Anda di halaman 1dari 89

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2021


UNIVERSITAS PATTIMURA

WANITA 51 TAHUN DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2,


HIPERTENSI GRADE 1, ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROM ET CAUSA
SUSPEK PENYAKIT KRONIK, DAN SINDROM CONUS MEDULLARIS
CAUDA EQUINA

Disusun Oleh :
WILLY MAUN
(2018-84-016)

PEMBIMBING
dr. Susan Timisela, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas kasih dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan
kasus dengan judul Wanita 51 tahun dengan diagnosis Diabetes Melitus tipe 2,
Hipertensi grade 1, Anemia Mikrositik Hipokrom et causa suspek penyakit
kronik dan Sindrom Conus Medullaris Cauda Equina. Penulisan laporan
kasus ini merupakan salah satu syarat kelulusan pada kepaniteraan klinik bagian
Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Susan Timisela, Sp.PD,
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penyusunan
laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua.

Ambon, Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................................1
KATA PENGANTAR................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................4
BAB II LAPORAN KASUS......................................................................................8
1. Identitas.................................................................................................8
2. Anamnesis.............................................................................................8
3. Pemeriksaan Fisik................................................................................10
4. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................14
5. Diagnosis.............................................................................................18
6. Rencana Pengobatan............................................................................18
7. Rencana Pemeriksaan..........................................................................19
8. Follow up.............................................................................................19
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................23
BAB IV DISKUSI.....................................................................................................82
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................90

3
BAB I

PENDAHULUAN

Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar


glukosa dalam darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah
satu tanda khas penyakit diabetes mellitus (DM), meskipun juga mungkin
didapatkan pada beberapa keadaan yang lain. Saat ini penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan
prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM yang
menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO memprediksi kenaikan
jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.
Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014
menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.1
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,
diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133
juta jiwa. Dengan mengacu pada pola pertambahan penduduk, maka
diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia
diatas 20 tahun.1
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh
Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi DM di
daerah urban untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil
terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku
Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi
toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi
sampai 21,8% di Propinsi Papua Barat dengan rerata sebesar 10.2%.1
Data-data diatas menunjukkan bahwa jumlah penyandang DM di

4
Indonesia sangat besar. Dengan kemungkinan terjadi peningkatan jumlah
penyandang DM di masa mendatang akan menjadi beban yang sangat berat
untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis atau bahkan
oleh semua tenaga kesehatan yang ada.1
Penyakit DM sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya
manusia dan berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar.
Oleh karenanya semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah,
seharusnya ikut serta secara aktif dalam usaha penangglukosangan DM,
khususnya dalam upaya pencegahan.1
Peran dokter umum sebagai ujung tombak di pelayanan kesehatan
primer menjadi sangat penting. Kasus DM sederhana tanpa penyulit dapat
dikelola dengan tuntas oleh dokter umum di pelayanan kesehatan primer.
Penyandang DM dengan kadar glukosa darah yang sulit dikendalikan atau
yang berpotensi mengalami penyulit DM perlu secara periodik
dikonsultasikan kepada dokter spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis
penyakit dalam konsultan endokrin metabolik dan diabetes di tingkat
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi di rumah sakit rujukan. Pasien dapat
dikirim kembali kepada dokter pelayanan primer setelah penanganan di rumah
sakit rujukan selesai.1
DM merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur hidup.
Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran serta dokter, perawat, ahli gizi,
dan tenaga kesehatan lain. Pasien dan keluarga juga mempunyai peran yang
penting, sehingga perlu mendapatkan edukasi untuk memberikan pemahaman
mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan penatalaksanaan
DM.
Hingga saat ini, pergeseran pola penyakit di Indonesia mengalami
pergeseran dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (PTM).
Tingginya prevalensi PTM terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat akibat
proses modernisasi, urbanisasi dan globalisasi. Selain itu, usia harapan hidup yang
meningkat pada penduduk Indonesia menyebabkan peningkatan penyakit

5
degeneratif walaupun disertai dengan perbaikan sosio-ekonomi dan peningkatan
mutu pelayanan kesehatan.2
Tahun 2011, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa satu
milyar orang di dunia menderita hipertensi, yang mana dua pertiganya berada di
negara berkembang dengan penghasilan rendah hingga sedang. Hal ini diprediksi
akan terus meningkat progresif hingga 2025 dengan estimasi 29% orang dewasa
akan mengalami hipertensi. Angka mortalitas akibat hipertensi di dunia sekitar 8
juta orang tiap tahun, 1,5 juta diantaranya terjadi di Asia Tenggara (sepertiga
populasi di Asia Tenggara mengalami hipertensi).2
Prevalensi hipertensi berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013 pada penduduk Indonesia umur 18 tahun atau lebih adalah 25,8% yang
meningkat hingga 34,1% menurut Riskesdas 2018. Prevalensi hipertensi tertinggi
ditemukan di Sulawesi Utara (13,2%) dan terendah di Papua (4,4%). Provinsi
Maluku berada di urutan ke-31 prevalensi hipertensi dari 34 provinsi di Indonesia
dan termasuk salah satu provinsi dengan prevalensi di bawah Nasional (8,8%).
Prevalensi hipertensi berbanding lurus dengan usia, semakin bertambahnya usia
terjadi pula peningkatan prevalensi hipertensi. Prevalensi hipertensi terendah pada
usia 18-24 tahun (13,2%) dan tertinggi pada usia 75 tahun ke atas (69,5%).3,4
Di Maluku, menurut Profil Kesehatan Maluku tahun 2013, prevalensi
hipertensi pada usia ≥18 tahun berdasarkan wawancara (pernah didiagnosis tenaga
kesehatan dan minum obat anti hipertensi) pada tahun 2014 sebesar 6,8%.
Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 5,01% penduduk usia ≥18 tahun di Maluku
didiagnosis dokter mengalami hipertensi, sedangkan 6,30% didapati berdasarkan
riwayat minum obat anti hipertensi (selama wawancara). Berdasarkan diagnosis
dokter, Kepulauan Aru memiliki prevalensi hipertensi terbesar (8,61%) dan
terendah di Buru Selatan. Sedangkan, menurut riwayat meminum obat anti
hipertensi, Kota Tual berada di urutan tertinggi (9,93%) dan terendah di Buru
Selatan (1,64)4,5
Pencegahan, tatalaksana dan pengendalian hipertensi menjadi hal yang
mesti dilakukan sedini mungkin untuk mencegah komplikasi lanjut berkaitan

6
dengan gangguan metabolik, kejadian serebrovaskular, dan penyakit
jantung/pembuluh darah. Peran berbagai faktor risiko baik yang dapat
dimodifikasi maupun tidak dapat dimodifikasi memegang peran penting dalam
prognosis hipertensi.2
Anemia penyakit kronis paling sering dijumpai pada pasien dengan
inflamasi atau infeksi kronis maupun keganasan. Anemia yang terjadi ringan atau
sedang dan disertai rasa lemas maupun penurunan berat badan. Berbagai
penelitian yang dilakukan pada tahun 1842 menemukan adanya massa eritrosit
yang lebih rendah pada pasien tifoid dan cacar dibandingkan orang normal. Hal
ini didukung dengan adanya bukti yang menunjukkan bahwa pneumonia, sifilis,
HIV/AIDS, artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker dapat menyebabkan
anemia sehingga disebut sebagai anemia penyakit kronis.6
Anemia penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb 7-11 g/dL, kadar Fe serum
TIBC dan produksi eritrosit yang rendah serta cadangan Fe yang tinggi di
jaringan.6
Sindrom kauda equina dan sindrom konus medullaris jarang terjadi,
dengan perkiraan prevalensi 1 dari 30.000 hingga 100.000 orang per tahun.
Perkiraan insiden tahunan adalah antara 1,5 hingga 3,4 per juta orang. Ini
terjadi pada 3% dari semua herniasi diskus. Sindrom kauda equina dan
sindrom konus medullaris paling sering terjadi pada pria muda, mungkin
karena kelompok populasi ini lebih berisiko mengalami trauma supresi
thoracolumbar. Salah satu penelitian menyatakan bahwa di AS akan terjadi
1.016 kasus baru sindrom cauda equina dan 449 kasus baru sindrom konus
medullaris per tahun.

7
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. MS
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 5 November 1970
Umur : 51 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Kristen
Alamat : Passo
No. RM : 16-15-89
Tanggal MRS : 14 Februari 2021

B. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis
a. Keluhan Utama :
Lemas
b. Keluhan Tambahan :
Nyeri pinggang, sulit kencing dan buang air besar serta kelemahan
anggota gerak bawah
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan lemas kurang lebih 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien mengatakan di malam hari pasien banyak
mengonsumsi air putih dan sering merasa lapar sehingga banyak
makan. Saat pasien tidur malam, pasien terbangun lebih dari 3 kali
untuk buang air kecil. Pasien juga pernah mengalami penglihatan kabur
dan sewaktu diperiksa kadar gula darah terjadi peningkatan
konsentrasinya. Pengobatan menggunakan obat hipoglikemik oral dan
insulin belum pernah didapatkan sebelumnya. Keluhan lain yang

8
dialami pasien selama dirawat yaitu nyeri pinggang, sulit berkemih dan
defekasi serta kelemahan anggota gerak bawah. Pasien mengeluh tidak
buang air besar 5 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit. Sulit buang
air kecil juga dialami pasien. Nafsu makan dan minum pasien baik.

d. Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat Sakit Serupa : tidak ada

- Riwayat diabetes melitus : ada, dikatakan oleh pasien namun tidak


pernah berobat

- Riwayat hipertensi : Hipertensi ada namun tidak pernah


berobat
- Riwayat maag : Pasien mengaku pernah mengalami nyeri
ulu hati
- Riwayat penyakit kuning : tidak ada.

e. Riwayat Penyakit Keluarga :

- Riwayat sakit serupa : disangkal

- Riwayat Diabetes Melitus : disangkal

- Riwayat Hipertensi : ada, pada saudara kandung pasien

- Riwayat Maag : disangkal

f. Riwayat Kebiasaan : Makan makanan yang pedas, makan tidak tepat


pada waktunya dan dalam porsi yang besar sekaligus. Pasien pernah
mengonsumsi alkohol dan merokok kurang lebih selama 15 tahun dan
baru berhenti dari kebiasaan tersebut 3 tahun terakhir. Pasien jika
merokok dalam sehari kurang lebih 20 batang rokok.
g. Riwayat Pengobatan : Pasien tidak pernah memperoleh pengobatan
terkait dengan diabetes melitus maupun nyeri ulu hati yang dialami.

