Anda di halaman 1dari 64

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A220060

**Pembimbing/dr. Hj. Eryasni Husni, Sp. PD. FINASIM

Diabetes Mellitus Tipe II Normoweight tidak terkontrol +


Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Ilgazan Muhammad, S.Ked* dr. Hj. Eryasni Husni, Sp. PD. FINASIM**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER


JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION

Diabetes Mellitus Tipe II Normoweight tidak terkontrol +


Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Oleh:

Ilgazan Muhammad, S.Ked

G1A220060

Telah Disetujui dan Dipresentasikan sebagai Salah Satu Tugas

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

2021

Jambi, 2021

Pembimbing,

dr. Hj. Eryasni Husni, Sp. PD. FINASIM


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
laporan Case Report Session ini dengan judul “Diabetes Mellitus Tipe II
Normoweight tidak terkontrol + Infeksi Saluran Kemih (ISK)”. Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada dr. Hj. Eryasni Husni, Sp. PD. FINASIM, selaku pembimbing
yang telah memberikan arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat
terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan Case Report Session ini.

Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu


saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat
bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia k
DAFTAR ISI

BAB I.................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
BAB II ................................................................................................................ 2
LAPORAN KASUS ........................................................................................... 2
2.1 Identitas Pasien ......................................................................................... 2
2.2 Anamnesis ................................................................................................ 2
2.3 Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 3
2.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 6
2.5 Diagnosis Kerja ........................................................................................ 7
2.6 Diagnosa Banding .................................................................................... 7
2.7 Anjuran Pemeriksaan ................................................................................ 8
2.8 Tatalaksana ............................................................................................... 8
2.9 Prognosis .................................................................................................. 8
2.10 Follow Up Pasien ................................................................................... 9
BAB III ............................................................................................................. 11
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 11
3.1 Diabetes Mellitus Tipe II ........................................................................ 11
3.1.1 Definisi Diabetes Mellitus Tipe II ................................................... 11
3.1.2 Patogenesis DM tipe II .................................................................... 11
3.1.3 Diagnosis DM Tipe 2 ...................................................................... 15
3.1.4 Tatalaksana Diabetes Melitus .......................................................... 19
3.1.5 Pemantauan ...................................................................................... 36
3.1.6 Kriteria Pengendalian DM ............................................................... 38
3.1.7 Komplikasi Diabetes........................................................................ 39
3.1.8 Prognosis Diabetes Melitus ............................................................. 41
3.2 Infeksi Saluran Kemih ............................................................................ 41
3.2.1 Definisi ............................................................................................ 41
3.2.2 Epidemiologi ................................................................................... 41
3.2.3 Klasifikasi ISK ................................................................................ 42
3.2.4 Patofisiologi & Patogenesis............................................................. 43
3.2.5 Faktor Virulensi dan Host ............................................................... 44
3.2.6 Manifestasi Klinis............................................................................ 44
3.2.7 Pemeriksaan Sedimen Leukosit....................................................... 45
3.2.8 Pemeriksaan Kultur Urine ............................................................... 46
BAB IV............................................................................................................. 49
ANALISIS KASUS .......................................................................................... 49
BAB V .............................................................................................................. 56
KESIMPULAN ................................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 57
esehatan pada umumnya.

Jambi, Mei 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja
dan atau sekresi insulin.Gejala yang dikeluhkan pada penderita Diabetes
Melitus yaitu polidipsia , poliuria, polifagia, penurunan berat badan,
parestesia (kesemutan). International Diabetes Federation(IDF) menyebutkan
bahwa prevalensi Diabetes Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah
menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia.
Tingginya prevalensi DM tipe II oleh faktor risiko yang tidak dapat berubah
misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua adalah faktor
risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok tingkat pendidikan,
pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa
Tubuh, lingkar pinggang dan umur.

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi


bakteri yang paling umum terjadi. Setiap tahunnya, sebanyak 150 juta orang
terkena ISK di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, pada tahun 2007 tercatat
10,5 juta pasien terdiagnosis ISK dan 2-3 juta pasien harus dirujuk ke unit
gawat darurat. Studi di Swiss menunjukkan angka insidensi ISK mencapai 1,6
per 100 populasi, sedangkan di Kanada angka insidensi mencapai 17,5 per
1000 populasi dan di Prancis mencapai 2400 per 100.000 populasi. 1,2 Di
Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014
melaporkan insidensi ISK mencapai 90- 100 kasus per 100.000 populasi.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
yaitu ; faktor usia, jenis kelamin, prevalensi bakteriuria, dan predisposisi.
Perempuan umumnya beresiko empat hingga lima kali mengalami infeksi
daripada laki-laki, al tersebut disebabkan oleh anatomi uretra perempuan
lebih pendek dibandingkan uretra pada laki-laki sehingga mikroorganisme
dari luar lebih mudah mencapai kandung kemih yang letaknya dekat dengan
daerah perianal.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny.N
Usia : 61 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Untung Suropati RT 049 Kec. Jelutung
Pekerjaan : Tidak bekerja (mantan pegawai catering)
MRS : 14 Mei 2021

2.2 Anamnesis
(Autoanamnesis dan alloanamnesis)
Keluhan Utama :
Penurunan Kesadaran ± 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
● ± 3 tahun SMRS Pasien datang ke Puskesmas untuk kontrol rutin
hipertensi dan cek gula darah untuk pertama kalinya. Kemudian
didapatkan hasil gds 260 mg/dL dan diulangi pemeriksaan gds kembali 2
hari kemudian didapatkan hasil 210 mg/dL. Gejala yang dikeluhkan:
sering kehausan, dan sering BAK dengan kuantitas saat malam lebih
sering. Kemudian diberikan obat oleh Puskesmas untuk menurunkan gula
darah dan hipertensi. Sejak saat itu pasien teratur ke Puskesmas untuk
mengambil obat, tetapi tidak dikonsumsi secara teratur.

● ± 1 bulan SMRS Pasien mulai mengeluhkan badan terasa lemas. Pola


makan tidak teratur, pasien sering makan makanan yang berlemak dan
minuman manis. Pasien kemudian minum obat yang diambil dari
Puskemas, tetapi pasien hanya minum obat saat badan terasa lemas dan
pusing.

● 1 hari SMRS Pasien datang ke RS dengan keluhan penurunan kesadaran


yang semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan mual dan penurunan

2
3

nafsu makan, tetapi pasien sering merasakan kehausan. Pasien sering


BAK, dalam 30 menit frekuensi BAK bisa sampai 3 kali.

Riwayat Penyakit Dahulu :


● Asam Urat (+)
● Penyakit Kolesterol (+)

Riwayat Penyakit Keluarga :


● Ayah kandung dan saudara kandung memiliki riwayat diabetes mellitus
Riwayat Sosial Ekonomi :
● Pasien sebelumnya adalah pegawai catering dan suka mengkonsumsi
minuman manis

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E3V5M5)
Vital Sign
TD : 150/90 mmHg HR : 80x/menit RR : 20x/menit reguler

Suhu : 38,5 oC SpO2 : 95 %

Status Gizi
BB : 56 Kg TB : 160 cm IMT : 21,8 (normoweight)

Kulit
● Warna : ikterik (-)
● Efloresensi : (-)
● Jaringan Parut : (-)
● Pertumbuhan Rambut : Normal
● Suhu : Hangat
4

● Turgor : Kembali cepat, <2detik


● Lainnya : (-)
Kelenjar Getah Bening
● Pembersaran KGB : (-)
Kepala
● Bentuk Kepala : Normocephal
● Rambut : Hitam
● Ekspresi : Tampak sakit sedang
● Simetris Muka : Simetris
Mata
● Konjungtiva : Konjungtiva anemis (+/+)
● Sklera : Sklera Ikterik (-/-)
● Pupil : Isokor
● Lensa : Normal
● Gerakan : Normal
● Lapangan Pandang : Normal
Hidung
● Bentuk : Simetris
● Sekret : (-)
● Septum : Deviasi (-)
● Selaput Lendir : (-)
● Sumbatan : (-)
● Pendarahan : (-)
Mulut
● Bibir : Kering (+), Sianosis (-)
● Lidah : Atrofi papila lidah (-)
● Gusi : normal
Telinga
● Bentuk : Simetris
● Sekret : (-)
● Pendengaran : Normal
5

