Anda di halaman 1dari 44

HALAMAN SAMPUL

DEPARTEMEN IKM-IKK LAPORAN KASUS


FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2023
UNIVERSITAS KHAIRUN

LAPORAN KASUS
“DIABETES MELLITUS”

Disusun oleh :
Dara Puspita Irbani
10119210044

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN


MASYARAKAT DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan berkat-Nya, saya dapat menyelesaikan dan memenuhi Penulisan
Laporan Kasus tentang “Diabetes Melitus”, untuk memenuhi tugas di Departemen
IKM-IKK, pada tingkat 2 Mahasiswa Program Profesi Dokter (MPPD).

Saya menyadari bahwa dalam penulisan Laporan Kasus ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta
masukan bahkan kritikan yang membangun dari beragai pihak. Akhirnya kami
berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan
dan pengetahuan tentang Diabetes Melitus.

Ternate, Juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4
BAB II PRESENTASI KASUS .............................................................................. 5
A. Identitas Pasien............................................................................................. 5
B. Anamnesis .................................................................................................... 5
C. Data Klinis ................................................................................................... 7
D. Data Keluarga............................................................................................... 8
E. Data Lingkungan Rumah ........................................................................... 10
F. Diagnostik Holistik .................................................................................... 11
G. Penatalaksanaan ......................................................................................... 11
BAB III ANALISIS KASUS ................................................................................ 13
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 16
A. Definisi ....................................................................................................... 16
B. Epidemiologi .............................................................................................. 16
C. Klasifikasi .................................................................................................. 17
D. Faktor Risiko .............................................................................................. 18
E. Etiologi dan Patofisiologi........................................................................... 19
F. Diagnosis .................................................................................................... 20
G. Penatalaksanaan ......................................................................................... 22
H. Komplikasi ................................................................................................. 37
I. Pencegahan................................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 43
LAMPIRAN .......................................................................................................... 44

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya


hiperglikemia dan gangguan metabolism karbohidrat, lemak, dan protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau
sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu
polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan, kesemutan.1

International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi


Diabetes Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab
kematian urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian diabetes
melitus didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes
melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus.
Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di
Indonesia membesar sampai 57%. Tingginya prevalensi Diabetes Melitus tipe 2
disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin,
umur, dan faktor genetic, yang kedua adalah faktor risiko yang dapat diubah
misalnya kebiasaan merokok, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik,
konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh, lingkar pinggang dan umur.2,3

Diabetes Mellitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit
yang akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit
jantung, sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren,
infeksi paru-paru, gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak jarang,
penderita DM yang sudah parah menjalani amputasi anggota tubuh karena terjadi
pembusukan. Untuk menurunkan kejadian dan keparahan dari Diabetes Melitus tipe
2 maka dilakukan pencegahan seperti modifikasi gaya hidup dan pengobatan seperti
obat oral hiperglikemik dan insulin.4

4
BAB II
PRESENTASI KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. A.A


Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Tobenga
Agama : Islam

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama
Sering BAK pada malam hari
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Kunjungan rumah dilakukan pada pasien Ny. A.A usia 49 tahun.
Pasien merupakan penderita Diabetes Melitus (DM) tipe II terkontrol.
Pasien rutin kontrol setiap bulannya ke puskesmas dan rutin konsumsi obat.
Selain rutin kontrol setiap bulan pasien juga selalu memeriksakan
kesehatannya di puskesmas apabila terdapat keluhan lainnya.
Pasien menderita DM tipe II sejak 10 tahun lalu (2013). Awalnya
pasien mengeluhkan sering BAK pada malam hari dan sering merasa lapar
dan haus tetapi berat badannya tidak bertambah. Keluhan tersebut membuat
pasien memeriksakan kesehatannya ke puskesmas. Namun setelah
terdiagnosis, pasien tidak rutin mengkonsumsi obatnya dan hanya ketika
ada keluhan saja pasien mengkonsumsinya. Pada tahun 2021, pasien
menjalani operasi untuk membersihkan luka pada kaki kirinya dan dokter
penyakit dalam yang menangani saat itu menyarankan pasien untuk mulai
menggunakan insulin. Namun pasien meminta untuk diberikan obat saja dan
tidak mau menggunakan insulin. Sehingga dokter menyarankan pasien
untuk datang ke puskesmas untuk mengurus buku biru agar mendapat obat

5
rutin sehingga bisa lebih terkontrol gula darahnya. Hingga saat ini luka pada
kaki kiri pasien sudah membaik dan pasien rutin konsumsi obat serta mulai
menjaga pola makannya.
Kebiasaan makan pasien saat sebelum terdiagnosa DM yaitu sering
konsumsi kue-kue manis dan minum teh manis untuk sarapan atau sebagai
cemilan, dan makan nasi dengan porsi yang cukup banyak. Pasien juga tidak
pernah berolahraga.
Saat ini pasien makan sehari 3 kali. Makanan yang dikonsumsi
cukup bervariasi namun pasien mulai mengurangi makanan yang manis.
Saat sarapan pasien biasanya hanya konsumsi ubi atau singkong rebus,
namun terkadang pasien juga sarapan dengan nasi dan lauk. Saat siang dan
malam biasanya pasien makan dengan nasi (1-2 centong) lengkap dengan
sayur dan lauk (telur, ayam atau ikan). Pasien sudah mengurangi konsumsi
teh manis dan kue-kue manis. Sejak sering berobat di Puskesmas Siko,
pasien sering mengikuti kegiatan senam yang diadakan puskesmas.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan yang sama (-)
Riwayat alergi : tidak ada
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Kakak pertama pasien memiliki riwayat sakit DM (sudah meninggal).
5. Riwayat Pengobatan
Pasien pernah dioperasi untuk membersihkan luka pada kaki kiri 2 tahun
lalu.
6. Riwayat Psikososial
Pasien merupakan seorang ibu yang tinggal bersama suami dan anak
perempuannya. Kegiatan pasien hanya di rumah dan terkadang pergi ke
kebun sesekali. Baik pasien, atau suami dan anaknya tidak ada yang
merokok dan juga konsumsi alkohol. Menurut pasien anaknya sering
memperhatikan kesehatannya, dan sering mengingatkan untuk konsumsi
obat.