9
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 25 Februari 2021
a. Keadaan umum : Kesan Sakit Sedang
Status Gizi : Baik (BB 60 kg, TB 160 cm, IMT
23 kg/m2)
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
b. Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 130/90 mmHg
- Nadi : 93 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Pernapasan : 22 x/menit
- Suhu : 36 o C melalui axilla
c. Kepala
- Bentuk Kepala : Normocephali
- Simetris Wajah : Simetris
- Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
d. Mata
- Bola mata : Eksoftalmus/endoftalmus (-/-)
- Gerakan : Bisa ke segala arah, strabismus (-/-)
- Kelopak mata : Ptosis (-/-), edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-), ikterus (-/-)
- Kornea : Injeksi siliaris (-/-), sikatrik kornea (-/-)
- Pupil : Isokor (3 mm/3 mm), reflex cahaya
langsung (+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+)
e. Telinga
- Aurikula : Tofus (-/-), sekret (-/-), nyeri tarik
aurikula (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
- Pendengaran : Kesan normal
- Proc. mastoideus : Nyeri tekan (-/-)
f. Hidung
- Cavum Nasi : Sekret (-/-), darah (-/-), krusta (-/-)

10
g. Mulut
- Bibir : sianosis (-) , stomatitis (-), perdarahan (-)
- Tonsil : T1/T1 tenang
- Gigi : Pertumbuhan gigi baik., t i d a k terdapat
caries
- Faring : hiperemis (-)
- Gusi : Perdarahan (-)
- Lidah : Pucat (-), atrofi papil lidah (-), kandidiasis
oral(-)
h. Leher
- Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
- DVS : JVP = 5-2 cm H2O
- Pembuluh darah : Pulsasi arteri carotis (+), tidak ada
spider naevi, pelebaran pembuluh darah tidak ada.
- Kaku kuduk : Negatif
i. Dada
- Inspeksi : Simetris kiri = kanan, pembengkakan
abnormal (-)
- Bentuk : Normochest
- Pembuluh darah : Venektasi (-), spider naevi (-)
- Buah dada : Simetris kiri = kanan
- Sela iga : Pelebaran (-), retraksi (-)
- Atrofi M. Pectoralis Mayor (-)
j. Paru
- Inspeksi : Simetris kiri = kanan, pembengkakan
abnormal (-), nyeri tekan (-).
- Palpasi : Fremitus raba simetris kiri = kanan, nyeri
tekan (-)

- Perkusi :

- Paru Kiri : Sonor


- Paru kanan : Sonor

11
- Batas paru hepar : Di linea midclavicula dextra ICS V dengan
peranjakan paru-hati 2 cm di bawahnya, batas paru belakang kanan
vertebra torakalis X, batas paru belakang kiri vertebra torakalis XI
- Auskultasi : Bunyi nafas dasar vesikuler, bunyi tambahan ronki
basah kasar (-/-), Wheezing (-/-)
k. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak di ICS V
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea mid
clavicula sinistra
- Perkusi : Redup, batas kanan jantung di ICS III-IV
linea parasternalis dextra, pinggang jantung di ICS III sinistra (2-3 cm
dari mid sternum), batas kiri jantung di ICS V linea mid clavicularis
sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I, II regular murni, murmur
(-), gallop (-)
l. Abdomen
- Inspeksi : Datar, striae (-), caput medusae (-)
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+),
hepatosplenomegali (-), ballotement ginjal (-/-), tidak teraba masa
tumor

- Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-), tidak ada


pembesaran hepar
- Auskultasi : Bising usus (+) berkurang
m. Alat Kelamin :
Tidak dilakukan pemeriksaan.
n. Anus dan Rektum :
Rectal Toucher: tidak dilakukan pemeriksaan.
o. Punggung :
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Perkusi : Nyeri ketok CVA (-/-)

12
p. Ekstremitas :
Ekstremitas Superior Inferior

Kanan Kiri Kanan Kiri

Edema (-) (-) (-) (-)

Sianosis (-) (-) (-) (-)

Pucat (-) (-) (-) (-)

Ikterik (-) (-) (-) (-)

Capillary refill time < 2 detik < 2 detik < 2 detik < 2 detik

Eritema palmaris (-) (-) (-) (-)

Clubbing finger (-) (-) (-) (-)

Range of movement (ROM) :


5 5

3 3

13
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gambar 1. Hasil elektrokardiogram pasien

a. Darah Kimia (Tanggal 14 Februari 2021)

Kimia klinik Hasil Nilai Rujukan


GDS 389 mg/dL <140 mg/dL
Ureum 54 mg/dL 10-50 mg/dL
Kreatinin 1,7 mg/dL 0,7-1,2 mg/dL
SGOT 10 u/L < 33 u/L
SGPT 10 u/L < 50 u/L

b. Darah Rutin (Tanggal 14 Februari 2021)

Hematologi Hasil Nilai Rujukan


Eritrosit 3,57 x 106/mm3 3,5-5,5 x 106/mm3
Hemoglobin 8,7 g/dL 12,0-15,0 g/dL
Hematokrit 25,6 % 40-52 %

14
MCV 71,7 um3 80-100 um3
MCH 24,4 pg 27-32 pg
MCHC 34,0 g/dL 32-36 g/dL
Trombosit 311 x 103/mm3 150-400 x 103/mm3
Leukosit 24,63 x 103/mm3 5,0-10,0 x 103/mm3

c. Darah Rutin (Tanggal 18 Februari 2021)

Hematologi Hasil Nilai Rujukan


Eritrosit 3,59 x 106/mm3 3,5-5,5 x 106/mm3
Hemoglobin 9,2 g/dL 12,0-15,0 g/dL
Hematokrit 26,6 % 40-52 %
MCV 74,1 um3 80-100 um3
MCH 25,6 pg 27-32 pg
MCHC 34,6 g/dL 32-36 g/dL
Trombosit 451 x 103/mm3 150-400 x 103/mm3
Leukosit 20,45 x 103/mm3 5,0-10,0 x 103/mm3

d. Glukosa darah (kapiler)

Tanggal Hasil Nilai Rujukan


16/2/2021 (GDS) 530 mg/dL
18/2/2021 (GDS) 359 mg/dL
19/2/2021 (GDS) 365 mg/dL
22/2/2021 (GDS) 261 mg/dL
23/2/2021 (GDP) 144 mg/dL
GDS <200 mg/dL
24/2/2021 (GDS) 347 mg/dL GDP <126 mg/dL

25/2/2021 (GDS) 259 mg/dL

15
26/2/2021 (GDS) 211 mg/dL
27/2/2021 (GDS) 290 mg/dL
01/2/2021 (GDS) 165 mg/dL

e. Darah Kimia (22 Agustus 2019)


11,2
Asam Urat Nilai Rujukan < 7 mg/dl
mg/dl
Kolestrol Total 131 mg/dl Nilai Rujukan < 200 mg/dl

Bilirubin Total 1,0 mg/dl Nilai Rujukan <1,5 mg/dl

Bilirubin Direk 0,6 mg/dl Nilai Rujukan < 0,5 mg/dl


Bilirubin
0,4 mg/dl Nilai Rujukan <1,1 mg/dl
Indirek
Nilai Rujukan 3,5 -5,0
Albumin 2,9 mg/dl
mg/dl

16
Gambar 2. Foto rontgen thorax PA

17
Gambar 3. Foto rontgen thoracolumbal AP/lateral

E. DIAGNOSIS
- Diabetes melitus tipe 2
- Anemia
- Hipertensi grade I
- Sindrom Conus Medullaris Cauda Equina

F. RENCANA PENGOBATAN
- Bed Rest
- IVFD NaCl 0,9% : guyur, lanjut 20 tetes per menit
- Sohobion 1 amp/ iv drips

18
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam/iv
- Inj. Omeprazole 1 amp/12 jam/iv
- Levemir 0-0-10 IU/sc
- Novorapid 6-6-6 IU/sc
- Sucralfat sirup 3x1 sendok makan (10 ml)
- Amlodipin tablet 10 mg 0-0-1
- Transfusi 1 kolf PRC

G. RENCANA PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan Glukosa darah berkala
- Pemeriksaan apusan darah tepi

H. FOLLOW UP
Tanggal Follow up Planning
25/2/2021 (Hari rawat S: lemas (+), nyeri pinggang kiri
- Pemeriksaan Glukosa
inap ke-11) kanan, sulit BAB/BAK, kaki sulit
darah berkala
digerakkan
- Pemeriksaan apusan
O:
darah tepi
- TD: 130/90 mmHg
- N: 93x/menit
- S: 36,30C
- P: 22x/menit
- Hb: 10,7 g/dL
- GDS: 239 mg/dL
A:
- DM tipe 2
- Hipertensi grade I
- Anemia
- Sindrom Conus
Medullaris Cauda
Equina
P:
- NaCl 0,9% 20 tpm
- Omeprazole 2x1 vial/12
jam
- Novorapid 3x12 IU/sc
- Levemir 0-0-16 IU/sc
- Natrium diklofenat 2x50
mg/PO

19
- Sucralfat sirup 3x1
sendok makan
- Amlodipin tab 10 mg 0-0-
1
- Alinamin E 2x1 tab
- Mertigo 3x1 tab
- Levofloxacin drip/24 jam
- Ceftriaxon 2x1 gr/iv
26/2/2021 (Hari rawat S: lemas (+), nyeri pinggang kiri
- Pemeriksaan Glukosa
inap ke-12) kanan, sulit BAB/BAK, kaki sulit
darah berkala
digerakkan O:
- TD: 140/80 mmHg - Pemeriksaan apusan
- N: 85x/menit darah tepi
- S: 36,20C
- P: 22x/menit
- Sp02 : 98%
- GDS: 211 mg/dL
A:
- DM tipe 2
- Hipertensi grade I
- Anemia
- Sindrom Conus
Medullaris Cauda
Equina

P:
- NaCl 0,9% 20 tpm
- Omeprazole 2x1 vial/12
jam
- Novorapid 3x14 IU/sc
- Levemir 0-0-18 IU/sc
- Sucralfat sirup 3x1
sendok makan
- Amlodipin tab 10 mg 0-0-
1
- Alinamin E 2x1 tab
- Mertigo 3x1 tab
- Levofloxacin drip/24 jam
(stop)
- Fisioterapi

27/2/2021 (Hari rawat S: lemas (+), nyeri pinggang kiri


- Pemeriksaan Glukosa
inap ke-13) kanan, sulit BAB/BAK, kaki sulit
darah berkala
digerakkan
O: - Pemeriksaan apusan

20
- TD: 130/80 mmHg
darah tepi
- N: 97x/menit
- S: 36,20C
- P: 22x/menit
- Sp02 : 97%
- GDS: 290 mg/dL
A:
- DM tipe 2
- Hipertensi grade I
- Anemia
- Sindrom Conus
Medullaris Cauda
Equina

P:
- NaCl 0,9% 20 tpm
- Omeprazole 2x1 vial/12
jam
- Novorapid 3x14 IU/sc
- Levemir 0-0-18 IU/sc
- Sucralfat sirup 3x1
sendok makan
- Amlodipin tab 10 mg 0-0-
1
- Alinamin E 2x1 tab
- Mertigo 3x1 tab
- Fisioterapi
28/2/2021 (Hari rawat S: lemas (+), nyeri pinggang kiri
inap ke-14) kanan, sulit BAB/BAK, kaki sulit
digerakkan O:
- TD: 130/80 mmHg
- N: 97x/menit
- S: 36,20C
- P: 22x/menit
- Sp02 : 97%
- GDS: 290 mg/dL
A:
- DM tipe 2
- Hipertensi grade I
- Anemia
- Sindrom Conus
Medullaris Cauda
Equina

P:

21
- NaCl 0,9% 20 tpm
- Omeprazole 2x1 vial/12
jam
- Novorapid 3x14 IU/sc
- Levemir 0-0-18 IU/sc
- Sucralfat sirup 3x1
sendok makan
- Amlodipin tab 10 mg 0-0-
1
- Fisioterapi
1/3/2021 (Hari rawat S: lemas (+), nyeri perut (+), sulit
inap ke-15) BAB
O:
- TD: 120/80 mmHg
- N: 96x/menit
- S: 36,50C
- P: 22x/menit
- Sp02 : 97%
- GDS: 165 mg/dL
A:
- DM tipe 2
- Hipertensi grade I
- Anemia
- Sindrom Conus
Medullaris Cauda
Equina

P:
- Aff infus
- Novorapid 3x16 IU/sc
- Levemir 0-0-20 IU/sc
- Sucralfat sirup 3x1
sendok makan
- Amlodipin tab 10 mg 0-0-
1
- Omeprazol tab 1 x 20 mg

22
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. DIABETES MELITUS TIPE 2


1. Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya.1,6

2. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2


Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan
lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan
sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. 1 Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa.

DeFronzo8 pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver

23
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita
DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai
the ominous octet (gambar-3)

Gambar 4. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam


patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2.8

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal


(omnious octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas:


Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.8

2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal
oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang
bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.8

3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah metformin, dan tiazolidindion.8

4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan
otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang

24
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja
dijalur ini adalah tiazolidindion.8

5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin
ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan
GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut
incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.8
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.8

6. Sel Alpha Pancreas:


Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam sintesis glukagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi
glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP- 4 inhibitor dan amylin.8

7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran
SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian convulated tubulus

25
proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.
Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat
urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin
adalah salah satu contoh obatnya.8

8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan
ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang
juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis,
amylin dan bromokriptin.8

3. Klasifikasi

Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 1.