Leher
● JVP : 5-2 cmH2O, dbn
● Kelenjar Tiroid : Tidak teraba
● Kelenjar Limfonodi : Tidak teraba
Thorax
Spider naevi (-), ginekomastia (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Batas Pinggang : ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, rhonki (-), wheezing (-)

Abdomen
Inspeksi : Cembung, sikatrik (-), spider naevi (-), venektasi (-), caput
vmedusae (-), Collateral vein (-)
Palpasi : Nyeri tekan pada suprapubik
Perkusi : Liver span normal dengan 8 cm pada linea midclavikula dekstra
dan 4 cm pada linea midsternalis, Shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) dbn

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT <2 detik, edem (-), Palmar Eritema (-),
clubbing finger (-), flapping tremor (-)
Inferior : Akral hangat, CRT <2 detik, edema kedua tungkai (-), sikatriks(-)
6

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (15/05/2021)
WBC : 37,8 x103/L (4-10,0 103/mm3)
RBC : 4,38 x106/L (4,5-5,5 106/mm3)
HGB : 11,4 g/dL (13,4-17,1 g/dl)
MCV : 76,5 fL (80-96 fl)
MCH : 26,0 pg (27-31pg)
MCHC : 33,9 g/L (32- 36g/dl)
Trombosit : 369 (150-450 103/mm3)
PCT : 0,122 % (0,150-0,400 %)
MPV : 14,1 fL (7,2-11,1 fL)
PDW : 24,3 fL (9-13 fL)
HCT : 33,5 % (34,5-54 %)

Kesan:
Leukositosis, anemia miktrositik hipokromik
Elektrolit
Natrium : 104.8 (↓) (136-146 mmol/l )
Kalium : 3.71 (3.34-5.10 mmol/l )
Klorida : 71.2(↓) (98-106 mmol/l )
Faal Ginjal (15/05/2021)
Ureum : 63 mg/dl (15- 39 mg/dl)
Kreatinin : 2,1 mg/dl (0,55-1,3 mg/dl)
Glukosa darah (15/05/2021)
Glukosa darah sewaktu : 329 (<200 mg/dl)
Urinalisa (15/05/2021)
Urin rutin
Warna : kuning (kuning muda)
Kejernihan : keruh (jernih)
pH : 6,5 (4-8,5)
7

Berat jenis : 1.015 (1.005-1.030)


Protein : +2 (-)
Bilirubin :- (-)
Urobilinogen : - (normal)
Keton :- (-)
Nitrit :- (-)
Sedimen urin
Leukosit : 75-78 (0-3/LPB)
Eritrosit : 0-1 (0-2/LPB)
Glukosa (reduksi) : +4
Epitel : 0 -1 (0-5/LPK)
Slinder :- (-)
Bakteri :+ (-)
Kesan : Leukosituria, glukosuria, infeksi
Daftar Masalah
1. DM Tipe 2 tak terkontrol
2. Anemia mikrositik hipokromik
3. Imbalance elektronik
4. Infeksi saluran kemih
5. Penurunan fungsi ginjal
6. Hipertensi derajat 1

2.5 Diagnosis Kerja


Diagnosa Primer : DM tipe II tak terkontrol + ISK
Diagnosa Sekunder : Hipertensi derajat I
Anemia mikrositik hipokromik
Imbalance Electrolite

2.6 Diagnosa Banding


 KAD
 DM Nefropati
8

2.7 Anjuran Pemeriksaan


- Pemeriksaan darah rutin post koreksi
- Profil Lipid : Trigliserida, HDL, dan LDL
- Analisa gas darah
- Kultur Urin
- Pemeriksaan urin rutin post koreksi
- Foto polos thoraks
- HbA1c

2.8 Tatalaksana
Farmakologis di IGD:
• IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
• Injeksi Subkutan insulin aspart 3x5 iu
• Injeksi Subkutan insulin glargine 1x 10 iu
• Amlodipin 1 x 5 mg

• Inj Ceftriaaxon iv 1 x 2g
• Paracetamol 3 x 1 500 mg

Non Farmakologis:
- Diet DM II 1350 kalori
- Karbohidrat: 840 kalori
- Lemak : 280 kalori
- Protein : 140 kalori
- Natrium : < 1500 mg/hari
- Serat : 20-35 gram/hari
- Edukasi pasien dan keluarga
✔ Menjelaskan mengenai penyakit yang dialami pasien
✔ Jelaskan mengenai faktor resikio, dan menghindari hal-hal yang
akan memperburuk penyakit

2.9 Prognosis
● Quo Vitam : Dubia ad bonam
● Quo Functionam : Dubia ad malam
9

● Quo Sanactionam : Dubia ad malam

2.10 Follow Up Pasien


No. Tanggal S O A P

1. 16/05/2021 Badan lemas TD:150/90 DM Tipe 2 • IVFD


memberat 1 hari RR:30x/i tidak NaCl 0,9%
SMRS N:128x/i terkontrol + 20 tpm
ISK •
Penurunan Suhu: 38,5 C
• Inj
Kesadaran SpO2: 95%
Ceftriaaxo
PF
n iv 1 x 2g
 Mulut • Inj.
kering
 Nyeri tekan Omeprazol
kuadran e 2 x 1 mg
kanan atas
 Nyeri tekan • Paracetam
suprapubik ol 3 x 1
 Hepatomega
li 500 mg
 Hb 11,4 Ht
33,5
Leukosit
meningkat,
GDS 329

2. 17/05/2021 Badan lemas TD:140/90 DM Tipe 2 • IVFD


memberat 1 hari RR:27x/i tidak NaCl 0,9%
SMRS N:110x/i terkontrol + 20 tpm
ISK • Drip
Penurunan Suhu: 37,5 C
Insulin
Kesadaran SpO2: 96%
Aspart
PF
10U/Jam
 Mulut • Inj
kering
 Nyeri tekan Ceftriaaxo
kuadran n iv 1 x 2g
kanan atas
 Nyeri tekan • Paracetam
suprapubik ol 3 x 1
 Hepatomega
li 500 mg
 Hb 11,4 Ht
10

33,5
Leukosit
meningkat,
GDS 278

3. 18/05/2021 Badan lemas TD:150/90 DM Tipe 2 • IVFD


RR:25x/i tidak NaCl 0,9%
pusing
N:100x/i terkontrol + 20 tpm
ISK • Injeksi
Suhu: 36,5 C
Subkutan
SpO2: 98%
insulin
PF
aspart 3x5
 Mulut iu
kering
 Nyeri tekan • Injeksi
kuadran Subkutan
kanan atas
 Nyeri tekan insulin
suprapubik glargine 1x
 Hepatomega
li 10 iu
 Hb 11,4 Ht
33,5 • Inj
Leukosit
Ceftriaaxo
meningkat,
GDS 243 n iv 1 x 2g
• Paracetam
ol 3 x 1
500 mg
• Amlodipin
1 x 5 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Mellitus Tipe II

3.1.1 Definisi Diabetes Mellitus Tipe II


Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Dalam praktik sehari-hari DM tipe 2 merupakan
yang paling sering ditemui. World Heatlh Organization (WHO) sebelumnya telah
merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam
satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai
suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di
mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.

3.1.2 Patogenesis DM tipe II


Resistensi insulin pada otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Hasil penelitian
terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat
dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2
adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi
inkretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur
patogenesis baru dari ominous octet yang memperantai terjadinya hiperglikemia
pada DM tipe 2. Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(egregious eleven) perlu dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan
konsep:

1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis,


bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja obat
sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.

