Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus

HIPERGLIKEMIA ET CAUSA DIABETES MELITUS TIPE 1

M.Adli Zidan Oktavian, S.Ked


712022053

Pembimbing:
dr. Edi Saputra, Sp. PD., FINASM., MARS

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus berjudul


HIPERGLIKEMIA ET CAUSA DIABETES MELITUS TIPE 1

Dipersiapkan dan disusun oleh


M. Adli Zidan Oktavian, S.Ked
712022053

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepani
teraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di De
partemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI.

Palembang, September 2023


Dosen Pembimbing

dr. Edi Saputra, Sp.PD., FINASM., MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah swt, Yang Maha Esa dengan segala keindahan-Nya, z
at Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang terlepas dari segala sifat
lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Hiperglikemia Et Causa Diabetes Melitus Tipe 1” sebagai
salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokt
eran Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rum
ah Sakit Umum Daerah Palembang BARI.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Edi
Saputra, Sp.PD., FINASM., MARS selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis meny
adari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu hany
a milik Allah. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membang
un sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Palembang, September 2023

Penulis

DAFTAR ISI

iii
HALAMANPENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................... 1
BAB II. LAPORAN KASUS.................................................................................4
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 16
BAB IV. ANALISA KASUS .............................................................................. 33
BAB V. KESIMPULAN ..................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 38

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Melitus (DM) sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum masehi.
Pada 200 tahun sebelum masehi, Aretaeus menyebutnya sebagai penyakit aneh dan
menamai penyaki tersebut dengan diabetes dari kata diabere yang berarti siphon
atau tabung untuk mengalirkan cairan dari satu tempat ketempat lain. Dia
menggambarkan penyakit itu sebagai melelehnya daging dan tungkai kedalam
urine. Tahun 1674 Willis melukiskan urin tadi seperti digelimangi madu dan gula.
Oleh karena itu, sejak itu nama penyakit tersebut ditambah dengan kata mellitus
yang berarti madu atau manis. Kemudian pada tahun 1921 ditemukan insulin oleh
seorang ahli bedah muda Frederick Grant Banting dan Charles Herbert Best yang
mulai mengubah dunia dalam penanganan penyakit diabetes mellitus.1
Diabetes Mellitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. DM dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga
pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih
banyak, buang air kecil ataupun berat badan yang menurun. Gejala-gejala tersebut
dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi
kedokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya.2
Klasifikasi utama DM adalah DM tipe 1 dan DM tipe 2. Diabetes melitus tipe 1
biasanya terjadi pada anak-anak (<40 tahun) dan meliputi 5% dari seluruh kasus
sedangkan DM tipe 2 biasanya terjadi pada usia paruh baya (>40 tahun) dan
meliputi 95% dari seluruh kasus.1 DM tipe 1 adalah kelainan sistemik akibat
gangguan metabolisme glukosa yang ditandai dengan hiperglikemia kronis.
Keadaan tersebut disebabkan kerusakan sel beta pankreas baik oleh proses
autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti.4
Di seluruh penjuru dunia jumlah penyandang Diabetes mellitus terus
mengalami peningkatan. Demikian pula jumlah penyandang DM tipe 1 terus
meningkat. Di Amerika Serikat pada tahun 2007 dilaporkan terdapat 186 300 anak

PAGE \* MERGEFORMAT 1
usia kurang dari 20 tahun yang menyandang DM tipe 1 atau tipe 2. Angka tersebut
sama dengan 0,2% penduduk Amerika pada kelompok umur tersebut. Di Finlandia,
tidak sulit menemukan DM tipe 1 karena angka kejadiannya dilaporkan paling
tinggi di dunia, sedangkan Jepang memiliki angka paling rendah. Di Indonesia
jumlah pasti penyandang DM tipe 1 belum diketahui meskipun angkanya
dilaporkan meningkat cukup tajam akhir-akhir ini. Sebagai gambaran saja, jumlah
anak DM tipe 1 dalam Ikatan Keluarga Penderita DM Anak dan Remaja
(IKADAR) jumlahnya sudah mencapai 400-an orang. Karena belum banyaknya
jumlah DM pada anak yang ditemukan di Indonesia, maka orang tua dan dokter
sering tak waspada dengan penyakit tersebut. Banyak orang tua bahkan tidak
percaya anaknya menyandang DM dan baru menyadari saat sakitnya sudah cukup
berat.
Dalam perjalanan penyakit DM dapat menimbulkan bermacam-macam
komplikasi yaitu komplikasi jangka pendek dan jangka panjang. Komplikasi jangka
pendek antara lain hipoglikemi dan ketoasidosis. Ketoasidosis diabetik (KAD)
dapat dijumpai pada saat diagnosis pertama DM tipe 1 atau pasien lama akibat
pemakaian insulin yang salah. Risiko terjadinya KAD meningkat antara lain pada
anak dengan kontrol metabolik yang jelek, riwayat KAD sebelumnya, masa remaja,
pada anak dengan gangguan makan, keadaan sosio-ekonomi kurang, dan tidak
adanya asuransi kesehatan. Komplikasi jangka panjang terjadi akibat perubahan
mikrovaskular berupa retinopati, nefropati, dan neuropati. Retinopati merupakan
komplikasi yang sering didapatkan, lebih sering dijumpai pada pasien DM tipe 1
yang telah menderita lebih dari 8 tahun.5

1.1. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap kasus
Hiperglikemi Et Causa Diabetes Melitus Tipe 1.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi laporan
Hiperglikemi Et Causa Diabetes Melitus Tipe 1.

2
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Hiperglikemi Et Causa Diabetes
Melitus Tipe 1.

1.2. Manfaat
1.2.1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
tentang laporan kasus ini.

1.2.2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada pasien.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
No. RM : 69.80.86
Nama lengkap : Tn. Y
Umur : 04 Oktober 1999/ 23 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Dusun III Pulau Gematung RT 007
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 23 September 2023
Tanggal Pemeriksaan : 24 September 2023
Dokter Pemeriksa : dr. Edi Saputra, Sp. PD., FINASM., MARS
Ruangan : Bangsal PDL Laki-laki (Non-Infeksi)

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Badan terasa lemas yang memberat sejak 1 hari SMRS.