Tabel 1. Klasifikasi etiologis DM.1,6
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut
 Autoimun
 Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin
Tipe lain  Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes mellitus
gestasional

4. Diagnosis

26
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.6 Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan1,6 seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 2. Kriteria Diagnosis DM.1,6


Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.(B)

Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.

Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP). (B)
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP,
sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan
HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi
darah 2-3 bulan terakhir, kondisi- kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan
gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria


DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi
glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).1,6

27
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl.1,6
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl.1,6
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.1

Tabel 3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan


prediabetes.1

Glukosa
Glukosa plasma 2
HbA1c darah
jam setelah TTGO
(%) puasa
(mg/dL)
(mg/dL)
Diabetes > 6,5 > 126 > 200

Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199


Normal < 5,7 < 100 < 140

Tabel 4. Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):1


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan
karbohidrat yang cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan
sehari-hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan .
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak- anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5

28
menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah
beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis


Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi
yang tidak menunjukkan gejala klasik DM1 (B) yaitu:

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23
kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko1 sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.1

Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma


normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).1

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas

29
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis
DM.1 Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan
glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel-5 di
bawah ini.

Tabel-5. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan


penyaring dan diagnosis DM (mg/dl).1
Belum
Bukan
pasti DM
DM
DM
Kadar Plasma vena <100 100-199 ≥ 200
glukosa Darah <90 90-199 ≥ 200

darah kapiler

sewaktu
(mg/dl)
Kadar Plasma vena <100 100-125 ≥126
glukosa Darah <90 90-99 ≥100

darah puasa kapiler


(mg/dl)

5. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes.1 Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.1
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.1
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM.1

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian


glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif.

30
a. Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum
Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan
pertama1, yang meliputi:
1. Riwayat Penyakit
a. Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
b. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat
perubahan berat badan.
c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.

d. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara


lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah
diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri.
e. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang
digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani.
f. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan
traktus urogenital.
h. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal,
mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan,
dll.
i. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa
darah.
j. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain).
k. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
l. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi dan berat badan.
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah

31
dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik.
c. Pemeriksaan funduskopi.
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
e. Pemeriksaan jantung.
f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan
vaskular, neuropati, dan adanya deformitas).
h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka,
hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan
bekas lokasi penyuntikan insulin).
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe
lain.

3. Evaluasi Laboratorium
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam setelah
TTGO.
b. Pemeriksaan kadar HbA1c
4. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang
baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:
a. Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density
Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan
trigliserida.
b. Tes fungsi hati
c. Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
d. Tes urin rutin
e. Albumin urin kuantitatif
f. Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
g. Elektrokardiogram.
h. Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung

32
kongestif).
i. Pemeriksaan kaki secara komprehensif.

Penapisan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan


Primer. Bila fasilitas belum tersedia, penderita dirujuk ke
Pelayanan Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier.

b. Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup
sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan
intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral
dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan
sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi
dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres
berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya
ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder
atau Tersier.1
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan
setelah mendapat pelatihan khusus.1

6. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat
penting dari pengelolaan DM secara holistik (B).1 Materi edukasi terdiri
dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Primer1 yang meliputi:
o Materi tentang perjalanan penyakit DM.
o Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.

33
o Penyulit DM dan risikonya.
o Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
o Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
o Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
o Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
o Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
o Pentingnya perawatan kaki.
o Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan (B).

b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan


Kesehatan Sekunder dan / atau Tersier1, yang meliputi:
o Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
o Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
o Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
o Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
o Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari
sakit).
o Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
o Pemeliharaan/perawatan kaki. Elemen perawatan kaki dapat dilihat
pada tabel-6.
Tabel 6. Elemen edukasi perawatan kaki

Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua orang dengan
ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral arterial disease (PAD)

34
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.
2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit
terkelupas, kemerahan, atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan
mengoleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering.
5. Potong kuku secara teratur.
6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar
mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan
pada ujung-ujung jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat
khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki.

35
c. Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah
memenuhi anjuran:
 Mengikuti pola makan sehat.
 Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
 Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara
aman dan teratur.
 Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan
pengobatan.
 Melakukan perawatan kaki secara berkala.
 Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan
sakit akut dengan tepat.
 Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan
mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta
mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.
 Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah:


 Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari
terjadinya kecemasan.
 Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal
yang sederhana dan dengan cara yang mudah dimengerti.
 Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan
simulasi.
 Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan
keinginan pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap
tentang program pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan
diskusikan hasil pemeriksaan laboratorium.

 Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat


diterima.

 Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.

36
 Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.
 Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan
pasien dan keluarganya.
 Gunakan alat bantu audio visual.

7. Terapi Nutrisi Medis (TNM)


TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif(A).1 Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM
sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM (A).1
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama
pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin
atau terapi insulin itu sendiri.1

A. Komposisi Makanan yang Dianjurkan1 terdiri dari:


 Karbohidrat
o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
o Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
o Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
o Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
o Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily
Intake/ADI).
o Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan

37
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.

 Lemak
o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan
tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
o Komposisi yang dianjurkan:
 lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.4
 lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
 selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
o Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream.
o Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.

 Protein

o Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.

o Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu dan tempe.
o Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan
energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali
pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan
protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.

 Natrium
o Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan
orang sehat yaitu <2300 mg perhari(B).
o Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual(B).
o Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan

38
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

 Serat
o Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-
kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi
serat.
o Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari
berbagai sumber bahan makanan.

 Pemanis Alternatif
o Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
aman (Accepted Daily Intake/ADI).

o Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan


pemanis tak berkalori.
o Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan
fruktosa.
o Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,
sorbitol dan xylitol.
o Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena
dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan
menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung
fruktosa alami.
o Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame
potassium, sukralose, neotame.

B. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal.1 Jumlah
kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.

39
Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut:

 Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca1


yang dimodifikasi:
o Berat badan ideal =
90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
o Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
Berat badan ideal (BBI) =

(TB dalam cm - 100) x 1 kg.

BB Normal: BB ideal ± 10 %

Kurus: kurang dari BBI - 10 %

Gemuk: lebih dari BBI + 10 %


 Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
o BB Kurang <18,5
o BB Normal 18,5-22,9
o BB Lebih ≥23,0
o Dengan risiko 23,0-24,9
o Obes I 25,0-29,9
o Obes II ≥30

*) WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:Redefining


Obesity and its Treatment.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:

 Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25
kal/kgBB sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.1

40
 Umur
o Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
setiap dekade antara 40 dan 59 tahun.1
o Pasien usia diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.1
o Pasien usia diatas usia 70 tahun, dikurangi 20%.1

 Aktivitas Fisik atau Pekerjaan1

o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas


fisik.

o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada


keadaan istirahat.
o Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan:
pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga.
o Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai
industri ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.
o Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh,
atlet, militer dalam keadaan latihan.
o Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang
becak, tukang gali.

 Stres Metabolik
o Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress
metabolik (sepsis, operasi, trauma).1

 Berat Badan
o Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar
20- 30% tergantung kepada tingkat kegemukan.1
o Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-
30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.1
o Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari
untuk wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria.1

Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang

41
terhitung dan komposisi tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar
untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3
porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya.1 Tetapi pada kelompok
tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis makanan dilakukan
sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang DM yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit
penyerta.1

8. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-
hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali
perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit
perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut (A).1
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan
jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau
aktivitas sehari- hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun
dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik dengan intensitas sedang (50- 70% denyut jantung maksimal)(A)
seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.1

9. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat).1 Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti- hiperglikemia oral dibagi menjadi 5

42
golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien
dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan
ginjal).1,6

 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.1,6

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(GFR 30- 60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada
beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan
hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal
jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.1,6

 Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated

43
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat
antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-
IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada
gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.1,6

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:

Penghambat Alfa Glukosidase.


Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada
keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable
bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil.
Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.1,6

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan
Linagliptin.1,6

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co- transporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat

44
yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat
approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.1,6

2. Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.1,6

a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan1,6:
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis1,6, yakni :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediate- acting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra long- acting insulin)

 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)

Jenis dan lama kerja masing-masing insulin dapat dilihat pada tabel 10.

45
Efek samping terapi insulin
 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.1,6
 Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut
DM
 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin.1,6

Dasar pemikiran terapi insulin:


 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang
fisiologis.1,6
 Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.1,6

 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi


terhadap defisiensi yang terjadi.
 Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa
darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi
oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang).1,6
 Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum
tercapai.1,6
 Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan
HbA1c belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa
darah prandial (meal- related). Insulin yang dipergunakan untuk
mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid
acting) yang disuntikan 5-10 menit sebelum makan atau insulin kerja
pendek (short acting) yang disuntikkan 30 menit sebelum makan.1,6
 Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia

46
oral untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat
peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau
penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose), atau
metformin (golongan biguanid).1,6
 Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.1,6
Cara penyuntikan insulin1,6:
 Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),
dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit
 Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau drip
 Insulin campuran (mixed insulin) merupakan kombinasi antara insulin
kerja pendek dan insulin kerja menengah, dengan perbandingan dosis
yang tertentu, namun bila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut
atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan
pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut.
 Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus
dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
 Penyuntikan insulin dengan menggunakan semprit insulin dan jarumnya
sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai 2-3 kali
oleh penyandang diabetes yang sama, sejauh sterilitas penyimpanan
terjamin. Penyuntikan insulin dengan menggunakan pen, perlu
penggantian jarum suntik setiap kali dipakai, meskipun dapat dipakai 2-3
kali oleh penyandang diabetes yang sama asal sterilitas dapat dijaga.
 Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan
semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit) harus diperhatikan, dan
dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya
U100 (artinya 100 unit/ml).

 Penyuntikan dilakukan pada daerah: perut sekitar pusat sampai


kesamping, kedua lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid), kedua
paha bagian luar.

47
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta
sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek
menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan
menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat badan agonis GLP-1
juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan pada pasien DM
dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki
cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan
ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide.1,6
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di
Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal
0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk
mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan
sampai dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak
direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan
sekali sehari secara subkutan.1

3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan
dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi
sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu
dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat
antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose
combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme
kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa
darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan
kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk

48
dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat anti- hiperglikemia
oral.1 (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DMT2)
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam
menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak
sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya
dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10
unit. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada
umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai
target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.1,6

49
Algoritma pengobatan DMT2 tanpa dekompensasi metabolik dapat dilihat
Bagan 1 Algoritme Pengelolaan DM Tipe2

pada bagan 1

50
Penjelasan untuk algoritme Pengelolaan DM Tipe-2
1. Daftar obat dalam algoritme bukan menunjukkan urutan pilihan. Pilihan
obat tetap harus mempertimbangkan tentang keamanan, efektifitas,
penerimaan pasien, ketersediaan dan harga (tabel-11). Dengan demikian
pemilihan harus didasarkan pada kebutuhan/kepentingan penyandang DM
secara perseorangan (individualisasi).1
2. Untuk penderita DM Tipe -2 dengan HbA1C <7.5% maka pengobatan
non farmakologis dengan modifikasi gaya hidup sehat dengan evaluasi
HbA1C 3 bulan, bila HbA1C tidak mencapa target < 7% maka
dilanjutkan dengan monoterapi oral.1
3. Untuk penderita DM Tipe-2 dengan HbA1C 7.5%-<9.0% diberikan
modifikasi gaya hidup sehat ditambah monoterapi oral. Dalam memilih
obat perlu dipertimbangkan keamanan (hipoglikemi, pengaruh terhadap
jantung), efektivitas, ketersediaan, toleransi pasien dan harga.1 Dalam
algoritme disebutkan obat monoterapi dikelompokkan menjadi
a. Obat dengan efek samping minimal atau keuntungan lebih banyak1,6:
 Metformin
 Alfa glukosidase inhibitor
 Dipeptidil Peptidase 4- inhibitor
 Agonis Glucagon Like Peptide-1

b. Obat yang harus digunakan dengan hati-hati.1,6


 Sulfonilurea
 Glinid
 Tiazolidinedione
 Sodium Glucose coTransporter 2 inhibitors (SGLT-2 i)
4. Bila obat monoterapi tidak bisa mencapai target HbA1C<7% dalam
waktu 3 bulan maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam
obat, yang terdiri dari obat yang diberikan pada lini pertama ditambah
dengan obat lain yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.1,6
5. Bila HbA1C sejak awal ≥ 9% maka bisa langsung diberikan kombinasi 2