11
12

Schwatrz pada tahun 2016 menyampaikan bahwa tidak hanya otot, hepar
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penyandang
DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai the
egregious eleven.2

Gambar 3.1 The Egregious Eleven13

Gambar 3.2 The Egregious Eleven2

Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh 11 hal,


2,13
yaitu:
1. Kegagalan sel beta pankreas
13

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Disfungsi sel Alpha Pancreas
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan produksi gula hati (hepatic glucose production) dalam keadaan
basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-
1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amilin.
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
4. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.
5. Hepar
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar
(hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
6. Otak
14

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah GLP-1 agonis, amilin dan
bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe
2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan
berlebih akan berkembang DM. Probiotik dan prebiotic diperkirakan sebagai
mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1
dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui
kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida
yang kemudian diserap oleh usus sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah
setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM
tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co- Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10%
15

sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penyandang DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-
2 ini akan menghambat reabsorpsi kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor. Dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin adalah contoh obatnya.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi
kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan
pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang
berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.
11. Sistem imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase akut (disebut
sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi system imun
bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dyslipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi
sistemik derajat rendah berperan dalam induksi stress pada endoplasma akibat
peningkatan kebutuhan metabolism untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan
resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin, disertai dengan inflamasi
kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti adipose, hepar dan otot.
Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya hubungan antara
obesitas dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut menggambarkan
peran penting inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang dianggap sebagai
kelainan imun. Kelainan metabolik lain yang berkaitan dengan inflamasi juga
banyak terjadi pada DM tipe 2.2

3.1.3 Diagnosis DM Tipe 2


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.2
16

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Gambar 3.3 Kriteria diagnosis Diabetes Melitus2


Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaanglukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <l40 mg/d1;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2-
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/d1 dan glukosa plasma puasa
<l00 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
17

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat
yang cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-
hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan .
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampeldarah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban
glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.

Gambar 3.4 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes2
18

Gambar 3.5 Langkah-langkah diagnostic DM dan toleransi glukosa terganggu6

Gambar 3.6 Flow chart untuk mendiagnosa DM14


19

3.1.4 Tatalaksana Diabetes Melitus


1. Tatalaksana Non Farmakologis
Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistic. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.2
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer yang meliputi:2
- Materi tentang perjalanan penyakit DM.
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
- Penyulit DM dan risikonya.
- Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
- Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
- Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
- Pentingnya perawatan kaki.
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:2
- Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
- Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
- Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
- Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
20

- Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari


sakit).
- Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi
mutakhir tentang DM.
- Pemeliharaan/perawatan kaki.

Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus memenuhi


anjuran:2
 Mengikuti pola makan sehat
 Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
 Menggunakan obat DM dan obat lainnya pada keadaan khusus secara
aman dan teratur
 Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan
 Melakukan perawatan kaki secara berkala
 Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat
 Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak
keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM
 Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada

Terapi Nutrisi Medis


Terapi Nutrisi Medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan
DMT2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta
pasien dan keluarganya). Terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan
kebutuhan setiap penyandang DM agar mencapai sasaran.2
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang
21

DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan,


jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunkan obat
yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.2
1. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:2
a. Karbohidrat
 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
 Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
 Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes
dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
 Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
b. Lemak
 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
 Komposisi yang dianjurkan:
o lemak jenuh (SAFA) < 7 % kebutuhan kalori
o lemak tidak jenuh ganda (PUFA) < 10 %
o selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) sebanyak 12-
15%
o rekomendasi perbandingan lemak jenuh: lemak tak jenuh tunggal:
lemah tak jenuh ganda = 0,8 : 1,2 : 1
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
fullcream.
 Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari. 1
c. Protein
 Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan
22

65% diantaranya bernilai biologik tinggi.


 Penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein
menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
 Sumber protein yang baik adalah ikan,udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
tahu dan tempe. Sumber bahan makanan protein dengan kandungan
saturated fatty acid (SAFA) yang tinggi seperti daging sapi, daging
babi, daging kambing dan produk hewani olahan sebaiknya dikurangi
konsumsi.
d. Natrium
 Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang
sehat yaitu <1500 mg perhari.
 Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual.
 Pada upaya pembataan asupan natrium ini, perlu juga memperhatikan
bahan makanan yang mengandung tinggi natrium antara lain adalah
garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium
benzoat dan natrium nitrit.
e. Serat
 Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari
kacangkacangan,buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat.
 Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah 14 gram/ 1000 kal atau
20-35 gram per hari, karena efektif.
f. Pemanis Alternatif
 Pemanis alternatif aman digunakansepanjang tidak melebihi batas
aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif dikelompokkan
menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
 Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
 Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol,
23

mannitol,sorbitol dan xylitol.


 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena
dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari
makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.
 Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame
potassium, sukralose, neotame.
2. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah
sebagai berikut:2
a. Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi:
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg
BB Normal: BB ideal ± 10 %
Kurus: kurang dari BBI - 10 %
Gemuk: lebih dari BBI + 10 %
b. Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT
 BB Kurang <18,5
 BB Normal 18,5-22,9
 BB Lebih ≥23,0
◊ Dengan risiko 23,0-24,9
◊ Obes I 25,0-29,9
◊ Obes II ≥30
24

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:


a. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untukperempuan sebesar 25 kal/kgBB
sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
b. Umur
 Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
setiap dekade antara 40 dan 59 tahun.
 Pasien usia diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.
 Pasien usia diatas usia 70 tahun, dikurangi 20%.
c. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
 Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik.
 Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
keadaan istirahat.
 Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan:
pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga.
 Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industri
ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.
 Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet,
militer dalam keadaan latihan.
 Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak,
tukang gali.
d. Stres Metabolik
 Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik
(sepsis, operasi, trauma).
e. Berat Badan
 Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20-
30% tergantung kepada tingkat kegemukan.
 Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30%
sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
25

 Jumlah kalori yang diberikan palingsedikit 1000-1200 kal perhari


untuk wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria.
Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan
komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%),
siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di
antaranya. Namun kelompok tertentu, jumlah dan jenis makanan dilakukan sesuai
dengan kebiasaan. Untuk penyandang DM yang mengidap penyakit lain,
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyerta.2
Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3-5 hari seminggu selama sekitar
30-45 menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda antar latihan tidak
lebih dari 2 hari berturut-turut. Kegiatan sehari-hari atau aktivits sehari-hari bukan
termasuk dalam latihan fisik. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa
latihan fisik yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut
jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging dan berenang.
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia
pasien. Pasien diabetes dengan usia muda dan bugar dapat melakukan 90 menit/
minggu dengan latihan aerobic berat, mencapai >70% denyut jantung maksimal.2
Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum latihan fisik. Pasien
dengan kadar glukosa darah < 100 mg/dl harus mengkonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu dan bila >250 mg/dl dianjurkan untuk menunda latihan fisik.
Pasien diabetes asimtimatik tidak diperlukan pemeriksaan medis khusus
sebelum memulai aktivitas fisik intensitas ringan-sedang, seperti berjalan cepat.
Subyek yang akan melakukan latihan intensitas tinggi atau memiliki kriteria risiko
tinggi harus dilakukan pemeriksaan medis dan uji latih sebelum latihan fisik.2
Pada penyandang DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoarthritis,
hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan
resistance training (latihan beban) 2-3 kali/ minggu sesuai dengan petunjuk
26

dokter. Latihan fisik sebaiknya disesuaikan dengan umut dan status kesegaran
fisik. Intensitas latihan fisik pada penyandang DM yang relative sehat bisa
ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai kompliksi intensitas
latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing individu.2

2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.2

Gambar 3.7 Jalur tatalaksana hiperglikemia berdasarkan egregious


eleven13

Obat Antihiperglikemia Oral


Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi
lima golongan:2
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
 Sulfonilurea
27

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin


oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan
berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea,
namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat
ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat golongan ini tidak
tersedia di Indonesia.

