Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH PENGEMBANGAN DAN PENGORGANISASIAN

MASYARAKAT

“ STRATEGI DAN PENDEKATAN PPM ”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan dan
Pengorganisasian Masyarakat

Dosen : Slamet Priyono, SE. MM

Disusun oleh:

1. Abdal Rozaq Putra Wahyudi : 01180100010


2. Diah Nurjanah Ramadani : 01180100020
3. Nadia Salsabila : 01180100022

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju

Program Studi S1-4 Kesehatan Masyarakat


Jakarta 2019

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat yang berjudul Strategi dan
pendekatan PPM.

Kami juga berterima kasih kepada Bapak Slamet Priyono, SE. MM. selaku dosen
pengajar mata kuliah Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat yang telah
memberikan tugas ini kepada kami. Terima kasih juga kepada rekan-rekan yang
turut berpartisipasi dalam memberikan ide-ide serta membantu penyusunan
makalah ini.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Strategi dan pendekatan PPM Sehingga kita pun
dapat berpartisipasi dalam upaya pengembangan dan pengorganisasian pada
masyarakat dan Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca dan untuk kedepannya kami dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Kami juga menyadari bahwa dalam makalah yang kami buat ini terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu kami berharap adanya
kritik serta saran yang membangun demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi
di tugas selanjutnya.

Jakarta, 12 Oktober 2019

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

DAFTAR TABEL............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................1

1.3 Tujuan................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2

2.1 Pengertian Pendekatan Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat........2

2.2 Pendekatan dalam Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat menurut


G-Ross Murray...............................................................................................................5

2.3 Pendekatan dalam Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat menurut


Batern 7

2.4 Pengertian Pendekatan Direktif dan Non Direktif..............................................9

2.5 Kondisi Untuk Tumbuhnya "Self-directed Action"..........................................10

2.6 Peran dan Petugas.............................................................................................11

2.7 Keuntungan Pendekatan Non-direktif...............................................................11

2.8 Kerugian Pendekatan Non-direktif...................................................................12

2.9 Strategi dalam Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat...................12

2.10 Strategi Promosi Kesehatan Global..................................................................14

2.11 Strategi Promosi Kesehatan menurut Piagam Ottawa Charter..........................17

BAB III PENUTUP..........................................................................................................22

3.1 Kesimpulan......................................................................................................22

3.2 Saran................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................23

ii
DAFTAR TABEL

TABEL 2. 1 STRATEGI PROMOSI KESEHATAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 585/MENKES/SK/V/2007.........................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan masyarakat pada masa lalu belum berjalan terlalu
baik, dikarenakan beberapa masalah yang mengahalangi.
Permasalahan ini umumnya terjadi dari segi sosial dan kesejahteraan
ekonomi masayarakat, dimana masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek
oleh pemerintah dalam pengembangan masyarakat bukan dijadikan
subyek. Terkait dengan hal ini pula, pengembangan masyarakat masih
terpaku pada profesi dari praktisi pengembangan masyarakat. Sehingga
metode yang digunakan dalam pengembangan masyarakat bukanlah
didasarkan pada karakteristik masyarakat namun didasarkan pada profesi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pentingnya pendekatan dan strategi masyarakat.
2. Bagaimana cara pendekatan pada masyarakat.
3. Bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat.

1.3 Tujuan
1. Mengetahui deskripsi strategi dan pendekatan dalam pengembangan
dan pengorganisasian masyarakat.
2. Untuk mengetahui pendekatan dalam pengembangan dan
pengorganisasian masyarakat.
3. Untuk mengetahui stategi dalam pengembangan dan pengorganisasian
masyarakat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pendekatan Pengembangan dan Pengorganisasian


Masyarakat
Dalam Buku Pengembangan Masyarakat Ife dan Tesoriero
(Openbooks, 2009). Edisi berbahasa Indonesia, stategi dan pendekatan
yang dikemukan mampu membantu proses pembangunan masyarakat,
sebab dalam menetapkan posisi kerja masyarakat dan layanan berbasis
masyarakat dalam suatu konteks yang lebih luas dari suatu pendekatan
kepada pengembangan masyarakat (community development).
Menurut Lee J Cary (Openbooks, 2009) menjelaskan pendekatan
komunitas menekankan tiga fitur atau bentuk pendekatan yang berbeda
yaitu (1) partisipasi popular atau partisipasi luas (popular or broad-based
participation); (2) komunitas sebagai konsep penting (community as an
important concept); dan (3) terkait dengan holistik alami (holistic-nature
concern).
Haward Y McClusky menguraikan pendekatan “information self-
help” mengikuti logika dari pendekatan komunitas dan “special purpose”
dengan tesis: informasi yang tepat dan bisa diaplikasikan oleh peserta CD
yang memiliki pengetahuan pada waktu yang pas bisa membuat perbedaan
dalam perngembangan komunitas. Strategi pendekatan eksperimental
menerapkan rancangan semi-eksperimental untuk kegiatan CD (dijelaskan
oleh William McNally Eversen dalam buku yang sama). George S Abshier
menjelaskan perbedaan antara pendekatan eksperimental dengan
demonstrasi yaitu kalau pendekatan eksperimental mencari jawaban
sedangkan pendekatan demonstrasi percaya jawaban sudah tersedia di
komunitas. (Anonim,2011)
Seperi yang dikemukakan oleh Jack Rothman dalam bukunya yang
berjudul “Tiga Model pengorganisasian masyarakat dalam praktik
pengembangan masyarakat”.
1. locality development approach;