Keluhan Tambahan:
Sering BAK >10 kali sehari, merasa haus sepanjang hari, pusing, nyeri ulu hati,
mual dan muntah.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Pasien datang ke IGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan badan
yang terasa lemas dan terasa semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Tidak ada
kelemahan sesisi tubuh atau anggota gerak dan masih dapat melakukan aktivitas
ringan. Pasien mengatakan mengalami penurunan nafsu makan sejak 7 hari
SMRS.
Pasien juga mengeluhkan sering mengalami BAK saat malam hari.
Frekuensi BAK > 10x sehari dan merasa terus haus sepanjang hari. Pasien juga

4
mengeluh kepala terasa pusing , nyeri perut di ulu hati, mual, muntah berisi
makanan yang dimakan sebanyak 3 kali. Pasien juga mengatakan akhir-akhir ini
mengalami penurunan berat badan yang srastis sebanyak 10 kg. BAB normal,
tidak mengalami diare. Keluhan berupa pengelihatan kabur dan kesemutan
disangkal.
Tiga hari SMRS, pasien merasa demam, tetapi tidak terlalu tinggi,
demam tidak disertai menggigil. Keluhan batuk, pilek, sesak nafas, nyeri saat
menelan disangkal. Pasien merasa semakin lemas dan tidak nafsu makan.
Tiga bulan SMRS, pasien merasakan keluhan badan lemas secara tiba-
tiba dan nafsu makan semakin menurun. Keluhan juga disertai dengan mudah
terasa lapar sehingga os sering menkonsumsi makan-makanan ringan. Pasien juga
mengeluh sering merasa haus sepanjang hari dan sering terbangun saat malam hari
karena ingin BAK. Kemudian pasien dibawa ke RS Adinda di Tangerang untuk
diperiksa, dan didapatkan hasil glukosa darah sangat tinggi. Selama perawatan
pasien didiagnosa mengalami Diabates Melitus Tipe 1.
Sebelum sakit, pasien mengatakan sering mengkonsumsi makanan yang
manis setiap hari. Pasien juga mengkonsumsi kopi yang terasa manis sebanyak 4
kali sehari. Pasien sampai saat ini masih merokok dengan frekuensi 1 bungkus per
hari. Pasien juga mengkonsumsi alkohol sebanyak 1 kali tiap minggu.

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit hipertensi : Disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus : Ada
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat penyakit paru : Disangkal
Riwayat penyakit lambung : Disangkal
Riwayat penyakit asma : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat penyakit tiroid : Disangkal

5
2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit lambung : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal

2.5 Riwayat Kebiasaan


Pasien mengatakan sering mengkonsumsi makanan yang manis setiap
hari. Pasien juga mengkonsumsi kopi yang terasa manis sebanyak 4 kali sehari.
Pasien sampai saat ini masih merokok dengan frekuensi 1 bungkus per hari.
Pasien juga mengkonsumsi alkohol sebanyak 1 kali tiap minggu.

2.6 Pemeriksaan fisik


Dilakukan pada tanggal 24 September 2023
Keadaan Umum:
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 75x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 18x/ menit, tipe thorakoabdominal
- Temperature : 36,7oC
- Berat Badan : 50 kg
- Tinggi Badan : 172 cm

Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk kepala : Normocepali
- Rambut : Tidak rontok, tidak mudah dicabut
- Muka : Simetris

6
2. Pemeriksaan Mata:
- Exoftalmus : Tidak ada
- Endoftalmus : Tidak ada
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Refleks cahaya (+/+), (3mm/3mm), isokor
- Visus : Tidak dinilai
- Gerakan : Baik ke segala arah, dengan jarak 6 meter
- Lapang Pandang : Luas

3. Pemeriksaan Telinga :
- Liang telinga :Normal
- Serumen : (-/-)
- Sekret : (-/-)
- Nyeri tekan : (-/-)
- Gangguan pendengaran : (-)

4. Pemeriksaan Hidung :
- Deformitas : (-)
- Nafas cuping hidung : (-)
- Sekret : (-)
- Epistaksis : (-)
- Mukosa hiperemis : (-)
- Septum deviasi : (-)

5. Pemeriksaan Mulut danTengorokan:


- Mulut mengot : (-)
- Bibir : sianosis (-), pucat (-)
- Gigi-Geligi : Karies (+)
- Gusi : hiperemis (-)

7
- Lidah : kotor (-), atrofi papil (-)
- Tonsil : T1-T1 Tenang
- Faring : hiperemis (-)

6. Pemeriksaan Leher :
- Inspeksi : tidak terlihat pulsasi vena jugularis, tidak terlihat
benjolan, lesi pada kulit (-)
- Palpasi : Pembesaran Tiroid (-), Pembesaran KGB (-)
- JVP : 5-2 cm H2O

7. Pemeriksaan Kulit :
- Hiperpigmentasi : (-)
- Ikterik : (-)
- Petikhie : (-)
- Sianosis : (-)
- Pucat pada telapak tangan dan kaki : (-)
- Kulit : Biasa
- Turgor : CRT < 2 detik

8. Pemeriksaan Thorax:
Paru-Paru Depan
Inspeksi : Simetris dan dinamis, Spider nevi (-), Sela iga melebar (-),
retraksi intercostae (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Paru-Paru Belakang
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan tidak sama dengan sisi kiri
Perkusi : Sonor pada lapang paru kanan dan redup pada lapang paru kiri

8
Auskultasi : Vesikuler (+/-) menghilang sebelah kiri, ronkhi basah sedang
(-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Atas : ICS II linea parasternalis dextra et sinistra
- Kanan Bawah : ICS IV linea parasternalis dextra
- Kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, reguler, Murmur (-),
Gallop (-)

9. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusa (-), spider nevi (-),
benjolan (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba,
massa (-), ballotement (-), nyeri tekan suprapubik (-), ketok CVA
(-)
Perkusi : Tympani (+), undulasi (-), shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat

10. Pemeriksaan Genitalia:


Tidak diperiksa

9
11.Ekstremitas:
Lengan Kiri Kanan
- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi

Tangan Kiri Kanan


- Warna telapak Merah muda Merah muda
- Kuku Normal Normal
- Kelainan jari Normal Normal
- Edema - -

Tungkai dan kaki Kiri Kanan


- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi
- Edema - -

Reflek Fisiologis Kiri Kanan


- Biceps Normal Normal
- Triceps Normal Normal
- Patella Normal Normal
- Achilles Normal Normal

Reflek Patologis Kiri Kanan


- Babynski Negatif Negatif
- Oppenheim Negatif Negatif
- Gordon Negatif Negatif
- Schaeffer Negatif Negatif
- Rossolimo Negatif Negatif

10
2.7 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan EKG

Interpretasi :
Sinus rythm
Irama reguler
HR 75 x/menit
Normoaxis
Gel p normal
Kesan : EKG normal

 Pemeriksaan Rontgen Thorax (Tanggal 24 April 2023)

11
Pada pemeriksaan foto Rontgen didapatkan :
 CTR < 50%, cor tidak membesar
 Corakan bronkovaskular normal
 Tidak tampak infiltrate
 Diafragma kanan dan kiri licin
 Sinus konstofrenikus kanan dan kiri lancip
 Tulang-tulang intak
 Soft tissue baik

Kesan :
Radiologis tak tampak kelainan pada thorax

12
 Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hematologi
Hemoglobin 16,7 g/dl 14,0 - 16,0 g/dl Meningkat
Eritrosit 5,83 juta/ul 4.5-5.5 juta/ul Meningkat
Hematokrit 47 % 40-52% Normal
Trombosit 181 103/ul 150-400 103/ul Normal
Leukosit 7,7 103/ul 5-10 103/ul Normal
Hitung Jenis
Eosinophil 1% 1-3% Normal
Basophil 0% 0-1% Normal
Neutrophil 3% 2-6 % Normal
batang
Neutrophil 50% 50-70% Normal
segmen
Limfosit 42 % 20-40% Normal
Monosit 4% 2-8% Normal
Kimia Klinik
SGOT/AST 18 IU/L Normal
SGPT/ALT 19 IU/L Normal
Ureum 23 mg/dl 20-40 mg/dl Normal
Kreatinin 1,13 mg/dl 0,9-1,3 mg/dl Normal
Glucosa Darah 460 mg/dl <180 mg/dl Meningkat
Sewaktu
HbA1c 7,67% <6,0 % Meningkat
Elektrolit
Natrium 136 mmol/L 135-155 mmol/L Normal
Kalium 3,87 mmol/L 3,5-5,5 mmol/L Normal

