CHENNY SEFTARITA
Pendahuluan
Siklus bisnis (Business cycle) merupakan fenomena ekonomi yang kerap terjadi dalam
perekonomian suatu negara. Untuk mengantisipasi fluktuasi yang berlebihan pada siklus bisnis,
dikenal ada dua kebijakan pemerintah, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Secara
sederhana, kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan
perekonomian dengan mengubah-ubah anggaran penerimaan dan pengeluran pemerintah (Rahardja
dan Manurung, 2001). Kebijakan moneter adalah kebijakan pengendalian besaran moneter seperti
jumlah uang beredar, tingkat bunga, dan kredit yang dilakukan oleh bank sentral (Warjiyo dan
solikin, 2003). Dalam perkembangnya, Kydland dan Prescott menemukan teori baru tentang
kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan siklus bisnis. Teori ini menekankan pada adanya faktor
ekspektasi masyarakat yang cenderung diabaikan oleh pengambil kebijakan. Padahal, faktor
ekspektasi masyarakat seringkali menjadi penyebab terjadinya ketidak konsistenan waktu dan
kegagalan dalam kebijakan pemerintah (Kompas, 2004).
Aplikasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam perkembangannya melahirkan suatu
bauran kebijakan (policy mix) yang kemudian menyebabkan berkembangnya kajian-kajian tentang
koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Beberapa kajian tentang koordinasi kebijakan tersebut
menemukan bahwa, dalam jangka panjang kebijakan fiskal dan moneter tidak bertentangan satu
sama lain dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Pada kondisi ini tidak diperlukan adanya
koordinasi kebijakan (Hagen dan Mundshenk,2003). Dalam jangka pendek, tidak adanya koordinasi
antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter akan menyebabkan efektivitas kebijakan menjadi
berkurang (Giavazzi,2003).
Di Indonesia, dalam aktivitasnya kadangkala dua kebijakan ini (kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal) berjalan tanpa terkoordinasi dengan baik dan menimbulkan ketidak seimbangan
dalam perekonomian. Contohnya antara lain adalah; hyperinflasi pada tahun 1965 yang disebabkan
oleh ekspansi fiskal dan ekspansi moneter yang tidak terkendali, kesenjangan antara peran sektor
pemerintah dan peran sektor swasta pada saat boom minyak pada era 1970-an, dan terakhir adalah
kesenjangan antara pertumbuhan sektor riil dan sektor moneter pada kurun tahun 1980-an pasca
liberalisasi sektor keuangan hingga pasca krisis moneter tahun 1997.
Fenomena ini menjadi isu utama penelitian ini. Ditengah kontroversi dua kebijakan tersebut,
pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah kebijakan-kebijakan tersebut telah mampu
mencapai tujuannya yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan menggunakan metode
kointegrasi dan Vector Error Correction model (VECM), diharapkan penelitian ini dapat menjawab
permasalahan tentang bagaimanakah hubungan antara kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Landasan Teori
Teori tentang efektivitas kebijakan fiskal dan moneter diprakarsai oleh teori klasik dan teori
Keynes. Kedua teori ini memiliki pandangan berbeda tentang efektivitas kebijakan-kebijakan
tersebut didalam perekonomian. Teori klasik yang dikemudian hari dikembangkan oleh kaum
monetarist (Neo-klasik) lebih menekankan pada penggunaan kebijakan moneter dalam mengatasi
permasalahan perekonomian. Pendapat ini berdasarkan pada pemikiran bahwa efek kebijakan
moneter terhadap permintaan agregat bersifat langsung (Nopirin, 2000). Tambahan uang kas tidak
serta-merta akan dibelikan pada surat berharga, tetapi langsung dibelanjakan dalam bentuk barang.
Kebijakan fiskal dalam hal ini dinilai kurang efektif dalam mempengaruhi perekonomian mengingat
adanya efek crowding out dalam kebijakan tersebut.
