Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ADVOKASI KESEHATAN

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Anggi Anitia 1906292276


Keisya Karami 1906350452
Kristiara Amalia 1906292420
Ranti Safa Marwa 1906350295
Salsabila Hulwani 1906292616
Sherly Eka Amanda 1906292654
Siti Luluiyah I. 1906292686

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia

2021
1. Persamaan dan Perbedaan Teori Advokasi Berdasarkan Sharma dan Teori Model A

(A) Teori Model A atau JHU (John Hopkins University)/ CCP (Center for
Communication Programs)

1. Definisi

Adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui berbagai


macam bentuk komunikasi atau penetapan sebuah gerakan yg ditentukan oleh
pihak yang berwenang untuk membimbing atau mengendalikan perilaku lembaga,
masyarakat dan individu.

2. Tahap Advokasi

a. Analisis
- Langkah awal untuk advokasi yg efektif
- Adanya ketersediaan informasi yg akurat dan pemahaman
mendalam mengenai permasalahan yg ada
- Pemahaman seputar masyarakat yg terlibat;kebijakan serta
keberadaannya; organisasi-organisasi dan jalur-jalur pembuat
keputusan.
b. Strategi
- Tahapan strategi dibangun berdasarkan tahapan analisis yang
mengarahkan, merencanakan dan memfokuskan upaya pada tujuan
khusus, serta menetapkan pada jalur yang jelas dalam mencapai
tujuan dan sasaran yang telah ditentukan.
- Bentuk kelompok kerja untuk mengembangkan strategi dan
rencana kegiatan.
- Identifikasi kelompok sasaran utama dan sekunder (kelompok pro,
tidak memihak dan saingan/lawan)
- Kembangkan tujuan yang SMART (Spesific, Measurable,
Appropriate, Realistic, Timebound)
- Posisikan isu-isu yang ditawarkan kepada pengambil keputusan
sbg sesuatu yang unik dan menguntungkan
- Ikuti model perubahan kebijakan yang sesuai
- Identifikasi sumberdaya (membangun kemitraan)
- Persiapkan rencana kegiatan dan anggarannya
- Kombinasikan jalur komunikasi yang ada
- Kembangkan indikator antara dan indikator akhir untuk memonitor
proses dan evaluasi dampak
- Tentukan nama yang menarik, mudah dimengerti untuk mobilisasi
dukungan
c. Mobilisasi
- Pembentukan koalisi memperkuat advokasi
- Peristiwa, kegiatan, pesan harus sesuai dengan tujuan, kelompok
sasaran, kemitraan dan sumber-sumber yang ada
- Dampak positif bagi pembuat kebijakan; partisipasi penuh dari
anggota koalisi dan memperkecil reaksi oposisi
- Kembangkan rencana kerja yang sesuai
- Delegasikan tanggung jawab kepada anggota koalisi untuk
memonitor setiap peristiwa
- Buat jaringan kerja
- Organisasikan pelatihan dan praktek advokasi
- Idenifikasi, uji dan gabungkan semua data yg mendukung
- Tunjukkan hubungan kepentingan yang diinginkan dengan minat
pembuat kebijakan
- Sajikan info yang singkat dan mudah diingat
- Tentukan secara jelas aksi yang akan diadakan dan pentingnya
rekomendasi tsb
- Rencanakan dan organisir liputan media
d. Aksi
- Mempertahankan kekompakan kegiatan aksi dan semua mitra
- Pengulangan pesan dan penggunaan alat bantu yang kredibel dapat
mempertahankan perhatian terhadap isu yang ada
- Bersikap fleksibel terhadap oposisi
- Laksanakan kegiatan sesuai jadwal
- Jangan takut terhadap kontroversi
e. Evaluasi
- Usaha advokasi harus dievaluasi secara seksama
- Perlu ada monitor secara rutin dan obyektif terhadap apa yang
telah dilakukan dan apa yang masih dikerjakan
- Tentukan indikator (indikator perantara dan proses)
- Evaluasi peserta
- Pendokumentasian perubahan yang terjadi berasaskan SMART
- Identifikasi faktor kunci
- Dokumentasi perubahan yang tidak direncanakan
- Sosialisasikan hasil yang telah dicapai
f. Kesinambungan
- Evaluasi situasi yang dihasilkan
- Lakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan jika
perubahan yang diinginkan terjadi
- Tinjau kembali strategi & kegiatan yang ada jika perubahan
kebijakan yang diinginkan tidak terjadi