2.8 Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan badan
yang terasa lemas dan terasa semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Tidak ada
kelemahan sesisi tubuh atau anggota gerak dan masih dapat melakukan aktivitas

13
ringan. Pasien mengatakan mengalami penurunan nafsu makan sejak 7 hari
SMRS.
Pasien juga mengeluhkan sering mengalami BAK saat malam hari.
Frekuensi BAK > 10x sehari dan merasa terus haus sepanjang hari. Pasien juga
mengatakan akhir-akhir ini mengalami penurunan berat badan yang srastis
sebanyak 10 kg. BAB normal, tidak mengalami diare.
Tiga bulan SMRS, pasien merasakan keluhan badan lemas secara tiba-
tiba dan nafsu makan semakin menurun. Pasien juga mengeluh sering merasa haus
sepanjang hari dan sering terbangun saat malam hari karena ingin BAK.
Kemudian pasien dibawa ke RS Adinda di Tangerang untuk diperiksa, dan
didapatkan hasil glukosa darah sangat tinggi. Selama perawatan pasien didiagnosa
mengalami Diabates Melitus Tipe 1.

2.10 Diagnosis Kerja


Hiperglikemia Et Causa Diabetes Melitus Tipe 1

2.11 Diagnosis Banding


1. Hiperglikemia Et Causa Diabetes Melitus Tipe 2
2. Hiperglikemia Et Causa KAD
3. HONK

2.13 Penatalaksanaan
a. Non Farmakologis
 Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
 Tirah baring

b. Farmakologis
- IVFD Nacl 0,9% gtt 20x/m

14
- Mecobalamin 3x500 mg
- Inj. Levemir 1x12 IU
- Inj. Novorapid
- KSR 2x1 tab
- Drip 50 unit novorapid

2.14 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
- Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

2.15 Follow Up

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning


24 Badan terasa KU: Tampak sakit sed Hiperglikemia Et Non Farmakologi
Septembe lemas yang ang Causa Diabetes - Edukasi mengenai penyakit
r 2023 memberat Sens: Compos mentis Melitus Tipe 1 (definisi, penyebab,

sejak 1 hari TD: 120/80 mmHg manifestasi klinis,


N:75x/menit, regular, i tatalaksana, dan prognosis)
SMRS.
si dan tegangan cukup yang dialami pasien kepada
RR: 18 x/menit pasien dan keluarga.
T: 36,7ºC - Tirah baring

Farmakologi:
- IVFD Nacl 0,9% gtt 20x/m
- Mecobalamin 3x500 mg
- Inj. Levemir 1x12 IU
- Inj. Novorapid
- KSR 2x1 tab
- Drip 50 unit novorapid

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan
berbagai macam etiologi, disertai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat
gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau keduanya.
Sedangkan DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini
diakibatkan oleh kerusakan sel-β pankreas baik oleh proses autoimun maupun
idioptaik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti.4,6

3.2 Epidemiologi
Angka kejadian diabetes mellitus tipe 1 di USA adalah sekitar 1 da

ri 1.500 anak (pada anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari 350 anak (pa

da usia 18 tahun). Puncak kejadian diabetes mellitus tipe 1 adalah pa

da usia 5-7 tahun serta pada masa awal pubertas seorang anak. Kejad

ian pada laki dan perempuan sama. Insiden tertinggi diabetes mellit

us tipe 1 terjadi Finlandia, Denmark serta Swedia yaitu sekitar 30 kas

us baru setiap tahun dari setiap 100.000 penduduk. Insiden di Amerik

a Serikat adalah 12-15/100.000 penduduk/tahun, di Afrika 5 / 100.000

penduduk/tahun, di Asia TImur kurang dari 2 / 100.000 penduduk/tah

un.7

Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dar

i data nasional untuk penyakit DM tipe 1 dari UKK Endokrinolog, terja

di peningkatan dari jumlah sekitar 580-an pasien pada tahun 2011. Sa

ngat dimungkinkan angkanya lebih tinggi apabila kita merujuk pada

PAGE \* MERGEFORMAT 19
kemungkinan DM yang meninggal tanpa terdiagnosis sebagai ketoasi

dosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe 1 yang dilapo

rkan.7

3.3 Etiologi
Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas karena papara
n agen infeksi atau lingkungan, yaitu racun, virus, dan makanan.
1. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen
HLA (human leucosite antigen). HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung
jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya.
2. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing, yaitu autoantibodi terhadap
sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
3. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu (rubella kongenital, mumps, coxsackievirus dan
cytomegalovirus) dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel
beta.

Beberapa teori ilmiah yang menjelaskan penyebab diabetes mellitus tipe 1 seba
gai berikut:
1. Hipotesis sinar matahari
Teori hipotesis sinar matahari menyatakan bahwa waktu yang lama dihabiskan
dalam ruangan, dimana akan mengurangi paparan sinar matahari kepada anak-anak,
yang akan mengakibatkan berkurangnya kadar vitamin D. Bukti menyebutkan
bahwa vitamin D memainkan peran integral dalam sensitivitas dan sekresi insulin.
Berkurangnya kadar vitamin D, dan jarang terpapar dengan sinar matahari, dimana
masing-masing telah dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes mellitus tipe 1.8

17
2. Hipotesis higiene "Hipotesis kebersihan"
Teori ini menyatakan bahwa kurangnya paparan dengan prevalensi patogen,
dimana kita menjaga anak-anak kita terlalu bersih, dapat menyebabkan
hipersensitivitas autoimun, yaitu kehancuran sel beta yang memproduksi insulin di
dalam tubuh oleh leukosit. Dalam penelitian lain, peneliti telah menemukan bahwa
lebih banyak eksposur untuk mikroba dan virus kepada anak-anak, semakin kecil
kemungkinan mereka menderita penyakit reaksi hipersensitif seperti alergi.
Penelitian yang berkelanjutan menunjukkan bahwa "pelatihan" dari sistem
kekebalan tubuh mungkin berlaku untuk pencegahan tipe 1 diabetes.2,7
3. Hipotesis Susu Sapi
Teori ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap susu sapi dalam susu formula
pada 6 bulan pertama pada bayi dapat menyebabkan kekacauan pada sistem
kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko untuk mengembangkan diabetes mellitus
tipe 1 di kemudian hari. Dimana protein susu sapi hampir identik dengan protein
pada permukaan sel beta pankreas yang memproduksi insulin, sehingga mereka
yang rentan dan peka terhadap susu sapi maka akan direspon oleh leukosit, dan
selanjutnya akan menyerang sel sendiri yang menyebabkan kerusakan sel beta
pankreas sehingga terjadi dibetes mellitus tipe 1.5,7