6
C. Data Klinis

1. Pemeriksaan Fisik
• Keadaan umum : Tampak sakit ringan
• Kesadaran : Compos mentis
• Tekanan darah : 130/70 mmHg
• Nadi : 86 x/menit
• Pernapasan : 20 x/menit
• Suhu : 36,5 C
2. Status Generalis
• Kepala : Normocephal
• Mata : Pupil isokor, bulat, refleks langsung (+/+), tak langsung
(+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
• Telinga : Pendengaran baik
• Hidung : Rhinore (-/-)
• Mulut : Lidah bersih
• Leher : Trakea di tengah, KGB tidak membesar
• Thoraks
- Inspeksi : Pengembangan dinding dada simetris, retraksi (-)
- Palpasi : Fremitus simetris kiri dan kanan, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
• Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula
sinistra
- Perkusi : Batas kanan jantung di linea parasternalis dextra. Batas
kiri jantung di linea midclavicula sinistra
- Auskultasi : BJ I dan II murni regular, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen
- Inspeksi : Datar

7
- Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-)
- Perkusi : Timpani
3. Pemeriksaan Penunjang
• GDS tanggal 14-06-2023 : 216 mg/dl

D. Data Keluarga

Pasien merupakan anak terakhir dari 6 bersaudara. Pasien mempunyai 1


anak perempuan yang baru lulus SMA. Keluarga pasien mendukung untuk
segera berobat jika terdapat anggota keluarga yang sakit. Perilaku berobat
keluarga yaitu memeriksakan diri ke layanan kesehatan bila memiliki keluhan
terasa sudah mengganggu kegiatan sehari-hari. Keluarga pasien berobat ke
puskesmas dengan jarak rumah dan puskesmas ± 2.200 meter.
1. Genogram

Keterangan :

: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Pasien

8
2. Family Map

Keterangan :
: Hubungan erat

3. Family APGAR Score

Selalu Kadang- Tidak Pernah


Item penilaian
(2) kadang (1) (0)

Saya puas bahwa saya dapat kembali ke


A X
keluarga bila menghadapi masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah dengan X
saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan saya
G X
untuk melakukan kegiatan baru atau arah
hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
A mengekspresikan kasih sayangnya dan X
merespon emosi saya
Saya puas dengan cara keluarga saya dan
R X
saya membagi waktu bersama-sama
Total 10

Kesimpulan : Fungsi keluarga Ny. A.A baik.

9
E. Data Lingkungan Rumah

Gambaran kondisi rumah:


Pasien tinggal dirumah yang berjumlah 3 orang dewasa. Rumah
berdinding batu bata untuk rumah di bagian luar dan dalam, lantai rumah dari
semen yang dilicinkan dengan jumlah kamar 3, 1 kamar mandi, 1 dapur, 1
ruang TV (ruang keluarga) dan 1 ruang tamu. Kamar pertama di tempati anak
pasien. Kamar kedua ditempati oleh pasien dan suaminya, dan kamar ketiga
dijadikan kamar tamu. Sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah,
penerangan dibantu lampu, ventilasi cukup, rumah tidak lembab, ventilasi dan
jendela ada pada setiap kamar, sehingga sinar matahari dan udara dapat masuk
dengan cukup. Selain itu, dilakukan juga penilaian terhadap kebersihan rumah
pasien. Pada kunjungan didapatkan kebersihan rumah baik dan lantai bersih.
Di kamar terdapat tempat tidur dengan kasur yang dipasang sprei dengan rapi
dan bersih. Satu kamar mandi dengan wc jongkok. Air untuk memasak, mandi
dan mencuci, didapat dari sumber air kran. Air untuk minum dari air galon isi
ulang. Tempat sampah berada di depan rumah, keadaan rumah cukup bersih.

10
F. Diagnostik Holistik

1. Aspek Personal
- Keluhan utama : sering BAK pada malam hari
- Kekhawatiran : terjadi komplikasi dari DM
- Harapan : penyakit dapat terkontrol dan tidak terjadi
komplikasi
- Persepsi : penyakit yang diderita terjadi akibat pola makan
yang salah
2. Aspek Klinis
- DM tipe II
3. Aspek Internal
- Usia 49 tahun
- Pengetahuan yang cukup mengenai DM tipe II
- Pengobatan teratur
- Rutin memeriksakan kesehatan di Puskesmas
- Pola makan yang masih kurang teratur dan kebiasaan pasien yang
mengkonsusmsi makanan/minuman yang dapat meningkatkan kadar
gula dalam darah
- Aktif mengikuti senam prolanis
4. Aspek Eksternal
- Dukungan keluarga yang baik dalam melakukan pengobatan
- Kurangnya pengetahuan keluarga untuk merencanakan diet pasien dan
latihan fisik pasien.
- Tidak ada masalah dalam keluarga inti
5. Aspek Fungsional
Derajat 1 (satu) yaitu mampu melakukan pekerjaan ringan sehari-hari di
dalam dan di luar rumah (tidak ada kesulitan).

G. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa
• Metformin 500 mg 3x1

11
• Glimepirid 2 mg 3x1
2. Non Medikamentosa
• Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit diabetes melitus
• Edukasi pasien bahwa penyakit diabetes mellitus penatalaksanaan yang
harus dilakukan yaitu selama seumur hidup
• Edukasi pasien untuk selalu rutin mengecek kesehatannya di puskesmas
• Edukasi pasien dan keluarga yang tinggal bersamanya tentang
pentingnya memberi dukungan pada pasien, mengawasi pengobatan,
mengawasi diet pasien dan kapan harus kontrol kembali
• Edukasi pasien mengenai olahraga yang minimal dilakukan 3-5
kali/minggu selama 30 menit dan mengatur pola makan
• Edukasi kepada pasien mengenai kelola stress dan istirahat yang cukup

12
BAB III
ANALISIS KASUS

Masalah kesehatan yang dibahas pada kasus ini adalah seorang perempuan
usia 49 tahun dengan DM tipe II. Pasien diperiksa saat dilakukan kunjungan rumah
dan didapatkan memiliki keluhan sering BAK saat malam hari dan sering merasa
lapar dan haus tetapi berat badannya tidak bertambah. Pada kasus ini diagnosis DM
tipe 2 ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
penunjang. Pada pemeriksaan penungjang gula darah sewaktu didapatkan hasil 216
mg/dL.

Berdasarkan kepustakaan diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan


kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.
Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan
apabila terdapat keluhan seperti :

• Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan


yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kunjungan rumah pada pasien ini dilakukan dengan mengintervensi pasien


beserta keluarga sebanyak 2 kali dimana dilakukan kunjungan pertama pada tanggal
14 Juni 2023. Pada kunjungan pertama dilakukan pendekatan dan perkenalan
terhadap pasien serta menerangkan maksud dan tujuan kedatangan diikuti dengan
anamnesis tentang keluarga dan perihal penyakit yang diderita. Dari kunjungan
tersebut sesuai dengan konsep Mandala of health dari segi perilaku kesehatan
pasien sudah melakukan kuratif dan preventif dengan cukup baik. Pasien rutin
mengonsumsi obat-obatan dan rutin kontrol ke puskesmas. Hal ini menunjukkan
pengetahuan pasien mengenai penyakit yang diderita sudah baik sehingga gula
darah pasien sudah mulai terkontrol.

13
Dalam aspek gaya hidup, sebelum terdiagnosis DM, pasien sering
mengkonsumsi teh manis dan kue-kue manis, namun setelah terdiagnosis DM
pasien mulai mengurangi konsumsi makanan atau minuman yang tinggi gula.
Intervensi dan edukasi mengenai penyebab dari kenaikan kadar gula darah pada
pasien menjadi hal yang penting untuk diketahi pasien.

Kunjungan kedua kali dilaksanakan tanggal 17 Jumi 2023. Dimana pada


kunjungan kedua dilakukan untuk melakukan intervensi Family focus yaitu edukasi
keluarga pasien terutama pasien dan anak pasien. Intervensi yang dilakukan berisi
edukasi tentang pengetahuan seputar penyakit DM tipe II, dari gejala sampai
komplikasi dan tatalaksana, serta meminta anggota keluarga, terutama yang tinggal
dengan pasien untuk melakukan pengawasan terhadap pasien seperti ketepatan
minum obat, pengaturan pola makan dan menghindari konsumsi makanan yang
manis secara berlebihan. Dalam hal pendekatan psikologis, pasien diberikan
dukungan mengenai penyakitnya bahwa komplikasi DM dapat dicegah dengan cara
mengontrol gula darahnya. Pasien juga diberikan edukasi agar tidak timbul lagi luka
khususnya di area kaki yang sudah dilakukan operasi sebelumnya, seperti
menggunakan alas kaki setiap keluar rumah.

Prinsip pengobatan DM memiliki tujuan penatalaksanaan secara umum adalah


meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes, meliputi : tujuan jangka pendek,
tujuan jangka panjang dan tujuan akhir dari penatalaksanaan yang dilakukan. Pada
pasien ini diberikan metformin 500 mg dan glimepirid 2 mg.