2
2. social planning approach;
3. dan social action approach.
Tujuan pendekatan locality development adalah meningkatkan
kapasitas komunitas, mengintegrasikan komunitas dan membantu
komunitas lebih mandiri, sehingga mampu menyelesaikan masalah.
Pendekatan ini mengasumsikan ada hubungan yang tidak serasi, ada
persoalan standar moral, dan komunitasnya adalah komunitas tradisional
yang statis.
Penerapan pendekatan ini dalam strateginya adalah melibatkan
seluruh anggota komunitas untuk mencapai konsensus melalui komunikasi
dan diskusi.
Social planning approach menggunakan proses teknis mengatasi
masalah sosial (termasuk kemiskinan, perumahan, kesehatan dan lainnya)
yang ada melalui perubahan yang terencana berdasarkan hasil penelitian
dan perencanaan yang rasional. Praktisi berperan sebagai planner atau
peneliti yang membantu melalui riset atau penelitian menentukan prioritas
masalah dan menemukan kebutuhan dan keinginan komunitas. Komunitas
bisa sebagian atau kelompok bisa komunitas keseluruhan (level negara).
(Anonim,2011).
Social action approach didasarkan pada anggapan kelompok populasi
yang terbelakang perlu diorganisir agar beraliansi dengan yang lainnya,
dengan tujuan mendorong terjadinya respons dari komunitas yang lebih
besar untuk meningkatkan sumber daya atau perlakuan yang lebih adil dan
demokratis. Atau dengan kata lain kegiatan Community Development
mencoba meningkatkan posisi tawar dari kelompok atau populasi yang
termarjinal dalam akses atau pemanfaatan sumber daya alam melalui
perubahan institusi.
Pendekatan ini melihat ada masalah ketidakadilan sosial, peminggiran
atau eksklusi, ketimpangan di dalam masyarakat atau komunitas yang
lebih kecil (Anonim,2011).
Selanjutnya, melalui proses social action approach mendorong
pembentukan organisasi massa yang akan menjadi medium ikut dalam

3
proses politik. Sasarannya adalah kekuasaan eksternal. Tujuan akhirnya
adalah mendapatkan kekuasaan secara obyektif melalui sistem yang
berlaku. Biasanya Community Development yang dilaksanakan oleh
pemerintah terfokus pada pelayanannya, sedangkan voluntary sector lebih
fokus pada masyarakatnya. Rothman juga menyinggung ada kemungkinan
pendekatan atau model CD lainnya yang muncul dari mutasi ketika
pendekatan dasar itu.
Seperti kutipan dari Hans Speigel di dalamnya terlihat bahwa
maksudnya ketika pengorganisasian masyarakat hanya dilakukan dengan
satu posibilities hanya akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal
atau tidak menyentuh upaya pengembangan masyarakat. Rotman
menjawab catatan yang dikemukakan oleh Hans speigel dengan beberapa
klasifikasi pengorganisasian komunitas yaitu : pengembangan lokalitas,
perencanaan sosial, dan aksi sosial. Menurut Rothman menggunakan 12
variable praktis untuk ketiga model CD-nya yaitu sebagai berikut :
1. tujuan (goal categories)
2. asumsi terkait dengan struktur komunitas dan kondisi persoalan
(assumptions concerning community struture and problem
conditions);
3. strategi perubahan (basic change strategy);
4. karakteristik taktik dan teknik perubahan (characteristic change tactics
and techniques);
5. peran penting praktisi (salient practitioner roles);
6. medium perubahan (medium of change);
7. orientasi pada struktur kekuasaan (orientation toward power
structures);
8. definisi batas dari sistem klien atau konstituensi komunitas (boundary
definitions of the community client system or constituency);
9. asumsi terkait dengan kepentingan subbagian komunitas (assumptions
regarding interests of community subparts);
10. konsepsi kepentingan publik (conception of public interest);

4
11. konsepsi dari populasi atau konstituensi klien (conception of the client
population or constituency);
12. konsepsi peran dari klien (conception of client role).

Pengembangan komunitas atau community development (CD)


menjadi cara yang tepat untuk pemerintah atau institusi bisnis atau
organisasi kemasyarakatan untuk mendorong terjadinya perubahan sosial.
Tujuan dari program-program CD ini adalah untuk mengentaskan
kemiskinan, mencari solusi persoalan sosial yang dihadapi komunitas, dan
mengatasi konflik di dalam komunitas skala kecil maupun komunitas
dalam skala yang lebih besar, bahkan internasional.

2.2 Pendekatan dalam Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat


menurut G-Ross Murray

Pada prinsipnya Pengorganisasian Masyarakat mempunyai orientasi


kepada kegiatan tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu menurut “G-Ross Murray” dalam pengorganisasian Masyarakat
terdapat 3 pendekatan yang di gunakan, yaitu :

1. Spesific content objective approach : pendekatan baik perseorangan


( promokesa ), lembaga swadaya atau badan tertentu yang merasakan
adanya masalah kesehatan dan kebutuhan dari masyarakat akan
pelayanan kesehatan, mengajukan suatu proposal atau program kepada
instansi yang berwenang untuk mengatasi maslah dan memenuhi
kebutuhan masyarakat tersebut.
2. mengkoordinasikan berbagai upaya dalam bidang kesehatan dalam
suatu wadah tertentu.
3. Process objective approach : pendekatan yang lebih menekankan
kepada proses yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pengambil
prakarsa, mulai dari mengidentifikasi masalah, analisa, menyusun
perencanaan penanggulangan masalah, pelaksanaan kegiatan, sampai
dengan penilaian pengembangan kegiatan, dimana masyarakat sendiri

5
yang mengembangkan kemampuannya sesuai kapasitas yang mereka
miliki. Yang di pentikan dalam pendekatan ini adalah partisipasi
masyarakat atau peran serta masyarakat dalam pengembangan
kegiatan.