Teori Keynes memiliki pendapat yang berbeda dengan teori klasik. Teori yang kemudian
dikembangkan oleh aliran Keynesian modern ini menekankan pada beberapa jalur (mekanisme
transmisi) dalam kebijakan moneter. Jalur-jalur tersebut cenderung menyebabkan efek dari
Simposium Riset Ekonomi II
Surabaya, 23-24 November 2005
kebijakan moneter menjadi tidak pasti. Keynes lebih menekankan pada penggunaan kebijakan fiskal
dalam perekonomian. Menurut Keynes, dengan cara pembiayaan apapun, efek dari kebijakan fiskal
ekspansif tetap akan positif. Dalam perkembangannya, teori klasik dan teori Keynes kemudian
digabungkan dalam teori baru yang disebut teori sintesis klasik-Keynesian yang tercermin dalam
model IS-LM. Teori ini merupakan perwujudan dari konsep bauran kebijakan (policy mix) yang
biasa dipakai dalam perekonomian suatu negara.
Secara umum, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter memiliki pengaruh yang kuat dalam perekonomian. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Albatel (2003) misalnya, penelitian ini mencoba mengkaji bagaimana hubungan antara kebijakan
pemerintah (kebijakan moneter dan kebijakan fiskal) dan output di Arab Saudi kurun periode 1964-
1998. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kointegrasi dan Error
Correction Model. Hasil penelitian memperlihatkan terdapat hubungan yang erat antara kebijakan
pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter), liberalisasi perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang dan jangka pendek.
Turnovsky (2000), memfokuskan kajian tentang hubungan antara kebijakan fiskal dan
output di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menemukan bahwa kebijakan fiskal tidak memiliki
dampak terhadap keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tingkat
pertumbuhan yang lambat memberikan kenyataan bahwa kebijakan fiskal hanya berpengaruh pada
jangka pendek pada masa transisi. Lebih jauh, kajian The Ricardian equivalent melihat bahwa
kebijakan fiskal dengan menambah defisit anggaran dengan utang/obligasi tidak akan berpengaruh
terhadap perokonomian (Manurung, 2002). Analisis ini berdasarkan pada pola konsumsi dan
kemampuan masyarakat dalam melihat efek defisit anggaran ditahun yang akan datang.
Metodologi penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series beberapa indikator makro
ekonomi Indonesia kurun periode 1970-2004. Data yang digunakan antara lain bersumber dari;
Bank Indonesia (BI), Key Indicators Of Developing Asian and Pasific Countries, Departemen
keuangan (Depkeu), jurnal-jurnal dan hasil-hasil penelitian, serta sumber bacaan lainnya. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah; pertumbuhan ekonomi (GDP dengan harga pasar), pajak
penghasilan atau PPh (TAX), pengeluaran pemerintah (GOV), utang luar negeri (ULN), nilai tukar
rupiah terhadap US dolar (EXR), tingkat bunga deposito berjangka 6 bulan (R), kredit (LOAN),
dan jumlah uang beredar (M2).
Model yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari model IS-LM dan dari beberapa
kajian teoritis seperti The Ricardian Equivalent dan teori mekanisme transmisi dengan
menggunakan Balance Sheet Channel.
a − be + d + G n k M−f k
Y= − x( Y − ( x )) ………………..…………………..(1)
(1 − b + bt ) (1 − b + bt ) h k h
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa, pertumbuhan ekonomi adalah fungsi dari
pengeluaran pemerintah (G) dan jumlah uang beredar (M). Secara singkat dapat ditulis:
Y = f ( G, M)………………………………………………………….……………(2)
Sumber pengeluaran pemerintah dibiayai oleh pajak (T). Jika pemerintah hendak menambah
pengeluarannya, pemerintah dapat menerapkan anggaran defisit (defisit budget). Dalam teori
Keynes dinyatakan ada beberapa hal yang menjadi sumber pembiayaan defisit anggaran, yaitu;
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur 3
Simposium Riset Ekonomi II
Surabaya, 23-24 November 2005
dengan mencetak uang, menerbitkan surat utang atau obligasi dan dengan cara meminjam (borrow)
(Nopirin, 2000). Sedangkan pembiayaan defisit anggaran dalam The Ricardian Equivalence adalah
dengan pinjaman pemerintah.