Prognosis pada pasien ini baik. Setelah menyelesaikan pengobatan DM dan


menghindari faktor-faktor yang dapat menimbulkan kenaikan kadar gula darah
maka diharapkan dapat mengurangi keluhan pasien. Namun kekambuhan dapat
muncul kembali dan dapat menimbulkan komplikasi lebih lanjut bila pasien
kembali tidak mengontrol pola makan dan berhenti konsumsi obat-obatan. Maka
dari itu edukasi mengenai faktor pencetus sangat penting. Pembinaan keluarga pada
pasien ini menerapkan konsep dokter keluarga, yakni sebagai dokter yang melayani
pasien secara holistik dan berkesinambungan. Melihat tingkat kepatuhan pasien
cukup baik dan hasil pemeriksaan gula darah yang mulai menurun dan mendekati

14
stabil maka prognosis pada pasien ini dalam hal quo ad vitam: dubia ad bonam
dilihat dari kesehatan dan tanda-tanda vitalnya yang sudah mulai baik; quo ad
functionam: dubia ad bonam karena pasien masih bisa beraktivitas sehari-hari
secara mandiri; dan quo ad sanationam: dubia ad bonam karena pasien masih bisa
melakukan fungsi sosial dan dihargai oleh lingkungannya.

15
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya.1

B. Epidemiologi

Penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan


angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Organisasi
WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah pasien DM tipe 2 yang cukup
besar pada tahun-tahun mendatang. Badan kesehatan dunia WHO memprediksi
kenaikan jumlah pasien DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Prediksi International Diabetes
Federation (IDF) juga menunjukkan bahwa pada tahun 2019 - 2030 terdapat
kenaikan jumlah pasien DM dari 10,7 juta menjadi 13,7 juta pada tahun 2030.1
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,
diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133
juta jiwa, dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%
pada daerah rural, sehingga diperkirakan pada tahun 2003 didapatkan 8,2 juta
pasien DM di daerah rural. Berdasarkan pola pertambahan penduduk,
diperkirakan bahwa pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang
berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%)
dan rural (7,2%), maka diperkirakan terdapat 28 juta pasien diabetes di daerah
urban dan 13,9 juta di daerah rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2018 oleh Departemen Kesehatan menunjukkan
peningkatan prevalensi DM menjadi 8,5%.1
Peningkatan tersebut seiring dengan meningkatnya obesitas yang
merupakan salah satu faktor risiko diabetes, yaitu 14,8 % pada data
RISKESDAS tahun 2013 menjadi 21,8% pada tahun 2018. Hal ini seiring pula

16
dengan peningkatan prevalensi berat badan lebih dari 11,5% menjadi 13,6%,
dan untuk obesitas sentral (lingkar pinggang ≥ 90cm pada laki-laki dan ≥ 80cm
pada perempuan) meningkat dari 26,6% menjadi 31%. Data-data di atas
menunjukkan bahwa jumlah pasien DM di Indonesia sangat besar dan
merupakan beban yang berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter
spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan. 1

C. Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus dapat dilihat pada tabel 1

Tabel 1. Klasifikasi etiologi Diabetes Melitus


DM Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut.
• Autoimun
• Idiopatik
DM Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin

Diabetes Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga


mellitus kehamilan dimana sebelum kehamilan tidak didapatkan
gestasional diabetes

Tipe spesifik • Sindroma diabetes monogenik (diabetes neonatal,


yang maturity - onset diabetes of the young [MODY])
berkaitan • Penyakit eksokrin pankreas (fibrosis kistik, pankreatitis)
dengan • Disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya
penyebab penggunaan glukokortikoid pada terapi HIV/AIDS atau
lain setelah transplantasi organ)

17
D. Faktor Risiko

Faktor risiko DM Tipe 2 sama dengan faktor risiko untuk intoleransi


glukosa yaitu :1

1. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi


• Ras dan etnik
• Riwayat keluarga dengan DM Tipe 2
• Umur: risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat seiring
dengan meningkatnya usia. Usia > 40 tahun harus dilakukan skrining
DM Tipe 2.
• Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau
riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).
• Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi
yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi
dibanding dengan bayi yang lahir dengan BB normal.
2. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi
• Berat badan lebih (IMT ≥ 23kg/m2).
• Kurangnya aktivitas fisik
• Hipertensi (> 140/90 mmHg)
• Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan/atau trigliserida > 250 mg/dL)
• Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan rendah
serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi
glukosa dan DM tipe 2.
3. Faktor lain yang terkait dengan risiko DM Tipe 2
• Pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat TGT atau GDPT
sebelumnya.
• Pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,
PJK, atau PAD

18
E. Etiologi dan Patofisiologi

Etiologi dari penyakit diabetes yaitu gabungan antara faktor genetik dan
faktor lingkungan. Etiologi lain dari diabetes yaitu sekresi atau kerja insulin,
abnormalitas metabolik yang menganggu sekresi insulin, abnormalitas
mitokondria, dan sekelompok kondisi lain yang menganggu toleransi glukosa.
Diabetes mellitus dapat muncul akibat penyakit eksokrin pankreas ketika
terjadi kerusakan pada mayoritas islet dari pankreas. Hormon yang bekerja
sebagai antagonis insulin juga dapat menyebabkan diabetes.

Resistensi insulin pada otot adalah kelainan yang paling awal terdeteksi
dari diabetes tipe 1. Adapun penyebab dari resistensi insulin yaitu:
obesitas/kelebihan berat badan, glukortikoid berlebih (sindrom cushing atau
terapi steroid), hormon pertumbuhan berlebih (akromegali), kehamilan,
diabetes gestasional, penyakit ovarium polikistik, lipodistrofi (didapat atau
genetik, terkait dengan akumulasi lipid di hati), autoantibodi pada reseptor
insulin, mutasi reseptor insulin, mutasi reseptor aktivator proliferator
peroksisom (PPAR γ), mutasi yang menyebabkan obesitas genetik (misalnya:
mutasi reseptor melanokortin), dan hemochromatosis (penyakit keturunan
yang menyebabkan akumulasi besi jaringan).