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin


 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (LFG 30- 60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
sperti: LFG< 30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular,
sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang
mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
 Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan
28

tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC


III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan
faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang
masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat Alfa Glukosidase


Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di
saluran pencernaan sehingga menghambat absoprsi glukosa dalam usus halus.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: LFG≤30ml/min/1,73
m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan
dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.

d. Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 Inhibitor)


Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang
didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam amino dari
peptida yang mengandung alanine atau prolin di posisi kedua peptida N-terminal.
Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ tubuh, termasuk di usus dan
membrane brush border di ginjal, di hepatosit, endothelium vaskuler dari kapiler
villi, dan dalam bentuk larut dalam plasma. Penghambat DPP-IV akan
menghambat lokasi pengikatan pada DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi
dari glucagon-like peptide (GLP-1). Proses inhibisi ini akan mempertahankan
kadar GLP-1 dan glucose dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dalam
bentuk aktif di sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa,
meningkatkan respon insulin, dan mengurangi sekresi glukagon. Penghambat
DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam golongan ini adalah
vidagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan alogliptin.

e. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2 inhibitor)


29

Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus


proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat golongan ini
mempunyai manfaat untuk menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek
samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat ini adalah infeksi saluran
kencing dan genital. Pada penyandang DM dengan gangguan fungsi ginjal perlu
dilakukan penyesuaian dosis, dan tidak diperkenankan bila LFG kurang dari 45
ml/ menit. Hati-hati karena dapat mencetuskan ketoasidosis.

Gambar 3.8 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia2

Gambar 3.9 Daftar obat antihiperglikemia oral2


30

Gambar 3.10 Daftar obat antihiperglikemia oral2

Gambar 3.11 Daftar obat antihiperglikemia oral2

Gambar 3.12 Daftar obat antihiperglikemia oral2


31

Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.2
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 6 jenis, yakni :
- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
- Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
- Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)
- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat
Efek samping terapi insulin adalah:
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
- Penatalaksanaan hipoglikemia ddapat dilihat dalam bagian komplikasi
32

akut DM
- Efek samping yang lain dapat berupa reaksi alergi terhadap insulin

Gambar 3.13 Berbagai jenis sediaan insulin eksogen2

Gambar 3.14 Berbagai jenis sediaan insulin eksogen2

b. Agonis GLP-1 / Incretin Mimetic


Inkretin adalah hormone peptida yang disekresi gastrointestinal setelah
33

makan dicerna, yang mempunyai potensi untuk meningkatkan sekresi insulin


melalui stimulasi glukosa. Dua macam inkretin yang dominan adalah glucose-
dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan glucagon-like peptide (GLP-1).2
Agonis GLP-1 mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat
pelepasan glukagon, menghambat nafsu makan, dan memperlambat pengosongan
lambung sehingga menurunkan kadar glukosa darah post prandial. Efek samping
yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat
yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide,
Lixisenatide dan Dulaglutide.2
Agonis GLP-1 adalah obat uang disuntikkan subkutan untuk menurunkan
kadar glukosa darah, dengan cara meningkatkan jumlah GLP-1 dalam darah.
Berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi kerja pendek dan kerja panjang. Agonis
GLP-1 kerja pendek memiliki waktu paruh kurang dari 24 jam yang diberikan
sebanyak 2 kali dalam sehari., contohnya adalah exenatide, sedangkan agonis
GLP-1 kerja panjang diberikan 1 kali dalam sehari, contohnya liraglutide dan
lixisenatide, serta ada sediaan yang diberikan 1 kali dalam seminggu yaitu
exenatide LAR, dulaglutide dan semaglutide.2
Pemakaian agonis GLP-1 dibatasi pada pasien dengan ganguan fungsi
ginjal yang berat, yaitu LFG kurang dari 30 ml per menit per 1,73 m2.

Gambar 3.15 Jenis obat agonis GLP-12

c. Terapi Kombinasi Insulin dan Agonis GLP-1


Manfaat insulin basal terutama adalah untuk menurunkan glukosa darah
puasa, sedangkan agonis GLP-1 akan menurunkan glukosa darah setelah makan,
dengan target akhir adalah menurunkan HbA1c. Manfaat lain dari kombinasi
insulin basal dengan agonis GLP-1 adalah rendahnya risiko hipoglikemia dan
34

potensi peningkatan berat badan. Keuntungan pemberian secara terpisah adalah


pengaturan dosis yang fleksibel dan terhindar dari kemungkinan interaksi obat,
namun pasien kurang nyaman karena harus menyuntikkan 2 obat sehingga dapat
mengakibatkan clinical inertia. Ko-formulasi rasio tetap insulin dan agonis GLP-1
yang tersedia saat ini adalah IdegLira, ko-formulasi antara insulin degludeg
dengan liraglutide dan IGlarLixi, ko-formulasi antara insulin glargine dan
lixisenitide.2

Gambar 3.16 Algoritma intensifikasi terapi injeksi GLP-1RA pada DMT22

Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini.
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon
35

kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat
diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dan insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral.2
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur,
atau diberikan pada pagi hari sesuai dengan kenyamanan pasien. Pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi
adalah 6-10 unit, kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya.2
Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila
kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaan kadar glukosa
darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin
basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial,
sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral terutama golongan sulfonylurea
dihentikan dengan hati-hati.2
36

Gambar 3.17 Algoritma Tatalaksana DM tipe 22

3.1.5 Pemantauan
Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:2
a. Pemeriksaan penunjang Kadar Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Waktu pelaksanaan glukosa darah pada saat puasa, 1 atau 2 jam setelah
makan, atau secara acak berkala sesuai dengan kebutuhan. Frekuensi pemeriksaan
dilakukan setidaknya satu bulan sekali.
b. Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai HbA1C), merupakan cara yang
37

digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Untuk
melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan
atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang sangat tinggi (> 10%). Pada pasien
yang telah mencapai sasran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1C
diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun. HbA1C tidak dapat dipergunakan
sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti: anemia,
hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang
mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal.
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan
darah kapiler. Saat ini banyak didapatkan alat pengukur kadar glukosa darah
dengan menggunakan reagen kering yang sederhana dan mudah dipakai. PGDM
dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan suntik insulin beberapa kali perhari
atau pada pengguna obat pemacu sekresi insulin.
Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan
pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu
yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (untuk
menilai ekskursi glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko
hipoglikemia nocturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala
seperti hypoglycemic spells.
PGDM terutama dianjurkan pada:
 Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
 Penyandang DM dengan terapi insulin dengan keadaan sebagai berikut:
o Pasien dengan HbA1c yang tidak mencapai target setelah terapi
o Wanita yang merencanakan kehamilan
o Wanita hamil dengan hiperglikemia
o Kejadian hipoglikemia berulang
38

Gambar 3.18 Prosedur pemantauan glukosa darah2

3.1.6 Kriteria Pengendalian DM


Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa,
kadar HbA1c, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila
kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan,
serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan.2

Gambar 3.19 Sasaran pengendalian DM2


Pemeriksaan HbA1c memang penting untuk menentukan terapi dan
eskalasi terapi, namun tidak setiap fasilitas kesehatan bisa melaksanakan
39

pemeriksaan ini. Pada kondisi dimana tidak bisa dilakukan pemeriksaan HbA1c
maka bisa digunakan konversi dari rerata glukosa darah puasadan atau glukosa
darah post prandial selama 3 bulan terakhir menggunkan tabel konversi dari
Standard of Medical Care in Diabetes American Diabetes Association 2019 yang
dimodifikasi. Tabel konversi yang dimodifikasi ini tidak secara akurat
menggambarkan HbA1c sesungguhnya dan hanya dipergunakan pada keadaan
bila pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan.2