Untuk jumlah uang beredar, variabel M dapat disubstitusi dengan kredit (LOAN) atau
tingkat bunga (R), hal ini berdasarkan pada teori Balance Sheet Channel dimana uang dapat diproxi
dengan kredit atau tingkat bunga. Sebagai variabel kontrol (control variable) atau variabel luar,
variabel nilai tukar (exchange rate) akan dimasukkan kedalam model estimasi, sehingga, fungsi
pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini adalah:
Dimana, TAX dan ULN merupakan variabel kebijakan fiskal sebagai sumber pembiayaan
defisit anggaran. M2 merupakan variabel kebijakan moneter, dan EXR merupakan variabel control.
Selain itu akan dilihat bagaimana variabel kebijakan moneter lainnya seperti kredit dan tingkat
bunga. Variabel M2 akan di proxi dengan variabel LOAN, dan R yang akan diestimasi secara
bergantian. Sedangkan untuk melihat bagaimana hubungan antara kebijakan fiskal dan
pertumbuhan ekonomi, variabel TAX dan ULN akan di proxi dengan variabel GOV yang akan
diestimasi secara terpisah.
Karena data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah data runtun waktu (time series),
maka perlu di analisis dan dipelajari struktur temporal (dinamik) dari data tersebut (Maddala dalam
Manurung, 2002). Metode analisis runtun waktu yang digunakan pada penelitian ini adalah
mendasarkan analisis pada data runtun waktu yang stasioner (stasionary time series).
Yt = ρ Yt −1 + ε t -1 ≤P ≤1 .......................................................................(5)
Persamaan (5) adalah uji stasionarity pada tingkat level, sedangkan persamaan (6)
merupakan uji stasionarity pada tingkat first difference.
Uji akar-akar unit (unit root test) digunakan untuk mendeteksi apakah data yang di
gunakan dari model auto reggressife stasioner atau tidak. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan uji stasionary dengan pendekatan Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan Phillips –
Perron (PP). Uji ini merupakan regresi dari diferensi pertama data runtun waktu terhadap lag
variabel, lagged difference term, konstanta dan trend.
Uji kointegrasi merupakan kelanjutan dari pengujian diatas. Uji kointegrasi bertujuan untuk
mengetahui apakah seluruh variabel mempunyai hubungan keseimbangan jangka panjang
(berkointegrasi) atau tidak. Jika berkointegrasi maka residu kointegrasi atau kesalahan ketidak
seimbangannya adalah stasioner.
Setelah diketahui bahwa variabel-variabel pada persamaan (4) merupakan variabel yang
stasioner, maka model pada persamaan (4) yang disebut sebagai model regresi kointegrasi akan
ditaksir dengan prosedur regresi biasa dan kemudian menguji apakah elemen residualnya yaitu (e)
bersifat stasionary. Elemen residual ini (e) akan bersifat stasionary apabila variabel-variabel
tersebut saling co-integrated dan sementara itu kombinasi linear antara variabel menunjukkan sifat
yang stasionary.
Untuk melihat bagaimana hubungan antara kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, digunakan model VECM. Model koreksi kesalahan
(VECM) adalah suatu model dinamik yang digunakan untuk pendekatan dalam pemilihan model
yang layak. VECM mempunyai kemampuan meliput lebih banyak variabel dalam menganalisis
fenomena jangka pendek dan jangka panjang serta mengkaji konsisten tidaknya model empirik
dengan teori ekonomi. Disamping itu juga sebagai usaha untuk mencari pemecahan terhadap
persoalan variabel runtun waktu yang tidak stationer dan regresi lancung dalam analisis
ekonometrika.