(B) Teori Sharma

1. Definisi

Upaya, tindakan, strategi dan taktik, termasukdidalamnya lobi, pemasaran


sosial, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), serta pengorganisasian
masyarakat yang ditujukan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dan
merubah kebijakan dalam berbagai tipe dan tingkatan organisasi. Advokasi yang
efektif bisa berhasil dalam mempengaruhi pengambilan keputusan & kebijakan
serta implementasinya melalui:
- Mendidik pemimpin, pembuat kebijakan, dan mereka yang berhubungan
dengan pembuatan kebijakan
- Mereformasi kebijakan, hukum dan keuangan dan mengembangkan
program baru
- Menciptakan prosedur dan struktur pengambilan keputusan yang lebih
demokratis, terbuka, dan akuntabel

2. Proses Advokasi

1. Menyeleksi tujuan advokasi: Agar usaha advokasi sukses, harus


mempersempit tujuan
2. Menggunakan data dan riset untuk advokasi: Untuk memilih masalah yang
akan diselesaikan, mengidentifikasi solusi, menetapkan tujuan yang
realistik, mendukung argumen yang persuasif
3. Mengidentifikasi audiens/ khalayak advokasi: Para pembuat keputusan,
orang-orang yang mempengaruhi pembuatan keputusan (staf, penasihat,
tokoh yang dituakan, media & publik
4. Mengembangkan dan mengirimkan pesan advokasi: Audiens yang
berbeda berespon terhadap pesan yang berbeda
5. Membangun koalisi: Kekuatan advokasi ditemukan pada sejumlah
masyarakat yang mendukung tujuan
6. Membuat presentasi yang persuasif: Menggunakan kesempatan yang ada
dengan melakukan persiapan presentasi yang menyeluruh,hati-hati,
meyakinkan, dan berisi
7. Menggalang dana untuk advokasi: Advokasi memerlukan sumber daya,
jangka waktu lama sehingga membutuhkan investasi waktu dan energi
untuk menggalang dana dan sumber daya
8. Mengevaluasi upaya advokasi: Advokasi yang efektif memerlukan timbal
balik dan evaluasi yang terus-menerus.

Pendapat Kelompok

Advokasi pada dasarnya adalah suatu tindakan yang digunakan untuk mengubah
kebijakan, posisi atau program dari berbagai instansi maupun lembaga di tingkat lokal, provinsi,
nasional, dan internasional. Proses advokasi memasukan, mencari, menemukan suatu masalah
kedalam agenda/forum/rapat untuk mencarikan solusi bagi masyarakat.

2. Kelebihan dan Kekurangan Teori Advokasi 6 Lingkaran Advokasi Efektif

Teori 6 Lingkaran atau the six circles theory of effective advocacy merupakan
teori advokasi yang memiliki tujuan untuk menciptakan koordinasi yang baik dengan
upaya advokasi legislatif yang dapat berhasil dengan menggunakan strategi advokasi ini.
2003 - The Art of Legislative Lawyering and the Six Circles Theory of Advocacy

1) Koordinator

Koordinator atau ahli strategi merupakan orang yang memiliki visi dan
misi. Biasanya, koordinator memiliki visi kreatif tentang bagaimana melanjutkan
permainan legislatif, dan juga memiliki bakat, ketekunan, koneksi, keterampilan
interpersonal, dan kreativitas untuk mengimplementasikan visi itu selangkah demi
selangkah. Selain itu, koordinator memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
dan menyebarkan pengaruh yang tinggi ke orang lain, bahkan hal tersebut tidak
disadari. Koordinator juga berperan mengkoordinasikan dan menyebarkan lima
lingkaran lainnya (pelobi, pengacara legislatif, peneliti kebijakan, ahli strategi
penjangkauan, dan direktur komunikasi) untuk menghasilkan yang terbaik.
Koordinator juga harus memiliki bakat, dan kegigihan. Selain itu, harus memiliki
jaringan dan skill interpersonal yang baik, serta kreatif untuk menerapkan strategi
tahap demi tahap dengan kesabaran yang luar biasa.