Gambar 3.20 Tabel konversi glukosa darah rerata ke perkiraan HbA1c2

3.1.7 Komplikasi Diabetes


Komplikasi diabetes mengenai banyak sistem organ dan menyebabkan
morbiditas dan mortilitas yang berhubungan dengan penyakit. Komplikasi
diabetes ini dibagi menjadi 2 yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik
(menahun). Komplikasi akut terdiri atas krisis hiperglikemia (ketoasidosis
diabetic (KAD), status hiperglikemia hiperosmolar (SHH)) dan hipoglikemia.
Komplikasi menahun (kronik) dari diabetes terdiri atas komplikasi vaskular dan
nonvaskular. Komplikasi vascular terbagi atas mikrovaskular dan
makrovaskular.2,8,15
Ketoasidosis diabetic (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl),
disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap.2
40

Status hiperglikemia hiperosmolar (SHH) adalah keadaan terjadi


peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala
asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma keton
(+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.2
Hipoglikemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan menurunnya
kadar glukosa darah < 70 mg/dl dan merupakan penurunan konsentrasi glukosa
serum dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sisten autonomy, seperti adanya
whipple’s triad, yaitu:2,17
 Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
 Kadar glukosa darah yang rendah
 Hilangnya gejala hipoglikemia setelah konsentrasi glukosa plasma
meningkat

Gambar 3.21 Komplikasi diabetes8


41

Gambar 3.22 Komplikasi mayor DM15

3.1.8 Prognosis Diabetes Melitus


Diabetes menyebabkan kematian pada 3 juta orang setiap tahun (1,7-5,2%
kematian di dunia.1

3.2 Infeksi Saluran Kemih

3.2.1 Definisi
Infeksi saluran kemih adalah istilah umum yang menunjukan adanya
mikroorganisme dalam urin (bakteriuria) yang bermakna (significant bacteriuria).
Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh bakteri, namun virus dan
jamur juga dapat menjadi penyebabnya. Bakteri yang menjadi penyebabnya
merupakan bakteri gram negatif aerob yang biasa ditemukan pada saluran
pencernaan (Enterobacteriaceae) dan jarang disebabkan oleh bakteri anaerob.
Bakteri Escherichia coli merupakan penyebab utama sebesar 70% – 90% (Sudoyo
dan dkk, 2006) dan bakteri lainnya berupa Proteus, Klebsiella, kadang
Enterobacter berperan pada sebagian kecil infeksi ringan

3.2.2 Epidemiologi
Infeksi Saluran Kemih merupakan infeksi yang paling sering terjadi

dan masih menjadi masalah kesehatan dan dapat menjadi penyebab sepsis

terbanyak setelah infeksi saluran nafas. Prevalensi infeksi saluran kemih di


42

Indonesia masih cukup tinggi. Penderita infeksi saluran kemih di Indonesia

diperkirakan mencapai 222 juta jiwa. Berdasarkan data Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, penderita ISK di Indonesia berjumlah 90 –

100 kasus per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar 180.000 kasus baru

per tahun. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan perubahan struktur

saluran kemih diantaranya berupa faktor usia, jenis kelamin, prevalensi

bakteriuria, dan predisposisi (pencetus). Infeksi saluran kemih lebih

banyak terjadi pada usia beberapa bulan dan > 65 tahun.

Perempuan umumnya beresiko empat hingga lima kali mengalami

infeksi saluran kemih dibandingkan dengan laki – laki. Hal tersebut

disebabkan oleh anatomi uretra perempuan lebih pendek dibandingkan

uretra laki – laki, sehingga mikroorganisme dari luar lebih mudah

mencapai kandung kemih yang letaknya dekat dengan daerah perianal.

3.2.3 Klasifikasi ISK


Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi dua kategori umum

berdasarkan lokasi anatomi, yaitu :

Infeksi Saluran Kemih Atas

1. Pielonefritis akut, yaitu proses inflamasi parenkim ginjal yang

disebabkan oleh infeksi bakteri

2. Pielonefritis kronik, yaitu akibat proses infeksi bakteri berkelanjutan


atau infeksi yang didapat sejak dini. Obstruksi saluran kemih dan
refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering
diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai
dengan pielonefritis kronik yang spesifik
43

Infeksi Saluran Kemih Bawah

Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari uretritis (infeksi uretra) dan

sistitis (infeksi kandung kemih). Prostatitis (infeksi prostat) dan

epididimidis (infeksi epididimis) juga dapat ditemui pada laki – laki.

3.2.4 Patofisiologi & Patogenesis


Escherichia coli merupakan penyebab utama infeksi saluran kemih

dan memiliki patogenesitas terkait dengan bagian permukaan sel

polisakarida dari lipopolisakarida (LPS). Hanya IG serotipe dari 170

serotipe O / E.coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien infeksi saluran

kemih, strain E.coli ini diduga mempunyai patogenisitas khusus. Fimbrae

pada bakteri digunakan untuk melekat pada permukaan mukosa saluran

kemih. Sifat patogenisitas lain dari E. coli yaitu berhubungan dengan

toksin. Beberapa toksin E. coli diantaranya seperti α-hemolisin, cytotoxic

necrotizing factor-1(CNF-1), dan iron reuptake system (aerobactin

danenterobactin)

Sifat patogenisitas lain dari E. coli yaitu berhubungan dengan toksin.


Beberapa toksin E. coli diantaranya seperti α-hemolisin, cytotoxic
necrotizing factor-1(CNF-1), dan iron reuptake system (aerobactin
danenterobactin). Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh
infeksi asending berupa kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina yang
disebabkan oleh Escherichia coli. Mikroorganisme juga dapat menginvasi
ke kandung kemih. Bakteri yang menyerang saluran kemih disebut dengan
bakteri uropatogen dan dapat berkolonisasi dan atau pada uroepitel untuk
melakukan pengerusakan terhadap epitel saluran kemih.

Bakteri yang menginvasi ke kandung kemih dapat naik ke ginjal


karena adanya refluks vesikoureter dan menyebarkan infeksi dari pelvis ke
korteks karena refluks intrarenal. Refluks vesikoureter adalah keadaan
patologis karena tidak berfungsinya valvula vesikoureter yang didapat baik
secara kongenital ataupun akibat adanya infeksi
44

3.2.5 Faktor Virulensi dan Host


Bakteri uropatogen adalah bakteri yang mempunyai faktor virulensi
spesifik untuk menimbulkan kolonisasi pada uroepitel. Bakteri uropatogen
yang berhasil masuk ke saluran kemih memiki kemampuan untuk
berkembangbiak dalam urin dan mampu melawan aliran urin saat miksi
serta mekanisme pertahanan alamiah lainnya di saluran kemih. Bakteri
dapat menghindar dari pengenalan dan pemusnahan yang dilakukan sel
fagosit, menonaktivasi sistem komplemen dan antibodi sehingga dapat
melakukan pertumbuhan di dalam host.
Infeksi diawali dengan terjadinya perlekatan bakteri pada sel epitel
dilanjutkan dengan penetrasi bakteri ke jaringan, sehingga terjadi inflamasi
dan kerusakan jaringan. Inflamasi yang diakibatkan oleh infeksi
mikroorganisme menimbulakan respon inflamasi melalui aktivasi mediator
kemotaktik yang dilepaskan pada saat mikroorganisme patogen melekat ke
dinding sel uroepitel. Mediator ini akan mengaktivasi leukosit
polimorfonuklear ke tempat infeksi sehingga terjadi respon inflamasi lokal.
Leukosit dalam jumlah banyak berperan dalam melawan infeksi pada
saluran kemih sehingga menyebabkan peningkatan leukosit pada urin
(Leukosituria) atau Piuria.
Piuria dapat terjadi karena infeksi maupun non infeksi. Keadaan non
infeksi yang menyebabkan piuria antara lain batu saluran kemih, tumor
saluran kemih, reaksi obat dan bahan kimia seperti cyclophosphamide.
Piuria dapat pula ditemukan di urin steril pada keadaan klamidiasis,
tuberkulosis, brucellosis, dan pada pasien yang mendapatkan antibiotik
Leukosituria atau Piuria yang merupakan bentuk respon imunologi.
Respon imunologi tubuh terhadap infeksi saluran kemih dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya usia, lokasi infeksi, paparan sebelumnya
terhadap bakteri patogen sejenis dan virulensi bakteri yang menginfeksi

3.2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi, dari tanpa

gejala (asimptomatis) ataupun disertai gejala (simptom) dari yang ringan


45

(panas, uretritis, sistitis) hingga cukup berat (pielonefritis akut, batu

saluran kemih dan bakteremia).