51
macam obat seperti tersebut diatas.
6. Bila dengan kombinasi 2 macam obat tidak mencapai target kendali,
maka diberikan kombinasi 3 macam obat1 dengan pilihan sebagai berikut:
a. Metformin + SU + TZD atau
+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA atau
+ Insulin basal

b. Metformin + TZD + SU atau


+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA atau
+ Insulin basal

c. Metformin + DPP-4 i + SU atau


+ TZD atau
+ SGLT-2 i atau
+ Insulin basal

d. Metformin + SGLT-2 i + SU atau


+ TZD atau
+ DPP-4 i atau
+ Insulin basal

e. Metformin + GLP-1 RA + SU atau


+ TZD atau
+ Insulin basal

f. Metformin + Insulin basal + TZD atau


+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA

7. Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target maka

52
langkah berikutnya adalah pengobatan Insulin basal plus/bolus atau
premix.1
8. Bila penderita datang dalam keadaan awal HbA1C ≥10.0% atau
Glukosa darah sewaktu ≥ 300 mg/dl dengan gejala metabolik, maka
pengobatan langsung dengan:
a. metformin + insulin basal ± insulin prandial atau
b. metformin + insulin basal + GLP-1 RA

Keterangan mengenai obat :


1. SGLT-2 dan Kolesevalam belum tersedia di Indonesia.1
2. Bromokriptin QR umumnya digunakan pada terapi tumor hipofisis. Data
di Indonesia masih sangat terbatas terkait penggunaan bromokriptin
sebagai anti diabetes.1
3. Pilihan obat tetap harus memperhatikan individualisasi serta efektivitas
obat, risiko hipoglikemia, efek peningkatan berat badan, efek samping
obat, harga dan ketersediaan obat sesuai dengan kebijakan dan kearifan
lokal.1

4. Individualisasi Terapi
Manajemen DM harus bersifat perorangan. Pelayanan yang diberikan
berbasis pada perorangan dimana kebutuhan obat, kemampuan dan
keinginan pasien menjadi komponen penting dan utama dalam
menentukan pilihan dalam upaya mencapai target terapi. Pertimbangan
tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : usia penderita dan
harapan hidupnya, lama menderita DM, riwayat hipoglikemia, penyakit
penyerta, adanya komplikasi kardiovaskular, serta komponen penunjang
lain (ketersediaan obat dan kemampuan daya beli). Untuk pasien usia
lanjut, target terapi HbA1c antara 7,5-8,5% (B).1

5. Monitoring
Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan
pemeriksaan penunjang.1 Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

53
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
 Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
 Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah:
 Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
 Glukosa 2 jam setelah makan, atau
 Glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.

b. Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai
HbA1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan
terapi 8-12 minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana
perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan (E), atau tiap bulan
pada keadaan HbA1c yang sangat tinggi (> 10%). Pada pasien yang telah
mencapai sasran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1C
diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun (E). HbA1C tidak dapat
dipergunakan sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti:
anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir,
keadaan lain yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi
ginjal.1

c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM). Pemantauan kadar


glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan darah kapiler. Saat
ini banyak didapatkan alat pengukur kadar glukosa darah dengan
menggunakan reagen kering yang sederhana dan mudah dipakai. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan
dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Hasil pemantauan
dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional
secara berkala. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan suntik

54
insulin beberapa kali perhari (B) atau pada pengguna obat pemacu sekresi
insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan
pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan.
Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah
makan (untuk menilai ekskursi glukosa), menjelang waktu tidur (untuk
menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai
adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglycemic spells (B).1 Prosedur PGDM dapat
dilihat pada tabel 7.

PGDM terutama dianjurkan pada:


 Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
 Penyandang DM dengan terapi insulin dengan keadaan sebagai berikut :
o Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelah terapi
o Wanita yang merencanakan hamil
o Wanita hamil dengan hiperglikemia
o Kejadian hipoglikemia berulang (E)

Tabel 7. Prosedur Pemantauan.1


*ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bed-
1. Tergantung dari tujuan pemeriksaan tes dilakukan pada waktu (B):
 Sebelum makan
 2 jam sesudah makan
 Sebelum tidur malam
2. Pasien dengan kendali buruk/tidak stabil dilakukan tes setiap hari
3. Pasien dengan kendali baik/stabil sebaiknya tes tetap dilakukan secara
(minggu sampai bulan) apabila pasien terkontrol baik secara konsisten
4. Pemantauan glukosa darah pada pasien yang mendapat terapi insulin,
insulin dan memantau timbulnya hipoglikemia(E)
5. Tes lebih sering dilakukan pada pasien yang melakukan aktivitas tinggi, pada keadaan krisis, atau pada pasien yan
sulit mencapai target terapi (selalu tinggi, atau sering mengalami hipoglikemia),
terapi

time) dilakukan pada jam 22.00.


d. Glycated Albumin (GA)
Berdasarkan rekomendasi yang telah ada, monitor hasil strategi terapi dan
perkiraan prognostik diabetes saat ini sangat didasarkan kepada hasil dua

55
riwayat pemeriksaan yaitu glukosa plasma (kapiler) dan HbA1C. Kedua
pemeriksaan ini memiliki kekurangan dan keterbatasan. HbA1C
mempunyai keterbatasan pada berbagai keadaan yang mempengaruhi
umur sel darah merah. Saat ini terdapat cara lain seperti pemeriksaan
(GA) yang dapat dipergunakan dalam monitoring.1
GA dapat digunakan untuk menilai indeks kontrol glikemik yang tidak
dipengaruhi oleh gangguan metabolisme hemoglobin dan masa hidup
eritrosit seperti HbA1c. HbA1c merupakan indeks kontrol glikemik
jangka panjang (2-3 bulan). Sedangkan proses metabolik albumin terjadi
lebih cepat daripada hemoglobin dengan perkiraan 15 – 20 hari sehingga
GA merupakan indeks kontrol glikemik jangka pendek. Beberapa
gangguan seperti sindrom nefrotik, pengobatan steroid, severe obesitas
dan gangguan fungsi tiroid dapat mempengaruhi albumin yang berpotensi
mempengaruhi nilai pengukuran GA.1
Studi konversi yang dilakukan oleh Tahara antara kadar HbA1c dan GA
dengan menggunakan analisa regresi linear MEM didapatkan nilai
konversi HbA1c terhadap glycated albumin1 sebagai berikut:
HbA1C = 0.245 x GA + 1.73

10. Kriteria Pengendalian DM


Kriteria pengendalian diasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa,
kadar HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah
apabila kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar
yang diharapkan, serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target
yang ditentukan.1 Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat
pada Tabel 8.

Tabel 8. Sasaran Pengendalian DM.1

Parameter Sasaran
IMT (kg/m2) 18,5 - < 23*
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 140 (B)
Tekanan darah diastolik (mmHg) <90 (B)

56
Glukosa darah preprandial
kapiler (mg/dl) 80-130**
Glukosa darah 1-2 jam PP kapiler <180**
(mg/dl)
HbA1c (%) < 7 (atau individual) (B)
<100 (<70 bila risiko KV sangat
Kolesterol LDL (mg/dl) tinggi) (B)
Kolesterol HDL (mg/dl) Laki-laki: >40; Perempuan: >50
(C)
Trigliserida (mg/dl) <150 (C)

Keterangan : KV = Kardiovaskular, PP = Post prandial


*The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and Its Treatment, 2000
** Standards of Medical Care in Diabetes, ADA 2015

II. HIPERTENSI
1. Definisi dan Patofisiologi
Hasil curah jantung atau volume sekuncup (stroke volume/SV) dikalikan
frekuensi denyut jantung dan resistensi perifer total (TPR) menentukan
tekanan darah (hukum Ohm). Hipertensi timbul apabila terjadi peningkatan
pada curah jantung atau resistensi perifer total atau kombinasi keduanya.
Hipertensi hiperdinamik dan resistensi memiliki manifestasi berlainan, yang
mana hipertensi hiperdinamik terjadi peningkatan tekanan sistolik (Ps) yang
jauh lebih besar dibandingkan tekanan diastolik (Pd). Sementara itu, pada
hipertensi resistensi terjadi peningkatan yang sama antara tekanan sistolik dan
diastolik atau tekanan diastolik lebih dari sistolik. Hal tersebut diakibatkan
oleh peningkatan resistensi perifer total yang memperlambat ejeksi volume
sekuncup.9,10
Curah jantung yang meningkat pada hipertensi hiperdinamik disebabkan
oleh peningkatan frekuensi denyut jantung atau volume ekstrasel yang
menyebabkan peningkatan aliran balik vena sehingga meningkatkan volume
sekuncup (mekanisme Frank-Starling). Selain itu, peningkatan aktivitas saraf
simpatis dari sistem saraf pusat dan/atau peningkatan respons terhadap
katekolamin (misalnya pengaruh hormon kortisol atau tiroid) dapat
menyebabkan peningkatan curah jantung.10

57
Gambar 5. Regulasi tekanan darah sistemik. Arah panah kecil mengindikasikan
terjadinya stimulasi (↑) atau inhibisi (↓) pada parameter dalam kotak. ADH (hormon
antidiuretik); HR (denyut jantung); NP (peptide natriuretik); PSNS (sistem saraf
parasimpatis); SNS (sistem saraf simpatis); SV (volume sekuncup). 9
Hipertensi resistensi disebabkan terutama oleh vasokonstriksi perifer (arteriole)
yang sangat tinggi, beberapa penyempitan pembuluh darah perifer lain atau
akibat peningkatan viskositas darah yang ditandai oleh meningkatnya nilai
hematokrit. Vasokonstriksi terjadi akibat meningkatnya aktivitas simpatis (dari
saraf atau medulla adrenal), peningkatan respons terhadap katekolamin atau
peningkatan konsentrasi angiotensin II.9,10 Mekanisme autoregulasi juga
termasuk vasokonstriksi. Sebagai contoh, apabila tekanan darah meningkat
akibat peningkatan curah jantung, berbagai organ seperti ginjal dan saluran
cerna akan memproteksi dirinya terhadap peningkatan tekanan darah tersebut.
Mekanisme tersebut menjelaskan bahwa sering ditemukan komponen
vasokonstriksi pada hipertensi hiperdinamik yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi hipertensi resistensi. Terdapat pula hipotesa yang
menerangkan bahwa terjadi hipertrofi otot vasokonstriktor. Hipertensi dapat
menyebabkan kerusakan vaskular yang akan meningkatkan resistensi perifer
total (hipertensi menetap).9,10
Penyebab hipertensi seperti kelainan ginjal atau hormonal sekitar 5-10% dari
semua kasus hipertensi. Dengan menyingkirkan penyebab, diagnosis disebut
hipertensi primer atau esensial. Selain peran genetik, hipertensi primer lebih
sering dialami pada perempuan dan terjadi pada penduduk perkotaan. Stress
psikologis kronis yang mungkin berhubungan dengan pekerjaan (pilot,
pengemudi bus) dapat memicu hipertensi. 9 Pada orang yang “sensitif terhadap
garam” (sekitar 1/3 pasien dengan hipertensi primer, insiden meningkat apabila
terdapat riwayat keluarga), asupan NaCl yang tinggi (sekitar 10-15 g/hari =
170-250 mmol/hari).9 Melalui peningkatan aldosterone, organisme akan
terlindungi dari kehilangan Na+ atau pengurangan volume ekstrasel, sedangkan
orang yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap garam dapat tidak terlindungi
terhadap asupan NaCl yang tinggi. Pelepasan aldosterone yang terhambat
bahkan pada asupan Na+ normal (>100 mmol/hari) menyebabkan kadarnya