Pada diabetes tipe I, sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun, sehingga insulin tidak dapat diproduksi. Hiperglikemia puasa terjadi
karena produksi glukosa yang tidak dapat diukur oleh hati. Meskipun glukosa
dalam makanan tetap berada di dalam darah dan menyebabkan hiperglikemia
postprandial (setelah makan), glukosa tidak dapat disimpan di hati. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak akan dapat
menyerap kembali semua glukosa yang telah disaring. Oleh karena itu ginjal
tidak dapat menyerap semua glukosa yang disaring. Akibatnya, muncul dalam
urine (kencing manis). Saat glukosa berlebih diekskresikan dalam urine,
limbah ini akan disertai dengan ekskreta dan elektrolit yang berlebihan.
Kondisi ini disebut diuresis osmotik. Kehilangan cairan yang berlebihan dapat
menyebabkan peningkatan buang air kecil (poliuria) dan haus (polidipsia).

19
Kekurangan insulin juga dapat mengganggu metabolisme protein dan
lemak, yang menyebabkan penurunan berat badan. Jika terjadi kekurangan
insulin, kelebihan protein dalam darah yang bersirkulasi tidak akan disimpan
di jaringan. Dengan tidak adanya insulin, semua aspek metabolisme lemak
akan meningkat pesat. Biasanya hal ini terjadi di antara waktu makan, saat
sekresi insulin minimal, namun saat sekresi insulin mendekati, metabolisme
lemak pada DM akan meningkat secara signifikan. Untuk mengatasi resistensi
insulin dan mencegah pembentukan glukosa dalam darah, diperlukan
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan oleh sel beta pankreas. Pada
penderita gangguan toleransi glukosa, kondisi ini terjadi akibat sekresi insulin
yang berlebihan, dan kadar glukosa akan tetap pada level normal atau sedikit
meningkat. Namun, jika sel beta tidak dapat memenuhi permintaan insulin
yang meningkat, maka kadar glukosa akan meningkat dan diabetes tipe II akan
berkembang.

F. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.1

20
Tabel 2. Kriteria Diabetes Melitus
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi


Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan


klasik.

Atau

Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang


terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).1

• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan glukosa


plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa
<100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

21
G. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan, meliputi : 1
• Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
• Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
• Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif.1
1. Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum
Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama,
yang meliputi:1
a. Riwayat Penyakit
• Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
• Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat
perubahan berat badan.
• Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
• Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh
tentang perawatan DM secara mandiri.
• Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
• Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
• Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan
traktus urogenital.
• Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal,
mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.

22
• Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa
darah.
• Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain).
• Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
• Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
• Pengukuran tinggi dan berat badan.
• Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah
dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik.
• Pemeriksaan funduskopi.
• Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
• Pemeriksaan jantung.
• Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
• Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan
vaskular, neuropati, dan adanya deformitas).
• Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka,
hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan
bekas lokasi penyuntikan insulin).
• Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
c. Evaluasi Laboratorium
• Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam setelah TTGO.
• Pemeriksaan kadar HbA1c
d. Penapisan Komplikasi.
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang
baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:

23
• Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density
Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan
trigliserida.
• Tes fungsi hati
• Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
• Tes urin rutin
• Albumin urin kuantitatif
• Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
• Elektrokardiogram.
• Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung
kongestif).
• Pemeriksaan kaki secara komprehensif.
Penapisan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan Primer.
Bila fasilitas belum tersedia, penderita dirujuk ke Pelayanan
Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier.1
2. Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik
berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun
dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan
Kesehatan Sekunder atau Tersier.1
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah
mendapat pelatihan khusus.1
a. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu
dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan

24
bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi
edukasi tingkat lanjutan.1
Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Primer yang meliputi:1
• Materi tentang perjalanan penyakit DM.
• Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
• Penyulit DM dan risikonya.
• Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
• Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
• Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
• Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
• Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
• Pentingnya perawatan kaki.
• Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi : 1
• Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
• Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
• Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
• Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
• Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari
sakit).
• Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi
mutakhir tentang DM.

25
• Pemeliharaan/perawatan kaki.
Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah
memenuhi anjuran:1
• Mengikuti pola makan sehat.
• Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
• Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus
secara aman dan teratur.
• Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan
pengobatan.
• Melakukan perawatan kaki secara berkala.
• Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan
sakit akut dengan tepat.
• Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana,
dan mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta
mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.
• Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2
secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan
secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai
sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan
setiap penyandang DM. Terapi nutrisi medis dilaksanakan dalam
beberapa tahap. Pengenalan sumber dan jenis karbohidrat,
pencegahan dan penatalaksanaan hipoglikemia harus dilakukan
terhadap pasien. Terapi nutrisi medis ini bersifat bersifat individu.
Secara umum, terapi nutrisi medis meliputi upaya-upaya untuk
mendorong pola hidup sehat, membantu kontrol gula darah, dan
membantu pengaturan berat badan.1

26
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat
yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. 1
Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:1
• Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi.
- Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.Pembatasan
karbohidrat total<130 g/hari tidak dianjurkan.
- Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang
lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti
glukosa, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
(Accepted Daily Intake/ADI).
- Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
• Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori,
dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
- Komposisi yang dianjurkan:
o Lemak jenuh (SAFA) < 7 % kebutuhan kalori.
o Lemak tidak jenuh ganda (PUFA) < 10 %.
o Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (MUFA)
sebanyak 12-15%