Peranan petugas dalam pengembangan dan pengorganisasian


masyarakat terbagi dalam beberapa jenis, antara lain sebagai :
pembimbing, enabler dan ahli. Sebagai pembimbing (guide) maka petugas
berperan untuk membantu masyarakat mencari jalan untuk mencapai
tujuan yang sudah ditentukan oleh masyarakat sendiri dengan cara yang
efektif. Tetapi pilihan cara dan penentuan tujuan dilakukan sendiri oleh
masyarakat dan bukan oleh petugas. Sebagai enabler, maka petugas
berperan untuk memunculkan dan mengarahkan keresahan yang ada dalam
masyarakat untuk diperbaiki. Sebagai ahli (expert), menjadi tugasnya
untuk memberikan keterangan dalam bidang-bidang yang dikuasainya.
Sedangkan persyaratan petugas antara lain :
a. Mampu mendekati masyarakat dan merebut kepercayaan mereka dan
mengajaknya untuk kerjasama serta membangun rasa saling percaya
antara petugas dan masyarakat.
b. Mengetahui dengan baik sumber-sumber daya maupun sumber-sumber
alam yang ada di masyarakat dan juga mengetahui dinas-dinas dan
tenaga ahli yang dapat dimintakan bantuan.
c. Mampu berkomunikasi dengan masyarakat, dengan menggunakan
metode dan teknik khusus sedemikian rupa sehingga informasi dapat
dipindahkan, dimengerti dan diamalkan oleh masyarakat.
d. Mempunyai kemampuan profesional tertentu untuk berhubungan
dengan masyarakat melalui kelompok-kelompok tertentu.
e. Mempunyai pengetahuan tentang masyarakat dan keadaan
lingkungannya.
f. Mempunyai pengetahuan dasar mengenai ketrampilan (skills) tertentu
yang dapat segera diajarkan kepada masyarakat untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat secara menyeluruh.
Mengetahui keterbatasan pengetahuannya sendiri. (Herlambang,2012).

6
2.3 Pendekatan dalam Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat
menurut Batern
Dalam aplikasinya di masyarakat, upaya untuk melibatkan kelompok
sasaran dihadapkan pada kenyataan bahwa situasi dan kondisi masyarakat
yang berbeda beda. Situasi yang berbeda beda ini dapat dilihat sebagai
suatu kendala dalam melibatkan sasaran secara aktif atau sebagai suatu
kondisi yang memang harus dirubah. Disini dibahas tentang penerapan
dari pendekatan direktif dan non direktif (directive and non directive
approach) seperti yang diuraikan oleh T.R. Batten. (Herlambang,2012).
Secara realistis pragmatis, maka situasi dan kondisi masyarakat yang
berbeda beda dalam upaya melibatkan masyarakat secara aktif, memang
memerlukan pendekatan yang berbeda beda pula. Masyarakat yang lebih
siap dapat dibina dengan pendekatan yang non direktif sedangkan
masyarakat yang belum siap dapat mulai dibina dengan pendekatan yang
direktif. Meskipun demikian, aplikasi hal ini harus dengan disertai suatu
kesadaran bahwa tujuan akhir adalah diperolehnya kemandirian dan oleh
karena itu secara bertahap sesuai dengan kesiapan masyarakat perlu
ditingkatkan pendekatan yang non direktif. (Herlambang, 2012).
Dalam suatu kegiatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat,
seorang petugas biasanya datang ke kelompok masyarakat tertentu,
membuat identifikasi masalah dan sampai kepada suatu kesimpulan bahwa
masyarakat memerlukan program tertentu untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Program yang ditujukan untuk memperbaiki keadaan
masyarakat ini sebetulnya didasarkan pada asumsi bahwa petugas
mempunyai kemampuan untuk menetapkan "konsep baik-buruk" dari
masyarakat sasaran. (Herlambang, 2012).
Meskipun hal ini kelihatannya sederhana, masalah sebenarnya justru
tidak sederhana. Setiap orang bisa mempunyai pendapat sendiri -sendiri
tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan pendapat -pendapat ini bisa