3.4 Patofisiologi
DM tipe 1 disebut juga sebagai insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM)
atau juvenile diabetes. Dalam kasus ini diperlukan insulin pengganti untuk menjaga
kadar gula darah normal. Kasus ini bisa terjadi pada usia berapa saja namun paling
sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda dengan puncak insiden sebelum
usia sekolah dan pubertas. DM tipe 1 paling sering dimediasi oleh proses autoimun
(± 90% kasus), atau oleh penyebab idiopatik (± 10% kasus) yang menyebabkan
destruksi sel-sel beta pankreas. Kecepatan destruksi sel beta tersebut bervariasi
pada masing-masing penderita. Penderita DM tipe 1 memiliki risiko yang lebih
besar untuk mengalami ketoasidosis.8
Pada penyakit ini terjadi kelainan katabolik dimana tidak ada insulin yang
bersirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel beta pankreas gagal merespon
semua stimuli insulinogenik. Insulin eksogen dapat membalikkan kondisi katabolik,

18
mencegah ketosis, menurunkan hiperglukagonemia dan menurunkan gula darah.
Tipe ini dibagi lagi menjadi 2 subtipe, yaitu:8
a. Immune-mediated type 1 diabetes mellitus (type 1A)
Diabetes tipe 1 disebabkan oleh infeksi atau toksin lingkungan yang
menyerang orang dengan sistem imun yang secara genetis merupakan predisposisi
untuk terjadinya suatu respon autoimun yang kuat yang menyerang antigen sel β-
pankreas. Faktor ekstrinsik yang diduga mempengaruhi fungsi sel β-pankreas
meliputi kerusakan yang disebabkan oleh virus, seperti virus penyakit gondok
(mumps) dan virus coxsackie B4, oleh agen kimia yang bersifat toksik, atau oleh
sitotoksin perusak dan antibodi yang dirilis oleh imunosit yang disensitisasi. Gen
yang berhubungan dengan lokus HLA berperan dalam 40% dari risiko genetik
tersebut. Gen lain yang berperan dalam 10% risiko genetik pada subtipe ini telah
ditemukan pada region polimorfik 5’ dari gen insulin. Region tersebut
mempengaruhi ekspresi gen insulin pada thymus dan menimbulkan deplesi insulin-
specific T lymphocytes. 16 region genetik lain yang berhubungan dengan penyakit
ini juga telah ditemukan namun peranannya masih belum jelas. Gen-gen HLA yang
khusus diduga meningkatkan kerentanan terhadap virus diabetogenik atau mungkin
dikaitkan dengan gen-gen yang merespon sistem imun tertentu yang menyebabkan
terjadinya predisposisi pada pasien sehingga terjadi respon autoimun terhadap sel-
sel pulaunya (pulau-pulau Langerhans) sendiri atau yang dikenal dengan istilah
autoregresi.7,8
Pada fase awal terjadi insulitis (infiltrasi limfositik pada pulau Langerhans),
diikuti oleh apoptosis sel beta. Kebanyakan pasien dengan DM tipe 1 memiliki
antibodi terhadap islet cells (ICA), insulin (IAA), glutamic acid decarboxylase
(GAD65), dan tyrosine phosphatases (IA-2 and IA2-). Deteksi antibodi tersebut
telah digunakan untuk screening adanya penyebab autoimun dari diabetes, terutama
pada saudara kandung dari penderita, dan orang dewasa dengan gambaran atipikal
dari DM tipe 2. Kadar antibodi tersebut menurun seiring dengan peningkatan durasi
penyakit dan dengan terapi insulin. Beberapa pasien dengan gejala DM tipe 1 yang
lebih ringan pada awalnya memiliki sel beta dengan fungsi yang cukup untuk
menghindari ketosis, namun seiring dengan menurunnya massa sel beta,

19
ketergantungan akan insulin akan timbul. Bentuk yang lebih ringan ini disebut
sebagai latent autoimmune diabetes of adulthood (LADA).8

b. Idiopathic type 1 diabetes mellitus (type 1B)


Pada kurang dari 10% kasus, tidak ditemukan adanya autoimunitas terhadap sel
beta pankreas yang dapat menjelaskan timbulnya insulinopenia dan ketoasidosis.
Grup ini merupakan minoritas yang kebanyakan berasal dari Asia atau Afrika.
Belakangan terdapat penelitian yang menemukan bahwa sekitar 4% dari orang
Afrika Barat yang menderita diabetes dengan kerentanan terhadap ketosis
mengalami mutasi homozigot dari gen PAX-4 (Arg133trp) yang berperan dalam
perkembangan pancreatic islets.7,8
Diabetes tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan
terjadinya ketosis apabila tidak diobati. Diabetes ini muncul ketika pankreas
sebagai pabrik insulin tidak dapat atau kurang mampu memproduksi insulin.
Akibatnya, insulin tubuh kurang atau tidak ada sama sekali. Penurunan jumlah
insulin menyebabkan gangguan jalur metabolik antaranya penurunan glikolisis
(pemecahan glukosa menjadi air dan karbondioksida), peningkatan glikogenesis
(pemecahan glikogen menjadi glukosa), terjadinya glukoneogenesis.
Glukoneogenesis merupakan proses pembuatan glukosa dari asam amino, laktat,
dan gliserol yang dilakukan counterregulatory hormone (glukagon, epinefrin, dan
kortisol). Tanpa insulin, sintesis dan pengambilan protein, trigliserida, asam lemak,
dan gliserol dalam sel akan terganggu. Seharusnya terjadi lipogenesis namun yang
terjadi adalah lipolisis yang menghasilkan keton bodies. Glukosa menjadi
menumpuk dalam peredaran darah karena tidak dapat diangkut ke dalam sel. Kadar
glukosa lebih dari 180mg/dl, ginjal tidak dapat mereabsorbsi glukosa dari
glomelurus sehingga timbul glikosuria. Glukosa menarik air dan menyebabkan
osmotik diuretik dan menyebabkan poliuria. Poliuria menyebabkan hilangnya
elektrolit lewat urine, terutama natrium, klorida, kalium, dan fosfat merangsang
rasa haus dan peningkatan asupan air (polidipsi). Sel tubuh kekurangan bahan bakar
(cell starvation) pasien merasa lapar dan peningkatan asupan makanan (polifagia). 11
Biasanya, diabetes tipe ini sering terjadi pada anak dan remaja tetapi kadang-
kadang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang non obesitas dan mereka

20
yang berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama kali. Keadaan tersebut
merupakan suatu gangguan katabolisme yang disebabkan karena hampir tidak
terdapat insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat dan sel-sel B pankreas
gagal merespon semua stimulus insulinogenik. Oleh karena itu, diperlukan
pemberian insulin eksogen untuk memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis, dan
menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa darah.8

Diabetes melitus tipe 1


Pada DM tipe I (DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut diabetes j
uvenilis), terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien membutuhkan suplai
insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi pada sel beta pankreas karena me
kanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I
terjadi lebih sering pada pembawa antigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR
4), hal ini terdapat disposisi genetik. Diabetes melitus tipe 1, diabetes anak-anak (ba
hasa Inggris: childhood-onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes
mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dal
am sirkulasi darah akibat defek sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langer
hans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun
lebih sering didapat pada anak-anak.5

Diabetes Melitus tipe 2


Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM), sebelumny
a disebut dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan diabetes yang paling
sering terjadi. Pada tipe ini, disposisi genetik juga berperan penting. Namun terdapa
t defisiensi insulin relatif; pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari
luar. Pelepasan insulin dapat normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target me
miliki sensitifitas yang berkurang terhadap insulin.Sebagian besar pasien DM tipe I
I memiliki berat badan berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan m
akanan yang terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidak seimban
gan antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam lemak di
dalam darah. Hal ini selanjutnya akan menurunkan penggunaan glukosa di otot dan
jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk meningka
tkan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun pada reseptor, resistensi insulin se