Tanda-tanda dan ukuran dari koefisien pada ECT merefleksikan arah dari kecepatan
terhadap penyesuaian pada variabel dependen kepada penyimpangan temporer dari hubungan
variabel-variabel di atas. Muatan negatif pada variabel ukuran instrumen kebijakan pemerintah pada
vector kointegrasi yang digambarkan pada koefisien yang negatif dan signifikan pada ECT akan
merefleksikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan merespon fluktuasi dari perubahan instrumen
kebijakan pemerintah.
Uji kointegrasi dan VECM hanya dapat melihat hubungan antar variabel dalam jangka
panjang dan jangka pendek. Namun disini belum jelas apakah variabel satu mempengaruhi variable
lainnya, atau kedua variabel saling mempengaruhi (causality). Untuk melihat hubungan kausalitas
atau sebab akibat diantara dua variabel digunakan uji Granger Causality, dimana dengan
menggunakan uji Granger Causality dapat diketahui apakah kedua variabel secara statistik saling
mempengaruhi (hubungan dua arah), memiliki hubungan searah atau sama sekali tidak ada
hubungan (tidak saling mempengaruhi). Berikut ini metode yang digunakan untuk menguji Granger
Causality test:
m n
X t = ∑ ai X t − i + ∑ b j Yt − j + U t .......................................................................................................(10)
i =1 j =1
r s
Yt = ∑ ci X t − i + ∑ d j Yt − j + vt .........................................................................................................(11)
i =1 j =1
Dimana Ut dan Vt adalah error terms yang diasumsikan tidak mengandung korelasi serial dan m =
n=r=s
Hasil Empiris
Dari tabel (1) terlihat bahwa, dengan menggunakan pendekatan Augmented-Dickey Fuller
(ADF) dan Phillips-Perron (PP), data time series tergolong sebagai data non-stasionary (pada
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur 5
Simposium Riset Ekonomi II
Surabaya, 23-24 November 2005
tingkat 1(0) atau tingkat level). Hal ini terlihat dari nilai ADF dan nilai PP yang lebih besar dari
nilai critical value. Data kemudian didiferensi pada tingkat pertama (1(1) atau first difference).
Pada tingkat ini data time series digolongkan sebagai data yang stasioner, dimana nilai ADF
maupun nilai PP adalah lebih kecil daripada nilai critical value pada tingkat kepercayaan 1% hingga
10 %.
Tabel 1. Hasil Uji Akar-Akar Unit
ADF PP
Variabel Level Differenced Level Differenced
8.4095 -3.3932* 2.7713 -3.5315**
GDP K=0 K=5 K=3 K=4
3.9194 -4.5166*** 3.8328 -6.6543***
TAX K=0 K=4 K=1 K=4
-2.6212 -7.2684*** 0.9259 -4.6356***
ULN K=2 K=1 K=15 K=15
2.2144 -7.6716*** -1.0138 -7.7747***
GOV K=1 K=1 K=5 K=5
-2.1377 -7.2604*** -0.3261 -7.3683***
EXR K=3 K=1 K=3 K=2
-2.8007 -5.8723*** -2.7943 -5.9494***
R K=3 K=1 K=2 K=3
1.7998 -4.4184*** 3.8944 -4.4184***
LOAN K=3 K=1 K=9 K=1
4.9570 -4.4312*** 3.5468 -4.4312***
M2 K=3 K=1 K=3 K=1
*** Signifikan pada α:1%, ** Signifikan pada α: 5%, * Signifikan pada α:10%
k= Lag Lenght (untuk PP telah ditentukan otomatis)
Setelah uji stasionary dilakukan, maka akan dilihat bagimana hubungan jangka panjang
antar variabel (uji kointegrasi).