27
o Rekomendasi perbandingan lemak jenuh: lemak tak
jenuh tunggal: lemak tak jenuh ganda = 0.8 : 1.2: 1.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream.
- Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
• Protein
- Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari
kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik
tinggi.
- Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan
protein menjadi 1 - 1,2 g/kg BB perhari.
- Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu dan tempe. Sumber bahan makanan
protein dengan kandungan saturated fatty acid (SAFA) yang
tinggi seperti daging sapi, daging babi, daging kambing dan
produk hewani olahan sebaiknya dikurangi untuk
dikonsumsi..
• Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan
orang sehat yaitu <2300 mg perhari.
- Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secara individual.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda,
dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium
nitrit.

28
• Serat
- Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-
kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat.
- Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal
dari berbagai sumber bahan makanan.
• Pemanis Alternatif
- Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi
batas aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif
dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori.
- Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori, seperti
glukosa alkohol dan fruktosa.
- Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol,
mannitol, sorbitol dan xylitol.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM
karena dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada
alasan menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang
mengandung fruktosa alami.
- Pemanis tak berkalori termasu k: aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, neotame.
c. Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3 - 5 hari
seminggu selama sekitar 30 - 45 menit, dengan total 150 menit per
minggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam
latihan fisik. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang

29
dianjurkan berupa latihan fisik yang bersifat aerobik dengan intensitas
sedang (50 - 70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal
dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia pasien.1
Pasien diabetes dengan usia muda dan bugar dapat melakukan 90
menit/minggu dengan latihan aerobik berat, mencapai > 70% denyut
jantung maksimal. Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum
latihan fisik. Pasien dengan kadar glukosa darah < 100 mg/dL harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila > 250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan fisik. Pasien diabetes asimptomatik
tidak diperlukan pemeriksaan medis khusus sebelum memulai
aktivitas fisik intensitas ringan-sedang, seperti berjalan cepat. Subyek
yang akan melakukan latihan intensitas tinggi atau memiliki kriteria
risiko tinggi harus dilakukan pemeriksaan medis dan uji latih sebelum
latihan fisik.1
Pada pasien DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis,
hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga
melakukan resistance training (latihan beban) 2 - 3 kali/perminggu
sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan fisik sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran fisik. Intensitas latihan fisik pada
pasien DM yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada
pasien DM yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi
dan disesuaikan dengan masing-masing individu.1
d. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.1
1) Obat Anti hiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral
dibagi menjadi 6 golongan:1

30
a) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
• Sulfonilurea.
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping
utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan
risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati,
dan ginjal). Contoh obat dalam golongan ini adalah
glibenclamide, glipizide, glimepiride, gliquidone dan
gliclazide.1
• Glinid.
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat
golongan glinid sudah tidak tersedia di Indonesia.1
b) Peningkatan Sensitivitas terhadap Insulin
• Metformin.
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki
ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2).
Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan

31
hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek
samping yang mungkin berupa gangguan saluran
pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.1
• Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati,
dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
Pioglitazone.1
c) Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
• Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada
keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati
yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping
yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas
dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan

32
dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
Acarbose.1
d) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV).
DPP-4 adalah suatu serin protease, yang didistribusikan
secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam
amino dari peptida yang mengandung alanin atau prolin di
posisi kedua peptida N-terminal. Enzim DPP-4
terekspresikan di berbagai organ tubuh, termasuk di usus dan
membran brush border ginjal, di hepatosit, endotelium
vaskuler dari kapiler villi, dan dalam bentuk larut dalam
plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat lokasi
pengikatan pada DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi
dari glucagon-like peptide (GLP)-1. Proses inhibisi ini akan
mempertahankan kadar GLP-1 dan glucose-dependent
insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk aktif di
sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi
glukosa, meningkatkan respons insulin, dan mengurangi
sekresi glukagon. Penghambat DPP-4 merupakan agen oral,
dan yang termasuk dalam golongan ini adalah vildagliptin,
linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan alogliptin.. 1
e) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2).
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa
di tubulus proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa
melalui urin. Obat golongan ini mempunyai manfaat untuk
menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek samping
yang dapat terjadi akibat pemberian obat ini adalah infeksi
saluran kencing dan genital. Pada pasien DM dengan
gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis,
dan tidak diperkenankan menggunakan obat ini bila LFG
kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati karena obat ini juga dapat
mencetuskan ketoasidosis.1

33
2) Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, GLP-1 RA
dan kombinasi insulin dan GLP-1 RA.1

a) Insulin.
Digunakan pada keadaan :1
• HbA1c saat diperiksa ≥ 7.5% dan sudah menggunakan
satu atau dua obat antidiabetes
• HbA1c saat diperiksa > 9%
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Krisis hiperglikemia
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark
miokard akut, stroke)
• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
• Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
- Jenis dan Lama Kerja
Insulin Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 6
jenis :
o Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
o Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
o Insulin kerja menengah (Intermediate-acting
insulin)
o Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
o Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting
insulin)