58
tidak dapat diturunkan kembali (ireversibel). Oleh karena itu, diet dengan
asupan NaCl rendah dapat menghasilkan keseimbangan NaCl hingga terjadi
regulasi aldosterone.10
Sensitivitas NaCl dan terjadinya hipertensi primer dapat diakibatkan oleh
meningkatnya respons terhadap katekolamin pada orang yang sensitif terhadap
NaCl. Pada stress psikologis, terjadi peningkatan tekanan darah yang lebih
besar, yang mana dapat disebabkan secara langsung oleh efek peningkatan
stimulasi jantung dan tidak langsung melalui peningkatan absorpsi ginjal serta
retensi Na+ (meningkatnya volume ekstrasel menyebabkan hipertensi
hiperdinamik).10

Gambar 6. Abnormalitas primer yang berpotensi menyebabkan hipertensi esensial


dengan bukti eksperimental. CNS (sistem saraf pusat); RAA (renin-angiotensin-
aldosterone).9

2. Mekanisme Hipertensi Primer

Hipertensi primer disebabkan oleh berbagai faktor yang saling


berinteraksi, seperti faktor genetik, lingkungan, mekanisme neural, renal,
hormonal dan vaskular.6,9 Faktor risiko yang dapat menyebabkan hipertensi
ialah diet/asupan garam berlebih, stress, ras, obesitas, merokok, dan genetik.6
3.1. Mekanisme neural, berkaitan dengan sistem saraf simpatis. Aktifitas yang
berlebihan dari sistem saraf simpatis berperan penting untuk terjadinya

59
hipertensi primer. Meningkatnya denyut jantung, curah jantung, kadar
norepinefrin (NE) plasma dan urine, rangsangan saraf simpatis post
gangliom dan reseptor α-adrenergik menyebabkan vasokonstriksi di
sirkulasi perifer.6 Akan tetapi, peningkatan aktifitas saraf simpatis sulit
diukur secara klinis. Begitu pula kadar NE plasma dan denyut jantung
tidak dapat digunakan untuk mengukur aktifitas saraf simpatis yang
meningkat. Untuk mengetahui kadar NE yang meningkat, digunakan
radiotracer dan microneurography.6

3.2. Mekanisme renal, berkaitan dengan peran ginjal dalam terjadinya


hipertensi. Walaupun, hipertensi dapat pula menyebabkan kelainan pada
ginjal. Menurunnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan kelebihan
natrium pada diet tinggi garam merupakan awal tercetusnya kelainan pada
hipertensi.6 Retensi natrium meningkatkan tekanan darah melalui dua cara,
yaitu:
 Volume-dependent mechanisms: proses autoregulasi dan produksi dari
endogenous quabain-like steroids.6
 Volume-independent mechanisms: angiotensin memegang peran penting
dimana terjadi peningkatan aktifitas saraf simpatis, peningkatan
kontraktilitas sel otot polos pembuluh darah dan hipertrofi myoblast
jantung, meningkatnya produksi nuclear factor (NF)-κβ, ekspresi AT1R
di ginjal, serta peningkatan transforming growth factor (TGF) β.6

3.3. Mekanisme vaskular, berkaitan dengan struktur dan fungsi pembuluh


darah kecil dan besar yang mengalami perubahan pada awal dan tahap
lanjut (progresifitas) hipertensi. Selain itu, meningkatnya resistensi
pembuluh darah perifer dengan curah jantung yang normal dapat
ditemukan pada beberapa kondisi. Mekanisme ini berupaadanya gangguan
keseimbangan antara faktor yang menyebabkan terjadinya dilatasi dan
konstriksi pembuluh darah.6

60
 Mekanisme vasokonstriksi tingkat sel berperan pada pathogenesis
hipertensi primer, meskipun tidak ditemukan kelainan padaginjal.
Peningkatan cytosolic calcium pathway menyebabkan terjadinya
kontraksi otot polos pembuluh darah.6
 Disfungsi endotel. Lapisan endotel pembuluh darah merupakan faktor
yang sangat penting dalam menjaga kesehatan pembuluh darah dan
berperan sebagai pertahanan terhadap aterosklerosis dan hipertensi.
Tonus pembuluh darah diatur keseimbangannya oleh modulator
vasodilatasi dan vasokonstriksi. Adanya gangguan pada keseimbangan
tonus berperan pula pada patofisiologi hipertensi primer. 10 Disfungsi
endotel merupakan penanda khas suatu hipertensi dan risiko suatu
kejadian kardiovaskular. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya
faktor yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah yang dihasilkan
oleh endotel, seperti nitrit oksida (NO) dan meningkatnya faktor yang
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi seperti mediator proinflamasi,
protrombotik dan faktor pertumbuhan.6
 Remodeling vaskular: diakibatkan oleh disfungsi endotel, aktivasi
neurohormonal, inflamasi vaskular dan peningkatan tekanan darah
sehingga makin memperberat hipertensi. Yang khas ditemukan pada
keadaan ini ialah penebalan dinding media arteri sehingga
meningkatkan rasio antara lapisan media dan lumen pada arteri besar
dan kecil. Peran sistem renin-angiotensin-aldosteron merupakan faktor
yang dominan dalam remodeling vaskular.6

3.4. Mekanisme hormonal: teraktivasinya sistem renin-angiotensin-aldosterone


ikut berperan pada retensi natrium oleh ginjal, disfungis endotel, inflamasi
dan remodeling pembuluh darah dan terjadinya hipertensi. Renin yang
diproduksi oleh sel juxtaglomerulus ginjal akan berikatan dengan
angiotensinogen yang disintesis di hati, yang menghasilkan angiotensin
(AT) 1. Kemudian, angiotensin converting enzyme (ACE) yang terdapat

61
sebagian besar di paru, jantung dan pembuluh darah (tissue ACE), akan
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin (AT) II. Selain itu, terdapat
jalur alternatif lain, yaitu chymase (enzim protease serine) yang dapat
merubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Interaksi antara angiotensin
II dan reseptor angiotensin I akan mengaktivasi beberapa mekanisme di
tingkat seluler yang berperan dalam terjadinya hipertensi dan mempercepat
kerusakan organ target akibat hipertensi itu sendiri.6,9 Terdapat pula
keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan organ target yaitu
peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS), inflamasi vaskular,
remodeling jantung, dan produksi aldosterone. Selain itu, beberapa
penelitian terakhir menunjukkan bahwa angiotensin II, aldosterone,
aktivasi jalur renin, dan prorenin dapat menyebabkan kerusakan pada
pembuluh darah yang sehat dan pada akhirnya timbul hipertensi.6

Prorenin pada sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) berdasarkan


pemahaman yang lalu merupakan prekursor renin dengan sifat inaktif
sehingga diubah dahulu menjadi renin yang aktif, kemudian secara
enzimatik akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Akan
tetapi, pada penelitian terbaru ditemukan konsep bahwa reseptor pro(renin)
yang bila terikat dengan prorenin dan renin (proses non-enzimatik) akan
mengakibatkan efek toksik langsung pada jantung dan ginjal.10
Terbentuknya reseptor pro(renin) terpisah dari terbentuknya reseptor
angiotensin II, oleh karena itu, kerja reseptor ini tidak dipengaruhi oleh
penghambat angiotensin converting enzyme (ACE inhibitor) dan
angiotensin receptor blocker (ARB). Kadar prorenin 100 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar renin dalam plasma. Aktivitas renin-
angiotensin-aldosterone secara klinis dapat ditentukan plasma renin
activity (PRA) dan plasma renin concentration (PRC).6
Penelitian hewan coba menunjukkan bahwa angiotensin II dapat
menyebabkan hipertensi melalui aktivasi nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate (NADPH) oxidase dalam sel T yang beredar dalam
sirkulasi, ginjal dan otak.6 Ekspresi reseptor angiotensin I dan NADPH

62
oxidase pada sel T berperan dalam terjadinya hipertensi pada tikus coba,
dan kemungkinan pada manusia angiotensin II akan mengaktivasi NADPH
oxidase yang selanjutnya meningkatkan produksi reactive oxygen species
(ROS) pada organ subfornical, kemudian memicu aktivasi saraf simpatis
ke lien dan kelenjar limfatik, sehingga sel T akan beredar dalam sirkulasi. 6
Aktivasi NADPH oxidase pada sel T oleh angiotensin II diikuti dengan
meningkatnya ekspresi kemokin pada permukaan sel T. NADPH oxidase
pada vaskular dan ginjal akan teraktivasi oleh adanya sel T, yang mana
akan meningkatkan reactive oxygen species (ROS) pada organ tersebut.
Selain itu, sel T yang teraktivasi di perivascular fat akan menyebabkan
vasokonstriksi dan remodeling vaskular, disfungsi ginjal serta retensi
natrium.6 Beberapa faktor yang memengaruhi curah jantung dan resistensi
perifer berperan dalam pengendalian tekanan darah (Gambar 6).

Gambar 7. Faktor-faktor yang memengaruhi curah jantung dan resistensi perifer total
dalam pengendalian tekanan darah.6

4. Peran Neurohumoral pada Patofisiologi Hipertensi

63
Hipertensi disebabkan oleh berbagai faktor, tidak hanya satu,walaupun
pada akhirnya akan terkait dengan kendali natrium (Na+) di ginjal sehingga
terjadi peningkatan tekanan darah.6

Empat faktor yang berperan penting dalam patofisiologi hipertensi adalah:


1. Peran volume intravaskular
2. Peran kendali saraf autonom
3. Peran sistem renin-angiotensin-aldosterone
4. Peran dinding vaskular pembuluh darah

4.1. Peran Volume Intravaskular


Menurut Kaplan, hipertensi merupakan hasil interaksi antara curah jantung
(CO) dan resistensi perifer total (TPR), yang mana masing-masing dipengaruhi
oleh beberapa faktor.6,9,10
Volume intravaskular adalah determinan utama bagi stabilnya tekanan
darah dari waktu ke waktu, bergantung keadaan TPR apakah vasokonstriksi atau
vasodilatasi. Apabila asupan NaCl meningkat, ginjal akan merespon agar ekskresi
garam yang keluar bersama urine juga meningkat. Akan tetapi, apabila NaCl yang
diekskresi melebihi ambang kemampuan ginjal, maka ginjal akan melakukan
retensi H2O sehingga volume intravaskular meningkat.6

Gambar 8.