Dari hasil uji kointegrasi pada tabel (2) dan tabel (3) terlihat bahwa dalam jangka panjang
kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan kointegrasi
(keseimbangan jangka panjang). Hubungan kointegrasi dapat dilihat dari nilai Trace statistic dan
nilai Max-Eigen statistic yang lebih besar (>) dari nilai critical value pada tingkat kepercayaan 1%-
5%.
Pada tabel (2) terlihat bahwa variabel fiskal yang di proxi dengan variabel TAX dan ULN,
variabel moneter yang diproxi satu persatu, yaitu; M2, LOAN, dan R memiliki hubungan
kointegrasi dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat dari signifikannya nilai Trace statistic
dan nilai Max-Eigen statistic yang lebih besar (>) dari nilai critical value pada tingkat kepercayaan
1%-5%.
Pada tabel (3) terlihat bahwa variabel fiskal yang diproxi dengan variabel GOV dan
variabel moneter yang diproxi satu persatu, yaitu; M2, LOAN, dan R memiliki hubungan
kointegrasi dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat dari signifikannya nilai Trace statistic
dan nilai Max-Eigen statistic yang lebih besar (>) dari nilai critical value pada tingkat kepercayaan
1%-5%.
Hasil uji kointegrasi ini memperlihatkan bahwa terdapat hubungan keseimbangan jangka
panjang antara kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Untuk melihat hubungan keseimbangan kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, pengujian dilakukan dengan metode Vector Error
Correction Model (VECM). Hasil uji VECM dapat dilihat dari nilai koefisien ECT (error
correction term) yang negatif. Koefisien yang negatif dan signifikan pada ECT merefleksikan
bahwa pertumbuhan ekonomi akan merespon fluktuasi dari perubahan-perubahan variabel
kebijakan fiskal dan moneter. Uji signifikansi didasarkan pada nilai t-statistik yang signifikan pada
tingkat kepercayaan 1 hingga 10 %.
Berdasarkan hasil uji empiris dengan pendekatan Granger Causality Test, ada beberapa
point penting yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini, antara lain adalah:
1. Pembiayaan defisit anggaran dengan utang luar negeri yang tidak di hedging dari perubahan
nilai tukar dan tingkat bunga tidak efektif pada saat kebijakan moneter dilakukan secara aktif.
Peningkatan maupun penurunan tingkat bunga dan fluktuasi nilai tukar terbukti akan berpengaruh
terhadap makin membengkaknya defisit anggaran. Pembiayaan defisit anggaran dengan utang luar
negeri dapat disubstitusi dengan menerbitkan surat utang (obligasi) dalam negeri dalam bentuk
rupiah. Penerbitan obligasi dalam bentuk rupiah relatif aman dari pengaruh fluktuasi nilai tukar.
Saat ini pemerintah telah mengurangi utang luar negeri secara langsung, dan sebagai gantinya,
pemerintah menerbitkan obligasi luar negeri (dalam bentuk valas). Namun, obligasi jenis ini juga
lebih kurang sama dengan utang luar negeri secara langsung, karena relatif memiliki risiko yang
sama, seperti risiko kurs dan tingkat bunga.
2. Kebijakan defisit anggaran hingga 3 % dapat diterapkan, misalnya dengan penerbitan obligasi
dalam negeri. Penerbitan obligasi dalam negeri dapat membantu mencairkan kelebihan likuiditas
(masalah intermediasi) yang dialami sektor perbankan saat ini. Hanya saja kebijakan ini harus
dikoordinasikan dengan kebijakan moneter. Hal ini karena kebijakan tersebut dapat menjadikan
kebijakan moneter menjadi kurang efektif. Untuk itu perlu diatur bagaimana struktur tingkat bunga
yang kondusif, seperti; tingkat bunga tabungan, tingkat bunga SBI, tingkat bunga obligasi, dan
tingkat bunga kredit, sehingga kebijakan fiskal dan moneter tersebut tidak saling merugikan.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
11
Simposium Riset Ekonomi II
Surabaya, 23-24 November 2005
3. Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter, mekanisme transmisi moneter Indonesia dengan
jalur kredit (credit channel) dapat diandalkan sebagai instrumen utama kebijakan moneter.