34
o Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan
menengah dan kerja cepat dengan menengah
(Premixed insulin)
o Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan
kerja cepat
- Efek samping terapi insulin :
o Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemia
o Efek samping yang lain berupa reaksi alergi
terhadap insulin
b) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Inkretin adalah hormon peptida yang disekresi
gastrointestinal setelah makanan dicerna, yang mempunyai
potensi untuk meningkatkan sekresi insulin melalui stimulasi
glukosa. Dua macam inkretin yang dominan adalah glucose-
dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan GLP-1.
GLP-1 RA mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, menghambat nafsu
makan, dan memperlambat pengosongan lambung sehingga
menurunkan kadar glukosa darah postprandial. Efek samping
yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah
dan muntah.
Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide,
Exenatide, Albiglutide, Lixisenatide dan Dulaglutide.
Penggunaan GLP-1 RA pada Diabetes GLP-1 RA adalah
obat yang disuntikkan secara subkutan untuk menurunkan
kadar glukosa darah, dengan cara meningkatkan jumlah
GLP-1 dalam darah. Berdasarkan cara kerjanya golongan
obat ini dibagi menjadi 2 yakni kerja pendek dan kerja
panjang. GLP-1 RA kerja pendek memiliki waktu paruh
kurang dari 24 jam yang diberikan sebanyak 2 kali dalam

35
sehari, contohnya adalah exenatide, sedangkan GLP-1 RA
kerja panjang diberikan 1 kali dalam sehari, contohnya
adalah liraglutide dan lixisenatide, serta ada sediaan yang
diberikan 1 kali dalam seminggu yaitu exenatide LAR,
dulaglutide dan semaglutide. Dosis berbeda untuk masing-
masing terapi, dengan dosis minimal, dosis tengah, dan dosis
maksimal. Penggunaan golongan obat ini dititrasi perminggu
hingga mencapai dosis optimal tanpa efek samping dan
dipertahankan.
Golongan obat ini dapat dikombinasi dengan semua
jenis oral anti diabetik kecuali penghambat DPP-4, dan dapat
dikombinasi dengan insulin. Pemakaian GLP-1 RA dibatasi
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang berat, yaitu
LFG kurang dari 30 mL per menit per 1,73 m².
c) Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal
yang utama dalam penatalaksanaan DM, namun bila
diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian
obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak
dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin
selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar
glukosa darah.
Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik
secara terpisah ataupun fixed dose combination, harus
menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja
yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam
obat, dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia
dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinis dan insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, maka

36
dapat diberikan kombinasi tiga obat oral. terapi dapat
diberikan kombinasi tiga obat anti- hiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin
dimulai dengan pemberian insulin basal (insulin kerja
menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja
menengah harus diberikan menjelang tidur, sedangkan
insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai
sebelum tidur, atau diberikan pada pagi hari sesuai dengan
kenyamanan pasien.
d) Kombinasi insulin basal dengan GLP-1 RA
Manfaat insulin basal terutama adalah menurunkan
glukosa darah puasa, sedangkan GLP-1 RA akan
menurunkan glukosa darah setelah makan, dengan target
akhir adalah penurunan HbA1c. Manfaat lain dari kombinasi
insulin basal dengan GLP-1 RA adalah rendahnya risiko
hipoglikemia dan mengurangi potensi peningkatan berat
badan. Keuntungan pemberian secara terpisah adalah
pengaturan dosis yang fleksibel dan terhindar dari
kemungkinan interaksi obat, namun pasien kurang nyaman
karena harus menyuntikkan 2 obat sehingga dapat
menurunkan tingkat kepatuhan pasien. Ko-formulasi rasio
tetap insulin dan GLP-1 RA yang tersedia saat ini adalah
IdegLira, ko-formulasi antara insulin degludeg dengan
liraglutide dan IGlarLixi, ko-formulasi antara insulin
glargine dan lixisenitide.

H. Komplikasi

1. Akut
a. Krisis Hiperglikemia
1) Ketoasidosis Diabetik (KAD)

37
Komplikasi akut DM yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang tinggi (300 - 600 mg/dL), disertai tanda dan
gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300 - 320 mOs/mL) dan peningkatan anion gap.1

2) Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)


Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(>600 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas
plasma sangat meningkat (>320 mOs/mL), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat.1
b. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah <
70 mg/dL. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum
dengan atau tanpa adanya tanda dan gejala sistem autonom, seperti
adanya whipple’s triad:
- Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- Kadar glukosa darah yang rendah
- Gejala berkurang dengan pengobatan.
Sebagian pasien dengan DM dapat menunjukkan tanda dan gejala
glukosa darah rendah tetapi pemeriksaan kadar glukosa darah normal.
Di lain pihak, tidak semua pasien DM mengalami tanda dan gejala
hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya
rendah. Penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien DM harus
selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia.
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea
dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu
kerja obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus
dilakukan selama 24 - 72 jam, terutama pada pasien dengan gagal
ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja
panjang.