2) Manager Lobi

Manager lobi atau pelobi merupakan seseorang yang membawa informasi


dan seorang yang mudah membujuk. Pelobi harus memiliki temperamen yang
tenang dan bersikap positif. Pelobi memiliki tugas mempersuasi, dan juga
mengumpulkan informasi. Secara efektif upaya advokasi, informasi mengalir dua
arah. Seorang pelobi yang baik menyampaikan nya pesan advokasi kepada
audiens yang dituju dengan jelas, sederhana, dan efektif. Seorang pelobi yang
baik juga mendengar, memunculkan, dan memahami kekhawatiran dan keberatan
tertentu yang diajukan oleh audiens. Pelobi yang baik dapat membangun
hubungan baik dengan orang lain. Membangun hubungan yang baik
membutuhkan sikap tetap tenang, pelobi diharuskan memiliki skill berbicara dan
menulis yang baik. Selain itu, pelobi memiliki kemampuan untuk membangun
hubungan, serta diharuskan untuk mampu mendengar, memunculkan, dan
memahami kekhawatiran maupun keberatan yang diajukan oleh anggota. Pelobi
juga menyampaikan kepada penyusun strategi untuk menyusun kembali rencana
advokasi kedepannya.

3) Pengacara legislasi

Pengacara legislasi merupakan seseorang yang memahami hukum yang


berlaku. Selain itu, harus memahami dinamika politik, dan terampil dalam
menganalisis, serta mampu mendapatkan kepercayaan dari aktor politik.
Pengacara legislatif harus menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari
lanskap hukum suatu masalah. Mampu menjadi penerjemah efektif dan kreatif,
serta negosiator antara dunia hukum, kebijakan, dan politik yang sering berbeda.
Pengacara legislatif harus menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari
lanskap hukum suatu masalah. Selain itu, mampu menjadi penerjemah efektif dan
kreatif, serta negosiator antara dunia hukum, kebijakan, dan politik.

Pengacara legislasi juga harus memahami perubahan sehingga harus


memahami politik hukum baik sistem legislasi maupun administrasi, serta dapat
menilai masalah atau isu, meneliti, mengajukan solusi dan pendekatan, membuat
draft, dan mampu melakukan presentasi dan negosiasi yang baik. Pengacara
legislatif harus cukup terampil dalam menganalisis hukum sehingga dapat
memahami masalah rinci dan kompleks dari mereka yang mengajukan perkara
ataupun sebaliknya. Hal ini bertujuan agar upaya advokasi mereka dapat diterima,
karena mereka memiliki kompetensi di bidang hukum dan politik.

4) Peneliti kebijakan

Peneliti kebijakan merupakan seseorang yang berperan sebagai pembuat


substansi kebijakan dan juga penghubung antara pelaku politik dan akademisi.
Akademisi dapat berasal dari berbagai bidang seperti sosiologi, ekonomi,
psikologi, antropologi, linguistik, dan lainnya. Tak jarang para akademisi terlibat
dalam penelitian yang memiliki dampak baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kebijakan.
Namun sulit bagi para akademisi dalam menyampaikan hasil penelitian
kepada para pelaku politik karena hasil penelitian disajikan dalam bahasa yang
cukup rumit dan sulit dimengerti. Sedangkan di satu sisi para pelaku politik ingin
mendapatkan hasil penelitian secara jelas dan sederhana. Sehingga disinilah peran
peneliti kebijakan dalam menarik kesimpulan yang dapat diambil secara sah dari
penelitian dan kemudian menyampaikan kepada para pelaku politik.

5) Koordinator lapangan

Koordinator lapangan adalah pihak yang terjun langsung dalam


pembuatan advokasi. Untuk melibatkan massa dalam upaya advokasi, seorang
koordinator lapangan harus memiliki kemampuan berimajinasi, ketekunan,
kemampuan komunikasi, serta mampu mengimplementasikan strategi. Selain itu
koordinator lapangan juga harus menjadi seorang pendengar, penerjemah, dan
pendidik yang baik untuk dapat menciptakan hubungan simbiosis antara
masyarakat sebagai akar rumput dan koalisi advokasi

6) Koordinator komunikasi

Koordinator lapangan merupakan seorang message shaper atau


pembentuk pesan sehingga pesan dapat lebih mudah dipahami oleh khalayak.
Seorang koordinator komunikasi diharapkan memiliki kemampuan berdebat
untuk dapat meningkatkan peluang keberhasilan mengenai kebijakan yang akan
diadvokasikan. Tugas utama dari koordinator komunikasi adalah membentuk dan
mencari pertanyaan dan pernyataan anggota legislatif dan eksekutif untuk
mencapai tujuan advokasi.