64
Patogenesis hipertensi menurut Kaplan.6

Gambar 9. Faktor-faktor pengendalian tekanan darah.6


Curah jantung juga akan mengalami peningkatan, akibatnya terjadi
ekspansi volume intravaskular sehingga tekanan darah meningkat.
Selanjutnya, resistensi perifer total akan meningkat dan curah jantung akan
turun mnejadi normal lagi akibat autoregulasi. Apabila TPR vasodilatasi,
tekanan darah menurun, sebaliknya TPR vasokonstriksi menyebabkan
tekanan darah meningkat.6,9

4.2. Peran Kendali Saraf Autonom


Persarafan autonom terbagi menjadi 2 yaitu sistem saraf simpatis
dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis menstimulasi saraf visceral
termasuk ginjal melalui neurotransmitter katekolamin, epinefrin, serta
dopamine, sedangkan sistem saraf parasimpatis menginhibisi stimulasi
saraf simpatis. Regulasi simpatis dan parasimpatis secara independen,
tidak dipengaruhi oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi secara automatis
mengikuti siklus sikardian.6
Terdapat beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung,
ginjal, otak, serta dinding vaskular pembuluh darah seperti reseptor α1, α2,
β1 dan β2. Temuan lain yaitu adanya reseptor β3 di aorta yang jika
diinhibisi menggunakan beta bloker β1 selektif yang baru (nebivolol) akan

65
memicu terjadinya vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida (NO).6
Akibat pengaruh genetik, stress kejiwaan, rokok, dan faktor
pencetus lain, akan terjadi aktivasi sistem saraf simpatis berupa
peningkatan katekolamin, norepinefrin (NE), dan sebagainya. Selanjutnya,
neurotransmitter ini akan meningkatkan denyut jantung (HR) lalu diikuti
oleh kenaikan curah jantung sehingga tekanan darah akan meningkat. Hal
ini dapat menyebabkan agregasi platelet. Meningkatnya norepinefrin
berefek negatif pada jantung, dikarenakan di jantung terdapat reseptor α1,
β1 dan β2 yang akan memicu kerusakan miokard, hipertrofi, dan aritmia
dengan akibat progresivitas dari hipertensi aterosklerosis.6,9
Pada dinding pembuluh darah terdapat reseptor α1, maka
peningkatan norepinefrin memicu vasokonstriksi sehingga hipertensi
aterosklerosis juga makin progresif. Norepinefrin memiliki efek negatif
terhadap ginjal, karena terdapat reseptor α1 dan β1yang memicu terjadinya
retensi natrium, mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosterone,
memicu vasokonstriksi pembuluh darah dengan akibat hipertensi
aterosklerosis yang makin progresif.6 Apabila kadar norepinefrin tidak
pernah normal, maka sindrom hipertensi aterosklerosis akan berlanjut
semakin progresif hingga kerusakan organ target (TOD).6 Gambar 6 dan 7
menjelaskan tentang peran norepinefrin sistem saraf simpatis.

Gambar 10. Faktor-faktor penyebab aktivasi sistem saraf simpatis. 6

66
Gambar 11. Patofisiologi norepinefrn (NE) memicu progresivitas hipertensi
aterosklerosis.6

4.3. Peran Sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone (RAAS)


Tekanan darah yang menurun akan memicu refleks baroreseptor.6,9
Secara fisiologis, RAA akan mengikuti kaskade pada gambar dibawah ini,
yang mana menyebabkan sekresi renin, lalu angiotensin I (A I),
angiotensin II (A II), dan seterusnya hingga tekanan darah meningkat
kembali.6,9 Inilah proses fisiologis autoregulasi tekanan darah yang terjadi
melalui aktivasi sistem RAA (Gambar 11 dan 12).
Gambar 12. Autoregulasi tekanan darah berkaitan dengan sistem renin-angiotensin-

67
aldosterone (RAA).6

Gambar 13. Sistem renin-angiotensin-aldosterone (RAAS).6

Proses terbentuknya renin diawali oleh pembentukan angiotensinogen


yang disintesis di hati. Selanjutnya, angiotensinogen akan diubah menjadi
angiotensin I oleh renin yang dihasilkan oleh makula densa apparatus juxta
glomerulus ginjal. Angiotensin I diubah lagi menjadi angiotensin II oleh
enzim ACE (angiotensin-converting enzyme). Angiotensin II bekerja pada
reseptor-reseptor terkait dengan proses fisiologisnya yaitu pada reseptor

68
AT1, AT2, AT3, dan AT4 (Gambar 12,13 dan 14).6,9
Komponen baru dari sistem renin-angiotensin-aldosterone dinamakan
ACE2, yang mana merupakan homolog ACE dan berfungsi sebagai
carboxypeptidase, juga memecah residu akhir rantai karboksilase tunggal
dari angiotensin II menjadi angiotensin 1-7 (A1-7).11 Angiotensin 1-7
memiliki efek vasodilator melalui pengikatan reseptor G-coupled
Angiotensin 1-7 (reseptor MAS) dan antagonis aksi dari angiotensin II
(Gambar 15).11

Gambar 14. Proses angiotensinogen menjadi angiotensin II dalam sistem RAA. 6

Gambar 15. Peran angiotensin II pada reseptor AT1 di organ-organ terkait, yang akan
mengalami kerusakan secara berurutan. 6

69
Gambar 16. Skematik sistem renin-angiotensin-aldosterone (RAAS). ACE: angiotensin
converting enzyme; AT1R: reseptor angiotensin II tipe 1; AT 2R: reseptor angiotensin II
tipe 2; MAS: reseptor angiotensin 1-7.11

Berkaitan dengan peran multifaktor dalam hipertensi (terutama hipertensi


arterial pulmonal) dan beberapa mekanisme feedback neurohormonal, sulit
untuk menemukan pencetus awal aktivasi neurohormonal pada keadaan
tersebut. Akan tetapi, kerusakan vaskular pulmoner, stress dinding
ventrikel kanan, dan hipoperfusi renal merupakan pencetus utama regulasi
lokal dan sistemik sistem renin-angiotensin-aldosterone serta sistem saraf
simpatis (Gambar 13).11

70
Gambar 17. Mekanisme peningkatan aksis neurohormonal pada hipertensi
arterial pulmonal.11
Faktor risiko yang tidak terkontrol akan memicu sistem RAA. Tekanan
darah makin meningkat, maka hipertensi aterosklerosis makin progresif. 6,9
Progresifitas hipertensi dipicu oleh peran angiotensin II (bukti uji klinis
sangat kuat). Intervensi klinik pada tiap tahapan aterosklerosis
kardiovaskular dapat menghambat progresifitas dan menurunkan risiko
kejadian kardiovaskular (Gambar 17).6
Kaskade sistem renin-angiotensin-aldosterone (RAA) berhubungan dengan
titik tangkap berbagai obat anti hipertensi (Gambar 15).
Rangkaian kejadian kardiovasluar: Peran faktor risiko dan angiotensin II

Gambar 18. Peran angiotensin II dalam progresivitas hipertensi aterosklerosis. 6

71
Gambar 19. Titik tangkap obat anti hipertensi pada sistem RAA.6

4.4. Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah


Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang terjadi terus
menerus sepanjang usia atau dikenal dengan the disease cardiovascular
continuum.6 Hipertensi diawali dengan disfungsi endotel, berlanjut menjadi
disfungsi vaskular, perubahan biologis vaskular dan berakhir menjadi
kerusakan organ target (TOD).6
Hipertensi dapat disertai gejala lain seperti resistensi insulin,
obesitas, mikroalbuminuria, gangguan koagulasi, gangguan toleransi
glukosa, kerusakan membran transport, disfungsi endotel, dislipidemia,
pembesaran ventrikel kiri, gangguan simpatis-parasimpatis. 6 Gangguan
fungsi endotel merupakan salah satu gejala yang berhubungan dengan
hipertensi dan dapat memprediksi risiko kejadian kardiovaskular.
Hipertensi dengan faktor risiko yang tidak dikelola menyebabkan
hemodinamika tekanan darah makin berubah, hipertensi makin progresif,
vaskular biologi berubah, dinding pembuluh darah makin menebal, dan
berakhir dengan kejadian kardiovaskular.6,9
Terdapat faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan dapat
dimodifikasi, yang apabila kedua faktor tersebut dimiliki oleh penderita

72
hipertensi, maka vaskular biologi akan berubah menjadi makin tebal akibat
kerusakan vaskular dan proses remodeling. Keadaan tersebut diakibatkan
oleh inflamasi, vasokonstriksi, thrombosis, ruptur plak atau erosi.6
Faktor risiko yang dominan berperan pada progresifitas hipertensi
ialah angiotensin II. Hal ini telah dibuktikan (evidence A) melalui berbagai
penelitian klinis yang menyatakan bahwa jika angiotensin II dihambat oleh
ACE inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB), risiko
kejadian kardiovaskular dapat dicegah atau diturunkan secara
meyakinkan.6
Faktor risiko yang telah disebutkan harus dikelola dengan baik agar
hipertensi tidak progresif, risiko penyakit kardiovaskular lain pun dapat
dicegah atau diturumkan.6

III. ANEMIA PENYAKIT KRONIS


1. Definisi
Anemia penyakit kronis merupakan keadaan dimana kadar hemoglobin
(Hb) sekitar 7-11 g/dL, kadar Fe (besi) serum menurun dan rendahnya
kadar TIBC (total iron - binding capacity). Selain itu, produksi eritrosit
berkurang dan cadangan Fe yang tinggi di jaringan.6,12,13

2. Etiologi dan Patogenesis


Anemia pada pasien diabetes melitus tipe 2 disebabkan adanya
ekspresi gen yang berkaitan dengan inflamasi dan respon imun. Sitokin
proinfalamasi meningkat ekspresinya pada pasien anemia dengan
diabetes melitus bila dibandingkan dengan pasien yang hanya
mengalami diabetes melitus. Produksi interleukin 6 (IL-6) dan aktivitas
sel B meningkat pada anemia sehingga memperkuat asosiasi antara IL-
6 dan peran antieritropoietik. Selain itu, kadar CRP (C-reactive
protein) dan ferritin juga mengalami peningkatan, walaupun kadar Fe
rendah. Hal ini menunjukkan adanya proses inflamasi kronik.6,12,13
Anemia pada hipertensi disebabkan oleh defisiensi nutrisi khususnnya

73
besi dan adanya proses inflamasi kronik.6,13,14
Anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stres hematologik
akibat produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan
akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Selanjutnya, sitokin akan
menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga zat besi yang terikat lebih
banyak (terjadi pemendekan masa hidup eritrosit yang normalnya 120
hari menjadi hanya 80 hari), destruksi eritrosit di limpa meningkat,
menurunnya produksi eritropoietin oleh ginjal, dan stimulus yang
inadekuat pada eritropoiesis di medula spinalis.6,12,14
Infeksi, inflamasi, atau keganasan mengaktivasi makrofag dan
selanjutnya menstimulasi pengeluaran IL-6 sehingga sel-sel retikulo-
endotelial di hati akan teraktivasi untuk menghasilkan hepsidin.
Hepsidin berikatan dengan feropontin yang merupakan protein
membran dan berperan dalam inhibisi absorpsi besi oleh usus halus
serta menurunkan pelepasan besi oleh makrofag. Kedua mekanisme
tersebut menyebabkan penurunan kadar besi dalam plasma.6,12,14

3. Gambaran Klinis
Gejala yang ditimbulkan seringkali tersamarkan oleh penyakit yang
mendasarinya dikarenakan kadar Hb 7-11 g/dL biasanya asimptomatik
atau gejala ringan-sedang karena pada pemeriksaan fisik hanya
ditemukan konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari
anemia penyakit kronik, sehingga pemeriksaan laboratorium
merupakan pendukung diagnosis tersebut.6,12,13

4. Pemeriksaan Laboratorium
Anemia penyakit kronik memberikan gambaran normokromik
normositer. Akan tetapi, dapat pula ditemukan gambaran hipokrom
dengan MCHC <31 g/dL dan mikrositer dengan MCV <80 fl.6,12,14

74
5. Penatalaksanaan
Terapi utama pada pasien anemia penyakit kronis ialah mengobati
penyakit dasarnya. Akan tetapi, pemberian transfusi darah menjadi
pilihan apabila disertai dengan gangguan hemodinamik. Tidak ada
batasan kadar hemoglobin.6,13

6. Prognosis
Hipertensi pada pasien dengan diabetes melitus yang disertai dengan
anemia memiliki prevalensi yang lebih besar dibandingkan dengan
pasien yang tanpa anemia. Hal tersebut meningkatkan risiko
komplikasi kardiovaskular seperti gagal jantung, stroke, inflamasi
jaringan dan aterosklerosis.12-14

IV. SINDROM CONUS MEDULLARIS/CAUDA EQUINA


1. Definisi
Sindrom kauda equina dan konus medullaris memiliki kesamaan
anatomi dan manifestasi klinis. Conus medullaris adalah ujung
terminal dari medulla spinalis, yang terletak pada tingkat vertebral L1
pada orang dewasa secara umum. Sindrom konus medullaris (CMS)
terjadi ketika ada kerusakan akibat penekanan pada medula spinalis
T12-L2. Cauda equina adalah sekelompok saraf dan serabut saraf yang
berasal dari ujung distal medula spinalis, biasanya tingkat L1-L5 dan
berisi akson saraf yang memberikan persarafan motorik dan sensorik
ke kaki, kandung kemih, anus, dan perineum.15 Sindrom kauda equina
(CES) terjadi akibat kompresi sedangkan konus medullaris sering
terjadi ketika kerusakan terjadi pada serabut saraf L3-L5. CES
merupakan kegawatdaruratan bedah saraf karena bermanifestasi nyeri
punggung yang menjalar ke kaki, disfungsi motorik dan sensorik pada
ekstremitas inferior, disfungsi vesica urinaria dan/atau usus, disfungsi
seksual dan anestesi lumbal.15