7
berbeda satu sama lain. Banyak faktor yang menentukan pandangan
seseorang tentang baik-buruknya sesuatu, seperti misalnya faktor
pengalaman, pendidikan, harapan, motovasi dan sebagainya. (Herlambang,
2012).
Dengan demikian bisa terjadi bahwa apa yang dianggap buruk oleh
petugas belum tentu ditafsirkan sama oleh masyarakat dan demikian juga
apa yang dianggap baik oleh masyarakat belum tentu mendapat penafsiran
yang sama dari petugas. Pada suatu pendekatan yang direktif, petugaslah
yang menetapkan apa yang baik atau buruk bagi masyarakat, cara -cara
apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya dan selanjutnya
menyediakan sarana yang diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dengan
pendekatan seperti ini memang prakarsa dan pengambilan keputusan
berada ditangan petugas. Dalam prakteknya petugas memang mungkin
menanyakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau cara apa yang
perlu dilakukan untuk mengatasi suatu masalah, tetapi jawaban yang
muncul dari masyarakat selalu diukur dari segi baik dan buruk menurut
petugas.(Herlambang, 2012).
Dengan pendekatan ini memang banyak hasil yang telah diperoleh,
tetapi terutama untuk hal - hal yang bersifat tujuan jangka pendek, atau
yang bersifat pencapaian secara fisik. Pendekatan seperti ini menjadi
kurang efektif untuk mencapai hal-hal yang sifatnya jangka panjang atau
untuk memperoleh perubahan-perubahan mendasar yang berkaitan dengan
perilaku. Penggunaan pendekatan direktif sebetulnya juga mengakibatkan
hilangnya kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar dan
menimbulkan kecenderungan untuk tergantung kepada petugas. Pada
pendekatan non-direktif, petugas tidak menempatkan diri sebagaiorang
yang menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk bagi
masyarakat,untuk membuat analisa dan mengambil keputusan untuk
masyarakat atau menetapkan cara-cara yang bisa dilakukan oleh
masyarakat.( Herlambang, 2012).
Dengan menggunakan pendekatan ini petugas berusaha untuk
merangsang tumbuhnya suatu proses penetapan sendiri (self

8
determination) dan kemandirian (self-help). Tujuannya adalah agar
masyarakat memeperoleh pengalaman belajar untuk pengembangan diri
dengan melalui pemikiran dan tindakan oleh masyarakat sendiri.
(Herlambang, 2012).

2.4 Pengertian Pendekatan Direktif dan Non Direktif


Dalam suatu kegiatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat,
seorang petugas biasanya datang ke kelompok masyarakat tertentu,
membuat identifikasi masalah dan sampai kepada suatu kesimpulan bahwa
masyarakat memerlukan program tertentu untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Program yang ditujukan untuk memperbaiki keadaan
masyarakat ini sebetulnya didasarkan pada asumsi bahwa petugas
mempunyai kemampuan untuk menetapkan "konsep baik-buruk" dari
masyarakat sasaran.
Meskipun hal ini kelihatannya sederhana, masalah sebenarnya justru
tidak sederhana. Setiap orang bisa mempunyai pendapat sendiri-sendiri
tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan pendapat-pendapat ini bisa
berbeda satu sama lain. Banyak faktor yang menentukan pandangan
seseorang tentang baik-buruknya sesuatu, seperti misalnya faktor
pengalaman, pendidikan, harapan, motovasi dan sebagainya. Dengan
demikian bisa terjadi bahwa apa yang dianggap buruk oleh petugas belum
tentu ditafsirkan sama oleh masyarakat dan demikian juga apa yang
dianggap baik oleh masyarakat belum tentu mendapat penafsiran yang
sama dari petugas.
Pada suatu pendekatan yang direktif, petugaslah yang menetapkan apa
yang baik atau buruk bagi masyarakat, cara-cara apa yang perlu dilakukan
untuk memperbaikinya dan selanjutnya menyediakan sarana yang
diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dengan pendekatan seperti ini
memang prakarsa dan pengambilan keputusan berada ditangan petugas.
Dalam prakteknya petugas memang mungkin menanyakan apa yang
menjadi kebutuhan masyarakat atau cara apa yang perlu dilakukan untuk
mengatasi suatu masalah, tetapi jawaban yang muncul dari masyarakat

9
selalu diukur dari segi baik dan buruk menurut petugas. Dengan
pendekatan ini memang banyak hasil yang telah diperoleh, tetapi terutama
untuk hal- hal yang bersifat tujuan jangka pendek, atau yang bersifat
pencapaian secara fisik. Pendekatan seperti ini menjadi kurang efektif
untuk mencapai hal-hal yang sifatnya jangka panjang atau untuk
memperoleh perubahan-perubahan mendasar yang berkaitan dengan
perilaku. Penggunaan pendekatan direktif sebetulnya juga mengakibatkan
hilangnya kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar dan
menimbulkan kecenderungan untuk tergantung kepada petugas. Pada
pendekatan non-direktif, petugas tidak menempatkan diri sebagai orang
yang menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk bagi
masyarakat,untuk membuat analisa dan mengambil keputusan untuk
masyarakat atau menetapkan cara-cara yang bisa dilakukan oleh
masyarakat.
Dengan menggunakan pendekatan ini petugas berusaha untuk
merangsang tumbuhnya suatu proses penetapan sendiri (self
determination) dan kemandirian (self-help). Tujuannya adalah agar
masyarakat memeperoleh pengalaman belajar untuk pengembangan diri
dengan melalui pemikiran dan tindakan oleh masyarakat sendiri.

2.5 Kondisi Untuk Tumbuhnya "Self-directed Action"


Dari berbagai pengalaman pelaksanaan kegiatan masyarakat, sebagian
masyarakat memang berhasil berkembang dengan pendekatan non- direktif
tetapi ada juga mengalami kegagalan. Untuk tumbuhnya suatu self-
directed action sebagai hasildari pendekatan dibutuhkan beberapa kondisi,
yaitu :
1. Adanya sejumlah orang yang tidak puas terhadap keadaan mereka dan
sepakat tentang apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan khusus
mereka.
2. Orang-orang ini menyadari bahwa kebutuhan tersebut, hanya akan
terpenuhi jika mereka sendiri berusaha untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.