Teori 6 lingkaran atau the six circles theory of advocacy memiliki beberapa
kelebihan atau keunggulan, yaitu :

● Adanya pembagian peran yang jelas dan spesifik, yang dibutuhkan dalam strategi
advokasi
● Advokasi ini sangat cocok dalam iklim politik. Walaupun di iklim politik tidak
harus berasal dari jajaran pengacara maupun yang berasal dari dunia hukum
● Advokasi ini berdasarkan pengalaman yang nyata dan keefektifannya sangat baik
● Advokasi ini sangat cocok diaplikasikan di Indonesia, dikarenakan Indonesia
beriklim demokratis. Selain itu, iklim demokrasi di Indonesia yang sangat
menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga tidak terdapat paksaan serta
diberi kebebasan bagi masyarakatnya.

Teori ini dibangun dalam konteks situasi dimana iklim politik cukup siap untuk
perjuangan legislasi. Tujuannya dibangunnya teori ini adalah advokasi menjadi efektif.
Setiap posisi yang diemban diatas haruslah diletakkan dalam struktur yang demokratis.
Teori ini dirumuskan berdasarkan pengalamannya sebagai pengacara legislasi untuk
mendorong The Americans with Disabilities Act (ADA) atau Undang-Undang
Penyandang Disabilitas. Teori 6 lingkaran ini juga memiliki kelemahan, yaitu :

● Teori ini cenderung cocok digunakan hanya di bidang hukum dan politik.
● Tidak ada peran yang menjaga sustainabilitas/ pemantau keberlanjutan advokasi
yang telah dilakukan.
● Teori ini dibangun untuk iklim politik yang cukup siap untuk perjuangan legislasi.
Sebaliknya ketika iklim politik belum ada untuk suatu masalah dan seseorang
menginginkan tindakan legislatif federal, pertama-tama orang tersebut harus
melakukan kampanye yang akan mengubah pola pandang sedemikian rupa.
Sehingga pengesahan undang-undang di masa depan mungkin terjadi.

3. Rumusan Isu Masalah Advokasi Terkait Topik Kesehatan yang Memenuhi Kriteria
SMART
● Maraknya Pengguna Rokok pada Remaja Usia 12-24 Tahun di Jakarta Barat

Rokok merupakan zat yang menyebabkan adiksi (ketagihan) dan dependensi


(ketergantungan) bagi orang yang menghisapnya sehingga dapat dikatakan bahwa
rokok termasuk golongan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, Alkohol, dan Zat
Adiktif). Setiap batang rokok mengandung lebih dari 4000 jenis bahan kimia
berbahaya bagi tubuh yang bisa berefek racun dan mengakibatkan kanker. Beberapa
penyakit yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok adalah katarak, kanker, caries,
enfisema, osteoporosis, dan penyakit jantung. Selain itu, rokok juga dapat
menyebabkan kematian. Menurut WHO, sekitar 225.700 orang di Indonesia setiap
tahunnya meninggal akibat merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan
tembakau. Perilaku merokok juga menjadi salah satu faktor risiko Penyakit Tidak
Menular (PTM) utama (berkontribusi besar dibandingkan faktor risiko lainnya) yang
dapat dicegah bersama.
Survei nasional yang diadakan pada tahun 2013 dan 2018 menunjukkan
bahwa penggunaan tembakau di Indonesia masih tergolong tinggi, khususnya di
kalangan remaja dan dewasa. Prevalensi pada orang dewasa masih belum
menunjukkan penurunan selama periode 5 tahun ini, sementara prevalensi merokok
pada remaja usia 10-19 tahun meningkat dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% pada
2018.
Terdapat sumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (BPS, 2020) yang
menunjukkan persentase merokok pada penduduk usia ≥ 15 Tahun di Indonesia pada
2020 sebesar 28,69% . Data terbaru dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS)
tahun 2019 yang dirilis pada 30 Mei 2020 menunjukkan bahwa 40,6% pelajar di
Indonesia (usia 13-15 tahun), 2 dari 3 anak laki-laki, dan hampir 1 dari 5 anak
perempuan sudah pernah menggunakan produk tembakau: 19,2% pelajar saat ini
merokok dan di antara jumlah tersebut, 60,6% bahkan tidak dicegah ketika membeli
rokok karena usia mereka, dan dua pertiga dari mereka dapat membeli rokok secara
eceran.
DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi dengan persentase perokok yang
cukup tinggi. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pada Bulan
Maret 2019 jumlah perokok di DKI Jakarta mencapai 26% pada penduduk usia 15
tahun ke atas dengan sekitar 72 batang rokok dihabiskan per minggunya atau sekitar
10,3 batang rokok per hari. Pengguna rokok di DKI Jakarta juga tersebar pada
seluruh kelompok umur, mulai dari remaja hingga dewasa. Pengguna rokok pada
usia remaja di DKI Jakarta memiliki persentase yang cukup tinggi. Berdasarkan
Riskesdas 2018, rata-rata prevalensi perokok pada kelompok umur 10-24 tahun
mencapai 17,3% dengan menghabiskan rata-rata 8 batang rokok setiap hari. Jika
dilihat berdasarkan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, Jakarta Barat merupakan kota
dengan jumlah perokok paling banyak. Berdasarkan data Riskesdas 2018, persentase
perokok di Jakarta Barat mencapai 28,69%. Jumlah perokok di Jakarta Barat juga
mengalami peningkatan pada tahun 2019 dengan total persentase perokok sekitar
29,1% serta menghabiskan rata-rata 73 batang rokok setiap minggu atau sekitar 10,4
batang per hari. Selain itu, pengguna rokok pada usia remaja di Jakarta Barat juga
memiliki persentase yang cukup tinggi. Pada kelompok umur 10-18 tahun, perokok
di Jakarta Barat mencapai persentase sebesar 2,59% pada tahun 2017. Jika
dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di DKI Jakarta persentase ini terbilang
cukup tinggi, karena mayoritas persentase perokok usia 10-18 tahun pada
kabupaten/kota lain di DKI Jakarta masih di bawah 2%.