Gejala yang timbul antara lain rasa nyeri pada saluran kemih, rasa

sakit saat buang air kecil atau setelahnya, anyang-anyangan, warna air seni

sangat pekat seperti air teh, nyeri pada bagian pinggang, hematuria

(kencing berdarah), perasaan tertekan pada perut bagian bawah, rasa tidak

nyaman pada bagian panggul serta tidak jarang pula penderita mengalami

panas tubuh. Kasus asimptomatik berhubungan dengan meningkatnya

resiko terjadinya infeksi simptomatik berulang yang dapat menyebabkan

kerusakan ginjal.

Manifestasi klinis infeksi saluran kemih juga bergantung pada

lokalisasi infeksi dan umur penderita. Infeksi saluran kemih atas

pielonefritis yang paling sering dijumpai, ditandai dengan adanya demam,

nyeri perut atau pinggang, mual, muntah, kadang-kadang disertai diare.

Pielonefritis pada neonatus umumnya tidak spesifik berupa mudah

terangsang, tidak nafsu makan dan berat badan yang menurun, pada anak

usia <2 tahun dapat disertai demam.

3.2.7 Pemeriksaan Sedimen Leukosit


Sedimen urin didapatkan dari sampel urin yang disentrifugasi dengan

kecepatan 1500 - 2000 rpm selama 5 menit. Volume sampel yang

direkomendasikan adalah 10 – 12 ml karena volume tersebut adequat dan

represenatif terhadap unsur – unsur sedimen urin sedangkan volume

endapan yang digunakan dalam pembuatan preparat adalah 20 µl dengan


46

cover glass 22 x 22 mm. Pemeriksaan sedimen urin dapat dilakukan

dengan ataupun tanpa pewarnaan. Zat warna yang biasa digunakan adalah

Sternheimer Malbin yang berfungsi untuk memperjelas struktur dan

kontras warna inti dan sitoplasma sel.

Salah satu parameter yang bermakna dalam mendiagosis infeksi

saluran kemih adalah jumlah leukosit dalam sedimen urin. Jumlah leukosit

dalam urin yang melebihi nilai normal disebut dengan leukosituria. Urin

yang disertai dengan pus disebut dengan piuria. Leukosituria atau piuria

dapat dideteksi dan diukur secara mikroskopik dengan cara menghitung

jumlah leukosit pada sampel urin yang disentrifugasi (sedimen urin).

Sedimen urin didapat dari sampel urin yang disentrifugasi dengan

kecepatan 1500 - 2000 rpm selama 5 menit lalu endapan tersebut dibuat

preparat yang diamati secara mikroskopis dalam lapang pandang besar

(LPB).

3.2.8 Pemeriksaan Kultur Urine


Bakteriuria (bakteri dalam urin) dapat diketahui melalui pemeriksaan

bakteriologik secara konvensional dilakukan dengan metode biakan

(kultur) dan dihitung jumlah kuman dalam colony forming unit /mL urin.

Pemeriksaan kultur urin merupakan pemeriksaan gold standard

dalam mendiagnosis infeksi saluran kemih secara akurat. Pemeriksaan

kultur urin membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 3 sampai

dengan 5 hari. Spesimen yang digunakan berupa urin kateter, aspirasi

suprapubik, clean catch. Metode yang digunakan adalah metode dilusi dan
47

metode tanpa pengenceran.

Interpretasi hasil kultur urin secara kuantitatif berdasarkan jumlah

kuman yang tumbuh pada media kultur. Beberapa katagori yang digunakan

dalam menginterpretasikan hasil, yaitu :

a. < 104 CFU per ml, dilaporkan sebagai “kemungkinan tidak ada infeksi

saluran kemih” kecuali jika sampel diambil melalui pungsi suprapubik

aau sitoskopi pada pasien dengan gejala atau disertai leukosituria

dilaporkan hasil

identifikasi dan hasil uji kepekaan.

b. Antara 104 – 105 CFU per ml, jika pasien tanpa disertai dengan gejala

infeksi saluran kemih, ulangi pemeriksaan dengan penngambilan

spesimen kedua.

c. > 105 CFU per ml, hasil dilaporkan berdasarkan jumlah bakteri yang
tumbuh.

Kriteria ini sering digunakan untuk menunjukkan adanya bakteriuria,


yaitu

≥105 CFU/mL, kriteria ini terlihat dari adanya >100 koloni kuman di

media kultur walaupun tidak disertai dengan gejala (Vandepitte,J dkk

2005).

Jumlah koloni <103 koloni/ml urin kemungkinan besar bakteri yang

tumbuh hanya merupakan kontaminasi flora normal dari muara uretra.

Kemungkinan kontaminasi belum dapat disingkirkan dan sebaiknya

dilakukan biakan ulang dengan bahan urin yang baru. Faktor yang dapat
48

mempengaruhi jumlah kuman adalah kondisi hidrasi pasien, frekuensi

berkemih dan pemberian antibiotika sebelumnya.


BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang perempuan berusia 61 tahun datang ke RSUD Raden Mattaher


dengan keluhan badan lemas dan semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Pada
kasus ini, pasien adalah seorang wanita berusia diatas 40 tahun, dimana wanita
dan usia >40 tahun beresiko lebih tinggi terkena diabetes melitus akibat
intoleransi glukosa dan proses penuaan yang akan menurunkan fungsi sel beta
pankreas dalam menghasilkan insulin.

Awalnya pasien merasakan lemas 4 hari SMRS, namun masih dapat


melakukan aktivitas sehari-hari. Kemudian lama kelamaan pasien merasakan
semakin lemas 1 hari SMRS sehingga tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari
seperti biasanya. Pasien juga mengeluhkan demam, mual, dan sakit kepala.

±1 minggu SMRS Os mengeluh lemas disertai demam, sakit kepala, mual


tetapi tidak muntah, sering buang air kecil di malam hari dalam 30 menit
frekuensi BAK bisa sampai 3x dengan warna kuning seperti air teh, sering merasa
lapar, dan menurut suami os, os mengalami penurunan berat badan, dan mengeluh
sering kesemutan di telapak tangan dan kaki yang bersifat hilang timbul. Os juga
mengeluhkan nyeri saat berkemih.

±3 tahun SMRS pasien pernah berobat ke puskesmas untuk cek penyakit


hipertensi dan gula darah untuk pertama kalinya. Kemudian didapatkan hasil GDS
210 mg/dl dan diulangi pemeriksaan GDS kembali 2 hari kemudian didapatkan
hasil GDS 210 mg/dl. Kemudian pasien diberi obat oleh puskesmas untuk
menurunkan gula darah metformin dan captopril. Sejak saat itu pasien rutin ke
puskesmas untuk mengambil obat, akan tetapi tidak dikonsumsi secara teratur,
pasien hanya meminum obat jika badan terasa lemas dan pusing.