21
makin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yang penting, namun bukan merupa
kan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yang lebih penting adalah adanya
disposisi genetik yang menurunkan sensitifitas insulin. Sering kali, pelepasan insuli
n selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang m
eningkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor, kelainan
genetik pada protein yang memisahkan rangkaian di mitokondria membatasi pengg
unaan substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat terja
di pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek insu
lin pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak da
n protein dapat dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyeb
abkan hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak.5

3.5 Manifestasi Klinis


Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai riwayat perjalanan klinis yang
akut. Biasanya gejala-gejala poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan yang
cepat menurun terjadi antara 1 sampai 2 minggu sebelum diagnosis ditegakkan. 2
Diabetes yang terus berkembang akan menyebabkan gejala terus meningkat,
yang mencerminkan massa β-sel menurun, insulinopenia memburuk, hiperglikemia
progresif, dan ketoasidosis akhirnya. Awalnya, ketika hanya cadangan insulin
terbatas, hiperglikemia sesekali terjadi. Ketika glukosa serum meningkat di atas
ambang ginjal, poliuria intermiten atau nokturia dimulai. Dengan semakin banyak
β-sel yang hilang maka akan terjadi hiperglikemia kronis yang menyebabkan
diuresis lebih banyak, sering dengan enuresis nokturnal, dan polidipsia menjadi
lebih nyata. Pasien wanita dapat terjadi vaginitis monilial karena glikosuria kronis.
Kalori yang hilang dalam urin (glikosuria), memicu hiperpagia kompensasi. Jika
hiperpagia ini tidak mengikuti glikosuria, maka akan terjadi kehilangan lemak
tubuh, penurunan berat badan klinis dan berkurang lemak subkutan. 2
Insidens DM tipe 1 di Indonesia masih rendah sehingga tidak jarang terjadi kes
alahan diagnosis dan keterlambatan diagnosis. Akibat keterlambatan diagnosis, pen
derita DM tipe 1 akan memasuki fase ketoasidosis yang berakibat fatal bagi penderi
ta. Keterlambatan ini dapat terjadi karena penderita disangka menderita bronkopneu
monia dengan asidosis atau syok berat akibat gastroenteritis.2

22
Perjalanan alamiah penyakit DM tipe 1 ditandai dengan adanya fase remisi (par
sial/total) yang dikenal sebagai honeymoon periode. Fase ini terjadi akibat berfungs
inya kembali jaringan residual pankreas sehingga pankreas mensekresikan kembali
sisa insulin. Fase ini akan berakhir apabila pankreas sudah menghabiskan seluruh si
sa insulin. Secara klinis ada tidaknya fase ini harus dicurigai apabila seorang pender
ita baru DM tipe 1 sering mengalami serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan in
sulin harus dikurangi untuk menghindari hipoglikemia. Apabila dosis insulin yang
dibutuhkan sudah mencapai < 0,25 U/kgBB/hari maka dapat dikatakan penderita be
rada pada fase "remisi total".2
Ketoasidosis menyebabkan tanda awal pada kebanyakan anak diabetes (25%).
Manifestasi awal mungkin relatif ringan berupa muntah, poliuri, dan dehidrasi.
Pada kasus yang kama dan berat, terdapat pernapasan Kussmaul, dan ada bau
aseton pada pernapasannya. Nyeri atau kekakuan perut dapat ada dan dapat
menyerupai apendisitis atau pankreatitis. Terjadi ketumpulan otak dan akhirnya
koma. Temuan-temuan laboratorium, meliputi glukosuria, ketonuria, hiperglikemia,
ketonemia, dan asidosis metabolik. Leukositosis lazim ditemukan, amilase serum
nonspesifik dapat meningkat, lipase serum biasanya tidak meningkat. Pada mereka
yang mengeluh nyeri perut, nyeri tidak boleh dianggap bahwa temuan ini
merupakan bukti perlu adanya gawat darurat pembedahan sebelum masa terapi
cairan, elektrolit, insulin yang sesuai telah dicoba untuk mengoreksi dehidrasi dan
asidosis. Manifestasi perut sering hilang setelah beberapa jam pengobatan tersebut.

3.6 Diagnosis
Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler < 126
mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. Diagnosis DM dapat ditegakkan
apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut14:
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan yang
menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1 mmol/L).
2. Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu >200
mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan tes
toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.

23
Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan untuk
mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas. Indikasi TTG pada
anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan gejala-gejala klinis
yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar glukosa darah tidak menyakinkan.
Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB (maksimum 75 g).
Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200- 250 ml air) dalam jangka waktu
5 menit. Tes toleransi glukosa dilakukan setelah anak mendapat diet tinggi
karbohidrat (150-200 g per hari) selama tiga hari berturut-turut dan anak puasa
semalam menjelang TTG dilakukan. Selama tiga hari sebelum TTG dilakukan,
aktifitas fisik anak tidak dibatasi. Anak dapat melakukan kegiatan rutin sehari- hari.
Sampel glukosa darah diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa oral),
60 dan 120. Penilaian hasil tes toleransi glukosa yaitu14:
1. Anak menderita DM apabila:
- Kadar glukosa darah puasa ≥140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau
- Kadar glukosa darah pada jam ke 2 ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila:
- Kadar glukosa darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan
- Kadar glukosa darah pada jam ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L)
3. Anak dikatakan normal apabila :
- Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dL (6,7 mmol/L) dan
- Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140 mg/dL (7,8-11 mmol/L)

24
Gambar 1. Skema langkah-langkah diagnosis DM13

Untuk menegakkan diagnosis DM tipe 1, maka perlu dilakukan pemeriksaan


penunjang, yaitu C-peptide <0,85 ng/ml. C-peptide ini merupakan salah satu
penanda banyak sel β-pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan lain adalah
adanya autoantibodi, yaitu Islet Cell Autoantibodies (ICA), Glutamic acid
decarboxylase autoantibodies (65K GAD), IA2 autoantibodies (dikenal sebagai
ICA 512 atau tyrosine phosphatase) dan Insulin autoantibodies (IAA). Adanya
autoantibodi mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun. Sayangnya
pemeriksaan autoantibodi ini relative mahal.13

3.7 Penatalaksanaan
DM tipe 1 tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup dapat dipertahankan
seoptimal mungkin dengan kontrol metabolik yang baik. HbA1c merupakan
parameter kontrol metabolik standar pada DM. Nilai HbA1c yang diinginkan
adalah <7% karena berarti kontrol metabolik baik. 4 Tatalaksana pasien dengan DM
tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain
selain insulin yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana agar penderita
mendapatkan kualitas hidup yang optimal dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1 yaitu6 :
1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan penderita DM tipe 1.
Dalam pemberian insulin perlu diperhatikan jenis insulin, dosis insulin, regimen
yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis yang diperlukan.4,6
a. Jenis insulin : kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat,
kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin campuran
(campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah). Pengunaan jenis insulin
tergantung regimen yang digunakan.
b. Regimen : kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen konvensional serta
regimen intensif. Regimen konvensional/mix-split regimen dapat berupa
pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali suntik/hari. Sedangkan regimen
intensif berupa pemberian regimen basal bolus. Pada regimen basal bolus

25
dibedakan antara insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal maupun
dosis bolus.
c. Cara menyuntik : terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik dalam hal
absorpsinya yaitu daerah abdomen, lengan atas lateral, lateral paha. Daerah
bokong tidak dianjurkan karena paling buruk absorpsinya.
d. Penyesuain dosis : kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari beberapa hal,
seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia pubertas (terkadang
kebutuhan meningkat hingga 2 unit/kg berat badan/hari), kondisi stress maupun
saat sakit
e. Dosis total insulin : adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari. Selama pemberian perlu
dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala
hipoglikemia dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase
”honeymoon”. Pada keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai
kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.