● Kriteria SMART
a. Specific: Sasaran pada masalah ini adalah remaja usia 12-24 tahun di Jakarta
Barat
b. Measurable: Pada pertengahan tahun 2022 diharapkan terjadi penurunan
pengguna rokok sebesar 5% pada remaja usia 12-24 tahun di Jakarta Barat
c. Attainable: Mengusulkan kebijakan untuk menaikkan harga rokok, sehingga
remaja tidak dengan mudah membeli rokok sebab belum memiliki pendapatan
sendiri
d. Relevant: Sejalan dan memiliki relevansi dengan target SDGs nomor 3A, yaitu
pengendalian tembakau di semua negara dengan penurunan sepertiga kematian
dini akibat penyakit tidak menular pada 2030, dimana konsumsi rokok menjadi
faktor risiko utama kematian dini dan disabilitas nomor dua pada kaum laki-laki
dan delapan pada perempuan
e. Time-based: Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan ini yaitu
delapan bulan, hingga pertengahan tahun 2022
REFERENSI

Feldblum, C. (2003) ‘The Art of Legislative Lawyering and the Six Circles Theory of
Advocacy’, McGeorge Law Review, 34(12–147), pp. 785–850.
Pratomo, H., 2015. Advokasi: Konsep, Teknik, dan Aplikasi di Bidang Kesehatan di Indonesia.
1st ed. Depok: PT RajaGrafindo Persada.
BPS Provinsi DKI Jakarta (2017) Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta 2017. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (2020) Persentase Merokok Pada Penduduk Umur ≥ 15 Tahun Menurut
Provinsi. Available at:
https://www.bps.go.id/indicator/30/1435/1/persentase-merokok-pada-penduduk-umur-15-
tahun-menurut-provinsi.html (Accessed: 4 September 2021).
Kementerian Kesehatan RI (2019) HTTS 2019: Jangan Biarkan Rokok Merenggut Napas Kita.
Available at:
https://www.kemkes.go.id/article/view/19071100001/htts-2019-jangan-biarkan-rokok-me
renggut-napas-kita.html (Accessed: 4 September 2021).
WHO (2020) Pernyataan: Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2020. Available at:
https://www.who.int/indonesia/news/detail/30-05-2020-pernyataan-hari-tanpa-tembakau-
sedunia-2020 (Accessed: 4 September 2021).
Pengertian Merokok dan Akibatnya (2017) Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Available at:
https://dinkes.bantenprov.go.id/read/berita/488/PENGERTIAN-MEROKOK-DAN-AKIB
ATNYA.html (Accessed: 4 September 2021).
Kementerian Kesehatan RI (2018) Hasil Utama Riskesdas 2018. Available at:
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-20
18_1274.pdf (Accessed: 4 September 2021).
Rokok Hambat Capaian SDGs 2030 (2018) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Available
at: https://itjen.kemdikbud.go.id/public/post/detail/rokok-hambat-capaian-sdgs-2030
(Accessed: 4 September 2021).
John Hopkins University, 2008. Model A for Advocacy. (JHU)
Sharma, Situ R (Tanpa tahun), An Introduction to Advocacy. Training Guide. Support for
Analysis and Research in Africa (SARA), Health and Human Resources Analysis in
Africa (HHRAA), USAID, Africa Bureau, Office of Sustainable Development.

Anda mungkin juga menyukai