Kebijakan moneter dengan mempengaruhi jalur kredit dapat mempengaruhi likuiditas
perekonomian relatif cepat dan terbukti berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang dan jangka pendek. Kebijakan dengan mengendalikan tingkat bunga (interest rate channel)
terbukti tidak efektif dalam mempengaruhi likuiditas perekonomian. Kenyataan menunjukkan
bahwa, sebagian besar krisis yang terjadi di berbagai negara disebabkan oleh krisis disektor
finansial, seperti krisis meksiko, krisis Jepang, dan yang belum terlupakan adalah krisis Asia pada
periode 1997-1998 lalu. Hal inilah yang menyebabkan seringkali Bank Indonesia menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam setiap kebijakan. Namun hendaknya kebijakan yang hati-hati ini tidak
menjadikan ruang gerak bagi sektor perbankan menjadi terbatas dalam menyalurkan kredit. Bank
Indonesia dapat mengarahkan kebijakan moneter untuk mengurangi adanya moral hazard dan
adverse sellection yang kerap kali menjadi penyebab masalah intermediasi perbankan. Membuat
kebijakan-kebijakan yang relatif mempersulit ruang gerak perbankan sebenarnya kurang efektif jika
akar permasalahan dari kurangnya intermediasi perbankan tidak dicarikan jalan penyelesaian yang
tepat pada sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Dibawah Bimbingan :
1. Prof. Dr. Abdul Ghafar Ismail, MEc ( Dosen Universiti Kebangsaan Malaysia dan
Dosen SPS-Univ. Sumatera Utara- Medan).
2. Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc (Dosen SPS- Univ. Sumatera Utara-Medan).
3. Wahyu Ario Pratomo, SE, MEc (Dosen SPS- Univ. Sumatera Utara-Medan).
ABSTRACT
Chenny Seftarita, 2005, Fiscal-Monetary Policy and Economic Growth in Indonesia, , Under The
Guidance Of Abdul Ghafar bin Ismail (Head), Jhon Tafbu Ritonga (Member), Wahyu Ario Pratomo
(Member).
The nature of links between the government activity and economic growth that operated in
Indonesia over period 1969-2004 is examined. This study has conducted a series of unit root,
cointegration, and vector error correction models (VECM) analyses to ascertain the relationship
between government economic policy (including fiscal and monetary policy) and economic growth.
Empirical results show the presence of cointegration between the variables, which suggest a
stable long-run relationship between government policy and economic growth in Indonesia. In
short run, money and loans as monetary variables has short-run relationship with economic growth.
In other hand, fiscal variables, as; government investment, tax, and foreign debt has no a short-run
relationship with economic growth. it means that in long run, monetary policy can achieve price
stability without interfering with fiscal policies. Both of policies can reach economic growth
targeting. But in short run, there is a potential conflict between monetary and fiscal policies, as both
interact in the determination of aggregate demand.
The findings of the study furnish supportive evidence that government has played and
important role in economic development in Indonesia.
Key Words: Fiscal policy, Monetary policy, Economic Growth.
PENDIDIKAN FORMAL
PENGALAMAN KERJA
¾ Asisten Dosen di Fak. Ekonomi Univ. Sriwijaya, Dengan Mata Kuliah Ekonomi
Moneter I, dan Pengantar Ekonomi Mikro. Tahun 2002-2003
¾ Staf Pengajar Bimbingan Belajar Budiwijaya-Palembang. Tahun 2002-2003
¾ Dosen STIE-Lembah Dempo Pagaralam-Sumsel. Tahun 2002-2003
¾ Ketua Lembaga Penelitian dan Dosen di Fakultas. Ekonomi Univ. Trikarya
Medan. Tahun 2005
KARYA TULIS