Tabel 1. Jenis Insulin6

2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya untuk
mengoptimalkan proses pertumbuhkan. Untuk itu pemberian diet terdiri dari 50-
55% karbohidrat, 15-20 % protein dan 30% lemak. Pada anak DM tipe 1 asupan
kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis insulin yang
diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori perhari

26
sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Ada beberapa anjuran pengaturan
persentase diet yaitu 20% makan pagi, 25% makan siang, serta 25 % makan malam,
diselingi dengan 3 kali snack masing-masing 10% total kebutuhan kalori perhari.6

3. Aktivitas fisik/exercise
Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan berolahraga akan
membantu mempertahankan berat badan ideal serta menurunkan berat badan
apabila obese. Olahraga akan membantu menurunkan kadar gula darah serta
meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin. Namun perlu diketahui pula
bahwa olahraga dapat meningktakan risiko hipoglikemia maupun hiperglikemia
(bahkan ketoacidosis). Sehingga pada anak DM memiliki beberapa persyaratan
untuk menjalankan olahraga, diantaranya adalah target gula darah sebelum
olahraga. Apabila gula darah sebelum olahraga diatas 250 mg/dl serta didapatkan
adanya ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula darah dibawah 90
mg/dl, maka sebelum berolahraga perlu menambah diet karbohidrat untuk
mencegah hipoglikemia.6

4. Edukasi
Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita maupun
orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya, apa yang boleh dan
tidak boleh pada penderita DM, penggunaan insulin, monitor gula darah dan target
darah ataupun HbA1C yang diinginkan.6

5. Monitoring control glikemik


Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan sudah baik
atau belum. Control glikemik akan memperbaiki kualitas hidup pasien, termasuk
mencegah komplikasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pasien harus
melakukan pemeriksaan gula darah berkala dalam sehari. Setiap 3 bulan memeriksa
HbA1c. Disamping itu, efek samping pemberian insulin, komplikasi yang terjadi,
serta pertumbuhan dan perkembangan perlu dipantau.6

27
3.8 Penyulit Diabetes Melitus
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun.
a. Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetic
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. Akibat diuresis osmotik biasanya mengalami
dehidrasi berat bahkan sampai syok. KAD memiliki beberapa faktor pencetus
seperti infeksi, infark myokard akut, pankreatitis akut, pemakaian obat steroid, dan
menghentikan atau mengurangi dosis insulin.12,14
Pada KAD selain defisiensi insulin absolut atau relatif juga terdapat
peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, kortisol, katekolamin, dan hormon
pertumbuhan) yang menyebabkan peningkatan produksi glukosa hati sehingga
pasien jatuh dalam keadaan hiperglikemia. Walaupun kadar glukosa dalam darah
tinggi, namun glukosa tersebut tidak dapat digunakan oleh sel untuk proses oksidasi
sehingga terjadi peningkatan lipolisis. Produk akhir dari lipolisis adalah benda
keton seperti asam asetoasetat, aseton, β-hydroxybutirate. Benda keton inilah yang
bertanggung jawab terhadap timbulnya ketosis.12
Gejala klinis pasien KAD seperti pernafasan yang cepat dan dalam
(Kussmaul), dehidrasi dan kadang-kadang disertai syok. Pasien KAD biasanya juga
datang ke rumah sakit dengan keluhan muntah, nyeri perut akibat gastroparesis atau
dilatasi lambung. Diagnosi KAD ditegakkan berdasarkan temuan adanya kadar
glukosa darah > 250 gr/dL, pH darah < 7.35, ion bikarbonat (HCO3-) rendah,
anion gap yang tinggi, dan didapatkan keton serum maupun keton dalam urine
positif. 12,14
Prinsip pengobatan KAD adalah :
a. penggantian cairan dan garam yang hilang
b. menekan lipolisis sel lemak dengan pemberian insulin
c. mengatasi pencetus KAD
d. pemberian kalium bila terjadi hipokalemia
e. glukosa bila kadar glukosa mencapai < 200 mg%
f. bikarbonat diberikan bila pH darah < 7.1 atau hiperkalemia > 6.5 mmol/L

28
g. di samping itu dapat diberikan antibiotik bila pencetus KAD adalah infeksi.

Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD adalah


edema paru, infark myokard akut, hipertrigliseridemia dan komlikasi iatrogenik
(hipoglikemia, hiperkloremia, hipokalemia, hipokalsemia dan edema serebri).

2. Hiperglikemik Hiperosmolar non ketotik


Koma Hiperglikemia ini dicirikan dengan hiperglikemi, hiperosmolar, dan
dehidrasi tanpa disertai keadaan ketotik. Koma dapat terjadi jika osmolaritas
melebihi 330 mOsm/kg. Insufisiensi ginjal atau gangguan vaskular dapat menjadi
penyebab terjadinya hiperglikemia hiperosmolar non ketotik ini. Di samping itu
beberapa obat seperti diuretik dan fenitoin juga dapat menjadi penyebab. 12,14
Defisiensi insulin menyebabkan penurunan penggunaan glukosa oleh otot,
lemak, dan hati. Di saat yang bersamaan terjadi peningkatan glukoneogenesis di
hati serta glikolisis di otot dan lemak yang menyebabkan hiperglikemia yang berat.
Keadaan hiperglikemik tersebut memicu glukosuri dan diuresis osmotik. Ketosis
tidak terjadi karena masih terdapatnya insulin dalam jumlah yang cukup untuk
mencegah lipolisis namun tidak adekuat untuk menghambat hiperglikemi. Pada
pasien tersebut dehidrasi akan terjadi bila cairan masuk tidak bisa mengimbangi
banyaknya cairan yang keluar. Pada dehidrasi yang berat, aliran perfusi darah ke
ginjal akan berkurang yang kemudian menyebabkan bertambah beratnya kerusakan
ginjal yang sebelumnya terjadi. Akibatnya ekskresi glukosa melalui urin menurun,
sehingga kadar glukosa dalam darah akan meningkat. Hal ini menyebabkan
osmolaritas kapiler juga meningkat. Bila nilai osmolaritas melebihi 330 mOsm/kg,
air akan ditarik keluar dari jaringan otak sehingga dapat memicu terjadinya koma.
Gejala poliuri, polidipsi, dan badan lemah dapat terjadi beberapa hari sebelum
keadaan hiperglikemik, hiperosmolar non ketotik. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan tanda-tanda dehidrasi (tekanan darah turun, nadi meningkat, turgor kulit
berkurang, mukosa kering,dll). Dan juga tampak tanda-tanda kelainan neurologis
seperti gelisah, kejang, sampai koma. 12,14

3. Hipoglikemia

29
Berbagai faktor yang merupakan predisposisi hipoglikemia adalah :
a. Kadar insulin yang berlebih
 Dosis berlebihan baik oleh pasien maupun tenaga kesehatan
 Peningkatan bioavailabilitas insulin
b. Peningkatan sensitivitas insulin
 Penurunan berat badan
 Post partum
 Gangguan menstruasi
c. Asupan karbohidrat yang tidak adekuat
 Porsi makan kurang atau telat makan
 Muntah dan diare
d. Pemakaian obat yang meningkatkan kerja obat hipoglikemik oral atau insulin
(salisilat, sulfonamide meningkatkan kerja sulfonilurea).