10
3. Mereka memiliki, atau dapat dihubungkan dengan sumber-sumber
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Yang dimaksud
dengan sumber-sumber disini meliputi : pengetahuan, ketrampilan
atau sarana dan kemauan yang kuat untuk melaksanakan keputusan
yang telah ditetapkan bersama-sama.

2.6 Peran dan Petugas


Untuk terciptanya kondisi-kondisi seperti tersebut diatas, maka
petugas dapat mengambil peran untuk :
1. Menumbuhkan keinginan untuk bertindak dengan merangsang
munculnya diskusi tentangapa yang menjadi masalah dalam
masyarakat.
2. Memberikan informasi, jika dibutuhkan tentang pengalaman kelompok
lain dalam mengorganisasi diri untuk menghadapi hal yang serupa.
3. Membantu diperolehnya kemampuan masyarakat untuk membuat
analisa situasi secara sistimatik tentang hakekat dan penyebab dari
masalah yang dihadapi masyarakat.
4. Menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang dapat
dimanfaatkan untuk membantu mengatasi masalah yang sedang
dihadapi mereka, sebagai tambahan dari sumber-sumber yang memang
sudah dimiliki masyarakat. Dalam menjalankan pendekatan non-
direktif, petugas dapat dihadapkan kepada munculnya konflik-konflik
diantara sesama anggota masyarakat. Konflik yang tidak dapat
dikendalikan dan diatasi dapat mengakibatkan perpecahan, oleh karena
itu petugas harus mampu mengenal adanya konflik ini dan mengambil
tindakan-tindakan untuk mengatasinya.

2.7 Keuntungan Pendekatan Non-direktif


Beberapa keuntungan yang bisa didapatkan dari pendekatan non direktif.
1. Memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dalam keterbatasan
sumber yang ada. Pada dasarnya memang selalu ada keterbatasan dana,
tenaga maupun teknologi yang dimiliki oleh pemerintah atau lembaga

11
swasta. Dibukanya kesempatan keadan masyarakat untuk
mengorganisasi kegiatan dengan menggunakan sumber-sumber yang
ada akan memberikan kesempatan kepada pemerintah/lembaga untuk
membantu lebih banyak kegiatan di tempat-tempat lainnya. Selain itu
kesempatan untuk megorganisasi diri juga memungkinkan digalinya
potensi setempat yang semula tidak terlihat.
2. Membantu perkembangan masyarakat Dengan diperolehnya
pengalaman belajar maka kemampuan masyarakat akan berkembang
diikuti dengan tumbuhnya rasa percaya diri akan kemampuan mereka
untuk mengatasi masalah.
3. Menumbuhkan rasa kebersamaan (we-feeling). Pengalaman
bekerjasama diantara sesame anggota masyarakatuntuk mengatasi
masalah-masalah bersama akan meningkatkan pengenalan diri diantara
mereka sehingga dapat dirasakan tumbuhnya rasa kebersamaan.

2.8 Kerugian Pendekatan Non-direktif

Beberapa keterbatasan pendekatan Non-Direktif yaitu:


1. Petugas tidak dapat sepenuhnya menetapkan isi dan proses kegiatan
serta tidak dapat menjamin bahwa hasil akhirakan sesuai dengan
keinginannya.
2. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan pendekatan direktif
cenderung tidak menyukai pendekatan yang non-direktif karena
dengan pendekatan ini masyarakat "dipaksa" untuk terlibat secara
aktif dan ikut bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan yang
ditetapkan.

2.9 Strategi dalam Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat


Pada dasarnya, strategi dipandang sebagai sebuah upaya yang diatur
untuk mempengaruhi seseorang atau suatu sistem dalam hubungannya
dengan tujuan yang diinginkan oleh seorang pelaku. Ada tiga strategi
dasar dalam pengembangan masyarakat, yaitu Strategi Empiris-rasional,
Strategi Normatif-reedukatif, dan Strategi Kekuasaan-Paksaan (Power-

12
Coercive). Dapat dijelaskan, pemilihan strategi yang tepat didasarkan
kepada asumsi- asumsi yang digunakan oleh perencana terhadap kondisi
masyarakat.
Asumsi tentang masyarakat menjadi pijakan kepada perencana untuk
mennetukan berbagai hal yang harus dipersiapkan dan dilakukan dalam
mewujudkan tujuan yang ingin dicapai.
1. Strategi Empiris-Rasional
Strategi Empiris Rasional didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai
berikut:
a. Manusia adalah mahluk rasional. Dengan demikian, musuh utama
rasionalitas manusia adalah kebodohan dan tahayul.
b. Manusia akan mengikuti kepentingan dirinya yang rasional.
c. Manusia akan menerima perubahan jika perubahan tersebut dapat
diterima dan dibenarkan secara rasional. Untuk itu, agen perubahan
harus dapat menunjukkan manfaat perubahan bagi sasaran
perubahan. Karena apabila manfaat dari perubahan itu tidak dapat
mereka terima atau tidak dapat terbukti, maka mereka tidak dapat
meyakini perlunya perubahan bagi mereka. Tujuan yang ingin
dicapai adalah perubahan pengetahuan melalui informasi atau dasar
pemikiran intelektual.
2. Strategi Normatif-Reedukatif
Strategi Normatif-reedukatif didasarkan pada asumsi sebagai berikut:
1. Pola tindakan dan perilaku warga masyarakat didukung oleh:
a. Norma-norma sosial-budaya, dan
b. Komitmen individu terhadap norma-norma.
2. Norma sosial-budaya didukung oleh sikap dan sistem nilai dari
indvidu (pandangan normatif yang memperkuat komitmen
mereka).
3. Perubahan pola perilaku atau tindakan masyarakat hanya kaan
terjadi jika orang dapat digerakan hatinya untuk mengubah
orientasi normatif terhadap pola lama dan mengembangkan