75
2. Etiologi
Sindrom kauda equina dan sindrom konus medullaris terjadi akibat
kompresi medula spinalis dan saraf/serabut saraf yang terjadi pada L1-
L5. Penyebab paling umum dari kompresi pada 45% CES adalah
hernia diskus intervertebralis lumbal. Penyebab lain termasuk abses
epidural, hematoma epidural, diskitis, tumor (baik metastasis atau
kanker SSP primer), trauma (terutama bila ada retropulsi fragmen
fraktur tulang), stenosis spinal dan obstruksi aorta. Kasus yang jarang
dilaporkan pada CES dikaitkan dengan manipulasi kiropraktik,
penempatan perangkat interspinous, dan trombosis vena cava inferior.15

3. Epidemiologi
Sindrom kauda equina dan sindrom konus medullaris jarang terjadi,
dengan perkiraan prevalensi 1 dari 30.000 hingga 100.000 orang per
tahun. Perkiraan insiden tahunan adalah antara 1,5 hingga 3,4 per juta
orang. Ini terjadi pada 3% dari semua herniasi diskus. Sindrom kauda
equina dan sindrom konus medullaris paling sering terjadi pada pria
muda, mungkin karena kelompok populasi ini lebih berisiko
mengalami trauma supresi thoracolumbar. Salah satu penelitian
menyatakan bahwa di AS akan terjadi 1.016 kasus baru sindrom cauda
equina dan 449 kasus baru sindrom konus medullaris per tahun.15

4. Manifestasi klinis
Diperlukan anamnesis riwayat pasien yang menyeluruh, dengan
pertanyaan yang berkaitan dengan trauma atau cedera akut,
penggunaan antikoagulan, instrumen yang dipasang di vertebra,
penggunaan obat intravena, riwayat keganasan, manipulasi
chiropraktik, dan gejala konstitusional seperti demam/menggigil.15
Pasien memiliki manifestasi15 berupa:
 Nyeri punggung (terlihat pada sebanyak 97% pasien)
 Kelemahan dan perubahan sensasi di ekstremitas inferior

76
 Disfungsi vesica urinaria (gangguan saraf otonom menyebabkan
retensi atau inkontinensia hingga 92% pasien)
 Disfungsi usus (retensi atau inkontinensia hingga 72% pasien)
 Anestesi lumbal atau penurunan sensasi di perineum (hingga 93%
pasien)
 Disfungsi seksual (impotensi pada pria)
Gejala diatas kadang tidak spesifik saat dalam perawatan di rumah
sakit. Kumpulan gejala tersebut bukan merupakan nilai prediksi positif
yang signifikan untuk mendiagnosis sindrom konus medularis kauda
equina. Akan tetapi, adanya anestesi perineum yang berkaitan dengan
disfungsi vesica urinaria merupakan gejala tipikal sindrom cauda
equina sehingga diagnosis dan manajemen dini dapat dilakukan. 15
Retensi urin tanpa rasa sakit pada suprapubis memiliki nilai prediksi
sindrom konus kauda terbesar tetapi dengan prognosis yang buruk.15
Manifestasi klinis15 yang ditemukan, antara lain:
 Defisit motorik atau sensorik di kaki - biasanya bilateral tetapi bisa
juga unilateral dan asimetris
 Tanda neuron motorik bawah di tungkai - arefleksia, hipotonia,
atrofi (dalam kasus kompresi serabut saraf kronis yang
mengakibatkan CES)
 Anestesi pelana
 Tidak ada atau menurunnya tonus rektal
 Tidak ada atau berkurangnya refleks bulbocavernosus
 Kandung kemih yang teraba menunjukkan retensi urin
Penting untuk dicatat bahwa pada kasus sindrom konus medullaris,
defisit ekstremitas bawah lebih sering bilateral dan simetris. Juga,
tanda-tanda neuron motorik atas dapat muncul, seperti spastisitas dan
hiperrefleksia.15

5. Pemeriksaan Penunjang

77
Metode baku emas untuk evaluasi CMS / CES adalah dengan
pencitraan MRI (magnetic resonance imaging) dengan T1 dan T2
sagital dan aksial.15 Belum ada waktu spesifik atau periode emas sejak
masuk UGD hingga dilakukannya MRI, akan tetapi semakin cepat
dikonsulkan ke dokter ortopedi atau bedah saraf menjadi penting untuk
dilakukan. Target ideal untuk MRI adalah satu jam sejak pasien tiba di
UGD. Untuk pasien dengan kontraindikasi MRI, seperti pasien dengan
implan logam, CT myelogram adalah pilihan yang baik. Modalitas
pencitraan ini memiliki keterbatasan karena memerlukan kontras yang
diinjeksikan melalui spinal tap untuk memvisualisasikan medula
spinalis dan struktur terkaitnya. Pemindaian vesica urinaria untuk
memeriksa volume residu pasca-miksi juga harus dilakukan untuk
mengevaluasi retensi urin.15

6. Penatalaksanaan
Konsultasi bedah saraf atau ortopedi yang cepat diperlukan dalam
kasus sindrom cauda equina dan konus medullaris, karena tatalaksana
utamanya adalah bedah dekompresi melalui laminektomi dengan atau
tanpa disektomi, atau melalui sekuestrektomi.15

7. Prognosis
Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui prognosis
berdasarkan waktu dekompresi bedah. Intervensi dini dengan
dekompresi bedah pada pasien dengan konus medullaris dan sindrom
kauda equina dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik, terutama
bila pembedahan terjadi dalam waktu 48 jam setelah presentasi awal. 15
Semakin lama kompresi berlanjut, semakin parah kerusakan struktural
dan fungsional, dan semakin buruk prognosisnya. Adanya disfungsi
kandung kemih sebelum pembedahan dikaitkan dengan prognosis yang
lebih buruk terlepas dari waktu dilakukannya dekompresi, meskipun
dekompresi dini masih merupakan rekomendasi untuk prognosis yang

78
lebih baik tanpa mempertimbangkan status klinis pasien pada
presentasi awal.15

79
BAB IV

DISKUSI

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.1,6
Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan adanya keluhan sering kencing (poliuri),
sering minum (polidipsi) dan makan banyak (polifagi). Selain itu, pasien juga
mengeluhkan penurunan berat badan dan penglihatan kabur. Berbagai keluhan
dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan1,6 seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 9. Kriteria Diagnosis DM.1,6


Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.(B)

Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.

Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP). (B)

Pada kasus, pasien datang dengan keluhan lemas kurang lebih 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien mengatakan di malam hari pasien banyak
mengonsumsi air putih dan sering merasa lapar sehingga banyak makan. Saat
pasien tidur malam, pasien terbangun lebih dari 3 kali untuk buang air kecil.
Pasien juga pernah mengalami penglihatan kabur dan sewaktu diperiksa kadar

80
gula darah terjadi peningkatan konsentrasinya. Pengobatan menggunakan obat
hipoglikemik oral dan insulin belum pernah didapatkan sebelumnya. Pemeriksaan
penunjang menunjukkan kadar glukosa darah sewaktu yang meningkat >200
mg/dL selama dirawat dibangsal.
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes.1 Tujuan penatalaksanaan meliputi :
- Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.1
- Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.1
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.1
Penatalaksanaan pasien ini dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan
terapi nutrisi medis. Pada kasus, jumlah kalori yang dibutuhkan pasien dihitung
dengan menggunakan rumus berat badan ideal = 90% x (TB-100) x 1 kg. Pasien
ini BB 65 kg dan tinggi badan 160 cm, sehingga BBI = 54. Pasien masuk dalam
kategori berat badan normal sehingga kebutuhan kalori sehari ialah 30 kal/kgBB
ideal atau sama dengan 1620 kal/hari.
Pada kasus, pasien ini diberikan terapi farmakologis obat antihiperglikemik
suntik yaitu insulin. Pemberian insulin diperlukan pada keadaan pasien karena
mengalami hiperglikemia berat. Berdasarkan lama kerja, pasien diberikan insulin
kerja cepat aspart (Novorapid) dan insulin kerja panjang detemir (Levemir).
Pemilihan kedua jenis insulin tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa sekresi
insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Defisiensi insulin
basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan
defisiensi insulin prandial menyebabkan hiperglikemia setelah makan. Insulin
yang diberikan untuk mencapai target glukosa darah basal adalah insulin kerja
sedang atau panjang. Dosis insulin basal disesuaikan dengan menambah 2-4 unit
setiap 3-4 hari apabila target terapi belum tercapai. Sementara itu, untuk mencapai
target glukosa darah prandial diberikan insulin kerja cepat yang disuntikkan 5-10
menit sebelum makan atau insulin kerja pendek yang disuntikkan 30 menit
sebelum makan. Pemberian terapi insulin kombinasi diatas disesuaikan dengan

81
kebutuhan pasien dan respons individu, yang dievaluasi melalui pemeriksaan
kadar glukosa darah harian.
Hipertensi merupakan keadaan dimana tekanan darah sistolik ≥140 mmHg
dan/atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau
fasilitas layanan kesehatan.17
Faktor risiko kardiovaskular pasien hipertensi17 meliputi:
- Jenis kelamin
- Usia
- Merokok (saat ini atau riwayat)
- Diabetes
- Kolesterol total
- Asam urat
- Obesitas atau overweight
- Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular (laki-laki usia <55
tahun dan perempuan usia <65 tahun)
- Riwayat keluarga atau orangtua dengan onset dini hipertensi
- Menopause onset dini
- Pola hidup inaktif (sedentary)
- Faktor psikososial dan sosioekonomi
Pada kasus, pasien memiliki riwayat perokok aktif selama belasan tahun dengan
sehari merokok sebanyak 20 batang rokok. Selain itu, pasien juga sering
mengonsumsi alkohol. Kebiasaan merokok dan mengonsumsi minuman
beralkohol telah dihentikan pasien kurang lebih selama 3 tahun terkahir.
Riwayat diabetes melitus dalam keluarga disangkal, sedangkan terdapat riwayat
hipertensi pada salah satu saudara laki-laki pasien.

Tabel 10. Klasifikasi Tekanan Darah.17


Kategori TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal 120-129 80-84
Normal-Tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99

82
Hipertensi derajat 2 160-179 100-109
Hipertensi derajat 3 ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistolik
≥ 140 < 90
terisolasi
TDS=tekanan darah sistolik; TDD=tekanan darah diastolik.