Gejala pasien dengan hipoglikemia terdiri dari gejala autonomik seperti


berkeringat, jantung berdebar, tremor, lapar ; gejala neuroglikopenik seperti
bingung, mengantuk, sulit berbicara, inkoordinasi, perilaku yang berbeda,
gangguan visual, parestesi ; serta malaise. Terapi hipoglikemia pada diabetes
berupa glukosa oral ataupun glukosa intravena. Pada pemberian glukosa intravena,
pemberiannya harus lebih hati-hati karena bersifat toksik terhadap jaringan bila
glukosa yang diberikan berkonsentrasi tinggi( 50 % atau lebih). Di samping
pemberian glukosa dapat juga diberikan glukagon intramuskular.2,4,7

b. Penyulit menahun
1. Makroangiopati :
a. Pembuluh darah jantung
b. Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya
terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio, meskipun sering tanpa gejala.
Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.

c. Pembuluh darah otak

30
2. Mikroangiopati:
a. Retinopati diabetik
Retinopati diabetik adalah komplikasi vaskular yang berkorelasi kuat dengan
durasi diabetes, hiperglikemia kronis, adanya nefropati dan hipertensi. Untuk
mengurangi progresivitas dari retinopati maka kontrol terhadap gula darah dan
tekanan darah harus dioptimalkan. Adanya retinopati bukanlah kontraindikasi untuk
memberikan aspirin sebagai terapi kardioprotektif, karena pemberiannya tidak
meningkatkan risiko perdarahan retina. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya
retinopati.14 Pembedahan fotokoagulasi dengan laser memiliki keuntungan dengan
menurunkan risiko kehilangan penglihatan, tetapi tidak memberikan keuntungan
dalam hal mengembalikan tajam penglihatan.2,7
b. Nefropati diabetik
Nefropati diabetik dapat terjadi pada 20-40 % pasien dengan diabetes.
Mikroalbuminuria persisten (30 – 299 mg/24 jam) dapat mengindikasikan stadium
awal suatu nefropati pada pasien diabetes. Untuk mengurangi risiko terhadap
nefropati diabetik, kontrol terhadap glukosa darah dan tekanan darah haruslah
optimal. Penggunaan ACE Inhibitor dan ARB dapat mengurangi kehilangan fungsi
ginjal melalui efeknya dalam menurunkan tekanan darah sistolik.
c. Neuropati
Neuropati diabetik dapat bervariasi dalam manifestasi klinisnya, dapat lokal
atau difus. Yang paling sering adalah polineuropati simetris distal dan neuropati
autonomik diabetik. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari.

3.9 Prognosis
Lebih dari 60% pasien dengan DM tipe 1 tidak mengalami komplikasi serius
dalam jangka panjang, tetapi banyak yang mengalami kebutaan, end stage renal dis
ease (ESRD), dan dalam beberapa kasus kematian dini. Risiko ESRD dan retinopati
proliferatif dua kali lebih tinggi pada laki-laki saat terjadinya diabetes sebelum usia
15 tahun. Pasien dengan DM tipe 1 yang bertahan hidup dalam periode 10-20 tahun
setelah onset penyakit tanpa komplikasi fulminan memiliki probabilitas tinggi untu

31
k memiliki hidup yang sehat. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil jangka
panjang adalah pendidikan pasien, kesadaran, motivasi, dan tingkat kecerdasan.5
Pasien diabetes tipe 1 juga memiliki prevalensi tinggi untuk menderita
neuropati. Dalam sebuah penelitian prospektif dari 27 pasien yang memiliki
diabetes tipe 1 dengan durasi penyakit rata-rata 40 tahun, hampir 60% dari subyek
menunjukkan tanda-tanda atau gejala neuropati, termasuk gejala neuropati sensori
(9 pasien), nyeri (3 pasien), dan gejala carpal-tunnel (5 pasien). American Diabetes
Association (ADA) menekankan pentingnya pemantauan yang bertujuan untuk me
ngurangi morbiditas akibat komplikasi akut maupun kronis. 15 Perawatan di rumah s
akit maupun secara mandiri di rumah, meliputi5 :
- keadaan umum, tanda vital, kemungkinan infeksi.
- kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan menggunakan
glukometer) setiap sebelum makan utama dan menjelang tidur malam hari.
- kadar HbA1C (setiap 3 bulan).
- pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dl).
- mikroalbuminuria (setiap 1 tahun).
- fungsi ginjal.
- funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi setelah 3-5
tahun menderita DM tipe-1, atau setelah pubertas).
- tumbuh kembang.

32
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien adalah seorang laki-laki umur 23 tahun datang dengan keluhan badan
yang terasa lemas dan terasa semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Tidak ada
kelemahan sesisi tubuh atau anggota gerak dan masih dapat melakukan aktivitas
ringan. Pasien mengatakan mengalami penurunan nafsu makan sejak 7 hari
SMRS.
Pasien juga mengeluhkan sering mengalami BAK saat malam hari.
Frekuensi BAK > 10x sehari dan merasa terus haus sepanjang hari. Pasien juga
mengeluh kepala terasa pusing , nyeri perut di ulu hati, mual, muntah berisi
makanan yang dimakan sebanyak 3 kali. Pasien juga mengatakan akhir-akhir ini
mengalami penurunan berat badan yang srastis sebanyak 10 kg. BAB normal,
tidak mengalami diare. Keluhan berupa pengelihatan kabur dan kesemutan
disangkal.
Tiga hari SMRS, pasien merasa demam, tetapi tidak terlalu tinggi, demam
tidak disertai menggigil. Keluhan batuk, pilek, sesak nafas, nyeri saat menelan
disangkal. Pasien merasa semakin lemas dan tidak nafsu makan.
Tiga bulan SMRS, pasien merasakan keluhan badan lemas secara tiba-tiba
dan nafsu makan semakin menurun. Keluhan juga disertai dengan mudah terasa
lapar sehingga os sering menkonsumsi makan-makanan ringan. Pasien juga
mengeluh sering merasa haus sepanjang hari dan sering terbangun saat malam hari
karena ingin BAK. Kemudian pasien dibawa ke RS Adinda di Tangerang untuk
diperiksa, dan didapatkan hasil glukosa darah sangat tinggi. Selama perawatan
pasien didiagnosa mengalami Diabates Melitus Tipe 1.
Sebelum sakit, pasien mengatakan sering mengkonsumsi makanan yang
manis setiap hari. Pasien juga mengkonsumsi kopi yang terasa manis sebanyak 4
kali sehari. Pasien sampai saat ini masih merokok dengan frekuensi 1 bungkus per
hari. Pasien juga mengkonsumsi alkohol sebanyak 1 kali tiap minggu.