Pasien berhenti mengonsumsi obat karena merasa tubuhnya sudah mulai


membaik. Dari keluhan yang dialami os, keluhan klasik DM yang dialami oleh
pasien diantaranya adalah poliuria, polidipsia, polifagia, parestesia dan penurunan
berat badan, selain itu terdapat keluhan lain seperti badan lemah dan mata kabur
yang mengarahkan pada gelaja klinis diabetes melitus tipe 2.
Peningkatan kadar gula darah akibat hormon insulin yang tidak cukup
(misalnya pada diabetes tipe 1) atau karena kerja insulin yang tidak baik
(misalnya pada diabetes tipe 2) mengakibatkan sel-sel tubuh tidak mendapatkan

49
50

cukup zat gula yang digunakan untuk menghasilkan energi, akibatknya orang
tersebut akan merasa lemas atau lemah. Proses perubahan glukosa menjadi energi
ini melibatkan proses metabolisme karbohidrat. Ketika seseorang mengalami
kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia), terutama pada orang yang sudah
tua, ia akan mengalami dehidrasi. Hal ini terjadi akibat sifat glukosa yang menarik
air dan meningkatkan frekuensi buang air kecil. Hal inilah yang juga
mengakibatkan orang yang mengalami hiperglikemi cenderung merasakan
keluhan lemas atau lemah badan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien dalam keadaan compos mentis


tampak sakit sedang, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 100x/menit, suhu 36,5°C,
respirasi 25x/menit, kulit bewarna sawo matang, terdapat konjungtiva anemis.
Pemeriksaan lain dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan jumlah leukosit,
penurunan hemoglobin dan hematokrit. Diabetes melitus tidak berhubungan
langsung dengan kejadian anemia. Namun, keadaan diabetes melitus dapat
merusak pembuluh darah pada tubuh, dalam jangka waktu yang lama jika tidak
dikontrol akan menyebabkan terjadinya anemia. Selain itu, diabetes melitus juga
memicu inflamasi kronis, mengakibatkan peningkatan sitokin proinflamasi seperti
IL-6, IL-8 yang kemudian akan memacu produksi sel darah putih yang
menyebabkan terjadinya kondisi leukositosis.
Pemeriksaan kimia darah didapatkan gula darah sewaktu meningkat. Dari
pemeriksaan urin rutin ditemukan proteinuria. Dalam kondisi normal, gula darah
diserap kembali oleh ginjal dari cairan apa pun yang melintasi organ tersebut ke
dalam pembuluh darah. Tetapi apabila terdapat glukosa urine, disebabkan karena
ginjal tidak dapat menyerap cukup banyak gula darah dari urine sebelum
dikeluarkan dari tubuh. Kadar glukosa normal dalam pemeriksaan urine berkisar
antara 0 – 15 mg/dl. Pada DM Tipe II, reseptor insulin tubuh tidak bekerja dengan
baik, sehingga gula darah tidak dapat masuk ke sel-sel tubuh secara efektif.
Akibatnya, terjadi kelebihan gula darah. Situasi inilah yang membuat gula darah
masuk ke urine yang disebut dengan glukosuria. Para penderita yang mengalami
glukosaria dengan kadar glukosa yang tinggi akan menyebabkan peningkatan
berat jenis urin. Bila kadar glukosa darah tinggi selama bertahun-tahun maka akan
51

menyebabkan protein dalam urin atau disebut proteinuria. Proteinuria pada


diabetes biasanya hasil dari hiperglikemia. Sebagian besar energi yang digunakan
tubuh berasal dari glukosa. Glukosa biasanya berasal dari karbohidrat yang di
makan atau dari gula yang disimpan. Selain itu, pada pasien juga terjadi
penurunan laju filtrasi ginjal (stage 3), penurunan fungsi ginjal berpengaruh
terhadap proses penyaringan zat-zat yang akan dikeluarkan melalui urine, salah
satunya protein. Kondisi adanya protein dalam urin ini yang disebut dengan
proteinuria. Untuk IMT pada pasien ini didapatkan 21,8 (Normoweight)
Diagnosis primer pada pasien ini adalah DM tipe II tidak terkontrol + ISK
Dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mendukung untuk
ditegakkannya DM tipe 2. Serta riwayat tidak teratur kontrol minum obat. Untuk
ISK ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium terdapat bakteri di dalam urin dan
berdasarkan pemeriksaan fisik terdapat nyeri di bagian suprapubik dan
berdasarkan anamnesis terdapat keluhan nyeri saat berkemih.
Diagnosis sekunder pada pasien ini adalah anemia penyakit kronik,
hipertensi derajat II dan elektrolit imbalance (hiponatremia, hipoklorida).
Berdasarkan keluhan berupa lemas, lesu dan dari pemeriksaan lab dimana
hemoglobin nya dibawah normal sedangkan MCV dan MCH menurun. Anemia
normositik normokromik ditegakkan berdasarkan keluhan berupa lemas, lesu dan
dari pemeriksaan lab dimana hemoglobin nya dibawah normal.
Elektrolit imbalance ditegakkan berdasarkan pemeriksaan pemunjang
(pemeriksaan elektrolit) yang dimana didapatkan hyponatremia, dan hipoklorida.
Diagnosis banding pada kasus ini adalah Ketoasidosis diabetikum pada
pasien didapatkan hasil pemeriksaan berupa hiperglikemia. Perlu pemeriksaan
Analisa gas darah untuk mengetahui pH darah dan menegakan diagnosis KAD.
Dan untuk DM nefropati yaitu didapatkan protein dalam urin (proteinuria)
beberapa faktor etiologis timbulnya ND adalah kurang terkendalinya kadar gula
darah (gula darah puasa > 140–160 mg/dl); faktor genetis; kelainan hemodinamik
(peningkatan aliran darah ginjal dan LFG, peningkatan tekanan intraglomerulus);
hipertensi sistemik;
52

Pemeriksaan yang dianjurkan untuk pasien ini:

- Pemeriksaan darah rutin post koreksi


- Pemeriksaan GDN, GDS, GD2PP
- Profil Lipid : Trigliserida, HDL, dan LDL
- Analisa gas darah
- Evaluasi fungsi ginjal
- Kultur Urin
- Pemeriksaan urin rutin post koreksi
- Foto polos thoraks
- HbA1c

Pemeriksaan penunjang kadar glukosa darah bertujuan untuk mengetahui


apakah sasaran terapi telah tercapai dan melakukan penyesuaian dosis obat, bila
belum tercapai sasaran terapi. Waktu pelaksanaan glukosa darah pada saat puasa,
1 atau 2 jam setelah makan, atau secara acak berkala sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan analisa gas darah bertujuan melihat pH darah untuk memastikan
apakah telah terjadi KAD. Evaluasi elektrolit diperlukan untuk memantau
ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien. Evaluasi fungsi ginjal juga
untuk memantau kadar ureum dan kreatinin yang meningkat. Diperlukan
pemeriksaan profil lipid, yang berguna untuk menapiskan kompikasi pada pasien.
Pemeriksaan kultur urin bertujuan untuk mengetahui bakteri penyebab infeksi
sehinga dapat menentukan antibiotik yang cocok untuk infeksi tersebut. HbA1C
juga diperlukan untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi, HbA1c
diperiksa setiap 3 bulan. Pada pasien yang telah mencapai sasran terapi disertai
kendali glikemik yang stabil HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1
tahun. Pemeriksaan HbA1c merupakan indeks kontrol glikemik jangka
panjang (2 – 3 bulan).

Tatalaksana pada kasus ini berupa non farmakologi dan farmakologi.


Adapun tatalaksana non farmakologi berupa:
 Istirahat yang cukup
 Pantau TTV dan ;KU
 Diet DM II 1350 kalori
53

o Karbohidrat: 840 kalori


o Lemak : 280 kalori
o Protein : 140 kalori
o Natrium : < 1500 mg/hari
o Serat : 20-35 gram/hari
 Pantau kadar gula darah pasien
 Edukasi pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit DM,
pengendalian dan pemantauan DM, penyulit dan faktor resikonya, intervensi
non farmakologi dan farmakologi serta target pengobatan, pemantauan
glukosa darah, pentingnya latihan jasmani yang teratur.

