anak maupun dewasa.
15. Termasuk di sini adalah juga zat-zat lendir yang menutupi selaput lendir usus dan
lukalukanya dengan suatu lapisan pelindung seperti kaolin, pektin (suatu
Karbohidrat yang terdapat antara lain sdalam buah apel) dan garam- garam
bismuth serta alumunium.
16. Selain diare, E. coli juga dapat menyebabkan beberapa penyakit yang bisa juga
disebabkan beberapa bakteri lain, antara lain penyakitnya sebagai berikut: 1.
17. Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejalagejala sistemik
yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C.
18. Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan / kuku), Fomitus (muntah),
Fly (lalat), dan melalui Faeces.
19. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci
tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh
orang yang sehat melalui mulut.
20. Vibrio Cholerae Kolera adalah penyakit akibat bakteri Vibrio Cholerae yang
biasanya menyebar melalui air yang terkontaminasi.
21. Penderita yang tidak memiliki gejala masih bisa menularkan kepada orang lain
melalui air yang terkontaminasi akibat bakteri kolera yang menyebar melalui tinja
selama 1-2 minggu.
22. Anak-anak yang terjangkit bakteri kolera lebih rentan terkena hipoglisemia atau
gula darah rendah yang bisa menyebabkan kejang, hilang kesadaran, dan bahkan
koma.
23. Penyakit di udara mengacu pada setiap penyakit yang disebabkan oleh agen
mikroba patogen dan ditularkan melalui udara.
24. (Disease, 2012) Penyakit yang ditularkan melalui udara dapat menyebar bila
penderita infeksi tertentu seperti batuk, bersin, muntahan nasal talk, dan sekresi
tenggorokan ke udara.
25. (Gude, 2021) Udara dikenal sebagai medium penyebaran penyakit virus menular
yang menyerang sistem pernapasan manusia seperti Tuberculosis (TBC), Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS), dan yang saat ini sedang ramai dibicarakan
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
26. Beberapa penyakit yang menyebar melalui udara, antara lain - Coronavirus atau
COVID-19 Virus yang cepat menyebar, Coronavirus, SARS-CoV-2, dan
penyebab penyakit tersebut, COVID-19, telah menyebabkan jutaan infeksi dan
ribuan kematian global pada tahun 2020.
DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, A. (2016). Pedoman Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular. Jmj,
4(2), 195–202.
Disease, A. (2012). Airborne disease – difteri   .
Dwiana, M., Purnomo, A., & Rahmah, N. (2019). Peranan Bukaan Jendela Pada Desain
Kantor Asean Secretariat Dalam Pencegahan Transmisi Airborne Disease. 1(1), 8–14.
Gude, H. (2021). Infectious Diseases and Medicine Airborne Diseases and Types of diseases.
6(January), 37421. https://doi.org/10.37421/jidm.2021.6.157
Kuleš, J., Potocnakova, L., Bhide, K., Tomassone, L., Fuehrer, H. P., Horvatić, A., Galan, A.,
Guillemin, N., Nižić, P., Mrljak, V., & Bhide, M. (2017). The Challenges and Advances
in Diagnosis of Vector-Borne Diseases: Where Do We Stand? Vector-Borne and
Zoonotic Diseases, 17(5), 285–296. https://doi.org/10.1089/vbz.2016.2074
Riley, L., Guthold, R., Cowan, M., Savin, S., Bhatti, L., Armstrong, T., & Bonita, R. (2016).
The world health organization STEPwise approach to noncommunicable disease risk-
factor surveillance: Methods, challenges, and opportunities. American Journal of Public
Health, 106(1), 74–78. https://doi.org/10.2105/AJPH.2015.302962
Rocklöv, J., & Dubrow, R. (2020). Climate change: an enduring challenge for vector-borne
disease prevention and control. Nature Immunology, 21(5), 479–483.
https://doi.org/10.1038/s41590-020-0648-y
Shyamsunder Singh, U., Praharaj, M., Sharma, C., & Das, A. (2016). Paradigm Shift in
Transmission of Vector Borne Diseases. Journal of Emerging Infectious Diseases,
01(04). https://doi.org/10.4172/2472-4998.1000116
Umm, P. J. K. (n.d.). Ekologi , Pemanasan Global dan Kesehatan by Yoyok Bekti Prasetyo.
Warganegara, E., & Nur, N. N. (2016). Faktor Risiko Perilaku Penyakit Tidak Menular.
Majority, 5(2), 88–94.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/108

Anda mungkin juga menyukai