33
Selain itu, pada pemeriksaan fisik tekanan darah 120/80 mmHg. Nadi 75x/
menit, reguler, isi dan tegangan cukup. Pernafasan 18x/ menit, tipe
thorakoabdominal. Temperature 36,7oC.N Pada pemeriksaan penunjang dilakukan
pemeriksaan EKG, foto rontgen thorax dan pemeriksaan laboratorium. Pada hasil
pemeriksaan EKG dan foto rontgen thorax didapatkan dalam batas normal. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan pada hemoglobin,
eritrosit, glukosa darah sewaktu dan Hba1c. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang adalah Hiperglikemia Et Causa Diabetes Melitus
Tipe 1.
Berdasarkan teori, diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit yang
disebabkan oleh destruksi sel β-pankreas karena proses autoimun sehingga
mengakibatkan defisiensi insulin dan hiperglikemia. Defisiensi insulin dapat
mencetuskan keadaan dekompensasi metabolic akut yang disebut ketoasidosis
metabolic akut (KAD), dan juga mengakibatkan komplikasi mikrovaskular akibat
hiperglikemia kronik. Berdasarkan gejala klinis DM tipe 1 umumnya terdiagnosis
pada usia anak-anak, gejala biasanya tidak disadari sampai akhirnya hiperglikemia
sampai keadaan kritis. Gejala awal berupa penurunan berat badan, polyuria,
polidipsi, polifagi dan penglihatan kabur. Apabila terjadi ketoacidosis penderita
mengeluh nyeri abdomen, mual, muntah, myalgia dan sesak, disertai dengan
gangguan hemodinamik dan dalam keadaan berat dapat terjadi gangguan
kesadaran.
DM tipe 1 disebut juga sebagai insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM)
atau juvenile diabetes. Dalam kasus ini diperlukan insulin pengganti untuk menjaga
kadar gula darah normal. Kasus ini bisa terjadi pada usia berapa saja namun paling
sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda dengan puncak insiden sebelum
usia sekolah dan pubertas. DM tipe 1 paling sering dimediasi oleh proses autoimun
(± 90% kasus), atau oleh penyebab idiopatik (± 10% kasus) yang menyebabkan
destruksi sel-sel beta pankreas. Kecepatan destruksi sel beta tersebut bervariasi
pada masing-masing penderita. Penderita DM tipe 1 memiliki risiko yang lebih
besar untuk mengalami ketoasidosis.12

34
Penyebab diabetes tipe 1 dan tipe 2 terdapat sedikit perbedaan. Diabetes tipe
1 disebabkan oleh pankreas yang memecah sel-sel untuk produksi hormon insulin.
Sehingga, insulin tidak dapat diproduksi, dan membutuhkan asupan dari luar
seperti suntik insulin. Sedangkan diabetes tipe 2 disebabkan oleh kelenjar
pankreas yang tidak dapat mencukupi kebutuhan insulin pada tubuh. Sehingga,
insulin tidak berfungsi dengan optimal.
Tatalaksana pada pasien ini diberikan secara non-farmakologis dan
farmakologis. Non-farmakologis terdiri dari edukasi mengenai penyakit (definisi,
penyebab, manifestasi klinis, tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien
kepada pasien dan keluarga. Tirah baring. Pada pemeriksaan farmakologis terdiri
dari IVFD Nacl 0,9% gtt 20x/m, mecobalamin 3x500 mg, Inj. Levemir 1x12 IU,
Inj. Novorapid, KSR 2x1 tab dan drip 50 unit novorapid.
Mecobalamin adalah bentuk lain dari vitamin B12 (cobalamin). Suplemen
makanan satu ini disebut juga sebagai methylcobalamin atau MeCbl, bentuknya
secara fisiologis sama dengan vitamin B12 sehingga dapat digunakan untuk
mengatasi kondisi defisiensi vitamin B12. Mecobalamin merupakan
senyawa vitamin yang larut dalam air dan merupakan vitamin esensial yang
dibutuhkan tubuh untuk menjalankan fungsinya dengan normal. Vitamin ini
biasanya digunakan sebagai kombinasi obat untuk mengatasi kekurangan vitamin
B12 dengan beberapa jenis vitamin B12 lainnya seperti hydrocobalamin,
cyanocobalamin dan adenosylcobalamin.
Levemir merupakan sediaan yang mengandung Insulin Detemir yang termasu
k dalam golongan insulin analog kerja panjang (Long-Acting) dan bekerja hingga
24 jam. Insulin ini digunakan untuk pengobatan diabetes melitus pada orang dewa
sa, remaja dan anak berusia 2 tahun dan diatasnya. Levemir dapat diberikan secara
tunggal maupun dikombinasikan dengan tipe insulin bolus dan dengan obat antidi
abetik oral lainnya.
Novorapid adalah sediaan yang mengandung Insulin Aspart yang termasuk da
lam golongan insulin analog kerja cepat (Rapid-Acting). Insulin ini digunakan unt
uk pengobatan pada diabetes melitus. Novorapid akan mulai untuk menurunkan g
ula darah 10-20 menit setelah disuntikkan kedalam tubuh.

35
KSR merupakan obat yang mengandung potasium klorida atau KCl. KSR 600
digunakan untuk membantu mengobati dan mencegah hipokalemia (menurunnya
kadar kalium di dalam darah). KSR bertindak sebagai pengganti ion kalium elektr
olit, selain itu KSR juga dapat digunakan sebagai sumber kation. Kation utama da
ri cairan intraseluler penting untuk pemeliharaan asam-basa dan keseimbangan cai
ran dan elektrolit sel.

36
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus ini diagnosis pasien mengarah ke Hiperglikemia Et Causa Diabetes


Melitus. Penegakan diagnosis pada pasien juga didasari oleh gejala yang dialami serta
dilakukannya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana yang
diberikan pada pasien diutamakan sesuai dengan gejala dan penyebab dari kasus ini,
yaitu IVFD Nacl 0,9% gtt 20x/m, mecobalamin 3x500 mg, Inj. Levemir 1x12 IU, Inj.
Novorapid, KSR 2x1 tab dan drip 50 unit novorapid. Pada pasien juga diperlukan
adanya penatalaksanaan secara non-farmakologi seperti edukasi mengenai penyakit
(definisi, penyebab, manifestasi klinis, tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien
kepada pasien dan keluarga dan tirah baring.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Foster DW. Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit


dalam. Asdie, A, editor. Jakarta : EGC, 2017; 2196.
2. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 : PERKENI
2011.
3. Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. Patofisologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC. 2016.
4. Rani Aziz. A, dkk. Panduan Pelayanan Medik,edisi II,Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta : 2016. Hal 9-14.
5. Silabernagi, Stefan. Florian Lang. Penyebab Diabetes Melitus. Teks & Atlas
BerwarnaPatofisiologi. 2017. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar
IlmuPenyakit Dalam. Jilid III. Jakarta: IPD FKUI. 2016.
7. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. 2016. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FakultasKedokteran Universitas Indonesia.
8. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan
Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen
Ilmu Panyakit Dalam FKUI. 2017.

38

Anda mungkin juga menyukai