13
komitmen terhadap pola yang baru. Tujuan yang ingin dicapai
adalah perubahan siskap, perasaan, dan pola hubungan.
3. Strategi Power-Coercive
Strategi Power-coercive didasarkan kepada asumsi:
1. Manusia akan mengikuti keinginan dari pihak lain yang
dipandangkan memiliki kekuasaan lebih besar. Terlebih lagi bila
sebagian sumber pemenuhan kebutuhan dia berada pada pihak
tersebut.
2. Masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah dan
situasi masyarakat yang anomi menuntut peran yang lebih besar
dari penguasa untuk melakukan inisiatif dan pengaturan.
3. Manusia akan mengikuti perubahan yang terjadi ketika tidak
memiliki daya daya tawar dan kemampuan untuk mengoreksi.
4. Unsur kekuasaan yang digunakan:
a. Kekuasaan Politik
b. Kekuasaan Ekonomi
c. Kekuasaan Moral.

Tujuan yang ingin dicapai perubahan orientasi dan kemauan


mengikuti arah perubahan. Sebagai strategi dasar, operasionalisasinya
akan terkait dengan pendekatan dan model pengembangan masyarakat
yang digunakan. Untuk itu, perlu diperhatikan komponen-komponen
yang perlu diperhatikan dalam menyusun strategi pengembangan
masyarakat.

Strategi memiliki kedudukan yang cukup sentral dalam proses


pengembangan masyarakat. Tanpa strategi dan komitmen dalam
pengembangan masyarakat menjadi hanya sebatas retorika yang tanpa
makna. Aksi yang dilakukan tanpa menggunakan strategi yang tepat tidak
dapat menjamin tercapainya hasil yang diharapkan.

2.10 Strategi Promosi Kesehatan Global

14
Berdasarkan rumusan WHO (1994), strategi promosi kesehatan secara
global ini terdiri dari 3 hal, yaitu:

a. Advokasi (Advocacy)
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain, agar orang
lain tersebut membantu atau mendukung terhadap apa yang diinginkan.
Advokasi dalam konteks promosi kesehatan adalah pendekatan kepada
para pembuat keputusan atau penentu kebijakan di berbagai sektor, dan
di berbagai tingkat, sehingga para pejabat tersebut mau mendukung
program kesehatan yang kita inginkan. Dukungan dari para pejabat
pembuat keputusan tersebut dapat berupa kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, surat
keputusan, surat instruksi, dan sebagainya. Kegiatan advokasi ini ada
bermacam-macam bentuk, baik secara formal mnaupun informal.
Secara formal misalnya:
1) Penyajian atau presentasi dan seminar tentang issu kesehatan
lingkungan di masyarakat setempat dan pentinya air bersih pada
masayarakat bantaran sungai yang biasa digunakan sehari-hari
keperluan konsumsi.
2) Usulan program yang ingin dimintakan dukungan dari para pejabat
yang terkait baik dana maunpun kebijakan seperti pembuatan jamban
umum di darat (jamban komunal).
Kegiatan advokasi secara informal misalnya bertemu kepada para
pejabat yang relevan dengan program yang diusulkan, untuk secara
informal minta dukungan, baik dalam bentuk kebijakan, atau mungkin
dalam bentuk dana atau fasilitas lain. Dari uraian ini dapat disimpulkan
bahwa sasaran advokasi adalah para pejabat baik eksekutif maupun
legislatif, di berbagai tingkat dan sektor, yang terkait dengan masalah
kesehatan (sasaran tertier) yang ingin diselesaikan demi terciptanya
masyarakat yang sejahtera jauh dari penyakit..
b. Dukungan Sosial (Social Support)
Strategi dukungan sosial ini adalah suatu kegiatan untuk mencari
dukungan sosial melalui tokoh-tokoh masyarakat (toma), baik tokoh

15
masyarakat formal maupun informal. Tujuan utama kegiatan ini adalah
agar para tokoh masyarakat, sebagai jembatan antara sektor kesehatan
sebagai (pelaksana program kesehatan) dengan masyarakat (penerima
program) kesehatan. Kegiatan mencari dukungan sosial melalui toma
pada dasarnya adalah mensosialisasikan program-program kesehatan,
agar masyarakat bersedia menerima dan ikut berpartisipasi terhadap
program kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, strategi ini juga dapat
dikatakan sebagai upaya bina suasana, atau membina suasana yang
kondusif terliadap kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan sosial ini
antara lain:
1) Pelatihan-pelatihan dan bimbingan para tokoh masyarakat mengenai
perilaku hidup bersih dan sehat
2) Seminar kesehatan yang berkaitan dengan masalah lingkungan dan
kesehatan sanitasi
3) Lokakarya kesehatan yang melibatkan para pemangku jabatan serta
masyarakat setempat untuk tujuan memecahkan masalah kesehatan
di lingkungan masyarakat.
Dengan demikian maka sasaran utama dukungan sasial atau bina
suasana adalah para tokoh masyarakat di berbagai tingkat (sasaran
sekunder).
c. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)
Pemberdayaan adalah strategi promosi kesehatan yang ditujukan
kepada masyarakat langsung. Tujuan utama pemberdayaan adalah
mewujudkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka sendiri (visi promosi kesehatan).
Bentuk kegiatan pemberdayaan ini dapat diwujudkan dengan berbagai
kegiatan, antara lain: penyuluhan kesehatan, pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat dalam bentuk misalnya: koperasi, pelatihan-
pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga (income
generating skill). Dengan meningkatnya kemampuan ekonomi keluarga
akan berdampak terhadap kemampuan dalam pemeliharan kesehatan
mereka, misalnya:

16
1) Terbentuknya dana sehat sebagai upaya tabungan kesehatan ketika
masyarakat mengalami sakit
2) Terbentuknya pos obat desa untuk menyediakan obat-obatan yang
bersesuaian dengan keadaan dan penyakit yang sering dialami
masyarakat
3) Berdirinya polindes sebagai garda terdepan dalam pelayanan
kesehatan masyarakat, dan sebagainya.
Kegiatan-kegiatan semacam ini di masyarakat sering disebut "gerakan
masyarakat" untuk kesehatan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa sasaran pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat (sasaran
primer).

Strategi Sasaran Utama Hasil Tatanan

ADVOKASI Sasaran tertier Kebijakan • Rumah


(Advocacy) DPRD, Ka Daerah, Berwawasan Tangga
Ka Pusesmas Kesehatan • Institusi

BINA SUASANA Sasaran sekunder: Kemitraan Pendidikan

Toma, PKK, Kader dan Opini • Tempat


(Social Support) Kerja
• Tempat
PEMBERDAYAAN Sasaran primer Gerakan Umum
(Empowerment) - Individu Masyarakat • Sarana
- Unit kerja Mandiri Kesehatan

Tabel 2. 1 Strategi Promosi Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/MENKES/SK/V/2007

2.11 Strategi Promosi Kesehatan menurut Piagam Ottawa Charter


Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa-Canada (1986)
menghasilkan piagam Ottawa Charter yang rumusan strateginya
dikelompokkan menjadi 5 butir, yaitu:

17
a. Kebijakan Berwawasan Kesehatan (Health Public Policy)
Kegiatan yang ditujukan kepada para pembuat keputusan/
penentu kebijakan yang berwawasan kesehatan. Setiap kebijakan
pembangunan di bidang apa saja harus mempertimbngkan dampak
kesehatannya bagi masyarakat. Kegiatan ini ditujukan kepada para
pengambil kebijakan (policy makers) atau pembuat keputusan (decision
makers) baik di institusi pemerintah maupun swasta. Sebagai contoh;
adanya perencanaan pembangunan jamban komunal sebagai pengganti
jamban jongkok (jamban terapung) di bantaran sungai sehingga lambat
laun dapat mengubah perilaku masyarakat setempat. Tersedianya
jamban komunal yang direncanakan oleh pemerintah sebagai pengambil
kebijakan (policy makers) atau pembuat keputusan (decision makers)
merupakan langkah baik sehingga akan menciptakan lingkungan
terutama persediaan air bersih yang mencukupi untuk kebutuhan
masyarakat setempat.
b. Lingkungan yang Mendukung (Supportive environtment)
Kegiatan untuk mengembangkan jaringan kemitraan dan suasana
yang mendukung yang ditujukan pada:
1) Pemimpin organisasi masyarakat 
2) Pengelola tempat
3) Tempat umum
Diharapkan memperhatikan dampak terhadap lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan non fisik yang mendukung atau
kondusif terhadap kesehatan masyarakat.  Misalnya adalah tersedianya
jamban komunal yang dibuat di daratan oleh masyarakat dengan
bekerjasama dengan pihak pemerintah. Fasilitas yang tersedia akan
dijaga dan dirawat keberadaannya oleh masyarakat setempat untuk tetap
melanjutkan kebiasaan hidup bersih dan sehat demi terciptanya
kesehatan bersama serta terhindar dari ancaman penyakit oleh sebab
faktor lingkungan yang tidak sehat.

c. Reorientasi Pelayanan Kesehatan (Reorient Health Services)

18
Kesalahan persepsi mengenai pelayanan kesehatan, tanggung
jawab pelayanan kesehatan kadang hanya untuk pemberi
pelayanan (health provider), tetapi pelayanan kesehatan juga
merupakan tanggung jawab bersama antara pemberi pelayanan
kesehatan (health provider) dan pihak yang mendapatkan pelayanan.
Bagi pihak pemberi pelayanan diharapkan tidak hanya sekedar
memberikan pelayanan kesehatan saja, tetapi juga bisa membangkitkan
peran serta aktif masyarakat untuk berperan dalam pembangunan
kesehatan. Sebaliknya bagi masyarakat, dalam proses pelayanan dan
pembangunan kesehatan harus menyadari bahwa perannya sangatlah
penting, tidak hanya sebagai subyek, tetapi sebagai obyek. Sehingga
peranserta masyarakat dalam pembangunan kesehatan sangatlah
diharapkan. Melibatkan masyarakat dalam pelayanan kesehatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatannya sendiri. Bentuk
pemberdayaan masyarakat yaitu LSM yang peduli terhadap kesehatan
baik dalam bentuk pelayanan maupun bantuan teknis (pelatihan-
pelatihan) sampai upaya swadaya masyarakat sendiri.  Contoh: Upaya
kesehtan yang dilakukan pemerintah dengan melakukan kerjasama
dengan pihak asing, kerjasama pembangunan jamban komunal dengan
anggaran dana dari pemerintah serta pemerintah asing.
d. Gerakan Masyarakat (Community Action)
Derajat kesehatan masyarakat akan efektif apabila unsur-unsur
yang ada di masyarakat tersebut bergerak bersama-sama. Kutipan
piagam Ottawa, dinyatakan bahwa: Promosi Kesehatan adalah upaya
yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan sendiri. Adanya
gerakan ini dimaksudkan untuk menunjukan bahwa kesehatan tidak
hanya milik pemerintah, tetapi juga milik masyarakat. Untuk dapat
menciptakan gerakan ke arah hidup sehat, masyarakat perlu dibekali
dengan pengetahuan dan ketrampilan. Selain itu, masyarakat perlu
diberdayakan agar mampu berperilaku hidup sehat. Kewajiban dalam
upaya meningkatkan kesehatan sebagai usaha untuk mewujudkan