38
2. Kronik
a. Makroangiopati
- Pembuluh darah otak : stroke
- Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi
pada pasien DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali
adalah nyeri pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat
(claudication intermittent), Namun sering juga tanpa disertai
gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan lain yang
dapat ditemukan pada pasien DM.
b. Mikroangiopati
- Retinopati Diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresi retinopati. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati.1
- Nefropati Diabetik
o Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko atau memperlambat progresifitas
nefropati.
o Untuk pasien penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan
protein sampai di bawah 0.8 g/kgBB/hari tidak
direkomendasikan karena tidak memperbaiki risiko
kardiovaskular dan menurunkan LFG ginjal.
- Neuropati
o Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan
faktor penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus
kaki yang meningkatkan risiko amputasi.
o Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan
bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari.
- Kardiomiopati

39
o Pasien DM Tipe 2 memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi
untuk terjadinya gagal jantung dibandingkan pada non-
diabetes.
o Diagnosis kardiomiopati diabetik harus dipastikan terlebih
dahulu bahwa etiologinya tidak ada berkaitan dengan adanya
hipertensi, kelainan katup jantung, dan penyakit jantung
koroner.
o Pada pasien diabetes disertai dengan gagal jantung, pilihan
terapi yang disarankan adalah golongan penghambat SGLT-
2 atau GLP-1 RA.

I. Pencegahan

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi
untuk menderita DM tipe 2 dan intoleransi glukosa.1
Identifikasi dan pemeriksaan penyaring kelompok risiko tinggi DM
Tipe 2 dan prediabetes dapat dilihat pada poin Diagnosis di Bab 3
Pengelolaan DM tipe 2. Pencegahan primer DM tipe 2 dilakukan dengan
tindakan penyuluhan dan pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok
masyarakat yang mempunyai risiko tinggi DM tipe 2 dan intoleransi
glukosa.1
Upaya pencegahan dilakukan terutama melalui perubahan gaya hidup.
Berbagai bukti yang kuat menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup
dapat mencegah DM tipe 2. Perubahan gaya hidup harus menjadi
intervensi awal bagi semua pasien terutama kelompok risiko tinggi.
Perubahan gaya hidup juga dapat sekaligus memperbaiki komponen faktor
risiko diabetes dan sindroma metabolik lainnya seperti obesitas, hipertensi,
dislipidemia dan hiperglikemia.1
Indikator keberhasilan intervensi gaya hidup adalah penurunan berat
badan 0,5 – 1 kg/minggu atau 5 - 7% penurunan berat badan dalam 6 bulan

40
dengan cara mengatur pola makan dan meningkatkan aktifitas fisik. Studi
Diabetes Prevention Programme (DPP) menunjukkan bahwa intervensi
gaya hidup yang intensif dapat menurunkan 58% insiden DM tipe 2 dalam
3 tahun. Tindak lanjut dari DPP Outcome Study menunjukkan penurunan
insiden DM tipe 2 sampai 34% dan 27 % dalam 10 dan 15 tahun. 1
Perubahan gaya hidup yang dianjurkan untuk individu risiko tinggi
DM tipe 2 dan intoleransi glukosa adalah :1
• Pengaturan pola makan
• Meningkatkan aktifitas fisik dan latihan jasmani
• Menghentikan kebiasaan merokok
• Pada kelompok dengan risiko tinggi diperlukan intervensi
farmakologis.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM Tipe 2.
Tindakan pencegahan sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar
glukosa sesuai target terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit yang
lain dengan pemberian pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini
adanya penyulit merupakan bagian dari pencegahan sekunder. Tindakan
ini dilakukan sejak awal pengelolaan penyakit DM Tipe 2. Program
penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan
pasien dalam menjalani program pengobatan sehingga mencapai target
terapi yang diharapkan. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama
dan perlu selalu diulang pada pertemuan berikutnya.1
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok pasien diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan
lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup. Upaya rehabilitasi pada
pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada upaya
pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga.
Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan

41
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Pencegahan tersier
memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan terintegrasi antar
disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama yang
baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung, ginjal, mata, saraf, bedah
ortopedi, bedah vaskular, radiologi, kedokteran fisik dan rehabilitasi, gizi,
podiatris, dan lain-lain.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan
pencegahan tersier.1

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Soelistijo SA, Suastika K, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto KW, et


al. Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa Di
Indonesia 2021. Jakarta: PB PERKENI; 2021.
2. Burduli M. The Adequate Control of Type 2 Diabetes Mellitus in an Elderly
Age. 2009. Available from: http://www.gestosis.ge/
eng/pdf_09/Mary_Burduli.pdf 6.
3. Sclatter A. Diabetes in the Elderly: The Geriatrician’s Perspective. Can J Diab.
2003;27(2):172-5. Available from: http://
www.diabetes.ca/files/ElderlySclaterJune03.pdf
4. Roy Taylor, M.F. 2013. Etiology and reversibility. Journal Diabetes Care. vol.
36: 1-12.
5. Ozougwu, J.C., Obimba, K.C., Belonwu, C.D., & Unakalamba, C.B. 2013. The
pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus.
Journal of Physiology and Pathophysiology. vol. 4(4): 6-14. doi:
10.5897/JPAP2013.0001 ISSN 2I41-260X.
6. Saidu AN, Olukotun IO, Oibiokpa FI. Phytochemical Screening and
Hypoglycemic Effect of Methanolic Fruit Pulp Extract of Cucumis sativus in
Alloxan Induced Diabetic Rats. Journal of Medicinal Plant Research. 2014;
8(39); 1173-1178.

43
LAMPIRAN

Home visite hari ke-1 Home visite hari ke-2

Kondisi kaki pasien setelah operasi Halaman depan rumah pasien

Bagian dapur dari rumah pasien Bagian ruang tamu dari rumah pasien

44

Anda mungkin juga menyukai