Terapi nutrisi pada pasien ini disesuaikan dengan IMT dan Berat Badan Ideal
pasien serta diet khusus pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Terapi nutrisi
medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM secara
komprehensif. Untuk karbohidrat yang dianjurkan sebesar 60 - 70% total
asupan energi. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan
kalori, dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energy.
Untuk farmakologi berupa :
• IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
• Injeksi Subkutan insulin aspart 3x5 iu
• Injeksi Subkutan insulin glargine 1x 10 iu
• Amlodipin 1 x 5 mg

• Inj Ceftriaxon iv 1 x 2g
• Paracetamol 3 x 1 500 mg

IVFD NACL 0,9% 20 tpm diberikan untuk rehidrasi cairan pada pasien,
Ceftriaxone adalah golongan antibiotik sefalosforin yang dapat digunakan
untuk mengobati beberapa kondisi akibat infeksi bakteri. Cefalosporin
termasuk golongan antibiotik time dependen, yaitu lamanya antibiotik
terdapat dalam darah dalam kadar diatas KHM (Kadar Hambat Minimal) sangat
54

penting untuk memperkirakan outcome klinik ataupun kesembuhan. Dalam hal


ini injeksi ceftriaxone diberikan untuk mencegah infeksi lebih lanjut pada
ISK pasien. Paracetamol (anti inflamasi) diberikan untuk menurunkan
demam pada pasien. Amlodipin antihipertensi diberikan untuk
menurunkan tekananan darah pasien. Injeksi subkutan insulin aspart 3x5 unit
didasarkan pada perhitungan pemberian insulin prandial berdasarkan berat
badan, serta diberikan injeksi subkutan insulin glargine 1x10 unit berupa
insulin basal yang juga didasarkan berdasarkan BB. Berikut perhitungan
insulin yang diberikan pada pasien ini:

Total insulin:
0,5x56kg = 28 unit

insulin prandial (short


insulin basal (long acting):
acting):
40%x28=11unit
60%x28 = 17 unit

sarapan: Makan Siang Makan Malam


1/3 dosis : 1/3 dosis : 1/3 dosis
insulin = 6 unit insulin = 6 unit insulin = 6 unit

Prognosis pada pasien ini:


Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : ad malam

Quo ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses


kehidupan. Quo Ad functionam, menunjuk pada
pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi manusia dalam
melakukan tugasnya. Quo Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang
dapat sembuh total sehingga dapat beraktivitas seperti biasa. Dalam hal ini
55

prognosis quo ad vitam pada pasien ini adalah Dubia ad bonam karena pasien
masih dapat melanjutkan proses kehidupan. Sedangkan untuk Quo Ad
functionam adalah dubia ad malam karena penyakit pasien sudah
mempengaruhi fungsi organ dan tubuhnya dalam melakukan tugasnya
(terganggu), dan Quo Ad sanationam adalah ad malam karena penyakit
yang dialami pasien tidak dapat sembuh total sehingga tidak dapat
beraktifitas kembali seperti semula.
BAB V
KESIMPULAN
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Diabetes tipe 2 disebabkan oleh penggunaan insulin yang
tidak efektif oleh tubuh. Jenis diabetes ini sebagian besar disebabkan oleh
kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas fisik. Saat ini, diabetes tipe 2
paling sering terlihat pada orang dewasa yang lebih tua, tetapi semakin sering
terlihat pada anak-anak dan orang dewasa muda karena meningkatnya obesitas
dan kurangnya aktivitas fisik. Kejadian DM Tipe 2 ini lebih banyak terjadi pada
wanita sebab wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih
besar. Gejala yang dikeluhkan pada penderita diabetes melitus yaitu polidipsia,
poliuria, polifagia, penurunan berat badan, dan kesemutan. Diabetes Melitus Tipe
2 yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang khas dengan hasil pemeriksaan
glukosa darah sewaktu >200 mg/dl.
Untuk menurunkan kejadian dan keparahan dari Diabetes Melitus maka
dilakukan pencegahan seperti modifikasi gaya hidup dan pengobatan seperti obat
oral hiperglikemik dan insulin. Perlu peran serta dokter, perawat, ahli gizi,
dan tenaga kesehatan lain dalam pengelolaan penyakit Diabetes Melitus.
Pada strategi pelayanan kesehatan bagi penyandang DM, peran dokter
umum menjadi sangat penting sebagai ujung tombak di pelayanan
kesehatan primer.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Tim Penyusun Buku Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


Melitus Tipe 2 di Indonesia. Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa Di Indonesia 2019. PB Perkeni; 2019.
2. Internation Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas Ninth.; 2019.
3. Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan. Hasil
Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehat Republik Indones.
2018.
4. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadbrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Diabetes Mellitus. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2014.
5. Who.int. Diabetes. www.who.int. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/diabetes. Published 2020. Accessed March 24, 2021.
6. Goyal R, Jialal I. Diabetes Mellitus Tipe 2. StatPearls; 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513253/#article-36052.s3.
7. Goyal R, Jialal I. Diabetes Mellitus Type 2.; 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513253/.
8. Decroli E. Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Pusat Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas; 2019.
9. I I, Momodu, Savaliya V. Osteomyelitis. StatPearls Publishing LLC; 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532250/#article-26397.s5.
10. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes
2017. Vol. 40. USA : ADA. 2017.
11. Zamri, Aywar. Diagnosis dan Penatalaksanaan Hyperosmolar Hyperglicemic
State (HHS). JMJ: Vol 7 (2); 2019.
12. Semarawima, Gede. Status Hiperosmolar Hiperglikemik. Medicina: Vol 48
(1); 2017.
13. Wahyuningsih, Atik Setiawan dkk. Hubungan Kadar Gula Darah Dengan
Insominia Pada Penderita Diabetes Mellitus. The Indonesian Journal Of Healt
Science, Vol. 7 (1); 2016.

57
58

14. Idrus Alwi, dkk. Penatalaksanaan di bidang ilmu penyakit dalam: Panduan
praktis klinis. Jakarta: Interna Publishing. 2019.
15. Sudoyo AW., Setiuohadi B., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II
edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014.
16. PERKENI. Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2
dewasa di Indonesia 2019. 2019.
17. Schwartz, S. S., Epstein, S., Corkey, B. E., Grant, S. F. A., Gavin, J. R., &
Aguilar, R. B. The Time Is Right for a New Classification System for
Diabetes: Rationale and Implications of the β-Cell–Centric Classification
Schema. Diabetes Care, 39(2). 2016.
18. Haneda M, Noda M. Japanese Clinical Practice Guideline for Diabetes 2016.
J Diabetes Investig; 2018.
19. Powers Alvin. Diabetes Mellitus. In: Longo DL, Kasper DL. 18th edition
Harrison’s Principles of Internal Medicine volume 2. McGraw-Hill, Inc. 2012
20. PAPDI. Kegawatdaruratan penyakit dalam buku I EIMED dasar. 2016
21. Waspadji S. Kaki Diabetik : Pengenalan dan Penanganan. Dalam : Noer, dkk,
editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi keenam, Penerbit FK UI, Jakarta,
2015.
22. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Aspek Klinik dan Epidemiologi. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga University Presss, Surabaya, 2015.
23. Sjamsuhijadat R, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah, Vol 1-3. Edisi 4. Jakarta: EGC.
2017
24. Powers Alvin, Niswender Kevin, Evans Carmella. Diabetes Mellitus:
Diagnosis, classification, and pathophysiology. In: Jameson JL, Kasper DL.
20th edition Harrison’s principles of internal medicine. McGraw-Hill
Education. 2018.

Anda mungkin juga menyukai