19
derajat setinggi-tingginya, teranyata bukanlah semata-mata menjadi
tanggung jawab tenaga kesehatan. Masyarakat justru yang berkewajiban
dan berperan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Hal
ini sesuai yang tertuang dalam Pasal 9, UU No.36 tahun 2009 Tentang
kesehatan, yang berbunyi : “Setiap orang berkewajiban ikut
mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya”. Untuk Memerkuat kegiatan-
kegiatan komunitas (strengthen community actions) promosi kesehatan
bekerja melalui kegiatan komunitas yang konkret dan efisien dalam
mengatur prioritas, membuat keputusan, merencanakan strategi dan
melaksanakannya untuk mencapai kesehatan yang lebih baik. Inti dari
proses ini adalah memberdayakan komunitas-kepemilikan mereka dan
kontrol akan usaha dan nasib mereka. Pengembangan komunitas
menekankan pengadaan sumber daya manusia dan material dalam
komunitas untuk mengembangkan kemandirian dan dukungan sosial,
dan untuk mengembangkan sistem yang fleksibel untuk memerkuat
partisipasi publik dalam masalah kesehatan. Hal ini memerlukan akses
yang penuh serta terus menerus akan informasi, memelajari kesempatan
untuk kesehatan, sebagaimana penggalangan dukungan. Gerakan
Masyarakat merupakan suatu partisifasi masyarakat yang menunjang
kesehatan. Contoh adanya gerakan jumat bersih dan minggu hijau.
Keberadaan jamban komunal ini lama kelamaan akan membuat
perubahan perilaku masyarakat untuk (Buang Air Besar) BAB di
daratan bukan di sungai lagi
e. Keterampilan Individu (Personal Skill)
Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat yang terdiri dari
kelompok, keluarga dan individu-individu. Meningkatnya keterampilan
setiap anggota masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan
kesehatan mereka sendiri (personal skill) sangat penting. Dalam
mewujudkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan, keterampilan
individu mutlak diperlukan. Semakin banyak individu yang terampil
akan dapat memelihara diri dalam bidang kesehatan, maka akan

20
memberikan cerminan bahwa dalam kelompok dan masyarakat tersebut
semuanya dalam keadaan yang sehat. Keterampilan individu sangatlah
diharapkan dalam mewujudkan keadaan masyarakat yang sehat.
Sebagai dasar untuk terapil tentunya individu dan masyarakat perlu
dibekali dengan berbagai pengetahuan mengenai kesehatan, selain itu
masyarakat juga perlu dilatih mengenai cara-cara dan pola-pola hidup
bersih dan sehat.
Masing-masing individu seyogyanya mempunyai pengetahuan
dan kemampuan yang baik terhadap:
1) Cara – cara memelihara kesehatannya
2) Mengenal penyakit-penyakit dan penyebabnya
3) Mampu mencegah penyakit
4) Mampu meningkatkan kesehatannya
5) Mampu mencari pengobatan yang layak bilamana sakit 

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengembangan masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan,
mencari solusi persoalan sosial yang dihadapi komunitas, dan mengatasi
konflik di dalam komunitas skala kecil maupun komunitas dalam skala
yang lebih besar, bahkan internasional.
Pendekatan locality development bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas komunitas, mengintegrasikan komunitas dan membantu
komunitas lebih mandiri, sehingga mampu menyelesaikan masalah.
Pendekatan dalam PPM menurut Batten ada dua yaitu : directive
Approach dan non-dirctive Approuch.
Derajat kesehatan masyarakat akan efektif apabila unsur-unsur yang
ada di masyarakat tersebut bergerak bersama-sama.

3.2 Saran
Pada pengorganisasian masyarakat, kuncinya adalah menempatkan
masyarakat sebagai pelaku utama. Maka diharapkan masyarakat dapat
dilibatkan sejak awal kegiatan yang memungkinkan masyarakat untuk
belajar lebih banyak. Sehingga dapat terwujud masyarakat yang berdaya
atau mandiri.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kurniati, DPY. 2015. Bahan Ajar Pengorganisasian dan Pengembangan


Masyarakat. Bandung: Universitas Udayana

Herry Setiawan. 2014. Pendekatan Strategi Promosi Kesehatan Pada Masyarakat


Bantaran Sungai Martapura Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Makalah.
Dalam. Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang, 25, Desember

Kholid, Ahmad. 2012. Promosi Kesehatan , Jakarta: PT RajaGrafindo

Herlambang, Susatyo. 2012. Promosi Kesehantan dengan Pendekatan dan Prilaku,


Yogyakarta: Gosyen Publishing

23

Anda mungkin juga menyukai