Diagnosis hipertensi pada kasus ditegakkan berdasarkan pengukuran tekanan


darah pada hari ke-2 perawatan paska masuk ke bangsal interna dengan tekanan
darah 140/90 mmHg. Berdasarkan ESC/ESH Hypertension Guidelines, tekanan
darah sistolik 140-159 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik 90-99 mmHg,
diklasifikasikan dalam kategori hipertensi derajat 1.17
Tatalaksana pasien diawali dengan kombinasi dua obat yakni ACE inhibitor atau
ARB dengan CCB atau diuretik. Pada kasus, pasien diberikan golongan obat
antagonis kalsium (calcium channel blocker) yaitu amlodipin 10 mg satu kali
sehari. Monoterapi dapat diberikan bagi pasien dengan hipertens derajat 1 dengan
risiko rendah (TDS < 150 mmHg), pasien dengan tekanan darah normal-tinggi
dan berisiko sangat tinggi, dan pasien lansia (≥80 tahun).6,17
Pada kasus, anemia yang dialami pasien dapat diakibatkan oleh penyakit
diabetes melitus dan hipertensi yang diderita. Anemia pada pasien diabetes
melitus tipe 2 disebabkan adanya ekspresi gen yang berkaitan dengan
inflamasi dan respon imun. Sitokin proinfalamasi meningkat ekspresinya pada
pasien anemia dengan diabetes melitus bila dibandingkan dengan pasien yang
hanya mengalami diabetes melitus. Produksi interleukin 6 (IL-6) dan aktivitas
sel B meningkat pada anemia sehingga memperkuat asosiasi antara IL-6 dan
peran antieritropoietik. Selain itu, kadar CRP (C-reactive protein) dan ferritin
juga mengalami peningkatan, walaupun kadar Fe rendah. Hal ini
menunjukkan adanya proses inflamasi kronik.6,12,13
Anemia pada hipertensi disebabkan oleh defisiensi nutrisi khususnnya besi
dan adanya proses inflamasi kronik. 6,13,14 Anemia yang terjadi merupakan
bagian dari sindrom stres hematologik akibat produksi sitokin yang berlebihan
karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Selanjutnya,
sitokin akan menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga zat besi yang terikat

83
lebih banyak (terjadi pemendekan masa hidup eritrosit yang normalnya 120
hari menjadi hanya 80 hari), destruksi eritrosit di limpa meningkat,
menurunnya produksi eritropoietin oleh ginjal, dan stimulus yang inadekuat
pada eritropoiesis di medula spinalis.6,12,14
Infeksi, inflamasi, atau keganasan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya
menstimulasi pengeluaran IL-6 sehingga sel-sel retikulo-endotelial di hati
akan teraktivasi untuk menghasilkan hepsidin. Hepsidin berikatan dengan
feropontin yang merupakan protein membran dan berperan dalam inhibisi
absorpsi besi oleh usus halus serta menurunkan pelepasan besi oleh makrofag.
Kedua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan kadar besi dalam
plasma.6,12,14
Gejala yang ditimbulkan seringkali tersamarkan oleh penyakit yang
mendasarinya dikarenakan kadar Hb 7-11 g/dL biasanya asimptomatik atau
gejala ringan-sedang karena pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan
konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari anemia penyakit kronik,
sehingga pemeriksaan laboratorium merupakan pendukung diagnosis
tersebut.6,12,13
Anemia penyakit kronik memberikan gambaran normokromik normositer.
Akan tetapi, dapat pula ditemukan gambaran hipokrom dengan MCHC <31
g/dL dan mikrositer dengan MCV <80 fl.6,12,14
Pada kasus, kadar hemoglobin pasien saat masuk di IGD ialah 8,7 g/dl
dengan manifestasi lemas tanpa konjungtiva anemis. Selain itu, kadar MCV
dan MCHC juga menurun dari konsentrasi normalnya.
Terapi utama pada pasien anemia penyakit kronis ialah mengobati penyakit
dasarnya. Akan tetapi, pemberian transfusi darah menjadi pilihan apabila
disertai dengan gangguan hemodinamik. Tidak ada batasan kadar
hemoglobin.6,13
Pada kasus, pasien diterapi menggunakan transfusi PRC (packed red cell)
sebanyak 2 kolf (per hari 1 kolf) untuk meningkatkan kurang lebih 2 g/dL karena
Hb pasien 8,7 g/dL.
Sindrom konus medullaris (CMS) terjadi ketika ada kerusakan akibat

84
penekanan pada medula spinalis T12-L2. Cauda equina adalah sekelompok
saraf dan serabut saraf yang berasal dari ujung distal medula spinalis, biasanya
tingkat L1-L5 dan berisi akson saraf yang memberikan persarafan motorik dan
sensorik ke kaki, kandung kemih, anus, dan perineum. 15 Sindrom kauda equina
(CES) terjadi akibat kompresi sedangkan konus medullaris sering terjadi
ketika kerusakan terjadi pada serabut saraf L3-L5. CES merupakan
kegawatdaruratan bedah saraf karena bermanifestasi nyeri punggung yang
menjalar ke kaki, disfungsi motorik dan sensorik pada ekstremitas inferior,
disfungsi vesica urinaria dan/atau usus, disfungsi seksual dan anestesi
lumbal.15
Sindrom kauda equina dan sindrom konus medullaris terjadi akibat kompresi
medula spinalis dan saraf/serabut saraf yang terjadi pada L1-L5. Penyebab
paling umum dari kompresi pada 45% CES adalah hernia diskus
intervertebralis lumbal. Penyebab lain termasuk abses epidural, hematoma
epidural, diskitis, tumor (baik metastasis atau kanker SSP primer), trauma
(terutama bila ada retropulsi fragmen fraktur tulang), stenosis spinal dan
obstruksi aorta.
Pada kasus, pasien pernah mengalami trauma akibat kecelakaan lalu lintas
sehingga mengalami fraktur pada ekstremitas inferior dekstra beberapa tahun
yang lalu dan dilakukan pemasangan fiksasi internal.
Pasien dengan sindrom konus medularis kauda equina memiliki manifestasi 15
berupa:
 Nyeri punggung (pada 97% pasien)
 Kelemahan dan perubahan sensasi di ekstremitas inferior
 Disfungsi vesica urinaria (gangguan saraf otonom menyebabkan retensi
atau inkontinensia hingga 92% pasien)
 Disfungsi usus (retensi atau inkontinensia hingga 72% pasien)
 Anestesi pelana atau penurunan sensasi di perineum (hingga 93% pasien)
 Disfungsi seksual (impotensi pada pria)
Gejala diatas kadang tidak spesifik saat dalam perawatan di rumah sakit.

85
Kumpulan gejala tersebut bukan merupakan nilai prediksi positif yang
signifikan untuk mendiagnosis sindrom konus medularis kauda equina. Akan
tetapi, adanya anestesi perineum yang berkaitan dengan disfungsi vesica
urinaria merupakan gejala tipikal sindrom cauda equina sehingga diagnosis
dan manajemen dini dapat dilakukan. 15 Retensi urin tanpa rasa sakit pada
suprapubis memiliki nilai prediksi sindrom konus kauda terbesar tetapi
dengan prognosis yang buruk.15
Manifestasi klinis15 yang ditemukan, antara lain:
 Defisit motorik atau sensorik di kaki - biasanya bilateral tetapi bisa juga
unilateral dan asimetris
 Tanda neuron motorik bawah di tungkai - arefleksia, hipotonia, atrofi
(dalam kasus kompresi serabut saraf kronis yang mengakibatkan CES)
 Anestesi pelana
 Tidak ada atau menurunnya tonus rektal
 Tidak ada atau berkurangnya refleks bulbocavernosus
 Kandung kemih yang teraba menunjukkan retensi urin
Penting untuk dicatat bahwa pada kasus sindrom konus medullaris, defisit
ekstremitas bawah lebih sering bilateral dan simetris. Juga, tanda-tanda
neuron motorik atas dapat muncul, seperti spastisitas dan hiperrefleksia.15
Pada kasus, keluhan lain yang dialami pasien selama dirawat yaitu nyeri
pinggang, sulit berkemih dan defekasi serta kelemahan anggota gerak bawah.
Pasien mengeluh tidak buang air besar 5 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit.
Sulit buang air kecil juga dialami pasien. Nafsu makan dan minum pasien baik.
Nyeri pinggang kanan dan kiri dialami pasien selama dirawat di bangsal interna.
Kelemahan pada ekstremitas juga dialami pasien dengan merasa bahwa
tungkainya berat saat ingin diangkat atau digerakkan di tempat tidur pasien.
Berkaitan dengan nyeri pinggang, gangguan miksi dan defekasi, serta kelemahan
anggota gerak bawah dilakukan pemeriksaan foto rontgen (x-ray) thoracolumbal
AP-lateral. Hasil yang diperoleh yaitu adanya spasme muskulus tanpa pemipihan
corpus vertebra maupun degenerasi diskus intervertebralis.

86
Sindrom tersebut dapat dilakukan pembedahan melalui laminektomi atau
sekuestrektomi. Pada kasus ini karena tidak dapat dilakukannya pemeriksaan
penunjang MRI (magnetic resonance imaging) sebagai gold standard, maka terapi
farmakologis yang diberikan guna memperbaiki atau mencegah progresifitas
gejala. Terapi yang diberikan antara lain vitamin B1, B6, B12 untuk mencegah
kerusakan neuron yang berlebih sehingga gejala tidak progresif. Selain itu,
diberikan pula obat untuk mengatasi nyeri akibat neuropati yaitu gabapentin.
Kombinasi anti-inflamasi non steroid (natrium diklofenak), kortikosteroid
(metilprednisolon), dan antikonvulsan golongan benzodiazepine (diazepam) juga
diberikan untuk mengatasi nyeri akibat spasme otot atau neuropati.

DAFTAR PUSTAKA

87
1. Soelistijo SA, Rudijanto A, Shahab A, Pramono B, Saraswati MR, Zufry H,
dkk. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia 2015. PB PERKENI; Juli 2015.
2. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Subdit Pengendalian
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Pedoman teknis penemuan dan
tatalaksana hipertensi. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.hal.1-8.
3. Kementerian Kesehatan RI. Hasil utama riskesdas 2018. Jakarta: Badan
Litbang Kesehatan; 2018.hal.82-86.
4. Tim Riskesdas 2018. Laporan Provinsi Maluku. Jakarta: Lembaga Penerbit
Badan Litbang Kesehatan; 2019.hal.117-120.
5. Pontoh M, Mulud H, de Jong H, Pattiasina R, Lekatompessy J, Haurissa H,
dkk. Profil kesehatan Maluku tahun 2013. Ambon: Dinas Kesehatan Provinsi
Maluku; 2014.hal.173-174.

6. Setiati S, Alwi i, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku


ajar ilmu penyakit dalam. Ed.6. Jilid 2. Jakarta: InternaPublishing; 2014
7. Rider LS, Marra EM. Cauda equina and conus medullaris syndromes.
StatPearls Publishing Januari 2021.
8. Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A
New Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes.
2009; 58: 773-795.
9. Drago J, Williams GH, Lilly LS. Pathophysiology of heart disease:
hypertension. Ed.6. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2016.hal.310-323.
10. Silbernagl S, Lang F. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Setiawan I,
Mochtar I, penerjemah; Resmisari T, Liena, editor. Jakarta: EGC;
2014.hal.208-210.
11. Handoko ML, de Man FS, Guignabert C, Bogaard HJ, Vonk-Noordegraaf A.
Neurohormonal axis in patient with pulmonary arterial hypertension: friend or
foe. Am J Respir Crit Care Med 2013; 187(1): 14-19.

12. Barbieri J, Fontela PC, Winkelmann ER, Zimmermann CE, Sandri YP, Mallet

88
EK, dkk. Anemia in patients with type 2 diabetes mellitus. Hindawi Publishing
Corporation September 2015; 1-7.
13. Lee YG, Chang Y, Kang J, Koo DH, Lee SS, Ryu S, dkk. Risk factors for
incident anemia of chronic diseases: a cohort study. PLoS ONE 2019; 14(5):
1-11.
14. Cullis JO. Diagnosis and management of anemia of chronic disease: current
status. Br J Haematol. 2011; 154(3): 289-300.
15. Brouwers E, van de Meent H, Curt A, Starremans B, Hosman A, Bartels R.
Definitions of traumatic conus medullaris and cauda equina stndrome: a
systematic literature review. Spinal cord 2017; 55(10): 886-890.
16. Paulsen F, Waschke J. Sobotta atlas anatomi manusia kepala leher
neuroanatomi. Pendit BU, dkk, alih bahasa; Sugiharto L, dkk, editor. Ed.23.
Jilid 3. Jakarta: EGC; 2012.
17. Lukito AA, Harmeiwaty E, Hustrini NM, Kosasih A, Soenarta AA, Tiksnadi
A, dkk. Konsensus penatalaksanaan hipertensi 2019. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Hipertensi Indonesia; 2019.

89

Anda mungkin juga menyukai